Anda di halaman 1dari 41

MAKALAH ASUHAN KEBIDANAN PERSALINAN DAN BBL

KALA III DAN KALA IV PERSALINAN

DOSEN PENGAMPU:
NI KOMANG SULSYASTINI, S.ST., M.Pd.

DISUSUN OLEH
MADE PURNAMI ASRI WAHYUNI NIM. 1906091026
TINGKAT IIB

PROGRAM STUDI D3 KEBIDANAN


JURUSAN ILMU OLAHRAGA DAN KESEHATAN
FAKULTAS OLAHRAGA DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
SINGARAJA
2020
PRAKATA

Puji syukur saya panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
rahmatnya serta kerja keras saya, akhirnya kami dapat menyelesaikan tugas mata
kuliah Asuhan Kebidanan Persalinan dan Bayi Baru Lahir yang berjudul “Kala III
dank ala IV Persalinan”.
Tugas ini dibuat guna memenuhi salah satu standar atau kriteria penilaian
dari mata kuliah Asuhan Kebidanan Persalinan dan Bayi Baru Lahir yang
diberikan secara individu.
Saya mengucapkan banyak terimakasih kepada Ibu Ni Komang Sulyastini,
S.ST., M.Pd. selaku dosen pembimbing mata kuliah Asuhan Kebidanan
Persalinan dan Bayi Baru Lahir di Universitas Pendidikan Ganesha. Beliau yang
telah banyak membimbing dan mengarahkan saya, sehingga saya dapat
menyelesaikan tugas makalah ini. Tak lupa pula saya mengucapkan terimakasih
kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu saya dalam menyelesaikan
tugas ini.
Saya menyadari kekurangan saya sebagai manusia biasa dan oleh
keterbatasan sumber referensi yang kami miliki sehingga kiranya dalam makalah
ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekeliruan baik itu dalam penyusunan.
Oleh karena itu, saya sangat mengharapkan adanya kritik dan saran dari Ibu
sebagai dosen pembimbing ataupun pihak-pihak lain dan sesama teman
mahasiswa untuk dapat menambahkan sesuatu yang kiranya dianggap masih
kurang atau memperbaiki sesuatu yang dianggap salah dalam tulisan ini. Akhirnya
saya mengucapkan banyak terima kasih. Dan semoga makalah ini dapat berguna
dan bermanfaat bagi kita semua sebagai bahan pengetahuan untuk memperluas
wawasan kita.

Singaraja, 10 November, 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER
PRAKATA ...................................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ........................................................................................ 1
1.2. Rumusan Masalah ................................................................................... 2
1.3. Tujuan ......................................................................................................2
1.4. Manfaat ................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Kala III Persalinan ................................................................................... 4
2.2 Kala IV Persalinan ................................................................................. 30
BAB III PENUTUP
3.1 Simpulan .................................................................................................. 36
3.2 Saran ........................................................................................................ 37
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Persalinan merupakan suatu kejadian fisiologi yang normal. Persalinan adalah
proses pengeluaran hasil konsepsi (janin dan uri) yang dapat hidup ke dunia luar,
dari rahim melalui jalan lahir atau dengan jalan lain (Rustam, 1998). Proses
persalinan terdiri dari empat kala, yaitu kala I, kala II, kala III, dan kala IV.
Kala III persalinan merupakan kala pengeluaran plasenta. Tahap ini
berlangsung sejak bayi lahir higga plasenta dilahirkan. Kala III ini ditandai
dengan fundus yang berkontraksi kuat, perubahan bentuk uterus dari bentuk
cakram menjadi bentuk oval bulat sewaktu plasenta bergerak ke arah segmen
bagian bawah, darah berwarna gelap keluar dengan tiba-tiba dari introitus, tali
pusat bertambah panjang dengan majunya plasenta mendekati introitus, dan
vagina penuh pada pemeriksaan vagina atau rektum atau membran janin terlihat di
introitus. Pada akhir kala III persalinan, uterus berada di garis tengah, kira-kira
dua jari di bawah umbilikus dengan bagian fundus bersandar pada promontorium
sakralis. Pada saat ini besar uterus kira-kira sama dengan besar uterus sewaktu
usia kehamilan 16 minggu (Bobak, 2004).
Kala IV adalah kala pengawasan selama satu sampai dua jam postpartum.
Pada kala IV merupakan periode yang kritis untuk ibu dan bayi yang baru lahir
karena bukan saja pulih dari proses fisik persalinan, tetapi juga memulai
hubungan baru (Bobak, 2004, Rustam, 1998). Selama kala IV petugas kesehatan
harus memantau ibu setiap 15 menit pada jam pertama setelah kelahiran plasenta,
dan setiap 30 menit pada jam kedua setelah persalinan (Sarwono,2006).
Selama satu sampai dua jam pertama postpartum intensitas kontraksi uterus
bisa berkurang dan menjadi tidak teratur (Bobak, 2004). Oleh karena itu, pada
kala IV bidan harus sering memeriksa uterus untuk memastikan bahwa fundus
tetap berkontraksi setelah persalinan. Jika fundus mengendur, maka akan terjadi
perdarahan yang hebat (Simkin, 2007). Tindakan yang dapat dilakukan untuk

1
mencegah perdarahan yang hebat pada kala IV adalah memassase uterus dan
pemberian uterus tonika: methergen, ermetrin, dan pitosin (Rustam, 1998).
Ketika persalinan dimulai, peran ibu dan keluarga serta peran dari petugas
kesehata sangat penting. Ibu berperan dalam melahirkan bayinya, keluarga
berperan dalam memberikan dukungan dan mendampingi ibu selama persalinan
berlangsung, dan petugas kesehatan berperan dalam menolong dan memantau
untuk mendeteksi dini adanya komplikasi dalam persalinan. Saat memberikan
asuhan kebidanan pada ibu, petugas kesehatan harus selalu waspada terhadap
masalah atau penyulit yang mumgkin terjadi selama persalinan.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan yang
akan dibahas dalam makalah ini yaitu:
1. Bagaimana kala III dalam persalinan?
2. Bagaimana kala IV dalam persalinan?

1.3 Tujuan Penulisan


Berdasarkaan rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan makalah ini
yaitu:
1. Untuk mengetahui tentang kala III dalam persalinan.
2. Untuk mengetahui tentang kala IV dalam persalinan.

1.4 Manfaat
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari makalah ini yaitu:
1. Manfaat untuk Penulis
Manfaatnya adalah untuk menambah ilmu pengetahuan dan wawasan serta
sebagai pembanding teori dalam memberikan informasi terkait kala III dan
kala IV persalinan.

2
2. Manfaat untuk Instansi
Manfaatnya adalah memberikan masukan pada sistem pendidikan, terutama
untuk materi perkuliahan dan memberikan gambaran serta informasi bagi
mahasiwa selanjutnya.
3. Manfaat untuk Mahasiswa
Manfaatnya adalah memiliki sumber referensi atau sumber informasi yang
bisa menambah ilmu pengetahuan dan wawasan bagi mahasiswa.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Kala III Persalinan


2.1.1. Pengertian Kala III Persalinan
Kala III persalinan disebut juga sebagai kala uri atau kala pengeluaran
plasenta. Kala III dimulai setelah bayi lahir hingga kelahiran plasenta dan selaput
ketuban. Lama kala III persalinan berlangsung kurang lebih 30 menit.

2.1.2. Fisiologi Kala III Persalinan


Pada kala III persalinan, otot uterus (miometrium) berkontraksi mengikuti
penyusutan volume rongga uterus setelah kelahiran bayi. Penyusutan ukuran ini
menyebabkan berkurangnya ukuran tempat pelekatan plasenta. Karena tempat
pelekatan menjadi semakin kecil, sedangkan ukuran plasenta tidak berubah maka
plasenta akan terlipat, menebal dan kemudian lepas dari dinding uterus. Setelah
lepas, plasenta akan turun ke bawah uterus atau ke dalam vagina. Biasanya
plasenta lepas dari dinding uterus setelah 6-15 menit.
Pada kala III persalinan terdapat macam-macam perubahan fisiologi,
diantaranya:
a. Uterus berbentuk bulat penuh dan tinggi funsus uteri biasanya dibawah pusat.
b. Tekanan darah sistolik mulai kembali ke tingkat sebelum persalinan.
c. Nadi secara bertahap kembali ke tingkat sebelum melahirkan.
d. Suhu tubuh kembali meningkat perlahan dan pada sistem pernapasan kembali
bernapas normal.
e. Aktivitas gastrointestinal jika tidak terpengaruh obat-obatan, matilitas
lambung dan absorpsi kembali mulai ke aktivitas normal.
f. Wanita mengalami mula muntah selama kala III merupakan hal yang tidak
wajar.
Adapun tanda-tanda lepasnya plasenta yang mencakup 3 tanda, yaitu:
a. Perubahan bentuk dan tinggi fundus. Setelah bayi lahir dan sebelum
miometrium mulai berkontraksi, uterus berbentuk bulat (discoid) dan tinggi

4
fundus berada 3 jari di bawah pusat. Setelah uterus berkontraksi dan plasenta
terdorong ke bawah, uterus berbentuk segitiga atau seperti buah alpukat dan
fundus setinggi pusat (umbilikus).
b. Tali pusat memanjang. Tali pusat terlihat menjulur keluar melalui vulva
(tanda Ahfeld).
c. Semburan darah mendadak dan singkat. Darah yang terkumpul di
retroplasenter diantara tempat implantasi dan pembukaan maternal plasenta)
akan melepas plasenta (dengan gaya gravitasi) dari tempat pelekatannya di
dinding uterus. Jika kumpulan darah (retroplasental pooling) dalam ruang
antara dinding uterus dan plasenta telah melebihi kapasitas tampungnya maka
darah tersembur keluar dari tepi plasenta yang terlepas.

