Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

PERWALIAN

Matakuliah

Fiqih-II (Munakahat dan Mawaris)

DI SUSUN OLEH :

Aliffiah Nurrachman

Syarifah Dzurotun Nasifah

Dosen Pembimbing :

Mukhyidin, S,Ag., M, Pd.

Program Studi Pendidikan Agama Islam

FAKULTAS TARBIYAH

INSTITUT PEMBINA ROHANI ISLAM JAKARTA

1441 H / 2020 M
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warohmatullahi wabarokaatuh

Alhamdulillah segala puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan kesempatan dan
kekuatan, serta kemudahan kepada kami dalam menyelesaikan makalah ini. Tak lupa pula
shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah limpahkan kepada junjun gan kita Nabi
Muhammad SAW serta keluarga dan sahabatnya hingga yaumul akhir.

Kami menulis makalah ini bertujuan untuk memenuhi dan melengkapi tugas yang diberikan
oleh bapak dosen mata kuliah Fiqih-II (Munakahat dan Mawaris) yaitu bapak Mukhyidin,
S,Ag., M, Pd. Dengan judul “ Perwalian”

Dalam penyelesaian dan pengerjaan makalah ini, penulis mengalami beberapa kesulitan. Hal ini
disebabkan oleh kekurangtahuan penulis. Namun, berkat dukungan dari teman-teman, serta
kesungguhan dalam mengerjakan tugas ini, maka makalah ini dapat diselesaikan dengan baik.

Apabila terdapat kesalahan dalam penulisan makalah ini ataupun kekurangan, itu karena
pengetahuan kami sebagai pelajar tidak seberapa dan masih banyak belajar lagi. Oleh sebab itu,
mohon dimaafkan, dan bila ada lebihnya itu karena Allah SWT dan petunjuk-petunjuknya.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya, serta dapat menambah wawasan
dalam ilmu pengetahuan, (amin ya robbal a’lamin)

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam pandangan Islam, perkawinan itu bukan hanya urusan perdata semata, bukan pula
sekedar urusan keluarga dan urusan budaya, tetapi masalah dan peristiwa Agama. Oleh karena
perkawinan itu dilakukan untuk memenuhi sunnah Allah swt dan RasulNya saw dan
dilaksanakan sesuai dengan petunjuk Allah swt dan RasulNya saw. Rukun dan syarat
menentukan suatu perbuatan hukum.

Pernikahan adalah suatu yang sacral dilakukan dan suci, merupakan dambaan setiap
pemuda dan pemudi. Untuk mewujudkan hal tersebut tidaklah mudah dan sembarangan, karena
harus ada rukun dan syarat yang harus dipenuhi, apabila kurang salah satu dari syarat dan rukun
maka menurut ulama fiqh tidak sah pernikahan.

Adapun salah satu rukun yang harus dipenuhi adalah adanya wali dari pihak perempuan,
apabila rukun ini tidak dipenuhi maka sia-sialah pernikahan yang dilaksanakan. Pada hakikatnya
seorang perempuan harus dinikahkan oleh ayahnya yang bertindak sebagai wali, namun tidak
selamanya hubungan antara keduanya itu berjalan dengan baik, terkadang hanya karena berbeda
pendapat seorang ayah tidak mau bertindak menjadi seorang wali bagi anaknya.[1]

Kedudukan wali hanya bisa diberikan kepada orang-orang yang telah nyata
ketaqwaannya. Sementara orang yang telah melanggar syari`at tidak dapat diberikan kedudukan
yang mulia ini. Saat ini, masih banyaknya masyarakat yang kurang paham terhadap kedudukan
wali dalam perikahan, sehingga membuat mereka terkadang kurang memperdulikan masalah
perwalian ini dalam proses pelaksanaan akad nikah.

