Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN KASUS

KARSINOMA NASOFARING

Disusun Oleh:
Morich Kristoper, S.Ked I4061192011

Pembimbing:
dr. Eni Nuraeni, M.Kes, Sp. THT, KL

KEPANITERAAN KLINIK STASE ILMU PENYAKIT THT-KL


RSUD DR. SOEDARSO PONTIANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2020
LEMBAR PERSETUJUAN

Telah disetujui Laporan Kasus dengan judul:


Karsinoma Nasofaring
Disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Stase Ilmu Penyakit THT-KL
RSUD dr. Soedarso Pontianak

Pontianak, Desember 2020


Disetujui Oleh Penyusun

Morich Kristoper, S.Ked


dr. Eni Nuraeni, M.Kes, Sp. THT, KL NIM I4061192011
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Laporan Kasus dengan judul
“Karsinoma Nasofaring”. Laporan kasus ini dibuat sebagai salah satu syarat
kelulusan kepaniteraan klinik stase ilmu penyakit THT-KL RSUD dr. Soedarso
Pontianak.
Penulisan ini tidak terlepas dari bantuan, dorongan, dukungan, bimbingan
serta dari semua pihak. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima
kasih yang sebesar-besarnya terutama kepada dr. Eni Nuraeni, M.Kes, Sp. THT, KL
selaku pembimbing laporan kasus di SMF Ilmu Penyakit THT-KL RSUD dr.
Soedarso Pontianak yang telah dengan sabar memberikan bimbingan, kritik, serta
saran yang membangun. Tidak lupa rasa terima kasih juga kami ucapkan kepada para
tenaga medis dan karyawan yang telah membantu selama kami mengikuti
kepaniteraan klinik di SMF Ilmu Penyakit THT-KL RSUD RSUD dr. Soedarso
Pontianak dan juga berbagai pihak lain yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa penulisan ini masih banyak kekurangan, maka kritik
dan saran yang membangun dari semua pihak sangat di harapkan demi
penyempurnaan selanjutnya. Akhirnya semoga penulisan ini bermanfaat bagi banyak
pihak, khususnya bagi penulis dan para pembaca pada umumnya.

Pontiananak, Desember 2020

Morich Kristoper, S.Ked


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan keganasan kepala leher terbanyak di
temukan di Indonesia1. Tumor ini sifatnya menyebar secara cepat ke kelenjar limfe
leher dan organ jauh, seperti paru, hati, dan tulang. Karsinoma nasofaring (KNF)
adalah salah satu kanker kepala leher yang bersifat sangat invasif dan sangat mudah
bermetastasis (menyebar) dibanding kanker kepala leher yang lain 2,3. KNF merupakan
satu dari lima kanker tersering di Cina dan Hong Kong 4. Insiden tertinggi penyakit ini
didapatkan di Negara Cina bagian selatan terutama di propinsi Guangdong, Guangxi
dan di daerah yang banyak dihuni oleh imigran Cina di Asia Tenggara (Hongkong,
Singapura), Taiwan dan USA (California). Insiden yang lebih rendah dibandingkan
dengan tempat tersebut diatas dijumpai pada orang Eskimo di Greenland, penduduk
yang hidup di Kanada, Malaysia, Thailand,Vietnam dan Indonesia 6. Meningkatnya
angka kasus kejadian karsinoma nasofaring terjadi pada usia 40 sampai 50 tahun,
tetapi dapat juga terjadi pada anak-anak dan usia remaja. Angka perbandingan (rasio)
laki-laki dan perempuan pada karsinoma nasofaring adalah 2-3 :1.
Karsinoma nasofaring paling sering di fossa Rosenmuller 8 yang merupakan
daerah transisional epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamosa 7. Karsinoma
nasofaring dibagi menjadi 3 tipe histopatologi berdasarkan klasifi kasi WHO 1991,
tipe-1 (karsinoma sel skuamosa berkeratin) sekitar 10%, tipe-2 (karsinoma tidak
berkeratin berdiferensiasi) sekitar 15% dan tipe-3 (karsinoma tidak berkeratin tidak
berdiferensiasi), tipe yang ke-3 yang paling sering muncul (75%)1.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Nasofaring
Nasofaring merupakan suatu ruangan yang berbentuk mirip kubus, terletak
dibelakang rongga hidung. Diatas tepi bebas palatum molle yang berhubungan
dengan rongga hidung dan ruang telinga melalui koana dan tuba eustachius. Atap
nasofaring dibentuk oleh dasar tengkorak, tempat keluar dan masuknya saraf otak dan
pembuluh darah. Dasar nasofaring dibentuk oleh permukaan atas palatum molle.
Dinding depan dibentuk oleh koana dan septum nasi dibagian belakang. Bagian
belakang berbatasan dengan ruang retrofaring, fasia prevertebralis dan otot dinding
faring. Pada dinding lateral terdapat orifisium yang berbentuk segitiga, sebagai muara
tuba eustachius dengan batas superoposterior berupa tonjolan tulang rawan yang
disebut torus tubarius. Sedangkan kearah superior terdapat fossa rossenmuller atau
resessus lateral.

Gambar 1. Anatomi Nasofaring


Nasofaring diperdarahi oleh cabang arteri karotis eksterna, yaitu faringeal
asenden dan desenden serta cabang faringeal arteri sfenopalatina. Darah vena dari
pembuluh darah balik faring pada permukaan luar dinding muskuler menuju pleksus
pterigoid dan vena jugularis interna. Daerah nasofaring dipersarafi oleh saraf sensoris
yang terdiri dari nervus glossofaringeus (N.IX) dan cabang maksila dari saraf
trigeminus (N.V2), yang menuju ke anterior nasofaring. Sistem limfatik daerah
nasofaring terdiri dari pembuluh getah bening yang saling menyilang dibagian tengah
dan menuju ke kelenjar Rouviere yang terletak pada bagian lateral ruang retrofaring,
selanjutnya menuju ke kelenjar limfa disepanjang vena jugularis dan kelenjar limfa
yang terletak dipermukaan superfisial9.

