Tugas Keperawatan Jiwa
Tugas Keperawatan Jiwa
Disusun Oleh :
Kelompok 2
1. Ayu Ananda
2. Nurul Febri Gustina
3. Retno Kartika Sari
4. Suci Ramadhani
5. Yolla Arahmah
2019/2020
KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karuniaNya ,sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna
memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah keperawatan jiwa
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak
pihak yang dengan tulus memberikan do`a ,saran dan kritik sehingga makalah ini dapat
terselesaikan.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dikarenakan
terbatasnya pengetahuan yang kami miliki.Oleh karena itu, kami mengharapkan segala bentuk
saran serta masukan dan kritik yang membangun dari berbagai pihak .Akhirnya kami berharap
semoga makalah ini dapat memberi manfaat bagi perkembangan dunia kesehatan.
Penulis
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar……………………………………………………………………………..…i
Daftar Isi……………………………………………………………………………..……….ii
BAB I. PENDAHULUAN………………………………………………………………...….1
Latar belakang……………………………………………………………………...…1
Rumusan masalah……………………………………………………………………..2
Tujuan …………………………………………………………………………………2
BAB IV.PENUTUP………………………………………………………………………..…32
Kesimpulan………………………………………………………………………………...…32
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………...…33
ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada fase awal bencana, akan membuat para korban menjadi khawatir dan
bahkan mungkin menjadi panik. Kepanikan itu berupa, seseorang akan
merasa sangat down, shock, karena kehilangan harta benda dan
sanak saudara. Demikian pula, mereka akan merasakan berbagai macam emosi
seperti ketakutan, kehilangan orang dan benda yang dicintainya, serta
membandingkan keadaan tersebut dengan kondisi sebelum bencana, mereka
kembali mengingat harta benda yang telah hilang atau rusak sekaligus
merasakan kesedihan yang mendalam. Hingga pada akhirnya merasa kecewa,
frustasi, marah, dan merasakan pahitnya hidup
1
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui peran penting mahasiswa dalam proses keperawatan jiwa dalam
situas tanggap bencana
2. Untuk mengetahui bentuk peran dan kegiatan yang bisa dilakukan oleh mahasiswa
dalam proses keperawatan jiwa dalam situasi tanggap bencana.
2
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Definisi Bencana
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana menyebutkan
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau
faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
(http://www.bnpb.go.id)
Definisi tersebut menyebutkan bahwa bencana disebabkan oleh faktor alam, non alam, dan
manusia. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tersebut juga
mendefinisikan mengenai bencana alam, bencana nonalam, dan bencana sosial.
1. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung
meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.
2. Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian
peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi,
dan wabah penyakit.
3. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok
atau antarkomunitas masyarakat, dan teror.
B. Fase-fese Bencana
Menurut Barbara Santamaria (1995), ada 3 fase dalam terjadinya suatu bencana, yaitu
diantaranya :
3
1. Fase preimpact merupakan warning phase, tahap awal dari bencana. Informasi didapat
dari badan satelit dan meteorologi cuaca. Seharusnya pada fase inilah segala persiapan
dilakukan baik oleh pemerintah, lembaga, dan warga masyarakat.
2. Fase impact merupakan fase terjadinya klimaks dari bencana. Inilah saat-saat dimana
manusia sekuat tenaga mencoba untuk bertahan hidup (survive). Fase impact ini terus
berlanjut hingga terjadi kerusakan dan bantuan-bantuan darurat dilakukan.
3. Fase postimpact adalah saat dimulainya perbaikan dan penyembuhan dari fase darurat,
juga tahap dimana masyarakat mulai berusaha kembali pada fungsi komunitas normal.
Secara umum dalam fase postimpact ini para korban akan mengalami tahap respon
psikologis mulai penolakan, marah, tawar-menawar, depresi hingga penerimaan.
4. Pandangan Progresif
4
Menganggap bencana sebagai bagian dari pembangunan masyarakat yang ‘normal’.