Perwalian dalam perkawinan adalah suatu kekuasaan atau wewenang syar`i atas
segolongan manusia yang dilimpahkan kepada orang yang sempurna karena kekurangan tertentu
pada orang yang dikuasai itu, demi kemaslahatan sendiri.[2]

B. Rumusan Masalah

1.      Bagaimanakah Pengertian Pewalian?


2.      Bagaimanakah kedudukan wali dalam pernikahan?
3.      Jelaskan apa saja syarat dan fungsi wali dalam perikahan?
4.      Sebutkan dan jelaskan macam-macam wali dan urutan wali dalam pernikahan?
5.      Jelaskan bagaimanakah kekuasaan wali dalam pernikahan?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Perwalian

Kata wali berasal dari bahasa Arab yaitu al wali, dengan bentuk jamaknya yaitu auliyaa yang
berarti saudara atau penolong. Sedangkan menurut istilah, kata wali mengandung pengertian
orang yang menurut hukum (agama dan adat) diserahi untuk mengurus kewajiban anak yatim
sebelum anak itu dewasa. Pihak yang mewakilkan pengantin perempuan pada waktu menikah
yaitu pihak yang melakukan akad nikah dengan pengantin pria.[3] Wali dalam nikah adalah
orang yang padanya terletak sahnya akad nikah, maka tidak sah nikahnya tanpa adanya wali.[4]
Dari beberapa pengertian di atas dapat diambil suatu pengertian bahwa wali adalah orang yang
melakukan akad nikah mewakili pihak mempelai wanita, karena wali merupakan rukun nikah,
dan akad nikah yang dilakukan tanpa wali dinyatakan batal.

Perwalian dalam arti umum yaitu, segala sesuatu yang berhubungan denga wali dan wali
mempunyai banyak arti antara lain:

A. Orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi kewajiban mengurus anak yatim serta
hartanya, sebelum anak itu dewasa.

B. Pengasuh pengganti perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan janji nikah
dengan pengantin laki-laki).

C. Orang saleh (suci penyebar agaa).

D. Kepala pemerintah.[5]

Perwalian adalah hak syar`i yang atas hal itu, kekuasaan wali atas orang lain diberlakukan tanpa
kehendaknya.

B. Kedudukan Wali

Keberadaa seorang wali dalam akad nikah adalah suatu yang mesti dan tidak sah akad
perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali, wali itu ditempatka sebagai rukun dalam perkawinan
menurut kesepakatan ulama. Dalam akad itu sendiri wali dapat berkedudukan sebagai orang
yang bertindak atas nama mempelai perempuan dan dapat pula sebagai orang yang diminta
persetujuannya untuk kelangsungan perkawinan tersebut.

Dalam kedudukannya sebagai orang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam
melakukan akad, terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama terhadap mempelai yang
masih kecil, ulama sepakat bahwa mempelai yang masih kecil tidak dapat melakukan akad
dengan sedirinya dan oleh karenanya akadya  dilakukan oleh walinya. Namun terhadap perepua
yang telah dewasa baik yang sudah janda atau yang masih perawan para ulama berbeda pendapat
disebabkan karena tidak adanya dalil yang pasti yang dapat dijadika rujukan. [6]

Wali adalah rukun dari beberapa rukun pernikahan yang lima, dan tidak sah nikah tanpa adanya
wali laki-laki. Dalam KHI pasal 19 menyatakan bahwa wali nikah dalam perkawinan merupakan
rukun yang haru dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahinya.[7]

Namun para ulama berbeda pendapat mengenai kedudukan wali dalam pernikahan. Berikut
beberapa pendapat ulama mengenai kedudukan wali dalam perikahan, yaitu:

A. Jumhur Ulama Imam Syafi`i dan Imam Malik

Mereka berpendapat bahwa wali merupakan salah satu rukun perkawinan dan tidak ada
perkawinan tanpa adanya wali. Oleh karena itu, perkawinan yang dilakukan tanpa wali
hukumnya tidak sah (batal).

