Anda di halaman 1dari 13

KURIKULUM DAN METODE PENDIDIKAN ISLAM KLASIK

Oleh
Ardiansyah
Guru Akidah Akhlak Mts Al Washliyah 21 Hamparan Perak
Email : ardhiyansha85@gmail.com

Abstrak
Kurikulum pendidikan Islam klasik secara garis besar sudah ada, nyatanya yang
lebih mendominasi pada sebuah madrasah adalah kurikulum yang didalamnya memuat
tentang agama. Yang menentukan kurikulum atau penyusun perencanaan mata pelajaran
pendidikan Islam klasik adalah orang-orang yang mempunyai otoritas atau ulama yang
menguasai bidangnya masing-masing. Perkembangan berikutnya kurikulum pendidikan
Islam klasik merujuk kepada al-Quran dan Hadits. Secara umum materi yang diajarkan
adalah ilmu naqliyah dan aqliyah. Maka dari itu kurikulum pendidikan Islam klasik
cukup variatif berdasarkan jenjang pendidikannya. Selanjutmya, dalam perjalanan
sejarah pendidikan Islam, metode pembelajaran yang diterapkan telah mengalami
berbagai perubahan dan pengembangan. Di antara perkembangan yang terjadi pada
metode pendidikan Islam adalah yang diterapkan pada masa Islam klasik. Ahli sejarah
mencatat, setidaknya ada beberapa bentuk metode pendidikan yang diterapkan yaitu :
halaqah, hafalan, munazarah, mudzakarah, Imla’ (dikte) dan rihlah ilmiah.
Kata Kunci : kurikulum, metode, pendidikan Islam klasik

Abstract
The classical Islamic education curriculum in the real line, in fact more dominating on
a madrasa is a curriculum that it contains religion. What determines the curriculum or
constituent of the planning of classical Islamic education subjects is people who have
authority or scholars who control their respective fields. The next development of the
classical Islamic education curriculum refers to the Qur’an and hadits. In general the
material taught is the Science of Naqliyah and Aqliyah. Therefore the classical Islamic
education curriculum is quite varied based on its level of education. Next, in the course
of Islamic education history, the learning method that is applied has experienced
various changes and development. Among the developments that occur in the method of
Islamic education are applied to the classical Islamic time. Historians noted, there are
at least some form of educational methods applied, namely: halaqah, memorization,
munazarah, mudzakarah, imla’ (dictation) and scientific journey.
Keywords : curriculum, method, classical Islamic education

1
Pendahuluan
Pendidikan Islam sesungguhnya telah tumbuh dan berkembang sejalan dengan
adanya dakwah Islam yang telah dilakukan Nabi Muhammad Saw. Berkaitan dengan itu
pula pendidikan Islam memiliki corak dan karakteristik yang berbeda sejalan dengan
upaya pembaharuan yang dilakukan secara terus menerus pasca generasi nabi, sehingga
dalam perjalanan selanjutnya pendidikan Islam terus mengalami perubahan baik dari
segi kurikulum maupun metode.

Secara eksplisit, pendidikan mempunyai nilai yang strategis dan urgen dalam
pembentukan suatu bangsa. Untuk menjadikan pendidikan yang berarti harus
menyediakan kurikulum dan metode pendidikan yang baik tentunya kepada peserta
didik. Hari ini kurikulum dan metode pendidikan di Indonesia dapat kita katakana sudah
berjalan dengan baik, dan dikelola langsung oleh departemen pendidikan. Sebagaimana
halnya dengan faktor-faktor pendidikan lainnya, maka kurikulum dan metode pun
memainkan peranan penting dalam mewujudkan tujuan pendidikan. Kurikulum dan
metode mengalami perkembangan mengikuti perkembangan kebuadayaan dan
peradaban masyarakat. Dalam perkembangannya, tentu saja kurikulum mengalami
pembaruan dalam isinya, sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya.

Munculnya pendidikan Islam bersamaan dengan lahirnya Islam itu sendiri.


Pendidikan pada awalnya dilakukan dari rumah ke rumah, di masjid-masjid dan
sebagainya. Ini dilakukan dengan peralatan yang sederhana sekali. Kurikulum
pendidikan Islam Klasik merupakan suatu sistem pendidikan klasik yang berbeda
dengan sistem pendidikan Islam yang ada pada saat ini. Kalau ditinjau dari aspek
tujuan, guru, murid, kurikulum, metode, fasilitas, dan sarana dan prasarana, jelas terlihat
perbedaannya. Sudah banyak terjadi perkembangan-perkembangan dalam dunia
pendidikan Islam.