Gambar 2. Perdarahan Nasofaring


2.2 Karsinoma Nasofaring
Karsinoma nasofaring merupakan sebuah kanker yang bermula tumbuh pada
sel epitelial- batas permukaan badan internal dan external sel di daerah nasofaring.
Ada tiga tipe karsinoma nasofaring11:
a. Karsinoma sel skuamos keratinisasi.
b. Karsinoma berdiferensiasi non-keratinisasi.
c. Karsinoma tidak berdiferensiasi.
Karsinoma nasofaring merupakan penyakit keganasan (kanker) sel yang
terbentuk di jaringan nasofaring, yang merupakan bagian atas pharynx (tengorokan),
di belakang hidung. Pharynx merupakan sebuah lembah yang berbentuk tabung
dengan panjang 5 inchi dimulai dari belakang hidung dan berakhir di atas trakea dan
esofagus. Udara dan makanan melawati pharynx. Karsinoma nasofaring paling sering
bermula pada sel skuamos yang melapisi nasofaring.
Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas karsinoma berasal dari epitel
nasofaring. Biasanya tumor ganas ini tumbuh dari fossa rosenmuller dan dapat
meluas ke hidung, tenggorok, serta dasar tengkorak.

2.3 Epidemiologi Karsinoma Nasofaring


Karsinoma nasofaring jarang sekali ditemukan di benua Eropa, Amerika,
ataupun Oseania, insidennya umumnya kurang dari 1/100.000 penduduk. Insiden di
beberapa negara Afrika agak tinggi, sekitar 5-10/100.000 penduduk. Namun relatif
sering ditemukan di berbagai Asia Tenggara dan China. Di RRC, walaupun
karsinoma nasofaring jauh lebih sering ditemukan daripada berbagai daerah lain di
dunia, mortalitas rata-rata nasional hanya 1,88/100.000, pada pria 2,49/100.000, dan
pada wanita 1,27/100.000.
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah leher yang terbanyak
ditemukan di Indonesia. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan
karsinoma nasofaring, kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan sinus paranasal
(18%), larynx (16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam
presentase rendah.
Karsinoma nasofaring dapat terjadi pada segala usia, tapi umumnya
menyerang usia 30-60 tahun (menduduki 75-90%). Perbandingan proporsi pria dan
wanita adalah 2-3:1.
Sebagian besar penderita karsinoma nasofaring berumur diatas 20 tahun,
dengan umur paling banyak antara 50-70 tahun. Penelitian di Taipe menjumpai umur
rata-rata penderita lebih muda yaitu 25 tahun. Insiden karsinoma nasofaring
meningkat setelah umur 20 tahun dan tidak ada lagi peningkatan insiden setelah umur
60 tahun.
Karsinoma nasofaring paling sering ditemukan pada laki-laki dengan penyebab yang
masih belum dapat diungkap secara pasti dan mungkin berhubungan dengan adanya
faktor genetika, kebiasaan hidup, pekerjaan, dan lain-lain12.

2.4 Etiologi Karsinoma Nasofaring


Terjadinya karsinoma nasofaring masih multifaktorial, proses
karsinogenesisnya mencakup banyak tahap. Faktor yang diduga terkait dengan
timbulnya karsinoma nasofaring adalah:
a. Kerentanan genetic
Walaupun karsinoma nasofaring bukan tumor genetik, kerentanan
terhadap kanker nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relatif
menonjol ras yang banyak sekali menderitanya adalah bangsa China dan
memiliki fenomena agregasi familial. Anggota keluarga yang menderita
karsinoma nasofaring cendrung juga menderita karsinoma nasofaring.
Penyebab karsinoma nasofaring ini belum diketahui apakah karsinoma
nasofaring dikarenakan oleh gen yang diwariskan. Faktor lingkungan yang
mempengaruhi ( seperti diet makanan yang sama atau tinggal di lingkungan
yang sama), atau beberapa kombinasi diantarnya juga ikut mendukung
timbulnya karsinoma nasofaring11. Analisis korelasi menunjukkan gen
(Human Leukocyte Antigen) HLA dan gen pengode enzime sitokorm p4502E
(CYP2EI) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap kanker nasofaring,
Mereka berkaitan dengan timbulnya sebagian besar kanker nasofaring. Tahun
2002, RS Kanker Universitas Zhongshan memakai 382 buah petanda
mikrosatelit polimorfisme 22 helai autosom genom manusia. Dengan
melakukan pemeriksaan genom total terhadap keluarga insiden tinggi kanker
nasofaring berdialek Guangzhou di propinsi Guangdong, gen kerentanan
nasofaring ditetapkan berlokasi di 4p1511-q1213.
b. Epstein-Barr Virus
EBV adalah suatu virus yang sangat erat kaitannya dengan timbulnya
karsinoma nasofaring. Virus ini memiliki protein, yang diperkirakan
memengaruhi DNA sel sehingga mengalami mutasi, khususnya protooncogen
menjadi oncogen11.
c. Faktor ligkungan dan diet
Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi oleh bahan kimia,
termasuk asap sejenis kayu tertentu, kebiasaan memasak dengan bahan atau
bumbu masak tertentu, dan kebiasaan makan makanan terlalu panas. Terdapat
hubungan antara kadar nikel dalam air minum dan makanan dengan mortalitas
karsinoma nasofaring, sedangkan adanya hubungan dengan keganasan lain
tidak jelas12. Tingginya kadar nitrosamin diantaranya dimetilnitrosamin dan
dietilnitrosamin yang ada di dalam kandungan ikan asin Guangzhou juga
berhubungan13.
Orang-orang yang tinggal di Asia, Afrika bagian Utara, dan wilayah
Artik dengan karsinoma nasofairng mempunyai kebiasaan makan makanan
seperti ikan dan daging yang tinggi kadar garamnya. Sebaliknya, beberapa
studi menyatakan bahwa diet tinggi buah dan sayur mungkin menurunkan
resiko karsinoma nasofaring11.
d. Faktor pekerjaan
Faktor yang juga ikut berpengaruh adalah pekerjaan yang banyak
berhubungan dengan debu nikel, debu kayu (pada industri mebel atau
penggergajian kayu), atau pekerjaan pembuat sepatu. Atau zat yang sering
kontak dengan zat yang dianggap karsinogen adalah antara lain: Benzopyrene,
Bensoanthracene, gas kimia, asap industri, dan asap kayu.
e. Radang kronis daerah nasofaring
Dianggap dengan adanya peradangan, mukosa nasofaring menjadi
lebih rentan terhadap karsinogen lingkungan.

