Anda di halaman 1dari 49

22

BAB II
KAJIAN TEORI

A. Kurikulum Pendidikan Islam


1. Pengertian Kurikulum dalam Pendidikan Islam
Secara etimologis, kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yaitu
curere yang berubah menjadi kata benda curriculum. Kata ini
dipakai pertama kali dalam dunia atletik yang diartikan sebagai a
race course, a place for running a chariot (suatu jarak untuk
perlombaan yang harus ditempuh oleh seorang pelari atau kereta
pacu mencapai garis finis).1
Dalam konteks pendidikan, pembahasan tentang kurikulum bukanlah
permasalahan sederhana, hal ini disebabkan banyaknya literatur yang berbeda-beda
sejak adanya pembahasan pengertian dari kurikulum. Banyaknya pendapat ahli
mengakibatkan lebih banyak lagi persepsi terhadap kurikulum di kalangan yang
bukan ahli pendidikan. Namun demikian, keadaan tersebut masih dapat
disederhanakan tanpa mempersempit arti dari kurikulum tersebut.
Dalam arti sempit, kurikulum dapat dimaknai sebagai
sejumlah materi yang disajikan dalam jangka waktu tertentu untuk
mencapai kriteria tertentu sehingga dinyatakan lulus pada pelajaran
tertentu atau sejumlah mata pelajaran yang harus dikuasai dalam
kurun waktu tertentu sehingga dinyatakan lulus pada jenjang
pendidikan tertentu. Sama halnya dengan George A. Beauchamp
yang mengemukakan bahwa, A Curriculun is a written document
which may contain many ingredients, but basically it is a plan for

1
Asep Herry Hernawan & Riche Cyntia dalam , Kurikulum dan Pembelajaran (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2011), h. 2. Lihat juga Zainal Arifin, Pengembangan Manajemen Mutu Kurikulum
Pendidikan Islam (Yogyakarta: DIVA Press, 2012), h. 35.
23

the education of pupils during their enrollment in given school. 2


Namun, ada pendapat lain yang mengemukakan kurikulum dalam
arti yang lebih luas. Dalam hal ini, kurikulum tidak hanya diartikan
sebagai serangkaian dokumen tertulis saja melainkan kurikulum
lebih dianggap sebagai suatu pengalaman atau sesuatu yang nyata
terjadi dalam proses pendidikan. Hal tersebut seperti dikemukakan
oleh Caswel dan Campbell yang mengatakan bahwa kurikulum to
be composed of all the experiences children have under the
guidance of teachers.3
Menurut Undang-undang Sisdiknas, Kurikulum adalah seperangkat rencana
dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan
sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
pendidikan tertentu.
Adapun pengertian kurikulum dalam pendidikan Islam, jika merujuk kepada
kamus-kamus bahasa Arab, maka kata kurikulum disinonimkan dengan kata
Manhaj yang memiliki makna dasar sebagai jalan yang terang, atau jalan terang
yang dilalui oleh manusia pada berbagai bidang kehidupannya. 4 Dari sini, dapat
dipahami bahwa kurikulum (manhaj) dimaksudkan sebagai jalan terang yang dilalui
oleh pendidik atau guru dengan orang-orang yang dididik atau dilatihnya untuk
mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap mereka.
Oleh Ramayulis manhaj diartikan sebagai jalan terang yang dilalui manusia
dalam berbagai sendi kehidupannya. Istilah ini kelihatannya lebih luas bila
dibandingkan dengan istilah kurikulum yang diambil dari bahasa Yunani terbatas
pada dunia olah raga saja. Maka kata manhaj dalam bahasa Arab sudah digunakan
dalam dunia pendidikan dengan pengertian pengetahuan atau mata pelajaran yang

2
George A. Beauchamp, Curriculum Theory (Boston: F.E. Peacock Publishers, 1981), h. 26.
3
Willian F. Pinar, Understanding Curriculum; An Introduction to the Study of Historical and
Contemporary Curriculum Discourses, Cet.7, (New York: Peter Lang Publising, 2008), h. 89.
4
Fairu az-Zabadi, al-Qamus al-Muhith (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), h. 304.
24

harus ditempuh oleh peserta didik untuk mendapatkan ijazah atau tingkatan tertentu. 5
Zakiah Daradjat memandang kurikulum sebagai suatu progam yang direncanakan
dalam bidang pendidikan dan dilaksanakan untuk mencapai sejumlah tujuan-tujuan
pendidikan tertentu.6
Kurikulum dalam pandangan modern dan pendapat-pendapat tokoh
pendidikan umum merupakan program pendidikan yang disediakan oleh sekolah yang
tidak hanya sebatas bidang studi dan kegiatan belajar saja, akan tetapi meliputi segala
sesuatu yang dapat mempengaruhi perkembangan dan pembentukan pribadi siswa
sesuai dengan tujuan pendidikan yang diharapkan sehingga dapat meningkatkan mutu
kehidupannya yang pelaksanaannya tidak hanya di sekolah tetapi juga di luar sekolah.
Maka dengan menyimpulkan beberapa pengertian di atas serta analisa yang
disampaikan tokoh pendidikan Islam, kurikulum dalam pendidikan Islam adalah
seperangkat rencana, tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan oleh
pendidik untuk membimbing peserta didiknya ke arah tujuan tertinggi pendidikan
Islam, melalui akumulasi sejumlah pengetahuan, keterampilan dan sikap. Dalam hal
ini proses pendidikan Islam bukanlah suatu proses yang dapat dilakukan secara
serampangan, tetapi mengacu kepada konseptualisasi manusia paripurna (insan al-
kamil).

2. Ciri-ciri Kurikulum Pendidikan Islam


Setelah kita memahami pengertian kurikulum, selanjutnya secara lebih
spisifik kita memahami ciri kurikulum pendidikan Islam yang tentunya memiliki
perbedaan dengan kurikulum pendidikan pada umumnya. Secara umum ciri
kurikulum pendidikan Islam merupakan pencerminan nilai-nilai Islami yang
diperoleh dari hasil pemikiran kefilsafatan dan dipraktekkan dalam semua kegiatan
kependidikan. Maka bisa dikatakan bahwa ciri kurikulum pendidikan Islam selalu
memiliki keterkaitan dengan Alquran dan hadis. Konsep inilah yang membedakan

5
Ramayulis, Ilmu Pendidikan,. h. 61.
6
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 103.
25

dengan pendidikan pada umumnya. Asy-Syaibani merinci ciri-ciri kurikulum


pendidikan Islam sebagai berikut: 7
1. Kurikulum pendidikan Islam mengedepankan dan mengutamakan agama dan
akhlak dalam berbagai tujuannya. Materi dalam kurikulum pendidikan Islam
haruslah mencerminkan nilai-nilai keislaman dan bersumber pada Alquran
dan sunnah, metode pembelajaran yang diterapkan, alat dan teknik dalam
kurikulum pendidikan Islam juga mencerminkan nilai-nilai keagamaan.
2. Kandungan dan cakupan kurikulum pendidikan Islam bersifat menyeluruh
yang mencerminkan semangat pemikiran dan ajaran Islam yang bersifat
universal dan menjangkau semua aspek kehidupan, baik intelektual,
psikologis, sosial dan spiritual.
3. Kurikulum pendidikan Islam mempunyai keseimbangan yang relatif di dalam
muatan keilmuannya baik ilmi-ilmu syariat, ilmu akal dan bahasa serta seni.
Disamping Kurikulum pendidikan Islam menyeluruh, cakupan dan
kandungannya, juga memperhatikan keseimbangan relatif, disebut
keseimbangan relatif karena mengakui bahwa tidak ada keseimbangan yang
mutlak pada kurikulum pengajaran.

Keseimbangan kurikulum pendidikan Islam juga diakui oleh para pendidik


muslim pada zaman klasik seperti Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin
Tarkhan bin Auzalagh al-Faraby yang memuji keseimbangan kurikulum di negeri
Andalusia dimana ia tinggal, Waliu al-Din Abdu al-Rahman Ibnu Khaldun juga
memberikan penilaian terhadap keseimbangan kurikulum di dunia Barat dan dunia
Timur.8 Asy-Syaibani juga menambahkan sebagian ciri kurikulum pendidikan Islam
juga terkait dengan minat, bakat dan kemampuan peserta didik, sehingga murid tidak
mempelajari suatu mata pelajaran kecuali ia merasa senang dengan materi tersebut,
kurikulum pendidikan Islam juga memperhatikan keterkaitan antara lingkungan
dengan lembaga pendidikan dan peserta didik, sehingga penyusunan kurikulum selalu
disesuaikan dengan kebutuhan sosial masyarakat di wilayah tertentu, dari segi lain
pendidikan Islam bersifat dinamis dan bisa menerima dinamika perubahan bila

7
Omar Mohammad al-Toumy asy-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, Terj. Hasan
Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 490.
8
Ibid., h. 491-498.
26

diperlukan, kurikulum pendidikan Islam juga mempunyai sifat keserasian antara mata
pelajaran, kandungan, dan kegiatan-kegiatan pembelajaran.9
Kurikulum pendidikan Islam mencakup kesemua materi pelajaran yang
dibutuhkan oleh peserta didik, baik yang bersifat kerelegiusan (religion) maupun
yang bersifat keduniaan (secular). Materi keagamaan digunakan untuk memahami
hakikat hubungan manusia dengan sang pencipta sementara materi ilmu umum
digunakan untuk mencukupi kebutuhan primer dan sekunder manusia dalam
hubungannya dengan sesama manusia.10
Ciri kurikulum pendidikan Islam tersebut jelas mempunyai perbedaan dengan
kurikulum pendidikan umum, dalam hal ini misalnya Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) yang mempunyai ciri sebagai brikut:
a. Menekankan ketercapaian Kompetensi siswa, baik secara individual maupun
klasikal.
b. Berorientasi pada hasil belajar dan keberagaman.
c. Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang
bervariasi.
d. Sumber belajar bukan hanya guru tetapi juga sumber lainnya yang
mempunyai unsur edukatif.
e. Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan
atau pencapaian suatu kompetensi.

3. Prinsip-prinsip Kurikulum Pendidikan Islam


Salah satu komponen pendidikan sebagai suatu sistem adalah materi. Materi
pendidikan ialah semua bahan ajar yang disampaikan kepada peserta didik dalam
suatu sistem institusional pendidikan. Materi pendidikan ini lebih dikenal dengan
istilah kurikulum. Sedangkan kurikulum menunjuk pada materi yang sebelumnya
telah disusun. Dengan melihat ciri-ciri kurikulum pendidikan Islam di atas, kurikulum
pendidikan Islam disusun dengan mengikuti tujuh prinsip sebagai berikut:
1. Pertautan yang sempurna dengan agama, termasuk ajaran-ajaran dan nilai-
nilainya.

9
Ibid., h. 512-528.
10
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam (Yogyakarta: ar-Ruz Media, 2011), h. 130.
27

2. Prinsip menyeluruh (universal) pada tujuan-tujuan kandungan-kandungan


kurikulum.
3. Perkaitan dengan bakat, minat, kemampuan-kemampuan, dan kebutuhan
pelajar, begitu juga dengan alam sekitar fisik dan sosial di mana pelajar itu
hidup dan berinteraksi untuk memperoleh pengetahuan, pengalaman dan
sikapnya.
4. Pemeliharaan perbedaan-perbedaan individual di antara pelajar-pelajar dalam
bakat, minat, kemampuan, kebutuhan, dan masalah-masalahnya juga
memelihara perbedaan dan kelainan di dalam sekitar dan masyarakat.
5. Prinsip perkembangan dan perubahan.
6. Prinsip pertautan antara mata pelajaran, pengalaman-pengalaman dan aktivitas
yang terkandung dalam kurikulum.
Dari prinsip-prinsip yang telah disebutkan di atas, asy-Syaibani mengatakan
bahwa kurikulum pendidikan Islam merupakan kurikulum yang diilhami oleh nilai
dan ajaran agama Islam, yang selalu berkomitmen memperhatikan aktifitas manusia
modern dengan mengedepankan etika dan akidah Islam. Meskipun dikatakan bahwa
kurikulum pendidikan Islam bersifat fleksibel dengan mengikuti dinamika perubahan
zaman, namun tetap dengan memegang teguh identitas keislamannya.
Lebih lanjut, Muhammad Athiyyah al-Abrasyi memberikan pemahaman
tentang kurikulum pendidikan Islam berdasarkan prinsip-prinsip asy-Syaibani dengan
menitik beratkan kepada enam hal, yaitu: 11
a. Materi yang bersifat keagamaan diberikan kepada peserta didik dengan
maksud terbentuknya jiwa peserta didik yang sempurna dan utama.
b. Materi keagamaan mendapatkan porsi yang lebih dibandingkan ilmu yang lain
karena materi ini merupakan sendi pembentukan moral yang luhur.
c. Selain memberikan materi yang bersifat keagamaan, kurikulum pendidikan
Islam juga menaruh perhatian terhadap materi yang bersifat keduniaan,
dengan tujuan memberikan pengalaman untuk bergaul dengan sesama
manusia.
d. Ilmu pengetahuan yang yang dipelajari dalam Islam memperhatikan prinsip
ilmu untuk ilmu, yang karenannya mempelajari pengetahuan dalam
11
Muhammad Athiyyah al-Abrasyi, Tarbiyyat al- Islamiyah wa Falasifatuha (Beirut: Dar al-
Fikr, t.t.), h. 22.
28

pandangan para pemikir Islam merupakan suatu kenikmatan dan bukan untuk
mengejar materi duniawi.
e. Pendidikan kejuruan, teknik dan perindutrian diperhatikan dalam pendidikan
Islam sebagai alat pencari penghidupan sekedarnya.
f. Suatu materi adalah alat dan pembuka untuk mempelajari ilmu-ilmu lain.

Dalam penilaian al-Abrasyi perbedaan penting antara kurikulum pendidikan


Islam dengan kurikulum pendidikan pada umumnya, adalah bahwa kurikulum
pendidikan Islam tujuan utamanya adalah segi keruhanian, aqidah, akhlak dan moral
keislaman, sementara pendidikan umum tujuannya adalah semata-mata menggapai
segi keduniaan dan materi.
Dengan melihat ciri dan prinsip kurikulum diatas, penulis cenderung terhadap
apa yang diungkapkan Abdul Rahman Saleh Abdullah sebagimana dikutib oleh Toto
Suharto, yang mengklasifikasi domain kurikulum Pendidikan Islam ke dalam tiga
ranah sebagai berikut:12
a. Al-Ulum ad-Diniyah, yaitu ilmu-ilmu keislaman normatif yang menjadi
rujukan bagi segala ilmu yang ada.
b. Al-Ulum al-Insaniyah yang meliputi ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang
berkaitan dengan manusia dan pergaulannya, seperti sosiologi, antropologi,
psikologi, pendidikan dan lain-lain.
c. Al-Ulum al-Kauniyah, merupakan ilmu alam dengan prinsip ke arah
kepastian, seperti matematika, fisika, kimia, biologi dan lain-lain.

