Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH FARMAKOTERAPI 2

DEPRESI

Di susun oleh :

1. Hepy Berliana Bahri 17040064/17B


2. Reza Diar Milanda 17040082/17B

PROGRAM STUDI SI FARMASI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN dr. SOEBANDI JEMBER

YAYASAN PENDIDIKAN JEMBER INTERNATIONAL SCHOOL

TAHUN 2019/2020

Jl.dr. Soebandi No. 99 Jember, Telp/Fax. (0331) 483536

E_mail : jstikesdr.soebandi@yahoo.comLaman: www.stikesdrsoebandi.ac.id


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkah, rahmat, dan
hidayah yang dilimpahkan-Nya, kami dapat menyusun dan menyelesaikan makalah yang
berjudul “Makalah Farmakoterapi 2 Depresi ”.

Makalah ini ditulis untuk memenuhi salah satu mata kuliah Farmakoterapi dengan dosen
pengampu Ibu Shinta Mayasari, S.Farm.,M.Farm.,Klin.,Apt

Dengan segala keterbatasan, kami sepenuhnya menyadari bahwa dalam penulisan


makalah ini masih banyak terdapat kekurangan, baik dalam pembahasan maupun tata bahasanya
atau cara penulisannya. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati kiranya koreksi dan saran yang
sifatnya membangun dari semua pihak khususnya para pembaca sangat saya harapkan demi
kesempurnaan penulisan makalah ini.

Akhir kata saya mengharapkan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami sebagai
penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