Istilah pendidikan Islam klasik dalam tulisan ini adalah suatu proses belajar
mengajar yang dilakukan individu, kelompok tertentu atau pemerintah/ lembaga
pemerintah, formal atau non-formal dalam periode tertentu pada masa pertumbuhan dan
perkembangan Islam.

2
Kegiatan itu dilakukan di rumah-rumah, majlis, masjid/ halaqah dengan jenjang
pendidikan dasar (kuttab), menengah (masjid, zawiyah) sampai tingkat tinggi
(madrasah/ al-jamiah).

Karena pendidikan mempunyai nilai yang strategis dan urgen dalam


pembentukan suatu bangsa. Maka dalam kesempatan ini penulis akan membahas
tentang Kurikulum dan Metode Pendidikan Islam Klasik.

Kurikulum Pendidikan Islam Klasik

Kurikulum berasal dari bahasa yunani dari kata “curir” artinya pelari. Kata
“curere” artinya tempat berpacu. Curriculum diartikan jarak yang ditempuh oleh
seorang pelari. Ketika itu diartikan sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh
siswa/murid/peserta didik untuk mendapatkan ijazah.1

Pada masa klasik pakar pendidikan islam menggunakan kata “al-maddah” untuk
pengertian kurikulum, karena pada masa itu kurikulum lebih identik dengan serangkaian
mata pelajaran yang harus diberikan pada murid dalam tingkat tertentu.2

Kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau dipelajari
oleh siswa dalam suatu periode tertentu. Dalam arti yang lebih luas, kurikulum
sebenarnya bukan hanya sekedar rencana pelajaran, tapi semua yang secara nyata terjadi
dalam proses pendidikan di sekolah.3

Dengan kata lain, kurikulum mencakup baik kegiatan yang dilakukan pada jam
belajar maupun di luar jam belajar, sepanjang hal itu berlangsung di lembaga
pendidikan. Karena itu ada istilah ekstra-kurikuler, yaitu berbagai kegiatan yang
dilakukan di luar jam tatap muka di ruangan kelas. Akan tetapi, tentu saja kurikulum
dalam pengertian seperti itu baru dikenal pada sistem pendidikan modern, baik sekolah

1
Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : UIN Jakarta Press, 2006), h. 82
2
Abuddin Nata (Ed.), Sejarah Pendidikan Islam pada periode klasik dan pertengahan, ( t.t.p, t.p,
2010), h. 115
3
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Persfektif Islam (Bandung : Rosdakarya, 1992), h. 53

3
maupun madrasah. Pada masa sebelumnya, meskipun sudah dikenal, muatan kurikulum
tidak seketat pengertian tersebut.

Pada hakikatnya kurikulum pendidikan Islam klasik berbeda-beda menurut


wilayah masing-masing. Tidak ada pembakuan kurikulum yang dilakukan oleh Negara.
Perbedaan kurikulum antara tempat yang satu dengan tempat lainnya bukan didasarkan
daerahnya akan tetapi perbedaan tersebut didasarkan kepada guru yang memberikannya.
Di Mesir misalnya kurikulum dititik beratkan kepada fiqh, sedangkan di Madinah lebih
menitik beratkan kepada kajian hadis. Meskipun perbedaan kurikulum berbeda dengan
tempat yang satu dengan yang lainnya, akan tetapi disepakati bahwa kitab suci al-
Qur’an dijadikan sebagai sumber pokok ilmu-ilmu agama dan umum. Pada awalnya
kurikulum yang diajarkan berkisar pada belajar membaca al-Qur’an, menulis, keimanan,
ibadah, akhlak, dasar-dasar ekonomi dan politik yang semuanya bersumber kepada al-
Qur’an.4

Penentuan kurikulum adalah terletak pada ulama, kelompok orang-orang


berpengetahuan dan diterima sebagai otoratif dalam soal agama dan hukum. Sebagai
persiapan untuk belajar ilmu-ilmu agama dan fiqh, seseorang mempelajari bahasa Arab
mencakup gramatika dan komposisi serta pengenalan dasar-dasar prosa dan puisi.

