Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH BANTUAN HIDUP DASAR DI KOMUNITAS

TRAUMA KEPALA

DOSEN PENGAMPU:

DISUSUN OLEH
1. LUH PADMA YONI NIM. 1906091012
2. NI KETUT ASRI DIAN LESTARI NIM. 1906091020
3. PUTU IRMA LUSIANA HERAWATI NIM. 1906091024
4. MADE PURNAMI ASRI WAHYUNI NIM. 1906091026
5. JUNIA ANDYK DAMAYANTHI NIM. 1906091036

TINGKAT IIB
PROGRAM STUDI D3 KEBIDANAN
JURUSAN ILMU OLAHRAGA DAN KESEHATAN
FAKULTAS OLAHRAGA DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
SINGARAJA
2020
PRAKATA

Puji syukur kami panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
rahmatnya serta kerja keras kami, akhirnya kami dapat menyelesaikan tugas mata
kuliah Bantuan Hidup Dasar di Komunitas yang berjudul “Trauma Kepala”.
Tugas ini dibuat guna memenuhi salah satu standar atau kriteria penilaian
dari mata kuliah Bantuan Hidup Dasar di Komunitas yang diberikan secara
kelompok.
Kami mengucapkan banyak terimakasih kepada Ibu selaku dosen
pembimbing mata kuliah Bantuan Hidup Dasar di Komunitas di Universitas
Pendidikan Ganesha. Beliau yang telah banyak membimbing dan mengarahkan
kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Tak lupa pula kami
mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu kami
dalam menyelesaikan tugas ini.
Kami menyadari kekurangan kami sebagai manusia biasa dan oleh
keterbatasan sumber referensi yang kami miliki sehingga kiranya dalam makalah
ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekeliruan baik itu dalam penyusunan.
Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan adanya kritik dan saran dari Ibu
sebagai dosen pembimbing ataupun pihak-pihak lain dan sesama teman
mahasiswa untuk dapat menambahkan sesuatu yang kiranya dianggap masih
kurang atau memperbaiki sesuatu yang dianggap salah dalam tulisan ini. Akhirnya
kami mengucapkan banyak terima kasih. Dan semoga makalah ini dapat berguna
dan bermanfaat bagi kita semua sebagai bahan pengetahuan untuk memperluas
wawasan kita.

Singaraja, 24 Oktober 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER
PRAKATA ...................................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ........................................................................................ 1
1.2. Rumusan Masalah ................................................................................... 2
1.3. Tujuan ..................................................................................................... 2
1.4. Manfaat ................................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Trauma Kepala ..................................................................... 4
2.2 Anatomi Kepala dan Otak ....................................................................... 5
2.3 Patofisiologi Cedera Kepala ................................................................... 11
2.4 Cedera Otak Primer dan Sekunder ......................................................... 21
2.5 Penilaian Penderita Dengan Cedera Kepala
(Penilaian Glasglow Coma Scale) .......................................................... 23
2.6 Masalah yang Mungkin Terjadi Dalam
Penatalaksanaan Penderita Cedera Kepala ............................................ 25
BAB III PENUTUP
3.1 Simpulan .................................................................................................. 33
3.2 Saran ....................................................................................................... 34
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama
pada kelompok produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas.
Diperkirakan 100.000 orang meninggal setiap tahunnya dan lebih dari 700.000
mengalami cedera cukup berat yang memerlukan peralatan di rumah sakit, dua
pertiga berusia dibawah 30 tahun dengan jumlah laki-laki lebih banyak
dibandingkan jumlah wanita, lebih dari setengah pasien cedera kepala
mempunyain signifikasi terhadap cedera bagian tubuh lainnya.
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama kematian pada
pengguna kendaraan bermotor karena tingginya tingkat mobilitas dan kurangnya
kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan raya. Disamping penerangan di
lokasi kejadian dan selama transportasi kerumah sakit, penilaian dan tindakan
awal di ruang awal darurat sangat menentukan penatalaksanaan dan prognosis
selanjutnya. Lebih dari 50% kematian disebabkan oleh cedera kepala dan
kecelakaan kendaraan bermotor. Setiap tahun, lebih dari 2 juta orang mengalami
cedera kepala, 75.000 diantaranya meninggal dunia dan lebih dari 100.000 orang
yang selamat akan mengalami disabilitas. Kasus trauma terbanyak disebabkan
oleh kecelakaan lalu lintas, disamping kecelakaan industri, kecelakaan olahraga,
jatuh dari ketinggian maupun akibat kekerasan. Trauma kepala didefnisikan
sebagai trauma non degenerate-non konginetal yang terjadi akibat ruda paksa
mekanis eksteral yang menyebabkan kepala mengalami gangguan kognitif, fisik
dan psikososial baik sementara atau permanen. Trauma kepala dapat
menyebabkan kematian/kelumpuhan pada usia dini.
Menurut penelitian nasional Amerika, di bagian kegawatdaruratan
menunjukkan bahwa penyebab primer cedera kepala karena trauma pada anak-
anak adalah karena jatuh, dan penyebab sekunder adalah terbentur oleh benda
keras. Penyebab cedera kepala pada remaja dan dewasa muda adalah kecelakaan
kendaraan bermotor dan terbentur, selain karena kekerasan. Insiden cedera kepala

1
karena trauma kemudian menurun pada usia dewasa kecelakaan kendaraan
bermotor dan kekerasan yang sebelumnya merupakan etiologi cedera utama,
digantikan oleh jatuh pada usia > 43 tahun.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan yang
akan dibahas dalam makalah ini yaitu:
1. Apa pengertian trauma kepala?
2. Bagaimana anatomi kepala dan otak?
3. Bagaimana patofisiologi cedera kepala?
4. Apa yang dimaksud dengan cedera otak primer dan sekunder?
5. Bagaimana penilaian penderita cedera kepala (penilaian Glasgow coma
scale)?
6. Bagaimana masalah yang mungkin terjadi dalam penatalaksanaan penderita
cedera kepala?

1.3 Tujuan Penulisan


Berdasarkaan rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan makalah ini
yaitu:
1. Untuk mengetahui tentang pengertian trauma kepala.
2. Untuk mengetahui tentang anatomi kepala dan otak.
3. Untuk mengetahui tentang patofisiologi cedera kepala.
4. Untuk mengetahui tentang cedera otak primer dan sekunder.
5. Untuk mengetahui tentang penderita cedera kepala (penilaian Glasgow coma
scale).
6. Untuk mengetahui tentang masalah yang mungkin terjadi dalam
penatalaksanaan penderita cedera kepala

2
1.4 Manfaat
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari makalah ini yaitu:
1. Manfaat untuk Penulis
Manfaatnya adalah untuk menambah ilmu pengetahuan dan wawasan serta
sebagai pembanding teori dalam memberikan informasi terkait trauma kepala.
2. Manfaat untuk Mahasiswa
Manfaatnya adalah memiliki sumber referensi atau sumber informasi yang
bisa menambah ilmu pengetahuan dan wawasan bagi mahasiswa.
3. Manfaat untuk Instansi
Manfaatnya adalah memberikan masukan pada sistem pendidikan, terutama
untuk materi perkuliahan dan memberikan gambaran serta informasi bagi
mahasiwa selanjutnya.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Truma Kepala


Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi
atau mengubah kesadaran dan dapat menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif
dan fungsi fisik (Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006).
Trauma atau cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak
yang diserta tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas otak. Cedera kepala merupakan cedera yang meliputi
trauma kulit kepala, tengkorak, dan otak. Cedera kepala (trauma capitis) adalah
cedera mekanik yang secara langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang
mengakibatkan luka di kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput
otak, dan kerusakan jaringan otak itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan
neurologi.
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama
pada kelompok usia produktif dan sebagian besart erjadi akibat kecelakaan lalu
lintas. Disamping penanganan dilokasi kejadian dan selama transportasi korban
kerumah sakit, penilaian dan tindakan awal di ruan gawat darurat sangat
menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya. Tindakan resusitasi,
anamnesis dan pemeriksaan fisis umum serta neurologis harus dilakukan secara
serentak. Pendekatan yang sistematis dapat mengurangi kemungkinan
terlewatinya evaluasi unsur vital. Tingkat keparahan cedara kepala menjadi ringan
segera di tentukan saat pasien tiba di rumah sakit.
Trauma atau cedera kepala juga di kenal sebagai cedera otak adalah gangguan
fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam.
Defisit neurologis terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia, dan pengaruh
massa karena hemoragik, serta edema serebral di sekitar jaringan otak. Jenis-jenis

4
cedera otak meliputi komosio, kontusio serebri, kontusio batang otak, hematoma
epidural, hematoma subdural, dan fraktur tengkorak.