2.1.3. Manajemen Aktif Kala III Persalinan


Tujuan manajemen aktif kala III (MAK III) adalah membuat uterus
berkontraksi lebih efetif sehingga dapat mempersingkat waktu, mencegah
perdarahan dan mengurangi kehilangan darah selama kala III persalinan jika
dibandingkan dengan pelepasan plasenta secara spontan. Sebagian besar (25-29%)
mortalitas ibu di Indonesia disebabkan oleh perdarah pasca persalinan akibat
atonia uteri dan separasi parsial/retensio plasenta yang dapat dicegah dengan
manajemen kala III. Manajemen aktif kala III memiliki keuntungan adalah
persalinan kala III yang lebih singkat, mengurangi jumlah kehilangan darah, dan
mengurangi kejadian retensio plasenta.
Manajemen aktif aktif kala III (MAK III) terdiri dari tiga langkah utama,
yaitu:
1. Pemberian Suntikan Oksitosin
Oksitosin adalah bentuk sintesis alami yang diproduksi dalam pituitary
posterior dan aman digunakan dalam konteks yang lebih luas dibandingkan
dengan kombinasi agens ergomentrium/oksitosin. Oksitosin ini dapat
diberikan baik secara injeksi intravena maupun intramuscular. Pemberian
oksitosin dilakukan pada 1 menit pertama setelah bayi lahir. Penyimpanan
oksitosin sebaiknya pada temperatur 20-80C yang dibuat dari ekstraks hormon

5
oksitosin. Jika oksitosin disimpan pada tempat dengan temperatur 20-80C
selama lebih dari 3-5 hari (tergantung suhu rata-rata di suatu daerah) oksitosin
aktif yang ada di dalam ampul akan menjadi rusak. Jika oksitosin yang rusak,
disuntikkan ke ibu bersalin, baik di periode intrapartum atau postpartum
ddengan gangguan kontraksi atau menghentikan perdarahan seperti yang
diinginkan. Tersedia juga sejenis oksitosin yang dapat disimpan pada
temperatur 150-210C (tergantung pembuatnya) tetapi jika disimpan di atas
batas toleransi tersebut, maka obat tersebut juga akan rusak dan menjadi tidak
efektif.
Langkah-langkah pemberian suntikan oksitosin, yaitu:
a. Letakkan bayi baru lahir di atas kain bersih yang telah disiapkan di perut
bawah ibu dan minta atau pendampingnya untuk membantu memegang
bayi tersebut.
b. Pastikan tidak ada bayi lain (undiagnosed twin) di dalam uterus.
c. Beritahu ibu bahwa ia akan disuntik.
d. Segera (dalam 1 menit pertama setelah bayi lahir) suntikkan oksitosin 10
I.U IM diperbatasan 1/3 bawah dan tengah lateral paha (aspektus
lateralis).
Catatan: Jika oksitosin tidak tersedia, minta ibu untuk melakukan
stimulasi puting susu atau melakukan Inisiasi Menyusui Dini (IMD)
segera. Upaya ini akan merangsang produksi oksitosin secara ilmiah.
Untuk profilaksis, dapat diberikan misoprostol 600 mcg yang diberikan
per oral/sublingual jika tidak tersedia oksitosin.
e. Letakkan kembali alat suntik pada tempatnya, ganti kain alas dan
penutup tubuh bayi dengan akain bersih dan kering yang baru kemudian
lakukan penjepitan (2-3 menit setelah bayi lahir) dan pemotongan tali
pusat sehingga dari langkah 4 dan 5 ini akan tersedia cukup waktu bagi
bayi untuk memperoleh sejumlah darah kaya zat besi dari ibunya.
f. Serahkan bayi yang telah terbungkus kain pada ibu untuk IMD kontak
kulit-kulit dengan ibu dan tutupi ibu-bayi dengan kain.
g. Tutup kembali perut bawah ibu dengan kain bersih.

6
2. Melakukan Penegangan Tali Pusat Terkendali
Penegangan tali pusat terkendali adalah melakukan tarika kearah sejajar
dengan sumbu rahim saat uterus berkontraksi dan secara stimulant dan
melakukan tahanan pada daerah supra pubik. Penegangan tali pusat terkendali
dilakukan sebelum plasenta lepas dengan syarat adanya kontraksi. Tujuan
melakukan penegangan tali pusat terkendali adalah melepaskan plasenta dan
melahirkan plasenta.
Langkah-langkah melakukan penegangan tali pusat terkendali, yaitu:
a. Berdiri disamping ibu.
b. Pindahkan klem (penjepitan tali pusat) ke sekitar 5- 10 cm dari vulva.
Alasan: Memegang tali pusat lebih dekat ke vulva akan mencegah avulsi.
c. Letakkan tangan yang lain pada abdomen ibu (beralaskan kain) tepat di
atas simfisis pubis. Gunakan tangan ini untuk meraba kontraksi uterus
dan menahan uterus pada saat melakukan penegangan pada tali pusat.
Setelah terjadi kontraksi yang kuat, tegangkan tali pusat dengan satu
tangan dan tangan yang lain (pada dinding abdomen) menekan uterus
kearah lumbal dan kepala ibu (dorso – kranial). Lakukan secara hati-hati
untuk mencegah terjadinya inversio uteri.
d. Bila plasenta belum lepas, tunggu hingga uterus berkontraksi kembali
(sekitar dua atau tiga menit berselang) untuk mengulangi kembali
penegangan tali pusat terkendali.
e. Saat mulai kontraksi (uterus menjadi bulat atau tali pusat menjulur)
tegangkan tali pusat kearah bawah. Lakukan tekanan dorso–kranial
hingga tali pusat makin menjulur dan korpus uteri bergerak ke atas yang
menandakan plasenta telah lepas dan dapat dilahirkan. Tetapi Jika
langkah 5 di atas tidak berjalan sebagaimana mestinya dan plasenta tidak
turun setelah 30–40 detik dimulainya penegangan tali pusat dan tidak ada
tanda – tanda yang menunjukkan lepasnya plasenta. Jangan teruskan
penegangan tali pusat.
1) Pegang klem dan tali pusat dengan lembut dan tunggu sampai
kontraksi berikutnya. Jika perlu, pindahkan klem lebih dekat ke

7
perineum pada saat tali pusat memanjang. Pertahankan kesabaran
pada saat melahirkan plasenta.
2) Pada saat kontraksi berikutnya terjadi, ulangi penegangan tali pusat
terkendali dan tekanan dorso–kranial pada korpus uteri secara
serentak. Ikuti langkah-langkah tersebut pada setiap kontraksi
sehingga terasa plasenta terlepas dari dinding uterus.
3) Jika setelah 15 menit melakukan PTT dan dorongan dorso-kranial,
plasenta belum juga lahir maka ulangi pemberian oksitosin 10 I.U
IM, tunggu kontraksi yang kuat kemudian ulangi PTT dan dorongan
dorso kranial hingga plasenta dapat dilahirkan.
4) Setelah plasenta terlepas dari dinding uterus (bentuk uterus menjadi
globuler dan tali pusat menjulur ke luar), maka anjurkan ibu untuk
meneran agar plasenta terdorong keluar melalui introitus vagina,
Bantu kelahiran plasenta dengan cara menegangkan dan
mengarahkan tali pusat sejajar dengan lantai ( mengikuti poros jalan
lahir ).
Alasan: Segera melepaskan plasenta yang telah terpisah dari
dinding uterus akan mencegah kehilangan darah yang tidak perlu.
Catatan: Jangan melakukan penegangan tali pusat tanpa diikuti
dengan tekanan dorso-kranial secara serentak pada bagian bawah
uterus (diatas simfisis pubis).
f. Pada saat plasenta pada introitus vagina, lahirkan plasenta dengan
mengangkat tali pusat ke atas dan menopang plasenta dengan tangan
lainnya untuk meletakkan dalam wadah penampung. Karena selaput
ketuban mudah robek, pegang plasenta dengan kedua tangan dan secara
lembut putar plasenta hingga selaput ketuban terpelin menjadi satu.
g. Lakukan penarikan dengan lembut dan perlahan-lahan untuk melahirkan
selaput ketuban.
Alasan: Melahirkan plasenta dan selaputnya dengan hati – hati akan
membantu mencegah tertinggalnya selaput ketuban di jalan lahir.