Dengan ketiga ranah ini pendidikan Islam secara tegas menolak dualisme dan
sekularisme kurikulum pendidikan Islam, sebab dualisme kurikulum dapat
mendatangkan dua macam bahaya yang pertama: ilmu-ilmu keislaman akan
mendapat derajat yang lebih rendah dibandingkan dengan ilmu keduniaan, kedua:
lahirnya integrasi sekulerisme yang mengorbankan domain agama, yang selanjutnya
dapat menstigmakan konsep anti agama.

B. Kurikulum Pendidikan Islam dalam Tinjauan Historis

12
Suharto, Filsafat,. h. 132-133.
29

Kurikulum pendidikan Islam pada zaman dahulu tentunya tidak sama dengan
kurikulum modern. Menurut Ahmad Tafsir, kurikulum adalah sejumlah mata
pelajaran yang harus ditempuh atau dipelajari oleh siswa. Lebih luas lagi kurikulum
bukan hanya sekedar rencana pelajaran, tetapi semua yang secara nyata terjadi dalam
proses pendidikan.13 Pada lembaga pendidikan saat ini, siswa dituntut untuk
mempelajari sejumlah bidang studi yang ditawarkan oleh lembaga. Di samping itu,
siswa juga diwajibkan mengikuti serangkaian kegiatan sekolah yang dapat
memberikan pengalaman belajar.
Pada masa awal Islam, kurikulum yang terdapat di lembaga pendidikan Islam
tidak menawarkan mata pelajaran yang bermacam-macam. Dalam suatu jangka
waktu, pengajaran hanya penyajikan satu mata pelajaran yang harus ditempuh oleh
siswa. Sesudah materi tersebut selesai, baru ia diperbolehkan mempelajari materi
yang lain, atau yang lebih tinggi tingkatannya. Misalnya pada tahap awal siswa
diharuskan belajar baca-tulis, berikutnya ia belajar berhitung dan seterusnya. Dari
uraian ini jelas memperlihatkan bahwa perbedaan kurikulum pendidikan masa klasik
dengan kurikulum modern, kurikulum klasik lebih menekankan pendalaman satu
materi sebelum melangkah kemateri yang lain, sementara kurikulum pendidikan
modern cakupan materi pelajaran yang disediakan oleh lembaga sangat beragam dan
luas, para peserta didik dihadapkan untuk berkompeten pada semua cakupan materi
tersebut walau tidak harus menguasainya secara keseluruhan tapi sekedar
memahaminya saja.
Kurikulum dalam lembaga pendidikan pada masa klasik pada mulanya
berkisar pada bidang studi tertentu. Namun seiring perkembangan sosial dan kultural,
materi kurikulum menjadi semakin luas. Pada masa Nabi di Madinah, materi
pelajaran berkisar pada belajar menulis, membaca Alquran, keimanan, ibadah, akhlak,
dasar ekonomi, dasar politik dan kesatuan.14 Setelah wilayah Islam semakin luas,
Islam harus bersentuhan dengan budaya masyarakat non-Islam yang menyebabkan

13
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung: Rosdakarya, 1992), h. 53.
14
Ibid., h. 59.
30

permasalahan sosial semakin kompleks. Problem sosial tersebut pada akhirnya


berpengaruh besar terhadap kehidupan keagamaan dan intelektual Islam, termasuk
ilmu hellenistik yang terjalin kontak dengan Islam. Perkembangan kehidupan
intelektual dan kehidupan keagamaan dalam Islam membawa situasi lain bagi
kurikulum pendidikan Islam. Maka diajarkanlah ilmu-ilmu baru seperti Tafsir, hadis,
fiqih, tata bahasa, sastra, matematika, teologi, astronomi dan kedokteran.15
Dalam Penelitian ini penulis mengambil setting bentuk kurikulum pada tiga
masa: 1) Masa Nabi sebagai permulaan dan awal dimulainya pendidikan dan
pengajaran dalam Islam. 2) Masa Dinasti Umayah dan 3) Masa Dinasti Abbasiyah
(132-656 H/750-1258 M) terutama pada masa ketika perkembangan ilmu
pengetahuan sangat pesat dan pertumbuhan lembaga-lembaga pendidikan Islam
semakin luas. Dengan alasan bahwa pada ketiga periode tersebut pendidikan Islam
dirintis mulai dari masa Nabi dengan kurikulum pokok ilmu-ilmu agama hingga
berkembang sedikit demi sedikit sampai ditemukannya ilmu-ilmu baru dalam sejarah
peradaban umat Islam ketika masa kekhalifahan Abbasiyah. Setidaknya kita bisa
melihat bagaimana format ideal kurikulum pendidikan Islam yang berkembang dari
ketiga tahapan perkembangan tersebut, dan bisa menjadi tolak ukur dalam
membangun peradaban Pendidikan bagi umat Islam umumnya dan secara khusus bisa
menjadi acuan dalam rangka mengembangkan kurikulum pendidikan Islam
dilembaga-lembaga pendidikan Islam yang ada pada masa kini.

1. Kurikulum Pendidikan Islam masa Nabi


Pembahasan kurikulum pendidikan Islam pada masa Nabi yang penulis
dimaksudkan disini mungkin tidak seperti pengertian istilah kurikulum pada zaman
sekarang, yang terjadi dalam dunia pendidikan modern dimana semua perangkat
pendidikan menjadi satu unsur untuk sebuah kurikulum pendidikan. Perlu dipahami
karena bahwa kurikulum yang ingin penulis sampaikan khususnya pada periode Nabi
dan beberapa periode berikutnya, hanyalah dipahami sebagai subjek atau materi ilmu
15
Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Logos, 1999), h. 73.
31

pengetahuan yang diajarkan dalam suatu proses pendidikan, materi-materi ilmu


pengetahuan yang berkembang pada masa itu juga berlandaskan pada wahyu yang
diterima nabi yaitu al-Quran al-Karim.
Kurikulum pendidikan masa nabi baik pada fase Mekkah maupun Madinah
adalah Alquran seperti sudah dijelaskan. Allah mewahyukan Alquran sesuai dengan
situasi dan kondisi, kejadian dan peristiwa yang dialami umat Islam saat itu. 16 Istilah
tersebut pada periode berikutnya dikenal dengan Asbab an-Nuzul. Mengidentifikasi
kurikulum pendidikan Islam pada zaman Nabi terasa sulit, faktor-faktor yang bisa
diidentifikan diantaranya secara umum adalah. Rasul mengajar pada lembaga
pendidikan kehidupan yang luas, memanfaatkan berbagai kesempatan yang
mengandung nilai-nilai pendidikan. Rasul menyampaikan ajarannya dimana saja,
dirumah, dimesjid, dijalan, dan di tempat-tempat lainnya.17 Hal ini menunjukkan
bahwa institusi pendidikan formal yang menaungi sejumlah materi ilmu pengetahuan
belum terkonstruksi dengan sempurna. Adapun lembaga kuttab18 yang berkembang
sebagai sebuah lembaga pendidikan masa itu kurikulumnya-pun masih berkisar baca
tulis Alquran, sastra, syair Arab, dan pembelajaran berhitung. Pendidikan kuttab
berlangsung di rumah-rumah guru yang mengajarkan baca tulis sastra, syair Arab, dan
pembelajaran berhitung, namun setelah Islam datang materinya ditambah dengan
baca tulis Alquran dan memahami hukum-hukum Islam.19
Periodesasi pendidikan masa Nabi dapat dibagi menjadi dua, yaitu masa nabi
di Mekkah dan masa setelah beliau hijrah ke Madinah. Sesuai dengan pembagian dua
periode tersebut maka materi/ilmu yang dibawa Nabi dan yang berkembang pada saat
itu juga berbeda sesuai tempat, kondisi masyarakat serta pertumbuhan masyarakat
muslim.

16
Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam; Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era
Rasulullah sampai Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), h. 11.
17
Armai Arief, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam Klasik
(Bandung: Angkasa 2004) h. 35.
18
Secara etimologi kuttab berasal dari bahasa Arab yaitu kataba, yaktubu kitaban yang artinya
telah menulis, sedang menulis, dan tulisan. Sedangkan maktab artinya meja atau tempat untuk
menulis, (Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, cet.12 (Jakarta: Hidakarya Agung, 1998), h. 257.
19
Nizar, Ibid,. h. 38.
32

a. Kurikulum Pendidikan Islam Periode Mekkah


Dimulai dengan turunnya wahyu dari Allah, Nabi Muhammad saw telah diberi
tugas oleh Allah Swt untuk memberi peringatan dan pengajaran kepada seluruh umat
manusia, mendidik dan mengajarkan Islam. Setelah banyak orang memeluk Islam,
lalu Nabi menyediakan rumah al-Arqam untuk tempat pertemuan sahabat-sahabat
dan pengikut-pengikutnya. di tempat itulah pendidikan Islam pertama dilaksanakan
dalam sejarah pendidikan Islam.20
Pada periode Mekkah, Nabi Muhammad lebih menitikberatkan pembinaan
moral dan akhlak serta tauhid kepada masyarakat Arab yang bermukim di Mekkah.
Mahmud Yunus dalam bukunya Sejarah Pendidikan Islam, menyatakan bahwa
pembinaan pendidikan Islam pada periode Mekkah meliputi:21
1. Pendidikan Keagamaan (Tauhid)
2. Pendidikan Akliyah dan Ilmiah
3. Pendidikan Akhlak dan Budi pekerti
4. Pendidikan Jasmani atau Kesehatan
Keseluruhan materi pengajaran tersebut semua bersumber dari Alquran,
dimana Alquran sebagai wahyu dari Allah menjadi rujukan dan pedoman utama.
Adapun mengenai materi-materi ilmu lain yang dipelajari pada fase Mekkah yaitu
dengan merujuk kepada materi pendidikan yang diajarkan di kuttab seperti yang telah
penulis singgung sebelumnya yaitu di kuttab diajarkan baca tulis Alquran,
mempelajari syair-syair Arab, dan pembelajaran berhitung.

b. Kurikulum Pendidikan Islam Periode Madinah


Kedatangan Nabi ke Madinah disambut baik oleh masyarakat setempat, Islam
memiliki lingkungan baru yang bebas dari ancaman, namun lingkungan ini bukan
berarti benar-benar baik dan bebas dari segala permasalahan. Justru di sini Nabi
mendapatkan permasalahan-permasalahn baru, yaitu 1) kenyataan bahwa kaumnya

20
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Hidakarya Agung, 1992), h. 6.
21
Ibid., h. 26.
33

terdiri dari dua kelompok yang berbeda. Yaitu kaum Muhajirin22 dan Anshar23. 2)
Kaum yang baru dalam Islam di Madinah hidup bersanding dengan kaum Yahudi
Yatsrib yang tidak senang terhadap terbentuknya masyarakat baru kaum Muslimin.
Ketika pertama kali hijrah dan diangkat sebagai kepala Negara, Nabi melaksanakan
beberapa hal: 24
1. Proklamasi berdiriya sebuah negara dengan cara mengumumkan nama
Madinah al-Munawwarah bagi kota Yatsrib.
2. Mendirikan mesjid Nabawi sebagai pusat kegiatan umat Islam dan pusat
pendidikan Islam.
3. Mempersaudarakan kaum muhajirin dan anshar dengan persaudaraan
berdasarkan agama sebagai basis negara.

Berbeda dengan periode Mekkah, dimana pembinaan pendidikan lebih fokus


terhadap pendidikan tauhid, maka pada periode Madinah ini ciri pokok pembinaan
pendidikan Islam dapat dikatakan lebih mengarah pada pendidikan sosial dan politik.
Tetapi sebenarnya kedua ciri tersebut bukanlah merupakan ciri yang bisa dipisahkan
satu sama lain. Kalau pendidikan di Mekkah titik beratnya adalah penanaman nilai-
nilai tauhid ke dalam jiwa tiap individu muslim agar dari jiwa mereka terpancar sikap
sinar tauhid dan tercermin dalam perilaku sehari-hari. Sedangkan pendidikan di
Madinah merupakan kelanjutan dari pendidikan tauhid di Mekkah, yaitu pembinaan
bidang pendidikan sosial dan politik yang dijiwai oleh ajaran tauhid, sehingga
akhirnya tingkah laku sosial politiknya merupakan cerminan sinar tauhid tersebut.
Ajaran Islam yang berkenaan dengan kehidupan masyarakat banyak turun di
Madinah. Disinilah awal dimulainya sejarah baru dalam peradaban Islam umumnya

22
Muhajirin berasal dari kata 'hajara', yang berarti berhijrah, sedangkan muhajirin berati
orang-orang yang berhijrah. Dalam sejarah Islam, kata muhajirin biasanya dimaksudkan kepada orang-
orang yang berhijrah bersama Rasulullah saw dari kota Mekkah ke kota Madinah.
23
Anshar berasal dari kata 'nashara yang artinya menolong. Sedangkan kaum Anshar berati
kaum penolong. Dimaksudkan kepada umat Islam Madinah yang membantu Rasulullah saw dan
sahabatnya yang hijrah ke Madinah. muhajirin dan anshar merupakan contoh kongkrit kuatnya
persaudaraan dalam Islam. Mereka telah memberikan contoh bagaimana sikap seseorang muslim
dalam saling menolong dan mengasihi sesama saudaranya yang muslim.
24
Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik; Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam (Jakarta:
Kencana, 2003), h. 9.
34

dan pendidikan Islam secara khusus yang mulai berkembang pesat dengan materi-
materi pengajaran yang semakin luas.
Pada fase ini dapat diberikan beberapa kesimpulan mengenai materi ilmu yang
telah berkembang serta anjuran-anjuran Nabi dalam memerintahkan para sahabat
untuk mempelajari beberapa cabang ilmu, anjuran dan perintah nabi menjadi pondasi
awal dalam pengembangan ilmu pengetahuan masa itu, serta rujukan bagi umat Islam
pada masa berikutnya. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Nabi saw pernah
memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk mempelajari bahasa Suryani.25 Bahasa Suryani
adalah bahasa orang Persia, kemajuan bangsa Persia sendiri telah diakui sebelum
datangnya Islam, bangsa Persia memiliki peradaban ilmu pengetahuan dan
kebudayaan yang tinggi, karena seperti diketahui kemajuan ilmu pengetahuan dan
peradaban yang dicapai pada masa berikutnya oleh umat Islam, yaitu pada masa
daulah Abbasiyah adalah tidak lebih karena persentuhan budaya dengan bangsa
Persia yang telah maju dalam bidang ilmu pengetahuan lebih dahulu. Namun
demikian, bila diteliti secara lebih jauh tidak ada dan belum ada lembaga pendidikan
masa Nabi seperti kuttab yang telah memasukkan kurikulum mempelajari bahasa
Suryani ke dalam materi inti kurikulum pendidikan masa itu. Adapun perintah Nabi
tersebut walaupun tidak bisa dikatakan perintah secara khusus kepada Zaid bin
Tsabit, akan tetapi kenyataannya belum dilihat penerapannya dalam lembaga
pendidikan yang berkembang masa itu secara utuh dan dan menyeluruh. Namun dari
sisi lain hadis perintah mempelajari bahasa Suryani tersebut bisa dijadikan landasan
bagi umat Islam untuk menggali ilmu pengetahuan dengan cara mempelajari bahasa
suatu bangsa yang memiliki peradaban ilmu pengetahuan yang tinggi.
Secara umum sesuai penjelasan yang peneliti sampaikan di atas dapat
disimpulkan bahwa materi pendidikan Islam yang berkembang pada periode Madinah
memang telah lebih luas dibandingkan periode Mekkah, walaupun hanya beberapa