  Jember, 26 Maret 2020

Penulis
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa banyak masalah kesehatan
mental yang muncul pada akhir masa kanak-kanak dan awal remaja. Studi terbaru
menunjukkan bahwa masalah kesehatan mental, khususnya depresi, merupakan penyebab
terbesar dari beban penyakit di antara individu pada usia awal (WHO, 2016). Data dari WHO
juga menunjukkan bahwa depresi merupakan penyebab utama dari penyakit dan kecacatan
yang dialami remaja, dengan tindakan bunuh diri sebagai penyebab ketiga kematian terbesar
(WHO, 2014). Data-data tersebut menunjukkan bahwa saat ini semakin banyak remaja yang
mengalami depresi.
Sejalan dengan hal tersebut, hasil penelitian juga menunjukkan hasil yang serupa. Di
beberapa tahun terakhir, prevalensi remaja yang mengalami depresi mulai meningkat, salah
satunya merupakan hasil penelitian Mojtabai, Olfson, dan Han (2016) terhadap 172.495
remaja yang berusia 12-17 tahun dan 178.755 usia dewasa antara 18-25 tahun di Amerika
Serikat, menunjukkan prevalensi terjadinya depresi pada remaja dan dewasa awal meningkat
di tahun-tahun terakhir ini, yaitu dari 8.7% di tahun 2005 menjadi 11.3% di tahun 2014 pada
usia remaja, dan dari 8.8% menjadi 9.6% pada usia dewasa awal. Selain itu, penelitian yang
dilakukan oleh Vardanyan (2013) yang menggunakan 713 siswa di Armenia menunjukkan
bahwa rata-rata prevalensi kemungkinan terjadinya depresi adalah 16.7%, 6.2% adalah laki-
laki dan 21.6% adalah perempuan.
Depresi pada remaja bukan sekedar perasaan stres ataupun sedih sebagaimana hal yang
datang dan pergi begitu saja, melainkan merupakan sebuah kondisi yang serius yang dapat
memengaruhi perilaku, emosi, dan cara berpikir para remaja tersebut, serta sifatnya yang
permanen yang membutuhkan penanganan serius dari berbagai pihak untuk mengatasinya.
Berawal dari kondisi stres itulah yang jika tidak segera teratasi dapat masuk ke fase depresi.
Depresi adalah gangguan mental yang umumnya ditandai dengan perasaan depresi,
kehilangan minat atau kesenangan, penurunan energi, perasaan bersalah atau rendah diri,
sulit tidur atau nafsu makan berkurang, perasaan kelelahan dan kurang konsentrasi. Kondisi
tersebut dapat menjadi kronis dan berulang, dan secara substansial dapat mengganggu
kemampuan individu dalam menjalankan tanggung jawab sehari-hari. Di tingkat yang paling
parah, depresi dapat menyebabkan bunuh diri (WHO, 2012).
Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, Fifth Edition (DSM-
V), seseorang dikatakan depresi jika setidaknya selama dua minggu mengalami minimal lima
dari sembilan kriteria berikut, yaitu (1) adanya perasaan depresi yang muncul di sebagian
besar waktu, bahkan hampir setiap hari, (2) adanya penurunan minat dan kesenangan di
hampir sebagian besar kegiatan dan hampir setiap hari, (3) adanya perubahan berat badan
atau nafsu makan yang signifikan, (4) adanya perubahan tidur: menjadi insomnia atau
hipersomnia, (5) adanya perubahan aktivitas, (6) merasa kelelahan dan kehilangan energi, (7)
munculnya perasaan bersalah atau tidak berharga yang berlebihan dan sebenarnya tidak
pantas muncul, (8) mengalami penurunan konsentrasi, dan (9) memiliki pikiran berulang
tentang kematian (tidak hanya takut mati), adanya keinginan bunuh diri berulang tanpa
rencana spesifik, usaha bunuh diri, atau rencana spesifik untuk melakukan bunuh diri.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang di maksud dengan depresi ?
2. Bagaimana patofisiologi dari depresi ?
3. Bagaimana tatalaksana terapi depresi ?
4. Bagaimana evaluasi hasil terapi ?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari depresi
2. Untuk mengetahui patofisiologi depresi
3. Untuk mengetahui tatalaksana terapi depresi
4. Untuk mengetahui evaluasi hasil terapi depresi
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Depresi
Depresi adalah satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam
perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu
makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tidak berdaya, serta
bunuh diri (Kaplan, 2010). Depresi merupakan respon terhadap stres kehidupan. Diantara situasi
yang paling sering mencetuskan depresi adalah kegagalan di sekolah atau pekerjaan, kehilangan
