Anda di halaman 1dari 10

Bapak Teknologi Dan Demokrasi Indonesia

Masa Muda.
Prof. DR (HC). Ing. Dr. Sc. Mult. Bacharuddin Jusuf Habibie atau dikenal sebagai BJ Habibie (73 tahun)
merupakan pria Pare-Pare (Sulawesi Selatan) kelahiran 25 Juni 1936. Habibie menjadi Presiden ke-3
Indonesia selama 1.4 tahun dan 2 bulan menjadi Wakil Presiden RI ke-7. Habibie merupakan
“blaster” antara orang Jawa [ibunya] dengan orang Makasar/Pare-Pare [ayahnya].

Dimasa kecil, Habibie telah menunjukkan kecerdasan dan semangat tinggi pada ilmu pengetahuan
dan teknologi khususnya Fisika. Selama enam bulan, ia kuliah di Teknik Mesin Institut Teknologi
Bandung (ITB), dan dilanjutkan ke Rhenisch Wesfalische Tehnische Hochscule – Jerman pada 1955.
Dengan dibiayai oleh ibunya, R.A. Tuti Marini Puspowardoyo, Habibie muda menghabiskan 10 tahun
untuk menyelesaikan studi S-1 hingga S-3 di Aachen-Jerman.

Berbeda dengan rata-rata mahasiswa Indonesia yang mendapat beasiswa di luar negeri, kuliah
Habibie (terutama S-1 dan S-2) dibiayai langsung oleh Ibunya yang melakukan usaha catering dan
indekost di Bandung setelah ditinggal pergi suaminya (ayah Habibie). Habibie mengeluti bidang
Desain dan Konstruksi Pesawat di Fakultas Teknik Mesin. Selama lima tahun studi di Jerman akhirnya
Habibie memperoleh gelar Dilpom-Ingenenieur atau diploma teknik (catatan : diploma teknik di
Jerman umumnya disetarakan dengan gelar Master/S2 di negara lain) dengan predikat summa cum
laude.

Pak Habibie melanjutkan program doktoral setelah menikahi teman SMA-nya, Ibu Hasri Ainun Besari
pada tahun 1962. Bersama dengan istrinya tinggal di Jerman, Habibie harus bekerja untuk
membiayai biaya kuliah sekaligus biaya rumah tangganya. Habibie mendalami bidang Desain dan
Konstruksi Pesawat Terbang. Tahun 1965, Habibie menyelesaikan studi S-3 nya dan mendapat gelar
Doktor Ingenieur (Doktor Teknik) dengan indeks prestasi summa cum laude.

Karir di Industri.
Selama menjadi mahasiswa tingkat doktoral, BJ Habibie sudah mulai bekerja untuk menghidupi
keluarganya dan biaya studinya. Setelah lulus, BJ Habibie bekerja di Messerschmitt-Bölkow-Blohm
atau MBB Hamburg (1965-1969 sebagai Kepala Penelitian dan Pengembangan pada Analisis
Struktrur Pesawat Terbang, dan kemudian menjabat Kepala Divisi Metode dan Teknologi pada
industri pesawat terbang komersial dan militer di MBB (1969-1973). Atas kinerja dan kebriliannya, 4
tahun kemudian, ia dipercaya sebagai Vice President sekaligus Direktur Teknologi di MBB periode
1973-1978 serta menjadi Penasihast Senior bidang teknologi untuk Dewan Direktur MBB (1978 ).
Dialah menjadi satu-satunya orang Asia yang berhasil menduduki jabatan nomor dua di perusahaan
pesawat terbang Jerman ini.

Sebelum memasuki usia 40 tahun, karir Habibie sudah sangat cemerlang, terutama dalam desain dan
konstruksi pesawat terbang. Habibie menjadi “permata” di negeri Jerman dan iapun mendapat
“kedudukan terhormat”, baik secara materi maupun intelektualitas oleh orang Jerman. Selama
bekerja di MBB Jerman, Habibie menyumbang berbagai hasil penelitian dan sejumlah teori untuk
ilmu pengetahuan dan teknologi dibidang Thermodinamika, Konstruksi dan Aerodinamika. Beberapa
rumusan teorinya dikenal dalam dunia pesawat terbang seperti “Habibie Factor“, “Habibie
Theorem” dan “Habibie Method“.
Kembali ke Indonesia
Pada tahun 1968, BJ Habibie telah mengundang sejumlah insinyur untuk bekerja di industri pesawat
terbang Jerman. Sekitar 40 insinyur Indonesia akhirnya dapat bekerja di MBB atas rekomendasi Pak
Habibie. Hal ini dilakukan untuk mempersiapkan skill dan pengalaman (SDM) insinyur Indonesia
untuk suatu saat bisa kembali ke Indonesia dan membuat produk industri dirgantara (dan kemudian
maritim dan darat). Dan ketika (Alm) Presiden Soeharto mengirim Ibnu Sutowo ke Jerman untuk
menemui seraya membujuk Habibie pulang ke Indonesia, BJ Habibie langsung bersedia dan
melepaskan jabatan, posisi dan prestise tinggi di Jerman. Hal ini dilakukan BJ Habibie demi memberi
sumbangsih ilmu dan teknologi pada bangsa ini. Pada 1974 di usia 38 tahun, BJ Habibie pulang ke
tanah air. Iapun diangkat menjadi penasihat pemerintah (langsung dibawah Presiden) di bidang
teknologi pesawat terbang dan teknologi tinggi hingga tahun 1978. Meskipun demikian dari tahun
1974-1978, Habibie masih sering pulang pergi ke Jerman karena masih menjabat sebagai Vice
Presiden dan Direktur Teknologi di MBB.

