Anda di halaman 1dari 9

PENGARUH PROPORSI WANITA DALAM DEWAN DIREKSI DAN DEWAN

KOMISARIS TERHADAP TINGKAT PENGUNGKAPAN CORPORATE SOCIAL


RESPONSIBILITY

Oleh:

AKSA RAHAYULIA

1710532048

SEMINAR AKUNTANSI KEUANGAN

Pembimbing:

Dr. Elvira Luthan, M.Si, Ak

AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS ANDALAS

2020
I. Pendahuluan

Pelaporan akuntansi telah digunakan sebagai media perantara oleh manajemen


perusahaan untuk menyampaikan informasi kepada pemilik perusahaan. Hal ini terjadi
lantaran perkembangan akuntansi yang kiat pesat sejak revolusi industri. Sehingga berakibat
pada keberpihakan entitas kepada kepentingan investor. Di mana manajemen perusahaan
akan berupaya semaksimal mungkin memanfaatkan sumber daya yang mereka miliki untuk
dikelolanya. Sumber daya tersebut termasuk sumber daya alam dan sumber daya manusia
(masyarakat/sosial). Pemanfaatan tersebut berakhir dengan terganggunya kehidupan
masyarakat dalam tatanan sosial dan kerusakan lingkungan alam. Hal inilah yang terjadi pada
paham kapitalisme, yang berorientasi pada keuntungan material saja (Reni & Anggraini,
2006).

Menurut akuntansi konvensional, investor dan kreditor adalah pihak-pihak yang harus
diutamakan sementara pihak yang lain diabaikan dengan alasan mereka tidak memberikan
kontribusi langsung kepada perusahaan. Tetapi dewasa ini muncul tuntutan lebih besar
terhadap perusahaan. Perusahaan diharapkan tidak hanya memperhatikan kepentingan
stockholders dan bondholder saja tetapi juga harus memperhatikan kepentingan pihak lain
seperti masyarakat, pelanggan, dan employee. Sehingga perusahaan memiliki tanggung jawab
sosial kepada pihak-pihak di luar manajemen dan pemilik perusahaan (Reni & Anggraini,
2006).

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR)


merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan sebagai wujud nyata
perusahaan yang tidak hanya bertanggungjawab atas profit (single bottom line), tetapi juga
bertanggung jawab terhadap lingkungan dan masyarakat (triple bottom line) (Wahyuningsih
& Rasmini, 2020). Dalam kata lain, CSR mengacu pada kebijakan perusahaan yang
memperhatikan dampak kegiatan bisnis mereka terhadap lingkungan, konsumen, karyawan,
dan masyarakat (Alazzani et al., 2019). Sehingga Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
menjadi topik penting untuk dibahas dan diteliti dalam akuntansi dan bisnis.

Umumnya kegiatan CSR disampaikan oleh perusahaan dalam bentuk laporan


(Anggraeni & Djakman, 2017). Di beberapa negara, Tanggung Jawab Perusahaan atau
Pelaporan Keberlanjutan menjadi bagian tak terpisahkan dari Laporan Tahunan perusahaan,
dan jumlah perusahaan yang menerbitkan Laporan Keberlanjutan yang berdiri sendiri
semakin meningkat. Finlandia adalah negara pertama yang mengadopsi Undang-Undang
Kewajiban Pelaporan Keberlanjutan pada tahun 1997. Negara lain yang juga telah
mengadopsi undang-undang Pelaporan Keberlanjutan bersifat wajib seperti: Australia,
Austria, Kanada, Denmark, Prancis, Jerman, Yunani, India, Italia, Jepang, Malaysia,
Meksiko, Belanda, Norwegia, Portugal, Afrika Selatan, Swedia, Inggris dan Amerika Serikat
(Alazzani et al., 2019).

Di Indonesia sendiri aktivitas Corporate Social Responsibility juga bersifat wajib. Hal
ini sesuai dengan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Namun, format
Laporan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan masih sangat bervariatif sebab aturan baku
dalam menyajikan kegiatan CSR belum ada (Anggraeni & Djakman, 2017). Dengan kata
lain, Pelaporan Tanggung Jawab Perusahaan bersifat mandatory dan sekaligus voluntary.