2.2. Anatomi Kepala dan Otak


Anatomi kepala terdiri dari beberapa bagian-bagian, diantaranya:
1. Rangka Tulang Kepala
Rangka tulang kepala atau yang disebut Kranium atau tulang tengkorak
dibentuk oleh potongan tulang yang saling bertautan membentuk kerangka
kepala. Tulang-tulang yang membentuk kranium meliputi:
a. Neurokranium (kerangka otak) yang terdiri dari:
1) Kubah tengkorak (klavilaria). Klavilaria terdiri atas:
a) Os Frontal terdiri 1 buah. Tulang frontal melengkung kebawah
membenruk margo superior orbita. Pada bagian ini dapat dilihat
adanya arkus supersiliaris dan insisura foramen supra orbita yang
dibedakan menjadi 3 bagian yaitu:
 Squama frontalis (bagian atas): Fasies Eksterna menghadap
keluar dan Fasie Interna Frontalis menghadap kedalam.
 Pars Nasalis: Bagian tengah bawah os frontal yang
menghubungkan os nasal didepan dan os etmoidal
dibelakang, taju runcing syaitu spina frontalis di kanan dan
kiri spina terdapat lubang meatus sinus frontalis.
 Pars Ortalis: Bagian lateral os frontalis samping kiri dan
kanan dengan sutura lamboidea. Celah ini membentuk segi
tiga dengan alas segitiga pada sutura lamboidea.
b) Os Parietalis terdiri 2 buah dan dibentuk oleh tulang pipi segi
empat diatap cranium, diantaranya:
 Fasies Eksterna: Permukaan luar os parietalis yang
menonjol. Pada samping (lateral) terdapat dua garis
lengkung yang berjalan sejajar yaitu linea temporalis
superior dan linea temporalis imferior.

5
 Fasie Interna: Permukaan dalam menghadap ke otak,
terdapat sulkus.
c) Os Oksipitalis terdiri 1 buah yang merupakan tulang pipih
berbentuk trapezium, dibelakang kepala. Bagian yang
berlubang besar dibawahnya disebut foramen magnum yang
menghubungkan rongga otak atau kavum krani dan kanalis
vertebrlis dan dilalui pangkal medulla spinalis atau sumsum
tulang belakang, dan dibagi atas 3 bagian yaitu :
 Pars Basilaris yaitu Bagian depan foramen magnum
berbentuk tonjolan memanjang yang berhubungan dengan
os spenoidalis.
 Pars lateralis yaitu Bagian samping kiri dan kanan foramen
magnum. Fasie eksterna menghadap kebawah berhubungan
dengan tulang leher.
 Pars skuamosa ossis oksipitalis yaitu Tulang pipih
berbentuk trapezium.
d) Os Temporalis terdiri 2 buah yang terdapat disamping kepala
dan dapat dibedakan menjadi 4 macam yaitu:
 Pars skuamosa yaitu bagian lateral tengkorak membentuk
batok kepala.
 Pars petrosa yaitu Bagian belakang os temporalis yaitu pars
mastoid dan pars piramidalis.
 Pars mastoidea yaitu Terletak dibelakang lateral
neurokranium yaitu fasies eksterna dan fasie interna.
 Pars piramidalis yaitu Os temporalis yang menonjol kedalam
membentuk basis kranii dengan fosa kranii posterior.
2) Dasar Tengkorak atau Basis Kranii. Basis krani Terdiri dari :
a) Os Sfenoidalis: 1 buah yang Terdiri dari korpus ossis sfenoidalis
ditengah-tengah, dua pasang sayap yaitu kiri dan kanan , dimana
sebelah depan sayap kecil dan sebelah belakang sayap besar.

6
b) Os Etmoidalis: 1 buah. Yang terdiri dari :
 Lamina kibrosa
Membentuk dasar tubuh (kibrum sama dengan saringan)
dimana terdapat lubang halus tempat saraf pembau
(N.olfaktorius)
 Lamina Perpendikularis
Sebuah tulang tapis tegak lurus pada lamina kribosa menuju
kebawah yang membentuk sekat rongga hidung.
 Lamina Papirasea.
Membentuk dinding orbita (lekuk mata), bagian medial
labirintus etmoidalis membentuk beberapabagian yang
menonjol dalam rongga hidung.
b. Spanknokranium (tengkorak wajah) yang terdiri dari:
1) Bagian hidung. Terdiri dari:
a) Os lakrimalis 2 buah
b) Os nasalis 2 buah
c) Os konka nasalis 2 buah
d) Os Septum nasalis 2 buah
2) Bagian rahang. Terdiri dari:
a) Os maksilaris 2 buah
b) Os zigomatikum 2 buah
c) Os palatum 2 buah
d) Os mandibularis 1 buah
e) Os hyoid 1 buah
Sambungan antar tulang yang membentuk cranium merupakan pertautan yang
kuat. Batas-batas sambungan ini berupa garis yang berliku-liku yang disebut
sutura (tautan).
Sutura merupakan garis yang berkesinambungan dan saling berpotongan yang
terdiri dari :
a. Sutura koronalis terdapat di antara os parietalis dan os frontalis.
b. Sutura sagitalis terdapat di antara os parietalis kiri dan kanan.

7
c. Sutura squamosa terdapat di antara os parietalis, os temporalis, dan os
spenoidalis.
d. Sutura lamboidea terdapat di antara os parietalis dan os oksipitalis.
e. Sutura parietalmastoidea terdapat di antara os parietalis dan prosessus
mastoidea dan os temporalis.
f. Sutura sfenofrontalis terdapat di antara os frontalis dan os etmoidalis.
g. Sutura sfenotemporalis terdapat di antara os sfenoidalis dan os
temporalis.
h. Sutura sfenomaksilaris terdapat di antara os sfenoidalis dan os maksilaris.
i. Sutura zigomatikotempoalis terdapat di antara oszigomatikum dan os
temporalis
j. Sutura zigomatikotemporalis terdapat di antara os maksilaris dan os
zygomatikum
k. Sutura maksilarlakrimalis terdapat di antara os maksilaris dan os
lakrimalis
l. Sutura maksilopalat terdapat di antara os maksilaris dan os palatinam
m. Sutura palatin sagitalis terdapat di antara os maksilaris dan os
palatumdurum kiri dan kanan.
n. Sutura palatine transversa terdapat di antara os maksilaris dan os palatum
(palatum durum).
2. Otak
Jaringan otak dibungkus oleh selaput otak dan tulang tengkorak. Berat otak
orang dewasa kira-kira 1400 gram, setengah padat dan berwarna kelabu
kemerahan. Otak dibungkus oleh 3 selaput otak (meningen), diantaranya
yaitu:
a. Duramater
Selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan ikat tebal dan
kuat. Duramater ditempat tertentu mengandung rongga yang mengalirkan
darah dari vena otak. Rongga ini dinamakan sinus vena.

8
b. Araknoid
Selaput tipis yang membentuk sebuah balon yang berisi cairan otak yang
meliputi seluruh susunan saraf sentral.
c. Piamater
Merupakan selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan otak,
piamater berhubungan dengan araknoid melalui struktur jaringan ikat
yang disebut trabekhel
Kemudian otak terdiri dari empat bagian utama yang dikenal sebagai lobus.
Keempat lobus utama dari otak yaitu:
a. Lobus Frontalis
b. Terdapat di depan otak tepat di belakang dahi dan terutama bertanggung
jawab untuk penalaran, pengambilan keputusan dan beberapa aspek
memori jangka panjang. Lobus ini adalah yang paling sensitif terhadap
dopamine. Kerusakan wilayah ini dapat menyebabkan berbagai masalah,
seperti pola bicara berubah, proses piker lambat, hilangnya penciuman
dan perasa.
c. Lobus Parietalis
d. Terletak dibelakang lobus frontal, di bawah bagian atas belakang kepala.
Hal ini sebagian besar terlibat dengan pengolahan informasi sensorik dari
seluruh tubuh, dan juga terlibat dalam arti spasial. Kerusakan pada lobus
ini dpat menyebabkan berbagai gejala, termasuk kehilangan kemampuan
untuk membaca bagian yang panjang, kurang pemahaman dan kesulitan
memahami hubungan spasial.
e. Lobus Temporal
Terletak dibawah lobus parietalis, yang sangat terkait dengan persepsi
pendengaran dan memori. Kerusakan pada lobus ini maka dapat
menyebabkan masalah dalam pengolahan pidato atau masalah memori,
seperti amnesia anterograde.
f. Lobus Oksipital
Lobus ini adalah lobus paling belakang lobus otak. Lobus ini
bertanggung jawab untuk penglihatan dan untuk pemrosesan visual.