B. Imam Hanafi dan Abu Yusuf (murid Imam Hanafi)

Mereka berpendapat bahwa jika wanita itu telah baliqh dan berakal, maka ia mempunyai hak
untuk menjakat nikahkan dirinya sendiri tanpa wali. Selain itu, Abu Hanifah melihat lagi
bahwa wali bukanlah syarat dalam akad nikah. Beliau menganalogikan gimana kalau mereka
sudah dewasa, berakal dan cerdas mereka bebas bertasaruf dalam hukum-hukum mu`amalah
menurut syara`, maka dalam akad nikah mereka lebih berhak lagi, karena nikah menyangkut
kepentingan mereka secara langsung. Khususnya kepada wanita janda diberikan hak
sepenuhnya mengenai urusan dirinya dan dan meniadakan campur tangan orang lain dalam
urusan pernikahannya.

Menurut beliau pula, walaupun wali bukan syarat sah nikah, tetapi apabila wanita
melaksanakan akad nikahnya dengan pria yang tidak sekufu dengannya maka wali
mempunyai hak i`tiradh (mencegah perkawinan).

C. Syarat-Syarat dan Fungsi Wali

1. Syarat-Syarat Wali

Wali dalam pernikahan diperlukan dan tidak sah suatu pernikahan yang dilakukan tanpa
adanya wali. Oleh karena itu, maka seorang wali haruslah memenuhi syarat, sebagai berikut:

A)      Islam, tidak sah orang yang bukan muslim menjadi wali nikah.
B)      Baliqh atau telah dewasa, anak kecil tidak berhak menjadi wali.
C)      Berakal, orang gila tidak ada hak menjadi wali.
D)     Laki-laki, perempuan tidak dibolehkan menjadi wali.
E)      Adil, telah dikemukakan bahwa wali itu harus adil maksudnya yaitu tidak bermaksiat,
tidak fasik, orang baik-baik, orag yang tidak membiasakan diri berbuat mungkar.
Sayid Sabiq dalam bukunya Fiqh Sunnah mengemukakan beberapa persyarata wali nikah
yaitu sebagai berikut: merdeka, berakal sehat, dan dewasa. Budak, orang gila, dan anak keci
tidak boleh menjadi wali, karena orang tersebut tidak bisa mengwalikan dirinya sendiri
apalagi terhadap orang lain. Dan syarat yang ke empat yaitu beragama Islam.[8]

2. Fungsi Wali

Dalam Islam ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan khususnya pada masalah
perkawinan. Seorang laki-laki jika telah dewasa dan aqil (berakal), maka ia berhak untuk
melakukan akad nikahnya sendiri. Hal ini berbeda dengan wanita, walaupun ia dimintakan
persetujuan oleh walinya, tetapi tidak diperkenankan untuk melakukan akad nikahnya sendiri.

Suatu perkawinan sangat mungkin menjadi titik tolak berubahnya hidup dan kehidupan
seseorang. Dan dengan adanya anggapan bahwa wanita (dalam bertindak) lebih sering
mendahulukan perasaan daripada pemikirannya, maka dikhawatirkan ia dapat melakukan
sesuatu yang menimbulkan kehinaan pada dirinya yang hal itu juga akan menimpa walinya.

Disamping itu pada prakteknya di masyarakat, pihak perempuanlah yang mengucapkan ijab
(penawaran), sedangkan pengantin laki-laki diperintahkan mengucapkan qabul (penerimaan).
Karena wanita itu pada umumnya (fitrahnya) adalah pemalu, maka pengucapan ijab itu perlu
diwakilkan kepada walinya. Hal ini berarti bahwa fungsi wali dalam pernikahan adalah untuk
menjadi wakil dari pihak perempuan untuk mengucap ijab dalam akad nikah.

D. Macam-Macam Wali Nikah dan Urutan Wali

1. Macam-Macam Wali

A. Wali Nasab

Wali nasab yaitu orang yang terdiri dari keluarga calon mempelai wanita dan berhak
menjadi wali. Imam Syafi`i berpedapat bahwa anak laki-laki tidak termasuk ashabah seorang
wanita.[9] Menurut Imam Syafi`i, suatu pernikahan baru dianggap  sah bila dinikahkan oleh
wali yang dekat lebih dulu, bila tidak ada yang dekat-dekat, baru dilihat urutan secara tertib.
Maka selanjutnya bila wali jauh pun tidak ada, maka hakimlah yang bertidak sebagai wali.
[10]

B. Wali Hakim

Wali hakim yaitu orang yang diangkat oleh pemerintahuntuk bertindak sebagai wali
dalam  suatu pernikahan. Wali hakim dapat menggantikan wali nasab apabila:

1)      Calon mempelai wanita tidak mempunyai wali nasab sama sekali.