Menurut Anggraeni & Djakman (2017) Corporate Social Responsibility Disclosure


dipengaruhi oleh sumber daya yang perusahaan miliki. Karena dalam pelaksanaan dan
pelaporannya membutuhkan resource yang memadai. Resource-based berpendapat bahwa
salah satu resource yang dimiliki entitas adalah dewan, sebab mereka bersifat representatif
atas kepentingan stockholders dan stakeholders lainnya sehingga personalitas dewan akan
menentukan kebijakan apa yang akan diputuskan oleh perusahaan.

Personalitas dewan yang digunakan dalam makalah ini adalah feminisme dewan.
Hadirnya wanita dalam jajaran dewan direksi dan dewan komisaris akan menciptakan tata
kelola perusahaan yang lebih baik. Wanita dinilai dapat memberikan perspektif yang berbeda
dalam setiap keputusan-keputusan penting perusahaan (Anggraeni & Djakman, 2017).

Selama kurun waktu sembilan tahun terakhir, entitas yang dalam struktur dewannya
mewakilkan wanita mempunyai kinerja harga saham yang lebih baik, ROE yang lebih tinggi,
serta memiliki average growth yang lebih baik dibanding entitas yang hanya berstrukturkan
laki-laki pada jajaran dewan. Hal ini didukung oleh penelitian lain yang mengatakan bahwa
keberagaman dalam dewan berpengaruh baik terhadap dengan kinerja perusahaan
(Anggraeni & Djakman, 2017).

Kebijakan pengelolaan tanggung jawab sosial perusahaan akan lebih baik ditangani
oleh wanita karena dinilai memiliki tingkat kepekaan yang lebih tinggi terhadap isu sosial
dan lingkungan (Liao et al., 2015). “Anggota dewan wanita juga ditemukan lebih partisipatif,
lebih terorganisir, lebih tekun, lebih kritis, dan dapat lebih menciptakan atmosfer kerja yang
lebih baik” (Anggraeni & Djakman, 2017: 96). Oleh sebab itu, semakin diversifikatif gender
dewan akan semakin luas Corporate Social Responsibility Disclosure (Rao et al., 2012).
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam makalah ini menjadi
pertanyaan sebagai berikut: apakah keberadaan wanita dalam dewan direksi dan dewan
komisaris berpengaruh terhadap tingkat pengungkapan Corporate Social Responsibility
(CSR).

