Anda di halaman 1dari 21

REFARAT

RHINOSINUSITIS DAN NASAL POLIP

PEMBIMBING
dr. Dina Putri, Sp.THT-KL

Disusun Oleh :
Achmad Soerio Setiodi ( 030.13.003 )

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT


RUMAH SAKIT TNI AL DR. MINTOHARDJO JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas berkat, rahmat dan karunia-
Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan referat ini yang berjudul “Rhinosinusitis dan
Nasal Polip” dengan baik dan tepat waktu. Dalam menyelesaikan referat ini penulis
mendapatkan bantuan dan bimbingan, untuk itu pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada pihak- pihak yang telah membantu menyelesaikan
penyusunan referat ini.

Penulis menyadari bahwa referat ini masih memiliki kekurangan, maka dari itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak agar
referat ini dapat menjadi lebih baik lagi. Semoga pembuatan referat ini dapat memberikan
manfaat, yaitu menambah ilmu pengetahuan bagi seluruh pembaca, khususnya untuk
rekan-rekan kedokteran maupun paramedis lainnya dan masyarakat pada umumnya.

Jakarta, 8 Oktober 2020

Achmad Soerio Setiodi


030.13.003 FK USAKTI

i
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR............................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN .................................................... ii
DAFTAR ISI.............................................................................. iii
DAFTAR GAMBAR ............................................................... v
BAB I PENDAHULUAN ........................................................ 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................. 2
2.1 Anatomi ....................................................................... 2
2.2 Rhinosinusitis .............................................................. 3
2.2.1 Definisi ..................................................................... 3
2.2.2 Epidemiologi ............................................................ 4
2.2.3 Etiologi ..................................................................... 4
2.2.4 Patofisiologi ............................................................. 4
2.2.5 Manesfestasi Klinis dan Diagnosis........................... 5
2.2.6 Tatalaksana ............................................................... 7
2.2.7 Komplikasi ............................................................... 8
2.2.8 Prognosis................................................................... 9
2.3 Polip nasal ................................................................... 10
2.3.1 Definisi ..................................................................... 10
2.3.2 Epidemiologi ............................................................ 10
2.3.3 Etiologi ..................................................................... 10
2.3.4 Patofisiologi ............................................................. 10
2.3.5 Manesfestasi Klinis................................................... 11
2.3.6 Diagnosis .................................................................. 11
2.3.7 Tatalaksana ............................................................... 13
2.3.8 Komplikasi ............................................................... 14
2.3.9 Prognosis....................................................................14
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................15

ii
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Anatomi Pernafasan Atas .................................................................................. 3

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Epitel traktus respiratorius merupakan titik utama interaksi antara organisme hidup
dan lingkungannya. Oleh karena itu, epitel ini memiliki fungsi pelindung dan adaptif yang
memungkinkannya berfungsi sebagai barrier (penghalang) bagi elemen lingkungan yang
berbahaya bagi organisme hidup.1

Rhinosinusitis disebut juga dengan sinusitis yang merupakan inflamasi mukosa sinus
paranasal yang disertai dengan rinitis, penyebab utamanya infeksi virus yang dapat diikuti
oleh infeksi bakteri.2

Di Indonesia, pada bulan Januari hingga Agustus 2005 tercatat data dari Divisi
Rinologi Departemen THT RSCM menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu
tersebut sebanyak 435 pasien dan 69% (300 pasien) menderita rinosinusitis tahun 2008
sebesar 296 penerita dari 783 pasien yang datang ke Devisi Rinologi Departemen THTKL
RSUP H. Adam Malik Medan.3

