Di susun oleh:
Pebi Oktaviani
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan pada kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat,
hidayah serta karunia-Nya kepada kami sehingga saya berhasil menyelesaikan tugas makalah
Antropologi yang berjudul “Kurikulum dan Pola Perkembangan Ilmu Pengetahuan pada
Masa Klasik Zaman Keemasan” tepat pada waktunya.
Saya menyadari bahwa makalah yang saya selesaikan ini masih jauh dari kesempurnaan.
Seperti halnya pepatah “ tak ada gading yang tak retak “, oleh karena itu saya mengharapkan
kritik dan saran dari semua kalangan yang bersifat membangun guna kesempurnaan makalah
kami selanjutnya.
Akhir kata, saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Serta kami berharap agar makalah ini
dapat bermanfaat bagi semua kalangan.
Aamiin.
Penyusun
Pebi Oktaviani
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan Islam sesungguhnya telah tumbuh dan berkembang sejalan dengan adanya
dakwah Islam yang telah dilakukan Nabi Muhammad SAW. Berkaitan dengan itu pula
pendidikan Islam memiliki corak dan karakteristik yang berbeda sejalan dengan upaya
pembaharuan yang dilakukan secara terus – meneruskan pascagenerasi nabi, sehingga dalam
perjalanan selanjutnya pendidikan Islam terus mengalami perubahan baik dari segi kurikulum
(mata pelajaran).
Secara eksplisit, pendidikan mempunyai nilai yang strategis dan urgen dalam pembentukan
suatu bangsa. Untuk menjadikan pendidikan yang berarti harus menyediakan kurikulum
pendidikan yang baik tentunya kepada peserta didik. Sebagaimana halnya dengan faktor-faktor
pendidikan lainnya, maka kurikulum pun memainkan peranan penting dalam mewujudkan tujuan
pendidikan. Kurikulum mengalami perkembangan mengikuti perkembangan kebudayaan dan
peradaban masyarakat. Dalam perkembangannya, tentu saja kurikulum mengalami pembaruan
dalam isinya, sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya.
Munculnya pendidikan Islam bersamaan dengan lahirnya Islam itu sendiri. Pendidikan
pada awalnya dilakukan dari rumah ke rumah, di masjid-masjid dan sebagainya. Ini dilakukan
dengan peralatan yang sederhana sekali. Pendidikan Islam sebagai suatu sistem merupakan
sistem tersendiri di antara sistem pendidikan di dunia ini, kendatipun memiliki banyak
persamaan. Dikatakan sistem tersendiri karena cakupannya dan kesadarannya terhadap detak
jantung, karsa dan karya manusia.
3
Kurikulum pendidikan Islam klasik merupakan suatu sistem pendidikan klasik yang
berbeda dengan sistem pendidikan Islam yang ada pada saat ini. Kalau ditinjau dari aspek tujuan,
guru, murid, kurikulum, metode, fasilitas, dan sarana prasarana, jelas terlihat perbedaannya.
Sudah banyak terjadi perkembangan-perkembangan dalam dunia pendidikan Islam.
Runtuhya kerajaan Romawi pada abad ke 5 M merupakan awal dari “Zaman Pertengahan
yang gelap”, yaitu ketika Eropa mengalami kemunduran peradaban, sedangkan di Timur
peradaban mengalami kemajuan yang pesat. Sehingga Islam selama kurang lebih lima abad
menjadi mercusuar dalam segala aspek.
Usaha-usaha penaklukan yang dilakukan umat Islam pada masa sebelumnya yaitu pada
masa Khulafaur rasyidin dan Bani Umayyah, pada masa Abbasiyah dikurangi dan mengarahkan
perhatian terhadap perdamaian. Pelaksanaan pendidikan Islam semakin meningkat pada masa
dinasti Umayyah yang meletakkan dasar-dasar bagi kemajuan pendidikan. Sehingga masa ini
disebut dengan “masa inkubasi” atau masa bagi perkembangan intelektual Islam.
Peradaban Islam mengalami puncak keemasan pada masa Bani Abbasiyah adalah pada
pemerintahan Al-Ma’mun (813-833 M), yaitu ketika orang-orang Islam mulai menerjemahkan
buku-buku Yunani, Persia dan India ke dalam bahasa mereka. Perhatian Al-Ma’mun terhadap
proses pendidikan terutama proses penerjemahan buku-buku tersebut sangat besar. Maka sejak
awal periode penerjemahan ini, pendidikan Islam mulai memiliki potensi-potensi dalam
memgembangkan kurikulum yang beraneka ragam, mencakup berbagai bidang ilmu
pengetahuan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Kurikulum Pendidikan Islam klasik (750 – 1350 M)?