9
Lobus ini adalah lobus otak yang terkecil. Kerusakan pada lobus ini
dapat menyebabkan kehilangan penglihatan sebagian atau lengkap.
3. Batang Otak
Batang otak (brainstem) berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala
bagian dasar dan memanjang sampai ke tulang punggung atau sumsum tulang
belakang. Bagian otak ini mengatur fungsi dasar manusia termasuk
pernafasan, denyut jantung, mengatur suhu tubuh, mengatur proses
pencernaan, dan merupakan sumber insting dasar manusia saat datangnya
bahaya. Batang otak terdiri dari 3 bagian yaitu:
a. Mesencephalon (Otak Tengah)
Merupakan bagian terbesar dari batang otak yang menghubungkan otak
besar dan otak kecil yang berfungsi dalam hal mengontrol respon
penglihatan, gerakan mata, pembesaran pupil mata, mengatur gerakan
tubuh dan pendengaran.
b. Medula Oblongata
Terletak antara pons dan sumsum tulang belakang. Fungsinya yaitu
mengatur dan memelihara semua fungsi tubuh vital, termasuk
pernafasan, pencernaan, dan tekanan darah dan memicu beberapa reflex
yang berbeda, termasuk yang menyebabkan muntah, batuk dan bersin.
Medula oblongata juga bertindak sebagai pembawa pesan, meneruskan
pesan dariotak ke sumsum tulang belakang.
c. Pons
Berfungsi membantu mengatur kontrol motorik dan analisis sensorik,
karena semua informasi yang masuk melalui indera melewati pons dalam
berjalan ke bagian otak. Fungsi lainnya juga adalah untuk membantu
menentukan tingkat tidur dan kesadaran seseorang. Kerusakan pada pons
sering mengakibatkan kurangnya koordinasi dan kesulitan memproses
data indrawi yang baru.
4. Vaskularisasi Otak
Vaskularisasi atau Pengaliran darah ke otak dilakukan oleh dua pembuluh
arteri utama yaitu sepasang arteri karotis interna yang mengaliri sekitar 70%

10
dari seluruhan jumlah darah otak dan sepasang arteri vertebralis yang
memberikan 30% sisanya. Otak menerima darah yang dipompakan dari
jantung melalui arkus aorta yang mempunyai tiga cabang, yaitu arteri
brakhiosefalik (arteri innominata), arteri karotiskomunis kiri dan arteri
subklavia kiri.
Pada manusia otak mengandung kira-kira 7 ml total oksigen yang dengan
kecepatan pemakaian normal akan habis kira-kira 10 detik. Oleh karena itu
tidak mengherankan kalau masa hidup jaringan susunan saraf pusat yang
mengalami kekurangan oksigen cukup singkat. Peredaran darah otak
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:
a. Tekanan darah dikepala (perbedaan tekanan arterial dan venosa pada
daerah setinggi otak), tekanan darah arteri kira-kira 70 mmHg.
b. Resistensi cerebrovascular yaitu resistensi aliran darah arteri melewati
otak dipengaruhi oleh:
1) Tekanan liquor cerebrospinalis.
2) Viskositas darah
3) Keadaan pembuluh darah cerebral terutama arteriol.

2.3. Patofisiologi Cedera Kepala


Mekanisme cedera kepala merupakan hal yang bersifat kompleks, bervariasi,
dan sepenuhnya dipahami. Cedera kepala didasarkan pada proses patofisiologi
dibagi menjadi dua yang didasarkan pada asumsi bahwa kerusakan otak pada
awalnya disebabkan oleh kekuatan fisik yang lalu diikuti proses patologis yang
terjadi segera dan sebagian besar bersifat permanen. Dari tahapan tersebut,
dikelompokkan cedera kepala menjadi dua (Youmans, 2011), yaitu:
1. Cedera Otak Primer
Cedera otak primer adalah akibat cedera langsung dari kekuatan mekanik
yang merusak jaringan otak saat trauma terjadi (hancur, robek, memar, dan
perdarahan). Cedera ini dapat berasal dari berbagai bentuk kekuatan/tekanan
seperti akselerasi rotasi, kompresi, dan distensi akibat dari akselerasi atau
deselerasi. Tekanan itu mengenai tulang tengkorak, yang dapat memberi efek

11
pada neuron, glia, dan pembuluh darah, dan dapat mengakibatkan kerusakan
lokal, multifokal ataupun difus (Valadka, 1996).
Cedera otak dapat mengenai parenkim otak dan atau pembuluh darah. Cedera
parenkim berupa kontusio, laserasi atau Diffuse Axonal Injury (DAI),
sedangkan cedera pembuluh darah berupa perdarahan epidural, subdural,
subarachnoid dan intraserebral (Graham, 1995), yang dapat dilihat pada CT
scan. Cedera difus meliputi kontusio serebri, perdarahan subarachnoid
traumatik dan DAI. Sebagai tambahan sering terdapat perfusi iskemik baik
fokal maupun global (Valadka, 1996).
Kerusakan iskhemik otak dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti
hipotensi, hipoksia, tekanan intrakranial /Intracranial Pressure (ICP) yang
meninggi, edema, kompresi jaringan fokal, kerusakan mikrovaskular pada
fase lanjut (late phase), terjadi vasospasme (Vazquez-Barquero, 1992;
Ingebrigtsen, 1998). Keadaan setelah cedera kepala dapat dibagi menjadi:
a. Fase awal (fase1, segera, dengan hipoperfusi).
b. Fase intermediate (fase2, hari1-3, tampak hiperemia).
c. Fase lanjut vasospastik (fase3, hari ke-4-15), dengan reduksi aliran darah
(Ingebrigtsen, et al. 1998).
Perbedaan fase ini berhubungan jelas dengan variasi regional Cerebral Blood
Flow (CBF), dan reduksi aliran darah ke sekitar inti iskhemik (ischemic
core) yang tidak memberi respon terhadap bertambahnya Cerebral Perfusion
Pressure (CPP) (Andersson, 2003).
Secara anatomis cedera kepala primer dapat dikelompokkan menjadi cedera
fokal dan difus (Teasdale, 1995).
Focal Injuries Diffuse Injuries
Contusion Concusion
Fracture Diffuse axonal injury
Coup Moderate
Countercoup Severe
Herniation
Intermediate
Gliding
Hematoma
Epidural

12
Subdural
Intracerebral

a. Cedera Otak Fokal


Cedera otak fokal secara tipikal menimbulkan kontusio serebri dan
traumatik Intrakranial hematoma (Winn, 2017). Cedera otak fokal terbagi
menjadi:
1) Kontusio Serebri (Memar Otak)
Kontusio serebri merupakan cedera fokal berupa perdarahan dan
bengkak pada subpial, merupakan cedera yang paling sering terjadi.
Dilaporkan bahwa 89% mayat yang diperiksa postmortem mengalami
kontusio serebri (Cooper, 1982). Depreitere et al melaporkan bahwa
kasus kontusio serebri paling sering disebabkan oleh kecelakaan lalu
lintas, jatuh dari ketinggian dan cedera olahraga (Depreitere, 2004).
Kontusio serebri adalah memar pada jaringan otak yang disebabkan
oleh trauma tumpul maupun cedera akibat akselerasi dan deselerasi
yang dapat menyebabkan kerusakan parenkim otak dan perdarahan
mikro di sekitar kapiler pembuluh darah otak. Pada kontusio serebri
terjadi perdarahan di dalam jaringan otak tanpa adanya robekan
jaringan yang kasat mata, meskipun neuron-neuron mengalami
kerusakan atau terputus. Pada beberapa kasus kontusio serebri dapat
berkembang menjadi perdarahan serebral. Namun pada cedera berat,
kontusio serebri sering disertai dengan perdarahan subdural,
perdaraham epidural, perdarahan serebral ataupun perdarahan
subaraknoid (Hardman, 2002).
Freytag dan Lindenberg (1968) mengemukakan bahwa pada daerah
kontusio serebri terdapat dua komponen, yaitu daerah inti yang
mengalami nekrosis dan daerah perifer yang mengalami
pembengkakan seluler yang diakibatkan oleh edema sitotoksik.
Pembengkakan seluler ini sering dikenal sebagai perikontusional zone
yang dapat menyebabkan keadaan lebih iskemik sehingga terjadi
kematian sel yang lebih luas. Hal ini disebabkan oleh kerusakan

13
autoregulasi pembuluh darah di pericontusional zone sehingga perfusi
jaringan akan berkurang akibat dari penurunan Mean Arterial
Pressure (MAP) atau peningkatan tekanan intrakranial. Proses
pembengkakan ini berlangsung antara 2 hingga 7 hari. Penderita yang
mengalami kontusio ini memiliki risiko terjadi kecacatan dan kejang
di kemudian hari (Davis, 2006).
Penyebab penting terjadinya lesi kontusio adalah akselerasi kepala
yang juga menimbulkan pergeseran otak dengan tulang tengkorak
serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Akselerasi yang
kuat akan menyebabkan hiperekstensi kepala. Oleh karena itu, otak
membentang batang otak terlalu kuat, sehingga menimbulkan blokade
reversibel terhadap lintasan asendens retikularis difus. Akibat
hambatan itu, otak tidak mendapat input aferen sehingga kesadaran
hilang selama blokade reversibel berlangsung (Liau et al, 2011).
Kontusio serebri dapat dibagi berdasarkan mekanisme, lokasi anatomi,
atau cedera yang berdekatan. Misalnya, fraktur kontusio akibat dari
cedera kontak langsung dan terjadi segera disebelahnya dengan fraktur
tulang tengkorak. Coup merujuk kepada trauma yang terjadi di lokasi
dampak dengan tidak adanya patah tulang, sedangkan contrecoup
adalah sisi yang berlawanan dengan titik dampak. Gliding adalah
perdarahan fokal melibatkan korteks dan white matter yang
berdekatan dari margin superior dari hemisfer serebri; terjadi karena
mekanisme rotasi daripada tenaga kontak. Intermediary adalah lesi
yang mempengaruhi struktur otak dalam, seperti korpus calosum,
ganglia basal, hipotalamus, dan batang otak. Herniasi dapat terjadi di
daerah medial lobus temporal pada tepi tentorial (yaitu, uncal herniasi)
atau di mana tonsil serebelum menghubungi foramen magnum (yaitu,
tonsillar herniasi).
2) Traumatik Intrakranial Hematom
Intrakranial hematom tampak sebagai suatu massa yang merupakan
target terapi yang potensial dari intervensi bedah (sebagai lawan