2.5 Patologi Karsinoma Nasofaring


Nasofaring berhubungan dengan beberapa struktur. Ke anterior nasofaring
berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, sehingga sumbatan hidung
merupakan gangguan yang sering timbul. Penyebaran tumor ke lateral akan
menyumbat muara tuba Eustachius sehingga akan menimbulkan gangguan
pendengaran dan penumpukan cairan di telinga tengah. Di bagian posterior dinding
nasofaring melengkung ke atas dan kedepan, terletak di bawah korpus os sphenoid
dan bagian basilar os oksipital. Nekrosis akibat penekanan mungkin timbul di tempat-
tempat tersebut. Di supero-posterior torus tubarius terdapat resesus faring atau fossa
Rosenmuleri dan tepat di ujung posterosuperiornya terdapat foramen laserum. Tumor
dapat menjalar ke arah intracranial dalam dua arah, yang masing-masing
menimbulkan gejala neurologis yang khas. Perluasan langsung melalui foramen
laserum ke sinus kavernosus dan fossa cranii media menyebabkan gangguan pada
N.III, N.IV, N.VI, dan kadang N.II. Penyebaran ke kelenjar faring lateral dan di
sekitar selubung karotis/jugularis pada ruang retroparotis akan menyebabkan
gangguan pada N.IX, N.X, N.XI, dan N.XII. Di nasofaring terdapat banyak saluran
limfe yang terutama mengalir ke lateral dan bermuara di kelenjar retrofaring Krause
(kelenjar Rouviere)15
2.6 Manifestasi Klinis
Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu gejala
nasofaring sendiri, gejala telinga, gejala mata dan saraf, serta metastasis, atau gejala
di leher. Gejala nasofaring dapat berupa epistaksis rigan atau sumbatan hidung, untuk
itu nasofaring harus diperiksa dengan cermat, kalau perlu dengan nasofaringoskop,
karena sering gejala belum ada sedangkan tumor sudah tumbuh, atau tumor tidak
tampak karena masih berada dibawah (creeping tumor)14.
Gangguan pada telinga merupakan gangguan dini yang timbul karena tempat
asal tumor dekat muara tuba eustasius (fossa rosenmuller). Gangguan dapat berupa
tinitus, rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia). Tidak
jarang pasien dengan gangguan pendengaran ini kemudian baru di sadari bahwa
penyebabnya adalah karsinoma nasofaring14
Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui
beberapa lubang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala
lanjut karsinoma ini. Penjalaran melalui foramen lacerum akan mengenai saraf otak
ke III, IV, VI dan dapat pula ke V, sehingga tidak jarang diplopialah gejala yang
membawa pasien terlebih dahulu ke dokter mata. Neuralgia trigeminal merupakan
gejala yang sering ditemukan oleh ahli saraf jika belum terdapat keluhan lain yang
berarti14
Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI, dan XII
jika penjalaran melalui foramen jugulare, yaitu suatu tempat yang relatif jauh dari
nasofaring. Gangguan ini sering disebut dengan sindrom Jackson. Bila sudah
mengenai seluruh saraf otak disebut sindrom unilateral. Dapat pula disertai dengan
destruksi tulang tengkorak dan bila sudah terjadi demikian, biasanya prognosisnya
buruk14
Metastasis ke kelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher yang mendorong
pasien untuk berobat, karena sebelumnya tidak terdapat keluhan ini14.
2.7 Stadium Karsinoma Nasofaring
Klasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) sebelum tahun 1991, dibagi atas 3 tipe, yaitu :
1. Karsinoma sel skuamosa (KSS) berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell
Carcinoma) Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik, sedang dan
buruk.
2. Karsinoma non-keratinisasi (Nonkeratinizing Carcinoma) Pada tipe ini
dijumpai adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel skuamosa tanpa
jembatan intersel. Pada umumnya batas sel cukup jelas.
3. Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma)
Pada tipe ini sel tumor secara individu memperlihatkan inti yang vesikuler,
berbentuk oval atau bulat dengan nukleoli yang jelas. Pada umumnya batas sel
tidak terlihat dengan jelas. Terdapat kesamaan antara tipe II dan III sehingga
selanjutnya disarankan pembagian stadium KNF terbaru hanya dibagi atas 2
tipe, yaitu:
a. KSS berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell Carcinoma).
b. Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma).
Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi berdiferensiasi dan tidak berdiferensiasi.

Berdasarkan kesepakatan UICC tahun 1992, stadium karsinoma nasofaring


dibagi menjadi:14
T : tumor, menggambarkan keadaan tumor primer, besar, dan perluasannya
T0 : Tidak tampak tumor
T1 : Tumor terbatas pada satu lokasi di nasofaring
T2 : Tumor meluas lebih dari satu lokasi, tetapi masih dalam rongga nasofaring
T3 : Tumor meluas ke kavum nasi dan atauorofaring
T4 : Tumor meluas ke tengkorak dan atau sudah mengenai saraf otak
N : nodul, menggambarkan kedaan kelenjar limfe regional
N0 : tidak terdapat pembesaran kelenjar
N1 : terdapat pembesaran kelenjar homolateral yang masih dapat digerakkan
N2 : terdapat pembesaran kelenjar kontralateral atau bilateral yang masih dapat
digerakkan
N3 : terdapat pembesaran kelenjar homolateral, kontralateral, atau bilateral yang
sudah melekat dengan jaringan sekitar

M : metastasis, menggambarkan keberadaan metastasis jauh


M0 : tidak terdapat metastasis jauh
M1 : terdapat metastasis jauh

Berdasarkan TNM tersebut, stadium dapat dibagi menjadi:


a. Stadium I : T1 N0 M0
b. Stadium II : T2 N0 M0
c. Stadium III : T3 N0 M0
T1, T2, T3, N1 M0
d. Stadium IV : T4 N0, N1 M0
T1 – T4 N2,N3 M0
T1 – T4 N0 – N3 M1