Habibie mulai benar-benar fokus setelah ia melepaskan jabatan tingginya di Perusahaan Pesawat
Jerman MBB pada 1978. Dan sejak itu, dari tahun 1978 hingga 1997, ia diangkat menjadi Menteri
Negara Riset dan Teknologi (Menristek) sekaligus merangkap sebagai Ketua Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi (BPPT). Disamping itu Habibie juga diangkat sebagai Ketua Dewan Riset
Nasional dan berbagai jabatan lainnya

Ketika menjadi Menristek, Habibie mengimplementasikan visinya yakni membawa Indonesia


menjadi negara industri berteknologi tinggi. Ia mendorong adanya lompatan dalam strategi
pembangunan yakni melompat dari agraris langsung menuju negara industri maju. Visinya yang
langsung membawa Indonesia menjadi negara Industri mendapat pertentangan dari berbagai pihak,
baik dalam maupun luar negeri yang menghendaki pembangunan secara bertahap yang dimulai dari
fokus investasi di bidang pertanian. Namun, Habibie memiliki keyakinan kokoh akan visinya, dan ada
satu “quote” yang terkenal dari Habibie yakni :

“I have some figures which compare the cost of one kilo of airplane compared to one kilo of rice.
One kilo of airplane costs thirty thousand US dollars and one kilo of rice is seven cents. And if you
want to pay for your one kilo of high-tech products with a kilo of rice, I don’t think we have enough.”
(Sumber : BBC: BJ Habibie Profile -1998.)

Kalimat diatas merupakan senjata Habibie untuk berdebat dengan lawan politiknya. Habibie ingin
menjelaskan mengapa industri berteknologi itu sangat penting. Dan ia membandingkan harga
produk dari industri high-tech (teknologi tinggi) dengan hasil pertanian. Ia menunjukkan data bahwa
harga 1 kg pesawat terbang adalah USD 30.000 dan 1 kg beras adalah 7 sen (USD 0,07). Artinya 1 kg
pesawat terbang hampir setara dengan 450 ton beras. Jadi dengan membuat 1 buah pesawat
dengan massa 10 ton, maka akan diperoleh beras 4,5 juta ton beras.

Pola pikir Pak Habibie disambut dengan baik oleh Pak Harto.Pres. Soeharto pun bersedia
menggangarkan dana ekstra dari APBN untuk pengembangan proyek teknologi Habibie. Dan pada
tahun 1989, Suharto memberikan “kekuasan” lebih pada Habibie dengan memberikan kepercayaan
Habibie untuk memimpin industri-industri strategis seperti Pindad, PAL, dan PT IPTN.

Habibie menjadi RI-1


Secara materi, Habibie sudah sangat mapan ketika ia bekerja di perusahaan MBB Jerman. Selain
mapan, Habibie memiliki jabatan yang sangat strategis yakni Vice President sekaligus Senior Advicer
di perusahaan high-tech Jerman. Sehingga Habibie terjun ke pemerintahan bukan karena mencari
uang ataupun kekuasaan semata, tapi lebih pada perasaan “terima kasih” kepada negara dan bangsa
Indonesia dan juga kepada kedua orang tuanya. Sikap serupa pun ditunjukkan oleh Kwik Kian Gie,
yakni setelah menjadi orang kaya dan makmur dahulu, lalu Kwik pensiun dari bisnisnya dan baru
terjun ke dunia politik. Bukan sebaliknya, yang banyak dilakukan oleh para politisi saat ini yang
menjadi politisi demi mencari kekayaan/popularitas sehingga tidak heran praktik korupsi menjamur.

Tiga tahun setelah kepulangan ke Indonesia, Habibie (usia 41 tahun) mendapat gelar Profesor Teknik
dari ITB. Selama 20 tahun menjadi Menristek, akhirnya pada tanggal 11 Maret 1998, Habibie terpilih
sebagai Wakil Presiden RI ke-7 melalui Sidang Umum MPR. Di masa itulah krisis ekonomi (krismon)
melanda kawasan Asia termasuk Indonesia. Nilai tukar rupiah terjun bebas dari Rp 2.000 per dolar
AS menjadi Rp 12.000-an per dolar. Utang luar negeri jatuh tempo sehinga membengkak akibat
depresiasi rupiah. Hal ini diperbarah oleh perbankan swasta yang mengalami kesulitan likuiditas.
Inflasi meroket diatas 50%, dan pengangguran mulai terjadi dimana-mana.

