Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

KAITAN PERILAKU PENGUNA NAPZA

DENGAN PENULARAN HIV

Oleh :

Ni Putu Metareni, SST ( Absen 09 )


Ni Nyoman Sri Artini, SST ( Absen 10 )
I Nengah Suardika, SST ( Absen 13 )
I wayan Susa Antara, SST ( Absen 19 )
I Nyoman Sukiman Sukawan, SST ( Absen 29 )
I Putu Darpana, SST ( Absen 38 )

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES KEMENKES DENPASAR
JURUSAN KEPERAWATAN
PRODI PROFESI NERS
DENPASAR
2020

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Ida Sang
Hyang Widhi Wasa, atas karunianya kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Kaitan Perilaku Pengguna Napza dengan Penularan HIV” dengan baik
dan lancar.

Atas dukungan moral dan materil yang diberikan dalam penyusunan


makalah ini, maka penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang
telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini.Harapan kami semoga
makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca,
dan bermanfaat di masyarakat.

Penulis menyadari bahwa makalah ini belumlah sempurna. Oleh karena


itu, saran dan kritik yang membangun sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan
makalah ini.

Denpasar, 11 Juli 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman
Judul ..............................................................................................................................
i
Kata Pengantar
........................................................................................................................................
ii
Daftar
isi ....................................................................................................................................
iii
BAB I
Pendahuluan .................................................................................................................
1
A . Latar
Belakang .............................................................................................................
1
B. Rumusan
Masalah ..............................................................................................................
2
C.
Tujuan.................................................................................................................
2
BAB II
Pembahasan ..................................................................................................................
3
a. Penyalahgunaan
NAPZA ..............................................................................................................
3

iii
b. NAPZA yang sering disalahgunakan beserta efek yang
ditimbulkan ........................................................................................................
3
c. hubungan perilaku penggunaan NAPZA dengan penularan
HIV.....................................................................................................................
6
BAB III
PENUTUP ......................................................................................................................
11
A.Kesimpulan .....................................................................................................
11
B.
Saran ...................................................................................................................
11
Daftar
Pustaka ...........................................................................................................................
12

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Permasalahan narkotika di Indonesia menunjukkan gejala yang


mengkhawatirkan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh BNN dan
Puslitkes UI pada 10 kota besar di Indonesia menunjukkan data sebagai
berikut. Dari total populasi sejumlah 3,2 juta orang, jumlah penyalah guna
sebesar 1,5%, dengan kisaran 2,9 sampai 3,6 juta, terdiri dari 69% kelompok
teratur pakai dan 31 persen kelompok pecandu. Dari kelompok teratur pakai
terdiri dari penyalahguna ganja (71%), shabu (50%), ekstasi (42%), penenang
(22%). Singkatnya, untuk kasus Indonesia tingkat angka kematian di kalangan
pecandu adalah 1,5 per tahun yaitui 5 ribu orang per tahun (BNN dan Puslitkes
UI, 2004 ). Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya
(NAPZA) biasanya dimulai dengan pemakaian yang pertama kalinya pada saat
usia SD atau SMP karena tawaran, bujukan, atau tekanan dari seseorang
maupun kawan sebaya.

Dari pemakaian sekali, kemudian beberapa kali dan akhimya menjadi


ketergantungan terhadap zat yang digunakan. Dampak yang ditimbulkan
tergantung pada jenis NAPZA yang digunakan dan cara menggunakannya,
dapat terjadi berbagai masalah medis seperti infeksi human immunodeficiency
virus/ auto immunodeficiency syndrome (HTV/ AIDS), hepatitis C atau B,
kecemasan, depresi, dan psikosis. Pada beberapa tahun terakhir, angka
penderita HIV/AIDS di Jawa Tengah meningkat sangat fantastis. Pada tahun
2000 hanya ditemukan 14 kasus, tapi tahun 2009 sudah menjadi 2290
penderita. Faktor risiko utama penyebab penyakit ini adalah akibat hubungan
seksual dan Pengguna Napza Suntik atau Penasun. Diperkirakan ke depan,
Penasun akan menjadi faktor risiko utama menggeser hubungan seksual.
Seperti diketahui bahwa salah satu penularan HIV AIDS dapat terjadi karena

1
penggunaan jarum suntik bekas yang tidak steril. Jarum suntik bekas dari
pengguna NAPZA yang menderita penyakit HIV AIDS dapat menularkan 3
kepada penasun yang lain. Karena virus di dalam darah penasun yang
terinfeksi, dapat bertahan di dalam jarum suntik selama 4 minggu.