Bencana adalah masalah yang tidak pernah berhenti. Peran sentral dari masyarakat
adalah mengenali bencana itu sendiri.
6. Pandangan Holistik
Menekankan pada ancaman (threat) dan kerentanan (vulnerability), serta kemampuan
masyarakat dalam menghadapi risiko. Gejala alam menjadi ancaman jika mengancam
hidup dan harta-benda. Ancaman akan berubah menjadi bencana jika bertemu dengan
kerentanan.
5
Menganggap bencana sebagai bagian dari pembangunan masyarakat yang ‘normal’.
Bencana adalah masalah yang tidak pernah berhenti. Peran sentral dari masyarakat
adalah mengenali bencana itu sendiri.
5. Pandangan Ilmu Sosial
Fokus pada bagaimana tanggapan dan kesiapan masyarakat menghadapi bahaya.
Ancaman adalah alami, tetapi bencana bukan alami. Besaran bencana tergantung
perbedaan tingkat kerawanan masyarak.
6. Pandangan Holistik
Menekankan pada ancaman (threat) dan kerentanan (vulnerability), serta kemampuan
masyarakat dalam menghadapi risiko. Gejala alam menjadi ancaman jika mengancam
hidup dan harta-benda. Ancaman akan berubah menjadi bencana jika bertemu dengan
kerentanan.
6
3. Kerentanan social, kondisi social masyarakat dilihat dari aspek pendidikan, pengetahuan
tentang ancaman bahaya dan rsiko bencana.
4. Kerentanan lingkungan, keadaan disekitar masyarakat tinggal. Misalnya masyarakat
yang tinggal di lereng bukit atau pegunungan rentan terhadap ancaman bencana tanah
longsor.
7
yang mengalami stres mungkin merasa lebih gelisah, tegang, cemas, mengalami
kelelahan, ketegangan otot dan sulit tidur. Ada pula yang tekanan darah dan detak
jantungnya nmeningkat, sakit kepala, perut mulas, gatal-gatal atau diare. Stres juga
dapat merubah perilaku kita. Misalnya kita menjadi lebih cepat marah, lebih suka
sendirian, menjadi tidak enak makan, merasa tidak berdaya, tidak bersemangat,
frustrasi, atau merasa tidak percaya diri.
Meski cukup sering menganggu, stres tidak perlu selalu dilihat sebagai hal negatif.
Dalam hal tertentu ,stres memiliki dampak positif. Eustress adalah stres dalam artian
positif yakni keadaan yang dapat memotivasi, dan berdampak menguntungkan. Sebagai
contohnya, ada orang-orang yang bila sudah terdesak waktu, tiba-tiba akan
terbangkitkan kreativitasnya. Ada pula yang karena merasa tertinggal, memotivasi diri
sendiri dan dapat berprestasi gemilang.
2. Trauma
Secara sederhana, trauma berarti luka atau kekagetan (syok/shock). Penyebab trauma
adalah peristiwa yang sangat menekan, terjadi secara tiba-tiba dan di luar
kontrol/kendali seseorang, bahkan seringkali membahayakan kehidupan atau
mengancam jiwa. Peristiwa ini begitu mengagetkan, menyakitkan dan melebihi situasi
stres yang kita alami sehari-hari. Peristiwa ini dinamakan sebagai peristiwa traumatis.
Ciri-ciri peristiwa traumatis adalah :
a. Terjadi secara tiba-tiba.
b. Mengerikan, menimbulkan perasaan takut yang amat sangat.
c. Mengancam keutuhan fisik maupun mental.
d. Dapat menimbulkan dampak fisik, pikiran, perasaan, dan perilaku yang amat
membekas bagi mereka yang mengalami ataupun yang menyaksikan.
Bencana alam seperti gempa bumi jelas merupakan peristiwa traumatis, karena tidak
pernah ada yang bisa meramalkan kapan akan datang dan menimbukan perasaan takut
dan mengerikan. Sehingga dapat menimbukan trauma bagi yang mengalaminya.