2)      Walinya mafqud, artinya tidak tentu keberadaannya.
3)      Wali berada di tempat yang jaraknya sejauh perjalanan yang membolehkan untuk shalat
qashar.
4)      Walinya berada dalam penjara atau tahanan yang tidak bisa dijumpai.

5)      Wali sedang melakukan ibadah haji atau umrah.


6)      Walinya gila atau fasik.

C. Wali Muhakkam

Wali Muhakkam yaitu seseorag yang diangkat oleh kedua calon suami-isteri untuk bertidak
sebagai wali dalam akad nikah mereka. Orang yang bisa diangkat sebagai wali muhakkam
adalah orang lain yang terpandang, disegani, luas ilmu fiqhnya terutama tentang
munakahat, berpandangan luas, adil, islam dan laki-laki.[11]

Adapun cara pengangkatannya secara tahkim adalah: calon suami dan isteri mengucapkan
tahkim yang sama kemudian calon hakim tersebut menjawab. Wali muhakkam terjadi
apabila:

1)      Wali nasab tidak ada.


2)      Wali nasab qaib atau bepergian sejauh dua hari perjalanan serta tidak ada wakilnya
disitu.
3)      Tidak ada qadi atau pegawai pencatat nikah.

D. Wali Maula

Wali maula yaitu wali yang menikahkan budaknya, artinya majikannya sendiri. Laki-laki
boleh menikahkan budak perempuannya yang berada dalam kekuasaannya bilamana budak
itu rela menerimanya.

2. Urutan Wali

Hanafi mengatakan bahwa urutan pertama perwalian itu ditangan anak laki-laki wanita yang
akan menikah itu, jika dia memang punya anak, sekalipun hasil zina. Kemudian berturut-
turut: cucu laki-laki (dari anak laki-laki), ayah, kakek dari pihak ayah, saudara kandung,
saudara laki-laki seayah, anak saudara laki-laki sekandung, anak saudara laki-laki seayah,
paman (saudara ayah), anak paman dan seterusnya. Dari urutan ini, jelaslah bahwa penerima
wasiat dari ayah tidak memegang perwalian nikah, sekalipun wasiat itu disampaikan secara
jelas.

Maliki mengatakan bahwa wali itu adalah ayah, penerima wasiat dari ayah, anak laki-laki
(sekalipun anak zina) manakala wanita tersebut punya anak, lalu berturut-turut: saudara laki-
laki, kakek, paman, dan seterusya, dan sesudah semua itu tidak ada, perwalia beralih ke
tangan hakim.
Urutan yang digunakan syafi`i adalah ayah, kakek dari pihak ayah, saudara laki-laki kandung,
saudara laki-laki seayah, anak laki-laki dari saudara laki-laki, paman, anak paman, dan
seterusnya, dan bila semua itu tidak ada, perwalian itu beralih ke tangan hakim.
Hambali memberi urutan: ayah, penerima wasiat dari ayah, kemudia yang terdekat dan
seterusnya, mengikut urutan yang ada dalam waris, dan baru beralih ketangan hakim.

Kemudian Hanafi mengatakan bahwa manakala ayah atau kakek mengawinkan anak gadis
mereka yang masih kecil dengan orang yang tidak sekufu, maka akad nikahnya sah jika ia
tidak dikenal sebagai pemilik yang jelek. Akan tetapi, bila yang mengawinkannya bukan ayah
atau kakeknya, dengan orang yang tidak sepadan, maka akad nikah tidak sah sama sekali.