8
h. Jika selaput ketuban robek dan tertinggal di jalan lahir saat
melahirkan plasenta, dengan hati-hati periksa vagina dan serviks dengan
seksama. Gunakan jari-jari tangan anda atau klem DTT atau steril atau
forsep untuk keluarkan selaput ketuban tersebut.
Catatan:
 Jika plasenta belum lahir setelah 30 menit sejak bayi dilahirkan
maka lakukan konseling pada suami/keluarganya bahwa mungkin
ibu perlu dirujuk karena waktu normal untuk melahirkan plasenta
sudah terlampaui dan kemungkinan ada penyulit lain yang
memerlukan penanganan di rumah sakit rujukan.
 Jika akibat kondisi tertentu maka fasilitas kesehatan rujukan sulit
dijangkau dan kemudian timbul perdarahan maka sebaiknya
dilakukan tindakan plasenta manual. Untuk melaksanakan hal
tersebut, pastikan bahwa petugas kesehatan telah terlatih dan
kompeten untuk melaksanakan tindakan atau prosedur yang
diperlukan.
perhatikan: Jika plasenta belum lahir dan mendadak terjadi
perdarahan, segera lakukan tindakan plasenta manual untuk segera
mengosongkan kavum uteri, sehingga uterus segera berkontraksi secara
efektif dan perdarahan dapat dihentikan. Jika setelah manual plasenta,
tetapi masih terjadi perdarahan maka lakukan kompresi bimanual
internal/eksternal atau kompresi aorta, atau pasang tampon kondom-
kateter. Beri oksigen 10 IU dosis tambahan atau misoprostol tablet 600
mcg per rektal. Tunggu hingga uterus dapat berkontraksi kuat dan
perdarahan berhenti, baru hentikan tindakan kompresi atau keluarkan
tampon.

 Plasenta Manual
Plasenya manual adalah tindakan untuk melepas plasenta secara manual
(menggunakan tangan) dari tempat implantasinya dan kemudian
melahirkannya keluar dari kavum uteri.

9
 Prosedur Plasenta Manual
1) Persiapan
 Pasang set dan cairan infus
 Jelaskan pada ibu prosedur dan tujuan plasenta manual.
 lakukan anesthesia verbal atau analgesia per rectal (ketoprofen
atau tramadol).
 Siapkan dan jalankan prosedur pencegahan infeksi.
2) Tindakan penetrasi ke dalam kavum uteri
a. Pastikan kandung kemih dalam keadaan kosong.
b. Klem tali pusat pada jarak 5-10 cm dari vulva, tegangkan
dengan satu tangan sejajar lantai.
c. Secara obstetrik, masukkan tangan lainnya (punggung tangan
mengarah ke dinding uterus dan bagian palmar mengarah ke
kavum uteri) ke dalam vagina, menelusuri sisi bawah tali
pusat.
d. Setelah mencapai bukaan serviks, minta seorang
asisten/penolong lain untuk memegang klem tali pusat
kemudian pindahkan tangan luar untuk menahan fundus uteri.
e. Masukkan tangan dalam hingga ke kavum uteri) ke dalam
vagina, menelusuri sisi bawah tali pusat.
f. Bentangkan tangan obstetrik tetapi jari-jari merapat seperti
memberi salam (ibu jari dan jari-jari lain saling merapat).
3) Melepas plasenta dari dinding uterus
g. Tentukan implantasi plasenta, temukan tepi plasenta paling
bawah (distal).
 Bila plasenta berimplantasi di korpus belakang, tali pusat
tetap di sebelah atas dan sisipkan ujung jari-jari tangan
diantara plasenta dan dinding uterus dimana punggung
tangan menghadap ke bawah (dinding posterior korpus
uteri).

10
 Bila di korpus depan maka pindahkan tangan ke sebelah
atas tali pusat dan sisipkan ujung jar-jari tangan diantara
plasenta dan ddinding uterus dimana punggung tangan
menghadap ke atas (dinding anterior korpus uteri).
h. Setelah ujung-ujung jari masuk diantara plasenta dan dinding
uterus maka perluas pelepasan plasenta dengan jalan
menggeser tangan kanan dan kiri sambil digeserkan ke atas
(kranial ibu) hingga semua pelekatan plasenta terlepas dari
dinding uteri.
Catatan:
 Bila tepi plasenta tidak teraba atau plasenta berada pada
dataran yang sama tinggi dengan dinding uterus maka
hentikan upaya plasenta manual karena hal itu
menunjukkan plasenta inkerta (tertanam dalam
miometrium).
 Bila hanya sebagian dari implantasi plasenta dapat
dilepaskan dan bagian lainnya melekat erat maka
hentikan pula plasenta manual karena hal tersebut adalah
plasenta akreta. Untuk keadaan pastikan ibu telah
mendapatkan uterotonika (oksitosin) sebelum ia dirujuk
ke fasilitas kesehatan rujukan.
4) Mengeluarkan plasenta
i. Sementara satu tangan masih di dalam kavum uteri, lakukan
eksplorasi untuk menilai tidak ada sisa plasenta yang
tertinggal.
j. Pindahkan tangan luar dari fundus ke supra simfisis (tahan
segmen bawah urterus) kemudain instruksikan asisten untuk
menarik tali pusat sambil tangan dalam membawa plasenta
keluar (hindari terjadinya percikan darah).
k. Lakukan penekanan (dengan tangan yang menahan
suprasimfisis) uterus kearah dorso-kranial setelah plasenta

11
dilahirkan dan tempatkan plasenta di dalam wadah yang telah
disediakan.
5) Pencegahan infeksi pasca tindakan
l. Dekontaminasi sarung tangan (sebelum dilepaskan) dan
peralatan lain yang digunakan.
m. Lepaskan dan rendam sarung tangan dan peralatan lainnya di
dalam larutan klorin 0,5% selama 10 menit.
n. Cuci tangan dengan sabun dan air bersih mengalir.
o. Keringkan tangan dengan handuk bersih dan kering.
6) pemantauan pasca tindakan
p. Periksa kembali tanda vital ibu.
q. Catat kondisi ibu dan buat laporan tindakan.
r. Tuliskan rencanan pengobatan, tindakan yang masih
diperlukan dan asuhan lanjutan.
s. Beritahukan pada ibu dan keluarganya bahwa tindakan
plasenta manual telah selesai tetapi ibu masih memerlukan
pemantauan dan asuhan lanjutan.
t. Lanjutkan pemantauan melekat hingga 2 jam pasca tindakan
sebelum dipindah ke ruangan gawat gabung.

3. Masase Fundus Uteri


Segera setelah plasenta lahir, lakukanlah masase fundus uterus.
Langkah-langkah dilakukan rangsangan taktil (masase) fundus uteri, yaitu:
a. Telapak tangan diletakkan pada fundus uteri.
b. Jelaskan tindakan kepada ibu, katakan bahwa ibu mungkin terasa agak
tidak nyaman karena tindakan yang diberikan. Anjurkan ibu untuk
menarik napas dalam dan perlahan serta rileks.
c. Segera setelah plasenta dan membran lahir, dengan penahan yang kokoh
lakukanlah masase fundus uterus dengan lembut tetapi mantap, tangan
digerakkan dengan arah memutar pada fundus uteri agar uterus

12
berkontraksi. Jika uterus tidak berkontraksi dalam waktu 15 detik, maka
dilakukan penatalaksanaan atonia uteri.
d. Periksa plasenta dan selaputnya untuk memastikan keduanya lengkap dan
utuh.
1) Periksa plasenta sisi maternal (yang melekat pada dinding uterus)
untuk memastikan keduanya lengkap dan utuh.
2) Pasangkan bagian-bagian plasenta yang robek atau terpisah untuk
memastikan tidak ada bagian yang hilang.
3) Periksa plasenta sisi foetal (yang menghadap ke bayi) untuk
memastikan tidak adanya kemungkinan lobus tambahan
(suksenturiata).
4) Evaluasi selaput untuk memastikan kelengkapannya.
e. Periksa kembali uterus setelah 1-2 menit untuk memastikan uterus
berkontraksi. Jika uterus masih belum berkontraksi baik, ulangi masase
fundus uteri. Ibu dan keluarganya diajarkan bagaimana cara melakukan
masase uterus sehingga mampu untuk segera mengetahui jika uterus
tidak berkontraksi baik.
f. Periksa kontraksi uterus setiap 15 menit selama 1 jam pertama
pascapersalinan dan setiap 30 menit selama 1 jam kedua pasca
persalinan.
Dalam evaluasi uterus yang perlu dilakukan adalah mengobservasi kontraksi
dan konsistensi uterus. Kontraksi uterus yang normal adalah pada perabaan,
fundus uterus akan teraba keras. Jika tidak terjadi kontraksi dalam waktu 15
menit setelah dilakukan pemijatan uterus akan terjadi atonia uteri.

2.1.4. Komplikasi Pada Kala III Persalinan


2.1.4.1. Atonia Uteri
 Pengertian Atonia Uteri
Atonia uteri adalah suatu kondisi dimana miometrium tidak dapat
berkontraksi setelah lebih dari 15 detik dan jika ini terjadi maka darah yang keluar
dari bekas tempat melekatnya plasenta menjadi tidak terkendali. Atonia uteri

13
menjadi penyebab lebih dari 90% perdarahan pasca persalinan yang terjadi dalam
24 jam setelah kelahiran bayi (Ripley, 1999).