2.8 Diagnosis Karsinoma Nasofaring


Beberapa cara yang digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis
karsinoma nasofaring:
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
2. Pemeriksaan nasofaring
3. Biopsi nasofaring
Diagnosis pasti karsinoma nasofaring ditentukan dengan diagnosis klinik
ditunjang dengan diagnosis histologis dan sitologis. Materi biopsi yang
diperiksa adalah hasil biopsi cucian, aspirasi, atau sikatan (brush). Biopsi
nasofaring dilakukan dengan anestesi topikal melalui 2 jalur, yaitu melalui
hidung dan mulut:
a. Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind
biopsy). Cunam biopsy dimasukkan melalui rongga hidung menyusuri
konka media ke nasofaring, kemudian cunam diarahkan ke lateral dan
dilakukan biopsi.
b. Biopsi melalui mulut dilakukan dengan bantuan kateter nelaton yang
dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang merada dalam mulut
ditaik dan diklem bersama dengan ujung kateter di hidung, sehingga
palatum molle tertarik ke atas. Daerah nasofaring dilihat dengan kaca
laring. Biopsi dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut.
Tumor akan terlihat lebih jelas menggunakan nasofaringoskop. Bila
dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan maka
dilakukan pengerokan dengan kuret di daerah lateral nasofaring dalam
keadaan narkosis16.
4. Pemeriksaan patologi anatomi
Klasifikasi gambaran histopatologis yang direkomendasikan WHO
sebelum tahun 1991 terbagi menjadi 3 tipe, yaitu:
a. Karsinoma sel squamosa terkeratinisasi, yang terbagi lagi menjadi tipe
diferensiasi baik, sedang, dan buruk.
b. Karsinoma non-keratinisasi. Pada tipe ini dijumpai adanya diferensiasi,
dan pada umumnya batas sel cukup jelas.
c. Karsinoma tidak terdiferensiasi. Pada tipe ini sel tumor secara individual
memperlihatkan inti yang vesikuler, berbentuk oval atau bulat dengan
nukleoli yang prominen. Pada umumnya batas sel tidak terlihat dengan
jelas.
Tipe tanpa keratinisasi dan tanpa diferensiasi bersifat radiosensitif,
sedangkan jenis dengan keratinisasi tidak terlalu sensitif dengan radioterapi.
Klasifikasi gambaran histopatologis yang direkomendasikan WHO
pada tahun 1991 hanya terbagi menjadi 2 tipe, yaitu:
a. Karsinoma sel squamosa terkeratinisasi
b. Karsinoma non-keratinisasi
Kedua tipe ini dibagi lagi menjadi tipe terdiferensiasi dan tidak
berdiferensiasi.
5. Pemeriksaan radiologi
Tujuan utama pemeriksaan radiologi adalah unutk memberikan
diagnosis yang lebih pasti pada kecurigaan tumor di daerah nasofaring,
menentukan lokasi tumor yang lebih tepat, mencari dan menentukan luasnya
penyebaran tumor ke jaringan sekitar.
a. Foto polos
Karsinoma yang dapat dideteksi secara jelas denga foto polos pada
umumnya adalah tumor eksofitik yang cukup besar, sedangkan bula kecil
mungkin tidak terdeteksi. Perluasan tumor yang terjadi pada submukosa,
atau penyebaran yang belum terlalu luas tidak akan terdeteksi melalui
foto polos.
Beberapa posisi foto polos perlu dibuat untuk mencari kemungkian
tumor pada daerah nasofaring, yaitu:16
Posisi lateral dengan teknik foto jaringan lunak
1) Posisi basis cranii atau submentoforteks
2) Tomogram lateral daerah nasofaring
3) Tomogram anteroposterior daerah nasofaring
b. CT-Scan
Keunggulan CT-Scan dibandingkan dengan foto polos adalah
kemampuan untuk membedakan berbagai densitas pada daerah nasofaring.
CT Scan mampu membedakan berbagai densitas pada jaringan lunak
maupun perubahan-perubahan pada tulang. Dapat dinilai lebih akurat
mengenai perluasan tumor ke jaringan sekitar, destruksi tulang, dan
penyebaran intracranial16.

2.9 Diagnosis Banding


1. Hiperplasia adenoid
Biasanya terdapat pada anak-anak, jarang pada orang dewasa, pada
anak-anak hyperplasia ini terjadi Karena infeksi berulang. Pada foto polos
akan terlihat suatu massa jaringna lunak pada aatap nasofaring umunya
berbatas tegas dan umunya simetris serta struktur-struktur sekitarnya tak
tampak tanda- tanda infiltrasi seprti tampak pada karsinoma.
2. Angiofibroma juvenilis
Biasanya ditemui pada usia relative muda dengan gejala-gejala
menyerupai KNF. Tumor ini kaya akan pembuluh darah dan biasnya
tidak infiltrative. Pada foto polos akan didapat suatu massa pada atap
nasofairng yang berbatas tegas. Proses dapat meluas seperti pada
penyebaran karsinoma, walaupun jarang menimbulkan destruksi tulang
hanya erosi saja karena penekanan tumor. Biasanya ada pelengkungan ke
arah depan dari dinding belakang sinus maksilaris yang dikenal sebgai
antral sign. Karena tumor ini kaya akan vascular maka arterigrafi carotis
eksterna sangat diperlukan sebab gambaranya sangat karakteristik.
Kadang-kadang sulit pula membedakan angiofibroma juvenils dengan
polip hidung pada foto polos.
3. Tumor sinus sphenoidalis
Tumor ganas primer sinus sphenoidalis adalah sangat jarang dan
biasanya tumor sudah sampai stadium agak lanjut waktu pasien datang
untuk pemeriksaan pertama.
4. Neurofibroma
Kelompok tumor ini sering timbul pada ruang faring lateral sehingga
menyerupai keganasan dinding lateral nasofaring. secara C.T-Scan,
pendesakan ruang para faring kearah medial dapat membantu
membedakan kelompok tumor ini dengan KNF.
5. Tumor kelenjarr parotis
Tumor kelenjar parotis terutama yang berasal dari lobus yang terletak
agak dalam mengenai ruang para faring dan menonjol kearah lumen
nasofaring. pada sebagian besar kasus terlihat pendesakan ruang
parafaring kearah medial yang tampak pada pemeriksaan C.T.Scan.
6. Chordoma
Walaupun tanda utama chordoma adalah destruksi tulang, tetapi
mengingat KNF pun sering menimbulkan destruksi tulang, maka sering
timbul kesulitan untuk membedakanya. Dengan foto polos, dapat dilihat
kalsifikasi atau destruksi terutama di daerah clivus. CT dapat membantu
melihat apakah ada pembesaran kelenjar cervical bagian atas karena
chordoma umunya tidak memperhatikan kelainan pada kelenjar tersebut
sedangkan KNF sering bermetastasis ke kelenjar getah bening.
7. Meningioma basis kranii
Walaupun tumor ini agak jarang tetapi gambarannya kadang-kadang
menyerupai KNF dengan tanda-tanda sklerotik pada daerah basis kranii.
Gambaran CT meningioma cukup karakteristikk yaitu sedikit hiperdense
sebelum penyuntikan zat kontras dan akan menjadi sangat hiperdense
setelah pemberian zat kontras intravena. Pemeriksaan arteiografi juga
sangat membantu diagnosis tumor ini.