B. Rumusan Masalah

Dari penulisan makalah ini adapun rumusan masalah yang didapat yaitu

1. Bagaimana penyalahgunaan NAPZA ?


2. Bagaimana NAPZA yang sering disalahgunakan beserta efek yang
ditimbulkan?
3. Bagaimana hubungan perilaku penggunaan NAPZA dengan penularan
HIV ?

C. Tujuan
Dari penulisan makalah ini adapun tujuan yang didapat yaitu

1. Untuk mengetahui penyalahgunaan NAPZA ?


2. Untuk mengetahui NAPZA yang sering disalahgunakan beserta efek yang
ditimbulkan?
3. Untuk mengetahui hubungan perilaku penggunaan NAPZA dengan
penularan HIV ?

BAB II

2
PEMBAHASAN
A. Penyalahgunaan Napza

Penyalahgunaan NAPZA adalah penggunaan NAPZA yang bersifat patologis,


paling sedikit telah berlangsung satu bulan lamanya sehingga menimbulkan gangguan
dalam pekerjaan dan fungsi sosial. Sebetulnya NAPZA banyak dipakai untuk
kepentingan pengobatan, misalnya menenangkan klien atau mengurangi rasa sakit.
Tetapi karena efeknya “enak” bagi pemakai, maka NAPZA kemudian dipakai secara
salah, yaitu bukan untuk pengobatan tetapi untuk mendapatkan rasa nikmat.
Penyalahgunaan NAPZA secara tetap ini menyebabkan pengguna merasa
ketergantungan pada obat tersebut sehingga menyebabkan kerusakan fisik (Sumiati,
2009).
Menurut Pasal 1 UU RI No.35 Tahun 2009 Ketergantungan adalah kondisi yang
ditandai oleh dorongan untuk menggunakan Narkotika secara terus-menerus dengan
takaran yang meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila
penggunaannya dikurangi dan/atau dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala
fisik dan psikis yang khas.
Ketergantungan terhadap NAPZA dibagi menjadi 2, yaitu (Sumiati, 2009):
1. Ketergantungan fisik adalah keadaan bila seseorang mengurangi atau menghentikan
penggunaan NAPZA tertentu yang biasa ia gunakan, ia akan mengalami gejala putus
zat. Selain ditandai dengan gejala putus zat, ketergantungan fisik juga dapat ditandai
dengan adanya toleransi.
2. Ketergantungan psikologis adalah suatu keadaan bila berhenti menggunakan NAPZA
tertentu, seseorang akan mengalami kerinduan yang sangat kuat untuk menggunakan
NAPZA tersebut walaupun ia tidak mengalami gejala fisik.