Kondisi seperti stres yang kita rasakan setelah munculnya peristiwa traumatis disebut
sebagai stres traumatis. Kondisi inilah yang biasa kita kenal sebagai trauma.
8
Gejala trauma sebenarnya dapat juga dialami oleh orang yang tidak mengalami
langsung peristiwa traumatis. Misalnya, seseorang yang menonton berita bencana
secara terus menerus. Ia kemudian menjadi sulit tidur, mengalami rasa takut dan
waspada berlebihan. Hal semacam ini disebut sebagai trauma sekunder, yaitu stres
traumatis yang dialami oleh orang yang tidak mengalami secara langsung.
Siapapun orangnya, sekuat dan sehebat apapun dia, biasanya akan menunjukkan
respon tertentu. Respon yang muncul mungkin berbeda-beda bagi tiap orang, namun
umumnya respon yang muncul adalah:
a. Memiliki ingatan atau bayangan yang sulit dilupakan, seperti mencengkeram, atau
ingatan lainnya tentang traumanya
b. Merasakan peristiwa seperti terjadi lagi (flashback)
c. Merasa terganggu bila diingatkan, atau teringat peristiwa
d. traumatis karena sesuatu yang dilihat, didengar, dirasakan, atau diciumnya.
e. Ketakutan, merasa kembali berada dalam bahaya
f. Kesulitan mengendalikan perasaan karena tidak mampu mengendalikan ingatan
tentang peristiwa traumatis.
9
b. Gemetar
c. Tidak mau keluar rumah
d. Mudah tersinggung
e. Mengalami gangguan tidur, seperti: sering mimpi buruk,
f. susah tidur atau justru terlalu banyak tidur.
g. Gelisah
h. Kewaspadaan berlebih, sangat ingin menjaga dan melindungi diri
i. Mengalami gangguan makan, seperti : mual, muntah, tidak mau makan, atau
justru terlalu banyak makan
j. Mudah merasa was-was
k. Tiba-tiba dicekam bayangan menakutkan
l. Sulit berkonsentrasi atau berpikir jernih
m. Badan sering terasa lemas dan keluar keringat dingin
n. Sesak napas
Biasanya perubahan perilaku maupun perasaan tersebut akan berkurang seiring dengan
berjalannya waktu. Namun, kita perlu mewaspadai apabila perubahan tersebut
dirasakan lebih dari 6-8 minggu dan mengganggu kehidupan kita sehari-hari. Dampak
yang kita alami mungkin lebih besar daripada yang kita bayangkan.
I. Dari Aspek Psikososial, Bencana Dapat Berdampak Pada:
10
2. Acute stress disorder (ASD)
Gejala ini muncul pada masa 2 s.d 30 hari/4 minggu yang ditandai dengan:
a. Gangguan muncul akibat suatu peristiwa hebat yang mengejutkan, bahkan sering
tidak terduga dan akibatnya pun tidak tertahankan oleh orang yang mengalaminya.
Perawat komunitas dalam asuhan keperawatan komunitas memiliki tanggung jawab peran
dalam membantu mengatasi ancaman bencana baik selama tahap preimpact,
impact/emergency, dan post impact.
11
Peran perawat disini bisa dikatakan multiple; sebagai bagian dari penyusun
rencana, pendidik, pemberi asuhan keperawatan bagian dari tim pengkajian kejadian
bencana.
Tujuan utama : Tujuan tindakan asuhan keperawatan komunitas pada bencana ini adalah
untuk mencapai kemungkinan tingkat kesehatan terbaik masyarakat yang terkena bencana
tersebut.
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan perawat dalam masa pra bencana ini, antara
lain:
12
2. Peran Perawat dalam Keadaan Darurat (Impact Phase)
Biasanya pertolongan pertama pada korban bencana dilakukan tepat setelah keadaan
stabil. Setelah bencana mulai stabil, masing-masing bidang tim survey mulai melakukan
pengkajian cepat terhadap kerusakan-kerusakan, begitu juga perawat sebagai bagian
dari tim kesehatan.