Pada perkembangan berikutnya kurikulum pendidikan Islam merujuk kepada al-


Qur’an dan hadis. Secara umum materi yang diajarkan adalah ilmu naqliyah dan
aqliyah. Maka kurikulum pendidikan Islam klasik cukup variatif berdasarkan jenjang
pendidikannya. Berikut perkembangan kurikulum menurut jenjangnya :

1. Kurikulum Tingkat Rendah

Kurikulum tingkat rendah meliputi al-Qur’an dan agama, membaca, menulis,


sya’ir, dan sebagian prinsip-prinsip pokok agama dan ditambah juga dengan nahwu,
cerita dan berenang. Untuk putra-putri raja dan penguasa ditegaskan pentingnya
pelajaran khitabah (pidato), ilmu sejarah, cerita perang, cara-cara pergaulan, di samping
ilmu-ilmu pokok seperti al-Qur’an, sya’ir dan fiqh.

4
Ali Al-Jumbulati, Perbandingan Pendidikan Islam (Jakarta : Rineka Cipta,1994), h. 58

4
Penekanan kurikulum berbeda antara negara yang satu dengan yang lainnya. Di
Andalusia misalnya, untuk tingkat rendah diajarkan al-Qur’an, dan dimasukkan materi
lain seperti riwayat sya’ir-sya’ir, prosa, berhitung, dan pembelaan negara sehingga
kemampuan anak-anak dalam tulis menulis dan khat sangat menonjol. Kemudian
kemampuan menemukan (discovery) serta kemampuan menghubungkan cabang-cabang
ilmu dalam mengintegrasikan antara ilmu-ilmu naqli dan aqli lebih unggul
dibandingkan negeri Islam yang lain.

Mahmud Yunus berpendapat, “bahwa waktu belajar di kuttab dilakukan pada


pagi hari hingga waktu shalat ashar mulai hari sabtu sampai dengan hari kamis.
Sedangkan hari jum’at merupakan hari libur. Selain hari jum’at, hari libur juga pada
setiap tanggal 1 Syawal dan tiga hari pada hari raya Idul Adha. Jam pelajaran biasanya
dibagi tiga. Pertama, pelajaran al-Quran dimulai dari pagi hari hingga waktu dhuha.
Kedua, pelajaran menulis dimulai pada waktu dhuha hingga waktu zhuhur. Setelah itu
anak-anak diperbolehkan pulang untuk makan siang. Ketiga, pelajaran ilmu lain, seperti
nahwu, bahasa Arab, syair, berhitung, dan lainnya, dimulai setelah zhuhur hingga akhir
siang (ashar).5

2. Kurikulum Tingkat Atas

Kurikulum pendidikan tingkat atas meliputi ilmu fiqih, nahwu, ilmu kalam,
aljabar dan ilmu hitung.6 Namun sama halnya dengan tingkat rendah, kurikulum tingkat
atas tidak sama antara negara yang satu dengan yang lainnya. Setiap negara mempunyai
kurikulum yang khas dalam pendidikannya. Namun para pelajar tidak terikat untuk
kurikulumnya, dan guru-gurunya juga tidak terikat dengan kurikulum yang ditentukan
untuk dijadikan sumbur pegangan dalam pengajarannya.

Walaupun ilmu-ilmu naqliyah cukup menonjol, namun ilmu-ilmu aqliyah


mempunyai peranan penting. Ini terlihat dalam hubungan yang kokoh antara ilmu-ilmu
keagamaan dengan ilmu-ilmu bahasa, kebudayaan sampai kepada abad ke 2 hijriyah.
Dan menurut Makdisi tentang kurikulum pendidikan, Makdisi menggambarkan secara
garis besar tentang kurikulum itu sendiri yang diajarkan di madrasah. Ilmu-ilmu agama

5
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, ( Jakarta : Hidakarya Agung, 1989), h. 50
6
Ali Al-Jumbulati, Perbandingan Pendidikan...., h. 68

5
jelas mendominasi madrasah, seperti juga lembaga-lembaga sebelumnya, masjid dan
masjid-khan. Sejauh pengetahuan kita sekarang, tidak ada dokumen tertulis yang berisi
rincian kurikulum satu madrasah. Hal ini memang sulit untuk diharapkan mengingat
sifat-sifat dasar madrasah. Pertama, tidak adanya ikatan organisatoris antara satu
madrasah dengan yang lain. Setiap madrasah bebas menentukan materi dan sistem
pengajarannya sendiri sesuai dengan keinginan pemberi wakaf (waqif) yang mendukung
operasinya. Kedua, setiap syaikh atau mudarris bebas memilih bidang yang dia ajarkan;
sekali lagi,dia hanya terikat dengan waqfiyyah dari lembaga tempatnya mengajar. Jadi
apa yang dikatakan adalah suatu kesimpulan umum yang tingkat kebenarannya pasti
akan sangat bervariasi dari satu kasus kekasus yang lain yaitu bahwa kurikulum
madrasah terdiri dari :