25
Abu Isa Muhammad Ibn Isa Ibn Surah at-Turmudzi, al-Jamiul Kabir at-Tirmizi Cet. 1,
(Beirut: Dar al-Gharb al-Islami, 1996), h. 351. Lihat Juga dalam, Abu Muhammad Abdul Haq al-
Isybiliy, Ahkamus Syariyyah al-Kubra Cet.1 Juz.1 (Riyahd, Maktabah ar-Rusyd: 2001), h. 313.
35

aspek saja yang bertambah. Dengan tetap fokus pada Alquran sebagai materi
kurikulum dasar pendidikan Islam yang berkembang pada periode Madinah, maka
secara detail materi ilmu pengetahuan berkisar pada beberapa bidang, yaitu:
keimanan (ilmu tauhid), akhlak, ibadah, kesehatan jasmani, dan ditambah
pengetahuan kemasyarakatan (sosial dan budaya) serta bahasa.26

2. Kurikulum Pendidikan Islam masa Umayah


a. Sejarah Ringkas Dinasti Umayah
Kekuasaan Bani Umayyah berumur kurang lebih 90 tahun. Ibu kota negara
dipindahkan Muawiyah dari Madinah ke Damaskus, tempat ia berkuasa sebagai
gubernur sebelumnya. Muawiyah Ibn Abi Sufyan adalah pendiri Dinasti Umayah
yang berasal dari suku Quraisy keturunan Bani Umayah yang merupakan khalifah
pertama dari tahun 661-750 M, nama lengkapnya ialah Muawiyah Ibn Abi Sufyan
Ibn Harb Ibn Umayah Ibn Abdi al-Syams Ibn Abdi Manaf.27
Setelah Muawiyah diangkat menjadi khalifah ia menukar sistem pemerintahan
dari Theo Demokrasi menjadi kerajaan/dinasti dan sekaligus memindahkan Ibu Kota
negara dari kota Madinah ke kota Damaskus. Muawiyah lahir 4 tahun menjelang
Nabi Muhammad saw menjalankan dakwah Islam di kota Mekkah, ia beriman dalam
usia muda dan ikut hijrah bersama Nabi ke Yastrib (Madinah). Disamping itu ia
termasuk salah seorang pencatat wahyu, dan ambil bagian dalam beberapa
peperangan bersama Nabi.28
b. Kurikulum Pendidikan yang Berkembang
Membahas perkembangan kurikulum pendidikan pada satu masa
pemerintahan tentunya tidak terlepas dengan melihat dan mengacu kepada
perkembangan ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa tersebut, dalam hemat
penulis sendiri, hal ini akan lebih terarah ketika bisa melihat jenis-jenis ilmu yang
berkembang pada masa tersebut, karena disatu sisi akan memudahkan penulis sendiri
26
Abuddin Nata, Pendidikan Islam Perspektif Hadis (Ciputat: UIN Jakarta Press 2005), h. 24.
27
Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1967), h. 2.
28
Yusuf Syuaib, Sejarah Daulah Umayyah, Jld. I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), h. 13.
36

dalam mengungkap seperti apa kurikulum pendidikan Islam yang berkembang pada
pada masa Dinasti Umayah.
Periode Dinasti Umayah disibukkan dengan pemberontakan dalam negeri dan
sekaligus memperluas daerah kerajaan, hal ini mengakibatkan pemusatan dan
perhatian pada perkembangan ilmiah agak kurang diberikan oleh para khalifah,
namun bukan berarti ilmu pengetahuan tidak berkembang sama sekali pada masa ini.
Hal ini dibuktikan dengan munculnya beberapa ilmuwan terkemuka dalam berbagai
cabang ilmu seperti yang dikemukakan oleh Abdul Malik Ibn Juraid al-Maki dan
cerita peperangan serta syair dan kitabah, sesuai yang penulis kutip dengan apa yang
disebutkan oleh Hasan Langgulung.29
Pendidikan Islam pada masa periode dinasti Umayah ini hampir sama dengan
pendidikan pada masa khulafa ar-rasyidin. Hanya saja memang ada sisi perbedaan
perkembangannya. Perhatian para khalifah dibidang pendidikan agaknya kurang
memperhatikan perkembangannya sehingga kurang maksimal, pendidikan berjalan
tidak diatur oleh pemerintah, tetapi oleh para ulama yang memiliki pengetahuan yang
mendalam. Kebijakan-kebijakan pendidikan yang dikeluarkan oleh pemerintah
hampir tidak ditemukan. Jadi sistem pendidikan Islam ketika itu masih berjalan
secara alamiah karena kondisi ketika itu diwarnai oleh kepentingan politis dan
golongan.
Walaupun demikian pada periode dinasti Umayah ini dapat disaksikan adanya
gerakan penerjemahan ilmu-ilmu baru dari bahasa lain ke dalam bahasa Arab, tetapi
penerjemahan itu terbatas pada ilmu-ilmu yang mempunyai kepentingan praktis,
seperti ilmu kimia, kedokteran, ilmu tata negara dan seni bangunan. Pada umumnya
gerakan penerjemahan ini terbatas hanya orang-orang tertentu dan atas usaha sendiri,
bukan atas dorongan negara dan tidak dikembangkan. Menurut Franz Rosenthal
orang yang pertama kali melakukan penerjemahan ini adalah Khalid Ibn Yazid cucu
dari Muawiyah.30
29
Ibid., h. 18-19.
30
Suwedi, Sejarah Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h.16.
37

Selain perkembangan seperti tersebut di atas, ada beberapa jenis ilmu


pengetahuan yang berkembang pada masa ini, yaitu:
1. Ilmu agama, seperti: Alquran, hadis, dan fiqh. Proses pembukuan hadis
terjadi pada masa Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz sejak saat itulah hadis
mengalami perkembangan pesat.
2. Ilmu sejarah dan geografi, yaitu segala ilmu yang membahas tentang
perjalanan hidup, kisah, dan riwayat. Ubaid Ibn Syariyah al-Jurhumi berhasil
menulis berbagai peristiwa sejarah.
3. Ilmu pengetahuan bidang bahasa, yaitu ilmu yang mempelajari bahasa,
nahu, saraf, dan lain-lain.
4. Bidang filsafat, yaitu segala ilmu yang pada umumnya berasal dari bangsa
asing, seperti ilmu mantiq, kimia, astronomi, ilmu hitung dan ilmu yang
berhubungan dengan itu, serta ilmu kedokteran.31

3. Kurikulum Pendidikan Islam masa Abbasiyah


a. Sejarah Singkah Berdirinya Dinasti Abbasiyah
Kekuasaan dinasti Abbasiyah atau kekhalifahan Abbasiyah melanjutkan
kekuasaan dinasti Umayyah. Dinamakan kekhalifahan Abbasiyah karena pendiri dan
penguasa dinasti ini adalah keturunan al-Abbas paman Nabi Muhammad saw. Dinasti
Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah
ibn Abbas. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu antara tahun 132-656
H/750-1258 M.32 Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan
berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Berdasarkan
perubahan pola pemerintahan dan politik itu, para sejarawan membagi masa
pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode:33
1. Periode Pertama (132H/750 M 232 H/847 M), disebut periode pengaruh
Persia pertama
2. Periode Kedua (232 H/847 M 334H/945 M), disebut masa pengaruh Turki
pertama

31
Nizar, Sejarah., h. 43.
32
A. Syalaby, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jld. III, (Jakarta: Pustaka Al Husna, 2003), h.
17.
33
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h. 49-50.
38

3. Periode Ketiga (334 H/945 M 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti
Buwaih dalam pemerintah khalifah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa
pengaruh Persia kedua.
4. Periode Keempat (447 H/1055 M 590 H/1194 M), masa kekuasaan dinasti
Saljuk dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah, masa ini disebut juga dengan
masa pengaruh Turki kedua.
5. Periode Kelima (590 H/1194 M 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari
pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota
Baghdad. 34

Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbas mencapai masa


keemasannya. Secara politis, para khalifah adalah betul-betul tokoh yang kuat dan
merupakan pusat kekuasaan politik dan agama. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat
mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi
perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan Islam. Namun, periode ini sangat
singkat hanya empat tahun.
Popularitas daulah Abbasiyah mencapai puncaknya pada zaman khalifah
Harun al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya al-Mamun (813-833 M). Menurut
Jalal al-Din Abdurrahman as-Suyuthi bahwa zaman pemerintahan Khalifah Harun
al-Rasyid seluruhnya merupakan zaman yang penuh dengan kabaikan, semuanya
indah seperti pengantin-pengantin baru.35 Kekayaan banyak dimanfaatkan oleh Harun
al-Rasyid untuk keperluan sosial, rumah sakit, lembaga pendidikan dokter dan
farmasi didirikan, disamping itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun.
Tingkat kemakmuran yang paling tinggi terwujud pada zaman khalifah ini.
Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, kebudayaan serta
kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. al-Mamun sebagai pengganti Harun
al-Rasyid dikenal sebagai khalifah yang cinta ilmu pengetahuan, sehingga pada masa
pemerintahannya penerjrmahan buku-buku asing digalakkan. Beliau juga banyak
mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah
pembangunan Bait al-Hikmah sebagai pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai

34
Nizar, Sejarah., h. 66.
35
A. Syalabi, Sejarah dan., h. 98.
39

perguruan tinggi dengan perpustakaan yang terbesar. Pada masa al-Mamun inilah
Baghdad menjadi pusat ilmu pengetahuan.
b. Kurikulum/Materi Ilmu Pengetahuan yang Berkembang
Dengan mengacu kepada beberapa literatur yang penulis jadikan sumber
utama (primer) khususnya dalam melihat format kurikulum pada Dinasti Abbasiyah,
maka materi-materi pengetahuan dapat dibagi sesuai jenjang dengan tingkatan usia
peserta didik dan sesuai dengan disiplin ilmu yang dipelajari dimasing-masing
tingkatan pendidikan. Berikut ini adalah format kurikulum atau materi pelajaran pada
masing tingkatan pendidikan yang berkembang pada Dinasti Abbasiyah:
a) Kurikulum Pendidikan Rendah/ Dasar
Pada periode Abbasiyah sekolah dasar disebut juga (kuttab) yang merupakan
bagian terpadu dengan mesjid. Kurikulum utamanya disebutkan pada Alquran sebagai
bacaan utama para siswa, mereka juga diajari baca-tulis. Hampir dalam seluruh
kurikulum yang diajarkan, metode menghafal sangat dipentingkan. Lembaga
pendidikan Islam pertama untuk pengajaran yang lebih tinggi tingkatannya
adalah Bait al-Hikmah (rumah kebijaksanaan) yang didirikan oleh al-Mamun di
Baghdad. Selain berfungsi sebagai biro penerjemahan, lembaga ini juga dikenal
sebagai pusat kajian akademis dan perpustakaan umum serta memiliki sebuah
observatorium.36 Mata pelajaran pokok yang terdapat pada pase rendah adalah
Alquran, agama, membaca, menulis dan syair. Dalam beberapa hal kadang-kadang
ditambah dengan mata pelajaran nahwu, cerita-cerita dan belajar berenang. Adapula
di antaranya kurikulum yang berisi pelajaran yang terbatas pada menghafal Alquran
dan mengajarkan beberapa dasar-dasar pokok agama.
Tentang pentingnya mengajarkan Alquran pada anak usia dini atau pada pase
rendah ini, seperti yang diungkapkan oleh Ibn Sina yang mengemukakan pendapatnya
tentang mendidik anak, yaitu dimulai dengan mengajarkan Alquran, karena anak-
anak telah siap dari segi fisik dan mental untuk menerima pendiktean, dan pada

36
Philip K. Hitti, History of The Arabs, Terj. Cecep Lukman Yasin, dkk, cet.1, (Jakarta:
Serambi, 2005), h. 512-515.
40

waktu yang sama pula diajarkan huruf hija dan diajarkan dasar agama, kemudian
mempelajari syair dan artinya, yang dimulai dengan Buhur Rajaz kemudian diajarkan
qasidah. Apabila anak-anak telah selesai menghafal Alquran dan mengetahui dasar-
dasar bahasa, kemudian ia diarahkan untuk mempelajari sesuatu sesuai dengan
tabiatnya dan kesanggupannya.37
Al-Qabisi juga menjelaskan sebuah bentuk dari pendidikan tingkat pertama
(rendah) dengan memulai mempelajari Alquran, shalat dan sesudah itu diperbolehkan
mempelajari berhitung, syair, nalar dan bahasa Arab.
Ibn Khaldun mengemukakan pentingnya mengajarkan Alquran bagi anak-
anak. Mengajarkan Alquran itu adalah titik permulaan dan dasar pendidikan yang
terisi dalam seluruh kurikulum di seluruh negara. Mengajarkan Alquran bagi anak-
anak merupakan salah satu syiar agama Islam. Menurut Ibn Khaldun sistem
pengajaran yang dipakai di Maghrib (Maroko) membatasi pada mempelajari Alquran,
anak-anak tidak diajari hadis, fiqh atupun syair, sehingga mereka hanya mahir dalam
Alquran saja. Berbeda dengan sistem pengajaran di Maghrib, pembelajaran di
Andalus dimulai dengan mempelajari Alquran karena Alquran dianggap sebagai
sumber agama dan ilmu pengetahuan. Disana juga diajarkan syair, bahasa Arab dan
qawaidnya, ilmu khath dan membaca.38 Dari berbagai pendapat para ulama di atas,
terlihat betapa pentingnya mengajarkan Alquran bagi anak-anak pada usia dini, dan
merupakan langkah awal dalam proses pembelajaran terhadap anak pada pendidikan
tingkat rendah dan merupakan titik awal dasar pendidikan pengenalan agama Islam.
Adapun di Afrika di samping mempelajari Alquran, mereka juga mempelajari
hadis, ilmu pengetahuan dan beberapa masalah yang menyangkut dengannya. Akan
tetapi perhatian mereka lebih banyak ditekankan pada mempelajari Alquran dan
menghafalnya, dan mempelajari riwayat dan qiraat-qiraatnya dari pada pelajaran-