orang yang dicintai dan menyadari bahwa penyakit atau penuaan sedang menghabiskan kekuatan
seseorang. Depresi dianggap abnormal hanya jika dalam kurun waktu yang lama
(Atkinson,1993).
Maramis (2005) memasukkan depresi sebagai gangguan afek dan emosi. Afek ialah nada
perasaan menyenangkan atau tidak (seperti kebanggaan, kekecewaan, dan kasih sayang), yang
menyertai suatu pikiran dan biasanya berlangsung lama serta kurang disertai oleh komponen
fisiologis. Sedangkan emosi merupakan manifestasi afek keluar dan disertai oleh banyak
komponen fisiologis, biasanya berlangsung relative tidak lama (misalnya ketakutan, kecemasan,
depresi dan kegembiraan). Afek dan emosi dengan aspek-aspek yang lain seorang manusia
(umpama proses berpikir, psikomotor, persepsi, ingatan) saling mempengaruhi dan menentukan
tingkat fungsi dari manusia itu pada suatu waktu.
Depresi adalah suatu gangguan perasaan hati dengan ciri sedih, merasa sendirian, rendah
diri, putus asa, biasanya disertai tanda-tanda retardasi psikomotor atau kadang-kadang agitasi,
menarik diri dan terdapat gangguan fisiologis seperti insomnia dan anoreksia (Kaplan, 2010).
Menurut Kaplan, depresi merupakan salah satu gangguan mood yang ditandai oleh hilangnya
perasaan kendali dan pengalaman subjektif adanya penderitaan berat. Mood adalah keadaan
emosional internal yang meresap dari seseorang (Kaplan, 2010). Maslim berpendapat bahwa
depresi adalah suatu kondisi yang dapat disebabkan oleh defisiensi relatif salah satu atau
beberapa aminergik neurotransmiter (noradrenalin, serotonin, dopamin) pada sinaps neuron di
Sistem Saraf Pusat (SSP) terutama pada sistem limbic (Maslim, 2002).
2.2 Etiologi
Kaplan menyatakan bahwa terdapat tiga faktor penyebab depresi, yaitu:
a. Faktor biologi
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat kelainan pada amin biogenik, seperti 5
HIAA (5-Hidroksi indol asetic acid), HVA (Homovanilic acid), MPGH (5 methoxy-0-hydroksi
phenil glikol), di dalam darah, urin, dan cairan serebrospinal pada pasien gangguan mood.
Neurotransmiter yang terkait dengan patologi depresi adalah
serotonin dan epineprin. Penurunan serotonin dapat mencetuskan depresi (Kaplan, 2010). Selain
itu aktivitas dopamin pada depresi adalah menurun. Hal tersebut tampak pada pengobatan yang
menurunkan konsentrasi dopamin seperti respirin dan penyakit dengan konsentrasi dopamin
menurun seperti Parkinson. Kedua penyakit tersebut disertai gejala depresi. Obat yang
meningkatkan konsentrasi dopamin, seperti tyrosin, amphetamine, dan bupropion, menurunkan
gejala depresi (Kaplan, 2010).
Adanya disregulasi neuroendokrin. Hipotalamus merupakan pusat pengaturan aksis
neuroendokrin, menerima input neuron yang mengandung neurotransmiter amin biogenik. Pada
pasien depresi ditemukan adanya disregulasi neuroendokrin. Disregulasi ini terjadi akibat
kelainan fungsi neuron yang mengandung amin biogenik. Sebaliknya, stres kronik yang
mengaktivasi aksis Hypothalamic- Pituitary-Adrenal (HPA) dapat menimbulkan perubahan pada
amin biogenik sentral. Aksis neuroendokrin yang paling sering terganggu yaitu adrenal, tiroid,
dan aksis hormon pertumbuhan. Aksis HPA merupakan aksis yang paling banyak diteliti
(Landefeld, 2004). Hipersekresi Cortisol Releasing Hormone (CRH) merupakan gangguan aksis
HPA yang sangat fundamental pada pasien depresi. Hipersekresi yang terjadi diduga akibat
adanya defek pada system umpan balik kortisol di sistem limbik atau adanya kelainan pada
sistem monoaminogenik dan neuromodulator yang mengatur CRH (Kaplan, 2010). Sekresi CRH
dipengaruhi oleh emosi. Emosi seperti perasaan takut dan marah berhubungan dengan
Paraventriculer nucleus (PVN), yang merupakan organ utama pada sistem endokrin dan
fungsinya diatur oleh sistem limbik. Emosi mempengaruhi CRH di PVN, yang menyebabkan
peningkatan sekresi CRH (Landefeld, 2004).
b. Faktor genetik
Penelitian genetik dan keluarga menunjukkan bahwa angka resiko di antara anggota
keluarga tingkat pertama dari individu yang menderita depresi berat
(unipolar) diperkirakan 2 sampai 3 kali dibandingkan dengan populasi umum. Angka keselarasan
sekitar 11% pada kembar dizigot dan 40% pada kembar monozigot (Kaplan, 2010).
c. Faktor psikososial
Menurut Freud dalam teori psikodinamikanya, penyebab depresi adalah kehilangan objek