Sedangkan Hambali dan Maliki berpendapat bahwa seorang ayah boleh mengawinkan anak
gadisnya yang masih kecil kurang dari mahat mitsil, sedangkan syafi`i mengatakan bahwa
ayah tidak berhak atas itu, dan bila dia melakukannya juga, maka si anak boleh menuntut
mahar mitsil bagi dirinya.[12]

E. Kekuasaan Wali

Delapan persoalan yang berhubungan dengan kekuasaan wali, yaitu sebagai berikut:

1.      Gadis yang belum dewasa (masih kecil) dinikahkan oleh ayahnya.


2.      Gadis yang sudah dewasa dinikahkan oleh ayahnya.
3.      Gadis yang belum dewasa dinikahkan oleh wali selain ayahnya.
4.      Gadis yang sudah dewasa dinikahkan oleh wali selain ayahnya.
5.      Janda yang belum dewasa dinikahkan oleh ayahnya.
6.      Janda yang belum dewasa dinikahkan oleh wali selain ayahnya.
7.      Janda yang dewasa dinikahkan oleh ayahnya.
8.      Janda yang dewasa dinikahkan oleh wali selain ayahnya.

Delapan macam masalah tersebut tidak lepas dari hukum sah dan tidak sah, atau sah dengan
hak khiyar bagi wanita. Ketentuan hukum bagi tiap-tiap masalah tersebut juga tidak terlepas
dari perbedaa pendapat para ulama fiqh.

Perbedaan pendapat dalam masalah tersebut disebabkan berlainan pandangan terhadap


keadaan wadah hukum (wanita) umpamanya:

a.       Gadis
b.      Janda
c.       Dewasa
d.      Tidak dewasa
e.       Dinikahkan oleh ayah
f.       Dinikahkan oleh wali selain ayah[13]
1. Janda

Tidak ada perbedaan pedapat ulama bahwa yang dikatakan janda adalah wanita yang
keperawanannya hilang disebabkan persetubuhan dari akad nikah yang sah atau fasit.

2. Gadis yang belum dewasa dinikahkan oleh wali selain ayah

Wali selain ayah menikahkan gadis yang belum dewasa (dibawah umur). Wali selain
ayah dapat dibagi menjadi dua golonga, yaitu pertama datuk (kakek), kedua wali-wali
selain datuk

Syafi`i, Maliki dan Hambali berpendapat bahwa: jika wanita yang baligh dan berakal
sehat itu masih gadis, maka hak mewakikan dirinya ada pada wali, akan tetapi jika ia
janda, maka hak itu ada pada keduanya. Wali tiak boleh mengawinkan wanita janda
tanpa persetujuannya sebaliknya wanita itupun tidak boleh mengawika dirinya tanpa
restu dari wali.

Hanafi mengatakan bahwa wanita yang telah baligh dan berakal sehat boleh memilih
sendiri suaminya dan boleh pula melakukan akad nikah sendiri, baik itu gadis maupun
janda. Tidak ada seorangpun yang mempuyai wewenang atas dirinya atau menentang
pilihannya, dengan syarat orang yang dipilih itu sekufu dengannya dan maharnya tidak
kurang dari dengan mahar mitsil.[14]
BAB III

PENUTUP

 Kesimpulan

1. Pengertian wali

wali adalah orang yang melakukan akad nikah mewakili pihak mempelai wanita, karena
wali merupakan rukun nikah, dan akad nikah yang dilakukan tanpa wali dinyatakan batal.

2. Kedudukan Wali

Keberadaan seorang wali dalam akad nikah adalah suatu yang mesti dan tidak sah akad
perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali, wali itu ditempatka sebagai rukun dalam
perkawinan menurut kesepakatan ulama. Dalam akad itu sendiri wali dapat berkedudukan
sebagai orang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dan dapat pula sebagai
orang yang diminta persetujuannya untuk kelangsungan perkawinan tersebut.

Dalam KHI pasal 19 menyatakan bahwa wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun
yang haru dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahinya

3. Syarat dan fungsi wali

a. Syarat wali, yaitu: Islam, Baliqh, Berakal, Laki-laki, Adil (yaitu tidak bermaksiat,
tidak fasik, orang baik-baik, orag yang tidak membiasakan diri berbuat mungkar).

b. Fungsi Wali, yaitu: Dalam Islam ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan
khususnya pada masalah perkawinan. Seorang laki-laki jika telah dewasa dan aqil
(berakal), maka ia berhak untuk melakukan akad nikahnya sendiri. Hal ini berbeda
dengan wanita, walaupun ia dimintakan persetujuan oleh walinya, tetapi tidak
diperkenankan untuk melakukan akad nikahnya sendiri.

4. Macam wali dan urutan wali nikah

a. Macam wali

1)      Wali nasab yaitu orang yang terdiri dari keluarga calon mempelai wanita dan
berhak menjadi wali.
2)      Wali hakim yaitu orang yang diangkat oleh pemerintahuntuk bertindak sebagai
wali dalam  suatu pernikahan.
3)      Wali Muhakkam yaitu seseorag yang diangkat oleh kedua calon suami-isteri untuk
bertidak sebagai wali dalam akad nikah mereka.
4)      Wali maula yaitu wali yang menikahkan budaknya.
b.      Urutan wali

1)      Bapak, Kakek sebelah bapak dan seterusnya ke atas.


2)      Saudara laki-laki kandung
3)      Saudara laki-laki sebapak
4)      Anak laki-laki dari saudara laki-laki kadung
5)      Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak
6)      Paman sebapak
7)      Anak laki-laki paman kandung
8)      Anak laki-laki paman sebapak
5.      Kekuasaan wali

jika wanita yang baligh dan berakal sehat itu masih gadis, maka hak mewakikan dirinya
ada pada wali. Akan tetapi jika ia janda, maka hak itu ada pada keduanya, wali tidak
boleh mengawinkan wanita janda tanpa persetujuannya sebaliknya wanita itupun tidak
boleh mengawika dirinya tanpa restu dari wali.
DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Slamet, dkk, Fiqh Munakahat, Bandung: Pustaka Setia, 1999.


Aljaziri, Abdurrahman, Al Fiqh `ala Mazaahib Al-arba`ah, Beirut: Daar AL-Fikr, Juz
4.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 1989.
Hasbi, Alimuddin, Fiqh Muqarran,  Lhokseumawe: Sefa Bumi Persada, 2015.
Kompilasi Hukum Islam.
M.Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bumi Akasara, 1999.
M.Yusuf, Hukum Perkawinan Dalam Islam Menurut Empat Mazhab,  Jakarta: Hida
karya Agung, 1996.
Raman Ghozali, Abdul, Fiqh Munakahat,  Jakarta: Kencana, 2008.
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafido
Persada, 2000.
Sayyid Sabiq, Muhammad, Fiqih Sunnah, Jakarta Timur: Tinta Abadi Gemilang,
2013.

[1] Abdul Raman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 190.


[2] Alimuddin Hasbi, Fiqh Muqarran, (Lhokseumawe: Sefa Bumi Persada, 2015), h. 93
[3] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 1007.
[4] Abdurrahman  Aljaziri, Al Fiqh `ala Mazaahib Al-arba`ah, (Beirut: Daar AL-Fikr, Juz 4), h. 29.
[5] Ibid, Alimuddin Hasbi, h. 93.
[6] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafido Persada, 2000), h. 74.
[7] Kompilasi Hukum Islam.
[8] Muhammad Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah (Jakarta Timur: Tinta Abadi Gemilang, 2013), h. 371.
[9] Slamet Abidin, dkk, Fiqh Munakahat (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 90.
[10] M.Yusuf, Hukum Perkawinan Dalam Islam Menurut Empat Mazhab (Jakarta: Hidakarya Agung, 1996), h. 55.
[11] M.Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: Bumi Akasara, 1999), h. 25.
[12] ibid, Alimuddin Hasbi, h. 95-96.
[13] Ibid, h. 101-102.
[14] Ibid, h. 102-103.

Anda mungkin juga menyukai