 Tanda dan Gejala Atonia Uteri


Terdapat tanda dan gejala dari atonia uteri, yaitu:
a. Perdarahan pervaginam.
b. Konsistensi rahim lunak.
c. Fundus uteri naik.
d. Terdapat tanda-tanda syok:
 Tekanan darah sangat rendah, dengan tekanan sistolik < 90 mmHg.
 Pucat.
 Keringat/kulit terasa dingin dan lembab.
 Pernpasan cepat dengan frekuensi 30 x/menit atau lebih.
 Gelisah, bingung atau kehilangan kesadaran.
 Urine sedikit (< 30 cc/jam).
 Nadi cepat dan lemah (110 x/menit atau lebih).

 Faktor Presiposisi Akibat Atonia Uteri


Beberapa faktor predisposisi yang terkait dengan perdarahan pasca
persalinan yang disebabkan oleh atonia uteri, yaitu:
a. Distensi uterus lebih dari normal selama kehamilan, diantaranya:
b. Kala I dan/atau kala II memanjang.
c. Persalinan cepat (partus presipitatus).
d. Persalinan yang diinduksi atau dipercepat dengan oksitosin (augmentasi).
e. Infeksi intrapartum/
f. Grandemultipara.
g. Pengaruh magnesium Sulfat sebagai anti-kovulsi pada
preeklampsia/ekslampsia.

14
 Penatalaksanaan Atonia Uteri
Jika uterus tidak segera berkontraksi di dalam 15 detik setelah dilakukan
rangsangan taktil (masase) fundus uteri, maka dapat diduga telah terjadi atonia
uteri. Adapun penatalaksanaan atonia uteri, yaitu:
1. Kompresi Bimanual Internal (KBI)
1) Segera lakukan kompresi bimanual internal (KBI):
a) Pakai sarung tangan DTT/steril, kemudian secara hati-hati masukkan
satu tangan secara obstetrik (menyatukan kelima ujung jari (melalui
introitus ke dalam vagina.
b) Periksa vagina dan serviks. Jika ada bekuan darah pada kavum uteri
maka segera keluarkan karena kondisi ini dapat menyebabkan uterus
tidak dapat berkontraksi secara efektif.
c) Setelah melewati introitus dan berada di dalam vagina maka
kepalkan tangan dalam dan pada forniks anterior. Dengan dataran
jari-jari tangan dalam tekan dinding anterior segmen bawah uterus ke
arah tangan luar yang sedang mendorong dinding posterior uterus ke
arah depan sehingga uterus dijepit dari arah depan dan belakang.
d) Aplikasikan tekanan yang kuat pada uterus di antara kedua tangan.
Kompresi uterus ini mmberikan tekanan langsung pada pembuluh
darah yang berjalan diantara miometrium dan juga merangsang
miometrium untuk segera berkontraksi.
e) Evaluasi keberhasilan:
 Jika uterus berkontraksi dan perdarahan berkurang, teruskan
melakukan KBI selama dua menit, kemudian perlahan-lahan
keluarkan tangan dan pantau ibu secara melekat selama kala IV.
 Jika uterus berkontraksi tapi perdarahan masih berlangsung,
periksa ulang perineum vagina dan serviks apakah terjadi
laserasi. Jika demikian, segera lakukan penjahitan untuk
menghentikan perdarahan.

15
 Jika uterus tidak berkontraksi dalam waktu 5 menit, ajarkan
keluarga untuk melakukan kompresi bimanual eksternal,
kemudian lakukan langkah-langkah penatalaksanaan atonia uteri
selanjutnya.
 Jika penolong bekerja secara berkelompok maka tidak perlu
dilakukan tindakan KBE karena penolong dapat melanjutkan
KBI dan petugas lain diminta untuk memasang infus. Minta
keluarga untuk mulai menyiapkan rujukan.
Alasan: Atonia uteri seringkali bisa diatasi dengan KBI, jika
KBI tidak berhasil dalam waktu 5 menit maka diperlukan
berbagai upaya lainnya.
2) Berikan 0,2 mg ergometrin IM atau misoprostol 600 mcg per rektal.
Jangan berikan ergometrin kepada ibu dengan hipertensi karena
ergometrin dapat menaikkan tekanan darah.
3) Gunakan jarum berdiameter besar (ukuran 16 atau 18), pasang infus
larutan kristaloid untuk restorasi cairan secara cepat dan berikan
oksitosin 20 I.U. dalam 500 cc larutan Ringer Laktat dengan kecepatan
30 tetes/menit (pastikan oksitosin disimpan secara benar dan masih
efektif).
Alasan: Jarum berdiameter besar menungkinkan pemberian larutan IV
secara cepat dan dapat dipakai untuk transfusi darah (jika diperlukan).
Pemberian oksitosin secara intravena dengan tetesan yang tepat, dapat
merangsang kontraksi uterus. Oksitosin dosis besar tak boleh diberikan
secara bolus intravena karena dapat menyebabkan hipotensi. Oksitosin
dalam larutan kristaloid tidak boleh diguyur karena setelah 3 liter
cairan kristaloid dan 40 L.U. oksitosin intravena dapat terjadi edema
serebri dan ibu mengalami kejang.
4) Pakai sarung tangan DTT/Steril kemudian ulangi KBI.
Alasan: KBI dengan ergometrin dan oksitosin akan membantu uterus
berkontraksi.

16
5) Jika uterus tidak berkontraksi dalam waktu 1 sampai 2 menit, segera
rujuk ibu karena bukan atonia uteri sederhana. Ibu membutuhkan
tindakan gawat darurat di fasilitas rujukan yang mampu melakukan
tindakan operasi dan transfusi darah.
6) Sambil membawa ibu ke tempat rujukan, teruskan pemberian infus dan
uterotonit, juga KBI/KBE/Kompresi Aorta/ Tampon Kondom-Kateter
hingga ibu mencapai tempat rujukan.
a) Jika ibu pre-syok, ganti cairan darah yang hilang dengan kristaloid
1000 ml dalam 15 menit pertama. Jika syok, berikan kristaloid
1500-2000 ml dalam 15 menit pertama.
b) Berikan tambahan 750-1500 ml (tergantung kondisi ibu) dalam 30-
45 menit berikutnya. Jika setelah itu ternyata belum sampai
ditempat rujukan maka lanjutkan dengan yang sama untuk 45-60
menit berikutnya.
c) Pemberian cairan restorasi pada jam kedua dan selanjutnya harus
dikombinasi dengan koloid dengan perbandingan 3:1. Jika
konsentrasi hemoglobin darah ibu berada dibawah 6g% maka ibu
memerlukan tambahan transfusi darah.
2. Kompresi Bimanual Eksternal (KBE)
1) Letakkan satu tangan pada dinding abdomen, di dinding depan korpus
uteri dan di atas simfisis pubis.
2) Letakkan tangan lain pada dinding abdomen dan dinding belakang
korpus uteri, sejajar dengan dinding depan korpus uteri. Usahakan untuk
mencakup/memegang bagian belakang uterus seluas mungkin.
3) Lakukan kompresi uterus dengan cara saling mendekatkan tangan depan
dan belakang agar pembuluh darah di dalam anyaman miometrium dapat
dijepit secara manual. Cara ini dapat menjepit pembuluh darah uterus dan
membantu uterus untuk berkontraksi.
3. Kompresi Aorta Abdominalis
1) Lakukan perabaan pulsasi arteri femoralis yang berada pada perpotongan
garis imajiner yang melalui tepi atas simfisis dan lipat paha (inguinal).

17
2) Setelah ditemukan maka sisihkan uterus ke arah bawah (simfisis),
kemudian tekan umbilikus dengan tangan lain yang membentuk tinju
hingga mencapai dataran depan kolumna vertebralis.
3) Jika pulsasi arteri femoralis melemah atau hilang maka kompresi Aorta
Abdominalis berjalan efektif. Jika belum hilang maka geser permukaan
jari-jari yang menekan Aorta Abdominalis ke kiri atau kanan hingga
pulsasi arteri femoralis terhenti dan pertahankan hingga kontraksi
membaik dan perdarahan berhenti.

 Pemasangan Tampon Kondom Kateter


Pemasangan tampon untuk menghentikan perdarahan telah
dilakukan sejak beberapa dekade yang lalu. Sebelumnya, pemasangan
tampon menggunakan kasa padat yang untuk sesaat, terlihat seperti
menghentikan perdarahan tapi ternyata darah terhisap dan mengisi
gulungan kasa yang padat dan kemudian terdorong keluar disertai dengan
teriadinya gangguan hemodinamika (ibu mengalami syok) dan terjadi
kondisi gawat-darurat pasca persalinan. Hal ini menyebabkan tampon
padat utero vaginal tidak digunakan lagi untuk penanganan perdarahan
yang disebabkan oleh atonia uteri.
Saat ini, tamponade intrakaviter uterus menggunakan bahan yang
tak menyerap cairan tetapi dapat menghentikan perdarahan yang keluar
melalui bekas tempat implantasi plasenta. Bahan tampon tersebut adalah
karet yang berupa balon panjang yang salah satu ujungnya tertutup, yang
dikenal sebagai kondom. Untuk memasukkan cairan, digunakan kateter
yang dimasukkan hingga ke ujung kondom kemudian ujung bawah
kondom diikat dengan benang yang dilakukan hingga 2 kali. Tahap
pertama, ujung kondom diikat dengan tali (untuk pengikat tali pusat)
secara erat dan disimpul agar tidak bocor. Tahap kedua, sisa benang
dililitkan pada simpul dan ujung kondom agar kondom tidak bocor dan
cairan yang dimasukkan ke dalam kondom, mampu mencakup volume