Polip hidung merupakan penyakit multifaktorial, mulai disebabkan dari infeksi,


inflamasi non infeksi, kelainan anatomis, abnormalitas genetik, serta beberapa teori yang
mengarahkan polip ini sebagai manifestasi dari inflamasi kronis. Oleh karena itu, tiap kondisi
yang menyebabkan adanya inflamasi kronis pada rongga hidung dapat menjadi faktor
predisposisi polip, serta kebanyakan polip yang diakibatkan proses inflamasi biasanya
bilateral.4
Prevalensi pada populasi umum bervariasi antara 0,5 –4%. Pada populasi umum,
prevalensi polip nasi sekitar 4 %. Pada penelitian, didapatkan prevalensi lebih tinggi, 40%.
Polip nasi ditemukan pada usia dewasa dan biasanya usia diatas dua puluh tahun. 5

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi

Kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang, dipisahkan oleh septum nasi
di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah
dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior, dan superior. 6

Dinding medial dibentuk oleh septum nasi. Septum nasi dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada
bagian tulang, sedangkan di luarnya dilapisi juga dengan mukosa nasal.6

Pada dinding lateral dari cavum nasi tidak rata karena adanya tiga conchae yaitu:
concha nasi superior, medius, dan inferior. Conchae nasi ini berjalan dengan arah
inferimedial. Tiga conchae nasalis ini membentuk 4 celah untuk jalannya udara yaitu recessus
sphenoethmoidalis yang terdapat di atas concha nasi superior menerima muara dari sinus
sphenoidalis, Lalu meatus nasi superior yang terletak diantara conchanasi superior dan
medius menerima muara dari sinus ethomidalis posterior, selanjutnya meatus nasi medius
yang terletak diantara concha nasi medius dan inferior lebih panjang dan lebar dibandingkan
dengan meatus nasi superior. Bagian anterosupereriornya menuju ke infundibulum
ethmoidalis, lubang yang berhubungan sinus frontalis lewat ductus frontonasalis. Ductus
frontonasalis kemudian bermuara pada suatu celah semisirkular yaitu hiatus semilunaris.
Bulla ethmoidalis, elevasi bulat yang terletak lebih tinggi dari hiatus semilunar (terlihat saat
concha nasi medius diangkat). Bulla dibentuk oleh cellulae etmoidalis medius, yang
membentuk sinus ethmoidal. Sinus maxillaris menuangkan isinya juga kebagian posterior
hiatus semilunar. Yang terakhir meatus nasi inferior yang terletak di bawah concha nasi
inferior merupakan saluran berbentuk horizontal. Ductus nasolacrimalis dari sacus lacrimalis
bermuara pada bagian anterior dari meatus ini. 7,8

2
Gambar 1 : Anatomi Pernafasan Atas

2.2 Rhinosinusitis

2.2.1 Definisi

Secara klinis rinosinusitis didefinisikan sebagai inflamasi hidung dan sinus paranasal
yang ditandai dengan adanya dua atau lebih gejala, salah satunya termasuk hidung tersumbat/
obstruksi/ kongesti atau pilek, nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah, penurunan/ hilangnya
penghidu, dan salah satu dari temuan naso endoskopi, yaitu polip dan/ atau sekret
mukopurulen dari meatus media, atau edema/ obstruksi mukosa di meatus media, dan/ atau
gambaran komputer tomografi berupa perubahan mukosa di kompleks osteomeatal dan/atau
sinus.9

3
2.2.2 Epidemiologi

Diperkirakan sebesar 14,1 % dari populasi orang dewasa. Menurut American Academy
of Otolaringology, kondisi ini menghabiskan langsung dana kesehatan sebesar 3,4 milyar
dolar per tahun. Kasus rinosinusitis kronis itu sendiri yang sudah masuk data rumah sakit
berjumlah 18 sampai 22 juta pasien setiap tahunnya dan kira-kira sejumlah 200.000 orang
dewasa Amerika menjalankan operasi rinosinusitis per tiap tahunnya juga. 10

Data dari Kemenkes RI tahun 2013 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus
berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817
penderita rawat jalan di rumah sakit. Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran
yang diadakan oleh Binkesmas bekerja sama dengan PERHATI dan Bagian THT RSCM
mendapatkan data penyakit hidung dari 7 propinsi. Data dari Divisi Rinologi Departemen
THT RSCM Januari-Agustus 2016 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu
tersebut adalah 435 pasien, 69% nya adalah sinusitis.11

