BAB II
KAJIAN TEORI
1
Asep Herry Hernawan & Riche Cyntia dalam , Kurikulum dan Pembelajaran (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2011), h. 2. Lihat juga Zainal Arifin, Pengembangan Manajemen Mutu Kurikulum
Pendidikan Islam (Yogyakarta: DIVA Press, 2012), h. 35.
23
2
George A. Beauchamp, Curriculum Theory (Boston: F.E. Peacock Publishers, 1981), h. 26.
3
Willian F. Pinar, Understanding Curriculum; An Introduction to the Study of Historical and
Contemporary Curriculum Discourses, Cet.7, (New York: Peter Lang Publising, 2008), h. 89.
4
Fairu az-Zabadi, al-Qamus al-Muhith (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), h. 304.
24
harus ditempuh oleh peserta didik untuk mendapatkan ijazah atau tingkatan tertentu. 5
Zakiah Daradjat memandang kurikulum sebagai suatu progam yang direncanakan
dalam bidang pendidikan dan dilaksanakan untuk mencapai sejumlah tujuan-tujuan
pendidikan tertentu.6
Kurikulum dalam pandangan modern dan pendapat-pendapat tokoh
pendidikan umum merupakan program pendidikan yang disediakan oleh sekolah yang
tidak hanya sebatas bidang studi dan kegiatan belajar saja, akan tetapi meliputi segala
sesuatu yang dapat mempengaruhi perkembangan dan pembentukan pribadi siswa
sesuai dengan tujuan pendidikan yang diharapkan sehingga dapat meningkatkan mutu
kehidupannya yang pelaksanaannya tidak hanya di sekolah tetapi juga di luar sekolah.
Maka dengan menyimpulkan beberapa pengertian di atas serta analisa yang
disampaikan tokoh pendidikan Islam, kurikulum dalam pendidikan Islam adalah
seperangkat rencana, tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan oleh
pendidik untuk membimbing peserta didiknya ke arah tujuan tertinggi pendidikan
Islam, melalui akumulasi sejumlah pengetahuan, keterampilan dan sikap. Dalam hal
ini proses pendidikan Islam bukanlah suatu proses yang dapat dilakukan secara
serampangan, tetapi mengacu kepada konseptualisasi manusia paripurna (insan al-
kamil).
5
Ramayulis, Ilmu Pendidikan,. h. 61.
6
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 103.
25
7
Omar Mohammad al-Toumy asy-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, Terj. Hasan
Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 490.
8
Ibid., h. 491-498.
26
diperlukan, kurikulum pendidikan Islam juga mempunyai sifat keserasian antara mata
pelajaran, kandungan, dan kegiatan-kegiatan pembelajaran.9
Kurikulum pendidikan Islam mencakup kesemua materi pelajaran yang
dibutuhkan oleh peserta didik, baik yang bersifat kerelegiusan (religion) maupun
yang bersifat keduniaan (secular). Materi keagamaan digunakan untuk memahami
hakikat hubungan manusia dengan sang pencipta sementara materi ilmu umum
digunakan untuk mencukupi kebutuhan primer dan sekunder manusia dalam
hubungannya dengan sesama manusia.10
Ciri kurikulum pendidikan Islam tersebut jelas mempunyai perbedaan dengan
kurikulum pendidikan umum, dalam hal ini misalnya Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) yang mempunyai ciri sebagai brikut:
a. Menekankan ketercapaian Kompetensi siswa, baik secara individual maupun
klasikal.
b. Berorientasi pada hasil belajar dan keberagaman.
c. Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang
bervariasi.
d. Sumber belajar bukan hanya guru tetapi juga sumber lainnya yang
mempunyai unsur edukatif.
e. Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan
atau pencapaian suatu kompetensi.
9
Ibid., h. 512-528.
10
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam (Yogyakarta: ar-Ruz Media, 2011), h. 130.
27
pandangan para pemikir Islam merupakan suatu kenikmatan dan bukan untuk
mengejar materi duniawi.
e. Pendidikan kejuruan, teknik dan perindutrian diperhatikan dalam pendidikan
Islam sebagai alat pencari penghidupan sekedarnya.
f. Suatu materi adalah alat dan pembuka untuk mempelajari ilmu-ilmu lain.
Dengan ketiga ranah ini pendidikan Islam secara tegas menolak dualisme dan
sekularisme kurikulum pendidikan Islam, sebab dualisme kurikulum dapat
mendatangkan dua macam bahaya yang pertama: ilmu-ilmu keislaman akan
mendapat derajat yang lebih rendah dibandingkan dengan ilmu keduniaan, kedua:
lahirnya integrasi sekulerisme yang mengorbankan domain agama, yang selanjutnya
dapat menstigmakan konsep anti agama.
12
Suharto, Filsafat,. h. 132-133.
29
Kurikulum pendidikan Islam pada zaman dahulu tentunya tidak sama dengan
kurikulum modern. Menurut Ahmad Tafsir, kurikulum adalah sejumlah mata
pelajaran yang harus ditempuh atau dipelajari oleh siswa. Lebih luas lagi kurikulum
bukan hanya sekedar rencana pelajaran, tetapi semua yang secara nyata terjadi dalam
proses pendidikan.13 Pada lembaga pendidikan saat ini, siswa dituntut untuk
mempelajari sejumlah bidang studi yang ditawarkan oleh lembaga. Di samping itu,
siswa juga diwajibkan mengikuti serangkaian kegiatan sekolah yang dapat
memberikan pengalaman belajar.
Pada masa awal Islam, kurikulum yang terdapat di lembaga pendidikan Islam
tidak menawarkan mata pelajaran yang bermacam-macam. Dalam suatu jangka
waktu, pengajaran hanya penyajikan satu mata pelajaran yang harus ditempuh oleh
siswa. Sesudah materi tersebut selesai, baru ia diperbolehkan mempelajari materi
yang lain, atau yang lebih tinggi tingkatannya. Misalnya pada tahap awal siswa
diharuskan belajar baca-tulis, berikutnya ia belajar berhitung dan seterusnya. Dari
uraian ini jelas memperlihatkan bahwa perbedaan kurikulum pendidikan masa klasik
dengan kurikulum modern, kurikulum klasik lebih menekankan pendalaman satu
materi sebelum melangkah kemateri yang lain, sementara kurikulum pendidikan
modern cakupan materi pelajaran yang disediakan oleh lembaga sangat beragam dan
luas, para peserta didik dihadapkan untuk berkompeten pada semua cakupan materi
tersebut walau tidak harus menguasainya secara keseluruhan tapi sekedar
memahaminya saja.
Kurikulum dalam lembaga pendidikan pada masa klasik pada mulanya
berkisar pada bidang studi tertentu. Namun seiring perkembangan sosial dan kultural,
materi kurikulum menjadi semakin luas. Pada masa Nabi di Madinah, materi
pelajaran berkisar pada belajar menulis, membaca Alquran, keimanan, ibadah, akhlak,
dasar ekonomi, dasar politik dan kesatuan.14 Setelah wilayah Islam semakin luas,
Islam harus bersentuhan dengan budaya masyarakat non-Islam yang menyebabkan
13
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung: Rosdakarya, 1992), h. 53.
14
Ibid., h. 59.
30
16
Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam; Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era
Rasulullah sampai Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), h. 11.
17
Armai Arief, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam Klasik
(Bandung: Angkasa 2004) h. 35.
18
Secara etimologi kuttab berasal dari bahasa Arab yaitu kataba, yaktubu kitaban yang artinya
telah menulis, sedang menulis, dan tulisan. Sedangkan maktab artinya meja atau tempat untuk
menulis, (Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, cet.12 (Jakarta: Hidakarya Agung, 1998), h. 257.
19
Nizar, Ibid,. h. 38.
32
20
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Hidakarya Agung, 1992), h. 6.
21
Ibid., h. 26.
33
terdiri dari dua kelompok yang berbeda. Yaitu kaum Muhajirin22 dan Anshar23. 2)
Kaum yang baru dalam Islam di Madinah hidup bersanding dengan kaum Yahudi
Yatsrib yang tidak senang terhadap terbentuknya masyarakat baru kaum Muslimin.
Ketika pertama kali hijrah dan diangkat sebagai kepala Negara, Nabi melaksanakan
beberapa hal: 24
1. Proklamasi berdiriya sebuah negara dengan cara mengumumkan nama
Madinah al-Munawwarah bagi kota Yatsrib.