B. NAPZA yang sering disalahgunakan beserta efek yang ditimbulkan


Menurut Martono & Joewana (2008), jenis NAPZA yang sering disalah
gunakan oleh orang antara lain:
1) Opioida (morfin, heroin, putaw, dan lain-lain)
Segolongan zat dengan daya kerja serupa, ada yang alami, sintetik, dan semi
3
sintetik. Opioida alami berasal dari getah opium poppy (opiat), seperti mortin, opium,
dan kodein. Contoh opioida semi sintetik adalah heroin/putauw dan metadon
fentanyl (china white). Potensi menghasilkan nyeri dan menyebabkan
ketergantungan heroin adalah sepuluh kali lipat dibanding morfin dan kekuatan
opoida sintetik 400 kali lipat dan kekuatan morfin.
Cara pemakaiannya adalah disuntikan ke dalam pembuluh darah atau di hisap
melalui hidung setelah dibakar. Pengaruh jangka pendek: hilangnya rasa nyeri,
ketegangan berkurang, munculnya rasa nyaman (eforik) diikuti perasan seperti
mimpi dan rasa mengantuk ,dan pemakai dapat meninggal karena overdosis.
Pengaruh jangka panjang: ketergantungan (gejala putus zat, toleransi). Dapat timbul
komplikasi, seperti sembelit, gangguan menstruasi, dan impotensi karena pemakaian
jarum suntik yang tidak steril timbul abses, hepatitis B/C yang merusak hati dan
penyakit HIV/AIDS yang merusak kekebalan tubuh, sehingga mudah terserang
infeksi dan akhirnya menyebabkan kematian.
2) Ganja (marijuana, cimeng, gelek, hasis)
Ganja mengandung THC (tetrahydro-cannabinol) yang besifat psikoaktif. Ganja
yang dipakai berupa tanaman kering yang dirajang, dilinting, dan disulut seperti
rokok. Menurut Undang-Undang, ganja tergolong narkotik golongan I. Segera
setelah pemakain muncul cemas, rasa gembira, banyak bicara, tertawa cekikikan
halusinasi dan berubahnya perasaan waktu (lama dikira sebentar) dan ruang (jauh
dikira dekat), peningkatan denyut jantung, mata merah, mulut dan tenggorokan
kering, dan selera makan meningkat. Pengaruh jangka panjang: daya pikir
berkurang, motivasi belajar turun, perhatian kesekitarnya berkurang, daya tahan
tubuh terhadap infeksi menurun mengurangi kesuburan, peradangan jalan nafas,
aliran darah ke jantung berkurang dan terjadi perubahan pada sel-sel otak.
c). Kokain (kokain, crack, daun koka, pasta koka)
Kokain berasal dari tanaman koka, tergolong stimulansia (meningkatkan
aktivitas otak dan fungsi organ tubuh lain). Menurut Undang-Undang, kokain
termasuk narkotika golongan I. Kokain berbentuk Kristal putih. Nama jalanannya
adalah koka, happy dust, Charlie, srepet, snow/salju putih. Digunakan dengan cara

4
disedot melaluin hidung, dirokok, atau disuntikkan. Kokain dengan cepat
menyebabkan ketergantungan.
Segera setelah pemakaian rasa percaya diri meningkat, banyak bicara, rasa
lelah hilang, kebutuhan tidur berkurang, minat seksual meningkat, halusinasi visual
dan taktil (seperti ada serangga merayap), waham/curiga (paranoid). Pengaruh
jangka panjang: kurang gizi, anemia, sekat hidung rusak, dan terjadi gangguan jiwa
(psikotik).
d). Golongan Amfetamin (amfetamin, ekstasi, sabu)
Golongan amfetamin termasuk stimulansia susunan saraf pusat. Disebut juga
upper, amfetamin sering digunakan untuk menurunkan berat badan karena dapat
mengurangi rasa lapar, atau mengurangi rasa kantuk harus begadang. Amfetamin
cepat menyebabkan ketergantungan.
Termasuk golongan amfetamin adalah MDM (ekstasi, XTC, ineks) dan
metamfetamin (sabu), yang banyak disalahgunakan. Berbentuk pil warna-warni
(ekstasi) atau kristal putih (sabu) amfetamin disebut disainer drug karena dibuat dalam
laboratorium gelap yang kandunganya adalah campuran berbagai jenis zat. Remaja
dan orang dewasa muda dari bebagai kalangan mengunakan ekstasi dan sabu untuk
bersenang –senang.
Cara pemakaian: diminum (ekstasi), dihisap melalui hidung (sabu), atau
disuntikkan atau dihisap memakai sedotan. Pengaruh jangka pendek: tidak tidur
(terjaga), rasa riang, perasaan melambung (fly), rasa nyaman, dan meningkatkan
keakraban. Akan tetapi, setelah itu, muncul rasa tidak enak, murung, nafsu makan
hilang, berkeringat, haus, rahang kaku dan bergerak-gerak dan badan gemetar serta
dapat terjadi gangguan jiwa). Pengaruh jangka panjang: kurang gizi, anemia, penyakit
jantung dan gangguan jiwa psikotik.
e). Golongan Halusinogen: Lysergic Acid (LSD)

LSD menyebabkan halusinasi (khayalan) dan termasuk psikotropika golongan I.