14
paling memar). Lebih sering terjadi pada pasien dengan tengkorak
fraktur. Tiga jenis utama dari hematoma intrakranial dibedakan oleh
lokasi relatif terhadap meninges: epidural, subdural, dan intracerebral.
a) Epidural Hematoma (EDH)
EDH adalah adanya darah di ruang epidural yaitu ruang potensial
antara tabula interna tulang tengkorak dan duramater. EDH dapat
menimbulkan penurunan kesadaran, adanya lusid interval selama
beberapa jam dan kemudian terjadi defisit neurologis berupa
hemiparesis kontralateral dan dilatasi pupil ipsilateral. Gejala lain
yang ditimbulkan antara lain sakit kepala, muntah, kejang dan
hemiparesis.
b) Subdural Hematoma (SDH)
Perdarahan subdural adalah perdarahan antara duramater dan
arachnoid, yang biasanya meliputi perdarahan vena. Terbagi atas
3 bagian yaitu:
 Perdarahan Subdural Akut
SDH akut adalah terkumpulnya darah di ruang subdural yang
terjadi akut (0-2 hari). Perdarahan ini terjadi akibat robeknya
vena-vena kecil dipermukaan korteks cerebri. Gejala klinis
berupa sakit kepala, perasaan mengantuk, dan kebingungan,
respon yang lambat, serta gelisah. Keadaan kritis terlihat
dengan adanya perlambatan reaksi ipsilateral pupil. Perdarahan
subdural akut sering dihubungkan dengan cedera otak besar
dan cedera batang otak.
 Perdarahan Subdural Subakut
Perdarahan subdural subakut, biasanya terjadi 2-14 hari setelah
cedera dan dihubungkan dengan kontusio serebri yang agak
berat. Tekanan serebral yang terus-menerus menyebabkan
penurunan tingkat kesadaran.
 Perdarahan Subdural Kronis

15
Terjadi karena luka ringan. Mulanya perdarahan kecil
memasuki ruang subdural. Beberapa minggu kemudian
menumpuk di sekitar membran vaskuler dan secara pelan-
pelan ia meluas, bisanya terjadi lebih dari 14 hari. Gejala
mungkin tidak terjadi dalam beberapa minggu atau beberapa
bulan. Pada proses yang lama akan terjadi penurunan reaksi
pupil dan motorik.
c) Intracerebral Hematoma (ICH)
Intracerebral Hematoma adalah area perdarahan yang homogen
dan konfluen yang terdapat di dalam parenkim otak. ICH bukan
disebabkan oleh benturan antara parenkim otak dengan tulang
tengkorak, tetapi disebabkan oleh gaya akselerasi dan deselerasi
akibat trauma yang menyebabkan pecahnya pembuluh darah yang
terletak lebih dalam, yaitu di parenkim otak atau pembuluh darah
kortikal dan subkortikal.
d) Subarahnoid Hematoma (SAH) Traumatik
Perdarahan subarahnoid diakibatkan oleh pecahnya pembuluh
darah kortikal baik arteri maupun vena dalam jumlah tertentu
akibat trauma dapat memasuki ruang subarahnoid.
b. Cedera Otak Difus
Cedera otak difus merupakan efek yang paling sering dari cedera kepala
dan merupakan kelanjutan klinis cedera kepala, mulai dari gegar otak
ringan sampai koma menetap pasca cedera (Sadewa, 2011). Terjadinya
cedera kepala difus disebabkan karena gaya akselerasi dan deselerasi gaya
rotasi dan translasi yang menyebabkan bergesernya parenkim otak dari
permukaan terhadap parenkim yang sebelah dalam. Vasospasme luas
pembuluh darah dikarenakan adanya perdarahan subarahnoid traumatika
yang menyebabkan terhentinya sirkulasi di parenkim otak dengan
manifestasi iskemia yang luas, edema otak disebabkan karena hipoksia
akibat renjatan sistemik, bermanifestasi sebagai cedera kepala difus. Dari

16
gambaran morfologi pencitraan atau radiologi, cedera kepala difus
dikelompokkan menjadi:
1) Benturan
Benturan adalah bentuk paling ringan dari cedera difus dan dianggap
karena gaya rotasional akselerasi kepala dengan tidak adanya kontak
mekanik yang signifikan. Dalam bentuk klasik, penderita benturan
mengalami kehilangan kesadaran sementara dan cepat kembali ke
keadaan normal kewaspadaan. Meskipun, gegar otak ini tidak
berbahaya seperti yang diduga sebelumnya, tetapi benturan berulang
sering mengakibatkan gangguan neurologis permanen. Patofisiologi
benturan kurang dipahami dan mungkin karena gangguan kesadaran
dari lesi batang otak dan diencephalon. Penelitian menunjukkan
bahwa pasien dengan benturan otak sering memiliki keterlibatan
cedera otak difus, dan lesi batang otak jauh lebih jarang. Cedera otak
difus menggambarkan keadaan odema sitotoksik meskipun gambaran
CT scan normal dan GCS 15.
2) Cedera Akson Difus (Difuse Axonal Injury)
Difus Axonal Injury (DAI) adalah keadaan dimana serabut subkortikal
yang menghubungkan inti permukaan otak dengan inti profunda otak
(serabut proyeksi), maupun serabut yang menghubungkan inti-inti
dalam satu hemisfer (asosiasi) dan serabut yang menghubungkan inti-
inti permukaan kedua hemisfer (komisura) mengalami kerusakan.
DAI merupakan istilah yang kurang tepat, sebab ini bukan merupakan
cedera difus pada seluruh daerah otak. Cedera yang terjadi lebih
dominan pada area otak tertentu yang mengalami percepatan yang
tinggi dan cedera deselerasi dengan durasi yang panjang. DAI
merupakan ciri yang konsisten pada cedera kepala akibat kecelakaan
lalu lintas dan beberapa olahraga tertentu. Gambaran patologi secara
histologi dari DAI pada manusia adalah terdapat kerusakan yang luas
pada akson dari batang otak, parasagittal white matter dari korteks

17
serebri, korpus callosum dan gray-white matter junction dari korteks
serebri (Smith et al, 1999).
Pada DAI ringan dan sedang umumnya tidak terdapat kelainan pada
pemeriksaan radiologi baik CT-scan dan MRI. Namun pada
pemeriksaan mikroskopis akan dijumpai akson-akson yang
membengkak dan putus. Mekanisme utama terjadinya DAI adalah
akibat dari pergerakkan rotasional dari otak saat akselerasi dan
deselerasi. Hal ini diakibatkan oleh perbedaan densitas dari jaringan
otak yaitu jaringan white matter lebih berat dibandingkan grey matter.
Pada saat otak mengalami rotasi akibat kejadian akselerasi-deselerasi,
jaringan dengan densitas lebih rendah bergerak lebih cepat
dibandingkan dengan jaringan dengan densitas lebih besar. Perbedaan
kecepatan inilah yang menyebabkan robekan pada akson neuron yang
menghubungkan grey matter dan white matter (Smith et al, 1999).
Terdapat dua fase dari cedera aksonal pada DAI yaitu fase pada cedera
primer dan cedera sekunder atau fase lambat. Pada cedera primer
robekkan akson terjadi akibat regangan saat kejadiaan. Sedangkan
pada fase lambat terjadi perubahan biokimia yang mengakibatkan
pembengkakan dan putusnya akson-akson. Perubahan biokimia yang
terjadi yaitu peningkatan influks natrium yang juga memicu influks
kalsium. Peningkatan kadar kalsium ini akan menyebabkan aktifnya
calsium-mediated proteolysis. Kerusakan akson menyebabkan
kerusakan dari pengangkutan sehingga terjadi penunmpukan di dalam
akson yang membengkak. Kerusakan akson yang luas akan
menyebabkan atrofi otak dengan ventrikulomegali yang dapat
menyebabkan kejang, spastisitas, penurunan fungsi intelektual dan
yang paling berat adalah vegetative state (Blumbergs, 2011).