TRIASE :
13
f. Membantu penanganan dan penempatan pasien dengan penyakit menular maupun
kondisi kejiwaan labil hingga membahayakan diri dan lingkungannya berkoordinasi
dengan perawat jiwa.
g. Mengidentifikasi reaksi psikologis yang muncul pada korban (ansietas, depresi
yang ditunjukkan dengan seringnya menangis dan mengisolasi diri) maupun reaksi
psikosomatik (hilang nafsu makan, insomnia, fatigue, mual muntah, dan kelemahan
otot).
h. Membantu terapi kejiwaan korban khususnya anak-anak, dapat dilakukan dengan
memodifikasi lingkungan misal dengan terapi bermain.
i. Memfasilitasi konseling dan terapi kejiwaan lainnya oleh para psikolog dan
psikiater.
j. Konsultasikan bersama supervisi setempat mengenai pemeriksaan kesehatan dan
kebutuhan masyarakat yang tidak mengungsi
4. Peran perawat dalam fase postimpact
Bencana tentu memberikan bekas khusus bagi keadaan fisik, sosial, dan psikologis
korban. Selama masa perbaikan perawat membantu masyarakat untuk kembali pada
kehidupan normal. Beberapa penyakit dan kondisi fisik mungkin memerlukan jangka
waktu yang lama untuk normal kembali bahkan terdapat keadaan dimana kecacatan
terjadi.
Peran mahasiswa perawat yang dimaksud adalah cara untuk menyatakan aktifitas
mahasiswa keperawatan dalam membantu praktik, dimana telah mendapatkan pendidikan
formalnya yang sesuai dengan kode etik keperawatan. Dimana setiap peran yang
dinyatakan sebagai nalg terpisah demi untuk kejelasan.
14
Seorang perawat, khususnya perawat komunitas memiliki tanggung jawab peran dalam
membantu mengatasi ancaman bencana baik selama tahap preimpact, impact/emergency,
dan postimpact. Dalam melakukan tugasnya tentu perawat tidak bisa berjalan sendiri.
Koordinasi dan persiapan yang baik mulai dari pemerintah atas hingga ke cabang-cabang
di bawahnya mutlak diperlukan. Dimulai dari pusat studi bencana, badan nalgesic,
pemerintah pusat dan daerah, para teknisi, departemen kesehatan, palang merah nasional
yang didalamnya terdiri dari mahasiswa-mahasiswa peduli bencana, tenaga-tenaga
kesehatan, departemen penerangan, dinas transportasi hingga dinas kebakaran dan
lembaga-lembaga swadaya masyarakat, semua ikut terlibat dalam perencanaan persiapan
penanggulangan bencana.
Tujuan utama dari tindakan keperawatan bencana ini adalah untuk mencapai
kemungkinan tingkat kesehatan terbaik masyarakat yang terkena bencana tersebut. Jika
seorang mahasiswa keperawatan beserta para perawat lainnya berada di pusat area
bencana, ia akan dibutuhkan untuk ikut mengevakuasi dan nalge pertolongan pertama
pada korban. Sedangkan di lokasi-lokasi penampungan seorang perawat bertanggung
jawab pada evaluasi kondisi korban, melakukan tindakan keperawatan berkelanjutan, dan
mengkondisikan lingkungan terhadap perawatan korban-korban dengan penyakit
menular.
15
perawat atau pun tenaga kesehatan profesional, ataupun juga melakukan pengobatan
bersama perawat lainnya secara cepat, menyeluruh dan merata di tempat bencana.
Pengobatan yang dilakukan pun bisa beragam, mulai dari pemeriksaan fisik, pengobatan
luka, dan lainnya sesuai dengan profesi keperawatan.