2.10 Tatalaksana
1. Radioterapi
Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam
penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma
nasofaring adalah radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.
Sampai saaat ini pengobatan pilihan terhadap tumor ganas nasofaring adalah
radiasi, karena kebanyakan tumor ini tipe anaplastik yang bersifat radiosensitif.
Radioterapi dilakukan dengan radiasi eksterna, dapat menggunakan pesawat kobal
(Co60 ) atau dengan akselerator linier ( linier Accelerator atau linac). Radiasi ini
ditujukan pada kanker primer didaerah nasofaring dan ruang parafaringeal serta
pada daerah aliran getah bening leher atas, bawah serta klavikula. Radiasi daerah
getah bening ini tetap dilakukan sebagai tindakan preventif sekalipun tidak
dijumpai pembesaran kelenjar. Metode brakhioterapi, yakni dengan memasukkan
sumber radiasi kedalam rongga nasofaring saat ini banyak digunakan guna
memberikan dosis maksimal pada tumor primer tetapi tidak menimbulkan cidera
yang serius pada jaringan sehat disekitarnya. Kombinasi ini diberikan pada kasus-
kasus yang telah memeperoleh dosis radiasi eksterna maksimum tetapi masih
dijumpai sisa jaringan kanker atau pada kasus kambuh lokal.
Perkembangan teknologi pada dasawarsa terakhir telah memungkinkan
pemberian radiasi yang sangat terbatas pada daerah nasofaring dengan
menimbulkan efek samping sesedikit mungkin. Metode yang disebut sebagai
IMRT ( Intersified Modulated Radiotion Therapy ) telah digunakan dibeberapa
negara maju17.
Daerah penyinaran kelenjar leher sampai fosa supraklavikula. Apabila tidak
ada metastasis kelenjar leher, maka radiasi daerah leher ini bersifat profilaktik
dengan dosis 4000 rad, sedangkan bila ada metastasis diberikan dosis yang sama
dengan dosis daerah tumor primer yaitu 6000 rad, atau lebih. Untuk menghindari
gangguan penyinaran terhadap medulla spinalis, laring dan esofagus, maka radiasi
daerah leher dan supraklavikula ini, sebaiknya diberikan dari arah depan dengan
memakai blok timah didaerah leher tengah17.
Dosis radiasi umumnya berkisar antara 6000 – 7000 rad, dalam waktu 6 – 7
minggu dengan periode istirahat 2 – 3 minggu (“split dose”). Alat yang biasanya
dipakai ialah “cobalt 60”, “megavoltage”orthovoltage”
Komplikasi radioterapi dapat berupa :
a. Komplikasi dini
Biasanya terjadi selama atau beberapa minggu setelah radioterapi, seperti :
1) Xerostomia - Mual-muntah
2) Mukositis (nyeri telan, mulut kering, dan hilangnya cita rasa) kadang
diperparah dengan infeksi jamur pada mukosa lidah dan palatum
3) Anoreksi
4) Xerostamia (kekeringan mukosa mulut akibat disfungsi kelenjar
parotis yang terkena radiasi)
5) Eritema
b. Komplikasi lanjut
Biasanya terjadi setelah 1 tahun pemberian radioterapi, seperti :
1) Kontraktur
2) Penurunan pendengaran
3) Gangguan pertumbuhan
Untuk menghindari efek samping semaksimal mungkin maka sebelum dan
selama pengobatan, bahkan setelah selesai terapi, pasien akan selalu diawasi oleh
dokter. Perawatan sebelum radiasi adalah dengan membenahi gigi geligi, memberikan
informasi kepada pasien mengenai metode pembersihan ruang mulut dan gigi secara
benar. Untuk mengurangi keluhan penderita juga dapat diberikan obat kumur yang
mengandung adstringens, misalnya bactidol, efisol, gargarisma diberikan 3-4 kali
sehari. Bila tampak tanda-tanda moniliasis diberikan antimikotik misalnya funfilin.
Pemberian obat-obatan yang mengandung anestesi local seperti FG troches bias
mengurangi keluhan nyeri telan. Untuk keluhan umum nausea, anorexia dan
sebgainya bisa diberikan obat-obatan simptomatik terhadap keluhan ini seperti
avomit, avopreg17.
2. Kemoterapi
Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata
dapat meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau
pada keadaan kambuh17.
Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki indikasi yaitu
bila setelah mendapat terapi utamanya yang maksimal ternyata :
a. kankernya masih ada, dimana biopsi masih positif
b. kemungkinan besar kankernya masih ada, meskipun tidak ada bukti secara
makroskopis.
c. pada tumor dengan derajat keganasan tinggi ( oleh karena tingginya resiko
kekambuhan dan metastasis jauh).
Agen kemoterapi tidak hanya menyerang sel tumor tapi juga sel normal yang
membelah secara cepat seperti sel rambut, sumsum tulang dan Sel pada traktus
gastro intestinal. Akibat yang timbul bisa berupa perdarahan, depresi sum-sum
tulang yang memudahkan terjadinya infeksi. Pada traktus gastro intestinal bisa
terjadi mual, muntah anoreksia dan ulserasi saluran cerna. Sedangkan pada sel
rambut mengakibatkan kerontokan rambut. Jaringan tubuh normal yang cepat
proliferasi misalnya sum-sum tulang, folikel rambut, mukosa saluran pencernaan
mudah terkena efek obat sitostatika. Untungnya sel kanker menjalani siklus lebih
lama dari sel normal, sehingga dapat lebih lama dipengaruhi oleh sitostatika dan
sel normal lebih cepat pulih dari pada sel kanker16
Efek samping yang muncul pada jangka panjang adalah toksisitas terhadap
jantung, yang dapat dievaluasi dengan EKG dan toksisitas pada paru berupa
kronik fibrosis pada paru. Toksisitas pada hepar dan ginjal lebih sering terjadi
dan sebaiknya dievalusi fungsi faal hepar dan faal ginjalnya. Kelainan neurologi
juga merupakan salah satu efek samping pemberian kemoterapi16.
3. Kemoradioterapi
Kemoradioterapi kombinasi adalah pemberian kemoterapi bersamaan dengan
radioterapi dalam rangka mengontrol tumor secara lokoregional dan
meningkatkan survival pasien dengan cara mengatasi sel kanker secara sistemik
lewat mikrosirkulasi17.
Manfaat Kemoradioterapi adalah
a. Mengecilkan massa tumor, karena dengan mengecilkan tumor akan
memberikan hasil terapi radiasi lebih efektif. Telah diketahui bahwa pusat
tumor terisi sel hipoksik dan radioterapi konvensional tidak efektif jika tidak
terdapat oksigen. Pengurangan massa tumor akan menyebabkan pula
berkurangnya jumlah sel hipoksia.
b. Mengontrol metastasis jauh dan mengontrol mikrometastase.
c. Modifikasi melekul DNA oleh kemoterapi menyebabkan sel lebih sensitif
terhadap radiasi yang diberikan (radiosensitiser).
Terapi kombinasi ini selain bisa mengontrol sel tumor yang radioresisten,
memiliki manfaat juga untuk menghambat pertumbuhan kembali sel tumor yang
sudah sempat terpapar radiasi.
Kemoterapi neoajuvan dimaksudkan untuk mengurangi besarnya tumor
sebelum radioterapi. Pemberian kemoterapi neoadjuvan didasari atas
pertimbangan vascular bed tumor masih intak sehingga pencapaian obat menuju
massa tumor masih baik. Disamping itu, kemoterapi yang diberikan sejak dini
dapat memberantas mikrometastasis sistemik seawal mungkin. Kemoterapi
neoadjuvan pada keganasan kepala leher stadium II – IV dilaporkan overall
response rate sebesar 80 %- 90 % dan CR ( Complete Response ) sekitar 50%.
Kemoterapi neoadjuvan yang diberikan sebelum terapi definitif berupa radiasi
dapat mempertahankan fungsi organ pada tempat tumbuhnya tumor (organ
preservation)16.
Secara sinergi agen kemoterapi seperti Cisplatin mampu menghalangi perbaikan
kerusakan DNA akibat induksi radiasi. Sedangkan Hidroksiurea dan Paclitaxel
dapat memperpanjang durasi sel dalam keadaan fase sensitif terhadap radiasi.
Kemoterapi yang diberikan secara bersamaan dengan radioterapi (concurrent
or concomitant chemoradiotherapy ) dimaksud untuk mempertinggi manfaat
radioterapi. Dengan cara ini diharapkan dapat membunuh sel kanker yang sensitif
terhadap kemoterapi dan mengubah sel kanker yang radioresisten menjadi lebih
sensitif terhadap radiasi. Keuntungan kemoradioterapi adalah keduanya bekerja
sinergistik yaitu mencegah resistensi, membunuh subpopulasi sel kanker yang
hipoksik dan menghambat recovery DNA pada sel kanker yang sublethal16.