II. Pembahasan
II.1 Proporsi Wanita dalam Dewan Direksi dan Dewan Komisaris
Teori ketergantungan sumber daya menjelaskan peran direksi dan dewan komisaris.
Direksi dan komisaris memiliki fungsi yang berbeda dalam perusahaan. Ada pemisah yang
jelas diantara keduanya, yaitu sebagai fungsi manajemen dan fungsi pengawasan. Dewan
manajemen bertanggungjawab memimpin perusahaan dan dewan pengawas bertugas
memantau dan menasihati anggota dewan manajemen mengenai keputusan penting (Dienes
& Velte, 2016).
Upper echelons theory berpendapat bahwa dalam membuat keputusan penting,
pembuat keputusan utama organisasi bisnis dipengaruhi oleh keragaman tim manajemen
puncak. Hal ini tercermin dalam karakteristik dan keistimewaan manajerial seperti usia,
masa kerja, latar belakang fungsional dan pengalaman pendidikan yang menangkap nilai-
nilai, kognisi dan persepsi. Teori ini juga menjelaskan karakteristik demografis dan
psikologis manajer, terutama nilai-nilai pribadi individu berdampak pada hasil organisasi
karena keduanya merupakan variabel kunci dalam cara manajer membuat pilihan strategis.
Salah satu nilai-nilai tersebut adalah gender (Alazzani et al., 2019).
Nilai-nilai yang dibawa oleh perempuan pada manajemen atas pada proses organisasi
sebagai berikut: perempuan lebih berorientasi sosial daripada laki-laki, lebih
memperhatikan pemangku kepentingan, lebih peka dan peduli, lebih rentan dalam
menciptakan itikad baik dan memberikan perhatian terhadap masalah dan lebih cenderung
fokus pada ukuran kinerja non-keuangan, seperti kepuasan karyawan dan pelanggan, dan
CSR. Meskipun tidak secara khusus diidentifikasi dalam kerangka eselon atas yang asli, ada
konsensus yang berkembang bahwa gender adalah karakteristik lain dari manajer puncak
yang mempengaruhi nilai, kognisi, persepsi, dan proses keputusan mereka. Hasil organisasi
terkait dengan keragaman gender dewan, karena perempuan dan laki-laki cenderung
membawa pengetahuan, pengalaman dan nilai yang berbeda ke dalam jajaran dewan, baik
itu direksi maupun komisaris (Alazzani et al., 2019). Dan Teori Gender menjelaskan, jenis
kelamin seseorang menentukan perilakunya. Banyak studi empiris yang juga menyimpulkan
bahwa terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam pengambilan keputusan
berisiko dari dua aspek yaitu karakter individu dan respon terhadap lingkungan keuangan
(Wahyuningsih & Rasmini, 2020).
II.2 Corporate Social Responsibility (CSR)
Menurut World Business Council on Sustainable Development, Corporate Social
Responsibility adalah komitmen perusahaan untuk melaksanakan aktivitas sesuai dengan
etika perilaku dan keterlibatan perusahaan dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi yang
berkelanjutan. Kegiatan CSR dikomunikasikan perusahaan kepada para pemangku
kepentingan dalam bentuk sebuah laporan. Ada perusahaan yang menyajikannya dalam
bentuk laporan Corporate Social Responsibility, Sustainability Report, dan juga dalam
bentuk laporan tahunan. Dan di Indonesia sendiri tidak ada aturan yang mewajibkan
pengungkapan aktivitas CSR dalam bentuk laporan tertentu, semuanya dikembalikan
kepada perusahaan.
Pengungkapan CSR meliputi informasi pelaksanaan tanggung jawab perusahaan
terhadap masyarakat dan lingkungan. CSR merupakan konsekuensi dari kewajiban bisnis
untuk masyarakat dan bukan sebagai konsekuensi dari tujuan hukum atau ekonomi
(Gantyowati & Agustine, 2017). Menurut Anggraeni & Djakman (2017) tanggung jawab
sosial berisikan seperangkat kebijakan, program, dan inisiatif lainnya yang bertujuan
mensejahterakan sosial, lingkungan, dan masyarakat tanpa mengabaikan tujuan utama bisnis
itu sendiri.
CSR muncul sebagai respon atas kekhawatiran isu keberlanjutan sebuah organisasi.
Organisasi yang hanya berorientasi pada pencapaian profit semata pada akhirnya akan
tereliminasi karena mengabaikan tujuan lainnya, seperti kesejahteraan sosial dan lingkungan
(planet dan people). Kemunculan CSR dapat dijelaskan dengan tiga teori, stakeholder
theory dan legitimacy theory (Anggraeni & Djakman, 2017).
Stakeholder Theory adalah teori dasar yang digunakan untuk memahami diversifikasi,
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, dan Tata Kelola Perusahaan. Perusahaan beroperasi
tidak hanya untuk kepentingan sendiri, tetapi perusahaan juga harus mampu memberikan
manfaat kepada stakeholder. Benturan berbagai kepentingan dapat menimbulkan konflik.
Manajer cenderung lebih mengutamakan kepentingan individu daripada kepentingan
pemegang saham. Sehingga pengungkapan Corporate Social Responsibility menjadi
penting. Stakeholder perlu mengevaluasi dan mengetahui sejauh mana perusahaan
melaksanakan kegiatan Corporate Social Responsibility (Waluyo, 2017). Berdasarkan
penjelasan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa Corporate Social Responsibility dapat
dijadikan sebagai penyeimbang berbagai kepentingan tersebut (Anggraeni & Djakman,
2017).
Teori legitimasi merupakan teori yang mendasari inisiatif perusahaan yang
dengan sukarela mengungkapkan laporan CSR. Perusahaan menjalankan aktivitasnya
sebagai kontrak sosial dengan masyarakat yang mencakup norma-norma komunitas atau