2. Pemberian bantuan
Perawatan dapat melakukan aksi galang dana bagi korban bencana, dengan menghimpun
dana dari berbagai kalangan dalam berbagai bentuk, seperti makanan, obat obatan,
keperluan sandang dan lain sebagainya. Pemberian bantuan tersebut bisa dilakukan
langsung oleh perawat secara langsung di lokasi bencana dengan memdirikan posko
bantuan. Selain itu, Hal yang harus difokuskan dalam kegiatan ini adalah pemerataan
bantuan di tempat bencana sesuai kebutuhan yang di butuhkan oleh para korban saat itu,
sehinnga tidak akan ada lagi para korban yang tidak mendapatkan bantuan tersebut
dikarenakan bantuan yang menumpuk ataupun tidak tepat sasaran.
16
4. Pemberdayaan masyarakat
Kondisi masyarakat di sekitar daerah yang terkena musibah pasca bencana biasanya akan
menjadi terkatung katung tidak jelas akibat memburuknya keaadaan pasca bencana.,
akibat kehilangan harta benda yang mereka miliki. sehinnga banyak diantara mereka
yang patah arah dalam menentukan hidup selanjutnya. Hal yang bisa menolong
membangkitkan keadaan tersebut adalah melakukan pemberdayaan masyarakat.
Masyarakat perlu mendapatkan fasilitas dan skill yang dapat menjadi bekal bagi mereka
kelak. Perawat dapat melakukan pelatihan pelatihan keterampilan yang difasilitasi dan
berkolaborasi dengan instansi ataupun LSM yang bergerak dalam bidang itu. Sehinnga
diharapkan masyarakat di sekitar daerah bencana akan mampu membangun
kehidupannya kedepan lewat kemampuan yang ia miliki.
Untuk mewujudkan tindakan di atas perlu adanya beberapa hal yang harus dimiliki oleh
seorang perawat, diantaranya:
a. Perawatan harus memilki skill keperawatan yang baik.
Sebagai perawat yang akan memberikan pertolongan dalam penanaganan bencana,
haruslah mumpunyai skill keperawatan, dengan bekal tersebut perawat akan mampu
memberikan pertolongan medis yang baik dan maksimal.
b. Perawat harus memiliki jiwa dan sikap kepedulian.
Pemulihan daerah bencana membutuhkan kepedulian dari setiap elemen masyarakat
termasuk perawat, kepedulian tersebut tercemin dari rasa empati dan mau
berkontribusi secara maksimal dalam segala situasi bencana. Sehingga dengan jiwa
dan semangat kepedulian tersebut akan mampu meringankan beban penderitaan
korban bencana.
17
apapun jika terjadi bencana alam. Segala hal yang berhubungan dengan peralatan
bantuan dan pertolongan medis harus bisa dikoordinir dengan baik dalam waktu yang
mendesak. Oleh karena itu, perawat harus mengerti konsep siaga bencana.
M. Management Bencana
Managemen siaga bencana membutuhkan kajian yang matang dalam setiap tindakan yang
akan dilakukan sebelum dan setelah terjun kelapangan. Ada beberapa hal yang bisa
dijadikan pedoman, yaitu:
1. Mempersiapkan bentuk kegiatan yang akan dilakukan
Setelah mengetahui sebuah kejadian bencana alam beserta situasi di tempat kejadian, hal
yang terlebih dahulu dilakukan adalah memilih bentuk kegiatan yang akan diangkatkan,
seperti melakukan pertolongan medis, pemberian bantuan kebutuhan korban, atau
menjadi tenaga relawan. Setelah ditentukan, kemudian baru dilakukan persiapan
mengenai alat alat, tenaga, dan juga keperluan yang akan dibawa disesuaikan dengan alur
dan kondisi masyarakat serta medan yang akan ditempuh.
3. Evaluasi kegiatan
18
Setiap selesai melakukan kegiatan, perlu adanya suatu evaluasi kegiatan yang dilakukan,
evaluasi bisa dijadikan acuan, introspeksi, dan pedoman melakukan kegiatan selanjutnya.
Alhasil setiap kegiatan yang dilakukan akan berjalan lebih baik lagi dari sebelumnya.