Nama yang sering digunakan adalah acid, red dragon, blue heaven, sugar cubes, trips,
tabs. Bentuknya seperti kertas beukuran kotak kecil sebesar seperempat perangko
dalam banyak warna dan gambar atau berbentuk pil dan kapsul. Cara pemakainnya
5
adalah dengan meletakkan LSD pada lidah. Pengaruh LSD tak dapat diduga. Sensasi
dan perasaan berubah secara dramatis, dengan mengalami flashback atau bad trips
(halusinansi/penglihatan semu) berulang tanpa peringatan sebelumnya. Pupil
melebar, tidak bias tidur, selera makan hilang, suhu tubuh meningkat, berkeringat,
denyut nadi dan tekanan darah naik, koordinasi otot terganggu dan tremor dapat
merusak sel otak, gangguan daya ingat dan pemusatan perhatian yang diikuti
meningkatnya resiko kejang, serta kegagalan pernafasan dan jantung.
f). Sedativa dan Hipnotika (obat penenang, obat tidur)
Contoh Sedativa dan hipnotik adalah Lexo, nipam, pil BK, MG, DUM dan
Rohyp yang termasuk psikotropika golongan III dan IV dan digunakan dalam
pengobatan dengan pengawasan. Tidak boleh diperjualbelikan tanpa resep dokter.
Orang minum obat tidur atau pil penenang untuk menghilangkan stres atau gangguan
tidur. Memang stres berkurang atau hilang sementara tetapi persoalan tetap saja ada.
Pengaruhnya sama dengan alkohol, yaitu menekan kerja otak dan aktifitas organ tubuh
lain (depresan). Jika diminum bersama alkohol akan meningkatkan pengaruhnya,
sehingga dapat terjadi kematian. Segera setelah pemakaian: Muncul perasaan tenang
dan otak-otak mengendur. Pada dosis lebih tinggi : tertekannya pernapasan, koma,
dan kematian. Pada pemakaian jangka panjang: gejala ketergantungan

C. Hubungan Perilaku Pengguna NAPZA dengan Penularan HIV


Hubungan antara penggunaan narkoba suntikan dan HIV / AIDS relatif diteliti
dengan baik, sedikit informasi epidemiologis sistematis tersedia pada tingkat dan pola
penularan HIV yang disebabkan oleh penggunaan narkoba tanpa suntikan. Ini
disayangkan karena ada bukti yang muncul bahwa penggunaan kokain, crack dan
stimulan jenis amfetamin meningkatkan perilaku risiko seksual yang terkait dengan
penularan HIV. Namun, hingga saat ini, tinjauan epidemiologis HIV / AIDS terkait
penggunaan narkoba masih harus banyak bergantung pada informasi yang terkait
dengan penggunaan narkoba suntikan, yang tidak diragukan lagi meremehkan
dampak nyata dari penggunaan narkoba pada epidemi HIV / AIDS. Akibatnya,
pencegahan penularan HIV yang terkait dengan penggunaan narkoba terus fokus

6
sebagian besar pada penggunaan narkoba suntikan, kehilangan peluang potensial
pencegahan penggunaan narkoba primer dan sekunder untuk menghentikan
penyebaran virus.