37
Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1979),
h. 59-60.
38
Ibid., h. 61-62.
41

pelajaran yang lain. Mengenai perhatian mereka terhadap ilmu khath (kaligrafi)
menduduki nomor dua setelah Alquran.
Menurut Mahmud Yunus, ilmu-ilmu yang di ajarkan pada tingkat rendah
(kuttab) pada mulanya adalah sangat sederhana, yaitu: a). Belajar membaca dan
menulis; b). Membaca Alquran dan menghafalnya; c). Belajar pokok-pokok ajaran
Islam, seperti cara berwudhu, sembahyang puasa dan sebagainya. Pada masa
khalifah Umar bin Khattab beliau instruksikan pada penduduk-penduduk kota supaya
diajarkan pada anak-anak berenang, mengendarai kuda, memanah, membaca dan
menghafal syair-syair dan peribahasa.39
Adapun rencana pengajaran (kurikulum) pada tingkat rendah secara umum
adalah sebagai berikut: a). Membaca Alquran dan menghafalnya; b). Pokok-pokok
agama Islam; c). menulis; d). kisah atau riwayat orang-orang besar Islam; e).
membaca dan menghafal syair-syair (prosa); f). berhitung; g). pokok-pokok nahwu
dan sharaf.40
Menurut keterangan al-Qabisi, bahwa mata pelajaran paka tingkat rendah
terdiri dari dua macam, yaitu mata pelajaran wajib dan mata pelajaran ikhtiyariah.
Mata pelajaran wajib terdiri dari Alquran, hadis Nabi, shalat, doa, nahwu dan bahasa
Arab serta membaca dan menulis. Adapun mata pelajaran ikhtiyariah terdiri dari:
berhitung, ilmu nahwu dan bahasa Arab, syair dan riwayat/tarikh Arab.41
Demikian rencana pelajaran (kurikulum) pada tingkat rendah di abad ke-4 H.
Pendeknya kurikulun yang seperti itu umumnya dilakukan di sekolah-sekolah tingkat
rendah di seluruh Negara Islam.
Pada masa itu pengajaran diberikan kepada murid-murid, seorang demi
seorang dan belum berkelas-kelas seperti sekarang ini. Pada waktu itu, juga belum
ada kitab-kitab yang ditetapkan mengajarkannya seperti sekarang, karena memang
pada masa itu belum ada percetakatan modern untuk mencetak buku-buku. Pelajaran

39
Yunus, Sejarah Pendidikan,. h. 40.
40
Ibid., h. 49.
41
Ibid., h. 50.
42

diberikan dengan dibacakan oleh guru dan diulang-ulang membacanya oleh murid,
atau didiktekan oleh guru dan ditulis oleh murid, atau murid tersebut disuruh
menyalin dari buku yang telah ditulis dengan tangan.
Dalam sistem yang biasa berlaku pada masa itu, mata pelajaran-mata
pelajaran tersebut di atas, bukan diajarkan sekaligus kepada murid-murid, melainkan
diajarkan satu persatu. Misalnya mula-mula diajarkan Alquran saja, setelah tamat atau
hafal, baru diajarkan pokok-pokok nahwu/sharaf. Kemudian diajarkan mata pelajaran
yang lain dan begitulah seterusnya.
b) Kurikulum Pendidikan Menengah
Kurikulum tingkat menengah juga tidak sama di berbagai daerah, namun
secara umum kurikulum tingkat menengah itu dapat dipaparkan sebagai berikut: a).
Alquran; b). bahasa Arab dan kesusteraan; c). fiqh; d). tafsir; e). hadis; f).
nahwu/sharaf/balaghah; g). Ilmu-ilmu pasti; h). manthiq; i). falak; j). tarikh/sejarah;
k). ilmu-ilmu alam; l). kedokteran; m). Musik.42
Yaqut mengatakan rencana pelajaran pada tingkat menengah terdiri dari
Alquran, tafsir, fiqh, nahwu, sastra, syair, berhitung, ilmu ukur, tarikh dan hadis.
Selain itu ada lagi pelajaran menengah kejuruan. Misalnya untuk jadi juru tulis di
kantor-kantor, selain dari belajar bahasa, ia harus belajar surat-menyurat, pidato,
diskusi, berdebat, serta mempelajari tulisan indah.
c) Kurikulum Pendidikan Tinggi
Kurikulum untuk perguruan tinggi ada beberapa macam, sebagaimana pada
tingkat dasar. Para mahasiswa tidak terkait dengan mempelajari sejumlah mata
pelajaran tertentu. Kurikulum dalam pendidikan tinggi dibagi kedalam dua bagian
pokok, yaitu: kurikulum agama ditambah dengan sastra dan kurikulum ilmu
pengetahun ditambah dengan sastra.43
Dilembaga pendidikan tinggi teologi dan ilmu hadis dijadikan sebagai
lansadan kurikulum dan metode pengajarannya lebih menekankan pada metode
42
Ibid., h. 55.
43
Fahmi, Sejarah dan Filsafat., h. 75.
43

hafalan. Pada waktu itu, ketika catatan harian atau memoranda belum membudaya,
kemampuan menghafal dikembangkan setinggi mungkin dengan syarat sumber-
sumber yang dihafal merupakan sumber-sumber yang dapat dipercaya.44
Al-Khawarizmi meringkas kurikulum agama ditambah sastra dalam buku
Miftah al-Ulum sebagai berikut: ilmu fiqh yang membicarakan tentang shalat,
puasa, zakat, perkawinan, penjualan, pembelian dan lain-lain. Ilmu nahwu, ilmu
kalam, menulis, ilmu arudh dan ilmu akhbar terutama tentang sejarah Persia, sejarah
Islam, sejarah Yunani dan Romawi.45
Kurikulum ilmu pengetahuan ditambah ilmu sastra merupakan ciri khas pase
kedua dari perkembangan pemikiran dalam Islam, pada pase ini kelihatan jelas
perkembangan kebebasan berpikir dan luasnya lapangan pembahasan. Ilmu
pengetahuan yang dipelajari berupa ilmu matematika, ilmu alam, filsafat, kedokteran
dan musik.
Pada masa itu, penentuan kurikulum pendidikan Islam berada di tangan ulama
atau kelompok orang yang berpengaruh dan diterima sebagai otoritatif dalam soal-
soal agama dan hukum. Ilmu-ilmu agama mendominasi kurikulum lembaga
pendidikan tinggi dan Alquran sebagai intinya. Disiplin-disiplin lain yang perlu untuk
memahami dan menjelaskan makna Alquran tumbuh sebagai bagian inti dari
pengajaran, seperti ilmu hadis dan ilmu tafsir.46 Charles Michael Staton
berkesimpulan bahwa sepanjang masa klasik Islam, penentuan sistem dan kurikulum
pendidikan selain keikutsertaan negara dalam mengatur pendidikan juga berada di
tangan ulama, kelompok orang yang berpengetahuan dan diterima sebagai otoritatif
dalam soal-soal agama dan hukum.
Jadi, dapat disimpulkan secara umum, sistem pengelolaan pendidikan klasik
tampaknya lebih ditentukan oleh kekuataan ulama (orang yang memiliki komitmen
intelektual) dari pada kekuatan negara (orang yang memiliki kekuasaan). Baik pada
44
Hitti, History of., h. 518.
45
Ibid., h. 78.
46
Charles Michael Staton, Pendidikan Tinggi dalam Islam: Sejarah dan Peranannya dalam
Kemajuan Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Logos, 1994), h. 53.
44

masa Nabi maupun pada masa bani Abbasiyah, para tokoh agama memiliki otoritas
untuk menentukan sistem pendidikannya.
Muhammad bin Idris as-Syafii sendiri, ulama pendiri mazhab Syafii
mengakui bahwa ada kelebihan-kelebihan pada masing-masing ilmu yang dipelajari,
karena dalam Islam sendiri tidak ada pendikotomian ilmu pengetahuan antara ilmu
agama dan ilmu umum, akan tetapi Islam hanya memprioritaskan mana yang lebih
dulu harus dipelajari antara ilmu agama dan ilmu umum. Dalam hal mengakui
kelebihan tiap-tiap cabang ilmu, imam Syafii menegaskan seperti yang penulis kutip
dari Abi Hasan al-Mawardi dalam buku beliau Adab al-Dunya wa al-Din sebagai
berikut:47


.
orang yang mempelajari Alquran akan ditinggikan derajatnya, orang yang
mempelajari fiqh tinggi kemampuannya, orang mempelajari hadis kuat
argumennya, orang yang mepelajari matematika kuat ingatannya, orang yang
mempelajari bahasa bagus lisannya, dan orang yang tidak bermanfaat ilmunya
itu adalah orang yang tidak berkarya.
Begitulah perkembangan yang cukup pesat dalam ilmu pengetahuan pada
periode ini, keikutsertaan ulama dan keinginan para penguasa memajukan negeri
memang jelas terlihat. Sehingga masa ini disebut masa keemasaan Islam.
Cakupan kurikulum lembaga pendidikan tinggi Islam pada abad ke-10 dapat
juga dapat diketahui dari kitab Al-Fihrist (indeks) oleh Ibn al-Nadim pada tahun 988.
Sumber kedua adalah karya-karya Ikhwan al-Shafa. Adapun ensiklopedi pengajaran
yang dikemukakan oleh Ikhwan al-Shafa adalah sebagai berikut:48
Disiplin-disiplim umum: tulis baca, arti kata dan gramatika, ilmu hitung,
sastra: sajak dan puisi, ilmu tentang tanda-tanda dan isyarat, ilmu sihir dan jimat,
47
Abi Hasan al-Mawardi, Adab al-Dunya wa al-Din, cet. IV, ( Bairut: Daru Iqra, 1985), h.
40.
48
Staton, Pendidikan., h. 56.
45

kimia, sulap, dagang dan keterampilan tangan, jual beli, komersial, pertanian dan
peternakan, serta biografi dan kisah-kisah.
Ilmu-ilmu agama: ilmu Alquran, tafsir, hadis, fiqih, dzikir, zuhud, tasawuf dan
syahadah.
Ilmu-ilmu filosofis: matematika, logika, ilmu angka-angka, geometri,
astronomi, musik, aritmatika dan hukum-hukum geometri; ilmu-ilmu alam dan
antropologi; zat, bentuk, ruang, waktu dan gerakan; kosmologi; produksi, peleburan,
dan elemen-elemen; meteorology dan mineorologi; esensi alam dan manifestasinya,
botani, zoology, anatomi dan antropologi.
Menurut Mahmud Yunus secara umum dalam perguruan tinggi masa itu terdiri
dari dua jurusan, yaitu: jurusan ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab serta
kesusasteraannya atau disebut ilmu naqliyah dan jurusan ilmu-ilmu hikmah/filsafat
atau ilmu-ilmu aqliyah.49
Ilmu-ilmu yang diajarkan pada jurusan ilmu naqliyah sebagai berikut: tafsir
Alquran, hadis, fiqh dan ushul fiqh nahwu/saraf, balaghah, bahasa Arab dan
kesusasteraannya. Adapun ilmu-ilmu yang diajarkan pada jurusan ilmu aqliyah
sebagai berikut: manthiq, ilmu-ilmu alam dan kimia, musik, ilmu-ilmu pasti, ilmu
ukur, falak, ilahiyah (ketuhanan), ilmu hewan, ilmu tumbuh-tumbuhan dan
kedokteran.
Di masa klasik, kurikulum yang terdapat di lembaga pendidikan Islam tidak
menawarkan mata pelajaran yang bermacam-macam. Dalam suatu jangka waktu,
pengajaran hanya menyajikan satu mata pelajaran yang harus ditempuh oleh siswa.
Sesudah materi tersebut selesai, baru ia diperbolehkan mempelajari materi yang lain,
atau yang lebih tinggi tingkatannya. Misalnya pada tahap awal siswa diharuskan
belajar baca-tulis, berikutnya ia belajar berhitung dan seterusnya.

C. Kurikulum Pendidikan Islam dalam Perspektif Tokoh Pendidikan Islam

49
Yunus, Sejarah Pendidikan., h. 57.
46

Penelusuran kembali pemikiran pendidikan di kalangan umat Islam memang


sangat diperlukan. Karena hal ini mengingatkan kembali khazanah intelektual yang
pernah dimiliki oleh umat Islam di masa lalu. Kesadaran historis ini pada gilirannya
akan memelihara kesinambungan atau kontinuitas keilmuan, khususnya tentang
kajian materi atau kurikulum pendidikan Islam yang bisa diterapkan untuk masa
sekarang. Pemikiran-pemikiran kependidikan Islam dan pemikiran tokoh dalam
bidang pendidikan Islam juga bisa dijadikan pertimbangan dalam mengambil
keputusan atau kebijakan sesuai dengan dengan kondisi zaman saat ini sehingga hasil
atau pokok-pokok pikiran para ahli tersebut layak ditelaah kembali dalam rangka
membenahi sistem pendidikan, khususnya kurikulum yang tidak seragam dalam
dunia pendidikan Islam.
Penulis akan coba memaparkan beberapa konsep kurikulum pendidikan yang
pernah dikemukakan oleh beberapa tokoh Islam, namun pembahasan dalam sub bab
berikut ini hanya terbatas memilih beberapa tokoh populer dari beberapa masa, yaitu
abad klasik yang menjadi masa kejayaan ilmu pengetahuan, serta disini juga penulis
kemukakan pemikiran dari tokoh abad ke-21, hal ini bertujuan untuk melihat
perbandingan materi/kurikulum yang dikemukakan serta yang berkembang dalam
rentang waktu yang sangat jauh berbeda. Yaitu masa kejayaan dan kemunduran
pendidikan Islam. Format kurikulum pendidikan Islam yang penulis sajikan adalah
hanya kepada tiga tokoh saja, hal ini dilakukan untuk membatasi pembahasan yang
terlalu luas, mereka adalah: Imam al-Ghazali, Ibnu Khaldun, dan satu tokoh
pendidikan Islam abad ke-21, yaitu Syed Naquib al-Attas.