Penanganan korban stres akibat bencana memang tidak mudah. Pengalaman traumatis
karena bencana telah menggoncangkan dan melemahkan pertahanan individu dalam
menghadapi tantangan dan kesulitan hidup sehari-hari. Apalagi kondisi trauma, kondisi fisik
dan mental, aspek kepribadian masing-masing korban tidak sama.
Masyarakat yang menjadi korban dari suatu bencana cenderung memiliki masalah
penyesuaian perilaku dan emosional. Perubahan mendadak sering membawa dampak
psikologis yang cukup berat. Beban yang dihadapi oleh para korban tersebut dapat
mengubah pandangan mereka tentang kehidupan dan menyebabkan tekanan pada jiwa
mereka.
Munculnya gejala-gejala stres, seperti rasa takut, cemas, duka cita yang mendalam, tidak
berdaya, putus asa, kehilangan kontrol, frustrasi sampai depresi semuanya bermuara pada
kemampuan individu dalam memaknai suatu musibah secara lebih realistis. Gejala-gejala
tersebut adalah reaksi wajar dari pengalaman yang tidak wajar. Tentunya hal ini tidak bisa
dibiarkan begitu saja. Mereka memerlukan cara yang tepat untuk mengatasi masalah yang
dialami
Dalam hal ini, konsep coping merupakan hal yang penting untuk dibicarakan. Konsep
coping menunjuk pada berbagai upaya, baik mental maupun perilaku, untuk menguasai,
mentoleransi, mengurangi, atau meminimalisasikan suatu situasi atau kejadian yang penuh
tekanan. Dengan kata lain, coping merupakan suatu proses di mana individu berusaha untuk
menanggani dan menguasai situasi yang menekan akibat dari masalah yang sedang
19
dihadapinya. Beragam cara dilakukan. Namun, semua bermuara pada perubahan kognitif
maupun perilaku guna memperoleh rasa aman dalam dirinya.
Ketika seseorang tertimpa suatu musibah, biasanya ia akan mendekat kepada Tuhan dengan
meningkatkan ibadah dan perbuatan baik lainnya. Hal ini diperlihatkan oleh sebagian besar
rakyat Bantul yang mengaku tawakal dengan memasrahkan segalanya kepada Tuhan.
Ekspresi sikap pasrah itu gampang dijumpai di lokasi bencana, “Matur nuwun, Gusti,
kawula tasih dipunparingi keselametan...” (Terima kasih, Tuhan, saya masih diberi
keselamatan).
Korban bencana yang tingkat spiritualitasnya tinggi akan menjadikan mereka senantiasa
hidup dalam nuansa keimanan kepada Tuhan. Mereka akan memaknai aktivitasnya dalam
kehidupan ini sebagai ibadah kepada Tuhan. Mereka pun akan semakin tegas dan konsisten
dalam sikap dan langkah hidupnya serta semakin terikat dengan aturan Sang Pencipta
dengan perasaan ridha dan tenteram. Perasaan itu akan menjadikannya kuat dalam
menghadapi segala persoalan hidup. Mereka dapat mengambil hikmah atas musibah yang
menimpanya, tidak putus asa, dan menjadikan hambatan-hambatan yang ditemui pasca-
bencana sebagai tantangan untuk memulai kehidupan baru. Mereka menganggap bahwa
bencana bukan akhir dari segalanya. Bencana bisa diubah menjadi suatu pengalaman positif
yang memiliki makna.
Identitas spiritual dibutuhkan individu dalam mengkonstruksi makna atas pengalaman hidup.
Dengan adanya kepercayaan pribadi untuk memberikan makna luar biasa kepada realitas
kehidupan, agama akan mampu mengarahkan individu untuk memberikan penerimaan tulus
atas musibah yang terjadi. Kondisi tersebut memungkinkan individu untuk memaknai
20
kembali hidupnya dengan membuat perencanaan atas setiap kemungkinan yang terjadi
setelah mengalami musibah untuk mencapai suatu tujuan tertentu pada masa yang datang.