2.2.3 Etiologi

Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus, bermacam
rhinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung, kelainan
anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks ostio-meatal,
infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia silia seperti pada sindrom
kartagener, dan di luar negri adalah penyakit fibrosis kistik. Faktor lain yang juga
berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara dingin dan kering serta kebiasaan merokok.
Keadaan ini lama lama menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia.12

2.2.4 Patofisiologi

Diawali dengan rhinitis yang biasanya rhinitis alergi atau infeksi virus yang bisa
menyebabkan kerusakan cilia pada hidung ditandai dengan mediator inflamasi. Terjadinya
inflamasi pada mucosal hidung sehingga menyebabkan oedem pada bagian konka hidung.
Biasanya akan terjadi obstruksi ostia sinus. Keadaan ini biasanya terdapat pada pasien
persisten rhinorrhea. Obstruksi tersebut akan menyebabkan sekresi mucus yang berlebihan

4
dan akan memicu meningkatnya neutrophil, eusinofil dan selmast. Terjadilah reaksi inflamasi
pada mukosa sinus.Ini akan menyebabkan masuknya bakterinya pseudomonas karena sudah
tidak ada pertahanan primer. Hal itu terjadi karena disfungsi silia dan karena perubahan
mikroflora normal serta terjadi penurunan pH pada sinus dan oksigen tension berkurang yang
menyebabkan lebih mudah bakteri pseudomonas menginfeksi. Terjadi penebalan basement
memebrane, hyperplasia goblet, oedem sub epitel dan inflitrasi sel mono nuclear yang
disebabkan oleh teraktifasinya jalur humoral dan supresi terhadap sel mediated sehingga
menyebabkan bakteri tidak dapat diatasi oleh system imun.13

2.2.5 Manesfestasi Klinis dan Diagnosis

Berdasarkan onset dibagi menjadi aku dan kronis. Untuk akut dengan durasi < 12
minggu, dan untuk kronis > 12. Diagnosis rinosinusitis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan anamnesis, American Academy
of Otolaryngology (AAO) memberikan suatu kriteria diagnosis untuk rinosinusitis yaitu
dengan menegakkan kriteria mayor dan minor. Kriteria mayor meliputi nyeri wajah, rasa
penuh pada wajah, hidung tersumbat, hidung berair, sekret purulen, hiposmia atau anosmia
dan demam (pada kondisi akut). Kriteria minor meliputi nyeri kepala, demam, halitosis,
kelelahan, nyeri gigi, batuk, nyeri atau rasa penuh pada telinga. Diagnosis ditegakkan bila
terdapat dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor dan dua kriteria minor selama sekurang-
kurangnya 12 minggu. Kecurigaan sinusitis didapatkan bila ditemukan satu kriteria mayor
atau dua kriteria minor. 14

Berdasarkan The European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps


(EPOS) 2020 mendefinisikan rinosinusitis dengandari munculnya dua atau lebih gejala, salah
satunya harus berupa hidung tersumbat / obstruksi / kongesti atau pilek. Nyeri tekan pada
wajah, batuk. Atau dari pemeriksaan endoskopi didapatkan nasal polip, discharge
mukopurulen di bagian tengah meatus atau ditemukannya edema atau obstruksi mucus
dibagian tengah meatus. Pemeriksaan ct scan ditemukan perubahan mukosa dalam complex
ostiomeatal dan atau sinus.15

Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan nasoendoskopi


sangat dianjurkan untuk diagnosa yang tepat dan dini. Tanda khas adalah adanya pus di
meatus media (pada sinusitis maksila, etmoid anterior, dan frontal) atau di meatus superior

5
(pada sinusitis etmoid posterior dan sfenoid). Pada rinosinusitis akut, tampak mukosa edema
dan hiperemis. Pada anak sering ada pembengkakan dan kemerahan di daerah kantus media.16