Pada saat bersamaan, kebencian masyarakat memuncak dengan sistem orde baru yang sarat
Korupsi, Kolusi, Nepotisme yang dilakukan oleh kroni-kroni Soeharto (pejabat, politisi, konglomerat).
Selain KKN, pemerintahan Soeharto tergolong otoriter, yang menangkap aktivis dan mahasiswa
vokal.

Dipicu penembakan 4 orang mahasiswa (Tragedi Trisakti) pada 12 Mei 1998, meletuslah kemarahan
masyarakat terutama kalangan aktivis dan mahasiswa pada pemerintah Orba. Pergerakan
mahasiswa, aktivis, dan segenap masyarakat pada 12-14 Mei 1998 menjadi momentum pergantian
rezim Orde Baru pimpinan Pak Hato. Dan pada 21 Mei 1998, Presiden Soeharto terpaksa mundur
dari jabatan Presiden yang dipegangnya selama lebih kurang 32 tahun. Selama 32 tahun itulah,
pemerintahan otoriter dan sarat KKN tumbuh sumbur. Selama 32 tahun itu pula, banyak kebenaran
yang dibungkam. Mulai dari pergantian Pemerintah Soekarno (dan pengasingan Pres Soekarno),
G30S-PKI, Supersemar, hingga dugaan konspirasi Soeharto dengan pihak Amerika dan sekutunya
yang mengeruk sumber kekayaan alam oleh kaum-kaum kapitalis dibawah bendera korpotokrasi
(termasuk CIA, Bank Duni, IMF dan konglomerasi).

Soeharto mundur, maka Wakilnya yakni BJ Habibie pun diangkat menjadi Presiden RI ke-3
berdasarkan pasal 8 UUD 1945. Namun, masa jabatannya sebagai presiden hanya bertahan selama
512 hari. Meski sangat singkat, kepemimpinan Presiden Habibie mampu membawa bangsa
Indonesia dari jurang kehancuran akibat krisis. Presiden Habibie berhasil memimpin negara keluar
dari dalam keadaan ultra-krisis, melaksanankan transisi dari negara otorian menjadi demokrasi.
Sukses melaksanakan pemilu 1999 dengan multi parti (48 partai), sukses membawa perubahan
signifikn pada stabilitas, demokratisasi dan reformasi di Indonesia.

Habibie merupakan presiden RI pertama yang menerima banyak penghargaan terutama di bidang
IPTEK baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Jasa-jasanya dalam bidang teknologi pesawat
terbang mengantarkan beliau mendapat gelar Doktor Kehormatan (Doctor of Honoris Causa) dari
berbagaai Universitas terkemuka dunia, antara lain Cranfield Institute of Technology dan Chungbuk
University.

Catatan-Catatan Istimewa BJ Habibie


Habibie Bertemu Soeharto
“Laksanakan saja tugasmu dengan baik, saya doakan agar Habibie selalu dilindungi Allah SWT dalam
melaksanakan tugas. Kita nanti bertemu secara bathin saja“, lanjut Pak Harto menolak bertemu
dengan Habibie pada pembicaraan via telepon pada 9 Juni 1998.

(Habibie : Detik-Detik yang Menentukan. Halaman 293)


Salah satu pertanyaan umum dan masih banyak orang tidak mengetahui adalah bagaimana Habibie
yang tinggal di Pulau Celebes bisa bertemu dan akrab dengan Soeharto yang menghabiskan hampir
seluruh hidupnya di Pulau Jawa?

Pertemuan pertama kali Habibie dengan Soeharto terjadi pada tahun 1950 ketika Habibie berumur
14 tahun. Pada saat itu, Soeharto (Letnan Kolonel) datang ke Makasar dalam rangka memerangi
pemberontakan/separatis di Indonesia Timur pada masa pemerintah Soekarno. Letkol Soeharto
tinggal berseberangan dengan rumah keluarga Alwi Abdul Jalil Habibie. Karena ibunda Habibie
merupakan orang Jawa, maka Soeharto pun (orang Jawa) diterima sangat baik oleh keluarga
Habibie. Bahkan, Soeharto turut hadir ketika ayahanda Habibie meninggal. Selain itu, Soeharto pun
menjadi “mak comblang” pernikahan adik Habibie dengan anak buah (prajurit) Letkol Soeharto.
Kedekatan Soeharto-Habibie terus berlanjut meskipun Soeharto telah kembali ke Pulau Jawa setelah
berhasil memberantas pemberontakan di Indonesia Timur.