yang dicintai (Kaplan, 2010). Faktor psikososial yang mempengaruhi depresi meliputi peristiwa
kehidupan dan stresor lingkungan, kepribadian, psikodinamika, kegagalan yang berulang, teori
kognitif, dan dukungan social (Kaplan, 2010). Peristiwa kehidupan yang menyebabkan stres,
lebih sering mendahului episode pertama gangguan mood dari episode selanjutnya. Para klinisi
mempercayai bahwa peristiwa kehidupan memegang peranan utama dalam depresi. Klinisi lain
menyatakan
bahwa peristiwa kehidupan hanya memiliki peranan terbatas dalam onset depresi. Stresor
lingkungan yang paling berhubungan dengan onset suatu episode depresi adalah kehilangan
pasangan (Kaplan, 2010). Stresor psikososial yang bersifat akut, seperti kehilangan orang yang
dicintai, atau stresor kronis misalnya kekurangan
finansial yang berlangsung lama, kesulitan hubungan interpersonal, ancaman keamanan dapat
menimbulkan depresi (Hardywinoto,1999). Dari faktor kepribadian, beberapa ciri kepribadian
tertentu yang terdapat pada individu, seperti kepribadian dependen, anankastik, histrionik, diduga
mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya depresi, sedangkan kepribadian antisosial dan
paranoid mempunyai resiko yang rendah (Kaplan, 2010).
2.3 Gambaran Klinis Depresi
PPDGJ III (Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa), menyatakan bahwa
seseorang menderita gangguan depresi ditandai dengan adanya kehilangan minat dan
kegembiraan, serta berkurangnya energi yang menyebabkan seseorang tersebut mudah merasa
lelah meskipun hanya bekerja ringan. Gejala lain yang sering muncul antara lain:
a) Konsentrasi dan perhatian berkurang.
b) Harga diri dan kepercayaan berkurang.
c) Gagasan tentang perasaan bersalah dan tidak berguna.
d) Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis.
e) Gagasan atau perbuatan yang membahayakan diri atau bunuh diri.
f) Tidur terganggu
g) Nafsu makan berkurang.
Menurut Lumbantobing (2004), gejala-gejala depresi meliputi:
a) Gangguan tidur atau insomnia.
b) Keluhan somatik berupa nyeri kepala, dizzy (pusing), rasa nyeri, pandangan kabur, gangguan
saluran cerna, gangguan nafsu makan (meningkat atau menurun), konstipasi, dan perubahan
berat badan (menurun atau bertambah).
c) Gangguan psikomotor berupa aktivitas tubuh meningkat (agitasi atauhiperaktivitas) atau
menurun, aktivitas mental meningkat atau menurun, tidak mengacuhkan kejadian di sekitarnya,
fungsi seksual berubah (mencakup libido menurun), variasi diurnal dari suasana hati. Gejala
biasanya lebih buruk di pagi hari.
d) Gangguan psikologis berupa suasana hati (disforik, rasa tidak bahagia, letupan menangis),
kognisi yang negatif, gampang tersinggung, marah, frustasi, toleransi rendah, emosi meledak,
menarik diri dari kegiatan sosial, kehilangan kenikmatan dan perhatian terhadap kegiatan yang
biasa dilakukan, banyak memikirkan kematian dan bunuh diri, perasaan negatif terhadap diri
sendiri, persahabatan, serta hubungan sosial.
2.4 Klasifikasi dan Diagnosis Gangguan Depresi
a. Gangguan depresi mayor
Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth Edition, Text Revision
(DSM-IV-TR), suatu episode depresi mayor ditandai dengan munculnya lima atau lebih gejala
dibawah ini selama suatu periode 2 minggu:
1)Mood yang depresi hampir sepanjang hari dan hampir setiap hari
2)Penurunan kesenangan atau minat secara drastis dalam semua atau hampir semua aktivitas
3)Kehilangan berat badan atau penambahan berat badan yang signifikan atau suatu penambahan
atau penurunan selera makan
4)Mengalami insomnia atau hipersomnia
5)Agitasi yang berlebihan atau melambatnya respon gerakan hampir setiap hari
6)Perasaan lelah atau kehilangan energi setiap hari
7)Berkurangnya kemampuan untuk berkonsentrasi
b. Gangguan distimik
Perbedaan utama antara gangguan distimik dengan gangguan depresi mayor adalah bahwa
gangguan distimik adalah depresi kronis yang memiliki gejala yang lebih ringan. Keparahan dari
depresi kronis ini berfluktuasi. Banyak penderita gangguan distimik yang juga mengalami
gangguan depresi mayor (Baldwin, 2002).
Gangguan distimik tampaknya disebabkan oleh perkembangan kronis yang seringkali bermula
pada masa kanak-kanak atau masa remaja. Orang dengan gangguan distimik merasakan