2. Mendirikan mesjid Nabawi sebagai pusat kegiatan umat Islam dan pusat
pendidikan Islam.
3. Mempersaudarakan kaum muhajirin dan anshar dengan persaudaraan
berdasarkan agama sebagai basis negara.
22
Muhajirin berasal dari kata 'hajara', yang berarti berhijrah, sedangkan muhajirin berati
orang-orang yang berhijrah. Dalam sejarah Islam, kata muhajirin biasanya dimaksudkan kepada orang-
orang yang berhijrah bersama Rasulullah saw dari kota Mekkah ke kota Madinah.
23
Anshar berasal dari kata 'nashara yang artinya menolong. Sedangkan kaum Anshar berati
kaum penolong. Dimaksudkan kepada umat Islam Madinah yang membantu Rasulullah saw dan
sahabatnya yang hijrah ke Madinah. muhajirin dan anshar merupakan contoh kongkrit kuatnya
persaudaraan dalam Islam. Mereka telah memberikan contoh bagaimana sikap seseorang muslim
dalam saling menolong dan mengasihi sesama saudaranya yang muslim.
24
Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik; Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam (Jakarta:
Kencana, 2003), h. 9.
34
dan pendidikan Islam secara khusus yang mulai berkembang pesat dengan materi-
materi pengajaran yang semakin luas.
Pada fase ini dapat diberikan beberapa kesimpulan mengenai materi ilmu yang
telah berkembang serta anjuran-anjuran Nabi dalam memerintahkan para sahabat
untuk mempelajari beberapa cabang ilmu, anjuran dan perintah nabi menjadi pondasi
awal dalam pengembangan ilmu pengetahuan masa itu, serta rujukan bagi umat Islam
pada masa berikutnya. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Nabi saw pernah
memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk mempelajari bahasa Suryani.25 Bahasa Suryani
adalah bahasa orang Persia, kemajuan bangsa Persia sendiri telah diakui sebelum
datangnya Islam, bangsa Persia memiliki peradaban ilmu pengetahuan dan
kebudayaan yang tinggi, karena seperti diketahui kemajuan ilmu pengetahuan dan
peradaban yang dicapai pada masa berikutnya oleh umat Islam, yaitu pada masa
daulah Abbasiyah adalah tidak lebih karena persentuhan budaya dengan bangsa
Persia yang telah maju dalam bidang ilmu pengetahuan lebih dahulu. Namun
demikian, bila diteliti secara lebih jauh tidak ada dan belum ada lembaga pendidikan
masa Nabi seperti kuttab yang telah memasukkan kurikulum mempelajari bahasa
Suryani ke dalam materi inti kurikulum pendidikan masa itu. Adapun perintah Nabi
tersebut walaupun tidak bisa dikatakan perintah secara khusus kepada Zaid bin
Tsabit, akan tetapi kenyataannya belum dilihat penerapannya dalam lembaga
pendidikan yang berkembang masa itu secara utuh dan dan menyeluruh. Namun dari
sisi lain hadis perintah mempelajari bahasa Suryani tersebut bisa dijadikan landasan
bagi umat Islam untuk menggali ilmu pengetahuan dengan cara mempelajari bahasa
suatu bangsa yang memiliki peradaban ilmu pengetahuan yang tinggi.
Secara umum sesuai penjelasan yang peneliti sampaikan di atas dapat
disimpulkan bahwa materi pendidikan Islam yang berkembang pada periode Madinah
memang telah lebih luas dibandingkan periode Mekkah, walaupun hanya beberapa
25
Abu Isa Muhammad Ibn Isa Ibn Surah at-Turmudzi, al-Jamiul Kabir at-Tirmizi Cet. 1,
(Beirut: Dar al-Gharb al-Islami, 1996), h. 351. Lihat Juga dalam, Abu Muhammad Abdul Haq al-
Isybiliy, Ahkamus Syariyyah al-Kubra Cet.1 Juz.1 (Riyahd, Maktabah ar-Rusyd: 2001), h. 313.
35
aspek saja yang bertambah. Dengan tetap fokus pada Alquran sebagai materi
kurikulum dasar pendidikan Islam yang berkembang pada periode Madinah, maka
secara detail materi ilmu pengetahuan berkisar pada beberapa bidang, yaitu:
keimanan (ilmu tauhid), akhlak, ibadah, kesehatan jasmani, dan ditambah
pengetahuan kemasyarakatan (sosial dan budaya) serta bahasa.26
dalam mengungkap seperti apa kurikulum pendidikan Islam yang berkembang pada
pada masa Dinasti Umayah.
Periode Dinasti Umayah disibukkan dengan pemberontakan dalam negeri dan
sekaligus memperluas daerah kerajaan, hal ini mengakibatkan pemusatan dan
perhatian pada perkembangan ilmiah agak kurang diberikan oleh para khalifah,
namun bukan berarti ilmu pengetahuan tidak berkembang sama sekali pada masa ini.
Hal ini dibuktikan dengan munculnya beberapa ilmuwan terkemuka dalam berbagai
cabang ilmu seperti yang dikemukakan oleh Abdul Malik Ibn Juraid al-Maki dan
cerita peperangan serta syair dan kitabah, sesuai yang penulis kutip dengan apa yang
disebutkan oleh Hasan Langgulung.29
Pendidikan Islam pada masa periode dinasti Umayah ini hampir sama dengan
pendidikan pada masa khulafa ar-rasyidin. Hanya saja memang ada sisi perbedaan
perkembangannya. Perhatian para khalifah dibidang pendidikan agaknya kurang
memperhatikan perkembangannya sehingga kurang maksimal, pendidikan berjalan
tidak diatur oleh pemerintah, tetapi oleh para ulama yang memiliki pengetahuan yang
mendalam. Kebijakan-kebijakan pendidikan yang dikeluarkan oleh pemerintah
hampir tidak ditemukan. Jadi sistem pendidikan Islam ketika itu masih berjalan
secara alamiah karena kondisi ketika itu diwarnai oleh kepentingan politis dan
golongan.
Walaupun demikian pada periode dinasti Umayah ini dapat disaksikan adanya
gerakan penerjemahan ilmu-ilmu baru dari bahasa lain ke dalam bahasa Arab, tetapi
penerjemahan itu terbatas pada ilmu-ilmu yang mempunyai kepentingan praktis,
seperti ilmu kimia, kedokteran, ilmu tata negara dan seni bangunan. Pada umumnya
gerakan penerjemahan ini terbatas hanya orang-orang tertentu dan atas usaha sendiri,
bukan atas dorongan negara dan tidak dikembangkan. Menurut Franz Rosenthal
orang yang pertama kali melakukan penerjemahan ini adalah Khalid Ibn Yazid cucu
dari Muawiyah.30
29
Ibid., h. 18-19.
30
Suwedi, Sejarah Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h.16.
37
31
Nizar, Sejarah., h. 43.
32
A. Syalaby, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jld. III, (Jakarta: Pustaka Al Husna, 2003), h.
17.
33
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h. 49-50.
38
3. Periode Ketiga (334 H/945 M 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti
Buwaih dalam pemerintah khalifah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa
pengaruh Persia kedua.
4. Periode Keempat (447 H/1055 M 590 H/1194 M), masa kekuasaan dinasti
Saljuk dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah, masa ini disebut juga dengan
masa pengaruh Turki kedua.
5. Periode Kelima (590 H/1194 M 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari
pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota
Baghdad. 34
34
Nizar, Sejarah., h. 66.