O. Terapi Psiko-Sosial
Tuhan menciptakan manusia dengan segenap keunikan. Sejak ia dilahirkan, manusia
memiliki potensi yang meliputi sisi psikologis, sosial, dan spiritual. Menurut Hanna
Djumhana Bastaman (1995), untuk dapat memahami manusia seutuhnya, baik dalam
keadaan sehat maupun sakit, pendekatan yang digunakan mestinya tidak lagi memandang
manusia sebagai makhluk bio-psiko-sosial (jasmani, psikologis, dan sosial), melainkan
manusia sebagai makhluk bio-psiko-sosio-spiritual (jasmani, psikologis, sosial, dan
spiritual).
Inayat Khan dalam bukunya Dimensi Spiritual Psikologi menyebutkan bahwa kekuatan
psikis yang dimiliki oleh seseorang dapat dikembangkan melalui olah spiritual yang
dilakukan melalui beberapa tahapan.
21
Pertama, berlatih melakukan konsentrasi. Dengan konsentrasi, seseorang dapat memiliki
kekuatan dan inspirasi karena berada dalam kondisi terpusat serta tercerahkan. Melalui
konsentrasi pula, seseorang belajar dan berlatih untuk menguasai dirinya.
Ketiga, agar dapat mengekspresikan kekuatan psikis, seseorang harus memiliki kekuatan
tubuh (kesehatan fisik). Artinya, orang yang sehat umumnya memiliki pernafasan dan
sirkulasi darah yang teratur dan lancar, sehingga memberikan efek bagi kemampuan
mengekspresikan dirinya.
Keempat, berlatih menjaga kestabilan dan ketenangan dalam berpikir. Artinya, seseorang
yang terbiasa mengembangkan kebiasaan-kebiasaan buruk dalam berpikir, seperti khawatir,
cemas, takut, atau ragu tentang sesuatu, akan mengurangi daya kekuatan dalam
mengekspresikan diri. Tentang hal ini, saya teringat pada kata-kata yang diungkapkan oleh
seorang pegiat pelatihan manajemen diri di sebuah seminar yang pernah saya ikuti. Kata
beliau, “Pikiranmu adalah awal dari perkataanmu. Perkataanmu adalah awal dari
perbuatanmu. Perbuatanmu adalah awal dari kebiasaanmu. Kebiasaanmu adalah awal dari
karaktermu. Karaktermu adalah takdirmu.”
22
kemauan seseorang untuk mengumpulkan dan mengembangkannya menjadi energi yang
bersifat menyembuhkan (terapeutik).
Sebuah penelitian bertajuk “Religion and Spirituality in Coping with Stress” yang
dipublikasikan oleh Journal of Counseling and Values beberapa tahun lalu, menunjukkan
bahwa semakin penting spiritualitas bagi seseorang, maka semakin besar kemampuannya
dalam mengatasi masalah yang dihadapi. Penelitian ini menyarankan bahwa spiritualitas
bisa memiliki peran yang penting dalam mengatasi stres. Spiritualitas bisa melibatkan
sesuatu di luar sumber-sumber yang nyata atau mencari terapi untuk mengatasi situasi-
situasi yang penuh tekanan di dalam hidup.
Dalam konteks ini, penting untuk diperhatikan bagaimana kondisi spiritualitas para korban
pasca-bencana. ada hubungan positif yang sangat signifikan antara spiritualitas dengan
proactive coping pada korban bencana . Semakin tinggi tingkat spiritualitas, semakin baik
pula proactive coping yang dilakukan oleh korban. Konsep proactive coping diarahkan oleh
sikap yang proaktif. Sikap tersebut merupakan kepercayaan yang relatif terus menerus ada
pada setiap individu. Di mana apabila terjadi perubahan-perubahan yang berpotensi
mengganggu keseimbangan emosional individu, maka sikap tersebut mampu memperbaiki
diri dan lingkungannya.