keterpurukan sepanjang waktu, namun mereka tidak mengalami depresi yang sangat parah
seperti yang dialami oleh orang dengan gangguan depresi mayor. Meskipun gangguan distimik
lebih ringan daripada gangguan depresi mayor, mood tertekan dan self esteem rendah yang terus-
menerus dapat mempengaruhi fungsi pekerjaan dan social orang tersebut (Nevid, 2005).
2.5 Alat Ukur Depresi dan Tingkat Depresi
Beck Depression Inventory (BDI) merupakan instrumen untuk mengukur derajat depresi dari Dr.
Aaron T. Beck. Skala BDI telah dibuktikan memiliki validitas dan reliabilitas cukup tinggi untuk
melakukan pengukuran depresi. Kondisi ini menunjukkan bahwa pengukuran depresi dengan
menggunakan skala BDI akan diperleh hasil yang valid dan reliable. BDI Mengandung skala
depresi yang terdiri dari 21 item. Setiap gejala dirangking dalam skala intensitas 4 poin dan
nilainya ditambahkan untuk memberi total nilai dari 0-63, nilai yang lebih tinggi mewakili
tingkat depresi yang lebih berat. 21 item tersebut menggambarkan kesedihan, pesimistik,
perasaan gagal, ketidakpuasan, rasa bersalah, perasaan akan hukuman, kekecewaan terhadap diri
sendiri, menyalahkan diri sendiri, keinginan bunuh diri, menangis, iritabilitas, hubungan sosial,
pengambilan keputusan, ketidakberhargaan diri, kehilangan tenaga, insomnia, perasaan marah,
anoreksia, kesulitan berkonsentrasi, kelelahan, dan penurunan libido (Beck, 1985).
Penilaian dilakukan dengan menggunakan kuesioner, dimana skor:
1) Skor 0-9 menunjukkan tidak ada gejala depresi adalah normal
2) Skor 10-15 menunjukkan adanya depresi ringan
3) Skor 16-23 menunjukkan adanya depresi sedang
4) Skor 24-63 menunjukkan adanya depresi berat.
BAB 3
PEMBAHASAN
3.1 Pengertian Depresi
Depresi merupakan gangguan mental dengan gejala berupa suasana hati sedih, kehilangan minat
atau kesenangan dalam kegiatan, perubahan berat badan, kesulitan tidur atau tidur berlebihan,
kehilangan tenaga, perasaan tidak berharga, perubahan psikomotor dan pikiran tentang kematian
atau bunuh diri. Setiap tahun terjadi 3000 kematian akibat bunuh diri.
3.2 Patofisiologi
Telah dipikirkan selama berabad-abad bahwa setidaknya beberapa bentuk depresi
disebabkan oleh atau dipelihara oleh gangguan fungsi otak, dan sejak tahun 1960-an, telah
dimungkinkan untuk mempelajari proses neurobiologis tertentu yang terkait dengan etiologi dan
patogenesis gangguan mood. Beberapa penelitian telah menginformasikan penelitian di bidang
ini. Pertama, heritabilitas gangguan suasana perasaan telah menyarankan bahwa dasar-dasar
neurobiologi depresi mungkin terkait dengan gen tertentu. Kedua, pemahaman yang lebih rinci
tentang neurobiologi respons stres telah menginformasikan model stres-diatesis interaktif dari
kerentanan. Ketiga, penemuan generasi pertama penatalaksanaan "somatik" (yaitu, ECT dan
antidepresan TCA dan MAOI) pada tahun 1940-an dan 1950-an menunjukkan target
neurobiologis yang berpotensi reversibel untuk intervensi. Metodologi untuk mempelajari
neurobiologi gangguan suasana perasaan telah berkembang lebih canggih, penelitian yang
menggunakan indikator tidak langsung dari fungsi otak, seperti kadar metabolit monoamine atau
kortisolurin, plasma, atau CSF, sebagian besar telah digantikan oleh penelitian yang dipandu
secara translasi dari transkrip gen dan proteomik. Demikian juga, pengukuran kasar fungsi
regional otak , seperti rekaman potensi yang ditimbulkan atau pola aktivitas
electroencephalographic (EEG) saat bangun dan tidur, sebagian besar telah memberikan cara
untuk strategi neuroimaging yang memungkinkan aktivitas daerah atau sirkuit saraf tertentu
untuk diperiksa saat istirahat dan selama tantangan provokatif.(Sadock, 2017)
Perubahan dalam aktivitas saraf dan dalam efisiensi pemrosesan informasi dalam masing-
masing dari sebelas daerah otak yang ditunjukkan di sini dapat menyebabkan gejala episode
depresi besar. Fungsionalitas di setiap wilayah otak secara hipotesis dikaitkan dengan konstelasi
gejala yang berbeda. PFC, korteks prefrontal; BF, otak depan basal; S, striatum; NA, nucleus
accumbens; T, talamus; Hy, hipotalamus; A, amygdala; H, hippocampus; NT, pusat
neurotransmitter batang otak; SC, sumsum tulang belakang; C, serebelum.(Stahl, 2013)(Sadock,
2017).