Setelah Habibie menyelesaikan studi (sekitar 10 tahun) dan bekerja selama hampir selama 9 tahun
(total 19 tahun di Jerman), akhirnya Habibie dipanggil pulang ke tanah air oleh Pak Harto. Meskipun
ia tidak mendapat beasiswa studi ke Jerman dari pemerintah, pak Habibie tetap bersedia pulang
untuk mengabdi kepada negara, terlebih permintaan tersebut berasal dari Pak Harto yang notabene
adalah ‘seorang guru’ bagi Habibie. Habibie pun memutuskan kembali ke Indonesia untuk memberi
ilmu kepada rakyat Indonesia, kembali untuk membangun industri teknologi tinggi di nusantara.

Bersama Ibnu Sutowo, Habibie kembali ke Indonesia dan bertemu dengan Presiden Soeharto pada
tanggal 28 Januari 1974. Habibie mengusulkan beberapa gagasan pembangunan seperti berikut:

Gagasan pembangunan industri pesawat terbang nusantara sebagai ujung tombak industri strategis
Gagasan pembentukan Pusat Penelitan dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
(Puspitek)
Gagasan mengenai Badan Pengkajian dan Penerapan Ilmu Teknologi (BPPT)
Gagasan-gagasan awal Habibie menjadi masukan bagi Soeharto, dan mulai terwujud ketika Habibie
menjabat sebagai Menristek periode 1978-1998.

Namun, dimasa tuanya, hubungan Habibie-Soeharto tampaknya retak. Hal ini dikarenakan berbagai
kebijakan Habibie yang disinyalir “mempermalukan” Pak Harto. Pemecatan Letjen (Purn) Prabowo
Subianto dari jabatan Kostrad karena memobilisasi pasukan kostrad menuju Jakarta (Istana dan
Kuningan) tanpa koordinasi atasan merupakan salah satu kebijakan yang ‘menyakitkan’ pak Harto.
Padahal Prabowo merupakan menantu kesayangan Pak Harto yang telah dididik dan dibina menjadi
penerus Soeharto. Pemeriksaan Tommy Soeharto sebagai tersangka korupsi turut membuat Pak
Harto ‘gerah’ dengan kebijakan pemerintahan BJ Habibe, terlebih dalam beberapa kali kesempatan
di media massa, BJ Habibie memberi lampu hijau untuk memeriksa Pak Harto. Padahal Tommy
Soeharto merupakan putra “emas’ Pak Harto. Dan sekian banyak kebijakan berlawanan dengan
pemerintah Soeharto dibidang pers, politik, hukum hingga pembebasan tanpa syarat tahanan politik
Soeharto seperti Sri Bintang Pamungkas dan Mukhtar Pakpahan.
Habibie : Bapak Teknologi Indonesia*
Pemikiran-pemikiran Habibie yang “high-tech” mendapat “hati” pak Harto. Bisa dikatakan bahwa
Soeharto mengagumi pemikiran Habibie, sehingga pemikirannya dengan mudah disetujui pak Harto.
Pak Harto pun setuju menganggarkan “dana ekstra” untuk mengembangkan ide Habibie.
Kemudahan akses serta kedekatan Soeharto-Habibie dianggap oleh berbagai pihak sebagai bentuk
kolusi Habibie-Soeharto. Apalagi, beberapa pihak tidak setuju dengan pola pikir Habibie mengingat
pemerintah Soeharto mau menghabiskan dana yang besar untuk pengembangan industri-industri
teknologi tinggi seperti saran Habibie.

Tanggal 26 April 1976, Habibie mendirikan PT. Industri Pesawat Terbang Nurtanio dan menjadi
industri pesawat terbang pertama di Kawasan Asia Tenggara (catatan : Nurtanio meruapakan Bapak
Perintis Industri Pesawat Indonesia). Industri Pesawat Terbang Nurtanio kemudian berganti nama
menjadi Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) pada 11 Oktober 1985, kemudian
direkstrurisasi, menjadi Dirgantara Indonesia (PT DI) pada Agustuts 2000. Perlakuan istimewapun
dialami oleh industri strategis lainnya seperti PT PAL dan PT PINDAD.

Sejak pendirian industri-industri statregis negara, tiap tahun pemerintah Soeharto menganggarkan
dana APBN yang relatif besar untuk mengembangkan industri teknologi tinggi. Dan anggaran dengan
angka yang sangat besar dikeluarkan sejak 1989 dimana Habibie memimpin industri-industri
strategis. Namun, Habibie memiliki alasan logis yakni untuk memulai industri berteknologi tinggi,
tentu membutuhkan investasi yang besar dengan jangka waktu yang lama. Hasilnya tidak mungkin
dirasakan langsung. Tanam pohon durian saja butuh 10 tahun untuk memanen, apalagi industri
teknologi tinggi. Oleh karena itu, selama bertahun-tahun industri strategis ala Habibie masih belum
menunjukan hasil dan akibatnya negara terus membiayai biaya operasi industri-industri strategis
yang cukup besar.