Pemeriksaan penunjang yang penting adalah foto polos atau CT scan. Foto polos posisi
Waters, PA dan lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus – sinus besar seperti
sinus maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat berupa perselubungan, batas udara dan
cairan ( air fluid level ) atau penebalan mukosa.17

CT Scan sinus merupakan gold standar diagnosis rhinosinusitis karena mampu menilai
anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara keseluruhan dan
perluasannya. Namun karena pemeriksaannya mahal, CT scan hanya dikerjakan sebagai
penunjang diagnosis rhinosinusitis kronik yang tidak membaik dengan pengobatan atau pra
operasi saat melakukan operasi sinus. 17

6
2.2.7 Tatalaksana

a. Medikamentosa 18

b. Non – Medikamentosa
Sinuskopi yaitu pencucian rongga hidung dengan NaCl atau pemanasan
(diatermi). Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) merupakan operasi
terkini untuk sinusitis kronik yang membutuhkan operasi. Tindakan ini hamper
menggantikan semua jenis tindakan bedah sinus terdahulu karena memberikan hasil
yang lebih memuaskan dan tindakannya lebih ringan dan tidak radikal. Indikasinya
berupa: sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat; sinusitis kronis
disertai kista atau kelainan yang irreversible; polip ekstensif, adanya komplikasi
sinusitis.19

2.2.8 Komplikasi

1. Komplikasi orbital

7
Penyebaran infeksi ke orbita paling sering terjadi pada sinusitis etmoid,
frontal, dan maksila. Gejala dan tanda yang patut dicurigai sebagai infeksi orbita
adalah: edema periorbita, selulitis orbita, dan nyeri berat pada mata. Kelainan dapat
mengenai satu mata atau menyebar ke kedua mata.20
2. Komplikasi intrakranial (endokranial)
Penyebaran infeksi ke intrakranial dapat menimbulkan meningitis, abses
ekstradural, dan trombosis sinus kavernosus. Gejala dan tanda yang perlu dicurigai
adalah: sakit kepala (tajam, progresif, terlokalisasi), paresis nervus kranial, dan
perubahan status mental pada tahap lanjut.20
3. Komplikasi Lainnya
Terutama pada rinosinusitis kronik, dapat berupa: osteomielitis sinus maksila,
abses subperiosteal, bronkitis kronik, bronkiektasis.20

2.2.9 Prognosis

Prognosis sinusitis akut sangat baik, dengan sekitar 70% pasien dapat sembuh tanpa
pengobatan. Antibiotik oral dapat mengurangi gejala sinusitis. Sinusitis kronik memiliki
perjalanan penyakit yang bervariasi. Prognosisnya baik, bila penyebab sinusitis adalah
anatomis dan ditatalaksana dengan tindakan pembedahan. Lebih dari 90% pasien mengalami
kemajuan dengan intervensi bedah. Namun, pasien ini memiliki kemungkinan untuk relaps,
sehingga dibutuhkan regimen untuk mencegah kekambuhan. Pada pasien dengan sinusitis
akut bakterialis dengan perluasan ke intrakranial walaupun diterapi antibiotik, insiden
morbiditas dan mortalitasnya masih tinggi, antara 5%-10%.21

8
2.3 Polip nasal

2.3.1 Definisi

Polip hidung adalah sebuah lesi jinak yang timbul pada mukosa sinus hidung. Yang
bisanya paling sering muncul dari kompleks ethmoid anterior atau dari mukosa rongga
hidung. Polip ini adalah penyakit radang kronis yang umum pada mukosa hidung. Polip
bisa menimbulkan gejala seperti hidung tersumbat, rinorea, hiposmia dah nyeri tekan pada
wajah.22

2.3.2 Epidemiologi

Prevalensi pada populasi umum bervariasi antara 0,5 –4%. Pada populasi umum,
prevalensi polip nasi sekitar 4 %. Pada penelitian, didapatkan prevalensi lebih tinggi, 40%.
Polip nasi ditemukan pada usia dewasa dan biasanya usia diatas duapuluh tahun.
Umumnya tidak ditemukan pada anak –anak di bawah usia sepuluh tahun.23

9
2.3.3 Etiologi

Polip hidung diklasifikasi menjadi 3 kelompok; terlokalisasi, diffuse, dan sistemik.