Tanda-tanda, gejala, dan pengalaman subjektif yang terkait dengan depresi telah lama
terkait disfungsi proses sistem saraf pusat dasar (SSP). Sehubungan dengan fungsi kortikal,
depresi melibatkan beberapa gangguan pemrosesan informasi. Kebanyakan orang yang depresi
secara otomatis menafsirkan pengalaman dari perspektif negatif, dan aksesnya ke memori
negatif. Keadaan depresi yang lebih parah, kognisi dan keterampilan pemecahan masalah
semakin lengkapi dengan konsentrasi yang buruk dan menurunnya kemampuan untuk
menggunakan pemikiran abstrak. Sebuah monolog virtual pikiran dan gambar negatif tampaknya
berjalan dengan autopilot, dan, tidak seperti keadaan normal kesedihan, ventilasi ke orang
kepercayaan memiliki sedikit efek yang menguntungkan. Pada kasus yang lebih ekstrim, delusi
atau halusinasi, atau keduanya, benar-benar mendistorsi pengujian realitas. Perubahan
neurokognitif ini menunjukkan disfungsi yang melibatkan hipokampus, korteksprefrontal(PFC),
amigdala dan struktur limbik lainnya.
Karakteristik depresi berdasarkan biologis lainnya melibatkan penurunan minat dan
hilangnya reaktivitas suasana hati: Aktivitas yang spontan, tujuan yang disutradarai menurun,
dan peristiwa yang seharusnya meningkatkan suasana perasaan memiliki sedikit atau tidak
berpengaruh sama sekali. Satu berkorelasi kehilangan minat adalah penurunan arti penting
penguatan. Bahkan fungsi dasar seperti nafsu makandan libido berkurang dalam depresi berat.
Anhedonia dan penurunan titik perilaku nafsu makan untuk disfungsi sirkuit saraf yang terlibat
dalam antisipasi dan penyempurnaan penghargaan, yang melibatkan thalamus, hipotalamus,
nukleus akumbens, anterior cingulate, dan PFC.(Sadock, 2017)(Marwick K. , 2013) .
Tingkat depresi yang lebih berat dan persisten, termasuk yang diklasifikasikan sebagai
gangguan depresi mayor, berhubungan dengan gangguan neurobiologis yang luas, yang pada
gilirannya terkait dengan setidaknya beberapa perbedaan yang diamati dalam presentasi klinis
dan respons terhadap perawatan khusus. Beberapa gangguan lebih baik dipahami sebagai sifat,
yang mungkin diwariskan atau diperoleh, sedangkan yang lain jelas tergantung pada tingkatan
dan dapat dipulihkan dengan pengobatan atau remisi spontan. Beberapa kelainan yang
bergantung pada tingkatan terkait dengan gangguan depresi mayor, yang terjadi lebih sering pada
pasien yang lebih tua dengan gejala yang lebih berat, termasuk peningkatan tidur faseRapid Eye
Movements (REM), pemeliharaan tidur yang buruk, hiperkortisolisme, gangguan imunitas
seluler, penurunan aliran darah otak anterior dan metabolisme glukosa, dan peningkatan
metabolisme glukosa di amigdala. Bersama-sama, perubahan ini tampaknya mencerminkan efek
progresif dari respons jangka pendek adaptif terhadap stres berkelanjutan. Begitu bermanifestasi
dalam bentuk ini, episode depresi berat atau depresi melankolis cenderung lebih lama, lebih
melumpuhkan, lebih mudah kambuh, dan lebih mungkin mendapat manfaat dari farmakoterapi
atau ECT (vis-à-vis nonspesifik atau intervensi psikoterapi).(Sadock, 2017)(Friedman, 2014).
Hipotesis di neurotropik dari tingkat depresi dinyatakan bahwa depresi dapat disebabkan
oleh turunnya sintesis protein yang terlibat dalam neurogenesis dan plastisitas sinaptik.Salah satu
mekanisme kandidat yang telah diusulkan sebagai tempat kemungkinan cacat dalam transduksi
sinyal dari reseptor monoamina dalam depresi adalah gen target untuk faktor neurotropik yang