lingkungan, sehingga manajemen lebih menitikberatkan pada interaksi antara perusahaan
dan masyarakat (Waluyo, 2017). Sehingga supaya entitas bisa terus sustain, maka entitas
harus memberikan perhatian terhadap norma, keadaan sosial dan lingkungan tempat mereka
beroperasi (Anggraeni & Djakman, 2017).
II.3 Hubungan Wanita dalam Dewan Direksi dan Dewan Komisaris dengan CSR
Alazzani et al. (2019) memberikan tinjauan komprehensif terhadap studi tentang
komposisi dewan dan CSR dengan memberikan perhatian khusus pada peran keberagaman
gender dewan. Mayoritas literatur tentang perbedaan gender berpendapat bahwa ada
perbedaan signifikanfi nilai, persepsi dan kepercayaan antara pria dan wanita. Perbedaan
tersebut kemungkinan besar akan mempengaruhi peran kepemimpinan termasuk peran
mereka sebagai dewan, apakah sebagai direksi maupun sebagai dewan komisaris.
Perempuan lebih berorientasi pada aktivitas kemanusiaan dibandingkan dengan rekan pria
mereka yang lebih berorientasi pada ekonomi.
Memiliki lebih banyak wanita dalam dewan dapat mendorong pembicaraan yang lebih
terbuka dan merangsang komunikasi yang lebih partisipatif di antara anggota dewan.
Wanita memiliki atribut, seperti empati dengan kesejahteraan orang lain, suka menolong,
baik, simpati, kepekaan, kepedulian dan kelembutan lebih daripada pria. Direktur dan
komisaris wanita mampu membawa perspektif yang lebih luas dan dapat menilai kebutuhan
berbagai pemangku kepentingan dengan lebih baik. Oleh karena itu, memiliki direktur dan
komisaris wanita dapat membuat dewan peka terhadap inisiatif CSR dan memberikan
perspektif yang dapat membantu dalam menangani masalah CSR (Alazzani et al., 2019).
Perusahaan dengan representasi dewan perempuan yang lebih tinggi cenderung lebih
murah hati terhadap masyarakat dan lebih memperhatikan kesejahteraan karyawan dan
lingkungan. Kehadirannya mampu menghasilkan perilaku perusahaan yang lebih pro-sosial.
Perempuan memiliki sikap dan komitmen yang lebih kuat terhadap program lingkungan
hijau dibandingkan laki-laki. Hubungan positif antara jumlah dewan wanita dan CSR
dikaitkan dengan dua kekuatan utama yang dibawa oleh wanita ke dalam dewan, yaitu
peningkatan kepekaan dan gaya pengambilan keputusan partisipatif (Alazzani et al., 2019).
Alazzani et al. (2019) menemukan keragaman gender meningkatkan pengungkapan
CSR. Pengungkapan CSR pada perusahaan dengan wanita dalam dewan lebih besar
daripada perusahaan tanpa wanita di dalam dewan. Kehadiran wanita juga membawa
transparansi yang lebih besar dalam pelaporan CSR. Oleh sebab itu, proporsi wanita dalam
dewan dinilai cukup memberikan pengaruh positif terhadap perusahaan. Entah itu dalam
kinerja keuangan maupun dalam hal kinerja non-keuangan, seperti pengungkapan tanggung
jawab perusahaan.
III. Penutup
III.1Kesimpulan
Corporate Social Responsibility (CSR) adalah rangkaian program yang dilakukan
oleh entitas sebagai bukti nyata perusahaan berorientasi terhadap triple bottom line. Tidak
hanya fokus memaksimalkan laba perusahaan, tetapi juga memikirkan keberlangsungan
planet dan kesejahteraan manusia di sekitar lokasi mereka beroperasi. Dengan kata lain
CSR muncul sebagai bentuk tanggung jawab organisasi terhadap lingkungan, sosial,
masyarakat akibat kegiatan operasional entitas yang bisa saja membawa dampak yang tidak
baik.
CSR di Indonesia bersifat wajib sesuai dengan UU No. 40 tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas. Tapi di sisi lain ketentuan bentuk bagaimana penyajiannya dalam
laporan tidak diatur secara resmi oleh negara. Sehingga berakibat pada pelaporan kegiatan
CSR yang bervariatif tiap perusahaan. Makanya pengungkapan CSR ini selain bersifat
mandatory juga bersifat voluntary.
Luasnya pengungkapan CSR juga dipengaruhi oleh sumber daya (resource) yang
dimiliki oleh perusahaan. Sebab dalam implementasi kegiatan dan pelaporannya
membutuhkan sumber daya. Sumber daya yang sangat menentukan jenis dan bentuk
keputusan apa yang akan diambil adalah dewan, baik itu dewan direksi maupun dewan
komisaris. Dewan direksi memiliki wewenang untuk menetapkan kebijakan, sementara
dewan komisaris berkewajiban mengomentari kebijakan dan keputusan yang diambil oleh
direksi. Sehingga kedua posisi mempengaruhi tingkat pengungkapan CSR.
Kebijakan yang diambil oleh dewan selanjutnya dipengaruhi oleh atribut yang
melekat pada diri dewan itu sendiri termasuk gender. Wanita dan pria membawa nilai-nilai
yang berbeda ke dalam dewan. Wanita dikenal sebagai pribadi yang lebih peka dan peduli
terhadap isu sosial dibandingkan dengan pria. Sehingga keberadaanya dalam dewan akan
mempengaruhi luasnya pengungkapan Corporate Social Responsibility.
III.2Saran
Penulis berharap dimasa yang akan datang format pelaporan Corporate Social
Responsibility dapat disetujui dalam bentuk aturan baku. Dan semoga PSAK juga memiliki
aturan tersendiri dalam penyajian CSR. Sehingga di masa depan auditor bisa melakukan
pemeriksaan terhadap dana yang dikeluarkan oleh perusahaan dalam mewujudkan kegiatan
CSR. Serta proporsi wanita dalam dewan perlu mendapatkan perhatian lebih. Selain tujuan
keseimbangan gender, keberadaan dapat wanita membawa gaya kepemimpinan berbeda.

DAFTAR PUSTAKA

Alazzani, A., Wan-Hussin, W. N., & Jones, M. (2019). Muslim CEO, women on boards and
corporate responsibility reporting: some evidence from Malaysia. Journal of Islamic
Accounting and Business Research, 10(2), 274–296. https://doi.org/10.1108/JIABR-01-
2017-0002

Anggraeni, D. Y., & Djakman, C. D. (2017). Slack Resources, Feminisme Dewan, Dan
Kualitas Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan. Jurnal Akuntansi Dan
Keuangan Indonesia, 14(1), 94–118. https://doi.org/10.21002/jaki.2017.06

Dienes, D., & Velte, P. (2016). The impact of supervisory board composition on CSR
reporting. Evidence from the German two-tier system. Sustainability (Switzerland), 8(1),
1–20. https://doi.org/10.3390/su8010063

Gantyowati, E., & Agustine, K. F. (2017). Firm’s Characteristics and CSR Disclosure,
Indonesia and Malaysia Cases. Review of Integrative Business and Economics Research,
6(3), 131–145. http://buscompress.com/journal-home.html

Liao, L., Luo, L., & Tang, Q. (2015). Gender diversity, board independence, environmental
committee and greenhouse gas disclosure. British Accounting Review, 47(4), 409–424.
https://doi.org/10.1016/j.bar.2014.01.002

Rao, K. K., Tilt, C. A., & Lester, L. H. (2012). Corporate governance and environmental
reporting: An Australian study. Corporate Governance: The International Journal of
Business in Society, 12(2), 143–163. https://doi.org/10.1108/14720701211214052

Reni, F., & Anggraini, R. (2006). Pengungkapan Informasi Sosial dan Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Pengungkapan Informasi Sosial dalam Laporan Keuangan Tahunan.
Pengungkapan Informasi Sosial Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Pengungkapan Informasi Sosial Dalam Laporan Keuangan Tahunan (Studi Empiris
Pada Perusahaan-Perusahaan Yang Terdaftar Bursa Efek Jakarta), 21, 23–26.
http://digilib.mercubuana.ac.id/manager/file_artikel_abstrak/Isi_Artikel_699411403487.
pdf

Wahyuningsih, A., & Rasmini, N. K. (2020). CSR Disclosure on Earnings Management with
the Presence of Women in the GCG Structure. Jurnal Ilmiah Akuntansi Dan Bisnis,
15(2), 293–307.

Waluyo, W. (2017). Firm size, firm age, and firm growth on corporate social responsibility in
Indonesia: The case of real estate companies. European Research Studies Journal,
20(4), 360–369. https://doi.org/10.35808/ersj/840

Anda mungkin juga menyukai