18
kavum uteri dan menahan keluarnya darah dari bekas implantasi
plasenta.
Pegang bagian ujung kondom dan bentuk tangan obstetrik yang
kemudian masukkan tangan hingga mencapai fundus kemudian isi
kondom dengan 350 ml cairan (air DTT atau cairan infus) kemudian
suprasimfisis sambil mengeluarkan tangan hingga keluar seluruhnya.
Pertahankan tangan yang menekan suprasimfisis untuk memastikan
tampon tidak berubah posisinya dan perdarahan dapat dikendalikan. Jika
perdarahan masih mengalir sedikit maka cairan dapat ditambah 100 lagi
hingga perdarahan berhenti. Untuk menahan kateter, dapat dilakukan
pemasangan tampon Intravaginal yang harus dikeluarkan jika kontraksi
sudah membaik dan kuat. Kateter juga dapat direkatkan ke paha ibu
dengan plester dan pastikan tidak tergeser oleh gerakan kaki ibu.
Jika pada saat memasukkan cairan ternyata sudah melampaui 500
ml dan belum ada tanda bahwa perdarahan berkurang maka periksa
kembali apakah kondom pecah akibat dari kapasitas volume
maksimalnya adalah 500 ml atau terjadi kebocoran dari sela-sela ikatandi
dasar atau di ujung bawah kondom sehingga harus diperbaiki kembali
ikatannya. Tampon kondom harus dilepaskan jika kontraksi uterus telah
membaik dan ini dapat diakselerasi dengan tetesan oksitosin 10-20 IU
dengan tetesan pemeliharaan (gtt xxx per menit).

2.1.4.2. Retensio Plasenta


 Pengertian Retensio Plasenta
Retensio plasenta adalah terlambatnya kelahiran plasenta selama 30 menit
atau lebih setelah kelahiran bayi. Plasenta harus dikeluarkan karena dapat
menimbulkan bahaya perdarahan, infeksi sebagai benda mati, dapat terjadi
plasenta inkarserata, dapat terjadi polip plasenta dan terjadi degerasi ganas korio
karsioma. Sewaktu suatu bagian plasenta (satu atau lebih lobus) tertinggal, maka
uterus tidak dapat berkontraksi secara efektif dan keadaan ini dapat menimbulkan

19
perdarahan. Gejala dan tanda yang bisa ditemui adalah perdarahan segera, uterus
berkontraksi tetapi tinggi fundus tidak berkurang. (Prawiraharjo, 2005).
Plasenta tertahan jika tidak dilahirkan dalam 30 menit setelah janin lahir.
Plasenta mungkin terlepas tetapi terperangkap oleh seviks, terlepas sebagian,
secara patologis melekat (plasenta akreta, inkreta, percreta) (David, 2007)
Retensio plasenta adalah plasenta yang tidak terpisah dan menimbulkan
hemorrhage yang tidak tampak, dan juga disadari pada lamanya waktu yang
berlalu antara kelahiran bayi dan keluarnya plasenta yang diharapkan.beberapa
ahli klinik menangiani setelah 5 menit, kebanyakan bidan akan menunggu satu
setengah jam bagi plasenta untuk keluar sebelum menyebutnya untuk tertahan
(Varney’s, 2007).

 Patofisiologi Retensio Plasenta


Segera setelah anak lahir, uterus berhenti kontraksi namun secara perlahan
tetapi progresif uterus mengecil, yang disebut retraksi, pada masa retraksi itu
lembek namun serabut-serabutnya secara perlahan memendek kembali. Peristiwa
retraksi menyebabkan pembuluh-pembuluh darah yang berjalan dicelah-celah
serabut otot-otot polos rahim terjepit oleh serabut otot rahim itu sendiri. Bila
serabut ketuban belum terlepas, plasenta belum terlepas seluruhnya dan bekuan
darah dalam rongga rahim bisa menghalangi proses retraksi yang normal dan
menyebabkan banyak darah hilang.

 Tanda dan Gejala Retensio Plasenta


Gejala yang selalu ada adalah plasenta belum lahir dalam 30 menit,
perdarahan segera, kontraksi uterus baik. Gejala yang kadang-kadang timbul yaitu
tali pusat putus akibat traksi berlebihan, inversi uteri akibat tarikan, perdarahan
lanjutan. Tertinggalnya plasenta (sisa plasenta), gejala yang selalu ada yaitu
plasenta atau sebagian selaput (mengandung pembuluh darah) tidak lengkap dan
perdarahan segera. Gejala yang kadang-kadang timbul uterus berkontraksi baik
tetapi tetapi tinggi fundus tidak berkurang.

20
Penilaian retensio plasenta harus dilakukan dengan benar karena ini
menentukan sikap pada saat bidan akan mengambil keputusan untuk melakukan
manual plasenta, karena retensio bisa disebabkan oleh beberapa hal antara lain:
a. Plasenta adhesiva adalah implantasi yang kuat dari jonjot korion plasenta
sehingga menyebabkan kegagalan mekanisme separasi fisiologis.
b. Plasenta akreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga mencapai
sebagian lapisan miometrium, perlekatan plasenta sebagian atau total pada
dinding uterus. Pada plasenta akreta vilii chorialis menanamkan diri lebih
dalam kedalam dinding rahim daripada biasa adalah sampai kebatas atas
lapisan otot rahim. Plasenta akreta ada yang kompleta, yaitu jika seluruh
permukannya melekat dengan erat pada dinding rahim. Plasenta akreta yang
parsialis, yaitu jika hanya beberapa bagian dari permukaannya lebih erat
berhubungan dengan dinding rahim dari biasa. Plasenta akreta yang kompleta,
inkreta, dan precreta jarang terjadi. Penyebab plasenta akreta adalah kelainan
desidua, misalnya desisua yang terlalu tipis.
c. Plasenta inkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga mencapai /
melewati lapisan miometrium.
d. Plasenta perkreta adalah implantasi jonjot korion yang menembus lapisan
miometrium hingga mencapai lapisan serosa dinding uterus.
e. Plasenta inkar serata adalah tertahannya plasenta didalam kavum uteri,
disebabkan oleh kontriksi ostium uteri

 Faktor Predisposisi Retensio Plasenta


Beberapa faktor predisposisi terjadinya retensio plasenta yaitu:
a. Grandemultipara.
b. Kehamilan ganda,sehingga memerlukan implantasi plasenta yang agak luas.
c. Kasus infertilitas, karena lapisan endometriumnya tipis.
d. Plasenta previa, karena dibagian ishmus uterus, pembuluh darah sedikit
sehingga perlu masuk jauh kedalam.
e. Bekas operasi pada uterus.

21
 Penyebab Retensio Plasenta
Secara fungsional dapat terjadi karena his kurang kuat (penyebab
terpenting), dan plasenta sukar terlepas karena tempatnya (insersi disudut tuba),
bentuknya (plasenta membranacea, plasenta anularis), dan ukurannya (plasenta
yang sangat kecil). Plasenta yang sukar lepas karena penyebab di atas disebut
plasenta adhesive.
Tabel Gambaran dan Dugaan Penyebab Retensio Plasenta
Gejala Separasi/ Akreta Plasenta Plasenta
Parsial Inkarserata Akreta
Konsistensi Kenya Keras Cukup
uterus
Tinggi fundus Sepusat 2 jari bawah pusat Sepusat
Bentuk fundus Diskoid Agak globuler Diskoid
Perdarahan Sedang-banyak Sedang Sedikit/tidak
ada
Tali pusat Terjulur sebagian Terjulur Tidak terjulur
Ostium uteri Terbuka Kontriksi Terbuka
Separasi Lepas sebagian Sudah lepas Melekat
plasenta seluruhnya
Syok Sering Jarang Jarang sekali,
kecuali akibat
inversion pleh
tarikan kuat
pada tali pusat.

 Tertinggalnya Sebagian Palsenta


Sewaktu suatu bagian dari plasenta (satu atau lebih lobus) tertinggal, maka
uterus tidak dapat berkontraksi secara efektif dan keadaan ini dapat menimbulkan
perdarahan. Tetapi mungkin saja pada beberapa keadaan tidak ada perdarahan
dengan sisa plasenta. Penemuan secara dini hanya di mungkinkan dengan
melakukan pemeriksaan kelengkapan plasenta setelah dilahirkan. Pada kasus sisa
plasenta dengan perdarahan pasca persalinan lanjut, sebagian besar pasien akan
kembali lagi ketempat bersalin dengan keluhan perdarahan setelah beberapa hari
pulang kerumah dan subinvolusi uterus:

22
a. Penemuan secara dini hanya dimungkinkan dengan melakukan pemeriksaan
kelengkapan plasenta setelah dilahirkan. Pada kasus sisa plasenta dengan
perdarahan pasca persalinan lanjut, sebagian besar pasien akan kembali lagi
ketempat bersalin dengan keluhan perdarahan setelah beberapa hari pulang
kerumah dan subinvolusi uterus.
b. Berikan antibiotika (sesuai intruksi dokter) karena perdarahan juga
merupakan gejala metritis. Antibiotika yang dipilih adalah ampisilin dosis
awal 1 g IV dilanjukan 3×1 g oral dikombinasi dengan metrodinazol 1 g
supositoria dilanjutkan 3 x 500 mg oral.
c. Lakukan eksplorasi digital (bidan boleh melakukan) (bila serviks terbuka) dan
mengeluarkan bekuan darah atau jaringan. Bila serviks hanya dapat dilalui
oleh instrumen, lakukan evakuasi sisa plasenta dengan dilatasi dan kuretase
(dilakukan oleh dokter obgyn).
d. Bila kadar HB < 8 g/dL berikan transfusi darah. Bila kadar HB > 8 g/dL,
berkian sulfas ferosus 600 mg/hari selama 10 hari (sesuai petunjuk dokter
kandungan).