4. Operasi
Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher
radikal dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar
pasca radiasi atau adanya kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah
dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan serologi.
Nasofaringektomi merupakan suatu operasi paliatif yang dilakukan pada kasus-
kasus yang kambuh atau adanya residu pada nasofaring yang tidak berhasil
diterapi dengan cara lain.

5. Imunoterapi
Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring
adalah virus Epstein-Barr, maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat
diberikan imunoterapi.
2.11 Prognosis
Faktor terpenting untuk menentukan prognosis adalah stadium dari kanker.
Pada studi tahun 2002 yang menggunakan TNM staging system, menunjukkan angka
harapan hidup 5 tahun untuk stadium I sebesar 98%, stadium II A-B, 95%, stadium
III 86%, dan stadium IV 73%.
Faktor penting lainnya adalah host. Dimana bila pasien yang terkena berumur
lebih muda (<40 tahun) dan berjenis kelamin wanita, memiliki prognosis yang lebih
baik.
Selain itu tatalaksana yang baik juga merupakan faktor yang dapat
menentukan prognosis dari pasien

2.12 Pencegahan
Adapun pencegahan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Pemberian vaksinasi dengan vaksin spesifik membran glikoprotein virus
Epstein Barr yang dimurnikan pada penduduk yang bertempat tinggal di
daerah dengan resiko tinggi.
2. Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah resiko tinggi ke tempat
lainnya.
3. Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak
makanan untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang
berbahaya.
4. Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan
keadaan sosial ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan
kemungkinan-kemungkinan faktor penyebab. Melakukan tes serologik IgA
anti VCA dan IgA anti EA secara massal di masa yang akan datang
bermanfaat dalam menemukan karsinoma nasofaring secara lebih dini.
BAB III
PENYAJIAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama : Tn. S
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 38 Tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Guru
Pendidikan : S1
Alamat : Bengkayang

3.2 Anamnesis
3.2.1 Keluhan Utama
Pasien datang ke praktek dokter dengan keluhan sulit menelan sejak 3 hari
yang lalu.
3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang sengan keluhan sulit menelan sejak 3 hari yang lalu. Keluhan
sulit menelan sudah dirasakan sejak 1 tahun terakhir, namun dirasakan semakin
memburuk seminggu terakhir. Keluhan sulit menelan tidak disertai nyeri, namun
pasien mengaku kesulitan saat menelan makanan padat-lunak, tidak ada keluhan
ketika minum. Pasien juga mengeluhkan sering mengalami keluar cairan dri hidung
sejak 1 tahun terakhir. Cairan berupa lendir dan bercampur darah. Keluhan sesak (-)
dan penurunan penciuman (-) disangkal. Namun pasien mengaku terkadang dirasa
ada yg mengganjal di hidung pasien. Keluhan lain yg juga dirasaka pasien adalah
telinga yg berdengung dan benjolan di daerah leher yg semakin membesar sejak 3
bulan terakhir.
3.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengatakan tidak pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya.
Alergi (-), Penyakit lainnya (-).
3.2.4 Riwayat Pengobatan
Pasien selama ini tidak pernah dan jarang memeriksakan dirinya ke dokter.
Pasien hanya menggunakan pengobatan tradisional dan mengonsumsi obat warung yg
dibeli oleh pasien.
3.2.5 Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga pasien yang memiliki keluhan serupa.
3.2.6 Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien merupakan seorang seorang guru Sekolah Menengah Pertama di salah
satu Sekolah Menengah Pertama di Kabupaten Bengkayang.