1. Ilmu-ilmu agama semacam: ilmu al-Qur’an, hadis, tafsir, fiqih, ushul fiqih, ilmu
kalam, dan disiplin-disiplin lain yang tergolong dalam kelompok ini.

2. Ilmu-ilmu sastra yang dibutuhkan untuk mendukung kajian ilmu-ilmu agama juga
diajarkan di madrasah, tetapi bukan menjadi bagian utama dari kurikulum.

Jadi, sebagai kesimpulan umum, kurikulum madrasah terdiri dari ilmu-ilmu


agama seperti: ilmu al-Qur’an, hadist, tafsir, ushul fiqh, ilmu kalam dan lain-lain yang
tergolong kelompok ilmu-ilmu keagamaan Islam ini. Ilmu-ilmu sastra yang dibutuhkan
untuk mendukung ilmu-ilmu agama juga diajarkan di madrasah, tetapi tidak menjadi
bagian utama dari kurikulum. Deskripsi madrasah terdahulu menunjukkan bahwa ahli
bahasa arab (nahwi) adalah bagian dari staf di beberapa madrasah, namun posisinya
jelas tidak sepenting posisi mudarris yang mengajar ilmu-ilmu agama. Ilmu-ilmu klasik
belum diajarkan kecuali Filsafat, Kedokteran dan Astronomi, tetapi tidak begitu
dominan, karena pelajaran ini memiliki lembaga pengajaran tersendiri (khusus).

Metode Pendidikan Islam Klasik

Metode pendidikan Islam merupakan unsur dari sistem pendidikan Islam,


keberadaannya penting dan memang harus diperhatikan oleh setiap orang yang terlibat
dalam kegiatan pendidikan, baik itu guru maupun murid sebagai peserta didik. Secara
sederhana kata metode dipahami sebagai suatu cara yang dapat ditempuh untuk

6
mencapai tujuan. Dengan demikian dapat disebutkan bahwa metode pendidikan Islam
adalah segala cara dan usaha yang sistematis dan pragmatis untuk mencapai tujuan
pendidikan Islam, dengan melalui berbagai aktivitas yang melibatkan guru sebagai
pendidik dan murid sebagai anak didik. Dalam perjalanan sejarah pendidikan Islam,
metode pembelajaran yang diterapkan telah mengalami berbagai perubahan dan
pengembangan. Di antara perkembangan yang terjadi pada metode pendidikan
Islam,adalah yang terjadi diterapkan pada masa Islam klasik. Ahli sejarah mencatat,
setidaknya ada beberapa bentuk metode pendidikan yang diterapkan yaitu : halaqah,
hafalan, munazarah, ,mudzakarah, Imla’ dan rihlah ilmiah.

1. Halaqah

Bentuk yang paling sederhana pendidikan muslim pada masa awal adalah duduk
melingkar. Ini merupakan pengalaman pendidikan yang khas dalam Islam dikenal
dengan nama Halaqah, yang arti harfiahnya sebuah perkumpulan yang melingkar
(pengkajian yang dilakukan dengan duduk melingkar). Dinamakan demikian, karena
guru duduk di tengah-tengah sebuah mimbar atau bantal yang membelakangi tembok
atau tiang, dan para pelajar duduk dengan membentuk setengah lingkaran di depan guru.
Lingkaran tersebut dibentuk menurut tingkatnya, semakin tinggi tingkat seseorang
pelajar,atau pelajar pengunjung, maka ia duduk paling dekat dengan gurunya. Dalam
kegiatan berbentuk halaqah, murid yang lebih tinggi, pengetahuannya duduk dekat
dengan Syeikh, sedangkan murid yang level pengetahuannya lebih rendah duduk sedikit
lebih jauh dan mereka berusaha dengan keras untuk dapat mengubah posisi lebih dekat
dengan Syeikhnya. Kegiatan perkuliahan di Halaqah, secara singkat berlangsung dalam
rangkaian kegiatan berikut : Syeikh membuka perkuliahan dengan membaca basmallah,
mengucap shalawat dan salam bagi Rasulullah. Disertai dengan memberikan dorongan
kepada murid supaya menuntut ilmu, bersifat rendah hati dalam menuntut ilmu, dan
berusaha menjalani hidup yang baik serta berbudi luhur.