Polip hidung yang terlokalisasi biasanya reaktif baik dari inflamasi atau proses neoplastic.
Polip hidung diffuse sering terjadi pada pasien rhinosinusitis dengan nasal polip.
Sementara pada sistemik polip hidung mengacu pada penyakit sistemik dengan
manifestasi pada hidung. Dengan contoh penyakit seperti Churg-Strauss Syndrome dan
cystic fibrosis.24

2.3.4 Patofisiologi

Pembentukan polip sering disebabkan oleh inflamasi kronik, disfungsi saraf otonom
serta predisposisi genetik sehingga terjadi peruahan mukosa hidung akibat peradangan
atau aliran udara yang bertubulensi, terutama didaerah sempit dikomples ostio-meatal
(KOM). Terjadi prolaps submukosa yang diikuti oleh reepitelisasi dan pembentukan
kelenjar baru. Juga terjadi peningkatan penyerapan natrium oleh permukaan sel epitel
yang berakibat retensi air sehingga terbentuk polip. Karena ketidakseimbangan saraf
vasomotor terjadi peningkatan permeabilitas kapiler dan gangguan regulasi vaskular yang
mengakibatkan lepasnya sitokin dari sel mast, yang akan menyebabkan edema dan lama-
kelamaan mnjadi polip. Bila proses tersbut berkelanjutan , maka mukosa yang sembab
semakin membesar menjadi polpi dan kemudian akan turun kerongga hidung dengan
membentuk tangkai. 25

2.3.5 Manesfestasi Klinis

Ketika baru terbentuk, sebuah polip tampak seperti air mata dan jika telah matang,
bentuknya menyerupai buah anggur yang berwarna keabu-abuan. Polip hidung kecil
biasanya dapat dideteksi sewaktu endoskopi hidung rutin. Jarang menimbulkan masalah-
masalah yang berarti. Namun, Polip Hidung yang lebih besar biasanya menimbulkan
gejala-gejala sebagai berikut seperti penyumbatan hidung, indera perasa berhubungan
dengan indera penciuman, maka penderita juga bisa mengalami penurunan fungsi indera
perasa dan penciuman. Terdapat juga rasa sakit dan tidak nyaman di bagian wajah atau
kening. Hilangnya indera penciuman (hiposmia) juga bisa terjadi. Bisa juga terjadi bau
busuk dari hidung. Penyumbatan drainase lendir dari sinus ke hidung. 26

10
2.3.6 Diagnosis

1. Anamnesis

Dari anamnesis penderita polip nasal biasanya memiliki keluhan utama yaitu Hidung
tersumbat dari yang ringan sampai berat, keluar cairan hidung ( rinore ) mulai yang jernih
sampai purulen, hiposmia atau anosmia. Dan juga bisa terjadi bersin –bersin, rasa nyeri
pada hidung disertai sakit kepala daerah frontal. Bila disertai infeksi sekunder mungkin
didapatkan post nasal drip dan rinore purulen. Gejala sekunder yang dapat timbul adalah
bernafas melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur dan penurunan kualitas
hidup. Pada kasus polip nasal dapat ditanyakan riwayat rinitis alergi, asma intoleransi
terhadap aspirin dan alergi obat serta alergi terhadap makanan.

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pada nasal polip inspeksi terlebih dahulu apakah terdapat
deformitas dari hidung. Lalu dilajutkan dengan pemeriksaan rinoskopi anterior terlihat
massa yang berwarna pucat, berasal dari meatus medius dan biasanya mobile. Dilakukan
rinoskopi posterior untuk menuntukan apakah polip sudah masuk ke koana atau
nasofaring. Bila ukuran polip besar, akan tampak massa berwarna putih ke abu abuan
mengkilat yang terlihat menggantung di nasofaring.