2. Cedera Otak Sekunder


Cedera otak sekunder merupakan lanjutan dari cedera otak primer yang dapat
terjadi karena adanya reaksi inflamasi, biokimia, pengaruh neurotransmitter,

18
gangguan autoregulasi, neuro-apoptosis dan inokulasi bakteri. Melalui
mekanisme Eksitotoksisitas, kadar Ca++ intrasellular meningkat, terjadi
generasi radikal bebas dan peroxidasi lipid. Perburukan mekanis awal sebagai
akibat cedera kepala berefek pada perubahan jaringan yang mencederai
neuron, glia, axon dan pembuluh darah. Cedera ini akan di ikuti oleh fase
lanjut, yang di mediasi jalur biologis intraselular dan ekstraseluler yang dapat
muncul dalam menit, jam, maupun hari, bahkan minggu setelah cedera kepala
primer (Cloots dkk, 2008). Selama fase ini, banyak pasien mengalami cedera
kepala sekunder yang dipengaruhi hipoksia, hipotensi, odema serebri, dan
akibat peningkatan Tekanan Intrakranial (TIK). Faktor sekunder inilah yang
akan memperberat cedera kepala primer dan berpengaruh pada outcome
pasien (Czosnyka dkk, 1996).
Cedera otak sekunder (COS) yaitu cedera otak yang terjadi akibat proses
metabolisme dan homeostatis ion sel otak, hemodinamika intrakranial dan
kompartement CSS yang dimulai segera setelah trauma tetapi tidak tampak
secara klinis segera setelah trauma. Cedera otak sekunder ini disebabkan oleh
banyak faktor antara lain kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran darah
otak (ADO), gangguan metabolisme dan homeostatis ion sel otak, gangguan
hormonal, pengeluaran neurotransmitter dan reactive oxygen species (ROS),
infeksi dan asidosis. Kelainan utama ini meliputi perdarahan intrakranial,
edema otak, peningkatan tekanan intrakranial dan kerusakan otak. Cedera
kepala menyebabkan sebagian sel yang terkena benturan mati atau rusak
irreversible, proses ini disebut proses primer dan sel otak disekelilingnya
akan mengalami gangguan fungsional tetapi belum mati dan bila keadaan
menguntungkan sel akan sembuh dalam beberapa menit, jam atau hari. Proses
selanjutnya disebut proses patologi sekunder. Proses biokimiawi dan struktur
massa yang rusak akan menyebabkan kerusakan seluler yang luas pada sel
yang cedera maupun sel yang tidak cedera. Secara garis besar cedera kepala
sekunder pasca trauma diakibatkan oleh beberapa proses dan faktor dibawah
ini:
a. Lesi massa, pergeseran garis tengah dan herniasi yang terdiri atas:

19
1) Perdarahan intrakranial (hematom epidural/ subdural/ intraserebral).
2) Edema serebral.
b. Iskemik cerebri yang diakibatkan oleh:
1) Penurunan tekanan perfusi serebral.
2) Hipotensi arterial, hipertensi intrakranial.
3) Hiperpireksia dan infeksi.
4) Hipokalsemia/ anemia dan hipotensi.
5) Vasospasme serebri dan kejang.
Proses inflamasi terjadi segera setelah trauma yang ditandai dengan aktivasi
substansi mediator yang menyebabkan dilatasi pembuluh darah, penurunan
aliran darah, dan permeabilitas kapiler yang meningkat. Hal ini menyebabkan
akumulasi cairan (edema) dan leukosit pada daerah trauma. Sel terbanyak
yang berperan dalam respon inflamasi adalah sel fagosit, terutama sel leukosit
Polymorphonuclear (PMN), yang terakumulasi dalam 30 - 60 menit yang
memfagosit jaringan mati. Bila penyebab respon inflamasi berlangsung
melebihi waktu ini, antara waktu 5-6 jam akan terjadi infiltrasi sel leukosit
mononuklear, makrofag, dan limfosit. Makrofag ini membantu aktivitas sel
PMN dalam proses fagositosis (Riahi, 2006).
Inflamasi, yang merupakan respon dasar terhadap trauma sangat berperan
dalam terjadinya cedera sekunder. Pada tahap awal proses inflamasi, akan
terjadi perlekatan netrofil pada endotelium dengan beberapa molekul perekat
Intra Cellular Adhesion Molecules-1 (ICAM-1). Proses perlekatan ini
mempunyai kecenderungan merusak/merugikan karena mengurangi aliran
dalam mikrosirkulasi. Selain itu, neutrofil juga melepaskan senyawa toksik
(radikal bebas), atau mediator lainnya (prostaglandin, leukotrin) di mana
senyawa-senyawa ini akan memacu terjadinya cedera lebih lanjut. Makrofag
juga mempunyai peranan penting sebagai sel radang predominan pada cedera
otak (Hergenroeder, 2008). Sebaliknya faktor ekstrakranial (sistemik) yang
dikenal dengan istilah nine deadly H’s adalah hipoksemia (hipoksia, anemia),
hipotensi (hipovolemia, gangguan jantung, pneumotorak), hiperkapnia
(depresi nafas), hipokapnea (hiperventilasi), hipertermi

20
(hipermetabolisme/respon stres), hiperglikemia, hipoglikemia, hiponatremia,
hipoproteinemia,dan hemostasis (Cohadon, 1995). Beratnya cedera primer
karena lokasinya memberi efek terhadap beratnya mekanisme cedera
sekunder (Li, 2004). Berikut diagram patofisiologi cedera otak sekunder
(COS), yaitu:

2.4. Cedera Otak Primer dan Sekunder


2.4.1. Cedera Otak Primer
Cedera otak primer adalah akibat cedera langsung dari kekuatan mekanik
yang merusak jaringan otak saat trauma terjadi (hancur, robek, memar, dan
perdarahan). Cedera ini dapat berasal dari berbagai bentuk kekuatan/tekanan
seperti akselerasi rotasi, kompresi, dan distensi akibat dari akselerasi atau
deselerasi. Tekanan itu mengenai tulang tengkorak, yang dapat memberi efek
pada neuron, glia, dan pembuluh darah, dan dapat mengakibatkan kerusakan
lokal, multifokal ataupun difus (Valadka, 1996).

21
Cedera otak dapat mengenai parenkim otak dan/atau pembuluh darah.
Cedera parenkim berupa kontusio, laserasi atau diffuse axonal injury (DAI),
sedangkan cedera pembuluh darah berupa perdarahan epidural, subdural,
subarachnoid dan intraserebral (Graham, 1995), yang dapat dilihat Pada CT-scan.
Cedera difus meliputi kontusio serebri, perdarahan subarachnoid traumatik dan
DAI. Sebagai tambahan sering terdapat perfusi iskhemik baik fokal maupun
global (Valadka, 1996).
Kerusakan iskhemik otak dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti
hipotensi, hipoksia, tekanan intrakranial /Intracranial Pressure (ICP) yang
meninggi, edema, kompresi jaringan fokal, kerusakan mikrovaskularpada fase
lanjut (late phase), dimana terjadi vasospasme (Vazquez-Barquero,1992;
Ingebrigtsen, 1998). Keadaan setelah cedera kepala dapat dibagi menjadi:
a. Fase awal (fase 1, segera, dengan hipoperfusi).
b. Fase intermediate (fase 2, hari 1-3, tampak hyperemia).
c. Fase lanjut vasospastic (fase 3, hari ke-4-15), dengan reduksi aliran darah
(Ingebrigtsen, et al. 1998).
Perbedaan fase ini berhubungan jelas dengan variasi regional Cerebral Blood
Flow (CBF), dan reduksi aliran darah ke sekitar inti iskhemik (ischemic core)
yang tidak memberi respon terhadap bertambahnya Cerebral Perfusion Pressure
(CPP) (Andersson, 2003).

2.4.2. Cedera Sekunder


Cedera otak sekunder merupakan lanjutan dari cedera otak primer yang
dapat terjadi karena adanya reaksi inflamasi, biokimia, pengaruh neurotransmitter,
gangguan autoregulasi, dan neuro-apoptosis. Melalui mekanisme Eksitotoksisitas,
kadar Ca++ intra seluler meningkat, terjadi generasi radikal bebas dan peroxidasi
lipid.
Faktor intrakranial (lokal) yang memengaruhi cedera otak sekunder adalah
adanya hematoma intrakranial, iskemia otak akibat penurunan tekanan perfusi
otak, herniasi, penurunan tekanan arterial otak, Tekanan Tinggi Intrakranial
(TTIK), demam, vasospasm, infeksi, dan kejang (Cohadon, 1995).

22
Sebaliknya faktor ekstrakranial (sistemik) yang dikenal dengan istilah nine
deadly H’s adalah hipoksemia (hipoksia, anemia), hipotensi (hipovolemia,
gangguan jantung, pneumotorak), hiperkapnia (depresi nafas), hipokapnea
(hiperventilasi), hipertermi (hipermetabolisme/respon stres), hiperglikemia,
hipoglikemia, hiponatremia, hipoproteinemia, dan hemostasis (Cohadon,
1995).Beratnya cedera primer karena lokasinya memberi efek terhadap beratnya
mekanisme cedera sekunder (Li, 2004).

2.5. Penilaian Penderita Dengan Cedera Kepala (Penilaian Glasglow Coma


Scale)
Langkah awal seorang petugas kesehatan yang melakukan penilaian atau
memberikan diagnosis pada penderita dengan trauma atau cedera kepala yaitu
dengan memastikan bahwa pasien dalam kondisi stabil, yang dilihat dari
pernapasan, denyut jantung, dan tekanan darah. Kemudian, menanyakan beberapa
hal terkait gejala, kondisi, serta penyebab cedera kepala kepada pasien jika pasien
sadar, atau kepada orang yang mengantarkan pasien ke rumah sakit jika pasien
tidak sadar.
Diklasifikasikan secara klinis sesuai dengan tingkat kesadaran dan distribusi
anatomi luka. Kondisi klinis dan tingkat kesadaran setelah cedera kepala dinilai
menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS), merupakan skala universal untuk
mengelompokkan cedera kepala dan faktor patologis yang menyebabkan
penurunan kesadaran.
Glasgow Coma Scale (GCS) dikembangkan oleh Teasdale and Jennett pada
1974 dan saat ini digunakan secara umum dalam deskripsi beratnya penderita
cedera otak (Teasdale, 1974). Teknik penilaian GCS ini terdiri dari tiga penilaian
terhadap respon pasien ketika diberikan stimulus (respon buka mata, respon
motorik terbaik, dan respon verbal). Penderita yang mampu membuka kedua
matanya secara spontan, mematuhi perintah, dan berorientasi mempunyai nilai
GCS total sebesar 15, sementara pada penderita yang keseluruhan otot
ekstrimitasnya flaksid dan tidak membuka mata ataupun tidak bersuara maka nilai
GCS-nya minimal atau sama dengan 3. Nilai GCS sama atau kurang dari 8

23
didefinisikan sebagai koma atau cedera otak berat. Menurut Teasdale (1974)
penilaian Glasgow Coma Scale terdiri dari:
Test Skor
Eye Opening (E)
Spontaneous 4
Open to voice 3
Open to pain 2
None 1
Best Motor Response (M)
Follow commands 6
Localizing to painful stimuli 5
Flexion-withdraw to painful stimuli 4
Flexor / Decorticate posturing to 3
painful stimuli
Extensor / Decerebrate posturing to 2
painful stimuli
None 1
Best Verbal Response
Oriented conversation 5
Confused / disoriented conversation 4
Inappropriate words 3
Incomprehensible sound 2
None 1

Setiap nilai dalam kategori pemeriksaan dijumlahkan hingga menghasilkan


total nilai. Berdasarkan total nilai GCS, maka penderita cedera otak dengan nilai
GCS 3-8 dikategorikan sevagai cedera otak berat, GCS 9- 13 dikategorikan
sebagai cedera otak sedang, dan penderita dengan nilai GCS 14-15 dikategorikan
sebagai cedera otak ringan. Menurut Brain Injury Association of Michigan (2005),
klasifikasi keparahan dari cedera kepala yaitu:
Cedera Kepala Ringan
Kehilangan kesadaran < 20 menit
Amnesia post traumatic < 24 jam
GCS 13 -15
Cedera Kepala Sedang
Kehilangan kesadaran > 20 menit dan < 36 jam
Amnesia post traumatic > 24 jam dan < 7 hari
GCS 9-12
Cedera Kepala Berat
Kehilangan kesadaran > 36 jam
Amnesia post traumatic > 7 hari

24
GCS 3-8

2.6. Masalah yang Mungkin Terjadi Dalam Penatalaksanaan Penderita


Cedera Kepala
Penatalaksanaan atau penanganan pada penderita trauma atau cedera kepala
memerlukan penanganan awal yairu melalui survei primer dan survei sekunder.
Setiap memberikan tindakan selalui sesuai dengan prinsinya dan penilaian yang
dilakukan harus benar akurat. Namun, ketika melakukan penanganan pada
penderita cedera kepala baik secara medis maupun non medis, terkadang terdapat
masalah yang mungkin terjadi saat memberikan tindakan. Masalah tersebut
dipengaruhi oleh beberapa faktor-faktor yang berhubungan dengan penurunan
angka survival meliputi nilai GCS rendah, usia lanjut, dijumpainya hematom
intrakranial dan keadaan sistemik lain yang memperberat keadaan cedera kepala.
Penelitian lain menunjukkan, 30-60 % pasien cedera kepala dengan
Intracranial Pressure (ICP) tidak terkontrol meninggal dan berbeda dengan
penelitian besar lainnya dijumpai hasil outcome yang lebih baik dengan cacat
sedang (Moulton, 2005). Meski masih dijumpai keraguan terhadap faktor-faktor
tersebut berdasarkan penilaian klinis terhadap prognosis pada cedera kepala,
hubungan salah satu faktor terhadap faktor lain dalam peranannya terhadap
prognosis pasien cedera kepala juga masih diperdebatkan. Hal ini yang masih
menjadi acuan bahwa faktor-faktor prognosis tidak bisa digunakan sebagai satu-
satunya variabel dalam keberhasilan menentukan keputusan pengobatan. Namun,
tidak bisa tidak, faktor-faktor tersebut sedikit banyak berpengaruh terhadap
pengambilan keputusan penanganan pasien (Bahloul, 2010; Kan, 2009). Faktor-
faktor risiko klinis cedera kepala, yaitu:
1. Faktor Usia
Pada usia diatas 60 tahun yang mengalami cedera kepala memiliki risiko
terjadinya kelainan pada otak lebih besar dibandingkan usia muda (Munro,
2002). Terdapat hubungan yang bermakna antara usia tua dan lesi otak, dan
kemungkinan bertahan hidup pada pasien dengan hematoma intrakranial
menurun sesuai dengan peningkatan usia (Amacher, 1987). Hal ini karena

25
pada usia tua berisiko terjadi lesi fokal karena atrofi otak dan mudah
robeknya bridging vein pada usia tua (Narayan, 2000).
2. Hipotensi
Hipotensi, yang bisa muncul kapan saja akibat trauma, telah dijadikan
prediktor utama terhadap outcome pada pasien cedera kepala. Hipotensi
merupakan faktor yang sering ditemukan diantara kelima faktor terkuat yang
mempengaruhi outcome pasien cedera kepala. Riwayat penderita dengan
kondisi hipotensi berhubungan dengan peningkatan angka morbiditas dan
mortalitas pasien cedera kepala (Chessnut, 2000; Demetriades, 2004).
Terdapatnya cedera sistemik ganda terutama yang berhubungan dengan
hipoksia sistemik dan hipotensi (tekanan sistolik < 90 mmHg), memperburuk
prognosis penyembuhan (Bowers, 1980).
Miller (1978) menemukan 13% penderita dengan hipotensi dan 30% dengan
hipoksia pada saat tiba di unit gawat darurat. Diantara penderita cedera
kepala, hipotensi biasanya disebabkan kehilangan darah karena cedera
sistemik; sebagian kecil mungkin karena cedera langsung pada pusat refleks
kardiovaskular di medula oblongata. Newfield (1980) mendapatkan angka
mortalitas 83% pada penderita-penderita dengan hipotensi sistemik pada 24
jam setelah dirawat, dibandingkan dengan angka mortalitas 45% dari
penderita-penderita tanpa hipotensi sistemik (Moulton, 2005).
Penambahan morbiditas dari hipotesi sistemik bisa sebagai akibat cedera
iskemik sekunder dari menurunnya perfusi serebral. Hipotensi yang
ditemukan mulai dari awal cedera sampai selama perawatan penderita
merupakan faktor utama yang menentukan outcome penderita cedera kepala,
dan merupakan satu-satunya faktor penentu yang dapat dikoreksi dengan
medikamentosa. Adanya satu episode hipotensi dapat menggandakan angka
mortalitas dan meningkatkan morbiditas, oleh karenanya koreksi terhadap
hipotensi terbukti akan menurunkan morbiditas dan mortalitas (Rovlias,
2004; Sastrodiningrat, 2006). Pietropaoli dkk dalam penelitian
retrospektifnya menemukan bahwa hipotensi intra operatif juga memegang
peranan penting, dengan peningkatan kematian tiga kali lipat. Mekanisme

26
yang pasti mengenai pengaruh hipotensi dengan peningkatan derajat
keparahan masih belom jelas, tetapi pada autopsi 90% pasien cedera kepala
ditemukan bukti adanya kerusakan otak akibat iskemik (Stieffel, 2005).
3. Hipoksia
Katsurada dkk melaporkan bahwa diantara penderita cedera kepala berat
dalam keadaan koma, 43% mendapat hipoksia arterial dibawah 70 mmHg,
51% mempunyai perbedaan oksigen alveolar-arterial lebih dari 30% ; 14%
mendapat hiperkarbia lebih dari 45 mmHg. Miller (1978) mendapatkan
bahwa 30% dari penderita ada awalnya sudah menderita hipoksia. Hipoksia
sistemik dapat terjadi karena apnea yang tiba tiba atau karena pola pernafasan
abnormal lainnya, hipoventilasi karena cedera sumsum tulang belakang atau
obstruksi jalan nafas karena cedera kepala atau cedera leher, juga karena
cedera lansung pada dinding dada atau paru, atau oleh emboli lemak di
sirkulasi pulmonal karena fraktur tulang panjang. Sangat sulit untuk
menjelaskan efek hipoksia sistemik pada manusia, tetapi tampaknya juga
memegang peranan didalam memperburuk prognosa (Sastrodiningrat, 2006).
Penelitian yang dilakukan Wagner (2010) pada sekelompok tikus
menjelaskan bahwa hipoksia disertai benturan menyebabkan peningkatan
kejadian edema otak bila dibandingkan dengan benturan saja, hal ini mungkin
disebabkan oleh karena gangguan pada sel yang cedera untuk
mempertahankan hemostasis ion.
4. Skor Glasgow Coma Scale (GCS) Rendah
Glasgow coma scale (GCS) diciptakan oleh Jennett dan Teasdale pada tahun
1974. Sejak itu GCS merupakan tolok ukur klinis yang digunakan untuk
menilai beratnya cedera pada cedera kepala. Glasgow Coma Scale seharusnya
telah diperiksa pada penderita saat awal cedera terutama sebelum mendapat
obat-obat paralitik dan sebelum intubasi; skor ini disebut skor awal GCS
(Chessnut, 2000; Sastrodiningrat, 2006). Derajat kesadaran tampaknya
mempunyai pengaruh yang kuat terhadap kesempatan hidup dan
penyembuhan. GCS juga merupakan faktor prediksi yang kuat dalam

27
menentukan prognosis, suatu skor GCS yang rendah pada awal cedera
berhubungan dengan prognosis yang buruk (Davis dan Cunningham, 1984).
Menurut Sastrodiningrat (2009) yang mengutip pendapat Jennet dkk,
melaporkan bahwa 82% dari penderita-penderita dengan skor GCS 11 atau
lebih, dalam waktu 24 jam setelah cedera mempunyai good outcome atau
moderately disabled dan hanya 12% yang meninggal atau mendapat severe
disability. Outcome secara progresif akan menurun kalau skor awal GCS
menurun. Diantara penderita-penderita dengan skor awal GCS 3 atau 4 dalam
24 jam pertama setelah cedera hanya 7% yang mendapat good outcome atau
moderate disability. Diantara penderita-penderita dengan skor GCS 3 pada
waktu masuk dirawat, 87% akan meninggal.
Kehilangan kesadaran yang lama, dalam banyak hal tidak prediktif terhadap
outcome yang buruk. Menurut Sastrodiningrat (2009) yang bersumber dari
hasil penelitian Groswasser dan Sazbon, telah melakukan tinjauan
penyembuhan fungsional dari 134 penderita dengan gangguan kesadaran
selama 30 hari. Hampir separuhnya mempunyai ketergantungan total didalam
aktifitas kehidupan sehari-hari dan 20% yang lain mempunyai ketergantungan
terbatas. Biasanya penderita yang sembuh adalah pada usia dibawah 30 tahun
dengan fungsi batang otak yang baik, diameter pupil dan reaksi cahaya.
Reflek pupil terhadap cahaya merupakan pengukuran secara tidak langsung
terhadap adanya herniasi dan cedera batang otak. Secara umum, dilatasi dan
fiksasi dari satu sisi pupil menandakan adanya herniasi, dimana gambaran
dilatasi dan terfiksasinya kedua pupil dijumpai pada cedera batang otak yang
irreversible. Keterbatasan penilaian prognosis terjadi pada pupil yang
mengalami dilatasi dan terfiksasi akibat trauma langsung ke bola mata tanpa
mencederai saraf ketiga intrakranial atau disertai cedera batang otak
(Chessnut, 2000). Penelitian klinis untuk mengamati prognosis terhadap
reflek cahaya pupil telah dilakukan dalam berbagai metodologi. Sebagian
penelitian tersebut meneliti ukuran dan reaksi pupil terhadap cahaya.
Sebagian penelitian tersebut hanya mencatat ada tidaknya dilatasi tanpa
memandang ukuran pupil (Pascual, 2008; Letarte, 2008).

28
Abnormalitas fungsi pupil, gangguan gerakan ekstraokular, pola-pola respons
motorik yang abnormal seperti postur fleksor dan postur ekstensor, semuanya
memprediksikan outcome yang buruk setelah cedera kepala (Andrews, 1989;
Rovlias, 2004). Sastrodiningrat (2006) bersumber dari penelitian yang
dilakukan Sone dan Seelig menyatakan bahwa anisokor, refleks pupil yang
tidak teratur atau pupil yang tidak bereaksi terhadap rangsang cahaya
biasanya disebabkan karena kompresi terhadap saraf otak ketiga atau terdapat
cedera pada batang otak bagian atas, biasanya karena herniasi transtentorial.
Dalam suatu tinjauan terhadap 153 penderita dewasa dengan herniasi
transtentorial, hanya 18% yang mempunyai penyembuhan yang baik.
Diantara penderita dengan anisokor pada waktu masuk dirawat dengan batang
otak yang tidak cedera, 27% mencapai penyembuhan yang baik, akan tetapi
bila ditemukan pupil yang tidak bergerak dan berdilatasi bilateral, secara
bermakna ditemukan hanya 3.5% yang sembuh.
Penderita cedera kepala dengan pupil yang anisokor yang mendapat
penyembuhan baik cenderung berumur lebih muda, dan refleks-refleks batang
otak bagian atas yang tidak terganggu. Sone dkk, melaporkan 10 dari 40
(25%) penderita dengan satu pupil berdilatasi ipsilateral terhadap suatu
Subdural Hematoma (SDH) mencapai penyembuhan fungsional. Seelig dkk,
melaporkan hanya 6 dari 61 (10%) penderita dengan dilatasi pupil bilateral
yang mencapai penyembuhan fungsional. Dengan demikian, gangguan
gerakan ekstraokular dan refleks pupil yang negatif juga berhubungan dengan
prognosis buruk (Sastrodiningrat, 2009). Diameter pupil dan reaksi pupil
terhadap cahaya adalah dua parameter yang banyak diselidiki dan dapat
menentukan prognosis. Di dalam mengevaluasi pupil, trauma orbita langsung
harus disingkirkan dan hipotensi telah diatasi sebelum mengevaluasi pupil,
dan pemeriksaan ulang harus sering dilakukan setelah evakuasi hematoma
intraserebral (Pascual, 2008; Moulton, 2005; Volmerr, 1991).
5. Gambaran Awal CT Scan Kepala
Indikasi untuk melakukan CT scan adalah jika pasien mengeluh sakit kepala
akut yang diikuti dengan kelainan neurologis seperti mual, muntah atau

29
dengan GCS <14 (Mills, 2004). Lobato (1983), mengelompokkan hasil CT
scan berdasarkan bentuk anatomi menjadi delapan kelompok.
Pengelompokan ini memperlihatkan hasil prediksi yang lebih kuat
Temuan CT scan Unfacourable Outcome (%)
No Lesions 32
Extracerebral Hematoma 15
Extracerebral Hematoma and 100
Swelling Bilateral Swelling
Bilateral Swelling 12
Single Brain Contusion 22
Multiple Unilateral Contusion 84
Multiple Bilateral Contusion 54
Diffuse Axonal Injury 86
Terdapatnya hematoma intraserebral yang harus dioperasi berhubungan
dengan prognosis yang lebih buruk sama halnya bila sisterna basal tidak
tampak atau adanya kompresi terhadap sisterna basal. Lesi massa terutama
hematoma subdural dan hematoma intraserebral berhubungan dengan
meningkatnya mortalitas dan menurunnya kemungkinan penyembuhan
fungsional. Dengan adanya SAH angka mortalitas akan meningkat dua kali
lipat. SAH di dalam sisterna basal menyebabkan unfavorable outcome pada
70% dari penderita. SAH adalah faktor independen yang bermakna didalam
menentukan prognosis (Sastrodiningrat, 2009).
6. Patah Tulang Kepala
Patah tulang kepala merupakan faktor klinis yang sering dikaitkan dengan
terjadinya lesi otak paska terjadinya trauma. Patah tulang menggambarkan
besarnya trauma yang terjadi pada kepala (Eisenberg, 1997). Patah tulang
kepala adalah faktor resiko yang bermakna terhadap terjadinya abnormalitas
CT Scan kepala dengan besar resiko mencapai 80 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan kelompok yang normal. Sebagian besar peneliti setuju
bahwa patah tulang kepala memiliki hubungan yang bermakna terhadap
terjadinya kelainan pada CT Scan kepala (Ibanez, 2016). Lebih dari 70 %
penderita cedera kepala yang mengalami patah tulang kepala terdapat lesi
dibawahnya. Hal ini disebabkan karena impak yang besar pada kepala