Industri-industri strategis ala Habibie (IPTN, Pindad, PAL) pada akhirnya memberikan hasil seperti
pesawat terbang, helikopter, senjata, kemampuan pelatihan dan jasa pemeliharaan (maintenance
service) untuk mesin-mesin pesawat, amunisi, kapal, tank, panser, senapan kaliber, water canon,
kendaraan RPP-M, kendaraan combat dan masih banyak lagi baik untuk keperluan sipil maupun
militer.

Untuk skala internasional, BJ Habibie terlibat dalam berbagai proyek desain dan konstruksi pesawat
terbang seperti Fokker F 28, Transall C-130 (militer transport), Hansa Jet 320 (jet eksekutif), Air Bus
A-300, pesawat transport DO-31 (pesawat dangn teknologi mendarat dan lepas landas secara
vertikal), CN-235, dan CN-250 (pesawat dengan teknologi fly-by-wire). Selain itu, Habibie secara
tidak langsung ikut terlibat dalam proyek perhitungan dan desain Helikopter Jenis BO-105, pesawat
tempur multi function, beberapa peluru kendali dan satelit.

Karena pola pikirnya tersebut, maka saya menganggap beliau sebagai bapak teknologi Indonesia,
terlepaskan seberapa besar kesuksesan industri strategis ala Habibie. Karena kita tahu bahwa pada
tahun 1992, IMF menginstruksikan kepada Soeharto agar tidak memberikan dana operasi kepada
IPTN, sehingga pada saat itu IPTN mulai memasuki kondisi kritis. Hal ini dikarenakan rencana Habibie
membuat satelit sendiri (catatan : tahun 1970-an Indonesia merupakan negara terbesar ke-2
pemakaian satelit), pesawat sendiri, serta peralatan militer sendiri. Hal ini didukung dengan 40 0rang
tenaga ahli Indonesia yang memiliki pengalaman kerja di perusahaan pembuat satelit Hughes
Amerika akan ditarik pulang ke Indonesia untuk mengembangkan industri teknologi tinggi di
Indonesia. Jika hal ini terwujud, maka ini akan mengancam industri teknologi Amerika (mengurangi
pangsa pasar) sekaligus kekhawatiran kemampuan teknologi tinggi dan militer Indonesia.

Teori Pembangunan Ekonomi Habibie


Menjadi pimpinan di Industri Pesawat Terbang skala besar di Jerman selama bertahun-tahun
memberikan inspirasi dan mempengaruhi pemikiran Habibie. Berlandaskan pengalaman itu, Habibie
memiliki keyakinan bahwa untuk bisa menjadi negara maju tidak selalu perlu melewati “tahap-
tahap” pembangunan yakni pertanian/agraris industri pengolahan pertanian, manufaktur, industri
teknologi rendah/menengah baru ke teknologi tinggi. Ia mengemukan teori pembangunan ekonomi
negara yang berbeda yakni “Dari negara agraris langsung melompat ke tahap negara industri
teknologi tinggi”, tanpa harus menunggu dan melewati kematangan indsutri pertanian, atau tahapan
industri manufaktur serta teknologi rendah.

“The basis of any modern economy is in their capability of using their renewable human resources.
The best renewable human resources are those human resources which are in a position to
contribute to a product which uses a mixture of high-tech.” (Sumber : BBC: BJ Habibie Profile -1998.)

Dari teori pembangunan ekonomi tersebut, Habibie sangat menekankan pada kualitas SDM bukan
semata SDA. Dengan meningkatkan sumber daya manusia (human resources), maka kita dapat
membuat produk berteknologi tinggi dimana memiliki nilai jual yang tinggi. Hal ini pun akan
mentriger berdirinya perusahaan-perusahaan pendukung dengan teknologi lebih rendah. Jadi,
prinsip pembangunan industri ala Habibie adalah Top-Down (dari tinggi hingga ke rendah).
Sedangkan secara konvensional adalah dari Down-Top (dari industri teknologi rendah ke teknologi
tinggi).

Selama masa pengabdiannya di Indonesia, Habibie memegang 47 jabatan penting seperti : Direkur
Utama (Dirut) PT. Industri Pesawat Terbang Nasional (IPTN), Dirut PT Industri Perkapalan Indonesia
(PAL), Dirut PT Industri Senjata Ringan (PINDAD), Kepala Otorita Pengembangan Daerah Industri
Pulau Batam, Kepala BPPT, Kepala BPIS, Ketua ICMI, dan masih banyak lagi.

Habibie : Bapak Demokrasi Indonesia


Ketika mendapat amanah menjadi Presiden RI ke-3, kondisi ekonomi, sosial, stabilitas politik,
keamanan di Indonesia berada di ujung tanduk “revolusi”. Dengan mengambil kebijakan yang salah
serta pengelolaan ekonomi yang tidak tepat, maka Indonesia 1998 berpotensi masuk dalam era
“chaos” ataupun revolusi berdarah. (catatan : perlu diingat bahwa reformasi 1998 menelan ratusan
bahkan ribuan korban pembunuhan dan pemerkosaan serta serangkaian kerusuhan, penjarahan,
pembakaran, yang terutama ditujukan pada etnis Tionghoa). Untungnya di tahun 1998, Indonesia
tidak masuk dalam era revolusi jilid-2 namun hanya masuk dalam era reformasi.