35
A. Syalabi, Sejarah dan., h. 98.
39
perguruan tinggi dengan perpustakaan yang terbesar. Pada masa al-Mamun inilah
Baghdad menjadi pusat ilmu pengetahuan.
b. Kurikulum/Materi Ilmu Pengetahuan yang Berkembang
Dengan mengacu kepada beberapa literatur yang penulis jadikan sumber
utama (primer) khususnya dalam melihat format kurikulum pada Dinasti Abbasiyah,
maka materi-materi pengetahuan dapat dibagi sesuai jenjang dengan tingkatan usia
peserta didik dan sesuai dengan disiplin ilmu yang dipelajari dimasing-masing
tingkatan pendidikan. Berikut ini adalah format kurikulum atau materi pelajaran pada
masing tingkatan pendidikan yang berkembang pada Dinasti Abbasiyah:
a) Kurikulum Pendidikan Rendah/ Dasar
Pada periode Abbasiyah sekolah dasar disebut juga (kuttab) yang merupakan
bagian terpadu dengan mesjid. Kurikulum utamanya disebutkan pada Alquran sebagai
bacaan utama para siswa, mereka juga diajari baca-tulis. Hampir dalam seluruh
kurikulum yang diajarkan, metode menghafal sangat dipentingkan. Lembaga
pendidikan Islam pertama untuk pengajaran yang lebih tinggi tingkatannya
adalah Bait al-Hikmah (rumah kebijaksanaan) yang didirikan oleh al-Mamun di
Baghdad. Selain berfungsi sebagai biro penerjemahan, lembaga ini juga dikenal
sebagai pusat kajian akademis dan perpustakaan umum serta memiliki sebuah
observatorium.36 Mata pelajaran pokok yang terdapat pada pase rendah adalah
Alquran, agama, membaca, menulis dan syair. Dalam beberapa hal kadang-kadang
ditambah dengan mata pelajaran nahwu, cerita-cerita dan belajar berenang. Adapula
di antaranya kurikulum yang berisi pelajaran yang terbatas pada menghafal Alquran
dan mengajarkan beberapa dasar-dasar pokok agama.
Tentang pentingnya mengajarkan Alquran pada anak usia dini atau pada pase
rendah ini, seperti yang diungkapkan oleh Ibn Sina yang mengemukakan pendapatnya
tentang mendidik anak, yaitu dimulai dengan mengajarkan Alquran, karena anak-
anak telah siap dari segi fisik dan mental untuk menerima pendiktean, dan pada
36
Philip K. Hitti, History of The Arabs, Terj. Cecep Lukman Yasin, dkk, cet.1, (Jakarta:
Serambi, 2005), h. 512-515.
40
waktu yang sama pula diajarkan huruf hija dan diajarkan dasar agama, kemudian
mempelajari syair dan artinya, yang dimulai dengan Buhur Rajaz kemudian diajarkan
qasidah. Apabila anak-anak telah selesai menghafal Alquran dan mengetahui dasar-
dasar bahasa, kemudian ia diarahkan untuk mempelajari sesuatu sesuai dengan
tabiatnya dan kesanggupannya.37
Al-Qabisi juga menjelaskan sebuah bentuk dari pendidikan tingkat pertama
(rendah) dengan memulai mempelajari Alquran, shalat dan sesudah itu diperbolehkan
mempelajari berhitung, syair, nalar dan bahasa Arab.
Ibn Khaldun mengemukakan pentingnya mengajarkan Alquran bagi anak-
anak. Mengajarkan Alquran itu adalah titik permulaan dan dasar pendidikan yang
terisi dalam seluruh kurikulum di seluruh negara. Mengajarkan Alquran bagi anak-
anak merupakan salah satu syiar agama Islam. Menurut Ibn Khaldun sistem
pengajaran yang dipakai di Maghrib (Maroko) membatasi pada mempelajari Alquran,
anak-anak tidak diajari hadis, fiqh atupun syair, sehingga mereka hanya mahir dalam
Alquran saja. Berbeda dengan sistem pengajaran di Maghrib, pembelajaran di
Andalus dimulai dengan mempelajari Alquran karena Alquran dianggap sebagai
sumber agama dan ilmu pengetahuan. Disana juga diajarkan syair, bahasa Arab dan
qawaidnya, ilmu khath dan membaca.38 Dari berbagai pendapat para ulama di atas,
terlihat betapa pentingnya mengajarkan Alquran bagi anak-anak pada usia dini, dan
merupakan langkah awal dalam proses pembelajaran terhadap anak pada pendidikan
tingkat rendah dan merupakan titik awal dasar pendidikan pengenalan agama Islam.
Adapun di Afrika di samping mempelajari Alquran, mereka juga mempelajari
hadis, ilmu pengetahuan dan beberapa masalah yang menyangkut dengannya. Akan
tetapi perhatian mereka lebih banyak ditekankan pada mempelajari Alquran dan
menghafalnya, dan mempelajari riwayat dan qiraat-qiraatnya dari pada pelajaran-
37
Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1979),
h. 59-60.
38
Ibid., h. 61-62.
41
pelajaran yang lain. Mengenai perhatian mereka terhadap ilmu khath (kaligrafi)
menduduki nomor dua setelah Alquran.
Menurut Mahmud Yunus, ilmu-ilmu yang di ajarkan pada tingkat rendah
(kuttab) pada mulanya adalah sangat sederhana, yaitu: a). Belajar membaca dan
menulis; b). Membaca Alquran dan menghafalnya; c). Belajar pokok-pokok ajaran
Islam, seperti cara berwudhu, sembahyang puasa dan sebagainya. Pada masa
khalifah Umar bin Khattab beliau instruksikan pada penduduk-penduduk kota supaya
diajarkan pada anak-anak berenang, mengendarai kuda, memanah, membaca dan
menghafal syair-syair dan peribahasa.39
Adapun rencana pengajaran (kurikulum) pada tingkat rendah secara umum
adalah sebagai berikut: a). Membaca Alquran dan menghafalnya; b). Pokok-pokok
agama Islam; c). menulis; d). kisah atau riwayat orang-orang besar Islam; e).
membaca dan menghafal syair-syair (prosa); f). berhitung; g). pokok-pokok nahwu
dan sharaf.40
Menurut keterangan al-Qabisi, bahwa mata pelajaran paka tingkat rendah
terdiri dari dua macam, yaitu mata pelajaran wajib dan mata pelajaran ikhtiyariah.
Mata pelajaran wajib terdiri dari Alquran, hadis Nabi, shalat, doa, nahwu dan bahasa
Arab serta membaca dan menulis. Adapun mata pelajaran ikhtiyariah terdiri dari:
berhitung, ilmu nahwu dan bahasa Arab, syair dan riwayat/tarikh Arab.41
Demikian rencana pelajaran (kurikulum) pada tingkat rendah di abad ke-4 H.
Pendeknya kurikulun yang seperti itu umumnya dilakukan di sekolah-sekolah tingkat
rendah di seluruh Negara Islam.
Pada masa itu pengajaran diberikan kepada murid-murid, seorang demi
seorang dan belum berkelas-kelas seperti sekarang ini. Pada waktu itu, juga belum
ada kitab-kitab yang ditetapkan mengajarkannya seperti sekarang, karena memang
pada masa itu belum ada percetakatan modern untuk mencetak buku-buku. Pelajaran
39
Yunus, Sejarah Pendidikan,. h. 40.
40
Ibid., h. 49.
41
Ibid., h. 50.
42
diberikan dengan dibacakan oleh guru dan diulang-ulang membacanya oleh murid,
atau didiktekan oleh guru dan ditulis oleh murid, atau murid tersebut disuruh
menyalin dari buku yang telah ditulis dengan tangan.
Dalam sistem yang biasa berlaku pada masa itu, mata pelajaran-mata
pelajaran tersebut di atas, bukan diajarkan sekaligus kepada murid-murid, melainkan
diajarkan satu persatu. Misalnya mula-mula diajarkan Alquran saja, setelah tamat atau
hafal, baru diajarkan pokok-pokok nahwu/sharaf. Kemudian diajarkan mata pelajaran
yang lain dan begitulah seterusnya.
b) Kurikulum Pendidikan Menengah
Kurikulum tingkat menengah juga tidak sama di berbagai daerah, namun
secara umum kurikulum tingkat menengah itu dapat dipaparkan sebagai berikut: a).
Alquran; b). bahasa Arab dan kesusteraan; c). fiqh; d). tafsir; e). hadis; f).
nahwu/sharaf/balaghah; g). Ilmu-ilmu pasti; h). manthiq; i). falak; j). tarikh/sejarah;
k). ilmu-ilmu alam; l). kedokteran; m). Musik.42
Yaqut mengatakan rencana pelajaran pada tingkat menengah terdiri dari
Alquran, tafsir, fiqh, nahwu, sastra, syair, berhitung, ilmu ukur, tarikh dan hadis.
Selain itu ada lagi pelajaran menengah kejuruan. Misalnya untuk jadi juru tulis di
kantor-kantor, selain dari belajar bahasa, ia harus belajar surat-menyurat, pidato,
diskusi, berdebat, serta mempelajari tulisan indah.
c) Kurikulum Pendidikan Tinggi
Kurikulum untuk perguruan tinggi ada beberapa macam, sebagaimana pada
tingkat dasar. Para mahasiswa tidak terkait dengan mempelajari sejumlah mata
pelajaran tertentu. Kurikulum dalam pendidikan tinggi dibagi kedalam dua bagian
pokok, yaitu: kurikulum agama ditambah dengan sastra dan kurikulum ilmu
pengetahun ditambah dengan sastra.43
Dilembaga pendidikan tinggi teologi dan ilmu hadis dijadikan sebagai
lansadan kurikulum dan metode pengajarannya lebih menekankan pada metode
42
Ibid., h. 55.
43
Fahmi, Sejarah dan Filsafat., h. 75.
43
hafalan. Pada waktu itu, ketika catatan harian atau memoranda belum membudaya,
kemampuan menghafal dikembangkan setinggi mungkin dengan syarat sumber-
sumber yang dihafal merupakan sumber-sumber yang dapat dipercaya.44
Al-Khawarizmi meringkas kurikulum agama ditambah sastra dalam buku
Miftah al-Ulum sebagai berikut: ilmu fiqh yang membicarakan tentang shalat,
puasa, zakat, perkawinan, penjualan, pembelian dan lain-lain. Ilmu nahwu, ilmu
kalam, menulis, ilmu arudh dan ilmu akhbar terutama tentang sejarah Persia, sejarah
Islam, sejarah Yunani dan Romawi.45
Kurikulum ilmu pengetahuan ditambah ilmu sastra merupakan ciri khas pase
kedua dari perkembangan pemikiran dalam Islam, pada pase ini kelihatan jelas
perkembangan kebebasan berpikir dan luasnya lapangan pembahasan. Ilmu
pengetahuan yang dipelajari berupa ilmu matematika, ilmu alam, filsafat, kedokteran
dan musik.
Pada masa itu, penentuan kurikulum pendidikan Islam berada di tangan ulama
atau kelompok orang yang berpengaruh dan diterima sebagai otoritatif dalam soal-
soal agama dan hukum. Ilmu-ilmu agama mendominasi kurikulum lembaga
pendidikan tinggi dan Alquran sebagai intinya. Disiplin-disiplin lain yang perlu untuk
memahami dan menjelaskan makna Alquran tumbuh sebagai bagian inti dari
pengajaran, seperti ilmu hadis dan ilmu tafsir.46 Charles Michael Staton
berkesimpulan bahwa sepanjang masa klasik Islam, penentuan sistem dan kurikulum
pendidikan selain keikutsertaan negara dalam mengatur pendidikan juga berada di
tangan ulama, kelompok orang yang berpengetahuan dan diterima sebagai otoritatif
dalam soal-soal agama dan hukum.
Jadi, dapat disimpulkan secara umum, sistem pengelolaan pendidikan klasik
tampaknya lebih ditentukan oleh kekuataan ulama (orang yang memiliki komitmen
intelektual) dari pada kekuatan negara (orang yang memiliki kekuasaan). Baik pada
44
Hitti, History of., h. 518.
45
Ibid., h. 78.
46
Charles Michael Staton, Pendidikan Tinggi dalam Islam: Sejarah dan Peranannya dalam
Kemajuan Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Logos, 1994), h. 53.
44
masa Nabi maupun pada masa bani Abbasiyah, para tokoh agama memiliki otoritas
untuk menentukan sistem pendidikannya.
Muhammad bin Idris as-Syafii sendiri, ulama pendiri mazhab Syafii
mengakui bahwa ada kelebihan-kelebihan pada masing-masing ilmu yang dipelajari,
karena dalam Islam sendiri tidak ada pendikotomian ilmu pengetahuan antara ilmu
agama dan ilmu umum, akan tetapi Islam hanya memprioritaskan mana yang lebih
dulu harus dipelajari antara ilmu agama dan ilmu umum. Dalam hal mengakui
kelebihan tiap-tiap cabang ilmu, imam Syafii menegaskan seperti yang penulis kutip
dari Abi Hasan al-Mawardi dalam buku beliau Adab al-Dunya wa al-Din sebagai
berikut:47
.
orang yang mempelajari Alquran akan ditinggikan derajatnya, orang yang
mempelajari fiqh tinggi kemampuannya, orang mempelajari hadis kuat
argumennya, orang yang mepelajari matematika kuat ingatannya, orang yang
mempelajari bahasa bagus lisannya, dan orang yang tidak bermanfaat ilmunya
itu adalah orang yang tidak berkarya.
Begitulah perkembangan yang cukup pesat dalam ilmu pengetahuan pada
periode ini, keikutsertaan ulama dan keinginan para penguasa memajukan negeri
memang jelas terlihat. Sehingga masa ini disebut masa keemasaan Islam.
Cakupan kurikulum lembaga pendidikan tinggi Islam pada abad ke-10 dapat
juga dapat diketahui dari kitab Al-Fihrist (indeks) oleh Ibn al-Nadim pada tahun 988.
Sumber kedua adalah karya-karya Ikhwan al-Shafa. Adapun ensiklopedi pengajaran
yang dikemukakan oleh Ikhwan al-Shafa adalah sebagai berikut:48
Disiplin-disiplim umum: tulis baca, arti kata dan gramatika, ilmu hitung,
sastra: sajak dan puisi, ilmu tentang tanda-tanda dan isyarat, ilmu sihir dan jimat,
47
Abi Hasan al-Mawardi, Adab al-Dunya wa al-Din, cet. IV, ( Bairut: Daru Iqra, 1985), h.
40.
48
Staton, Pendidikan., h. 56.
45
kimia, sulap, dagang dan keterampilan tangan, jual beli, komersial, pertanian dan
peternakan, serta biografi dan kisah-kisah.
Ilmu-ilmu agama: ilmu Alquran, tafsir, hadis, fiqih, dzikir, zuhud, tasawuf dan
syahadah.
Ilmu-ilmu filosofis: matematika, logika, ilmu angka-angka, geometri,
astronomi, musik, aritmatika dan hukum-hukum geometri; ilmu-ilmu alam dan
antropologi; zat, bentuk, ruang, waktu dan gerakan; kosmologi; produksi, peleburan,
dan elemen-elemen; meteorology dan mineorologi; esensi alam dan manifestasinya,
botani, zoology, anatomi dan antropologi.
Menurut Mahmud Yunus secara umum dalam perguruan tinggi masa itu terdiri
dari dua jurusan, yaitu: jurusan ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab serta
kesusasteraannya atau disebut ilmu naqliyah dan jurusan ilmu-ilmu hikmah/filsafat
atau ilmu-ilmu aqliyah.49
Ilmu-ilmu yang diajarkan pada jurusan ilmu naqliyah sebagai berikut: tafsir
Alquran, hadis, fiqh dan ushul fiqh nahwu/saraf, balaghah, bahasa Arab dan
kesusasteraannya. Adapun ilmu-ilmu yang diajarkan pada jurusan ilmu aqliyah
sebagai berikut: manthiq, ilmu-ilmu alam dan kimia, musik, ilmu-ilmu pasti, ilmu
ukur, falak, ilahiyah (ketuhanan), ilmu hewan, ilmu tumbuh-tumbuhan dan
kedokteran.
Di masa klasik, kurikulum yang terdapat di lembaga pendidikan Islam tidak
menawarkan mata pelajaran yang bermacam-macam. Dalam suatu jangka waktu,
pengajaran hanya menyajikan satu mata pelajaran yang harus ditempuh oleh siswa.
Sesudah materi tersebut selesai, baru ia diperbolehkan mempelajari materi yang lain,
atau yang lebih tinggi tingkatannya. Misalnya pada tahap awal siswa diharuskan
belajar baca-tulis, berikutnya ia belajar berhitung dan seterusnya.
49
Yunus, Sejarah Pendidikan., h. 57.
46
pertama beliau belajar agama pada waktu kecil, beliau menimba ilmu pada Abu
Hamid Ahmad Ibn Muhammad al-Thusi Ar-Radzkani seorang ulama terkenal.
Kemudian beliau pergi ke Naysabur untuk belajar di Madrasah Nizhamiyah
pimpinan Imam Ahmad al-Juwaini (Imam al-Haramain) yang bermadzab Syafii,
yang pada saat itu merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan yang terkenal di
dunia Islam.51
Karena kecakapannya dalam penguasaan ilmu, al-Ghazali oleh gurunya
dikenalkan dengan Nizham al-Mulk, pendiri Madrasah Nizhamiyah.52 Nizham al-
Mulk mengangkat al-Ghazali menjadi guru besar sekaligus Rektor Madrasah
Nizhamiyah Baghdad dalam usia 34 tahun. Selama menjadi rektor, al-Ghazali
banyak menulis buku yang meliputi beberapa bidang seperti fiqh, ilmu kalam dan
buku-buku sanggahan terhadap aliran-aliran kebatinan, Ismailiyah.53 Penulisan
berbagai karya ilmiah tersebut tidak mengurangi kesibukannya dalam mengajar dan
meneliti. Beliau adalah seorang filosof, ahli ilmu kalam dan tasawuf serta ahli fiqih
selain juga seorang pemikir besar dalam sejarah Islam yang pengaruhnya sangat besar
hingga hari ini.
b) Ilmu furu (cabang): fiqh, ilmu hal ihwal hati dan akhlak.
c) Ilmu pengantar (muqaddimah) ilmu bahasa dan gramatika.
d) Ilmu pelengkap (mutammimah).
2. Ilmu bukan syariah terdiri atas:
a) Ilmu terpuji: ilmu kedokteran, ilmu berhitung dan ilmu pustaka.
b) Ilmu yang diperbolehkan (tak merugikan); kebudayaan, sastra, sejarah,
puisi.
c) Ilmu yang tercela (merugikan): ilmu tenun, sihir dan bagian-bagian
tertentu dari filsafat.
Berdasarkan objek, ilmu dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu:
1. Ilmu pengetahuan yang tercela secara mutlak, baik sedikit maupun banyak
seperti sihir, azimat, nujum dan ilmu tentang ramalan nasib.
2. Ilmu pengetahuan yang terpuji, baik sedikit maupun banyak, namun kalau
banyak lebih terpuji, seperti ilmu agama dan tentang ilmu beribadat.
3. Ilmu pengetahuan yang kadar tertentu terpuji, tetapi jika mendalaminya
tercela, seperti dari sifat naturalisme.
Berdasarkan status hukum mempelajari yang dikaitkan dengan nilai gunanya
dan dapat digolongkan kepada:
1. Fardhu ain, yang wajib dipelajari oleh setiap individu, ilmu agama dan
cabang-cabangnya.
2. Fardu kifayah, ilmu ini tidak diwajibkan kepada setiap muslim, tetapi harus
ada diantara orang muslim yang mempelajarinya. Dan jika tidak seorangpun
diantara kaum muslimin dan kelompoknya mempelajari ilmu dimaksud,
maka mereka akan berdosa. Contohnya; ilmu kedokteran, hitung, pertanian.
Nama lengkapnya adalah Waliu al-Din 'Abd al-Rahman ibn Muhmmad ibn al-
Hasan ibn al-Jabir ibn Muhammad ibn Ibrahim ibn 'Abd al-Rahman ibn Khaldun.55
Lahir di Tunisia tahun 1332 M dan meninggal di Mesir tahun 808 H / 1406 M.
Leluhurnya berasal dari hadharal maut Yaman yang hijrah ke Spanyol pada abad ke
delapan bersamaan dengan penaklukan Islam di Semenanjung Andalusia.56
Ibn Khaldun, seperti halnya anak-anaknya muslim lain sewaktu kecil belajar
menghafal Alquran dan tajwid. Disana ia belajar membaca dan menghafal Alquran
serta ilmu pengetahuan lain dari guru-gurunya.57 Sudah menjadi tradisi pada masa itu,
ayahnya adalah guru pertama. Adalah kewajiban orang tua untuk mengurus
pendidikan anaknya sebaik mungkin. Kemudian Ibn Khaldun mempelajari bahasa
pada sejumlah guru. Yang terpenting adalah Abu Abdillah Muhammad Ibn al-Arabi
al-Hasyayiri dan Abu al-Abbas Ahmad ibn al-Qassar, serta Abu Abdillah Ibn
Bahar. Ia mempelajari hadis pada Syamsuddin Abu Abdillah al-Wadiyasi. Mengenai
fiqh, ia belajar pada sejumlah guru, di antaranya Abu Abdillah Muhammad al-Jiyani
dan Abu Qahiri. Demikian juga ia mempelajari ilmu-ilmu rasional atau filosofis,
yakni teologi, logika, ilmu-ilmu kealaman, matematika dan astronomi kepada Abu
Abdillah Muhammad ibn al-Abili. Ia sangat mengangumi gurunya yang terakhir
ini.58
b. Kurikulum Pendidikan Islam Ibn Khaldun
Dalam pembahasannya mengenai kurikulum Ibn Khaldun mencoba
membandingkan kurikulum-kurikulum yang berlaku pada masanya, yaitu kurikulum
pada tingkat rendah yang terjadi di negara-negara Islam bagian barat dan timur. Ia
mengatakan bahwa sistem pendidikan dan pengajaran yang berlaku di Maghrib,
bahwa orang-orang Maghrib membatasi pendidikan dan pengajaran mereka pada
55
Muhammad Abdullah Enan, Ibnu Khaldun his Life and Work (New Delhi: Kitab Bhavan,
1979), h. 2-3.
56
Lutfi Jum'ah, Tarikh al-Falasifah al-Islami fi al-Masyriq wa al-Maghrib, (Mesir: Ainus
Syams, t.t.), h. 19.
57
Ibid., h. 11.
58
Ibid., h. 12.
50
59
Muhammad Jawad Ridha, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam (Tiara Wacana,
Yogyakarta, 2002), h. 187.
60
Ibid., h. 189.
51
Ilmu pengetahuan filosofis juga sering disebut sains alamiah. Hal ini
disebabkan karena dengan potensi akalnya, setiap orang memiliki kemampuan untuk
menguasainya dengan baik.
Ilmu pengetahuan syariyyah dan filosofis merupakan pengetahuan yang
ditekuni manusia (peserta didik) dan saling berinteraksi, baik dalam proses
memperoleh atau proses mengajarkannya. Konsepsi ini kemudian merupakan pilar
dalam merekonstruksi kurikulum pendidikan Islam yang ideal, yaitu kurikulum
pendidikan yang mampu mengantarkan peserta didik yang memiliki kemampuan
membentuk dan membangun peradaban umat manusia.61
Pandangan Ibn Khaldun tentang materi ilmu dan kurikulum demikian tidak
mengandung makna pemilahan yang bersifat taksonomi, tapi pengklasifikasiannya
dilihat dari segi urgensinya bagi kepentingan manusia. Ia masih dalam kerangka
kesatuan yang sesuai dengan pandangan Alquran. Pengaruh Alquran tampak jelas
dalam memandang ilmu sebagai bagian dari aktivitas pendidikan insani. Karena
Alquran menyatukan (menganut sistem kesatuan) di antara material dan spritual, ilmu
dan agama, ilmu dan amal, antara agama dan negara, manusia dan realitas.62
61
Nizar, Filsafat Pendidikan., h. 95-96.
62
Ali Khalil Abu al-'Ainain, Falsafah al-Tarbiyah al-lslamiyah fi al-Quran al-Karim (Mesir:
Dar al-Fikr al-'Arabi, 1980), h. 297.
63
Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad
Naguib al-Attas: An Exposition of the Original Concept of Islamization (Kuala Lumpur: International
Institute of Islamic Thought and Civilization, 1998), h. 45.
52
Syed Ali bin Abdullah al-Attas, sedangkan ibunya bernama Syarifah Raguan Al-
Idrus, keturunan kerabat raja-raja Sunda Sukapura, Jawa Barat. Ayahnya berasal dari
Arab yang silsilahnya merupakan keturunanulama dan ahli tasawuf yang terkenal dari
kalangan sayid.64
Syed Muhammad Naquib al-Attas mengembangkan potensi dasarnya yakni
bidang intelektual. Untuk itu, Syed Muhammad Naquib al-Attas sempat masuk
Univesitas Malaya selama 2 tahun. Berkat kecerdasan dan ketekunanya, dia dikirim
oleh pemerintah Malaysia untuk melanjutkan studi di Institute of Islamic Studies Mc.
Gill, Canada. Dalam waktu relatif singkat, yakni 1959-1962, dia berhasil menggondol
gelar master dengan mempertahankan tesis Raniry and the Wujuddiyah of 17th
Centhury Acheh.65 Alasan dia mengambil judul tersebut karena ingin membuktikan
bahwa Islamisasi yang berkembang di kawasan tersebut bukan dilaksanakan kolonial
Belanda, melainkan murni dari upaya Islam sendiri. 66 Kemudian melanjutkan studi
School of Oriental and African Studies di Univesitas London, disinilah ia mempunyai
pengaruh sebagai tokoh pemikir pendidikan Islam.67
Memasuki tahapan pengabdian kepada Islam, Syed Muhammad Naquib al-
Attas memulai dengan jabatan dijurusan kajian melayu pada Universitas Malaya. Hal
ini dilaksanakan pada tahun 1966-1970. Disini dia menekankan arti pentingnya kajian
Melayu. Sebab mengkaji sejarah melayu dengan sendirinya juga mendalami proses
Islamisasi di Indonesia dan Malaysia. Karya-karya pujangga melayu banyak yang
berisi ajaran ajaran Islam yang kebanyakan dibicarakan dalam karya melayu adalah
ajara-ajaran Islam terutama tasawuf. Bahkan Syed Muhammad Naquib al-Attas
mendirikan lembaga pengajaran dan penelitian yang khusus pada pemikiran Islam
terutama filsafat sebagai jantung proses Islamisasi. Gagasan tersebut disambut positif
oleh pemerintah Malaysia, sehingga pada tanggal 22 November 1978 berdirilah
64
Ibid.,
65
Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan., h. 117-112.
66
Ibid.,
67
Ibid.,
53
68
Ibid,.
69
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, Syed M. Naquib Al- Attas,
Cet-1, (Mizan: Bandung, 2003), h.134.
54
intelektual yang concern kepada pendidikan dan persoalan umum umat Islam, tetapi
juga pakar dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Ia juga dianggap sebagai tokoh
penggagas Islamisasi ilmu pengetahuan yang mempengaruhi banyak tokoh lainnya. 70
Ia secara sistematis merumuskan strategi Islamisasi ilmu dalam bentuk kurikulum
pendidikan untuk umat Islam.
Meski demikian, ide-ide al-Attas tentang Islamisasi ilmu pengetahuan dalam
pendidikan Islam banyak memperoleh tantangan dari para pemikir yang terlahir dari
dunia Barat.
70
Ibid., h. 98.
71
George Makdisi, The Rise of College: Institute Learning in Islam and the West (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 1981), h. 10-32.
72
Yusny Saby, Opini Publik terhadap Dayah, makalah Disampaikan pada Muktamar VI
Persatuan Dayah Inshafuddin, Maret 2004 di Banda Aceh.
73
Abudin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam pada Abad Pertengahan, Terj. (Canada: Montreal,
2000), h.12.
55
Madinah74, Rasulullah mengangkat Ubaid Ibn as-Samit sebagai guru pada shuffah di
Madinah, pada perkembangan selanjutnya shuffah juga menawarkan pelajaran
berhitung, kedokteran, astronomi, geneologi, dan ilmu fonetik.75
Bukan hanya shuffah, tetapi juga dikenal istilah kuttab atau maktab. Kuttab
berasal dari kata (fiil madhi) kataba yang berarti menulis, sedangkan maktab
adalah isim makan (keterangan tempat) yang berarti tempat menulis, atau tempat
dilangsungkannya kegiatan tulis menulis.76 Kebanyakan para ahli sejarah Islam
mengatakan bahwa keduanya merupakan istilah yang sama, yaitu sebuah lembaga
pendidikan Islam yang paling dasar di samping zawiyah dan shuffah. Di tempat ini
diajarkan membaca dan menulis Alquran, kaligrafi, gramatikal Arab, sejarah Nabi dan
hadis.
Sejak abad ke-8 lembaga ini berkembang sedemikian rupa sehingga tidak
hanya mengajarkan pendidikan agama tetapi juga mengajarkan pendidikan non
agama (al-Ulum an-Naqliyah) dan bahkan pada perkembangan selanjutnya kuttab
atau maktab dibedakan menjadi dua, kuttab sebagai tempat mengajarkan agama
(al-Ulum an-Naqliyah) dan maktab mengajarkan ilmu-ilmu non agama (al-Ulum al-
Aqliyah).77
Selanjutnya dalam dunia pendidikan Islam juga dikenal istilah halaqah yang
berarti melingkari, proses belajar pada halaqah dilaksanakan dimana murid-murid
melingkari gurunya, seorang guru biasanya duduk membaca dan menerangkan suatu
karangan atau bahan mata pelajaran atau bahan pelajaran yang diajarkan. Sekarang
halaqah merupakan satu metode belajar yang diterapkan di dayah.
74
Ibid.,
75
Ibid.,
76
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), h. 89.
77
Hanum, Sejarah., h. 49.
56
78
M. Hasbi Amiruddin, Eksistensi Dayah Masa Depan di Provinsi NAD, dalam Buletin Nida
al-Islam, Edisi 03/2004, MPU Aceh Utara, Badan Penerbitan dan dan Penyiaran, h. 8.
79
Makdisi, The Rise., h. 45.
80
Ibid
81
Safwan Idris, Perkembangan Pendidikan Pesantren/Dayah (Antara Tradisi dan Pembaruan)
dalam Buku Pendidikan di Daerah Istimewa Aceh, (Banda Aceh: Majelis Pendidikan Daerah Istimewa
Aceh, 1995), h. 61-62.
57
82
M. Hasbi Amiruddin, Ulama Dayah Pengawal Agama Masyarakat Aceh (Lhokseumawe,
Nadiya Foundation: 2003), h. 34.
58
83
Abd. Mukti, Konstruksi Pendidikan Islam; Belajar dari Kejayaan Madrasah Nizhamiyah
Dinasti Saljuq, Cet. I, (Bandung: Citapustaka Media, 2007), h. 266-267.
84
Ibid.,
59
Hal lain yang membuat Abdul Mukti yakin bahwa Kerajaan Pasai memiliki
andil yang besar dalam pengembangan dayah adalah dengan merujuk pada pendapat
Ibn Bathuthat yang yang menyebutkan dua ulama besar yang bekerja pada kesultanan
Pasai (659/1260-913/1507) asal Persia di masa pemerintahan al-Malik al-Zhahir II
(727/1326-749/1348), yakni Amir Sa'id asal Syiraz yang memangku jabatan sebagai
hakim agama (qadhi) merangkap guru agama, dan Tajuddin asal Ishfahan sebagai
mufti dan merangkap guru agama. Pada masa inilah muncul dayah sebagai
pendidikan tingkat tinggi, kelanjutan meunasah sebagai lembaga pendidikan rendah.85
Kemudian argumen yang diungkapkan Abdul Mukti di atas juga diperkuat dengan
pendapat HAMKA yang mengatakan bahwa Madrasah Nizhamiyah dan lembaga-
lembaga pendidikan Sunni lainnya mempunyai pengaruh dalam pembinaan dan
pengembangan lembaga-lembaga pendidikan pada kesultanan Islam Sunni terdahulu
di Nusantara.86
Salah satu hal yang menyebabkan susahnya mengetahui dengan pasti kapan
sebenarnya dayah masuk ke Aceh, disebabkan oleh masih kurangnya penelitian dan
perhatian yang mendalam terhadap dayah sendiri. James T. Siegel dalam buku The
Rope of God, membahas tentang lembaga ini, tetapi pembahasannya terbatas pada
perkembangan dayah abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20.
Snouck Hurgronje adalah seorang peneliti tentang Aceh di masa pemerintahan
Belanda, tetapi dia tidak mengungkapkan dengan jelas tentang dayah, ini disebabkan
karena ia hanya menghabiskan sedikit waktunya di Aceh, dan juga dia tidak bebas
bergerak keluar dari wilayah pengawasan Belanda. Mungkin hal inilah yang
menyebabkan dayah luput dari studinya meskipun dia menyebutkan deah (dayah)
dan rangkang beberapa kali dalam karyanya The Atjehnese.87
Kalau didasarkan pada hasil seminar yang diadakan pada tanggal 25-30
September 1980 di Rantau Panyang Peureulak tentang masuk dan berkembangnya
85
Ibid.,
86
Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), Sejarah Umat Islam, Cet. III (Jakarta: Bulan
Bintang, 1981), h. 81.
87
Amiruddin, Ulama Dayah., h. 36.
60
88
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sejarah Pendidikan Daerah Istimewa Aceh
(Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984), h. 15.
89
Ibid., h. 15.
90
Snouck Hurgronje, The Atjehness, Terj. (Laiden: E.J. Brill, 1906), h. 26.
61
(abad ke-18 dan ke-19 M). Dayah yang dibangun pada masa tersebut ialah Dayah
Tgk. Chik Kuta Karang, Dayah Lam Birah, Dayah Lamnyong, Dayah Lam Bhuk,
Dayah Krueng Kalee, Dayah Lam Krak, Dayah Lam Pucok, Dayah Lam U, Dayah
Rumpet di Kuala Daya, Dayah Teungku Chik Pante Geulima di Pidie, Dayah
Meunasah Blang Samalanga dan beberapa dayah lain yang dibangun disekitar
pertanahan Batee Iliek. Mengenai tahun pendirian dayah-dayah tersebut di atas belum
diperoleh data yang pasti.
Dayah Tanoh Abee merupakan dayah yang besar dan paling berpengaruh pada
abad ke-19 M. sampai sekarang dayah ini masih menyimpan manuskrip-manuskrip
karya ulama-ulama terdahulu dan ini masih dapat kita jumpai pada perpustakaan
dayah tersebut.
Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Syah, Belanda memaklumkan
perang terhadap Aceh pada tahun 1873 M, seluruh ulama dayah dan santrinya ikut
berjuang membela agama dan mempertahankan Negara dari serangan Kaphee-kaphee
Beulanda (sebutan orang Aceh untuk kolonial Belanda), dan banyak diantara ulama-
ulama dayah menjadi panglima perang di antaranya adalah Teungku Chik Di Tiro
(Tengku Muhammad Saman) dan banyak diantara mereka menjadi pengobar
semangat perjuangan masyarakat Aceh dalam melaksanakan jihad. Diantara mereka
adalah Teungku Abdul Hamid Samalanga dengan Ummul Qura-nya mampu
membakar semangat rekan-rekannya melawan Belanda.91
Keterlibatan mereka berperang mengangkat senjata telah memacetkan proses
perkembangan dayah, apalagi ada dari ulama-ulama pendiri dayah yang ikut syahid
ketika bertempur dengan Belanda di antara mereka adalah Teungku Haji Ismail anak
Teungku Chik Pante Geulima (Pendiri Dayah Pante Geulima), beliau syahid
mempertahankan Kuta Batee Iliek (Samalanga) bersama ulama pemimpin dayah
sekitar daerah tersebut seperti Teungku Chik Lueng Keubu dan Teungku Chik Kuta
Glee.
91
Shabri A, dkk, Biografi Ulama-Ulama Aceh Abad XX, jilid II (Banda Aceh: Dinas Pendidikan
dan Kebudayaan Aceh, 2003), h. 19.
62
Faktor lain yang menghambat perkembangan dayah pada masa itu adalah
upaya dari kolonial Belanda untuk menghambat sistem pendidikan Islam dan
menyebarkan sistem pendidikan barat di Aceh sehingga pada saat itu dayah
terbengkalai, karena lemahnya dayah, Belanda langsung menyerang dayah karena
menurut mereka dayah adalah basis konsentrasi perjuangan rakyat.
Belanda juga membakar dayah dan membunuh seluruh staf pengajarnya serta
membumihanguskan seluruh perpustakaan yang ada di dayah. Jika ada dayah yang
masih bertahan itu-pun dibangun didaerah yang terisolir dan jauh dari pantauan
Belanda, karena daerahnya jauh maka tidak ada santri yang belajar disana dan lambat
laun dayah tersebut juga akan mati.
Setelah perang Aceh usai kira-kira sekitar tahun 1904 M barulah dayah-
dayah yang telah terbengkalai tersebut dibangun dan dibenahi kembali untuk dapat
digunakan lagi sebagai lembaga pendidikan, adapun dayah yang dibangun kembali
setelah perang Aceh usai antara lain di Aceh Besar: Dayah Tanoh Abee, Dayah Lam
Birah oleh Teungku Haji Abbas (Teungku Chik Lam Birah), sedangkan adiknya
Teungku Haji Djakfar (Teungku Chik Lam Jabad) membangun Dayah Jeureula,
selanjutnya juga dibenahi Dayah Lam Nyong, Dayah Lambhuk, Dayah Ulee Susu,
Dayah Indrapuri, Dayah Lam Seunong, Dayah Ulee U, Dayah Krueng Kalee, Dayah
Montasik, Dayah Piyeung, dan masih banyak dayah yang dibangun kembali di daerah
Aceh Besar.92
Di daerah Pidie juga dibangun kembali dayah- dayah yang telah ada sebelum
perang, diantaranya adalah Dayah Tiro, Dayah Pante Geulima, Dayah Cot Plieng,
Dayah Blang, Dayah Leupoh Raya, Dayah Garot/Gampong Aree, Dayah Ie Leubee
(Keumbang Tanjong) yang didirikan oleh Teungku Muhammad Arsyad, Dayah
Meunasah Raya yang didirikan oleh Teungku Chik Pante Geulima (Teungku
92
A. Hasyimi, Pendidikan Islam di Aceh dalam Perjalanan Sejarah, Sinar Darussalam No. 63.
Agustus/September, 1975, h. 5-38.
63
Muhammad Yusuf), Dayah Teupin Raya yang didirikan oleh Teungku Chik Teupin
Raya.93
Di daerah Aceh Utara juga dilaksanakan hal serupa, yaitu kembali
membangun dayah-dayah yang ditinggalkan ketika perang Aceh berkecamuk,
diantara dayah yang dibangun adalah: Dayah Tanjongan, Dayah Masjid Raya, Dayah
Kuala Blang, Dayah Cot Meurak, Dayah Juli, Dayah Pulo Kiton dan lain-lain.
Sementara di Aceh Barat di samping membangun kembali Dayah Rumpet
oleh keturunan Teungku Chik Muhammad Yusuf, juga dibangun dayah-dayah baru
seperti di Ujong Kalak dan Blang Meulaboh, di Paya Lumpai Samatiga dipimpin oleh
Teungku Syekh Abu Bakar sanpai tahun 1963 M. sebelum membangun Dayah
Samatiga Teungku Syekh Abu Bakar belajar di Dayah Lambhuk Aceh Besar. Jumlah
santri dimasing-masing dayah tersebut hanya puluhan orang, selain itu di Kuala Batee
Woyla terdapat juga dayah di bawah pimpinan Tengku Ahmad, demikian juga dayah
di Peureumbeu di bawah pimpinan Teungku di Tiwi.94
Di Aceh Selatan sejak perempatan abad ke-20 M juga berdiri beberapa dayah,
diantaranya adalah Dayah Teungku Syekh Mud di Blang Pidie. Teungku Syekh Mud
memperoleh pendidikan di Dayah Lambhuk dan Dayah Indrapuri Aceh Besar, di
Suak Samatiga berdiri pula dayah yang bernama Ishlahul Umam di bawah pimpinan
Teungku Abu dan Teungku Muhammad Yasin. Di Terbangan berdiri Dayah al-
Muslim dibawah pimpinan Teungku Zamzami Yahya dan di Labuhan Haji berdiri
dayah yang disebut al-Khairiyah di bawah pimpinan Teungku Muhammad Ali Lam
Pisang.95
pimpinannya, dayah ini menjadi sangat terkenal dan banyak dikunjungi oleh pelajar-
pelajar dari seluruh wilayah Aceh, salah satu ulama yang pernah belajar di dayah ini
dan dikenal sebagai tokoh guru dayah adalah Teungku Haji Muhammad Wali al-
Khalidi, yang biasa disapa masyarakat Aceh sampai sekarang dengan Abuya Muda
Wali. Ia adalah ulama terkenal yang memiliki kemampuan mencetak kader-kader
ulama di dayah yang kesohor sampai sekarang yaitu Dayah Darussalam Labuhan
Haji Aceh Selatan.
Ada baiknya penulis menceritakan sedikit tentang Abuya Muda Wali dan
dayah yang dipimpinya karena beliau disebut sebagai bapak ulama dayah. Ia bernama
Muhammad Wali, dilahirkan pada tahun 1337/1917 di Blang Poroh Labuhan Haji
Aceh Selatan, melalui pasangan Teungku Syekh Muhammad Salim bin Malin Palito
yang berasal dari Batu Sangkar Sumatera Barat, dan ibunya bernama Janadat binti
Keuchik Nyak Ujud.96
Muhammad Wali kecil belajar pertama kalinya pada ayahnya sendiri Teungku
Haji Salim. Di samping itu juga, ia belajar pada Sekolah Dasar pemerintah Hindia
Belanda yaitu vokl school sampai tamat, dari sang ayah Muhammad Wali
memperoleh pengetahuan dasar agama Islam, tauhid, fiqh dan pengetahuan bahasa
Arab. Setelah tamat dari vokl school sambil belajar di Dayah al-Khairiyah Labuhan
Haji Aceh Selatan.
Setelah empat tahun belajar disana. Muhammad Wali diantar ke Dayah
Bustanul Huda di Blang Pidie, di dayah ini ia belajar kitab-kitab yang masyhur
dikalangan ulama-ulama Syafii seperti I anatut Thalibin, Tahrir dan Mahalli dalam
bidang fiqh, Alfiah dan Ibnu Aqil dalam ilmu bahasa Arab. Semasa di dayah ini
disebutkan bahwa ia telah menunjukkan dan membuktikan dirinya sebagai murid
yang cerdas.
Semasa belajar di Bustanul Huda, Muhammad Wali sering melakukan
perdebatan ilmiah dengan gurunya Syekh Mahmud, setelah mendapat pengetahuan
96
Tim Penulis IAIN ar-Raniry, Ensiklopedi Pemikiran Ulama Aceh (Banda Aceh: ar-Raniry
Press, 2004), h. 315-329.
65
agama di dayah ini, ia merantau ke Aceh Besar menimba ilmu pada dayah-dayah
terkenal, mula-mula ia belajar di Dayah Krueng Kalee pimpinan Teungku Syekh Haji
Hasan Krueng Kalee, seorang ulama besar Ahlussunnah wal Jamaah (kaum Tua),
kemudian khusus untuk mempelajari ilmu Alquran ia pindah belajar ke Dayah
Kasbiyah Indrapuri pimpinan Teungku Haji Ahmad Hasballah Indrapuri, seorang
ulama dari aliran Ahlussunnah wal Jamaah (kaum muda) penganjur gerakan
pemurnian akidah dan ibadah yang sangat radikal (tahun 1933)97, tetapi di dayah ini,
ia banyak menghabiskan waktunya untuk mengajar, karena setibanya di Dayah
Indrapuri ia dinilai senior dalam ilmu-ilmu agama, sehingga ia diangkat menjadi guru
dayah.
Pada tahun 1931 Muhammad Wali bersama beberapa orang lainnya dikirim ke
Normal Islam Scholl di Padang oleh Atjeh Study Found sebuah yayasan yang
bergerak dibidang pendidikan. Normal Islam dipimpin oleh seorang ulama alumnus
Darul Ulum Kairo, yaitu Mahmud Yunus, ditempat ini ia tidak bertahan lama, sebab
menurutnya dilembaga ini tidak memberi banyak penambahan dalam pengetahuan
agamanya.
Dari Normal Islam yang beraliran modern, kemudian Syekh Muda Wali
kembali belajar pada pusat pendidikan Islam yang dipimpin ulama Ahlussunnah wal
Jamaah kaum tua yaitu pada Insyik (sebutan untuk ulama besar di Sumatera Barat)
Muhammad Jamil Jaho Padang Panjang.98 Pengetahan yang luas yang dimiliki Syekh
Muda Wali membuatnya diangkat menjadi guru di lembaga yang dipimpin oleh
Insyik Jamil Jaho dan kemudian Syekh Muda Wali dinikahkan dengan Putrinya yang
bernama Siti Rabiah, dan bersama istrinya dia menunaikan ibadah haji ke Mekkah.
Selama Mekkah lebih kurang dua tahun beliau tidak hanya menunaikan ibadah haji
tapi juga memperdalam ilmu pengetahuan agamanya pada ulama besar Masjidil
Haram, yaitu Syekh Ali al-Maliki, sehingga memperoleh syahadah/ijazah dan
97
Shabri A, dkk, Biografi Ulama., h. 82.
98
Ibid., h. 82.
66
akhirnya pada tahun 1939 ia kembali ke Aceh. 99 Sebelum berangkat ke Mekkah pada
tahun 1939 beliau sempat belajar Tarekat Naqsyabandiyah selama 40 hari pada Syekh
Abdul Ghani al-Kamfari di Batu Basurek, Bangkinang Riau dan kemudian kembali
ke Aceh.
Setelah beliau tiba di Aceh dan memperhatikan masyarakat begitu antusias
belajar agama padanya, hal tersebut mendorong beliau dan berusaha keras untuk
dapat mendirikan bangunan yang digunakan untuk pengajian, mulanya beliau
membangun satu surau dengan dua lantai, lantai pertama untuk belajar dan lantai
kedua untuk penginapan, karena perkembangan santri yang semakin hari semakin
meningkat bertambah terdoronglah hatinya, akhirnya beliau membangun rangkang-
rangkang di atas tanah yang dibeli disekitar surau sehingga luasnya mencapai
400x250 meter.100
Rangkang-rangkang yang dibangun itu dibagi menjadi beberapa bagian dan
diberikan nama masing, yaitu: 101
1. Dar al-Muttaqin
2. Dar al-Arifin
3. Dar al-Mutaallimin
4. Dar al-Salikin
5. Dar al-Zahidin
6. Dar al-Mala
Santri Muhammad Wali datang dari berbagai daerah, mulai dari Aceh Selatan,
Aceh Barat, Aceh Timur, Aceh Utara, Aceh Tengah, Pidie, Aceh Tenggara, dan
bahkan dari daerah luar Aceh yaitu dari Sumatera Barat dan Palembang, setelah
mereka menyantri beberapa tahun di Dayah Darussalam di bawah asuhannya dan
menyelesaikan studinya, mereka diperbolehkan pulang ke daerah asal masing untuk
menyebarkan ilmu yang dimilikinya. Mereka yang diizinkan pulang umumnya
mendapat syahadah/Ijazah dan juga diberi izin mendirikan dayah-dayah baru atau
mengembangkan dayah sudah ada. Hal inilah yang menyebabkan terdapat banyak
99
Muhibuddin Wali, Ayah Kami Maulana Syekh Muhammad Waliy al-Khalidiy; Tgk. Syekh
Haji Muda Waly (Malaysia, Kulliyah of Laws Internasional Islamic University, 1993), h. 58.
100
Ibid.,
101
IAIN ar-Raniry, Ensiklopedi., h. 320-321.
67
102
Sirajuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafii (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2004),
h. 261-262.
103
Ibid., h. 262-263.
68
104
Abu adalah sapaan kehormatan yang diberikan masyarakat Aceh kepada orang yang
memahami ilmu-ilmu keIslaman dan memiliki kharismatik. Tim Penulis, Ulama Aceh dalam
Melahirkan Human Resource di Aceh, Cet I, (Banda Aceh: Yayasan Aceh Mandiri, 2010), h. 5.
70
sudah ada beragam model kurikulum yang telah dipadukan pada lembaga tersebut
mencakup ilmu-ilmu agama, kajian-kajian keislaman, dan teknologi kejuruan. Tanpa
menghilangkan ciri dasar dayah salafiah dengan pola pengajaran kitab kuning, Dayah
MUDI terus berkembang dan menyesuaikan diri dengan roda perkembangan zaman
yang senantiasa berubah dari waktu ke waktu. Diakui juga lembaga ini telah memberi
sumbangan intelektual umumnya pada masyarakat Aceh yang menyekolahkan anak-
anak mereka di Dayah MUDI. Ketika penulis melakukan observasi awal beberapa
bulan sebelum dimulainya penelitian ini jumlah santri yang ditampung dilembaga
pendidikan Islam itu sudah mencapai 500 santri lebih yang berasal dari Aceh dan
beberapa Propinsi serta dari luar negeri.