3.3 Pemeriksaan Fisik


3.3.1 Keadaan Umum
Kesadaran : Compos mentis (E4V5M6)
Keadaan Umum : Tampak Sakit Ringan
Tekanan Darah : 130/90 mmHg
Nadi : 102 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 36,8 oC
SpO2 : 97%
Berat Badan : 65 Kg
Tinggi Badan : 162 cm
3.3.2 Status Generalis
Kepala : Kesan parese wajah sisi sinistra, Jejas (-), Edema (-)
Mata : Ptosis (-/+), Konjungtiva anemis (-), Sklera ikterik (-),
injeksi konjungtiva (-), refleks cahaya
langsung (+/+),refleks cahaya tidak langsung (+/+), pupil
isokor (3 mm/3 mm), Gerakan bola mata ke lateral (-/-)
Telinga : Sekret (-/-), Aurikula hiperemis (-/-), Nyeri tekan (-/-)
Mulut : Bibir Sianosis (-), bibir kering (-)
Hidung : Sekret (-/-), deformitas (-)
Leher : Massa Lateral (+/+) permukaan licin, immobile, nyeri
tekan (-/-), Deviasi trakea (-).
Dada : Simetris saat statis dan dinamis, retraksi(-)
Jantung : Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordisteraba
Perkusi : batas pinggang jantung SIC III
linea parasternalis sinistra, batas jantung
kanan pada SIC IV linea parasternalis
dekstra, batas kiri jantung pada ICS VI linea
axillaris anterior
Auskultasi : S1,S2 reguler, Gallop (-),
Murmur (-)
Abdomen : Inspeksi : simetris, hiperemis (-), hematom
(-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : timpani, pekak hepar (+)
Palpasi : nyeri tekan (-), batas hepar dan lien
dalam batas normal
Ekremitas : Akral hangat, CRT <2 detik, edema (-/-)

3.3.3 Status Lokalis


Pemeriksaan Telinga
No Pemeriksaan Telinga kanan Telinga kiri
. Telinga
1. Tragus Nyeri tekan (-), edema (-) Nyeri tekan (-), edema (-)
2. Daun telinga Bentuk dan ukuran dalam batas Bentuk dan ukuran dalam batas
normal, hematoma (-), nyeri normal, hematoma (-), nyeri
tarik aurikula (-) tarik aurikula (-)
3. Liang telinga Serumen (+), hiperemis (-), Serumen (+), hiperemis (-),
furunkel (-), edema (-), otorhea furunkel (-), edema (-), otorhea
(-) (-)
4. Membran timpani Retraksi (-), bulging (-), Retraksi (-), bulging (-),
hiperemi (-), edema (-), hiperemi (-), edema (-),
perforasi (-), cone of light (+) perforasi (-), cone of light (+)

Pemeriksaan Hidung

Pemeriksaan Hidung Hidung kanan Hidung kiri


Hidung luar Bentuk (normal), hiperemi (-), Bentuk (normal), hiperemi (-),
nyeri tekan (-), deformitas (-) nyeri tekan (-), deformitas (-)
Rinoskopi anterior
Vestibulum nasi Normal, ulkus (-) Normal, ulkus (-)
Cavum nasi Bentuk (normal), mukosa pucat Bentuk (normal), mukosa pucat
(-), hiperemia (-) (-), hiperemia (-)
Meatus nasi media Mukosa hiperemis, sekret (+, Mukosa hiperemis, sekret (-),
bening ketal), massa berwarna massa berwara putih mengkilat
putih mengkilat (-). (-).
Konka nasi inferior Edema (-), mukosa hiperemi (-), Edema (-), mukosa hiperemi (-),
Hipertrofi (+) Hipertrofi (+)
Septum nasi Deviasi (-), perdarahan (-), ulkus Deviasi (-), perdarahan (-), ulkus
(-) (-)
Nasofaring Massa (+) permukaan licin,
berwarna merah muda

Pemeriksaan Tenggorokan
Bibir Mukosa bibir basah, berwarna pucat
Mulut Mukosa mulut basah berwarna merah muda
Lidah Permukaan lidah putih,tampak seperti sisa makanan
Tonsila palatine T0 (kanan) – T0 (Kiri)

3.4 Resume Medis


Tn. S usia 38 tahun datang dengan keluhan sulit menelan sejak 3 hari yang
lalu. Keluhan sulit menelan sudah dirasakan sejak 1 tahun terakhir, namun dirasakan
semakin memburuk seminggu terakhir. Keluhan sulit menelan tidak disertai nyeri,
namun pasien mengaku kesulitan saat menelan makanan padat-lunak, tidak ada
keluhan ketika minum. Pasien juga mengeluhkan sering mengalami keluar cairan dri
hidung sejak 1 tahun terakhir. Cairan berupa lendir dan bercampur darah. Keluhan
sesak (-) dan penurunan penciuman (-) disangkal. Namun pasien mengaku terkadang
dirasa ada yg mengganjal di hidung pasien. Keluhan lain yg juga dirasaka pasien
adalah telinga yg berdengung dan benjolan di daerah leher yg semakin membesar
sejak 3 bulan terakhir.
Pada pemeriksaan Rhinoskopi anterior di temukan massa dengan permukaan
licin berwarna merah muda pada nasofaring. Pemeriksaan fisik kedua telinga,
serumen(+), tympani intact, refleks cahaya (+). Tidak terdapat nyeri pergerakan, nyeri
tekan tragus dan aurikula.