Belajar dari kesalahan presiden pendahulunya, Jenderal Soeharto, Presiden Habibie memimpin
Indonesia dengan cermat, cepat, telaten, rasional dan reformis. Habibie menunjukkan perhatiannya
terhadap keinginan bangsa untuk lebih mengerti dan menerapkan prinsip umum demokrasi.
Perhatiannya didasarkan pada pengamatan Habibie pada pemerintahan Orde Lama dan sebagai
pejabat pada masa Orde Baru, dimana telah mengarahkan beliau untuk mempelajari situasi yang
ada. Melalui proses yang sistematik, menyeluruh, dan menyatu, Habibie mengembangkan sebuah
konsep yang lebih jelas, sebuah pengejewantahan dari proaktif dan prediksi preventive atas
interpretasi dari demokrasi sebagai sebuah mesin politik. Konsep ini kemudian diimplementasikan
dalam berbagai agenda politik, ekonomi, hukum dan keamanan seperti:
Kebebasan multi partai dalam pemilu (UU 2 tahun 1999)
Undang Undang anti monopoli (UU 5 tahun 1999)
Kebijakan Independensi BI agar bebas dari pengaruh Presiden (UU 23 tahun 1999)
Kebebasan berkumpul dan berbicara, (selanjutnya masyarakat lebih mengenal istilah demonstrasi)
Pengakuan Hak Asasi Manusia (UU 39 tahun 1999)
Kebebasan pers dan media,
Usaha usaha menciptakan pemerintahan yang efektif dan efisien yang bebas dari korupsi, kolusi, dan
nepotisme atau dengan kata lain adalah pemerintahan yang baik dan bersih. (Membuat UU
Pemberantasan Tindak Korupsi pada tahun 1999)
Penghormatan terhadap badan badan hukum dan berbagai institusi lainnya yang dibentuk atas
prinsip demokrasi;
Pembebasan tahanan-tahanan politik tanpa syarat, (eg. Sri Bintang Pamungkas dan Muktar
Pakpahan)
Pemisahan Kesatuan Polisi dari Angkatan Bersenjata.
Dalam waktu yang relatif singkat sebagai Presiden RI, Habibie telah memelihara pandangan modern
beliau dalam demokrasi dan mengimplementasikannya dalam setiap proses pembuatan keputusan.
Peran penting Habibie dalam percepatan proses demokrasi di Indonesia dikenal baik oleh
masyarakat nasional ataupun internasional sehingga beliau dianggap sebagai “Bapak Demokrasi“.
Komitmen beliau terhadap demokrasi adalah nyata. Ketika MPR, institusi tertinggi di Indonesia yang
memiliki wewenang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, menolak pidato pertanggung-
jawaban Habibie (masalah referendum Timor-Timur), Habibie secara berani mengundurkan diri dari
pemilihan Presiden yang baru pada tahun 1999. Beliau melakukan ini, selain penolakan MPR atas
pidatonya tidak mengekang beliau untuk terus ikut serta dalam pemilihan, dan keyakinan dari
pendukung beliau bahwa beliau akan tetap bisa unggul dari kandidat Presiden lainnya, karena yakin
bahwa sekali pidatonya ditolak oleh MPR akan menjadi tidak etis baginya untuk terus ikut dalam
pemilihan. Keputusan ini juga dimaksudkan sebagai pendidikan politik dari arti sebuah demokrasi.

Karena “demokratis”-nya Habibie, maka iapun memberikan opsi referendum bagi rakyat Timor-
Timur untuk menentukan sikap masa depannya. Namun, perlu dicatat bahwa Habibie bukanlah
orang yang bodoh dengan mudah memberikan opsi referendum tanpa alasan yang jelas dan tepat.
Habibie sebagai Presiden RI memberikan opsi referendum kepada rakyat Timor-Timur mengingat
bahwa Timor-Timur tidak masuk dalam peta wilayah Indonesia sejak deklarasi kemerdekaan
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Secara yuridis, wilayah kesatuan negara Indonesai sejak 17
Agustus 1945 adalah wilayah bekas kekuasaan kolonialisme Belanda yakni dari Sabang (Aceh) hingga
Merauke (Irian Jaya/ Papua). Ketika Indonesia merdeka, Timor-Timur merupakan wilayah jajahan
Portugis, dan bergabung bersama Indonesia dengan dukungan kontak senjata.

Bagi sebagian orang menganggap bahwa masuknya militer Indonesia di Timor-Timur merupakan
bentuk neo-kolonialisme baru (penjajahan modern) dari Indonesia pada tahun 1975. Seharusnya
Indonesia tidak ikut campur pada proses kemerdekaan Timor-Timur dari penjajahan Portugis. Jadi,
kita dapat memahami dibalik landasan Habibie dimana provinsi Timor-Timur lepas dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Perlu dicatat bahwa kasus Aceh dan Papua berbeda dengan Timor-
Timur.