Terapi psiko-spiritual ini terdiri dari tiga tahapan, yaitu tahapan penyadaran diri (self
awareness), tahapan pengenalan jati diri dan citra diri (self identification), dan tahapan
pengembangan diri (self development). Pada fase penyadaran diri, para korban akan melalui
proses pensucian diri dari bekasan atau hal-hal yang menutupi keadaan jiwa melalui cara
penyadaran diri, penginsyafan diri, dan pertaubatan diri. Fase ini akan menguak hakikat
persoalan, peristiwa, dan kejadian yang dialami oleh para korban. Pun menjelaskan hikmah
atau rahasia dari setiap peristiwa tersebut.
Selanjutnya, pada fase pengenalan diri, para korban akan dibimbing kepada pengenalan
hakikat diri secara praktis dan holistik dengan menanamkan nilai-nilai ketuhanan dan moral.
Melalui fase ini, individu diajak untuk menyadari potensi-potensi yang ada di dalam dirinya.
Setelah diidentifikasi, pelbagai potensi itu perlu segera dimunculkan. Kemudian mengelola
23
potensi diri yang menonjol tersebut agar terus berkembang dan dicoba untuk
diaktualisasikan. Adalah sebuah riwayat yang menyebutkan, “Barangsiapa mengenal
dirinya, maka dia pun akan mengenal Tuhannya.”
Terakhir, pada fase pengembangan diri, para korban akan didampingi dan difasilitasi untuk
tidak hanya sehat fisikal, namun juga sehat mental dan spiritual. Kesehatan mental terwujud
dalam bentuk keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa, serta
mempunyai kesanggupan untuk menghadapi masalah yang terjadi, dan merasakan secara
positif kebahagiaan dan kemampuan dirinya. Adapun kesehatan spiritual mencakup
penemuan makna dan tujuan dalam hidup seseorang, mengandalkan Tuhan (The Higher
Power), merasakan kedamaian, dan merasakan hubungan dengan alam semesta.
Harapannya, terapi psiko-spiritual akan memberikan penerimaan yang tulus atas musibah
yang menimpa para korban gempa. Selain itu, terapi ini dapat pula mengurangi kesedihan
dan tekanan psikologis, serta membantu para korban dalam menemukan makna yang positif
24
BAB III
LAMPIRAN JURNAL
Bencana alam adalah suatunperistiwa atau serangkaian peristiwa yang dapat mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia,kerusakan lingkungan,kerugian harta benda,dan dampak
psikologis .oleh karena itu ,perlunya kesiapsiagaan perawat terlebih khusus pada aspek
psikologis disamping dari aspek fisik .dan di dalam jurnal KESIAPSIAGAAN PERAWAT
DALAM PENATALAKSANAAN ASPEK PSIKOLOGIS AKIBAT BENCANA ALAM karya
Arif munandar dan shanti wardaningsih
25
26
27
28
29
30
31
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bencana alam merupakan sebuah musibah yang tidak dapat diprediksi kapan datangnya.
Apabila bencana tersebut telah datang maka akan menimbulkan kerugian dan kerusakan
yang membutuhkan upaya pertolongan melalui tindakan tanggap bencana yang dapat
dilakukan oleh perawat.
32
DAFTAR PUSTAKA
http://susansutardjo.blogdetik.com/tag/dampak-psikologis-terhadap-korban-bencana-alam/
psikologi.or.id/.../sumbangan-psikologi-klinis-terhadap-bencana.pdf
http://kabarinews.com/psikosomatik-banyak-diderita-oleh-masyarakat-korban-bencana-alam/36556
http://www.pulih.or.id/res/publikasi/news_letter_14.pdf
http://altanwir.wordpress.com/2008/02/14/karakter-psikososial-korban-bencana/
http://dppm.uii.ac.id/dokumen/prosiding/2f_Artikel_rumiani.pdf.dppm.uii.ac.id.pdf
http://sururudin.wordpress.com/2011/04/13/penanganan-psikiatris-pada-korban-pasca-bencana/
http://radenandriansyah.blogdetik.com/penanganan-bencana/macam-macam-bencana/
33