2. Bagaimana Kurikulum Pendidikan Islam sebelum berdirinya madrasah?
3. Bagaimana Kurikulum Pendidikan Islam sesudah berdirinya madrasah?
C. Tujuan
1. Untuk mengkaji Kurikulum Pendidikan Islam klasik (750 – 1350 M)
2. Untuk menganalisa perbedaan Kurikulum Pendidikan Islam sebelum dan sesudah berdirinya
madrasah
4
BAB II
PEMBAHASAN
5
sejumlah pengalaman pendidikan, budaya, social, olah raga dan seni yang disediakan oleh
murid-muridnya di dalam dan luar sekolah.
Crow and crow mendefinisikan seperti yang dikutif oleh Ramayulis, bahwa Kurikulum
adalah rancangan pengajaran atau sejumlah mata pelajaran yang disusun secara sistematis untuk
menyelesaikan seuatu program untuk memperole ijasah. Menurut Zakiyah Darajat adalah suatu
program yang direncanakan dalam bidang pendidikan dan dilaksanakan untuk mencapai
sejumlah tujuan-tujuan pendidikan tertentu.
Sementara itu, menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang system pendidikan nasional, pada
bab I, tentang ketentuan umum pasal 1 ayat (1) diyatakan bahwa: Kurikulum adalah seperangkat
dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pengajaran serta cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
6
John Dewey merupakan tokoh pendidikan dalam aliran Progesifisme. Dia mengatakan
bahwa pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara
intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia.
Ki Hajar Dewantara
Pendidikan adalah tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. adapun maksudnya,
pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar
mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan
dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
Menurut Athiyah al- Abrashi
Pendidikan adalah upaya mempersiapakan individu untuk kehidupan yang lebih
sempurna, kebahagiaan hidup, cinta tanah air, berkompetensi dalam mengucapakan
bahasa lisan dan bahasa tulisan serta terampil dalam berkreatifitas.
Menurut UU No. 20 Th. 2003
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
mengajar agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara.
7
a. Kurikulum Pendidikan Rendah
Terdapat kesukaran ketika ingin membatasi mata pelajaran yang membentuk kurikulum
untuk semua tingkat pendidikan yang bermacam-macam. Pertama, karena tidak adanya
kurikulum yang terbatas, baik untuk tingkat rendah maupun tingkat penghabisan, kecuali Al-
Qur’an yang terdapat pada seluruh kurikulum. Kedua, kesukaran membedakan di antara fase-
fase pendidikan dan lamanya belajar karena tidak ada masa tertentu yang mengikat murid-murid
untuk belajar pada setiap lembaga pendidikan.
Sebelum berdirinya madrasah, tidak ada tingkatan dalam pendidikan Islam, tetapi hanya
satu tingkat yang bermula di Kuttab dan berakhir di diskusi Halaqah. Tidak ada kurikulum
khusus yang diikuti oleh seluruh umat Islam. Di lembaga Kuttab biasanya diajarkan membaca
dan menulis, di samping Al-qur’an. Kadang diajarkan bahasa, nahwu dan arudh.
Terdapat contoh gambaran dari kurikulum tingkat ini. Al-Mufaddal bin Yazid bercerita
bahwa suatu hari ia melihat anak laki-laki dari seorang perempuan Baduwi. Karena tertarik pada
anak itu lalu ia bertanya pada sang ibu. Sang ibu menjawab sebagai berikut, “Apabila berumur
lima tahun, saya akan menyerahkan pada seorang muaddib (guru) agar ia mengajari menghafal
dan membaca alqur’an. Dengan demikian ia suka akan kebanggaan bangsanya dan ia kan
mencari peninggalan nenek moyangnya; apabila dewasa, saya akan mengajarinya cara
menunggang kuda sehingga ia terlatih dengan baik, lalu ia naik kuda sambil memanggul senjata.
Kemudian ia akan mondar mandir di lorong-lorong kampungnya untuk mendengarkan suara
orang-orang yang akan meminta bantuan.”
Sedangkan kurikulum yang ditawarkan oleh Ibnu Sina untuk tingkat ini adalah mengajari
Alqur’an, karena anak-anak dari segi fisik dan mental, telah siap menerima pendiktean, dan pada
waktu yang sama diajarkan juga huruf hijaiyah dan dasar agama kemudian syair berikut artinya.
Setelah anak-anak belajar Alqur’an dan dasar agama, kemudian diarahkan untuk mempelajari
sesuatu yang sesuai dengan kecenderungannya.
Kurikulum pada tingkat ini bervariasi tergantung pada tingkat kebutuhan masyarakat.
Karena sebuah kurikulum dibuat tidak akan pernah lepas dari faktor sosiologis, politis ekonomis
masyarakat yang melingkupinya. Di lembaga pendidikan masyarakat umum, orang tua kurang
mempunyai peran dalam penyusunan kurikulum karena anak belajar suatu mata pelajaran
tergantung pada guru yang tersedia. Berbeda dengan yang ada di istana, dimana anak memang
8
diarahkan untuk menjadi pemimpin yang akan menggantikan bapak-bapak mereka, di lembaga
pendidikan ini rencana pelajaran disusun oleh orang tua mereka.
Kurikulum pada tingkat ini tidak dipersiapkan untuk menuju pendidikan yang lebih tinggi.
Ada jurang lebar yang memisah kedua lembaga tersebut sehingga orang yang ingin belajar
setelah tingkat dasar dalam masalah sastra, kajian keagamaan, hukum dan filsafat, harus
menempuh jalur sendiri dan meminta secara pribadi untuk bergabung dengan halaqah milik
seorang syaikh.
9
karyanya, Ihsaal Ulum (Enumeration of The Sciences) yang di Barat dikenal dengan
Scientist, dia tidak memasukkan studi keagamaan dalam klasifikasi pengetahuannya.
Kurikulum kedua, yaitu Kurikulum ilmu pengetahuan. Ia merupakan ciri khas pada fase
kedua perkembangan pada pemikiran umat Islam, yaitu ketika umat Islam mulai bersentuhan
dengan pemikiran Yunani, Persia dan India. Menurut Mahmud Yunus, kurikulum untuk
pendidikan jenis ini adalah mantiq, ilmu alam dan kimia, ilmu musik, ilmu-ilmu pasti, ilmu-ilmu
ukur, ilmu-ilmu falak, ilmu ketuhanan, ilmu hewan, ilmu tumbuh-tumbuhan dan kedokteran.
10
Pada zaman keemasan Islam, aktivitas-aktivitas kebudayaan pendidikan Islam tidak
mengizinkan teologi dan dogma membatasi ilmu pengetahuan mereka. Mereka menyelidiki
setiap cabang ilmu pengetahuan manusia, baik fisiologi, sejarah, historiografi, hukum, sosiologi,
1
kesusastraan, etika, filsafat, teologi, kedokteran, mate-matika, logika, jurisprudensi, seni,
arsitektur, atau ilmu keramik.
Sejalan dengan perkembangan zaman dan tingkat kebutuhan, mendirikan madrasah adalah
dianggap sesuatu yang signifikan. Pendirian lembaga pendidikan tinggi Islam ini di bawah
patronase wazir Nizam Al-Mulk (1064 M). Biasanya sebuah madrasah dibangun untuk seorang
ahli fiqih yang termasyhur dalam suatu mazhab empat. Nuruddin Mahmud bin Zanki misalnya,
beliau telah mendirikan beberapa madrasah untuk mazhab Hanafi dan Syafi’I di Damaskus dan
Halab. Beliau juga membangun sebuah madrasah untuk mazhab ini di kota Mesir.
Di satu sisi, berdirinya madrasah merupakan sumbangan Islam bagi peradaban sesudahnya.
Akan tetapi, disisi lain hal ini membawa dampak yang buruk bagi dunia pendidikan setelah
hegemoni negara yang terlalu kuat terhadap madrasah. Akibatnya kurikulum madrasah ini
dibatasi hanya pada wilayah hukum (fiqih) dan teologi. Legitiumasi “makruh” terhadap
penggunaan nalar setelah runtuhnya Mu’tazilah, ilmu-ilmu profan yang sangat dicurigai dihapus
dari kurikulum madrasah. Hal ini menyebabkan mereka yang punya minat tinggi terhadap ilmu-
ilmu ini terpaksa belajar secara otodidak. Karenanya ilmu-ilmu profan banyak berkembang di
lembaga-lembaga non formal.
Satu pertanyaan yang dapat kita kembangkan, bahwa kenapa legalisme fiqih atau syariat
terlalu dominan terhadap lembaga-lembaga pendidikan Islam? Menurut Fazlur Rahman, ada
pandangan yang terus menerus diungkap, yaitu karena ilmu itu luas dan hidup ini singkat, maka
orang harus memeberikan prioritas, dan prioritas itu dengan sendirinya diberikan pada sains-
sains agama yang membawa kejayaan di akhirat.(1)
Sedangkan menurut Azyumardi, karena memang lembaga-lembaga ini dikuasai oleh mereka
yang ahli agama, dan tidak kalah pentingnya adalah tidak otonomnya madrasah dari tanah waqaf
yang diberikan oleh para dermawan dan penguasa politik. Motivasi kesalehan mendorong para
dermawan untuk mengarahkan madrasah bergerak dalam bidang ilmu-ilmu agama karena di
anggap mendatangkan pahala. Di pihak lain, para penguasa politik pemrakarsa pendirian
madrasah, apakah karena didorong oleh motivasi politik atau motivasi murni untuk menegakkan
11. Fazlur Rahman, Islam dan Tantangan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual, Bandung;
Penerbit Pustaka, 1995, hal. 39
11
“Ortodoksi” Sunni, sering mendikte madrasah untuk tetap berada dalam kerangka “Ortodoksi”
itu sendiri.
Pada masa pemerintahan Bani Abbas, pendidikan dan pengajaran mengalami kemajuan yang
gemilang. Pada masa itu prioritas umat islam mampu membaca dan menulis, pada masa ini
pendidikan da pengajaran diselenggarakan dirumah-rumah penduduk dan di tempat-tempat
umum lainnya, misalnya Muktab.
Menurut keterangan yang ada, terdapat sekitar 30.000 masjid yang sebagian besar
dipergunakan sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran tingkat dasar, kurikulum pendidikan
pada tingkat dasar terdiri pelajaran membaca, menulis, tata bahasa, hadist, prinsip-prinsip dasar
matematika dan pelajaran syair. Sedangkan pendidikan tingkat menengah terdiri dari pelajaran
taysir Al-Qur’an, pembahasan kandungan Al-Qur’an, Sunah Nabi, Fiqih, dan Ushul Fiqih,
Kajian ilmu kalam (Teologi), ilmu Retorika dan Kesustraan. Pada pendidikan tingkat tinggi,
mengadakan pengkajian dan penelitian mandiri dibidang Astronomi, Geografi dunia,
Filsafat,Geometri, Musik dan Kedokteran.
Dinasti bani Abbasiyah yang berkuasa sekitar lima abad lebih, merupakan salah satu dinasti
islam yang sangat peduli didalam upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban islam.
Bani Abbasiyah telah menyiapkan segalanya, diantara fasilitas yang diberikan adalah
pembangunan pusat riset dan terjemah. Para ilmuan digaji sangat tinggi dan kebutuhan hidupnya
dijamin oleh Negara. Bahkan khalifah Bani Abbasiyah meminta siapa saja termasuk para pejabat
dan tentara untuk mencari naskah-naskah yang berisi ilmu pengetahuan dan peradaban untuk
dibeli dan diterjemahkan menjadi bahasa arab.
12
tertentu yang terdiri dari beberapa komponen: tujuan, isi, organisai dan strategi. Pengertian dan
komponen demikian agaknya sangat sulit ditemukan dalam literatur-literatur kependidikan Islam
klasik. Untuk itu, kurikulum pendidikan Islam klasik dalam makalah ini dipahami dengan
subyek-subyek ilmu pengetahuan yang diajarkan dalam proses pendidikan.
2. Islam Klasik
Terminologi masa klasik ini memberi membuka peluang untuk diperdebatkan : sejak dan
hingga kapan(?). Apakah dalam kacamata dunia muslim atau penulis barat. Sebab, para penulis
Barat mengidentikkan abad ke-7 hingga abad ke-12/13 M sebagai zaman kegelapan (dark age),
sementara para penulis muslim mengidentikkannya dengan masa Keemasan (al-‘ashr al-
dzahabi). Untuk memperoleh kejelasan batasan waktu, penulis membatasi masa klasik dalam
kacamata penulis muslim, seperti batasan yang dilakukan Harun Nasution. Ia mengklasifikasi
sejarah Islam pada tiga masa: (a) Periode klasik dimulai tahun 650 hingga 1250 M, sejak Islam
lahir hingga kehancuran Baghdad. (b) Periode pertengahan sejak tahun 1250 hingga 1800 M.,
sejak Bghdad hancur hingga munculnya ide-ide pembaharuan di Mesir dan (c) Periode modern,
mulai tahun 1800 M hingga sekarang. Namun, dalam makalah ini, “periode islam klasik”
dibatasi pada sekitar tahun 750 - 1350 M, yaitu pada masa kedaulahan Bani Abbasiyah (750-
1258 M) dan masa setelahnya hingga tahun 1350 M.
3. Madrasah
Kata madrasah dalam bahasa Arab berarti tempat atau wahana untuk mengenyam proses
pembelajaran. Dalam bahasa Indonesia madrasah disebut dengan sekolah yang berarti bangunan
atau lembaga untuk belajar dan memberi pengajaran. Karenanya, istilah madrasah tidak hanya
diartikan sekolah dalam arti sempit, tetapi juga bisa dimaknai rumah, istana, kuttab,
perpustakaan, surau, masjid, dan lain-lain, bahkan seorang ibu juga bisa dikatakan madrasah
pemula.
Dari pengertian di atas maka jelaslah bahwa madrasah adalah wadah atau tempat belajar
ilmu-imu keislaman dan ilmu pengetahuan keahlian lainnya yang berkembang pada zamannya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa istilah madrasah bersumber dari Islam itu sendiri.
E. Study Pustaka
Hasil penelitian Hasani Asro tentang Kurikulum Pendidikan Islam Klasik(2) yang
diseminarkan pada 27 Oktober 2000 di Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ini menyimpulkan hal yang dapat menjadikan Islam menghasilkan ilmu pengetahuan begitu
banyak dalam waktu yang singkat dikarenakan Islam yang bersifat dinamis dan kreatif pada satu
sisi, tetapi juga reaksioner dan finalistic di sisi lain.
13
Hasil penelitian lain oleh Susari tentang Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam Sebelum
Madrasah yang melihat bahwa kurikum yang diajarkan pada lembaga pendidikan periode awal
hanyalah ilmu agama. Namun setelah adanya persentuhan dengan peradaban Helenisme, maka
materi yang ditawarkan tidak hanya ilmu agama, tetapi juga ilmu pengetahuan umum, seperti
filsafat, matematika dan kedokteran. Atas dasar ini, lembaga pendidikan islam diklasifikasikan
menjadi dua, yaitu lembaga pendidikan formal dan informal.2
2. Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, 2010: Rajawali Press- hal 113
14
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kurikulum pendidikan islam pada masa klasik dimunculkan oleh cendikiawan muslim pada
masa klasik, seperti al-Kindi, al-Ghazali, al-Farabi, Ibnu sina dan lain-lain. Kurikulum
pendidikan ini di bagi kepada dua bagian. Bagian pertama, kurikulum sebelum sebelum
madrasah. Kedua, kurikulum setelah bedirinya madrasah.
Kedua bagian ini, masing-masing mempunyai bagian-bagiannya. Kurikulum pendidikan
sebelum madrasah terbagi dua bagian, diantaranya: kurikulum pendidikan rendah dan kurikulum
pendidikan tinggi. Kemudian pendidikan setelah berdirinya madrasah ini lebih menitik beratkan
kepada tingkat dewasa (mahasiswa).
Kurikulum pendidikan rendah terbagi ke dua bagian. Pertama, kurikulum pendidikan untuk
masyarakat umum. Kedua, kurikulum pendidikan untuk orang istana. Untuk masyarakat umum,
orang tua mereka tidak mempunyai peran dalam maslah pendidikan, karena itu diatur oleh guru
mereka langsung seperti ilmu cara baca al-quran, sejarah dsb. Sedang kurikulum orang istana,
diatur oleh orang tua (para pejabat), karena anaknya dicetak untuk jadi pemimpin untuk
melanjutkan kepemimpinan orang tuannya, mereka konsentrasi ilmu kepemimpinan, peperangan,
sejarah, dan tanpa mengesampingkan ilmu al-quran dan agama.
Kemudian kurikulum pendidikan tinggi ini lebih kepada kebebasan untuk memilih dan
berpindah-pindah dengan menggunakan metode halaqoh. Dan tidak diharuskan seorang murid
untuk mengikuti syeikh-syeikhnya. Begitu juga syeikhnya tidak mewajibkan kepada muridnya
mengikutinya. Kurikululum pada tingkat ini terbagi dua yaitu, kurikulum agama dan
pengetahuan umum.
Kemudian kurikulum setelah berdirinya madrasah, hal ini lebih kepada ilmu-ilmu syariat
dan teologi. Karena para ahli atau yang berkuasa pada saat itu adalah para ilmuan dibidang
agama, tetapi tidak membuat patah kepada pelajar untuk mempejari ilmu umum. Mereka mencari
sendiri-sendiri ilmu-ilmu umum itu.
Kurikulum pada zaman klasik secara garis besar sudah ada walau tidak ada bukti tertulis
tentang kurikulum tersebut, nyatanya yang lebih mendominasi pada sebuah madrasah adalah
kurikulum yang didalamnya adalah muatan tentang agama. Dan biasa yang menentukan
15
kurikulum adalah orang-orang yang mempunyai otoritas atau penyusun perencanaan mata
pelajaran pendidikan Islam klasik adalah ulama yang menguasai bidangnya masing-masing.
16
DAFTAR PUSTAKA
17