Habibie : Master of Economic


Sejak era reformasi 1998, tampaknya hanya Habibie yang menjadi presiden yang benar-benar sukses
mengelola ekonomi dengan baik. Dalam kondisi yang amburadul, kacau balau baik dalam bidang
ekonomi, politik, sosial dan tiada hari tanpa demonstrasi, Habibie mampu membawa ekonomi
Indonesia yang lebih baik.

Meskipun Presiden Singapura Lee Kuan Yeew berusaha mendiskritkan kemampuan Habibie untuk
memimpin Indonesia, toh Habibie menunjukkan bukti. Ketika banyak orang yang menyangsikan
bahwa Habibie mampu bertahan selama 3 hari sebagai Presiden, namun semua dapat dilalui. Lalu,
pihak-pihak yang tidak suka dengan Habibie pun menyampaikan opini bahwa Habibie tidak mampu
bertahan lebih dari 100 hari. Sekali lagi, Habibie membuktikan bahwa ia mampu memimpin
Indonesia dalam kondisi kritis.

Dari nilai tukar rupiah Rp 15000 per dollar diawal jabatannya, Habibie mampu membawa nilai tukar
rupiah ke posisi Rp 7000 per dollar. Ketika inflasi mencapai 76% pada periode Januari-September
1998, setahun kemudian Habibie mampu mengendalikan harga barang dan jasa dengan kenaikan 2%
pada periode Januari-September 1999. Indeks IHSG naik dari 200 poin menjadi 588 poin setelah 17
bulan memimpin. Tentu, indikator-indikator kesuksesan ekonomi era Habibie tidak dapat diikuti
dengan baik oleh masa pemerintah Megawati maupun SBY.

Beberapa keberhasilan ekonomi di era Habibie sebenarnya tidak lepas dari usaha keras dan
perubahan mendasar dari para tokoh reformis yang duduk di kabinet seperti Adi Sasono (Men.
Koperasi), Soleh Salahuddin (Men. Kehutanan dan Perkebunan), Tanri Abeng (Men. BUMN). Namun,
perlu disadari bahwa Habibie bukanlah presiden yang benar-benar reformis dalam menolak
kebijakan ekonomi ala IMF. Dengan keterbatasannya, beliau terpaksa menjalana 50 butir
kesepakatan (LoI) antara pemerintah Indonesia dengan IMF, sehingga penangganan krisis ekonomi
di Indonesia pada hakikatnya lebih pada penyembuhan dengan “obat generik”, bukan penyembuhan
ekonomi “terapis” ataupun “obat tradisional”. Sehingga ketika meninggalkan tampuk kekuasaan,
Indonesia masih rapuh.

Disisi lain, Habibie masih sangat mempercayai tokoh-tokoh Orba duduk di kabinetnya, padahal
masyarakat menuntut reformasi. Dan tampaknya, Habibie memang menempatkan dirinya sebagai
Presiden Transisi, bukan Presiden yang Reformis.

Habibie : Cendekiawan Muslim


Kekuasaan adalah amanah dan titipan Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa, bagi mereka yang
percaya atas eksistensi-Nya. Bagi mereka yang tidak percaya atas eksistensi-Nya, kekuasaan adalah
amanah dan titipan rakyat. Pemilik kekuasaan tersebut, setiap saat dapat mengambil kembali milik
Nya dengan cara apa saja.

(Habibie : Detik Detik yang Menentukan, halaman 31)


Selain memiliki kecerdasan yang tinggi (mungkin orang terjenius dari Indonesia), Habibie dikenal
sebagai cendekiawan muslim yang taat sekaligus reformis. Dalam menghadapi berbagai kesulitan,
Habibie tidak luput dari do’a dan sholat untuk mendapat petunjuk atau ilham. Mendapat jabatan
sebagai Presiden bagi Habibie merupakan amanah dan titipan dari Allah untuk mengabdi dengan
sepenuh hati.

Meskipun tidak terjun dalam dunia politik dan kekuasaan, Habibie tetap memberikan sumbangsih
kepada bangsa Indonesia dengan mendirikan The Habibie Centre pada 10 November 1999. Habibie
Center merupakan organisasi yang berusaha memajukan proses modernisasi dan demokratisasi di
Indonesia yang didasarkan pada moralitas dan integritas budaya dan nilai-nilai agama. Ada dua misi
utama Habibie centre yakni (1) menciptakan masyarakat demokratis secara kultural dan struktural
yang mengakui, menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, serta mengkaji dan
mengangkat isu-isu perkembangan demokrasi dan hak asasi manusia, dan (2) memajukan dan
meningkatkan pengelolaan sumber daya manusia dan usaha sosialisasi teknologi. Beberapa kegiatan
yang dikenal luas oleh masyarakat dari Habibie Centre yakni seminar, pemberian beasiswa dalam
dan luar negeri, Habibie Award serta diskusi mengenai peningkatan SDM maupun IPTEK.