 Komplikasi Retensio Plasenta


Plasenta harus dikeluarkan karena dapat menimbulkan bahaya, yaitu :
a. Perdarahan
Terjadi terlebih lagi bila retensio plasenta yang terdapat sedikit pelepasan
hingga kontraksi memompa darah tetapi bagian yang melekat membuat luka
tidak menutup.
b. Infeksi
Karena sebagai benda mati yang tertinggal didalam rahim meingkatkan
pertumbuhan bakteri dibantu dengan pot d’entre dari tempat perlekatan
plasenta.
c. Terjadi polip plasenta sebagai masa proliferative yang mengalami infeksi
sekunder dan nekrosis.
d. Terjadi degenerasi (keganasan) koriokarsinoma

23
Dengan masuknya mutagen, perlukaan yang semula fisiologik dapat berubah
menjadi patologik (displastik-dikariotik) dan akhirnya menjadi karsinoma
invasive, proses keganasan akan berjalan terus. Sel ini tampak abnormal
tetapi tidak ganas. Para ilmuwan yakin bahwa beberapa perubahan abnormal
pada sel-sel ini merupakan langkah awal dari serangkaian perubahan yang
berjalan lambat, yang beberapa tahun kemudian bisa menyebabkan kanker.
Karena itu beberapa perubahan abnormal merupakan keadaan pre kanker,
yang bisa berubah menjadi kanker (Manuaba, IGB. 1998:300)

 Penanganan Retensio Plasenta


a. Tentukan jenis retensio yang terjaid karena berkaitan dengan tindakan yang di
ambil.
b. Regangkan tali pusat dan minta pasien untuk mengedan. Bila ekspulsi
plasenta tidak terjadi, coba traksi terkontrol tali pusat.
c. Pasang infus oksitosin 20 IU dalam 500 mL NS/RL dengan 40 tetes permenit.
Bila perlu, kombinasikan dengan misoprostol 400 mg per rektal (sebaiknya
tidak menggunakan ergometrin karena kontraksi tonik yang timbul dapat
menyebabkan plasenta terperangkap dalam kavum uteri).
d. Bila traksi terkontrol gagal untuk melahirkan plasenta, lakukan manual
palsenta secara hati-hati dan halus untuk menghindari terjadinya perforasi dan
perdarahan.
e. Lakukan tranfusi darah apabila diperlukan.
f. Berikan antibiotika profilaksis (ampisislin 2 g IV/oral + metronidazole 1 g
supositoria/oral).
g. Segera atasi bila terjadi komplikasi perdarahan hebat, infeksi, syok
neurogenik.

2.1.4.3. Rupture Perineum dan Robekan Dinding Vagina


 Pengertian Rupture Perineum/Robekan Dinding Vagina

24
Perineum merupakan daerah tepi bawah vulva dengan tepi depan anus.
Perineum meregang pada saat persalinan kadang perlu dipotong (episiotomi)
untuk memperbesar jalan lahir dan mencegah robekan.
Ruptur adalah luka pada perineum yang diakibatkan oleh rusaknya
jaringan secara alamiah karena proses desakan kepala janin atau bahu pada saat
persalinan. Bentuk ruptur biasanya tidak teratur sehingga jaringan yang robek
sulit dilakukan penjahitan.
Ruptur perineum adalah robeknya perineum pada jalan lahir. Berbeda
dengan episiotomi, robekan ini bersifatnya traumatik karena perineum tidak kuat
menahan regangan pada saat janin lewat. Menurut Oxorn, robekan perineum
adalah robekan obstetrik yang terjadi pada daerah perineum akibat
ketidakmampuan otot dan jaringan lunak pelvik untuk mengakomodasi lahirnya
fetus. Persalinan sering kali menyebabkan perlukaan jalan lahir. Luka yang terjadi
biasanya ringan tetapi seringkali juga terjadi luka yang luas dan berbahaya, untuk
itu setelah persalinan harus dilakukan pemeriksaaan vulva dan perineum. Robekan
perineum terjadi hampir pada semua persalinan pertama dan tidak jarang pada
persalinan berikutnya. Namun hal ini dapat dihindarkan atau dikurangi dengan
menjaga sampai dasar panggul dilalui oleh kepala janin dengan cepat.

 Tanda – Tanda dan Gejala Rupture Perineum


Bila perdarahan masih berlangsung meski kontraksi uterus baik dan tidak
didapatkan adanya retensi plasenta maupun adanya sisa plasenta, kemungkinan
telah terjadi perlukaan jalan lahir. Tanda dan gejala robekan jalan lahir
diantaranya adalah perdarahan, darah segar yang mengalir setelah bayi lahir,
uterus berkontraksi dengan baik, dan plasenta normal. Ciri khas robekan jalan
lahir adalah kontraksi uterus kuat, keras dan mengecil, perdarahan terjadi
langsung setelah anak lahir, perdarahan ini terus menerus setelah massase atau
pemberian uterotonika langsung mengeras tapi perdarahan tidak berkurang.
Dalam hal apapun, robekan jalan lahir harus dapat diminimalkan karena tak jarang
perdarahan terjadi karena robekan dan ini menimbulkan akibat yang fatal seperti
terjadinya syok.

25
 Tingkatan Ruptur Perineum
Terdapat 4 tingkatan pada rupture perineum, yaitu:
1. Tingkat I
Robekan hanya terjadi pada selaput lendir vagina dengan atau mengenai kulit
perineum sedikit.
2. Tingkat II
Robekan yang terjadi lebih dalam, yaitu selain mengenai selaput lendir
vagina, juga mengenai musculus perinei tranversalis, tapi tidak mengenai
sfingter ani.
3. Tingkat III
Robekan yang terjadi mengenai seluruh perineum sampai mengenai otot-otot
sfingter ani.
4. Tingkat IV
Robekan mengenai perineum sampai otot sfingter ani dan mukosa rektum.

 Ruptur Perineum yang Disengaja (Episiotomi)


Episiotomi yaitu luka perineum yang terjadi karena dilakukan
pengguntingan atau perobekan pada perineum. Dahulu episiotomi dianjurkan
untuk mengurangi ruptur yang berlebihan pada perineum agar memudahkan
dalam penjahitan, mencegah penyulit atau tahanan pada kepala dan infeksi,
namun hal itu tidak didukung oleh bukti ilmiah yang cukup. Episiotomi boleh
dilakukan bila ada indikasi tertentu. Indikasi dilakukan episiotomy diantaranya
indikasi janin seperti distosia bahu dan persalinan bokong, operasi ekstraksi
vakum atau forsep, dan posisi oksiput posterior.

 Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Ruptur Ruptur Perineum


Ruptur perineum dapat terjadi karena beberapa faktor, diantaranya:

26
1. Faktor Ibu
Meliputi partus presipitatus, ibu primipara, pasien tidak mampu berhenti
mengejan, edema dan kerapuhan perineum, varikositas vulva yang
melemahkan jaringan perineum, arkus pubis yang sempit dengan pintu bawah
panggul yang sempit pula sehingga menekan kepala bayi ke arah posterior.
Primipara adalah seorang wanita yang melahirkan bayi hidup untuk pertama
kalinya. Robekan perineum terjadi hampir semua persalinan pertama dan
tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Pada primipara atau orang yang
baru pertama kali melahirkan factor risikonya adalah kelenturan perineum.
Perineum yang kaku dan tidak elastis akan menghambat persalinan kala II
dan dapat meningkatkan risiko terhadap janin. Perineum yang belum pernah
dilalui oleh kepala bayi tidak dapat menahan tegangan yang kuat sehingga
robek pada pinggir depannya. Luka biasanya ringan tetapi kadang-kadang
juga terjadi luka yang luas dan berbahaya.
2. Faktor Penolong
Diantaranya adalah pimpinan persalinan yang salah, cara menahan perineum
dan cara berkomunikasi penolong dengan ibu bersalin dapat mempengaruhi
terjadinya rupture perineum.
3. Faktor Janin
Salah satu penyebabnya adalah berat badan bayi lahir, posisi kepala yang
abnormal, ekstraksi forceps yang sukar, distosia bahu, dan anomaly
congenital seperti hydrocephalus. Hal ini terjadi karena berat bayi yang besar
sehingga sulit melewati panggul dan menyebabkan terjadinya ruptur
perineum pada ibu bersalin. Pada bayi dengan berat badan lahir cukup besar,
ruptur spontan pada perineum dapat terjadi pada saat kepala dan bahu
dilahirkan. Pada saat melewati jalan lahir, berat badan bayi berpengaruh
terhadap besarnya penekanan terhadap otot-otot yang berada di sekitar
perineum sehingga perineum menonjol dan meregang sampai kepala dan
seluruh bagian tubuh bayi lahir. Semakin besar tekanan pada perineum,
semakin besar pula risiko terjadinya ruptur perineum.