Kemudian dilanjutkan dengan memberikan penjelasan tentang materi pelajaran


sambil menghubungkannya dengan topik yang telah dibahas sebelumnya. Dalam
melaksanakan kegiatan pembelajaran. Syeikh biasanya mendiktekan bahan pelajaran
(al-Qur’an dan Hadits) kepada para murid, kemudian menjelaskannya serta
menafsirkannya terutama pada bagian-bagian yang dipandang sukar dari hadits dan al-

7
Qur’an. Sementara Syeikh memberikan penjelasan, para murid aktif menulis semua
keterangan yang diberikan oleh Syeikh. Sebelum mengakhiri pembelajaran, Syeikh
biasanya mengulang kembali apa yang telah dibacakan dan dijelaskan serta disesuaikan
dengan catatan para murid dengan cara menyuruh seorang murid untuk membaca
catatannya. Kemudian mengakhiri pelajaran dengan membaca do’a.

Kurikulum lingkaran studi (halaqah) sesuai dengan pengetahuan dan minat


seorang Syekh, tergantung pada pengalamannya, dan biasa juga pada ijazah
(pengakuan) dalam bidang keahliannya. Masa keterkaitan seorang murid dengan sebuah
lingkaran studi (halaqah) tergantung kepada ketekunan dan target-targetnya sendiri.
Ketika sudah tidak mencapai titik maksimal dalam belajar pada seorang guru, murid
tersebut dapat beralih kepada guru lain. Sehingga seorang murid bisa saja menghabiskan
masa hidupnya dalam perjalanan, beralih dari seorang guru (Syekh) ke guru (Syekh)
lain yang terkenal.

2. Hafalan

Pada masa Islam klasik hafalan memiliki peranan penting dalam kegiatan
pembelajaran. Hal ini selain dikarenakan daya hafal bangsa Arab yang kuat, juga
dikarenakan memang hanya hafalanlah yang efektif digunakan pada masa itu. Ditambah
lagi pada masa itu media simpan ilmu pengetahuan belum memadai jumlah dan
penyediaannya. Kondisi ini mempengaruhi metode pembelajaran yang diterapkan dalam
kegiatan pendidikan Islam pada masa itu. Dalam catatan sejarah ditemukan bahwa anak-
anak mulai belajar dengan menghafal bebeapa surat dari al-Qur’an dan kewajiban
agama seperti sembahyang dan puasa.

Hafalan merupakan cara yang harus ditempuh seseorang untuk dapat menguasai
secara utuh berbagai tradisi yang diriwayatkan dari orang Arab terdahulu melintasi abad
demi abad, termasuk dua naskah suci Islam al-Qur’an dan Sunnah, dan ilmu-ilmu
keagamaan lainnya.

Diya al-Din Ibn –‘Athir mengemukakan pentingnya penghafalan dalam ingatan


agar dapat menemukan kembali unsur-unsur yang penting pada waktu dibutuhkan.
Pengingatan kembali hanya mungkin terjadi dengan melakukan pengulangan-
pengulangan dan praktek-praktek tertentu untuk memastikan bahwa materi-materi yang

8
sudah dihafalkan tetap lekat dalam ingatan dan dapat berfungsi pada waktu yang
dibutuhkan.

Menghafal sangat penting dalam hal pembelajaran, seseorang dapat menghafal


apabila ada pemahaman terhadap konteks yang dihafal. Untuk memudahkan cara
menghafal, al-Khatib menganjurkan agar murid selalu duduk pada posisi yang dapat
mendengar secara jelas terhadap apa yang diucapkan guru. Selain itu suasana haruslah
tenang dan mendengarkan dengan seksama apa yang diucapkan guru.

Pentingnya metode hafalan ini juga dirasakan para ilmuan sebagaimana


komentar yang mereka utarakan berikut ini :

a. Qatada as-Sadusi mengatakan ia tidak pernah mendengar sesuatu tanpa


menghafalnya.

b. Al-Hasan Ibn Zin Nun al-Shaghri mengatakan jika kamu tidak mengulangi sesuatu
lima puluh kali, ia tidak akan tersimpan dalam ingatan.

c. Al-Ghazali merasakan betapa pentingnya menghafal ketika ia mengalami buku-


bukunya dirampas perampok dalam perjalanan. Ia mengatakan ambillah semua
hartaku, tapi jangan ambil buku-buku itu. Kejadian ini membuat beliau
menghabiskan waktunya selama tiga tahun untuk menghafal. Melalui hafalannya
itu ia tidak takut lagi untuk bepergian.

d. Ibn al-‘Allaf mengatakan bahwa kertas (buku) adalah tempat yang tidak baik untuk
menyimpan ilmu pengetahuan. Memang diakui betapa berharganya ilmu
pengetahuan, tapi disisi lain dikatakan bahwa hapalan labih penting lagi.

e. Abu Bakar Ibn al-Anbari mengatakan bahwa ia tidak pernah mengerti dari buku
tapi selalu dari hafalan.

f. Ibn at-Tabban adalah seorang yang buta huruf namun ia melakukan dakwahnya
melalui hafalan.

g. Ibn al-Munna pada usia 40 tahun cidera buta namun lancar pendengarannya
sehingga ia mengajar dari apa yang diperolehnya lewat hafalan.

3. Mudzakarah

9
Dalam kajian ilmu-ilmu humaniora, istilah mudzakarah paling sering dalam arti
diskusi ilmiah. Dalam suatu mudzakarah beberapa orang terlibat dalam suatu
percakapan tentang suatu tema atau pelajaran tertentu ; mereka saling bertukar pendapat
dan pengetahuan, agar setiap cendikia yang terlibat memperoleh manfaat, begitu pula
orang yang hadir untuk mendengarkan saja. Istilah mudzakarah tidak hanya digunakan
dalam satu aspek saja, tetapi juga sering digunakan sebagai petunjuk percakapan yang
dapat memberikan pertukaran ilmu pegetahuan (seperti seminar). Mudzakarah juga
digunakan sebagai metode mempelajari dan mengahafal materi studi sastra khususnya
ilmu qawa’id an-nahwu.

4. Munazharah

Munazharah merupakan suatu metode pendidikan Islam pada masa klasik, yaitu
dengan cara berdiskusi. Makdisi menjelaskan bahwa munazharah merupakan suatu cara
untuk menambah ilmu pengetahuan dengan cara mengundang orang lain dan
memperdebatkan masing-masing pendapat yang disertai dengan argumentasi yang dapat
dipertanggungjawabkan. Dalam munazharah, kepasihan lidah berbicara dan memiliki
ilmu yang luas sangat dihandalkan. Perdebatan (munazharah) juga merupakan alat
untuk mencapai kemajuan ilmu pengetahuan.

Beberapa contoh ulama yang dicatat sebagai ahli munazarah, Imam Syafi’i, yang
terkenal sebagai seorang yang suka melakukan munazarah untuk mencari kebenaran
tentang satu soal tertentu.

Ada fungsi dari munazarah ini yang sangat mendasar yaitu mengenai
pemanfaatan orang yang memiliki keilmuan yang tinggi yang bisa dijadikan rujukan
khususnya bidang keilmuan mulai dari zaman klasik sampai modern.

5. Metode Dikte (Imla’)

Metode ini dilaksanakan oleh guru dengan cara memberikan pelajaran dari
hafalan, atau dari catatan yang telah ditulisnya lebih dahulu untuk dibacakan kepada
para murid. Pendiktean dilakukan dengan lambat, yaitu satu-satu alinea atau satu-satu
hadits, disertai dengan menyebutkan sanadnya, dan para murid menuliskan apa yang di
diktekan guru mereka. Setelah guru selesai mendiktekan materi pelajaran dan
memberikan penjelasan atau penafsiran terhadap materi tersebut serta murid telah

10
selesai mencatatnya dengan baik. Guru seringkali membacakan apa-apa yang telah
didiktekannya. Atau disuruhnya salah seorang murid untuk membacakannya, lalu
diberikan pembetulan-pembetulan jika terdapat kesalahan-kesalahan atau kekurangan-
kekurangan pada penulisan para murid.