Selain mendirian The Habibie Centre, Habibie juga berjasa dalam pendirian Ikatan Cendekiawan
Muslim Indonesia (ICMI) pada 7 Desember 1990 atas persetujuan Soeharto. ICMI merupakan
wahana menampung cendekiawan-cendekiawan muslim untuk bersama-sama berkontribusi bagi
bangsa dan masyarakat. Pada awalnya, ICMI didirikan untuk menampung aspirasi pengusaha non-
China yang benci akan kekayaan dan pengaruh dari keluarga etnis China yang kaya. ICMI mempunyai
bank sendiri dan koran harian yang diberi nama Republika. Banyak umat muslim yang ikut terdaftar
dalam keanggotaan ICMI termasuk cendekiawan pengkritik pemerintah Soeharto yakni (Alm) Prof.
Nurcholish Majid dan Prof. Amien Rais.

Kritikan Untuk Seorang Habibie ketika Menjadi Presiden


Tidak ada gading yang tidak tidak retak, begitu juga halnya pada diri BJ Habibie. Ada beberapa
kepribadian dan sikap/kebijakan BJ Habibie khususnya di masa pemerintahannya yang kontroversial
dan dianggap buruk. Dibidang kepribadian, BJ Habibie dikenal sebagai orang yang kurang bisa dikritik
(langsung reaktif), meskipun disisi lain beliau sangat menghargai pendapat orang lain, dan senang
berdebat. Hal ini sangat mungkin disebabkan karena beliau terlampu jenius, terlalu cerdas. Salah
satunya adalah kengototan Menristek BJ Habibie membeli 36 kapal perang bekas Jerman Timur pada
1992. Padahal terjadi pembengkakan pembelian kapal perang bekas dari USD 12.7 juta menjadi USD
1.1 miliar.

Ketika menjadi Presiden RI menggantikan Soeharto, banyak orang berharap agar BJ Habibie dapat
bertindak tegas kepada Pak Harto yang diduga melakukan KKN, setidaknya gurita KKN di Cendana
dan kroni Soeharto lainnya. Namun, selama menjadi Presiden RI, BJ Habibie tidak pernah memeriksa
Soeharto. Pres Habibie dianggap memasang badan melindungi Soeharto sampai-sampai Jam Intel
Kejagung Mayjen (Purn) Syamsal Djalal dipecat. Menurut pengakuan mantan Jam Intel Kejagung
Syamsul Djalal, ia dipecat lantaran mengusulkan agar Pak Harto secepatnya dibawah ke pengadilan.
Bisa dimaklumi pula bahwa Habibie dalam posisi dilematis, karena bagaimanapun Pak Harto adalah
salah satu gurunya.

Hal lain yang menjadi catatan hitam Pak Habibie adalah penangangan kasus Bank Bali. Presiden BJ
Habibie dianggap kurang serius menangani kasus yang melibatkan orang-orang yang dekat dengan
Habibie. Mereka yang disebut-sebut terlibat dalam skandal Bank Bali diantaranya adalah Timmy
Habibie (adik kandung Habibie), AA Baramuli (Ketua DPA), Setya Novanto (Wa.Bendara Golkar) dan
Tanri Abeng. Dikalangan pengusaha, terlibat konglomerat hitam Djoko Tjandra yang selama ini dekat
dengan petinggi Golkar.

Penutup
Setelah tulisan biografi Habibie yang “super panjang” ini, saya akan mengakhiri ceritera ini dengan
beberapa poin harapan.

Semoga “Habibie-Habibie” baru yang genius bermunculan di seantero nusantara sehingga Indonesia
tidak hanya menjadi “penonton” atau konsumen atas produk-produk berteknologi
Semoga generasi muda bangsa Indonesia memiliki semangat teknopreneur yang minimal sama
dengan semangat Habibie dalam mengembangkan industri-industri strategis. Dan harapannya,
orang-orang pintar dan cerdas Indonesia dapat memberikan karyanya bagi perkembangan industri
Indonesia, bukan menghabiskan seluruh hidupnya di perusahaan asing.
Para calon pemimpin dan para politisi partai perlu bercermin diri dan cobalah insaf agar “tidak gila
kekuasaan”, dan ketika memegang kekuasaan jangan serakah (KKN) dan sombong.
Saya bangga dengan sikap Habibie yang tidak mencalonkan diri sebagai presiden, namun beliau
tetap memberikan kontribusi nyata melalui berbagai organisasinya seperti The Habibie Centre serta
siap selalu memberikan masukan dan bimbingan bagi para politisi/penguasa melalui berbagai dialog
atau seminar.

Semoga Habibie terus memberikan sumbangsih pemikiran dan tenaganya bagi bangsa Indonesia dan
selalu dikarunia fisik yang sehat.

Anda mungkin juga menyukai