1). Penggunaan narkoba suntikan


Pada tahap awal pandemi, HIV / AIDS di kalangan pengguna narkoba suntikan
sebagian besar dianggap sembuh sendiri, mempengaruhi penyuntik dan pasangan
seksual langsung mereka tetapi tidak mengarah pada penyebaran virus yang lebih
umum. Penelitian terbaru tentang epidemi HIV / AIDS di Asia dan Eropa Timur telah
membuktikan bahwa perspektif ini tidak benar. Secara global, diperkirakan bahwa 5%
-10% dari semua infeksi HIV disebabkan oleh penggunaan narkoba suntikan,
sebagian besar melalui penggunaan peralatan injeksi yang terkontaminasi. Di banyak
negara di Eropa, Asia, Timur Tengah dan Amerika Selatan, penggunaan peralatan
suntikan non-steril tetap menjadi mode penularan HIV yang paling penting, terhitung
30% -80% dari semua infeksi yang dilaporkan. Risiko penularan HIV dalam komunitas
penyuntik tergantung, antara lain, pada zat yang terlibat. Frekuensi injeksi sangat
berkorelasi dengan penularan HIV, dan ada perbedaan dalam tingkat injeksi antara
obat. Di antara individu-individu yang tergantung pada heroin, umumnya
menyuntikkan 1 - 3 kali sehari. Kokain, di sisi lain, biasanya disuntikkan lebih dari
10 kali sehari. Hal ini secara signifikan meningkatkan kemungkinan penularan HIV
karena mengurangi kemungkinan alat suntik steril digunakan setiap kali. Konteks di
mana obat disuntikkan juga dapat berdampak pada risiko penularan. "Galeri
Menembak" adalah tempat penggunaan narkoba yang berhubungan dengan risiko
tinggi berbagi jarum dan jarum suntik. Jarum atau jarum suntik di galeri penembakan
dapat digunakan oleh ratusan pengguna narkoba suntikan. Galeri penembakan yang
sering disuntikkan telah dikaitkan dengan risiko tertular HIV yang sangat tinggi.
“Suntik yang dimediasi penggunaan narkoba suntikan” adalah penggunaan jarum
suntik yang diukur untuk membagi obat di antara beberapa pengguna, dan terjadi di
banyak negara, khususnya di negara-negara bekas Uni Soviet
Di Asia, di mana berbagi jarum dan jarum suntik adalah hal yang umum, injeksi
oleh "injector profesional" tersebar luas. Penyuntik profesional menjual obat dan
7
suntikan (sehingga pengguna narkoba tidak harus menyuntik sendiri). Injector
profesional cenderung menggunakan jarum dan jarum suntik yang sama berulang kali,
menggandakan kemungkinan penularan HIV secara dramatis. Epidemi yang didorong
oleh penggunaan narkoba suntikan memiliki karakteristik yang berbeda dari epidemi
di mana penularan seksual adalah cara utama infeksi. Yang paling penting, efisiensi
penularan HIV per suntikan hampir enam kali lebih tinggi daripada untuk tindakan
heteroseksual. Sebagian besar penelitian juga menemukan bahwa suntikan heroin
menyuntikkan sekitar 1-3 kali per hari, dan pengguna kokain bahkan lebih sering,
sehingga jumlah

kemungkinan paparan juga lebih besar. Karena efisiensi yang lebih besar dan
frekuensi paparan risiko yang lebih tinggi terkait dengan penggunaan narkoba
suntikan, epidemi ini cenderung menyebar lebih cepat daripada yang didorong oleh
transmisi seksual. Segera setelah HIV diperkenalkan ke komunitas pengguna narkoba
suntikan, tingkat infeksi pada populasi ini dapat meningkat dari nol hingga 50-60%
dalam 1-2 tahun. Sebagian besar penyuntik adalah laki-laki, tetapi proporsi penyuntik
perempuan telah meningkat dengan cepat, terutama di Asia dan Eropa Timur.
Pecandu wanita dapat membayar obat-obatan mereka melalui kerja seks, dan ini dapat
menyebabkan penularan virus ke klien di luar komunitas penyuntik. Epidemiologi
HIV / AIDS dalam populasi pengguna napza suntik bervariasi dari satu negara ke
negara. Penggunaan narkoba suntikan sudah mapan di Eropa Barat dan Amerika
Utara, di mana prevalensi HIV / AIDS dalam populasi pengguna napza suntik
umumnya rendah, selain dari Eropa Selatan, Kanada Barat dan pesisir timur Amerika
Serikat. Ini tersebar luas di sebagian besar negara di Asia, dan Eropa Tengah dan
Timur. Penyuntikan adalah peningkatan bentuk pemberian obat terlarang di Amerika
Latin dan Timur Tengah. Afrika dan Amerika Tengah menghadapi tahap awal
penggunaan narkoba suntikan, meskipun ada tren peningkatan yang
mengkhawatirkan di banyak kota di wilayah ini.
2). Penyalahgunaan narkoba dan HIV / AIDS di pengaturan penjara
Penjara adalah lingkungan yang berisiko tinggi untuk penularan HIV.
Penggunaan narkoba secara umum, dan penggunaan narkoba suntikan pada
8
khususnya, serta kekerasan dan seks antara laki-laki tersebar luas di penjara.
Pengguna narkoba sering terwakili dalam populasi penjara dan dapat terus
menggunakan narkoba saat dipenjara. Sebagian besar pengguna narkoba memiliki
riwayat penahanan, sering kali untuk kejahatan terkait narkoba. Berbagi peralatan
injeksi obat yang sering terkontaminasi adalah cara penularan HIV yang dominan di
antara tahanan. HIV juga ditularkan di penjara melalui perilaku seksual yang tidak
aman, kadang-kadang dikaitkan dengan kekerasan seksual. Kepadatan penjara,
kekerasan geng, kurangnya perlindungan bagi narapidana termuda, korupsi dan
manajemen penjara yang buruk meningkatkan kerentanan secara signifikan terhadap
penularan HIV di antara narapidana. Tingkat turnover yang tinggi (di seluruh dunia
pada waktu tertentu, ada 10 juta) narapidana, dengan omset tahunan 30 juta juga
memicu penyebaran HIV dan infeksi lain yang ditularkan melalui darah. Setelah
dibebaskan, narapidana kembali ke jejaring sosial di komunitas umum, sehingga
memfasilitasi penyebaran infeksi HIV ke komunitas yang tidak dipenjara.

3) Menurunnya usia inisiasi menjadi penyalahgunaan narkoba dan penyuntikan


narkoba
Usia di mana orang mulai menggunakan narkoba sangat bervariasi dan
tergantung pada faktor-faktor seperti kohesi sosial, norma dan ketersediaan obat. Di
Persemakmuran Negara- negara Merdeka, misalnya, menyuntikkan sangat umum di
kalangan anak muda, dengan inisiasi dimulai sejak usia 12 tahun. Transisi ke
penggunaan narkoba suntikan adalah langkah penting dalam meningkatkan risiko
HIV pada seseorang. Alasan paling umum untuk melakukan transisi adalah efektivitas
yang dirasakan superior dan efisiensi pemberian obat yang superior. Di antara wanita,
memiliki pasangan yang menyuntikkan dikaitkan dengan inisiasi, sedangkan pada
pria itu adalah kelompok sebaya yang merupakan pengaruh sosial utama. Status sosial
ekonomi yang rendah, tunawisma, pencapaian pendidikan yang rendah, usia yang
lebih muda dari inisiasi penggunaan narkoba dan penggunaan polis semuanya terkait
dengan transisi ke suntikan. Heroin adalah obat yang paling umum disuntikkan
pertama kali. Fase inisiasi menjadi penyuntikan narkoba dikaitkan dengan tingkat
perilaku berisiko yang lebih tinggi karena teknik ini harus dipelajari, umumnya di

9
lingkungan penyuntikan bersama. Sebagai contoh, di Vietnam utara, sekali individu
merasa nyaman dengan pemberian injeksi itu sendiri, injektor melaporkan terlibat
dalam keadaan yang lebih sedikit kondusif untuk berbagi. Namun, bahkan setelah fase
inisiasi, memerlukan bantuan untuk menyuntikkan adalah faktor risiko penularan
HIV. Sebuah tinjauan penularan HIV terkait dengan penggunaan narkoba suntikan di
negara-negara Eropa Tengah dan Timur, Negara-negara Baltik dan Persemakmuran
Negara-negara Independen menemukan bahwa orang-orang muda di wilayah ini
terlibat dalam dua perilaku berisiko tertinggi untuk mendapatkan alat suntik yang
berbagi HIV di antara pengguna narkoba suntikan dan melakukan hubungan seks
tanpa kondom dengan pekerja seks dan pasangan seksual lainnya - pada tingkat yang
lebih tinggi daripada di banyak bagian lain dunia.

10
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Napza (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif) adalah bahan/zat/obat yang apabila
masuk ke dalam tubuh manusia bias mempengaruhi tubuh terutama pada otak atau
susunan saraf pusat sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis, dan fungsi
sosialnya karena terjadi kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta ketergantungan (dependensi)
terhadap NAPZA. Hubungan antara penggunaan narkoba suntikan dan HIV / AIDS
relatif diteliti dengan baik, sedikit informasi epidemiologis sistematis tersedia pada
tingkat dan pola penularan HIV yang disebabkan oleh penggunaan narkoba tanpa
suntikan. Ini disayangkan karena ada bukti yang muncul bahwa penggunaan kokain,
crack dan stimulan jenis amfetamin meningkatkan perilaku risiko seksual yang terkait
dengan penularan HIV.

B. Saran

Saran yang dapat diberikan oleh penulis berdasarkan makalah ini diharapkan bagi
masyarakat agar mengetahui tentang HIV/AIDS. Bagi tenaga kesehatan yang menangani
pasien dengan HIV/AIDS dapat mengetahui tanda gejala serta perilaku bagi pengguna
NAPZA yang berisiko menularkan HIV kepada sesama

11
DAFTAR PUSTAKA
Archibald C, Bastos F, Beyrer C, Crofts N, Des Jarlais D Grund J-P, Hacker M, Heimer R, Rhodes
T and Saidel T. The nature and extent of HIV/AIDS among injecting drug users. Evidence
For Action: Establishing the Evidence-Base for Effective HIV Prevention among Injecting
Drug Users. WHO. Geneva (In preparation).

Bravo MJ, Barrio G, de la Fuente L, Royuela L, Domingo L, Silva T. Reasons for selecting an
initial route of heroin administration and for subsequent transitions during a severe HIV
epidemic. Addiction 2003;98:749-60;

Crofts N, Louie R, Rosenthal D, Jolley D. The first hit: circumstances surrounding initiation into
injecting. Addiction 1996;91:1187-96

Chaisson RE, Bacchetti P, Osmond D, Brodie B, Sande MA, Moss AR. Cocaine use and HIV
infection in intravenous drug users in San Francisco. Jama 1989;261:561-5; Strathdee SA,
Galai N, Safaiean M, Celentano DD, Vlahov D, Johnson L, Nelson KE. Sex differences in
risk factors for HIV seroconversion among injection drug users: a 10-year perspective. Arch
Intern Med 2001;161:1281-8.

Green ST, Taylor A, Frischer M, Goldberg DJ. ‘Frontloading’ (‘halfing’) among Glasgow drug
injectors as a continuing risk behaviour for HIV transmission. Addiction 1993;88:1581-2;

Hunter GM, Donoghoe MC, Stimson GV, Rhodes T, Chalmers CP. Changes in the injecting risk
behaviour of injection drug users in London, 1990-1993. Aids 1995;9:493-501;

Kral AH, Bluthenthal RN, Erringer EA, Lorvick J, Edlin BR. Risk factors among IDUs who give
injections to or receive injections from other drug users. Addiction 1999;94:675-83.

Martin V, Cayla JA, Moris ML, Alonso LE, Perez R. Predictive factors of HIV-infection in
injection drug users upon incarceration. Eur J Epidemiol 1998;14:327-31.

O’Connell JM, Spittal P, Li K, Tyndall MW, Hogg RS, Schechter MT, Wood E. Requiring help
injecting independantly predicts incident HIV infection in a prospective cohort study of
injection drug users. Proceedings of the XVth International AIDS Conference. Bangkok,

12
2004.

Pisani E, Garnett GP, Grassly NC, Brown T, Stover J, Hankins C, Walker N, Ghys PD. Back to
basics in HIV prevention: focus on exposure. BMJ 2003;326:1384-7

Rodes A, Vall M, Casabona J, Nuez M, Rabella N, Mitrani L. [Prevalence of human


immunodeficiency virus infection and behaviors associated with its transmission among
parenteral drug users selected on the street]. Med Clin (Barc) 1998;111:372-7.

Reid G, Costigan G. Revisiting ‘The Hidden Epidemic’: A situational assessment of drug use in
Asia in the context of HIV/AIDS. Melbourne: Centre for Harm Reduction, 2002;

Schoenbaum EE, Hartel D, Selwyn PA, Klein RS, Davenny K, Rogers M, Feiner C, Friedland G.
Risk factors for human immunodeficiency virus infection in intravenous drug users. N Engl
J Med 1989;321:874-9;

Swift W, Maher L, Sunjic S. Transitions between routes of heroin administration: a study of


Caucasian and Indochinese heroin users in south-western Sydney, Australia. Addiction
1999;94:71-82.

UNAIDS, Institute OS, Agency CID. The Warsaw declaration: A framework for effective action
on HIV/AIDS and injection drug use. 2nd International Policy Dialogue. Warsaw; WHO/
UNAIDS/ UNODC. Advocacy Guide: op.cit.

WHO/ UNAIDS/ UNODC. Advocacy Guide:HIV/AIDS Prevention Among Injecting Drug Users.
WHO, 2004

WHO. Training Guide for HIV Prevention Outreach to Injection drug users. Geneva. 2003

WHO. Where sex work, drug injecting and HIV overlap (In Preparation).

13

Anda mungkin juga menyukai