3.5 Diagnosis
suspect Ca. Nasofaring

3.6 Tatalaksana
Non Medikamentosa
a. Edukasi pasien mengenai penyakit yang dialami.
b. Edukasi pasien untuk memakan makanan yang lunak selama masih nyeri
dalam menelan.
c. Edukasi pasien untuk menghentikan pengobatan tradisional
Medikamentosa
a. Radioterapi
b. Analgetik (parasetamol dan ibuprofen adalah yang paling aman)
c. Antibiotik selama 5 hari
3.7 Prognosis
Prognosis karsinoma nasofaring tergantung dari beberapa aspek yaitu stadium
tumor, umur penderita dan jenis kelamin. Semakin tinggi stadium maka semakin
rendah prognosis, begitu pula jika umur yang semakin tua menurunkan kemungkinan
untuk kembali sempurna. Dan jenis kelamin laki-laki telah diteliti memiliki prognosis
yang lebih buruk ketimbang wanita.
BAB IV
PEMBAHASAN
Tn. S usia 38 tahun datang ke Poli THT RS.Soedarso dengan keluhan sulit
menelan dan tidak bias makan sejak 3 hari sebelumnya. Keluhan ini ia rasakan seiring
dengan adanya benjolan di lehernya. Pasien menjelaskan bahwa benjolan tersebut
telah ada di lehernya sejak 1 tahun yang lalu dan secara progresif membesar.
Perkembangan benjolan tersebut sangat cepat dan diikuti dengan gejala-gejala lain
berupa sulit berbicara, sakit saat menelan, telinga berdengung dan terasa penuh serta
hidung keluar lendir yang bercampur darah. Pasien sebelumnya hanya melakukan
pengobatan tradisional dan konsumsi obat warung yang dibeli sediri. Pasien
mengatakan tidak memiliki keluhan yang sama sebelumnya dan tidak memiliki
keluarga dengan riwayat yang sama dengan pasien.
Benjolan terkonfirmasi dari pemeriksaan fisik sehingga didapatkan benjolan
terletak pada lateral leher kanan dan kiri dengan diameter ± 5 cm (kanan) dan ± 7 cm
(kiri) yang immobile, berkonsistensi padat, nyeri tekan (-/-). Pada pemerikasaan fisik
lainnya di temukan mata kiri pasien tampak parese, gerakan bola mata kiri dan kanan
tidak bias di gerakkan ke arah lateral. Pada pemerikasaan Rhinoskopi anterior di
temukan massa pada nasofaring dengan permukaan licin berwarna merah muda. Dari
pemeriksaan telinga didapatkan serumen pada kedua liang telinga, namun masih
dapat dilihat membran timpani yang berwarna abu-abu pucat dengan refleks cahaya
yang jelas pada kedua telinga.
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan,
sementara ditegakkan diagnosis kerja suspect karsinoma nasofaring. CT-Scan dan
biopsi dilakukan untuk menegakkan diagnosis. Biopsi nasofaring dilakukan untuk
menegakkan diagnosis pasti karsinoma nasofaring.
Terapi definitif terhadap karsinoma nasofaring baru dapat dimulai bila
diagnosis pasti sudah ditegakkan. Untuk sementara terapi yang diberikan adalah
terapi simtomatik berupa analgetik untuk mengurangi nyeri dan edukasi diet makanan
lunak untuk menjaga kondisi pasien.
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
1. Munir M. Keganasan di bidang telinga hidung tenggorok. Dalam: Buku ajar ilmu
kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher, ed 6, Jakarta:Balai Penerbit
FKUI;2007. 162.
2. Ma J, Liu L, Tang L, Zong J, Lin A, Lu T, et al. Retropharyngeal lymphnode
metastasis in NPC: prognostic value and staging categories. Clin cancer Res
2007; 13(5).
3. Tang L, Li I, Mao Y, Liu L, Liang S, Chen Y, et al. Retropharyngeal lymphnode
metastasis in NPC detected by MRI: prognositic value and staging categories.
Pubmed result Cancer; 2008.
4. Vokes EE, Liebowitz DN, Weichselbaum RR. Nasopharyngeal carcinoma. Lancet
1997; 350: 1087-1091.
5. Prasetyo A, Wiratno. Kanker kepala leher berdasarkan diagnosis patologi anatomi
di RSUP Dr. Kariadi tahun 2002 –2006. Prosiding Konas Perhati- KL; 2007;
Surabaya.
6. Syafril A. Epidemiologi tumor ganas telinga , hidung dan tenggorokan. Dalam:
Tumor telinga, hidung dan tenggorokan, Diagnosis dan penatalaksanaan, Jakarta:
Balai Penerbit FKUI;1989.1-9.
7. Asroel HA. Penatalaksanaan Radioterapi pada Karsinoma Nasofaring. USU
digital library 2002.
8. Lee N, Chan K. Benign & Malignant Lesions of The Nasopharynx. Current
Diagnosis and Treatment in Otolaryngology-Head and Neck Surgery. 2nd ed.
McGraw-Hill Co, Inc. 2008. p362-6.
9. M Abduh Firdaus; Jon Prijadi, Kemoterapi Neoadjuvan pada Karsinoma
Nasofaring, Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher , Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas,
10. American cancer society, 2011. Nasopharingeal cancer. USA: American Cancer
Society.Diunduh:http://www.cancer.org/acs/groups/cid/documents/webcontent/00
3124-pdf.pdf
11. National Cancer Institute at the national institutes of health, 2011.
Nasopharyngeal Cancer Treatment (PDQ®). USA: National Cancer Institute.
Diunduh:http://www.cancer.gov/cancertopics/pdq/treatment/nasopharyngeal/Patie
nt/AllPages/Print
12. Roezin, A., dan Marlinda A. 2010. Karsinoma Nasofaring. dalam: Soepardi,
Efianty A., Nurbaiti I., Jenny B., dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga-
Hidung-Tenggorok Kepala Leher edisi keenam. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. 182-187.
13. Desen, W., 2008. Buku ajar onkologi klinis edisi kedua. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. 263-278.
14. Adams, George L. 1997. Embriologi, Anatomi dan Fisiologi Rongga Mulut,
Faring, Esofagus, dan Leher, dalam BIOES Buku Ajar Penyakit THT Edisi
Keenam. Jakarta: EGC. Hal: 263-271
15. Ballenger, JJ. 1997. Tumor dan Kista di Muka, Faring, dan Nasofaring, dalam
Ballenger: Penyakit Telinga Hidung Tenggorok, dan leher Jilid I. Jakarta: Bina
Rupa Aksara. Hal: 1020-1039
16. Wolden, Suzanne L. 2001. Cancer of Nasopharynx, dalam buku Atlas of Clinical
Oncology: Cancer of the Head and Neck. London: BC Decker inc. Page: 142-156
17. Harry a. Asroel. Penatalaksanaan radioterapi pada karsinoma nasofaring. Referat.
Medan: FK USU,2002.h. 1-11.

Anda mungkin juga menyukai