diturunkan dari otak (BDNF). Biasanya, BDNF menopang kelangsungan hidup neuron otak,
tetapi di bawah tekanan, gen untuk BDNF dapat ditekan. Stres dapat menurunkan level 5HT dan
dapat meningkat secara akut, kemudian secara kronis berkurang, baik NE dan DA. Perubahan
neurotransmiter monoamine bersama dengan jumlah BDNF yang kurang dapat menyebabkan
atrofi dan kemungkinan apoptosis neuron yang rentan di hippocampus dan area otak lainnya
seperti prefrontal cortex. Konsep tentang atrofi hippocampal yang telah dilaporkan berkaitan
dengan stres kronis dan depresi mayor dan berbagai gangguan kecemasan, terutama PTSD.
Untungnya, beberapa kehilangan neuronal ini bisa reversibel. Yaitu, pemulihan transduksi sinyal
transduksi yang berhubungan dengan monoamine oleh antidepresan dapat meningkatkan BDNF
dan faktor trofik lainnya dan berpotensi mengembalikan sinapsis yang hilang. Di beberapa area
otak seperti hippocampus, tidak hanya dapat sinaps berpotensi dipulihkan, tetapi ada
kemungkinan bahwa beberapa neuron yang hilang bahkan mungkin digantikan oleh
neurogenesis.(Stahl, 2013).
Neuron dari daerah hipokampus dan amygdala biasanya menekan aksis hipotalamus-
hipofisis-adrenal, jadi jika stres menyebabkan neuron hippokampus dan amigdala menjadi atrofi,
dengan hilangnya input penghambatan ke hipotalamus, ini dapat menyebabkan untuk
overaktivitas sumbu HPA. Pada depresi, kelainan pada aksis HPA telah lama dilaporkan,
termasuk peningkatan kadar glukokortikoid dan ketidakpekaan sumbu HPA terhadap
penghambatan umpan balik. Beberapa bukti menunjukkan bahwa glukokortikoid pada tingkat
tinggi bahkan bisa menjadi racun bagi neuron dan berkontribusi pada atrofi mereka di bawah
tekanan kronis. Pengobatan antidepresan baru dalam pengujian yang menargetkan reseptor
corticotropin-releasing factor 1 (CRF-1), reseptor vasopresin 1B, dan reseptor glukokortikoid,
dalam upaya untuk menghentikan dan bahkan membalikkan kelainan HPA ini pada depresi dan
stres lainnya. terkait penyakit kejiwaan.(Stahl, 2013).
3.3 Tatalaksana terapi
Penatalaksanaan depresi memerlukan metode pendekatan yang bersifat holistik, mencakup
psikofarmaka, terapi somatik, psikoterapi, terapi psikoreligius dan akupunktur. Indikasi
pemberian terapi psikofarmaka dengan obat antidepresan adalah gangguan depresi sedang
sampai berat, episode depresi berulang dan depresi dengan gambaran melankolis atau psikotik.
Obat yang digunakan adalah obat yang dapat memulihkan fungsi gangguan neurotransmiter di
sistem limbik,bersifat selektif dan spesifik. Antidepresan yang digunakan adalah antidepressan
klasik (trisiklik dan tetrasiklik) seperti amitriptilin, imipramin,klomipramin; antidepresan
generasi kedua yaitu selective serotonin re-uptake inhibitor (SSRI) dan noradrenalin and
serotonin antidepressant (NaSA) seperti fluoxetin, sertalin, citalopram, fluvoxamine dan
mianserin; serta antidepresan golongan monoamin oxidase (MAO).
Terapi akupunktur memiliki efek mirip obat antidepresan melalui jalur sinyal extracellular
signal-regulated kinase (ERK) sehingga terjadi peningkatan ekspresi serotonin (5-HT) di nucleus
dorsal rafe, menekan peningkatan stres akibat aktivitas saraf di lokus seruleus dan meningkatkan
kerja obat antidepresan. Selain itu akupunktur memiliki keamanan yang lebih baik dibandingkan
obat antidepresan karena tidak menimbulkan efek samping yang berat.
3.4 Evaluasi Hasil Terapi
BAB 4
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai