Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

CHRONIC OBSTRUCTIVE PULMONARY DISEASE (COPD)

DISUSUN OLEH:

REGINNA FIRDAUS

18.089

IIIB

AKADEMI KEPERAWATAN RUMAH SAKIT DUSTIRA

CIMAHI

2020
A. Konsep Teori Penyakit
1. Definisi
Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) adalah suatu
penyakit yang ditandai dengan adanya obstruksi aliran udara yang
disebabkan oleh bronkitis kronis atau empisema. Obstruksi aliran udara
pada umumnya progresif kadang diikuti oleh hiperaktivitas jalan nafas
dan kadangkala parsial reversibel, sekalipun empisema dan bronkitis
kronis harus didiagnosa dan dirawat sebagai penyakit khusus, sebagian
besar pasien COPD mempunyai tanda dan gejala kedua penyakit
tersebut.( Amin, Hardhi, 2013).

Penyakit Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD)


merupakan suatu kelainan dengan ciri-ciri adanya keterbatasan aliran
udara yang tidak sepenuhnya reversible Pada klien COPD paru-paru
klien tidak dapat mengembang sepenuhnya dikarenakan adanya
sumbatan dikarenakan sekret yang menumpuk pada paru-paru. (Lyndon
Saputra, 2010).

COPD adalah penyakit paru kronik dengan karakteristik adanya


hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif
nonreversibel atau reversibel parsial, serta adanya respons inflamasi
paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya (GOLD, 2009).

Penyakit Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD)


merupakan satu kelompok penyakit paru yang mengakibatkan obstruksi
yang menahun dan persisten dari jalan napas di dalam paru, yang
termasuk dalam kelompok ini adalah : bronchitis, emfisema paru, asma
terutama yang menahun, bronkiektasis. Arita Murwani (2011).

2. Anatomi Fisiologi
a. Rangka Dada (Thorax)
Rangka dada atau thorax tersusun dari tulang dan tulang rawan. Thorax
berupa
sebuah rongga berbentuk kerucut, di bawah lebih besar dari pada di atas dan
di belakang lebih panjang dari pada bagian depan. Dibagian belakang, thorax
dibentuk oleh kedua belas vertebrae thoracalis, di depan dibentuk oleh
sternum, dibagian atas oleh clavicula, dibagian bawah oleh diafragma , dan di
samping kiri dan kanan dibentuk oleh kedua belas pasang iga yang melingkari
badan mulai dari belakang dari tulang belakang sampai ke sternum di depan
(Pearce, 2011).

b. Kerangka Dada (Thorax)


Batas-batas yang membentuk rongga di dalam thorax adalah
sternum dan tulang rawan iga-iga di depan, kedua belas ruas tulang punggung
beserta cakram antar ruas (diskus intervertebralis) yang terbuat dari tulang
rawan belakang, iga-iga beserta otot interkostal di samping, diafragma di
bawah, dan dasar leher di atas. Sebelah kanan dan kiri rongga dada terisi
penuh oleh paru-paru beserta pembungkus pleuranya. Pleura ini membungkus
setiap belah, dan membentuk batas lateral pada mediastinum. Mediastinum
ialah ruang di dalam rongga dada antar kedua paru-paru. Isinya jantung dan
pembuluh-pembuluh darah besar, esofagus, duktus torasika, aorta desendens,
dan vena kava superior, saraf vagus dan frenikus dan sejumlah besar kelenjar
limfe (Pearce, 2015).
c. Paru - paru
Paru-paru terdiri dari dua paru-paru besar yang seperti spons,
yang terletak di setiap sisi rongga thorax. Paru-paru kanan terdiri atas tiga lobus,
yaitu lobus superior (atas), tengah, dan inferior (bawah) yang dibagi oleh dua celah
yang dalam. Fisura inferior, yang memisahkan lobus inferior dan tengah, disebut
fisura oblik. Fisura horisontal memisahkan lobus superior dan tengah. Paru-paru
kiri hanya memiliki dua lobus, yaitu lobus superior (atas) dan inferior (bawah)
yang dipisahkan oleh satu fisura oblik yang dalam.Organ paru-paru tersusun atas
sel-sel parenkim, mirip spons yang ringan dan
sangat elastis sehingga memungkinkan terjadinya mekanisme pernafasan. Setiap
paru-paru mengandung kantung berdinding ganda yang halus, atau membran,
yang disebut pleura, yang dapat divisualisasikan baik dalam gambar bagian
depan maupun bagian melintang. Lapisan luar kantung pleura ini melapisi
permukaan bagian dalam dinding dada dan diafragma dan disebut parietal pleura.
Lapisan dalam yang menutupi permukaan paru-paru, yang juga masuk ke celah
di antara lobus disebut pleura paru atau viseral.
Ruang potensial antara pleura berdinding ganda yang disebut rongga pleura, berisi
cairan pelumas yang memungkinkan pergerakan satu atau yang lainnya selama
bernafas. Ketika udara atau cairan terkumpul di antara dua lapisan ini, ruang ini
dapat divisualisasikan secara radiografi. Udara atau gas yang ada di rongga pleura
ini menghasilkan suatu kondisi yang disebut pneumotoraks.Akumulasi cairan
dalam rongga pleura (efusi pleura) menciptakan kondisi
yang disebut hemotoraks (Bontrager, 2018).
3. Etiologi
a) Merokok merupakan > 90% resiko untuk COPD dan sekitar 15% perokok
menderita COPD. Beberapa perokok dianggap peka dan mengalami
penurunan fungsi paru secara cepat. Pajanan asap rokok dari lingkungan
telah dikaitkan dengan penurunan fungsi paru dan peningkatan resiko
penyakit paru obstruksi pada anak.
b) Terdapat peningkatan resiko COPD bagi saudara tingkat pertama
perokok. Pada kurang dari 1% penderita COPD, terdapat defek gen alfa satu
antitripsin yang diturunkan yang menyebabkan awitan awal emfisema.
c) Infeksi saluran nafas berulang pada masa kanak – kanak berhubungan
dengan rendahnya tingkat fungsi paru maksimal yang bisa dicapai dan
peningkatan resiko terkena COPD saat dewasa. Infeksi saluran nafas kronis
seperti adenovirus dan klamidia mungkin berperan dalam terjadinya
COPD.
d) Polusi udara dan kehidupan perkotaan berhubungan dengan peningkatan
resiko morbiditas COPD..
4. Patofisiologi
Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu
pengambilan oksigen untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran
karbondioksida dan air sebagai hasil metabolisme. Proses ini terdiri dari tiga
tahap, yaitu ventilasi, difusi dan perfusi. Ventilasi adalah proses masuk dan
keluarnya udara dari dalam paru. Difusi adalah peristiwa pertukaran gas
antara alveolus dan pembuluh darah, sedangkan perfusi adalah distribusi
darah yang sudah teroksigenasi. Gangguan ventilasi terdiri dari gangguan
restriksi yaitu gangguan pengembangan paru serta gangguan obstruksi
berupa perlambatan aliran udara di saluran napas. Parameter yang sering
dipakai untuk melihat gangguan restriksi adalah kapasitas vital (KV),
sedangkan untuk gangguan obstruksi digunakan parameter volume
ekspirasi paksa detik pertama (VEP1), dan rasio volume ekspirasi paksa
detik pertama terhadap kapasitas vital paksa
(VEP1/KVP) (Sherwood, 2001).
Faktor risiko utama dari COPD adalah merokok.
Komponenkomponen asap rokok merangsang perubahan pada sel-sel
penghasil mukus bronkus. Selain itu, silia yang melapisi bronkus
mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan-
perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini mengganggu sistem
eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus kental dalam
jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran napas. Mukus berfungsi
sebagai tempat persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi
sangat purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan edema jaringan.
Proses ventilasi terutama ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat
dari ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang
kental dan adanya peradangan (GOLD, 2009).
Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya
peradangan kronik pada paru.Mediator-mediator peradangan secara
progresif merusak struktur-struktur penunjang di paru. Akibat hilangnya
elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang.
Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal
terjadi akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah inspirasi.
Dengan demikian, apabila tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan
terperangkap di dalam paru dan saluran udara kolaps (GOLD, 2009).
Berbeda dengan asma yang memiliki sel inflamasi predominan
berupa eosinofil, komposisi seluler pada inflamasi saluran napas pada
COPD predominan dimediasi oleh neutrofil. Asap rokok menginduksi
makrofag untuk melepaskan Neutrophil Chemotactic Factors dan elastase,
yang tidak diimbangi dengan antiprotease, sehingga terjadi kerusakan
jaringan (Kamangar, 2010).
Selama eksaserbasi akut, terjadi perburukan pertukaran gas dengan
adanya ketidakseimbangan ventilasi perfusi. Kelainan ventilasi
berhubungan dengan adanya inflamasi jalan napas, edema,
bronkokonstriksi, dan hipersekresi mukus.Kelainan perfusi berhubungan
dengan konstriksi hipoksik pada arteriol (Chojnowski, 2003).

5. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis pada pasien dengan Chronic Obstructive
Pulmonary Disease (COPD) adalah Perkembangan gejala-gejala yang
merupakan ciri dari PPOK adalah malfungsi kronis pada sistem pernafasan
yang manifestasi awalnya ditandai dengan batuk-batuk dan produksi dahak
khususnya yang makin menjadi di saat pagi hari. Nafas pendek sedang yang
berkembang menjadi nafas pendek akut. Batuk dan produksi dahak (pada
batuk yang dialami perokok) memburuk menjadi batuk persisten yang
disertai dengan produksi dahak yang semakin banya. Reeves (2001).
Biasanya pasien akan sering mengalami infeksi pernafasan dan
kehilangan berat badan yang cukup drastis, sehingga pada akhirnya pasien
tersebut tidak akan mampu secara maksimal melaksanakan tugas-tugas
keseharian atau yang menyangkut tanggung jawab pekerjaannya. Pasien
mudah sekali merasa lelah dan secara fisik banyak yang tidak mampu
melakukan kegiatan sehari-hari.Selain itu pada pasien COPD banyak yang
mengalami penurunan berat badan yang cukup drastis, sebagai akibat dari
hilangnya nafsu makan karena produksi dahak yang makin melimpah,
penurunan daya kekuatan tubuh, kehilangan selera makan (isolasi sosial)
penurunan kemampuan pencernaan sekunder karena tidak cukupnya
oksigenasi sel dalam sistem (GI) gastrointestinal. Pasien dengan COPD
lebih membutuhkan banyak kalori karena lebih banyak mengeluarkan
tenaga dalam melakukan pernafasan.
6. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan rutin
a) Faal paru
Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP
• Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau
VEP1/KVP (%).
• Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1%
(VEP1/KVP) < 75 %
• VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai
untuk menilai beratnya COPD dan memantau perjalanan
penyakit.
• Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin
dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai
sebagai alternatif dengan memantau variabiliti harian pagi dan
sore, tidak lebih dari 20%
Uji bronkodilator
• Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada
gunakan APE meter.
• Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8
hisapan, 15 - 20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1
atau APE, perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan < 200
ml
• Uji bronkodilator dilakukan pada COPD stabil
b) Darah rutin
Hb, Ht, leukosit
c) Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit
paru lain.
Pada emfisema terlihat gambaran :
- Hiperinflasi
- Hiperlusen
- Ruang retrosternal melebar
- Diafragma mendatar
- Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye
drop appearance).
Pada bronkitis kronik :
- Normal
- Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus
2. Pemeriksaan khusus (tidak rutin)
a) Faal paru
- Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti
Paru Total (KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat
- DLCO menurun pada emfisema
- Raw meningkat pada bronkitis kronik
- Sgaw meningkat
- Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %
b) Uji latih kardiopulmoner
- Sepeda statis (ergocycle)
- Jentera (treadmill)
- Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
c) Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil
COPD terdapat hipereaktiviti bronkus derajat ringan
d) Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral
(prednison atau metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari
selama 2minggu yaitu peningkatan VEP1 pascabronkodilator > 20 %
dan minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat kenaikan
faal paru setelah pemberian kortikosteroid
e) Analisis gas darah
Terutama untuk menilai :
- Gagal napas kronik stabil
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
f) Radiologi
- CT Scan resolusi tinggi
- Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema
atau bula yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos
- Scan ventilasi perfusi Mengetahui fungsi respirasi paru
g) Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal
dan hipertrofi ventrikel kanan.
h) Ekokardiografi
Menilai funfsi jantung kanan
i) Bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur
resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk
memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulng
merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita COPD di
Indonesia.
j) Kadar alfa-1 antitripsin
Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema
pada usia muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di
Indonesia
7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien dengan Chronic Obstructive Pulmonary
Disease (COPD)
menurut Mansjoer (2002) adalah :
Pencegahan yaitu mencegah kebiasaan merokok, infeksi, polusi udara.
Terapi eksasebrasi akut dilakukan dengan :
a. Antibiotik, karena eksasebrasi akut biasanya disertai infeksi. Infeksi
ini umumnya disebabkan oleh H. Influenzae dan S. Pneumonia, maka
digunakan ampisillin 4 x 0,25-0,5 g/hari atau eritromisin 4 x 0,5
g/hari.
b. Augmentin (amoksisilin dan asam kluvanat) dapat diberikan jika
kuman penyebab infeksinya adalah H. Influenzae dan B. Catarhalis
yang memproduksi beta laktamase.
c. Pemberian antibiotik seperti kotrimoksasol, amoksisilin, atau
doksisilin pada pasien yang mengalami eksasebrasi akut terbukti
mempercepat penyembuhan dan membantu mempercepat kenaikan
peak flow rate. Namun hanya dalam 7-10 hari selama periode
eksasebrasi. Bila terdapat infeksi sekunder atau tanda-tanda
pneumonia, maka dianjurkan antibiotic yang lebih kuat.
d. Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernafasan karena
hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas terhadap CO2.
e. Fisioterapi membantu pasien untuk mengeluarkan sputum dengan
baik.
f. Bronkodilator untuk mengatasi, termasuk didalamnya golongan
adrenergik. Pada pasien dapat diberikan salbutamol 5 mg dan atau
ipratorium bromide 250 mikrogram diberikan tiap 6 jam dengan
nebulizer atau aminofilin 0,25-0,5 g iv secara perlahan.
1. Terapi jangka panjang dilakukan dengan :
a) Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisillin
4x0,25-0,5/hari dapat menurunkan kejadian eksasebrasi akut.
b) Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran
nafas tiap pasien maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan
pemeriksaan obyektif dari fungsi faal paru.
1) Fisioterapi.
2) Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik.
3) Mukolitik dan ekspektoran.
4) Terapi jangka penjang bagi pasien yang mengalami gagal nafas tipe II
dengan PaO2<7,3kPa (55 mmHg).
5) Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa
sendiri dan terisolasi, untuk itu perlu kegiatan sosialisasi agar terhindar dari
depresi. Rehabilitasi pada pasien dengan penyakit paru obstruksi kronis
adalah fisioterapi, rehabilitasi psikis dan rehabilitasi pekerjaan.
B. Konsep Asuhan Keperwatan COPD
1. Pengakajian
a) Primary survey
1) Airway
Napas pendek ( timbul tersembunyi dengan dispnea sebagai gejala
menonjol pada emfisema) khususnya pada kerja, cuaca atau berulangnya
sulit napas (asma), rasa dada tertekan, ketidakmampuan untuk bernapas,
batuk menetap dengan produksi sputum setiap hari terutama pada saat
bangun, episode batuk hilang timbul, bianyanya tidak produksi pada tahap
dini meskipun dapat menjadi produktif ( emfisema), thacipnea.
2). Breathing &Ventilasi
Biasanya cepat, dapat lambat, fase ekspirasi memanjang dengan
mendengkur, napas bibir ( emfisema ), penggunaan otot bantu pernapasan,
bunyi napas mungkin redup dengan ekspirasi mengi, mnyebar, lembut atau
krekels lembab kasar, ronkhi, mengi sepanjang area paru pada ekspirasi
dan kemungkinan selama inspirasi berlanjut sampai penurunan atau tidak
adanya bunyi napas abnormal.
3). Circulation & Hemoragic control
Peningkatan tekanan darah, peningkatan frekuensi jantung, distensi vena
leher, edema dependen, tidak berhubungan dengan penyakit jantung, bunyi
jantung redup ( yang berhubungan dengan peningkatan diameter AP dada
).
4) Disability & Mental status
Ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari – hari, dispnea saat istirahat,
keletihan, gelisah, kelemahan umum/kehilangan massa otot.
5) Expossure
Buka pakaian penderita, cegah hipotermia, tampatkan di tempat tidur
dengan memarhatikan jalan nafas terjaga.
b) Secondary Survey
1) Anamnesis
a) S : Sign and symtom
Tanyakan keluhan yang paling menanggung pada klien yang
membuatnya harus dibawa di IGD.
b) A : Alergi
Mengkaji riwayat alergi obat, makanan, atau kimiawi pada
pasienyang dapat berdampak buruk terhadap pengobatan.
c) M : Medikamentosa
Mengkaji obat yang dikonsumsi oleh pasien saat ini yang
berhubungan dengan COPD.
d) P : Pertinen medical or Surgical history
Mengkaji penyakit pasien sebelumnya yang berhubungan dengan
COPD
e) L : Last oral intake
Menkaji kapan pasien makan terakhir, jam berapa serta makanan apa
saja yang telah dimakan.
f) E : Events leading up to illness or injury
Mengkaji bagaimana keadaan pasien dari dari awal kejadian sampai
pasien di diagnosa COPD.
2) Pemeriksaan Fisik
a) Daerah kepala dan leher : Kepala dan wajah jarang dilihat adanya
sianosis, DVJ (Distensi Vena Jugularis) saat ekspirasi.
b) Daerah dada
1) Inspeksi : Terlihat adanya peningkatan usaha dan frekuensi pernafasan
sertapenggunaan otot bantu nafas. Bentuk dada barrel chest (akibat udara
yang tertangkap) atau bisa juga normo chest, penipisan massa otot, dan
pernapasan dengan bibir dirapatkan. Pernapasan abnormal tidak fektif dan
penggunaan otototot bantu nafas (sternocleidomastoideus).
2) Palpasi : Pada palpasi, ekspansi meningkat dan taktil fremitus biasanya
menurun.
3) Perkusi : Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hiper sonor
sedangkan diafragma menurun
4) Auskultasi : Sering didapatkan adanya bunyi nafas ronchi dan wheezing
sesuai tingkat beratnya obstruktif pada bronkiolus. Pada pengkajian lain,
didapatkan kadar oksigen yang rendah (hipoksemia) dan kadar
karbondioksida yang tinggi (hiperkapnea) terjadi pada tahap lanjut
penyakit. Pada waktunya, bahkan gerakan ringan sekalipun seperti
membungkuk untuk mengikat tali sepatu, mengakibatkan dispnea dan
keletihan (dispnea eksersorial). Paru yang mengalami emfisematosa
tidak berkontraksi saat ekspirasi dan bronkiolus tidak dikosongkan secara
efektif dari sekresi yang dihasilkannya. Pasien rentan terhadap reaksi
inflamasi dan infeksi akibat pengumpulan sekresi ini. Setelah infeksi terjadi,
pasien mengalami mengi yang berkepanjangan saat ekspirasi.
c) Daerah abdomen : Pasien biasanya mual, nyeri lambung.
d) Daerah ekstremitas : Kerena penggunaan otot bantu nafas yang lama
pasien terlihat keletihan,sering didapatkan intoleransi aktivitas dan
gangguan pemenuhan ADL (ActivityDay Living).

3. Diagnosa Keperawatan
Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan bronkospasma,
peningkatan produksi sekret, sekresi tertahan, tebal, sekresi kental, penurunan
energi atau kelemahan.

4. Intervensi Keperawatan

Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d bronkospasma, peningkatan produksi


sekret, sekresi tertahan, tebal, sekresi kental, penurunan energi atau
kelemahan.
Definisi : Inspirasi dan atau/ekspirasi yang tidak memberi ventilasi yang adekuat
Domain 4 : Aktivitas/istirahat
Kelas 4 : Kardiovaskuler/Pulmonal
(Herdman, Kamitsuru, 2018-2020)
Kriteria hasil/Tujuan Intervensi Rasional

Status Pernapasan 1) Auskultasi bunyi nafas. R/ mengetahui ada tidaknya


Setelah dilakukan Catat adanya bunyi nafas obstruksi jalan nafas dan
Tindakan keperawatan misalnya mengi, krekels, menjadi manifestasi
selama 1 x 24 jam, ronkhi. adanya bunyi nafas
diharapkan adventisius.
Bersihan jalan nafas tidak efektif
dapat teratasi
dengan kriteria hasil 2). Kaji atau pantau R/ takipnea biasanya ada pada
frekuensi pernafasan. Catat beberapa derajat dan dapat
rasio inspirasi atau ekspirasi. ditemukan pada
Indikator A T
penerimaan atau selama
Frekuensi stress/adanya proses infeksi
pernafasan akut
Suara
auskultasi
nafas 3). Catat adanya derajat R/ mengetahui disfungsi
dispnea, misalnya keluhan pernapasan
Keterangan :
lapar udara, gelisah, ansietas,
1. Deviasi berat dari
distress pernafasan,
kisaran normal
penggunaan otot bantu.
2. Deviasi yang cukupcukup
berat dari kisaran
4). Kaji pasien untuk posisi
normal R/ mempermudah fungsi
yang nyaman, misalnya
3. Deviasi sedang dari pernapasan dengan
peninggian kepala tempat
kisaran normal menggunakan gravitasi.
tidur, duduk pada sandaran
4. Deviasi ringan dari
tempat tidur
kisaran normal

5). Dorong atau bantu latihan R/ mengatasi dan mengontrol


nafas abdomen atau bibir dispnea dan menurunkan
jebakan udara.

6). Observasi karakteristik R/ batuk dapat menetap tetapi


batuk, misalnya batuk tidak efektif.
menetap, batuk pendek,
basah.
Bantu tindakan untuk
memperbaiki keefektifan
upaya batuk.

R/ hidrasi membantu
7). Tingkatkan masukan
menurunkan kekentalan
cairan sampai 3000 ml/hari sekret, mempermudah
sesuai toleransi jantung.
pengeluaran.
Memberikan air hangat.
Anjurkan masukan cairan
antara sebagai pengganti
Makanan

R/ merilekskan otot halus dan


Kolaborasi :
menurunkan kongesti lokal
- Berikan obat sesuai
menurunkan
indikasi. spasme jalan napas, mengi, dan
- Bronkodilator misalnya
produksi mukosa
albuterol (ventolin).
- Analgesik, penekan batuk
atau antitusif misalnya
dextrometorfan.
- Berikan humidifikasi
tambahan misalnya nebulizer
ultranik, humidifier
aerosol ruangan.
- Bantu pengobatan
pernafasan misalnya
fisioterapi dada.
DAFTAR PUSTAKA
Alagaff, Hood, dkk.2005Daar-dasarILmu PenyakitParu, Surabaya: Airlangga
Univerity Press.
Bulecheck, dkk.2013 Nursing Intervensions Classificstion (NIC). Jakarta :
Elsiver.
Doengoes, M2012. Rencana Asuhan Keperwatan Pedoman Untuk Perencanaan
dan pendokumentasianPerwatan Pasien. Jakarta:EGC
Devi, Anarkadian Kris Buana. (2017). Aanato,o Fisiologi dan
BiokimiaKeperawatan.Yogyakrta:Pustaka Baru Press.
Gloria M. Bulecheck, dkk.2013. Nursing Intervension Classifications (NIC)
Edition.Singapoer:Elsevier
Herdman, Kmaitsuru.2018. Nanda-I Diagnosis dan Klasifikasi 2018-2020.
Jakarta: EGC
Jones, Janice dan Fix, Brenda.2017. Buku Saku Perwatan Klinis. Jakarta:Erlangga
Kurniati Amelia,2013.Keperawatan Gawat Darurat dan Bencana,
Elsevie:Singapure
Kowalak, Jennifer P. Dkk. 2012. Buku Ajar Patofisiologi:”Sistem Pernafasan
: Bab.7-Hal.253,Jakarta:EGC
Moorhed,dkk.2013.NursingOutcomee Classification (NOC) 5
Edition.Singapoer:Elsevier
Sjamsuhiajat R, Wim de jong:Buku Ajar Ilmu Bedah.Edisi Kedua, Buku
Kedokteran EGC:2020

Anda mungkin juga menyukai