3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada polip adalah:


1. Naso-Endoskopi. Untuk melihat polip yang masih kecil dan belum keluar dari
kompleks osteomeatal. Memberikan gambaran yang baik dari polip, khususnya polip
berukuran kecil di meatus media.
2. Foto polos rontgen & CT-scan. Untuk mendeteksi sinusitis. Foto polos sinus
paranasal (posisi water, AP, caldwell, dan lateral) dapat memperlihatkan penebalan
mukosa dan adanya batas udara dan cairan di dalam sinus, tetapi pemeriksaan ini
kurang bermanfaat pada pada kasus polip. Pemeriksaan CT scan sangat bermanfaat

11
untuk melihat dengan jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah ada
kelainan anatomi, polip, atau sumbatan pada komplek osteomeatal. CT scan terutama
diindikasikan pada kasus polip yang gagal diterapi dengan medikamentosa.
3. Biopsi. Kita anjurkan jika terdapat massa unilateral pada pasien berusia lanjut,
menyerupai keganasan pada penampakan makroskopis dan ada gambaran erosi
tulang pada foto polos rontgen.27

2.3.7 Tatalaksana
Medikamentosa 28

12
2.3.8 Komplikasi

Komplikasi polip hidung terjadi karena polip memblokir aliran udara normal dan
drainese cairan. Selain itu bisa terjadi juga Obstructive spleep apnea dikarenakan jalan nafas
yang terblokir. Terjadi double vision pada kasus yang berat, atau infeksi sinus yang terus
berulang. 29

2.3.9 Prognosis

13
Rekurensi Polip nasi sering terjadi, pengobatan lebih ditujukan kepada etiologinya.
Berikan edukasi kepada pasien untuk menghindari faktor pencetus

DAFTAR PUSTAKA

1. Al Sayed, AA, Aqu R.U, and Massoud, E. Models for the study of nasal and sinus
physiology in health and disease: A review of the literature. Laryngoscope Investig
Otolaryngol.2017 Oct 31;2(6):398-409
2. Soepardi E.A, N.Iskandar, J.Bashiruddin, R.D.Restuti. Buku ajar ilmu kesehatan
telinga hidung tenggorok kepala dan leher. Vol VI (6). Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2011.

14
3. Budiman BJ, Rosalinda R. Bedah Sinus Endoskopi Fungsional pada Rinosinusitis
Kronis. Diakses dari: http://tht.fk.unand.ac.id/makalah/83-bedah-sinus-endoskopi-
fungsional-revisi-pada-rinosinusitis-kronis.html pada tanggal 10 September 2015.
4. Lucente, Frank E. 2011. Ilmu THT Esensial. Edisi ke-5. Dialihbahasakan oleh
Hartanto, Huriawati. Jakarta: EGC
5. Maharjan S, Neopane P, Tiwari M, Parajuli R. Nasal polyposis: A review. Global
Journal of Otolaryngology. 2017;8(2).
6. Thapa F, Narmaya N. Diagnosis and treatment of sionasal inverted papilloma.
Nepalese Journal of ENT Head and Neck Surgery [internet]. 2010; 1(1):1-2.
7. Moore, KeithL., Arthur F Dalley, and A. M. R Agur.Essential Clinically Oriented
Anatomy. 5th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2015.
8. Paulsen F. & J. Waschke. Sobotta Atlas Anatomi Manusia : Anatomi Umum dan
Muskuloskeletal. Penerjemah : Brahm U. Penerbit. Jakarta : EGC. 2013
9. Chow AW, Benninger MS, Brook I, Brozek JL, Goldstein EJC, Hicks LA, et al. IDSA
Clinical Practice Guideline for Acute Bacterial Rhinosinusitis in Children and Adults.
Clinical Infectious Diseases 2012.
10. Ryan, Matthew. 2012. Management of Chronic Rhinosinusistis.Grand Rounds
Presentation, UTMB, Dept. of Otolaryngology
11. Nurmalasari Y, Nuryanti D. Faktor-faktor prognostik kesembuhan pengobatan
medikamentosa rinosinusitis kronis di poli tht rsud a. dadi tjokrodipo bandar lampung
tahun 2017. Jurnal Ilmu Kedokteran dan Kesehatan. 2017;4(3).
12. Ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher. 1st ed. Bali: Program Studi
Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Rumah Sakit Umum
Pusat Sanglah Denpasar; 2017.
13. Common symtoms of nasal and paranasal sinus disease in: Mohammad Maqbool and
Suhail Maqbool.Textbook of ear nose and throat disease. 11 Editon. New Delhi.
Jaypee. 2010
14. Indonesia ID. Panduan praktik klinis bagi dokter di fasilitas pelayanan kesehatan
primer. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI. 2014.
15. Fokkens WJ, Lund VJ, Hopkins C, Hellings PW, Kern R, Reitsma S, Toppila-Salmi S,
Bernal-Sprekelsen M, Mullol J, Alobid I, Anselmo-Lima WT. European position paper
on rhinosinusitis and nasal polyps 2020. Rhinology. 2020;58(Supplement 29):1-464.