6. Rihlah Ilmiyah

Rihlah Ilmiyah digunakan untuk setiap perjalanan guna menuntut ilmu, mencari
tempat belajar yang baik, mencari guru yang lebih bisa memimpin pelajaran dengan
baik pula, atau juga perjalanan seseorang ilmuan ke berbagai tempat, apakah dia secara
formal melakukan aktivitas akademis atau sebaliknya. Dengan demikian rihlah ilmiyah
bisa saja mencakup sebuah perjalanan yang memang direncanakan untuk tujuan ilmiah
(belajar, mengajar, diskusi, mencari kitab dan lain sebagainya), atau sekedar perjalanan
biasa yang dilakukan oleh orang-orang yang terlihat dalam kegiatan keilmuan.
Selanjutnya Hasan Asari juga menjelaskan tentang praktek Rihlah Ilmiyah dapat juga
ditemukan dalam nas-nas dasar-dasar dasar agama Islam, baik dalam al-Qur’an maupun
hadits. Abu Hamid al-Ghazali, misalnya, menganjurkan rihlah ilmiyah dan bahkan
memandangnya sebagai pendukung penting yang dapat membantu keberhasilan
seseorang dalam kegiatan menuntut ilmu pengetahuan. Begitu pula dengan Ibn
Khaldun, dia melihat manfaat yang sangat besar dari praktek ini. Al-Khatib al-Baghdadi
juga memandang rihlah ilmiyah memiliki relevansi yang sangat tinggi,khususnya dalam
bidang hadis, sehingga ia menulis sebuah buku khusus membahas tema tersebut. Ibn
‘Abd al-Barr juga menyisipkan sebuah pembahasan mengenai praktek rihlah ilmiyah.
Perkembangan rihlah ilmiyah ini juga ternyata tidak diketahui secara jelas kapan
dimulainya, namun sejarah menunjukkan bahwasanya pada masa Rasulullah juga sudah
ada karena beliau pernah mengutus sahabat Muaz Ibn Jabal ke negeri Yaman dengan
tujuan sebagai guru. Rihlah Ilmiyah ini juga memiliki fungsi dalam peradaban
intelektual Islam klasik.

11
Kesimpulan

Kurikulum pada masa klasik secara garis besar sudah ada walau tidak ada bukti
tertulis tentang kurikulum tersebut, nyatanya yang lebih mendominasi pada sebuah
madrasah adalah kurikulum yang didalamnya adalah muatan tentang agama. Dan biasa
yang menentukan kurikulum adalah orang-orang yang mempunyai otoritas atau
penyusun perencanaan mata pelajaran pendidikan Islam klasik adalah ulama yang
menguasai bidangnya masing-masing.

Pada perkembangan berikutnya kurikulum pendidikan Islam merujuk kepada al-


Qur’an dan hadis. Secara umum materi yang diajarkan adalah ilmu naqliyah dan
aqliyah. Maka kurikulum pendidikan Islam klasik cukup variatif berdasarkan jenjang
pendidikannya. Pertama, kurikulum tingkat rendah meliputi al-Qur’an dan agama,
membaca, menulis, sya’ir, dan sebagian prinsip-prinsip pokok agama dan ditambah juga
dengan nahwu, cerita dan berenang. Untuk putra-putri raja dan penguasa ditegaskan
pentingnya pelajaran khitabah (pidato), ilmu sejarah, cerita perang, cara-cara pergaulan,
di samping ilmu-ilmu pokok seperti al-Qur’an, sya’ir dan fiqh. Kedua, kurikulum
tingkat atas meliputi ilmu fiqih, nahwu, ilmu kalam, aljabar dan ilmu hitung.

Metode pendidikan Islam adalah segala cara dan usaha yang sistematis dan
pragmatis untuk mencapai tujuan pendidikan Islam, dengan melalui berbagai aktivitas
yang melibatkan guru sebagai pendidik dan murid sebagai anak didik. Ahli sejarah
mencatat, setidaknya ada beberapa bentuk metode pendidikan yang diterapkan yaitu :
halaqah, hafalan, munazarah, mudzakarah, Imla’ dan rihlah ilmiah.

12
DAFTAR PUSTAKA

Al-Jumbulati, Ali. Perbandingan Pendidikan Islam. Jakarta : Rineka Cipta,1994

Nata, Abuddin. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta : UIN Jakarta Press, 2006

______ (Ed.). Sejarah Pendidikan Islam pada periode klasik dan pertengahan. t.t.p,
t.p, 2010

Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Persfektif Islam. Bandung : Rosdakarya, 1992

Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta : Hidakarya Agung, 1989

13

Anda mungkin juga menyukai