30
sehingga memperbesar kemungkinan terjadinya lesi dibawah garis patahan
(Willmore, 2007).
7. Waktu Kejadian Trauma Sampai Penanganan di Rumah Sakit
Waktu 6 jam setelah kedatangan merupakan masa untuk melakukan tindakan
awal di rumah sakit. Pada waktu ini, proses kerusakan jaringan otak dan
iskemik otak karena cedera primer maupun terdapatnya cedera tambahan
yang menimbulkan kegagalan kompensasi dapat terjadi, sehingga kematian
paling banyak terjadi dalam periode ini (Ratnaningsih, 2008). Penelitian yang
dilakukan oleh Boto (2010) mengungkapkan pasien dengan cedera kepala
berat, 20% meninggal dunia pada awal kedatangan. Hal ini juga diperkuat
oleh penelitian yang dilakukan oleh Singh (2007) terhadap pejalan kaki yang
mengalami kematian akibat kecelakaan. Dari 129 orang 56, 6% mengalami
cedera kepala dan 54, 4% diantaranya hanya dapat bertahan hidup sampai 6
jam pertama.
8. Faal Hemostasis
Faal hemostasis merupaka pemeriksaan yang meliputi tes PT (Prothrombin
Time), tes aPTT (Activated Partial Thromboplastin Time) dan tes TT
(Thrombin Time). Ada beberapa sistem yang berperanan dalam sistem
hemostasis yaitu system vaskuler, trombosit, dan pembekuan darah.
Koagulasi adalah proses komplek pembentukan pembekuan darah. Koagulasi
dimulai dengan terdapatnya kerusakan pembuluh darah pada lapisan endothel.
Trombosit kemudian membentuk gumpalan untuk menutup daerah yang
rusak disebut hemostasis primer. Hemostasis sekunder terjadi secara simultan
dengan adanya protein dalam plasma disebut faktor koagulasi untuk
membentuk benang-benang fibrin yang memperkuat gumpalan dari trombosit
(Baroto, 2007). Dalam penelitian Baroto (2007) disebutkan juga bahwa
koagulopati adalah proses patologis yang menyebabkan kegagalan hemostasis
atau mekanisme untuk menghentikan dan mencegah perdarahan. Pasien
dengan cedera kepala dapat ditemukan koagulopati secara klinis dan
laboratoris terutama pada kejadian cedera jaringan otak langsung.
Koagulopati yang terjadi pada penderita cedera kepala karena pelepasan

31
faktor jaringan (salah satunya tromboplastin yang kaya di jaringan otak) dan
koagulan lain dari parenkim otak yang rusak masuk ke peredaran darah
sistemik mempengaruhi proses pembekuan darah. Pemeriksaan laboratorium
yang akan didapatkan pada pasien cedera kepala disertai koagulopati adalah
penurunan jumlah trombosit darah tepi, pemanjangan masa plasma
protrombin, pemanjangan masa tromboplastin parsial teraktivasi,
pemanjangan masa trombin, serta penurunan kadar fibrinogen plasma.
Pemanjangan PT, APTT, dan TT merupakan akibat dari faktor jaringan yang
keluar dari jaringan otak yang mengalami trauma yang mengaktifkan jalur
ekstrinsik dan intrinsik pembekuan darah. Stein menyebutkan bahwa risiko
terjadinya cedera sekunder pada trauma kepala meningkat 85% jika tes
koagulasi abnormal. Komplikasi ini sangat signifikan korelasinya dengan
pemanjangan PT.

BAB III
PENUTUP

3.1. Simpulan
Trauma atau cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak
yang diserta tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas otak. Cedera kepala merupakan cedera yang meliputi
trauma kulit kepala, tengkorak, dan otak. Cedera kepala (trauma capitis) adalah
cedera mekanik yang secara langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang
mengakibatkan luka di kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput
otak, dan kerusakan jaringan otak itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan
neurologi.
Anatomi kepala terdiri dari beberapa bagian-bagian diantaranya pertama
rangka tulang kepala atau yang disebut kranium atau tulang tengkorak dibentuk

32
oleh potongan tulang yang saling bertautan membentuk kerangka kepala. Kedua
otak, jaringan otak dibungkus oleh selaput otak dan tulang tengkorak. Ketiga
batang otak (brainstem) berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala
bagian dasar dan memanjang sampai ke tulang punggung atau sumsum tulang
belakang. Keempat vaskularisasi otak atau pengaliran darah ke otak dilakukan
oleh dua pembuluh arteri utama yaitu sepasang arteri karotis interna yang
mengaliri sekitar 70% dari seluruhan jumlah darah otak dan sepasang arteri
vertebralis yang memberikan 30% sisanya.
Mekanisme cedera kepala merupakan hal yang bersifat kompleks, bervariasi,
dan sepenuhnya dipahami. Cedera kepala didasarkan pada proses patofisiologi
dibagi menjadi dua yang didasarkan pada asumsi bahwa kerusakan otak pada
awalnya disebabkan oleh kekuatan fisik yang lalu diikuti proses patologis yang
terjadi segera dan sebagian besar bersifat permanen. Dari tahapan tersebut,
dikelompokkan cedera kepala menjadi dua (Youmans, 2011) yaitu cedera otak
primer dan cedera otak sekunder.
Cedera otak primer adalah akibat cedera langsung dari kekuatan mekanik
yang merusak jaringan otak saat trauma terjadi (hancur, robek, memar, dan
perdarahan). Cedera ini dapat berasal dari berbagai bentuk kekuatan/tekanan
seperti akselerasi rotasi, kompresi, dan distensi akibat dari akselerasi atau
deselerasi. Cedera otak sekunder merupakan lanjutan dari cedera otak primer yang
dapat terjadi karena adanya reaksi inflamasi, biokimia, pengaruh neurotransmitter,
gangguan autoregulasi, dan neuro-apoptosis.
Diklasifikasikan secara klinis sesuai dengan tingkat kesadaran dan distribusi
anatomi luka. Kondisi klinis dan tingkat kesadaran setelah cedera kepala dinilai
menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS), merupakan skala universal untuk
mengelompokkan cedera kepala dan faktor patologis yang menyebabkan
penurunan kesadaran. Teknik penilaian GCS ini terdiri dari tiga penilaian terhadap
respon pasien ketika diberikan stimulus (respon buka mata, respon motorik
terbaik, dan respon verbal).
Penatalaksanaan atau penanganan pada penderita trauma atau cedera kepala
memerlukan penanganan awal yairu melalui survei primer dan survei sekunder.

33
Setiap memberikan tindakan selalui sesuai dengan prinsinya dan penilaian yang
dilakukan harus benar akurat. Namun, ketika melakukan penanganan pada
penderita cedera kepala baik secara medis maupun non medis, terkadang terdapat
masalah yang mungkin terjadi saat memberikan tindakan. Masalah tersebut
dipengaruhi oleh beberapa faktor-faktor yang berhubungan dengan penurunan
angka survival meliputi nilai GCS rendah, usia lanjut, dijumpainya hematom
intrakranial dan keadaan sistemik lain yang memperberat keadaan cedera kepala.

3.2. Saran
Semoga, apa yang kita pelajari dalam makalah ini dapat kita pelajari dengan
sungguh-sungguh, dan dapat kita terapkan dengan baik. Demikianlah makalah
tentang “Trauma Kepala”. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua baik
kami yang membuat maupun anda yang membaca. Kami menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu saran dan kritik yang
bersifat membangun dari pembaca kami harapkan demi kesempurnaan makalah
ini.

34
DAFTAR PUSTAKA

Sembiring, Amir. 2015. “Anatomi Kepala.docx”. Terdapat dalam:


https://id.scribd.com/doc/270748994/Anatomi-Kepala-docx (diakses
tanggal 24 Oktober 2020).
Yazidannabhani. 2011. “Patofisiologi Cedera Kepala”. Terdapat dalam:
https://id.scribd.com/doc/70300946/Patofisiologi-cedera-kepalA
(diakses tanggal 24 Oktober 2020).
Hidayah, Safarotul. 2016. “Makalah Cedera Kepala”. Terdapat dalam:
https://www.academia.edu/29968747/makalah_cedera_kepala
(diakses tanggal 24 Oktober 2020).
Safitri, Denanda Agnes. 2015. “Pemeriksaan GCS (Glasgow Coma Scale)”.
Terdapat dalam:
https://sites.google.com/site/agnesdenanda19/website-builder/all-
about-nursing (diakses tanggal 24 Oktober 2020).
Willy, Tjin. 2018. “Cedera Kepala Berat”. Terdapat dalam:
https://www.alodokter.com/trauma-kepala-berat (diakses tanggal 24
Oktober 2020).

Anda mungkin juga menyukai