1. Kurikulum Pendidikan Islam menurut al-Ghazali


a. Biografi Singkat al-Ghazali
Nama lengkapnya Abu Hamid Ibn Muhammad Ibn Ahmad Ibn al-Thusi al-
Ghazali, lahir pada tahun 45 H/1058 M di Thus, tepatnya di desa Gazaleh.50 Awal
50
Muhammad Shalihin, Filsafat dan Metafisika dalam Islam: Sebuah Penjelajahan Nalar,
Pengalaman Mistik, dan Perjalanan Aliran Manunggaling Kawula-Gusti (Jakarta: Narasi, 2008), h.
182.
47

pertama beliau belajar agama pada waktu kecil, beliau menimba ilmu pada Abu
Hamid Ahmad Ibn Muhammad al-Thusi Ar-Radzkani seorang ulama terkenal.
Kemudian beliau pergi ke Naysabur untuk belajar di Madrasah Nizhamiyah
pimpinan Imam Ahmad al-Juwaini (Imam al-Haramain) yang bermadzab Syafii,
yang pada saat itu merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan yang terkenal di
dunia Islam.51
Karena kecakapannya dalam penguasaan ilmu, al-Ghazali oleh gurunya
dikenalkan dengan Nizham al-Mulk, pendiri Madrasah Nizhamiyah.52 Nizham al-
Mulk mengangkat al-Ghazali menjadi guru besar sekaligus Rektor Madrasah
Nizhamiyah Baghdad dalam usia 34 tahun. Selama menjadi rektor, al-Ghazali
banyak menulis buku yang meliputi beberapa bidang seperti fiqh, ilmu kalam dan
buku-buku sanggahan terhadap aliran-aliran kebatinan, Ismailiyah.53 Penulisan
berbagai karya ilmiah tersebut tidak mengurangi kesibukannya dalam mengajar dan
meneliti. Beliau adalah seorang filosof, ahli ilmu kalam dan tasawuf serta ahli fiqih
selain juga seorang pemikir besar dalam sejarah Islam yang pengaruhnya sangat besar
hingga hari ini.

b. Kurikulum Pendidikan Islam al-Ghazali


Mengenai kurikulum pelajaran, al-Ghazali telah menyusun kurikulum yang
dia atur berdasarkan arti penting yang dimiliki oleh masing-masing ilmu seperti yang
dikemukakan oleh Ramayulis dan Nizar sebagai berikut ini:54
Berdasarkan pembidangan ilmu dibagi menjadi dua bidang:
1. Ilmu syariat sebagai ilmu terpuji, terdiri atas:
a) Ilmu ushul (ilmu pokok): ilmu Alquran, sunah nabi, pendapat-pendapat
sahabat dan ijma.
51
Saeful Anwar, Filsafat Ilmu al-Ghazali: Dimensi Ontologi dan Aksiologi (Bandung: Pustaka
Setia, 2007), h. 53.
52
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat Pendidikan
Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), h. 83.
53
Ibid.,
54
Ramayulis & Samsul Nizar, Ensiklopedia Tokoh Pendidikan Islam (Quantum Teaching,
Ciputat, 2005), h. 5.
48

b) Ilmu furu (cabang): fiqh, ilmu hal ihwal hati dan akhlak.
c) Ilmu pengantar (muqaddimah) ilmu bahasa dan gramatika.
d) Ilmu pelengkap (mutammimah).
2. Ilmu bukan syariah terdiri atas:
a) Ilmu terpuji: ilmu kedokteran, ilmu berhitung dan ilmu pustaka.
b) Ilmu yang diperbolehkan (tak merugikan); kebudayaan, sastra, sejarah,
puisi.
c) Ilmu yang tercela (merugikan): ilmu tenun, sihir dan bagian-bagian
tertentu dari filsafat.
Berdasarkan objek, ilmu dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu:
1. Ilmu pengetahuan yang tercela secara mutlak, baik sedikit maupun banyak
seperti sihir, azimat, nujum dan ilmu tentang ramalan nasib.
2. Ilmu pengetahuan yang terpuji, baik sedikit maupun banyak, namun kalau
banyak lebih terpuji, seperti ilmu agama dan tentang ilmu beribadat.
3. Ilmu pengetahuan yang kadar tertentu terpuji, tetapi jika mendalaminya
tercela, seperti dari sifat naturalisme.
Berdasarkan status hukum mempelajari yang dikaitkan dengan nilai gunanya
dan dapat digolongkan kepada:
1. Fardhu ain, yang wajib dipelajari oleh setiap individu, ilmu agama dan
cabang-cabangnya.
2. Fardu kifayah, ilmu ini tidak diwajibkan kepada setiap muslim, tetapi harus
ada diantara orang muslim yang mempelajarinya. Dan jika tidak seorangpun
diantara kaum muslimin dan kelompoknya mempelajari ilmu dimaksud,
maka mereka akan berdosa. Contohnya; ilmu kedokteran, hitung, pertanian.

Dalam kurikulum al-Ghazali ini tampaklah jelas dua kecenderungan: 1)


Kecenderungan agama dan tasawuf. Kecenderungan ini membuat al-Ghazali
menempatkan ilmu-ilmu agama di atas segalanya, dan memandangnya sebagai alat
mensucikan diri dan membersihknnya dari karat-karat dunia. 2) Kecenderungan
pragmatis. Kecenderungan ini tampak jelas di dalam karya-karyanya. al-Ghazali
beberapa kali mengulangi penilaiannya terhadap ilmu berdasarkan manfaatnya bagi
manusia, baik untuk kehidupan di dunia maupun di akhirat.

2. Kurikulum Pendidikan Islam menurut Ibn Khaldun


a. Biografi Singkat Ibn Khaldun
49

Nama lengkapnya adalah Waliu al-Din 'Abd al-Rahman ibn Muhmmad ibn al-
Hasan ibn al-Jabir ibn Muhammad ibn Ibrahim ibn 'Abd al-Rahman ibn Khaldun.55
Lahir di Tunisia tahun 1332 M dan meninggal di Mesir tahun 808 H / 1406 M.
Leluhurnya berasal dari hadharal maut Yaman yang hijrah ke Spanyol pada abad ke
delapan bersamaan dengan penaklukan Islam di Semenanjung Andalusia.56
Ibn Khaldun, seperti halnya anak-anaknya muslim lain sewaktu kecil belajar
menghafal Alquran dan tajwid. Disana ia belajar membaca dan menghafal Alquran
serta ilmu pengetahuan lain dari guru-gurunya.57 Sudah menjadi tradisi pada masa itu,
ayahnya adalah guru pertama. Adalah kewajiban orang tua untuk mengurus
pendidikan anaknya sebaik mungkin. Kemudian Ibn Khaldun mempelajari bahasa
pada sejumlah guru. Yang terpenting adalah Abu Abdillah Muhammad Ibn al-Arabi
al-Hasyayiri dan Abu al-Abbas Ahmad ibn al-Qassar, serta Abu Abdillah Ibn
Bahar. Ia mempelajari hadis pada Syamsuddin Abu Abdillah al-Wadiyasi. Mengenai
fiqh, ia belajar pada sejumlah guru, di antaranya Abu Abdillah Muhammad al-Jiyani
dan Abu Qahiri. Demikian juga ia mempelajari ilmu-ilmu rasional atau filosofis,
yakni teologi, logika, ilmu-ilmu kealaman, matematika dan astronomi kepada Abu
Abdillah Muhammad ibn al-Abili. Ia sangat mengangumi gurunya yang terakhir
ini.58
b. Kurikulum Pendidikan Islam Ibn Khaldun
Dalam pembahasannya mengenai kurikulum Ibn Khaldun mencoba
membandingkan kurikulum-kurikulum yang berlaku pada masanya, yaitu kurikulum
pada tingkat rendah yang terjadi di negara-negara Islam bagian barat dan timur. Ia
mengatakan bahwa sistem pendidikan dan pengajaran yang berlaku di Maghrib,
bahwa orang-orang Maghrib membatasi pendidikan dan pengajaran mereka pada

55
Muhammad Abdullah Enan, Ibnu Khaldun his Life and Work (New Delhi: Kitab Bhavan,
1979), h. 2-3.
56
Lutfi Jum'ah, Tarikh al-Falasifah al-Islami fi al-Masyriq wa al-Maghrib, (Mesir: Ainus
Syams, t.t.), h. 19.
57
Ibid., h. 11.
58
Ibid., h. 12.
50

mempelajari Alquran dari berbagai segi kandungannya. Sedangkan orang-orang


Andalusia, mereka menjadikan Alquran sebagai dasar dalam pengajarannya, karena
Alquran merupakan sumber Islam dan sumber semua ilmu pengetahuan. Sehingga
mereka tidak membatasi pengajaran anak-anak pada mempelajari Alquran saja, akan
tetapi dimasukkan juga pelajaran-pelajaran lain seperti syair, karang mengarang, khat,
kaidah-kaidah bahasa Arab dan hafalan-hafalan lain, demikian pula dengan orang-
orang Ifrikiya (afrika), mereka mengkombinasikan pengajaran Alquran dengan hadis
dan kaidah-kaidah dasar ilmu pengetahuan tertentu.
Pemikiran Ibnu Khaldun tentang kurikulum pendidikan dapat dilihat dari
konsep epistemologinya. Menurutnya, ilmu pengetahuan dalam kebudayaan umat
Islam dapat dibagi kepada dua bagian, yaitu:59
a. Ilmu Pengetahuan syariyyah yang berkenaan dengan hukum dan ajaran
agama Islam. Ilmu pengetahuan syariyyah yaitu ilmu-ilmu yang bersandar
pada warta otoritatif syari (Tuhan/Rasul) dan akal manusia tidak
mempunyai peluang untuk mengotak-atiknya, kecuali dalam lingkup
cabang-cabangnya. Itu pun masih harus berada dalam kerangka diktum dasar
warta otoritatif tersebut. Ilmu ini diantaranya adalah tentang Alquran, hadis,
prinsip-prinsip syariah, fiqh, teologi, dan sufisme.
b. Ilmu pengetahuan filosofis, yaitu ilmu yang bersifat alami yang diperoleh
manusia dengan kemampuan akal dan pikirannya. Lingkup persoalan, prinsip-
prinsip dasar dan metode pengembangannya sepenuhnya berdasar daya
jangkau akal pikir manusia. Ilmu pengetahuan filosofis meliputi:
(1) Ilmu manthiq (logika), yakni ilmu yang menjaga proses penalaran dari
hal-hal yang sudah diketahui agar tidak mengalami kesalahan.
(2) Ilmu pengetahuan alam, yakni ilmu tentang realitas empiris-inderawan,
baik berupa unsur-unsur atomik, bahan-bahan tambang, benda-benda
angkasa maupun gerak alam jiwa manusia yang menimbulkan gerak dan
sebagainya.
(3) Ilmu metafisika yakni hasil pemikiran tentang hal-hal metafisis.
(4) Ilmu matematika, ilmu ini meliputi empat disiplin keilmuan yang disebut
al-Talim yakni: a) Ilmu ukur (al-Handasah); b) Ilmu aritmatika; c) Ilmu
musik; d) astronomi.60

59
Muhammad Jawad Ridha, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam (Tiara Wacana,
Yogyakarta, 2002), h. 187.
60
Ibid., h. 189.
51

Ilmu pengetahuan filosofis juga sering disebut sains alamiah. Hal ini
disebabkan karena dengan potensi akalnya, setiap orang memiliki kemampuan untuk
menguasainya dengan baik.
Ilmu pengetahuan syariyyah dan filosofis merupakan pengetahuan yang
ditekuni manusia (peserta didik) dan saling berinteraksi, baik dalam proses
memperoleh atau proses mengajarkannya. Konsepsi ini kemudian merupakan pilar
dalam merekonstruksi kurikulum pendidikan Islam yang ideal, yaitu kurikulum
pendidikan yang mampu mengantarkan peserta didik yang memiliki kemampuan
membentuk dan membangun peradaban umat manusia.61
Pandangan Ibn Khaldun tentang materi ilmu dan kurikulum demikian tidak
mengandung makna pemilahan yang bersifat taksonomi, tapi pengklasifikasiannya
dilihat dari segi urgensinya bagi kepentingan manusia. Ia masih dalam kerangka
kesatuan yang sesuai dengan pandangan Alquran. Pengaruh Alquran tampak jelas
dalam memandang ilmu sebagai bagian dari aktivitas pendidikan insani. Karena
Alquran menyatukan (menganut sistem kesatuan) di antara material dan spritual, ilmu
dan agama, ilmu dan amal, antara agama dan negara, manusia dan realitas.62

3. Kurikulum Pendidikan Islam Menurut Syed. Naquib al-Attas


1) Biografi Singkat Syed. Naquib al-Attas
Syed Muhammad Naquib ibn Ali ibn Abdullah ibn Muhsin al-Attas lahir pada
5 September 1931 di Bogor, Jawa Barat. Silsilah keluarganya bisa dilacak hingga
ribuan tahun ke belakang melalui silsilah sayyid dalam keluarga. 63 Ayahnya bernama

61
Nizar, Filsafat Pendidikan., h. 95-96.
62
Ali Khalil Abu al-'Ainain, Falsafah al-Tarbiyah al-lslamiyah fi al-Quran al-Karim (Mesir:
Dar al-Fikr al-'Arabi, 1980), h. 297.
63
Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad
Naguib al-Attas: An Exposition of the Original Concept of Islamization (Kuala Lumpur: International
Institute of Islamic Thought and Civilization, 1998), h. 45.
52

Syed Ali bin Abdullah al-Attas, sedangkan ibunya bernama Syarifah Raguan Al-
Idrus, keturunan kerabat raja-raja Sunda Sukapura, Jawa Barat. Ayahnya berasal dari
Arab yang silsilahnya merupakan keturunanulama dan ahli tasawuf yang terkenal dari
kalangan sayid.64
Syed Muhammad Naquib al-Attas mengembangkan potensi dasarnya yakni
bidang intelektual. Untuk itu, Syed Muhammad Naquib al-Attas sempat masuk
Univesitas Malaya selama 2 tahun. Berkat kecerdasan dan ketekunanya, dia dikirim
oleh pemerintah Malaysia untuk melanjutkan studi di Institute of Islamic Studies Mc.
Gill, Canada. Dalam waktu relatif singkat, yakni 1959-1962, dia berhasil menggondol
gelar master dengan mempertahankan tesis Raniry and the Wujuddiyah of 17th
Centhury Acheh.65 Alasan dia mengambil judul tersebut karena ingin membuktikan
bahwa Islamisasi yang berkembang di kawasan tersebut bukan dilaksanakan kolonial
Belanda, melainkan murni dari upaya Islam sendiri. 66 Kemudian melanjutkan studi
School of Oriental and African Studies di Univesitas London, disinilah ia mempunyai
pengaruh sebagai tokoh pemikir pendidikan Islam.67
Memasuki tahapan pengabdian kepada Islam, Syed Muhammad Naquib al-
Attas memulai dengan jabatan dijurusan kajian melayu pada Universitas Malaya. Hal
ini dilaksanakan pada tahun 1966-1970. Disini dia menekankan arti pentingnya kajian
Melayu. Sebab mengkaji sejarah melayu dengan sendirinya juga mendalami proses
Islamisasi di Indonesia dan Malaysia. Karya-karya pujangga melayu banyak yang
berisi ajaran ajaran Islam yang kebanyakan dibicarakan dalam karya melayu adalah
ajara-ajaran Islam terutama tasawuf. Bahkan Syed Muhammad Naquib al-Attas
mendirikan lembaga pengajaran dan penelitian yang khusus pada pemikiran Islam
terutama filsafat sebagai jantung proses Islamisasi. Gagasan tersebut disambut positif
oleh pemerintah Malaysia, sehingga pada tanggal 22 November 1978 berdirilah

64
Ibid.,
65
Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan., h. 117-112.
66
Ibid.,
67
Ibid.,
53

secara resmi ISTAC (International Institute Of Islamuic Thought and Civilization)


dengan Syed Muhammad Naquib al-Attas sebagai ketuanya.68
2) Kurikulum Pendidikan Islam al-Attas
Kajian al-Attas mengenai kurikulum pendidikan Islam berangkat dari
pandangan bahwa karena manusia itu bersifat dualistis, ilmu pengetahuan yang dapat
memenuhi kebutuhannya dengan baik adalah yang memiliki dua aspek. Pertama,
yang memenuhi kebutuhannya yang berdimensi permanen dan spiritual; dan kedua,
yang memenuhi kebutuhan material dan emosional.
Al-Attas juga secara tegas mengusulkan pentingnya pemahaman dan aplikasi
yang benar mengenai ilmu fardhu ain dan fardhu kifayah. Penekanannya pada
kategorisasi ini mungkin juga karena perhatiannya terhadap kewajiban manusia
dalam menuntut ilmu dan mengembangkan adab. Al-Attas membagi materi
pendidikan hanya kepada dua kelompok saja secara garis besar:69
1. Ilmu fardhu ain (ilmu-ilmu agama), yaitu
a. Alquran.
b. Sunnah.
c. Syariat.
d. Teologi.
e. Metafisika.
f. Ilmu Bahasa (bahasa Arab).
2. Ilmu fardhu kifayah, yaitu
a. Ilmu Kemanusiaan (Sosial, Budaya, Politik)
b. Ilmu Alam
c. Ilmu Terapan.
d. Ilmu Teknologi.
e. Perbandingan Agama.
f. Kebudayaan Barat.
g. Ilmu Linguistik: Bahasa Islam, dan
h. Sejarah Islam.

Syed Muhammad Naquib al-Attas, termasuk salah satu pemikir dan


pembaharu pendidikan Islam dengan ide-ide segarnya. Al-Attas tidak hanya sebagai

68
Ibid,.
69
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, Syed M. Naquib Al- Attas,
Cet-1, (Mizan: Bandung, 2003), h.134.
54

intelektual yang concern kepada pendidikan dan persoalan umum umat Islam, tetapi
juga pakar dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Ia juga dianggap sebagai tokoh
penggagas Islamisasi ilmu pengetahuan yang mempengaruhi banyak tokoh lainnya. 70
Ia secara sistematis merumuskan strategi Islamisasi ilmu dalam bentuk kurikulum
pendidikan untuk umat Islam.
Meski demikian, ide-ide al-Attas tentang Islamisasi ilmu pengetahuan dalam
pendidikan Islam banyak memperoleh tantangan dari para pemikir yang terlahir dari
dunia Barat.

D. Dayah dan Perkembangannya di Aceh


1. Pengertian Dayah/Zawiyah
Kata dayah berasal dari kata zawiyah yang dalam bahasa Arab berarti sudut
atau pojok mesjid.71 Kata zawiyah mula-mula dikenal di Afrika Utara pada awal
perkembangan Islam, yang di maksud dengan zawiyah waktu itu adalah satu pojok
dari sebuah mesjid yang menjadi halaqah para sufi, mereka biasanya berkumpul,
bertukar pengalaman, diskusi, berzikir dan bermalam di mesjid.72
Di samping zawiyah, dalam khazanah pendidikan pada masa Nabi juga
dikenal beberapa istilah yang menjadi lembaga pendidikan pada waktu itu
diantaranya adalah shuffah yaitu suatu tempat yang digunakan untuk aktivitas
pendidikan.73 Di tempat ini biasanya menyediakan tempat pemondokan bagi
pendatang baru yang tergolong miskin. Di shuffah ini mereka diajarkan membaca dan
menghafal Alquran secara benar dan hukum Islam di bawah bimbingan langsung
Rasulullah. Pada masa ini sedikitnya telah ada sembilan shuffah yang tersebar dikota

70
Ibid., h. 98.
71
George Makdisi, The Rise of College: Institute Learning in Islam and the West (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 1981), h. 10-32.
72
Yusny Saby, Opini Publik terhadap Dayah, makalah Disampaikan pada Muktamar VI
Persatuan Dayah Inshafuddin, Maret 2004 di Banda Aceh.
73
Abudin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam pada Abad Pertengahan, Terj. (Canada: Montreal,
2000), h.12.
55

Madinah74, Rasulullah mengangkat Ubaid Ibn as-Samit sebagai guru pada shuffah di
Madinah, pada perkembangan selanjutnya shuffah juga menawarkan pelajaran
berhitung, kedokteran, astronomi, geneologi, dan ilmu fonetik.75
Bukan hanya shuffah, tetapi juga dikenal istilah kuttab atau maktab. Kuttab
berasal dari kata (fiil madhi) kataba yang berarti menulis, sedangkan maktab
adalah isim makan (keterangan tempat) yang berarti tempat menulis, atau tempat
dilangsungkannya kegiatan tulis menulis.76 Kebanyakan para ahli sejarah Islam
mengatakan bahwa keduanya merupakan istilah yang sama, yaitu sebuah lembaga
pendidikan Islam yang paling dasar di samping zawiyah dan shuffah. Di tempat ini
diajarkan membaca dan menulis Alquran, kaligrafi, gramatikal Arab, sejarah Nabi dan
hadis.
Sejak abad ke-8 lembaga ini berkembang sedemikian rupa sehingga tidak
hanya mengajarkan pendidikan agama tetapi juga mengajarkan pendidikan non
agama (al-Ulum an-Naqliyah) dan bahkan pada perkembangan selanjutnya kuttab
atau maktab dibedakan menjadi dua, kuttab sebagai tempat mengajarkan agama
(al-Ulum an-Naqliyah) dan maktab mengajarkan ilmu-ilmu non agama (al-Ulum al-
Aqliyah).77
Selanjutnya dalam dunia pendidikan Islam juga dikenal istilah halaqah yang
berarti melingkari, proses belajar pada halaqah dilaksanakan dimana murid-murid
melingkari gurunya, seorang guru biasanya duduk membaca dan menerangkan suatu
karangan atau bahan mata pelajaran atau bahan pelajaran yang diajarkan. Sekarang
halaqah merupakan satu metode belajar yang diterapkan di dayah.

2. Sejarah masuk dan berkembangnya Dayah di Aceh


Diyakini oleh masyarakat Aceh bahwa zawiyah pertama kali digunakan oleh
Rasulullah yang memanfaatkan sudut mesjid Nabawi ketika beliau berdakwah

74
Ibid.,
75
Ibid.,
76
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), h. 89.
77
Hanum, Sejarah., h. 49.
56

menyampaikan ajaran Islam kepada para sahabat. Kemudian para sahabat


menyebarkannya ke tempat lain.78
Menurut George Makdisi di awal perkembangan lembaga-lembaga pendidikan
Islam, istilah zawiyah memang dipakai untuk sejenis lembaga pendidikan yang
selanjutnya berkembang menjadi madrasah.79 Makdisi juga mengatakan bahwa
madrasah juga berasal dari pengajian-pengajian yang pada umumnya diistilahkan
dengan ribath (ikatan), khanqah, zawiyah (sudut) dan turbah80.
Disamping lembaga-lembaga pendidikan yang sudah dijelaskan di atas juga
dikenal istilah madrasah, dan madrasah merupakan lembaga pendidikan Islam
terbesar dan masih bertahan sampai sekarang. madrasah berasal dari kata darasa
yang berarti belajar, sedangkan madrasah merupakan isim makan (keterangan
tempat) dari kata dasar tersebut yang menunjukkan arti suatu tempat yang digunakan
untuk melangsungkan proses belajar mengajar.
Dari khzanah pendidikan di Aceh, istilah madrasah kemudian berkembang
menjadi meunasah, dan meunasah merupakan sebuah lembaga pendidikan dan
tempat pengembangan nilai-nilai masyarakat Aceh dan merupakan inti kebudayaan
dari masyarakat Aceh itu sendiri.81
Dalam sejarah pendidikan Islam, kita mengenal Madrasah Nizhamiyah yang
merupakan sebuah lembaga pendidikan terbesar yang didirikan pada masa Nizhamil
Mulk (w.485/1067) seorang wazir Dinasti Saljuq di Baghdad pada Tahun 459/1067.
Diantara istilah-istilah lembaga pendidikan yang telah penulis sebutkan di atas
hanya zawiyah dan madrasah yang diadopsi oleh masyarakat Aceh menjadi lembaga
pendidikan yang bernama Dayah dan Meunasah, sedangkan halaqah merupakan
bagian dari metode pembelajaran di dayah.

78
M. Hasbi Amiruddin, Eksistensi Dayah Masa Depan di Provinsi NAD, dalam Buletin Nida
al-Islam, Edisi 03/2004, MPU Aceh Utara, Badan Penerbitan dan dan Penyiaran, h. 8.
79
Makdisi, The Rise., h. 45.
80
Ibid
81
Safwan Idris, Perkembangan Pendidikan Pesantren/Dayah (Antara Tradisi dan Pembaruan)
dalam Buku Pendidikan di Daerah Istimewa Aceh, (Banda Aceh: Majelis Pendidikan Daerah Istimewa
Aceh, 1995), h. 61-62.
57

Sekarang kita sering mendengar orang menyebutkan pesantren untuk dayah,


padahal ababila kita kaji istilah dayah dan pesantren memiliki makna dan maksud
yang berbeda meskipun dayah dan pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam.
Istilah pesantren diambil dari kata santri mendapat penambahan pe di depan dan
an di akhir. Dalam bahasa Indonsia pesantren berarti tempat tinggal para santri,
yaitu tempat dimana mereka belajar pendidikan agama Islam. Istilah santri sendiri
diambil dari kata shastri (castri dalam bahasa India), dalam bahasa Sanskerta
bermakna orang yang mengetahui kitab suci hindu. 82 Setelah Islam datang lembaga
pendidikan ini diarahkan kepada pendidikan Islam.
Dari sisi lain, kata zawiyah ada yang mengatakan dibawa oleh pedagang yang
berasal dari Timur seperti dari Gujarat, Arab, Mesir. Bukti ini dikuatkan dengan
mazhab yang umum dianut oleh masyarakat Aceh adalah mazhab Syafii dimana
mazhab ini juga diajarkan pada zawiyah-zawiyah di mesjid Damaskus.
Di samping banyak ulama Aceh yang belajar ke Timur Tengah, banyak juga
ulama dari Arab, Persia, Mesir, Malabar yang datang ke Aceh termasuk nenek
moyang Syekh Abdurrauf al-Singkili atau yang dikenal dengan sebutan Teungku
Syiah Kuala. Ulama-ulama inilah yang mengembangkan pendidikan dayah di Aceh
dan menggunakan istilah zawiyah. Sebagaimana lembaga pendidikan yang ada di
timur tengah.
Melalui jalur mana yang pasti zawiyah masuk ke Aceh belum diketahui secara
pasti, tetapi menurut Ali Hasyimi seorang sejarawan Aceh, beliau menyebutkan
bahwa Kerajaan Islam Peurlak pertama sekali berdiri pada bulan Muharram tahun
225 H/840 M, sultan mendirikan beberapa lembaga pendidikan yang dinamakan
dengan Dayah Cot Kala dan meminta para ulama dari Arab, Persia dan Gujarat untuk
mengajar di lembaga-lembaga yang telah didirikan tersebut agar menghasilkan
sarjana-sarjana Islam yang bisa mengembangkan Islam keseluruh Aceh.

82
M. Hasbi Amiruddin, Ulama Dayah Pengawal Agama Masyarakat Aceh (Lhokseumawe,
Nadiya Foundation: 2003), h. 34.
58

Abdul Mukti memberi pandangan yang berbeda mengenai perkembangan


dayah, dengan mengacu kepada perkembangan kerajaan-kerajaan yang lahir ketika
Islam masuk ke Nusantara, yaitu Kerajaan Peurlak dan Kerajaan Pasai, bahwasanya
Kerajaan Pasai adalah tempat tumbuh dan berkembangnya dayah di Aceh,83 tentunya
hal ini tanpa mempersoalkan daerah asal mula masuknya Islam. Seperti yang telah
penulis ungkapkan di atas bahwa kerajaan Islam pertama di Nusantara adalah
kerajaan Islam Peurlak dan dayah yang pertama lahir ketika itu adalah Dayah Cot
Kala, yang didirikan oleh seorang ranjanya Sultan Muhammad Amin.
Hal berikutnya yang menjadi alasan Abdul Mukti dalam mengutarakan
tentang peranan kerajaan Samudera Pasai sebagai pusat perkembangan dayah adalah
pengaruh sistem pendidikan Madrasah Nizhamiyah terhadap sistem pendidikan Islam
Nusantara. Ini sesuai dengan apa yang beliau tulis:84
Bahwasanya masyarakat Muslim Indonesia yang mayoritas bermazhab
Sunni (ahlussunnah wal-jama'ah) dalam arti menganut madzhab Syafi'i
dalam bidang fiqh dan Asy'ariyah dalam bidang teologi. Karena itu
tidak dapat dipungkiri bahwa sebagai pototipe pendidikan Sunni, maka
sedikit banyaknya sistem Madrasah Nizhamiyah itulah yang diikuti
dalam pendidikan (tarbiyah) di Nusantara yang diperkenalkan oleh
guru-guru agama dan pengembara sufi yang datang ke Nusantara asal
Persia, Arab dan anak benua India sejak akhir abad ke-6/12.
Pelaksanaan pendidikan Islam di Nusantara baru diketahui setetah
munculnya kerajaan-kerajaan Islam di kawasan ini. Arus gelombang
imigran Persia tersebut bertambah kuat setelah serangan Hulago Khan
ke Baghdad dalam tahun 656/1258 yang menyebabkan hancurnya
kekhalifahan Islam Baghdad, dengan tujuan untuk mencari perlindungan
(patronage) dan sekaligus untuk menanamkan pengaruh madzhab Sunni
yang mereka anut pada kerajaan-kerajaan Islam Nusantara yang berdiri
dalam waktu bersamaan. Misalnya kerajaan Islam Perlak (Aceh Timur)
sekarang, didirikan sebelum tahun 659/11 dan menyusul Pasai yang
didirikan dalam tahun 659/1260. Tanpa mempersoalkan daerah asal
mula masuknya Islam di Indonesia.

83
Abd. Mukti, Konstruksi Pendidikan Islam; Belajar dari Kejayaan Madrasah Nizhamiyah
Dinasti Saljuq, Cet. I, (Bandung: Citapustaka Media, 2007), h. 266-267.
84
Ibid.,
59

Hal lain yang membuat Abdul Mukti yakin bahwa Kerajaan Pasai memiliki
andil yang besar dalam pengembangan dayah adalah dengan merujuk pada pendapat
Ibn Bathuthat yang yang menyebutkan dua ulama besar yang bekerja pada kesultanan
Pasai (659/1260-913/1507) asal Persia di masa pemerintahan al-Malik al-Zhahir II
(727/1326-749/1348), yakni Amir Sa'id asal Syiraz yang memangku jabatan sebagai
hakim agama (qadhi) merangkap guru agama, dan Tajuddin asal Ishfahan sebagai
mufti dan merangkap guru agama. Pada masa inilah muncul dayah sebagai
pendidikan tingkat tinggi, kelanjutan meunasah sebagai lembaga pendidikan rendah.85
Kemudian argumen yang diungkapkan Abdul Mukti di atas juga diperkuat dengan
pendapat HAMKA yang mengatakan bahwa Madrasah Nizhamiyah dan lembaga-
lembaga pendidikan Sunni lainnya mempunyai pengaruh dalam pembinaan dan
pengembangan lembaga-lembaga pendidikan pada kesultanan Islam Sunni terdahulu
di Nusantara.86
Salah satu hal yang menyebabkan susahnya mengetahui dengan pasti kapan
sebenarnya dayah masuk ke Aceh, disebabkan oleh masih kurangnya penelitian dan
perhatian yang mendalam terhadap dayah sendiri. James T. Siegel dalam buku The
Rope of God, membahas tentang lembaga ini, tetapi pembahasannya terbatas pada
perkembangan dayah abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20.
Snouck Hurgronje adalah seorang peneliti tentang Aceh di masa pemerintahan
Belanda, tetapi dia tidak mengungkapkan dengan jelas tentang dayah, ini disebabkan
karena ia hanya menghabiskan sedikit waktunya di Aceh, dan juga dia tidak bebas
bergerak keluar dari wilayah pengawasan Belanda. Mungkin hal inilah yang
menyebabkan dayah luput dari studinya meskipun dia menyebutkan deah (dayah)
dan rangkang beberapa kali dalam karyanya The Atjehnese.87
Kalau didasarkan pada hasil seminar yang diadakan pada tanggal 25-30
September 1980 di Rantau Panyang Peureulak tentang masuk dan berkembangnya
85
Ibid.,
86
Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), Sejarah Umat Islam, Cet. III (Jakarta: Bulan
Bintang, 1981), h. 81.
87
Amiruddin, Ulama Dayah., h. 36.
60

Islam di Nusantara, mengenai tahun berdirinya kerajaan Peurlak sebagai kerajaan


tertua dikawasan Aceh, maka Dayah Cot Kala merupakan lembaga pendidikan Islam
tertua di Aceh bahkan di Asia tenggara, menurut kesimpulan seminar tersebut. 88
Berdasarkan lembaran-lembaran lepas dari naskah tua Izharul Haq fil Mamlakatil
Peureulak, karangan Syekh Ishaq Makarani al-Fasi dan naskah Tajzirat Thabaqat
Jamu al-Salatin, kerajaan Peurlak didirikan pada tahun 225 H (480 M) dengan
rajanya yang pertama adalah Sultan Alaidin Saiyidi Maulana Abdul Aziz Syah,
kemudian Teungku Muhammad Amin pendiri Dayah Cot Kala juga menjabat sebagai
sultan Peurlak yang ke-6 yang bergelar Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin
Syah Johan Berdaulat. Ini menunjukkan bahwa Dayah Cot Kala didirikan setidak-
tidaknya pada awal abad ke-10 M dengan pimpinan Teungku Muhammad Amin Syah
Johan.
Sesuai dengan pendirian Dayah Cot Kala maka dengan tenaga pengajar yang
didatangkan sultan dari negeri timur tengah telah menghasilkan banyak sarjana yang
dapat menyebarkan Islam keseluruh Aceh sehingga lahirlah dayah-dayah baru seperti
Dayah Seureuleu di bawah pimpinan Teungku Syekh Sirajuddin yang didirikan pada
tahun 1012-1059 M, Dayah Blang Pria yang dipimpin oleh Teungku Yakob yang
didirikan antara tahun 1155-1233 M, Dayah Batu Karang di Kerajaan Tamiang yang
dipimpinn oleh Teungku Ampon Tuan, Dayah Lam Keuneueun dari kerajaan Lamuri
Islam di bawah pimpinan Teungku Syehk Abdullah Kanan 89 yang didirikan antara
tahun 1196-1225 M, Dayah Tanoh Abee antara tahun 1823-1836 M dan Dayah Tiro di
Pidie antara tahun 1781-1795 M90 dan dayah-dayah lainnya.

3. Pasang Surut Perkembangan Dayah


Pembangunan dayah di Aceh tidak hanya dilaksanakan pada masa kejayaan
Kerajaan Aceh Darussalam, tetapi juga dilaksanakan pada masa kemundurannya

88
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sejarah Pendidikan Daerah Istimewa Aceh
(Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984), h. 15.
89
Ibid., h. 15.
90
Snouck Hurgronje, The Atjehness, Terj. (Laiden: E.J. Brill, 1906), h. 26.
61

(abad ke-18 dan ke-19 M). Dayah yang dibangun pada masa tersebut ialah Dayah
Tgk. Chik Kuta Karang, Dayah Lam Birah, Dayah Lamnyong, Dayah Lam Bhuk,
Dayah Krueng Kalee, Dayah Lam Krak, Dayah Lam Pucok, Dayah Lam U, Dayah
Rumpet di Kuala Daya, Dayah Teungku Chik Pante Geulima di Pidie, Dayah
Meunasah Blang Samalanga dan beberapa dayah lain yang dibangun disekitar
pertanahan Batee Iliek. Mengenai tahun pendirian dayah-dayah tersebut di atas belum
diperoleh data yang pasti.
Dayah Tanoh Abee merupakan dayah yang besar dan paling berpengaruh pada
abad ke-19 M. sampai sekarang dayah ini masih menyimpan manuskrip-manuskrip
karya ulama-ulama terdahulu dan ini masih dapat kita jumpai pada perpustakaan
dayah tersebut.
Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Syah, Belanda memaklumkan
perang terhadap Aceh pada tahun 1873 M, seluruh ulama dayah dan santrinya ikut
berjuang membela agama dan mempertahankan Negara dari serangan Kaphee-kaphee
Beulanda (sebutan orang Aceh untuk kolonial Belanda), dan banyak diantara ulama-
ulama dayah menjadi panglima perang di antaranya adalah Teungku Chik Di Tiro
(Tengku Muhammad Saman) dan banyak diantara mereka menjadi pengobar
semangat perjuangan masyarakat Aceh dalam melaksanakan jihad. Diantara mereka
adalah Teungku Abdul Hamid Samalanga dengan Ummul Qura-nya mampu
membakar semangat rekan-rekannya melawan Belanda.91
Keterlibatan mereka berperang mengangkat senjata telah memacetkan proses
perkembangan dayah, apalagi ada dari ulama-ulama pendiri dayah yang ikut syahid
ketika bertempur dengan Belanda di antara mereka adalah Teungku Haji Ismail anak
Teungku Chik Pante Geulima (Pendiri Dayah Pante Geulima), beliau syahid
mempertahankan Kuta Batee Iliek (Samalanga) bersama ulama pemimpin dayah
sekitar daerah tersebut seperti Teungku Chik Lueng Keubu dan Teungku Chik Kuta
Glee.

91
Shabri A, dkk, Biografi Ulama-Ulama Aceh Abad XX, jilid II (Banda Aceh: Dinas Pendidikan
dan Kebudayaan Aceh, 2003), h. 19.
62

Faktor lain yang menghambat perkembangan dayah pada masa itu adalah
upaya dari kolonial Belanda untuk menghambat sistem pendidikan Islam dan
menyebarkan sistem pendidikan barat di Aceh sehingga pada saat itu dayah
terbengkalai, karena lemahnya dayah, Belanda langsung menyerang dayah karena
menurut mereka dayah adalah basis konsentrasi perjuangan rakyat.
Belanda juga membakar dayah dan membunuh seluruh staf pengajarnya serta
membumihanguskan seluruh perpustakaan yang ada di dayah. Jika ada dayah yang
masih bertahan itu-pun dibangun didaerah yang terisolir dan jauh dari pantauan
Belanda, karena daerahnya jauh maka tidak ada santri yang belajar disana dan lambat
laun dayah tersebut juga akan mati.
Setelah perang Aceh usai kira-kira sekitar tahun 1904 M barulah dayah-
dayah yang telah terbengkalai tersebut dibangun dan dibenahi kembali untuk dapat
digunakan lagi sebagai lembaga pendidikan, adapun dayah yang dibangun kembali
setelah perang Aceh usai antara lain di Aceh Besar: Dayah Tanoh Abee, Dayah Lam
Birah oleh Teungku Haji Abbas (Teungku Chik Lam Birah), sedangkan adiknya
Teungku Haji Djakfar (Teungku Chik Lam Jabad) membangun Dayah Jeureula,
selanjutnya juga dibenahi Dayah Lam Nyong, Dayah Lambhuk, Dayah Ulee Susu,
Dayah Indrapuri, Dayah Lam Seunong, Dayah Ulee U, Dayah Krueng Kalee, Dayah
Montasik, Dayah Piyeung, dan masih banyak dayah yang dibangun kembali di daerah
Aceh Besar.92
Di daerah Pidie juga dibangun kembali dayah- dayah yang telah ada sebelum
perang, diantaranya adalah Dayah Tiro, Dayah Pante Geulima, Dayah Cot Plieng,
Dayah Blang, Dayah Leupoh Raya, Dayah Garot/Gampong Aree, Dayah Ie Leubee
(Keumbang Tanjong) yang didirikan oleh Teungku Muhammad Arsyad, Dayah
Meunasah Raya yang didirikan oleh Teungku Chik Pante Geulima (Teungku

92
A. Hasyimi, Pendidikan Islam di Aceh dalam Perjalanan Sejarah, Sinar Darussalam No. 63.
Agustus/September, 1975, h. 5-38.
63

Muhammad Yusuf), Dayah Teupin Raya yang didirikan oleh Teungku Chik Teupin
Raya.93
Di daerah Aceh Utara juga dilaksanakan hal serupa, yaitu kembali
membangun dayah-dayah yang ditinggalkan ketika perang Aceh berkecamuk,
diantara dayah yang dibangun adalah: Dayah Tanjongan, Dayah Masjid Raya, Dayah
Kuala Blang, Dayah Cot Meurak, Dayah Juli, Dayah Pulo Kiton dan lain-lain.
Sementara di Aceh Barat di samping membangun kembali Dayah Rumpet
oleh keturunan Teungku Chik Muhammad Yusuf, juga dibangun dayah-dayah baru
seperti di Ujong Kalak dan Blang Meulaboh, di Paya Lumpai Samatiga dipimpin oleh
Teungku Syekh Abu Bakar sanpai tahun 1963 M. sebelum membangun Dayah
Samatiga Teungku Syekh Abu Bakar belajar di Dayah Lambhuk Aceh Besar. Jumlah
santri dimasing-masing dayah tersebut hanya puluhan orang, selain itu di Kuala Batee
Woyla terdapat juga dayah di bawah pimpinan Tengku Ahmad, demikian juga dayah
di Peureumbeu di bawah pimpinan Teungku di Tiwi.94
Di Aceh Selatan sejak perempatan abad ke-20 M juga berdiri beberapa dayah,
diantaranya adalah Dayah Teungku Syekh Mud di Blang Pidie. Teungku Syekh Mud
memperoleh pendidikan di Dayah Lambhuk dan Dayah Indrapuri Aceh Besar, di
Suak Samatiga berdiri pula dayah yang bernama Ishlahul Umam di bawah pimpinan
Teungku Abu dan Teungku Muhammad Yasin. Di Terbangan berdiri Dayah al-
Muslim dibawah pimpinan Teungku Zamzami Yahya dan di Labuhan Haji berdiri
dayah yang disebut al-Khairiyah di bawah pimpinan Teungku Muhammad Ali Lam
Pisang.95

4. Perkembangan Dayah Abad ke-20 sampai sekarang


Diantara dayah yang memiliki peranang penting setelah perang Aceh usai
adalah Dayah Krueng Kalee di Darussalam Banda Aceh, memang dayah ini telah
berkembang sebelum dipimpin oleh Teungku Haji Hasan Kreung Kalee. Di bawah
93
Departemen Pendidikan, Sejarah Pendidikan., h. 20-22.
94
Ibid., h. 20-22.
95
Ibid.,
64

pimpinannya, dayah ini menjadi sangat terkenal dan banyak dikunjungi oleh pelajar-
pelajar dari seluruh wilayah Aceh, salah satu ulama yang pernah belajar di dayah ini
dan dikenal sebagai tokoh guru dayah adalah Teungku Haji Muhammad Wali al-
Khalidi, yang biasa disapa masyarakat Aceh sampai sekarang dengan Abuya Muda
Wali. Ia adalah ulama terkenal yang memiliki kemampuan mencetak kader-kader
ulama di dayah yang kesohor sampai sekarang yaitu Dayah Darussalam Labuhan
Haji Aceh Selatan.
Ada baiknya penulis menceritakan sedikit tentang Abuya Muda Wali dan
dayah yang dipimpinya karena beliau disebut sebagai bapak ulama dayah. Ia bernama
Muhammad Wali, dilahirkan pada tahun 1337/1917 di Blang Poroh Labuhan Haji
Aceh Selatan, melalui pasangan Teungku Syekh Muhammad Salim bin Malin Palito
yang berasal dari Batu Sangkar Sumatera Barat, dan ibunya bernama Janadat binti
Keuchik Nyak Ujud.96
Muhammad Wali kecil belajar pertama kalinya pada ayahnya sendiri Teungku
Haji Salim. Di samping itu juga, ia belajar pada Sekolah Dasar pemerintah Hindia
Belanda yaitu vokl school sampai tamat, dari sang ayah Muhammad Wali
memperoleh pengetahuan dasar agama Islam, tauhid, fiqh dan pengetahuan bahasa
Arab. Setelah tamat dari vokl school sambil belajar di Dayah al-Khairiyah Labuhan
Haji Aceh Selatan.
Setelah empat tahun belajar disana. Muhammad Wali diantar ke Dayah
Bustanul Huda di Blang Pidie, di dayah ini ia belajar kitab-kitab yang masyhur
dikalangan ulama-ulama Syafii seperti I anatut Thalibin, Tahrir dan Mahalli dalam
bidang fiqh, Alfiah dan Ibnu Aqil dalam ilmu bahasa Arab. Semasa di dayah ini
disebutkan bahwa ia telah menunjukkan dan membuktikan dirinya sebagai murid
yang cerdas.
Semasa belajar di Bustanul Huda, Muhammad Wali sering melakukan
perdebatan ilmiah dengan gurunya Syekh Mahmud, setelah mendapat pengetahuan

96
Tim Penulis IAIN ar-Raniry, Ensiklopedi Pemikiran Ulama Aceh (Banda Aceh: ar-Raniry
Press, 2004), h. 315-329.
65

agama di dayah ini, ia merantau ke Aceh Besar menimba ilmu pada dayah-dayah
terkenal, mula-mula ia belajar di Dayah Krueng Kalee pimpinan Teungku Syekh Haji
Hasan Krueng Kalee, seorang ulama besar Ahlussunnah wal Jamaah (kaum Tua),
kemudian khusus untuk mempelajari ilmu Alquran ia pindah belajar ke Dayah
Kasbiyah Indrapuri pimpinan Teungku Haji Ahmad Hasballah Indrapuri, seorang
ulama dari aliran Ahlussunnah wal Jamaah (kaum muda) penganjur gerakan
pemurnian akidah dan ibadah yang sangat radikal (tahun 1933)97, tetapi di dayah ini,
ia banyak menghabiskan waktunya untuk mengajar, karena setibanya di Dayah
Indrapuri ia dinilai senior dalam ilmu-ilmu agama, sehingga ia diangkat menjadi guru
dayah.
Pada tahun 1931 Muhammad Wali bersama beberapa orang lainnya dikirim ke
Normal Islam Scholl di Padang oleh Atjeh Study Found sebuah yayasan yang
bergerak dibidang pendidikan. Normal Islam dipimpin oleh seorang ulama alumnus
Darul Ulum Kairo, yaitu Mahmud Yunus, ditempat ini ia tidak bertahan lama, sebab
menurutnya dilembaga ini tidak memberi banyak penambahan dalam pengetahuan
agamanya.
Dari Normal Islam yang beraliran modern, kemudian Syekh Muda Wali
kembali belajar pada pusat pendidikan Islam yang dipimpin ulama Ahlussunnah wal
Jamaah kaum tua yaitu pada Insyik (sebutan untuk ulama besar di Sumatera Barat)
Muhammad Jamil Jaho Padang Panjang.98 Pengetahan yang luas yang dimiliki Syekh
Muda Wali membuatnya diangkat menjadi guru di lembaga yang dipimpin oleh
Insyik Jamil Jaho dan kemudian Syekh Muda Wali dinikahkan dengan Putrinya yang
bernama Siti Rabiah, dan bersama istrinya dia menunaikan ibadah haji ke Mekkah.
Selama Mekkah lebih kurang dua tahun beliau tidak hanya menunaikan ibadah haji
tapi juga memperdalam ilmu pengetahuan agamanya pada ulama besar Masjidil
Haram, yaitu Syekh Ali al-Maliki, sehingga memperoleh syahadah/ijazah dan

97
Shabri A, dkk, Biografi Ulama., h. 82.
98
Ibid., h. 82.
66

akhirnya pada tahun 1939 ia kembali ke Aceh. 99 Sebelum berangkat ke Mekkah pada
tahun 1939 beliau sempat belajar Tarekat Naqsyabandiyah selama 40 hari pada Syekh
Abdul Ghani al-Kamfari di Batu Basurek, Bangkinang Riau dan kemudian kembali
ke Aceh.
Setelah beliau tiba di Aceh dan memperhatikan masyarakat begitu antusias
belajar agama padanya, hal tersebut mendorong beliau dan berusaha keras untuk
dapat mendirikan bangunan yang digunakan untuk pengajian, mulanya beliau
membangun satu surau dengan dua lantai, lantai pertama untuk belajar dan lantai
kedua untuk penginapan, karena perkembangan santri yang semakin hari semakin
meningkat bertambah terdoronglah hatinya, akhirnya beliau membangun rangkang-
rangkang di atas tanah yang dibeli disekitar surau sehingga luasnya mencapai
400x250 meter.100
Rangkang-rangkang yang dibangun itu dibagi menjadi beberapa bagian dan
diberikan nama masing, yaitu: 101
1. Dar al-Muttaqin
2. Dar al-Arifin
3. Dar al-Mutaallimin
4. Dar al-Salikin
5. Dar al-Zahidin
6. Dar al-Mala
Santri Muhammad Wali datang dari berbagai daerah, mulai dari Aceh Selatan,
Aceh Barat, Aceh Timur, Aceh Utara, Aceh Tengah, Pidie, Aceh Tenggara, dan
bahkan dari daerah luar Aceh yaitu dari Sumatera Barat dan Palembang, setelah
mereka menyantri beberapa tahun di Dayah Darussalam di bawah asuhannya dan
menyelesaikan studinya, mereka diperbolehkan pulang ke daerah asal masing untuk
menyebarkan ilmu yang dimilikinya. Mereka yang diizinkan pulang umumnya
mendapat syahadah/Ijazah dan juga diberi izin mendirikan dayah-dayah baru atau
mengembangkan dayah sudah ada. Hal inilah yang menyebabkan terdapat banyak
99
Muhibuddin Wali, Ayah Kami Maulana Syekh Muhammad Waliy al-Khalidiy; Tgk. Syekh
Haji Muda Waly (Malaysia, Kulliyah of Laws Internasional Islamic University, 1993), h. 58.
100
Ibid.,
101
IAIN ar-Raniry, Ensiklopedi., h. 320-321.
67

dayah-dayah yang pada umumnya dipimpin oleh alumni Dayah Darussalam


Labuhan Haji Aceh Selatan.
Menurut sejarah, Syekh Muda Wali adalah seseorang yang sangat kukuh dan
kuat dalam menyebarkan dan mempertahankan agama atas dasar mazhab Syafii
dalam bidang fiqh. Kemudian dalam bidang tauhid ia berpaham Ahlussunnah wal
Jamaah, dan dalam pengembangan tasawuf menurut tarekat Naqsyabandiyah.102
Oleh karena itu, jelaslah bahwa di samping tekadnya yang membara
memperjuangkan agama dan perannya dalam membangun pendidikan, serta
menyebarluaskan tasawuf menurut tarekat Naqsyabandiyah. Bukan beratus tetapi
beribu-ribu murid yang diasuh dan dididik dalam ibadah Islamiyah menurut mazhab
Syafii.
Murid-murid yang telah menjadi kader-kader Islam Syafiiyah yang pernah
memimpin dan menjadi guru agama dipelosok-pelosok Aceh di antaranya seperti
disebutkan Sirajudidin Abbas, adalah:103
1. Teungku Syekh Adnan Mahmud, Bakongan, Aceh Selatan
2. Teungku Syekh Qamaruddin, Teunom, Aceh Barat
3. Teugku Syekh Usman Fauzi, Cot Iri, Aceh Besar
4. Tuanku Idrus Batu Basurek, Bangkinang Riau
5. Tuanku Labai Sati Malalo, Padang, Sumatera Barat
6. Teungku Haji Muhammad Daud Zamzamy, Lam Ateuk, Aceh Besar
7. Teunku Syekh Abdul Aziz Saleh, Samalanga, Bireuen
8. Teungku Syekh Muhammad Isa, Peudada , Bireuen
9. Teungku Haji Muhammad Amin, Blang Blahdeh, Bireuen
10. Teungku Syekh Haji Syihabuddin Syah, Keumala, Pidie
11. Teungku Jamaluddin, Teupin Punti, Aceh Utara
12. Teungku Syekh Ahmad Blang Nibong, Aceh Utara
13. Teungku Syekh Nawawi Harahap, Tapanuli, Sumatera Utara
14. Teungku Jafar Siddiq, Kuta Cane, Aceh Tenggara
15. Teungku Amin Umar, Panton Labu, Aceh Utara
16. Teungku Abbas, Peureumbeu, Aceh Barat
17. Teungku Muhammad Daud, Takengon, Aceh Tengah
18. Teungku Syekh Ahmad, Lam Awi, Pidie

102
Sirajuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafii (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2004),
h. 261-262.
103
Ibid., h. 262-263.
68

19. Teungku Abu Bakar Sabil, Alue Tampak Aceh Besar


20. Teungku Haji Abdullah Hanafie, Tanoh Mirah, Bireuen.

Berdasarkan hal yang telah penulis gambarkan mengenai sejarah kehidupan


Syekh Muda Wali yang memberikan kontribusi besar dalam perkembangan dayah-
dayah di Aceh. Dulunya beliau adalah murid dari Teungku Haji Hasan Krueng Kalee
yang mempertahankan tradisi lama dengan lembaga pendidikan dayah tanpa
terpengaruh ide pembaharuan seperti yang berkembang di Padang Sumatera Barat.
Namun demikian diantara murid dari Teungku Haji Hasan Krueng Kalee ada juga
yang mengembangkan pendidikan modern yaitu Teungku Muhammad Daud
Beureueh yang pernah menjabat Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo
masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), ia mendirikan sekolah
Jamiyah al-Islamiyah Blang Paseh Sigli, dan terjadi perbedaan pandangan politik
antara Teungku Muhammad Waly al-Khalidi dengan Teungku Muhammad Daud
Beureuh dalam hal politik dan pendidikan.
Pada masa awal kemerdekaan peranan pengembangan kader ulama dayah
dipegang oleh Dayah Darussalam Labuhan Haji Kabupaten Aceh Selatan, seperti
yang ditulis Sirajuddin Abbas yang meruntut jelas alumni-alumni Dayah Darussalam
yang meneruskan sistem pendidikan Islam mengikuti Dayah Darussalam baik dari
segi kurikulum dan metode pengajarannya serta menganut Mazhab Syafii sebagai
aliran fiqihnya dan menganut paham Asyariyah dalam hal teologi. Maka setelah
Teungku Syekh Haji Muhammad Wali al-Khalidi meninggal dunia pada tanggal 28
Maret 1961, Dayah Darussalam mengalami kemunduran sehingga peran pembinaan
kader ulama dayah diambil alih oleh Dayah Mahadul Ulum Diniyyah Islamiyyah
(MUDI) Mesjid Raya Samalanga atau yang lebih dikenal dengan sebutan MUDI
MESRA Samalanga.
Dayah Mahadul Ulum Diniyyah Islamiyyah (MUDI) Samalanga didirikan
pada masa Sultan Iskandar Muda dibawah Pimpinan Teungku Faqih Abdul Ghani,
namun tahun pendiriannya tidak jelas diketahui. Dayah ini terletak di Desa Mideun
69

Jok Kecamatan Samalanga Kabupaten Bireuen, setelah pimpinan pertamanya


meninggal dunia, pimpinan selanjutnya dipegang oleh Teungku Haji Syihabuddin bin
Idris, ketika beliau meninggal dunia pada tahun 1935 M, dayah tersebut dipegang
oleh adik iparnya yaitu Teungku Haji Hanafiah bin Abbas. Tahun 1964 M Teungku
Haji Hanafiah meninggal dunia kemudian mulai saat itu Dayah Mahadul Ulum
Diniyyah Islamiyyah (MUDI) mulai dipimpin oleh Teungku Abdul Aziz yang
sebelumnya belajar di Dayah Darussalam Labuhan Haji pimpinan Teungku Haji
Syehk Muhammad Wali al-Khalidi. Pada masa kepemimpinan Teungku Abdul Aziz
Dayah Mahadul Ulum Diniyyah Islamiyyah (MUDI) menjadi lembaga pendidikan
Islam terbesar setelah redupnya pamor Dayah Darussalam Labuhan Haji, hal ini
dibuktikan dengan pengkaderan Ulama dayah dan pertumbuhan dayah dan
penyebarannya di Aceh dilakukan oleh alumni-alumni Dayah MUDI Samalanga.
Dayah-dayah yang berkembang dari lulusan Dayah MUDI seperti Dayah Darul
Munawwarah Kuta Krueng Ule Glee Aceh Pidie di bawah pimpinan Teungku Haji
(Abu)104 Usman Ali, Dayah Malikussaleh Panton Labu Aceh Utara dengan pimpinan
Teungku Haji (Abu) Ibrahim Beurdan, Dayah Bahrul Ulum Diniyah Islamiyah
(BUDI) Lamno Aceh Jaya, Dayah Darul Huda Lueng Angen Aceh Utara yang
dipimpin oleh Teungku Haji (Abu) Muhammad Daud Ahmadi atau biasa disapa Abu
Lhok Nibong.
Kepemimpinan Dayah Mahadul Ulum Diniyyah Islamiyyah (MUDI)
sendiri setelah meninggalnya Teungku Abdul Aziz pada tahun 1989 M dipegang oleh
menantunya yaitu Teungku Haji (Abu) Hasanoel Bashri Haji Gadeng, dan ditangan
beliau dayah tersebut terus mengalami pengembangan sampai hari ini dengan
dibukanya Perguruan Tinggi Islam yaitu, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI)
al-Aziziyah dan dan Sekolah Menengah Kejuruan Islam (SMKI) al-Aziziyah, dan
beberapa unit pendidikan lainnya yang berada dibawah naungan Dayah MUDI, jadi

104
Abu adalah sapaan kehormatan yang diberikan masyarakat Aceh kepada orang yang
memahami ilmu-ilmu keIslaman dan memiliki kharismatik. Tim Penulis, Ulama Aceh dalam
Melahirkan Human Resource di Aceh, Cet I, (Banda Aceh: Yayasan Aceh Mandiri, 2010), h. 5.
70

sudah ada beragam model kurikulum yang telah dipadukan pada lembaga tersebut
mencakup ilmu-ilmu agama, kajian-kajian keislaman, dan teknologi kejuruan. Tanpa
menghilangkan ciri dasar dayah salafiah dengan pola pengajaran kitab kuning, Dayah
MUDI terus berkembang dan menyesuaikan diri dengan roda perkembangan zaman
yang senantiasa berubah dari waktu ke waktu. Diakui juga lembaga ini telah memberi
sumbangan intelektual umumnya pada masyarakat Aceh yang menyekolahkan anak-
anak mereka di Dayah MUDI. Ketika penulis melakukan observasi awal beberapa
bulan sebelum dimulainya penelitian ini jumlah santri yang ditampung dilembaga
pendidikan Islam itu sudah mencapai 500 santri lebih yang berasal dari Aceh dan
beberapa Propinsi serta dari luar negeri.

Anda mungkin juga menyukai