15
16. Fokkens WJ, Lund VJ, Mullol J, et al. European Position Paper on Rhinosinusitis and
Nasal Polyps 2012. Rhinol Suppl. 2012;23:3 p preceding table of contents, 1-298.
17. Orlandi RR, Kingdom TT, Hwang PH, et al. International Consensus Statement on
Allergy and Rhinology: Rhinosinusitis. Int Forum Allergy Rhinol. 2016;6 Suppl
1:S22-S209
18. Indonesia ID. Panduan praktik klinis bagi dokter di fasilitas pelayanan kesehatan
primer. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI. 2014.
19. Fokkens WJ, Valerie JL, Joachim M, Claus B, Isam A, Fuad B, et al. European
Position Paper On Rhinosinusitis And Nasal Polyps 2007. Rhinology 2007
20. Chow AW, Benninger MS, Brook I, Brozek JL, Goldstein EJC, Hicks LA, et al. IDSA
Clinical Practice Guideline for Acute Bacterial Rhinosinusitis in Children and Adults.
Clinical Infectious Diseases 2012.
21. Maharjan S, Neopane P, Tiwari M, Parajuli R. Nasal polyposis: A review. Global
Journal of Otolaryngology. 2017;8(2).
22. Tritt S, McMain KC,Kountakis SE. Unilateral nasal polyposis : Clinical presentation
and pathology. Am J Otolaryngol. 2012;29(4):230-2
23. Del Toro E, Portela J. Nasal Polyps. StatPearls. 2020
24. Lucente, Frank E. Ilmu THT Esensial. Edisi ke-5. Dialihbahasakan oleh Hartanto,
Huriawati. Jakarta: EGC 2011
25. Rajgaru R. Nasal polyposis : Current trends.Indian J otolaryngol Head Neck Surg
2014: 66.
26. Kolethekkat A, Paul R, Kurien M, Kumar S, Al Abri R, Thomas K. Diagnosis of Adult
Chronic Rhinosinusitis: Can Nasal Endoscopy Predict Intrasinus Disease?. Oman
Medical Journal. 2013;28(6):427-431.
27. BMJ Publishing Group Limited 2017. BMJ Best Practice. Nasal polyps. Last updated
Sept 12,2016.Accessed from
http://bestpractice.bmj.com/bestpractice/monograph/1130.html (30/03/2017)
28. American Academy of Otolaryngology— Head and Neck Surgery. Allergic Rhinitis,
Sinusitis, and Rhinosinusitis Accessed 2/9/2017.
29. Tritt S, McMain KC,Kountakis SE. Unilateral nasal polyposis : Clinical presentation
and pathology. Am J Otolaryngol. 2012;29(4):230-2

16
17

Anda mungkin juga menyukai