27
 Komplikasi Ruptur Perineum
Resiko komplikasi yang mungkin terjadi jika ruptur perineum tidak segera
diatasi, yaitu:
1. Perdarahan
Perdarahan robekan jalan lahir selalu memberikan perdarahan dalam jumlah
yang bervariasi banyaknya. Perdarahan yang berasal dari jalan lahir selalu
harus dievaluasi , yaitu sumber dan jumlah perdarahan sehingga dapat diatasi.
Sumber perdarahan dapat berasal dari perineum, vagina, serviks, dan robekan
uterus (ruptur uteri). Perdarahan dapat dalam bentuk hematoma dan robekan
jalan lahir dengan perdarahan bersifat arteril atau pecahnya pembuluh darah
vena. Seorang wanita dapat meninggal karena perdarahan pasca persalinan
dalam waktu satu jam setelah melahirkan. Penilaian dan penatalaksanaan
yang cermat selama kala satu dan kala empat persalinan sangat penting.
Menilai kehilangan darah yaitu dengan cara memantau tanda vital,
mengevaluasi asal perdarahan, serta memperkirakan jumlah perdarahan
lanjutan dan menilai tonus otot.
2. Fistula
Fistula dapat terjadi tanpa diketahui penyebabnya karena perlukaan pada
vagina menembus kandung kencing atau rektum. Jika kandung kencing luka,
maka air kencing akan segera keluar melalui vagina. Fistula dapat menekan
kandung kencing atau rektum yang lama antara kepala janin dan panggul,
sehingga terjadi iskemia.
3. Hematoma
Hematoma dapat terjadi akibat trauma partus pada persalinan karena adanya
penekanan kepala janin serta tindakan persalinan yang ditandai dengan rasa
nyeri pada perineum dan vulva berwarna biru dan merah. Hematoma dibagian
pelvis bisa terjadi dalam vulva perineum dan fosa iskiorektalis. Biasanya
karena trauma perineum tetapi bisa juga dengan varikositas vulva yang timbul
bersamaan dengan gejala peningkatan nyeri. Kesalahan yang menyebabkan
disgnosis tidak diketahui dan memungkinkan banyak darah yang hilang.

28
Dalam waktu yang singkat, adanya pembengkakkan biru yang tegang pada
salah satu sisi introitus di daerah ruptur perineum.
4. Infeksi
Infeksi pada masa nifas adalah peradangan di sekitar alat genital pada kala
nifas. Perlukaan pada persalinan merupakan tempat masuknya kuman ke
dalam tubuh sehingga menimbulkan infeksi. Dengan ketentuan meningkatkan
suhu tubuh melebihi 38o celcius, tanpa menghitung pireksia nifas. Setiap
wanita yang mengalami pireksia nifas harus diperhatikan, diisolasi dan
dilakukan inspeksi pada traktus genitalis untuk mencari laserasi, robekan atau
luka episiotomi.

 Penatalaksanaan Rupture Perineum dan Robekan Dinding Vagina


Langkah-langkah penanganan pada rupture perineum, yaitu:
1. Lakukan eksplorasi untuk mengidentifikasi lokasi laserasi dan sumber
perdarahan.
2. Lakukan irigasi pada tempat luka dan bubuhi larutan antiseptik.
3. Jepit dengan ujung klem sumber perdarahan kemudian ikat dengan benang
yang dapat diserap.
4. Lakukan penjahitan luka mulai dari bagian yang paling distal terhadap
operator.
5. Khusus pada ruptura perineum komplit (hingga anus dan sebagian rektum)
dilakukan penjahitan lapis demi lapis dengan bantuan busi pada rektum,
sebagai berikut:
a) Setelah prosedur aseptik-antiseptik, pasang busi rektum hingga ujung
robekan.
b) Mulai penjahitan dari ujung robekan dengan jahitan dan simpul
submukosa, menggunakan benang poliglikolik no. 2/0 (Dexon/Vicryl)
hingga ke sfingter ani. Jepit kedua sfingter ani dengan klem dan jahit
dengan benang no. 2/0.
c) Lanjutkan penjahitan ke lapisan otot perineum dan submukosa dengan
benang yang sama (atau kromik 2/0) secara jelujur.

29
d) Mukosa vagina dan kulit perineum dijahit secara submukosal dan
subkutikuler.
e) Berikan antibiotika profilaksis (ampisilin 2 g dan metronidazol 1 g per
oral). Terapi penuh antibiotika hanya diberikan apabila luka tampak
kotor atau dibubuhi ramuan tradisional atau terdapat tanda-tanda infeksi
yang jelas.
Langkah-langkah penanganan pada robekan serviks, yaitu:
1. Robekan serviks sering teriadi pada sisi lateral karena serviks yang terjulur,
akan mengalalami robekan pada posisi spina isiаdika tertekan oleh kepala
bayi.
2. Bila kontraksi uterus baik, plasenta lahir lengkap, tetapi terjadi perdarahan
banyak segera lihat bagian lateral bawah kiri dan kanan dari porsio.
3. Jepitkan klem ovum pada kedua sisi porsio yang robek sehingga perdarahan
dapat segera dihentikan. Jika setelah eksplorasi lanjutan tidak dijumpai
robekan jalan lain, lakukan penjahitan. jahitan dimulai dari ujung atas
robekan kemudian kea rah luar sehingga senua robekan dapat dijahit.
4. Setelah tindakan, periksa tanda vital pasien, kontraksi uterus, tinggi fundus
uteri dan perdarahan pasca-tindakan.
5. Beri antibiotika profilaksis, kecuali bila jelas ditemuai tanda-tanda infeksi.
6. Bila terjadi deficit cairan, lakukan restorasi dan bila kadar Hb di bawah 8 gr
%, berikan tranfusi darah.

2.2. Kala IV Persalinan


2.2.1. Pengertian Kala IV Persalinan
Kala IV persalinan disebut juga kala pengawasan. Kala IV persalinan
dimulai setelah lahirnya plasenta dan hingga 2 jam pasca persalinan atau post
partum.

2.2.2. Manajemen Aktif kala IV Persalinan


Setelah plasenta lahir:

30
1. Lakukan rangsangan taktil (masase) uterus dapat membuat uterus
berkontraksi secara adekuat dan efektif.
2. Evaluasi tinggi fundus dilakukan dengan cara meletakkan telunjuk sejajar tepi
atas fundus. Umumnya, fundus uteri setinggi atau 2 jari di bawah pusat. Hasil
pemeriksaan dapat dituliskan sebagai berikut: "tinggi fundus uteri, dua jari di
bawah pusat".
3. Estimasi kehilangan darah secara keseluruhan.
4. Periksa kemungkinan perdarahan dari robekan (laserasi atau episiotomi)
perineum.
5. Evaluasi keadaan umum ibu.
6. Dokumentasikan semua asuhan/temuan selama persalinan kala empat di
halaman 2 partograf, segera setelah asuhan diberikan atau setelah penilaian
dilakukan.
Catatan:
WHO/UNICEF/IVACG Task Force, 2006 merekomendasikan pemberian
vitamin A 200.000 IU sebanyak 2 kali dalam selang waktu 24 jam pada ibu
pasca bersalin untuk memperbaiki kadar vitamin A pada ASI dan mencegah
terjadinya lecet puting susu. Selain itu, suplementasi vitamin A akan
meningkatkan daya tahan ibu terhadap infeksi perlukaan/laserasi selama
persalinan.

2.2.3. Memperkirakan Kehilangan Darah


Sangat sulit untuk memperkirakan kehilangan darah secara tepat karena
daeah sering bercampur dengan cairan ketuban atau urin dan mungkin terserap
handuk, kain atau sarung. Tak mungkin menilai kehilangan darah secara akurat
melalui penghitungan jumlah sarung karena ukuran sarung bermacam-macam dan
mungkin telah diganti jika terkena sedikit daran atau basd oleh darah. Meletakkan
wadah atau pispot di bawah bokong ibu untuk mengumpulkan darah, bukanlah
cara efektif untuk mengukur kehilangan darah dan cerminan asuhan sayang ibu
karena berbaring di atas wadah atau pispot sangat tidak nvaman dan menyulitkan
ibu untuk memegang dan menyusukan bayinya.

31
Satu cara sederhana untuk menilai kehilangan darah adalah dengan melihat
volume darah yang terkumpul dan memperkirakan berapa banyak botol 500 ml
dapat menampung semua darah tersebut. Jika darah bisa mengisi dua botol, ibu
telah kehilangan satu liter darah. Jika darah bisa mengisi setengah botol, ibu
kehilangan 250 ml darah. Memperkirakan kehilangan darah hanyalah salah satu
cara untuk menilai kondisi ibu. Cara tak langsung untuk mengukur jumlah
kehilangan darah adalah melalui penampakan gejala dan tekanan darah.
Apabila perdarahan menyebabkan ibu lemas, pusing dan kesadaran
menurun serta tekanan darah sistolik turun lebih dari 30 mmHg dari kondisi
sebelumnya maka telah terjadi perdaranan 500-1000 ml. Bila ibu mengalami syok
hipovolemik maka ibu telah kehilangan darah 50% dari total jumlah darah ibu
(2000-2500 ml). Penting untuk selalu memantau keadaan umum dan menilai
jumlah kehilangan darah ibu selama kala empat melalui tanda vital, jumlah
darah yang keluar dan kontraksi uterus.

2.2.4. Memeriksa Kondisi Perineum


Perhatikan dan temukan penyebab perdarahan dari laserasi/robekan
perineum atau vagina. Nilai perluasan laserasi perineum. Laserasi diklasifikasikan
berdasarkan luasnya robekan, yaitu:
1. Derajat Satu
 Mukosa vagina.
 Komisura posterior.
 Kulit perineum.
 Tak perlu dijahit jika tidak ada perdarahan dan aposisi luka baik.
2. Derajat Dua
 Mukosa vagina.
 Komisura posterior.
 Kulit perineum.
 Otot perineum.
 Jahit menggunakan teknik jelujur.
3. Derajat Tiga

32
 Mukosa vagina.
 Komisura posterior.
 Kulit perineum.
 Otot perineum.
 Otot sfingter ani.
 Penolong APN tidak dibekali keterampilan untuk reparasi laserasi
perineum derajat tiga segera rujuk ke fasilitas rujukan.
4. Derajat Empat
 Mukosa vagina.
 Komisura posterior.
 Kulit perineum.
 Otot perineum.
 Otot sfingter ani.
 Dinding depan rectum.
 Penolong APN tidak dibekali keterampilan untuk reparasi laserasi
perineum derajat empat segera rujuk ke fasilitas rujukan.

2.2.5. Pencegahan Infeksi Kala IV


Setelah persalinan, dekontaminasi alas plastik, tempat tidur dan matras
dengan larutan klorin 0.5% kemudian cuci dengan deterjen dan bilas dengan air
bersih. Jika sudah bersih, keringkan dengan kain bersih supaya ibu tidak berbaring
di atas matras yang basah. Dekontaminasi linen yang digunakan selama persalinan
dalam larutan klorin 0,5% dan kemudian cuci segera dengan air dan deterien.

2.2.6. Pemantauan Keadaan Umum Ibu


Sebagian besar kesakitan dan kematian ibu akibat perdarahan pasca
persalinan teriadi dalam 4 jam pertama setelah kelahiran bayi. Karena alasan ini,
sangatlah penting untuk memantau ibu secara ketat segera setelah persalinan. Jika
tanda-tanda vital dan kontraksi uterus masih dalam batas normal selama dua jam
pertama pasca persalinan, mungkin ibu tidak akan mengalami perdarahan pasca

33
persalinan. Penting untuk berada di samping ibu dan bayinya selama dua jam
pertama pasca persalinan.
Terdapat hal-hal yang harus dipantau selama 2 jam pertama pasca
persalinan, yaitu:
1. Pantau tekanan darah, nadi, tinggi fundus, kandung kemih dan darah yang
keluar setiap 15 menit selama satu jam pertama dan setiap 30 menit selama
satu jam kedua kala empat. Jika ada temuan yang tidak normal, tingkatkan
frekuensi observasi dan penilaian kondisi ibu.
2. Masase uterus membuat uterus berkontraksi baik setiap 15 menit selama satu
jam pertama dan setiap 30 menit selama jam kedua kala IV. Jika ada temuan
yang tidak normal, tingkatkan frekuensi observasi dan penilaian kondisi ibu.
3. Pantau temperatur tubuh setiap jam dalam dua jam pertama pasca persalinan.
Jika meningkat, pantau dan tata laksana sesuai dengan apa yang diperlukan.
4. Nilai jumlah darah yang ke luar. Periksa perineum dan vagina setiap 15 menit
selama satu jam pertama dan setiap 30 menit selama jam kedua pada kala IV.
Ajarkan ibu dan keluarganya bagaimana menilai kontraksi uterus dan jumlah
darah yang keluar dan bagaimana melakukan masase jika uterus menjadi
lembek.
5. Minta anggota keluarga untuk memeluk bayi. Bersihkan dan bantu ibu
mengenakan baju atau sacung yang bersih dan kering, atur posisi ibu agar
nyaman, duduk bersandarkan bantal atau berbaring miring. Jaga agar bayi
diselimuti dengan baik, bagian kepala tertutup baik, kemudian berikan bayi
ke ibu dan anjurkan untuk dipeluk dan diberi ASI.
6. Lakukan asuhan esensial bagi bayi baru lahir.
Jangan gunakan kain pembebat perut selama dua jam pertama pasca
persalinan atau hingga kondisi ibu sudah stabil. Kain pembebat perut menyulitkan
penolong untuk menilai kontraksi uterus secara memadai. Jika kandung kemih
penuh, bantu ibu untuk mengosongkan kandung kemihnya dan anjurkan untuk
mengosongkannya setiap kali diperlukan.
Ingatkan ibu bahwa keinginan untuk berkemih mungkin berbeda setelah
dia melahirkan bayinya. Jika ibu tak dapat berkemih, bantu ibu dengan cara

34
menyiramkan air bersih dan hangat ke perineumnya. Berikan privasi atau
masukkan jari-jari kaki ibu ke dalam air hangat untuk merangsang keinginan
berkemih secara spontan. Jika setelah berbagai upaya tersebut, ibu tetap tidak
dapat berkemih secara spontan, mungkin perlu dilakukan kateterisasi. Jika
kandung kemih penuh atau dapat dipalpasi, gunakan teknik aseptik saat
memasukkan kateter Nelaton DTT atau steril untuk mengosongkan kandung
kemih. Setelah kandung kemih dikosongkan, lakukan masase pada fundus agar
uterus berkontraksi baik.
Sebelum meninggalkan ibu, pastikan bahwa ia dapat berkemih sendiri
dan keluarganyq mengetahui bagaimana menilai kontraksi dan jumlah
darah yang keluar. Ajarkan pada mereka bagaimana mencari pertolongan jika
ada tanda-tanda bahaya seperti demam, perdarahan aktif, keluar banyak bekuan
darah, lokhia berbau dari vagina, pusing, kelemahan berat atau luar biasa, adanya
penyulit dalam menyusukan bayinya, nyeri panggul atau abdornen yang lebih
hebat dari nyeri kontraksi biasa.

BAB III
PENUTUP

35
3.1. Simpulan
Kala III persalinan disebut juga sebagai kala uri atau kala pengeluaran
plasenta. Kala III dimulai setelah bayi lahir hingga kelahiran plasenta dan selaput
ketuban. Lama kala III persalinan berlangsung kurang lebih 30 menit. Manajemen
aktif kala III (MAK III) bertujuanuntuk membuat uterus berkontraksi lebih efetif
sehingga dapat mempersingkat waktu, mencegah perdarahan dan mengurangi
kehilangan darah selama kala III persalinan jika dibandingkan dengan pelepasan
plasenta secara spontan. Manajemen aktif aktif kala III (MAK III) terdiri dari tiga
langkah utama yaitu pemberian suntikan oksitosin, melakukan penegangan tali
pusat terkendali, dan melakukan rangsangan taktil (masase) fundus uteri.
Kala IV persalinan disebut juga kala pengawasan. Kala IV persalinan
dimulai setelah lahirnya plasenta dan hingga 2 jam pasca persalinan atau post
partum. Manajemen aktif kala IV dilakukan setelah plasenta lahir, hal-hal yang
harus dilakukan pada kala IV persalinan, yaitu:
1. Lakukan rangsangan taktil (masase) uterus dapat membuat uterus
berkontraksi secara adekuat dan efektif.
2. Evaluasi tinggi fundus dilakukan dengan cara meletakkan telunjuk sejajar tepi
atas fundus. Umumnya, fundus uteri setinggi atau 2 jari di bawah pusat. Hasil
pemeriksaan dapat dituliskan sebagai berikut: "tinggi fundus uteri, dua jari di
bawah pusat".
3. Estimasi kehilangan darah secara keseluruhan.
4. Periksa kemungkinan perdarahan dari robekan (laserasi atau episiotomi)
perineum.
5. Evaluasi keadaan umum ibu.
6. Dokumentasikan semua asuhan/temuan selama persalinan kala empat di
halaman 2 partograf, segera setelah asuhan diberikan atau setelah penilaian
dilakukan.

3.2. Saran

36
Semoga, apa yang kita pelajari dalam makalah ini dapat kita pelajari dengan
sungguh-sungguh, dan dapat kita terapkan dengan baik. Demikianlah makalah
tentang “Kala III dan Kala IV Persalinan”. Semoga makalah ini bermanfaat bagi
kita semua baik saya yang membuat maupun anda yang membaca. Saya
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu saran
dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca saya harapkan demi
kesempurnaan makalah ini.

37
DAFTAR PUSTAKA

APN. 2017. Asuhan Esensial nagi Ibu Bersalin dan Bayi Baru Lahir Serta
Penatalaksanaan Komplikasi Segera Pasca Persalinan dan Nifas.
Jakarta: JNPK-KR.
Prawirohardjo, Sarwono. 2018. Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.
Jakarta: PT. Bina Pustaka.
Diane, M. Fraser dan Margaret A. Cooper. 2009. Buku Aajar Bidan Myles Ed. 14.
Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai