KARSINOMA NASOFARING
Disusun Oleh:
Morich Kristoper, S.Ked I4061192011
Pembimbing:
dr. Eni Nuraeni, M.Kes, Sp. THT, KL
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Laporan Kasus dengan judul
“Karsinoma Nasofaring”. Laporan kasus ini dibuat sebagai salah satu syarat
kelulusan kepaniteraan klinik stase ilmu penyakit THT-KL RSUD dr. Soedarso
Pontianak.
Penulisan ini tidak terlepas dari bantuan, dorongan, dukungan, bimbingan
serta dari semua pihak. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima
kasih yang sebesar-besarnya terutama kepada dr. Eni Nuraeni, M.Kes, Sp. THT, KL
selaku pembimbing laporan kasus di SMF Ilmu Penyakit THT-KL RSUD dr.
Soedarso Pontianak yang telah dengan sabar memberikan bimbingan, kritik, serta
saran yang membangun. Tidak lupa rasa terima kasih juga kami ucapkan kepada para
tenaga medis dan karyawan yang telah membantu selama kami mengikuti
kepaniteraan klinik di SMF Ilmu Penyakit THT-KL RSUD RSUD dr. Soedarso
Pontianak dan juga berbagai pihak lain yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa penulisan ini masih banyak kekurangan, maka kritik
dan saran yang membangun dari semua pihak sangat di harapkan demi
penyempurnaan selanjutnya. Akhirnya semoga penulisan ini bermanfaat bagi banyak
pihak, khususnya bagi penulis dan para pembaca pada umumnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Nasofaring
Nasofaring merupakan suatu ruangan yang berbentuk mirip kubus, terletak
dibelakang rongga hidung. Diatas tepi bebas palatum molle yang berhubungan
dengan rongga hidung dan ruang telinga melalui koana dan tuba eustachius. Atap
nasofaring dibentuk oleh dasar tengkorak, tempat keluar dan masuknya saraf otak dan
pembuluh darah. Dasar nasofaring dibentuk oleh permukaan atas palatum molle.
Dinding depan dibentuk oleh koana dan septum nasi dibagian belakang. Bagian
belakang berbatasan dengan ruang retrofaring, fasia prevertebralis dan otot dinding
faring. Pada dinding lateral terdapat orifisium yang berbentuk segitiga, sebagai muara
tuba eustachius dengan batas superoposterior berupa tonjolan tulang rawan yang
disebut torus tubarius. Sedangkan kearah superior terdapat fossa rossenmuller atau
resessus lateral.
2.10 Tatalaksana
1. Radioterapi
Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam
penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma
nasofaring adalah radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.
Sampai saaat ini pengobatan pilihan terhadap tumor ganas nasofaring adalah
radiasi, karena kebanyakan tumor ini tipe anaplastik yang bersifat radiosensitif.
Radioterapi dilakukan dengan radiasi eksterna, dapat menggunakan pesawat kobal
(Co60 ) atau dengan akselerator linier ( linier Accelerator atau linac). Radiasi ini
ditujukan pada kanker primer didaerah nasofaring dan ruang parafaringeal serta
pada daerah aliran getah bening leher atas, bawah serta klavikula. Radiasi daerah
getah bening ini tetap dilakukan sebagai tindakan preventif sekalipun tidak
dijumpai pembesaran kelenjar. Metode brakhioterapi, yakni dengan memasukkan
sumber radiasi kedalam rongga nasofaring saat ini banyak digunakan guna
memberikan dosis maksimal pada tumor primer tetapi tidak menimbulkan cidera
yang serius pada jaringan sehat disekitarnya. Kombinasi ini diberikan pada kasus-
kasus yang telah memeperoleh dosis radiasi eksterna maksimum tetapi masih
dijumpai sisa jaringan kanker atau pada kasus kambuh lokal.
Perkembangan teknologi pada dasawarsa terakhir telah memungkinkan
pemberian radiasi yang sangat terbatas pada daerah nasofaring dengan
menimbulkan efek samping sesedikit mungkin. Metode yang disebut sebagai
IMRT ( Intersified Modulated Radiotion Therapy ) telah digunakan dibeberapa
negara maju17.
Daerah penyinaran kelenjar leher sampai fosa supraklavikula. Apabila tidak
ada metastasis kelenjar leher, maka radiasi daerah leher ini bersifat profilaktik
dengan dosis 4000 rad, sedangkan bila ada metastasis diberikan dosis yang sama
dengan dosis daerah tumor primer yaitu 6000 rad, atau lebih. Untuk menghindari
gangguan penyinaran terhadap medulla spinalis, laring dan esofagus, maka radiasi
daerah leher dan supraklavikula ini, sebaiknya diberikan dari arah depan dengan
memakai blok timah didaerah leher tengah17.
Dosis radiasi umumnya berkisar antara 6000 – 7000 rad, dalam waktu 6 – 7
minggu dengan periode istirahat 2 – 3 minggu (“split dose”). Alat yang biasanya
dipakai ialah “cobalt 60”, “megavoltage”orthovoltage”
Komplikasi radioterapi dapat berupa :
a. Komplikasi dini
Biasanya terjadi selama atau beberapa minggu setelah radioterapi, seperti :
1) Xerostomia - Mual-muntah
2) Mukositis (nyeri telan, mulut kering, dan hilangnya cita rasa) kadang
diperparah dengan infeksi jamur pada mukosa lidah dan palatum
3) Anoreksi
4) Xerostamia (kekeringan mukosa mulut akibat disfungsi kelenjar
parotis yang terkena radiasi)
5) Eritema
b. Komplikasi lanjut
Biasanya terjadi setelah 1 tahun pemberian radioterapi, seperti :
1) Kontraktur
2) Penurunan pendengaran
3) Gangguan pertumbuhan
Untuk menghindari efek samping semaksimal mungkin maka sebelum dan
selama pengobatan, bahkan setelah selesai terapi, pasien akan selalu diawasi oleh
dokter. Perawatan sebelum radiasi adalah dengan membenahi gigi geligi, memberikan
informasi kepada pasien mengenai metode pembersihan ruang mulut dan gigi secara
benar. Untuk mengurangi keluhan penderita juga dapat diberikan obat kumur yang
mengandung adstringens, misalnya bactidol, efisol, gargarisma diberikan 3-4 kali
sehari. Bila tampak tanda-tanda moniliasis diberikan antimikotik misalnya funfilin.
Pemberian obat-obatan yang mengandung anestesi local seperti FG troches bias
mengurangi keluhan nyeri telan. Untuk keluhan umum nausea, anorexia dan
sebgainya bisa diberikan obat-obatan simptomatik terhadap keluhan ini seperti
avomit, avopreg17.
2. Kemoterapi
Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata
dapat meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau
pada keadaan kambuh17.
Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki indikasi yaitu
bila setelah mendapat terapi utamanya yang maksimal ternyata :
a. kankernya masih ada, dimana biopsi masih positif
b. kemungkinan besar kankernya masih ada, meskipun tidak ada bukti secara
makroskopis.
c. pada tumor dengan derajat keganasan tinggi ( oleh karena tingginya resiko
kekambuhan dan metastasis jauh).
Agen kemoterapi tidak hanya menyerang sel tumor tapi juga sel normal yang
membelah secara cepat seperti sel rambut, sumsum tulang dan Sel pada traktus
gastro intestinal. Akibat yang timbul bisa berupa perdarahan, depresi sum-sum
tulang yang memudahkan terjadinya infeksi. Pada traktus gastro intestinal bisa
terjadi mual, muntah anoreksia dan ulserasi saluran cerna. Sedangkan pada sel
rambut mengakibatkan kerontokan rambut. Jaringan tubuh normal yang cepat
proliferasi misalnya sum-sum tulang, folikel rambut, mukosa saluran pencernaan
mudah terkena efek obat sitostatika. Untungnya sel kanker menjalani siklus lebih
lama dari sel normal, sehingga dapat lebih lama dipengaruhi oleh sitostatika dan
sel normal lebih cepat pulih dari pada sel kanker16
Efek samping yang muncul pada jangka panjang adalah toksisitas terhadap
jantung, yang dapat dievaluasi dengan EKG dan toksisitas pada paru berupa
kronik fibrosis pada paru. Toksisitas pada hepar dan ginjal lebih sering terjadi
dan sebaiknya dievalusi fungsi faal hepar dan faal ginjalnya. Kelainan neurologi
juga merupakan salah satu efek samping pemberian kemoterapi16.
3. Kemoradioterapi
Kemoradioterapi kombinasi adalah pemberian kemoterapi bersamaan dengan
radioterapi dalam rangka mengontrol tumor secara lokoregional dan
meningkatkan survival pasien dengan cara mengatasi sel kanker secara sistemik
lewat mikrosirkulasi17.
Manfaat Kemoradioterapi adalah
a. Mengecilkan massa tumor, karena dengan mengecilkan tumor akan
memberikan hasil terapi radiasi lebih efektif. Telah diketahui bahwa pusat
tumor terisi sel hipoksik dan radioterapi konvensional tidak efektif jika tidak
terdapat oksigen. Pengurangan massa tumor akan menyebabkan pula
berkurangnya jumlah sel hipoksia.
b. Mengontrol metastasis jauh dan mengontrol mikrometastase.
c. Modifikasi melekul DNA oleh kemoterapi menyebabkan sel lebih sensitif
terhadap radiasi yang diberikan (radiosensitiser).
Terapi kombinasi ini selain bisa mengontrol sel tumor yang radioresisten,
memiliki manfaat juga untuk menghambat pertumbuhan kembali sel tumor yang
sudah sempat terpapar radiasi.
Kemoterapi neoajuvan dimaksudkan untuk mengurangi besarnya tumor
sebelum radioterapi. Pemberian kemoterapi neoadjuvan didasari atas
pertimbangan vascular bed tumor masih intak sehingga pencapaian obat menuju
massa tumor masih baik. Disamping itu, kemoterapi yang diberikan sejak dini
dapat memberantas mikrometastasis sistemik seawal mungkin. Kemoterapi
neoadjuvan pada keganasan kepala leher stadium II – IV dilaporkan overall
response rate sebesar 80 %- 90 % dan CR ( Complete Response ) sekitar 50%.
Kemoterapi neoadjuvan yang diberikan sebelum terapi definitif berupa radiasi
dapat mempertahankan fungsi organ pada tempat tumbuhnya tumor (organ
preservation)16.
Secara sinergi agen kemoterapi seperti Cisplatin mampu menghalangi perbaikan
kerusakan DNA akibat induksi radiasi. Sedangkan Hidroksiurea dan Paclitaxel
dapat memperpanjang durasi sel dalam keadaan fase sensitif terhadap radiasi.
Kemoterapi yang diberikan secara bersamaan dengan radioterapi (concurrent
or concomitant chemoradiotherapy ) dimaksud untuk mempertinggi manfaat
radioterapi. Dengan cara ini diharapkan dapat membunuh sel kanker yang sensitif
terhadap kemoterapi dan mengubah sel kanker yang radioresisten menjadi lebih
sensitif terhadap radiasi. Keuntungan kemoradioterapi adalah keduanya bekerja
sinergistik yaitu mencegah resistensi, membunuh subpopulasi sel kanker yang
hipoksik dan menghambat recovery DNA pada sel kanker yang sublethal16.
4. Operasi
Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher
radikal dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar
pasca radiasi atau adanya kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah
dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan serologi.
Nasofaringektomi merupakan suatu operasi paliatif yang dilakukan pada kasus-
kasus yang kambuh atau adanya residu pada nasofaring yang tidak berhasil
diterapi dengan cara lain.
5. Imunoterapi
Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring
adalah virus Epstein-Barr, maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat
diberikan imunoterapi.
2.11 Prognosis
Faktor terpenting untuk menentukan prognosis adalah stadium dari kanker.
Pada studi tahun 2002 yang menggunakan TNM staging system, menunjukkan angka
harapan hidup 5 tahun untuk stadium I sebesar 98%, stadium II A-B, 95%, stadium
III 86%, dan stadium IV 73%.
Faktor penting lainnya adalah host. Dimana bila pasien yang terkena berumur
lebih muda (<40 tahun) dan berjenis kelamin wanita, memiliki prognosis yang lebih
baik.
Selain itu tatalaksana yang baik juga merupakan faktor yang dapat
menentukan prognosis dari pasien
2.12 Pencegahan
Adapun pencegahan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Pemberian vaksinasi dengan vaksin spesifik membran glikoprotein virus
Epstein Barr yang dimurnikan pada penduduk yang bertempat tinggal di
daerah dengan resiko tinggi.
2. Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah resiko tinggi ke tempat
lainnya.
3. Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak
makanan untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang
berbahaya.
4. Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan
keadaan sosial ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan
kemungkinan-kemungkinan faktor penyebab. Melakukan tes serologik IgA
anti VCA dan IgA anti EA secara massal di masa yang akan datang
bermanfaat dalam menemukan karsinoma nasofaring secara lebih dini.
BAB III
PENYAJIAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama : Tn. S
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 38 Tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Guru
Pendidikan : S1
Alamat : Bengkayang
3.2 Anamnesis
3.2.1 Keluhan Utama
Pasien datang ke praktek dokter dengan keluhan sulit menelan sejak 3 hari
yang lalu.
3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang sengan keluhan sulit menelan sejak 3 hari yang lalu. Keluhan
sulit menelan sudah dirasakan sejak 1 tahun terakhir, namun dirasakan semakin
memburuk seminggu terakhir. Keluhan sulit menelan tidak disertai nyeri, namun
pasien mengaku kesulitan saat menelan makanan padat-lunak, tidak ada keluhan
ketika minum. Pasien juga mengeluhkan sering mengalami keluar cairan dri hidung
sejak 1 tahun terakhir. Cairan berupa lendir dan bercampur darah. Keluhan sesak (-)
dan penurunan penciuman (-) disangkal. Namun pasien mengaku terkadang dirasa
ada yg mengganjal di hidung pasien. Keluhan lain yg juga dirasaka pasien adalah
telinga yg berdengung dan benjolan di daerah leher yg semakin membesar sejak 3
bulan terakhir.
3.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengatakan tidak pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya.
Alergi (-), Penyakit lainnya (-).
3.2.4 Riwayat Pengobatan
Pasien selama ini tidak pernah dan jarang memeriksakan dirinya ke dokter.
Pasien hanya menggunakan pengobatan tradisional dan mengonsumsi obat warung yg
dibeli oleh pasien.
3.2.5 Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga pasien yang memiliki keluhan serupa.
3.2.6 Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien merupakan seorang seorang guru Sekolah Menengah Pertama di salah
satu Sekolah Menengah Pertama di Kabupaten Bengkayang.
Pemeriksaan Hidung
Pemeriksaan Tenggorokan
Bibir Mukosa bibir basah, berwarna pucat
Mulut Mukosa mulut basah berwarna merah muda
Lidah Permukaan lidah putih,tampak seperti sisa makanan
Tonsila palatine T0 (kanan) – T0 (Kiri)
3.5 Diagnosis
suspect Ca. Nasofaring
3.6 Tatalaksana
Non Medikamentosa
a. Edukasi pasien mengenai penyakit yang dialami.
b. Edukasi pasien untuk memakan makanan yang lunak selama masih nyeri
dalam menelan.
c. Edukasi pasien untuk menghentikan pengobatan tradisional
Medikamentosa
a. Radioterapi
b. Analgetik (parasetamol dan ibuprofen adalah yang paling aman)
c. Antibiotik selama 5 hari
3.7 Prognosis
Prognosis karsinoma nasofaring tergantung dari beberapa aspek yaitu stadium
tumor, umur penderita dan jenis kelamin. Semakin tinggi stadium maka semakin
rendah prognosis, begitu pula jika umur yang semakin tua menurunkan kemungkinan
untuk kembali sempurna. Dan jenis kelamin laki-laki telah diteliti memiliki prognosis
yang lebih buruk ketimbang wanita.
BAB IV
PEMBAHASAN
Tn. S usia 38 tahun datang ke Poli THT RS.Soedarso dengan keluhan sulit
menelan dan tidak bias makan sejak 3 hari sebelumnya. Keluhan ini ia rasakan seiring
dengan adanya benjolan di lehernya. Pasien menjelaskan bahwa benjolan tersebut
telah ada di lehernya sejak 1 tahun yang lalu dan secara progresif membesar.
Perkembangan benjolan tersebut sangat cepat dan diikuti dengan gejala-gejala lain
berupa sulit berbicara, sakit saat menelan, telinga berdengung dan terasa penuh serta
hidung keluar lendir yang bercampur darah. Pasien sebelumnya hanya melakukan
pengobatan tradisional dan konsumsi obat warung yang dibeli sediri. Pasien
mengatakan tidak memiliki keluhan yang sama sebelumnya dan tidak memiliki
keluarga dengan riwayat yang sama dengan pasien.
Benjolan terkonfirmasi dari pemeriksaan fisik sehingga didapatkan benjolan
terletak pada lateral leher kanan dan kiri dengan diameter ± 5 cm (kanan) dan ± 7 cm
(kiri) yang immobile, berkonsistensi padat, nyeri tekan (-/-). Pada pemerikasaan fisik
lainnya di temukan mata kiri pasien tampak parese, gerakan bola mata kiri dan kanan
tidak bias di gerakkan ke arah lateral. Pada pemerikasaan Rhinoskopi anterior di
temukan massa pada nasofaring dengan permukaan licin berwarna merah muda. Dari
pemeriksaan telinga didapatkan serumen pada kedua liang telinga, namun masih
dapat dilihat membran timpani yang berwarna abu-abu pucat dengan refleks cahaya
yang jelas pada kedua telinga.
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan,
sementara ditegakkan diagnosis kerja suspect karsinoma nasofaring. CT-Scan dan
biopsi dilakukan untuk menegakkan diagnosis. Biopsi nasofaring dilakukan untuk
menegakkan diagnosis pasti karsinoma nasofaring.
Terapi definitif terhadap karsinoma nasofaring baru dapat dimulai bila
diagnosis pasti sudah ditegakkan. Untuk sementara terapi yang diberikan adalah
terapi simtomatik berupa analgetik untuk mengurangi nyeri dan edukasi diet makanan
lunak untuk menjaga kondisi pasien.
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
1. Munir M. Keganasan di bidang telinga hidung tenggorok. Dalam: Buku ajar ilmu
kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher, ed 6, Jakarta:Balai Penerbit
FKUI;2007. 162.
2. Ma J, Liu L, Tang L, Zong J, Lin A, Lu T, et al. Retropharyngeal lymphnode
metastasis in NPC: prognostic value and staging categories. Clin cancer Res
2007; 13(5).
3. Tang L, Li I, Mao Y, Liu L, Liang S, Chen Y, et al. Retropharyngeal lymphnode
metastasis in NPC detected by MRI: prognositic value and staging categories.
Pubmed result Cancer; 2008.
4. Vokes EE, Liebowitz DN, Weichselbaum RR. Nasopharyngeal carcinoma. Lancet
1997; 350: 1087-1091.
5. Prasetyo A, Wiratno. Kanker kepala leher berdasarkan diagnosis patologi anatomi
di RSUP Dr. Kariadi tahun 2002 –2006. Prosiding Konas Perhati- KL; 2007;
Surabaya.
6. Syafril A. Epidemiologi tumor ganas telinga , hidung dan tenggorokan. Dalam:
Tumor telinga, hidung dan tenggorokan, Diagnosis dan penatalaksanaan, Jakarta:
Balai Penerbit FKUI;1989.1-9.
7. Asroel HA. Penatalaksanaan Radioterapi pada Karsinoma Nasofaring. USU
digital library 2002.
8. Lee N, Chan K. Benign & Malignant Lesions of The Nasopharynx. Current
Diagnosis and Treatment in Otolaryngology-Head and Neck Surgery. 2nd ed.
McGraw-Hill Co, Inc. 2008. p362-6.
9. M Abduh Firdaus; Jon Prijadi, Kemoterapi Neoadjuvan pada Karsinoma
Nasofaring, Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher , Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas,
10. American cancer society, 2011. Nasopharingeal cancer. USA: American Cancer
Society.Diunduh:http://www.cancer.org/acs/groups/cid/documents/webcontent/00
3124-pdf.pdf
11. National Cancer Institute at the national institutes of health, 2011.
Nasopharyngeal Cancer Treatment (PDQ®). USA: National Cancer Institute.
Diunduh:http://www.cancer.gov/cancertopics/pdq/treatment/nasopharyngeal/Patie
nt/AllPages/Print
12. Roezin, A., dan Marlinda A. 2010. Karsinoma Nasofaring. dalam: Soepardi,
Efianty A., Nurbaiti I., Jenny B., dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga-
Hidung-Tenggorok Kepala Leher edisi keenam. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. 182-187.
13. Desen, W., 2008. Buku ajar onkologi klinis edisi kedua. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. 263-278.
14. Adams, George L. 1997. Embriologi, Anatomi dan Fisiologi Rongga Mulut,
Faring, Esofagus, dan Leher, dalam BIOES Buku Ajar Penyakit THT Edisi
Keenam. Jakarta: EGC. Hal: 263-271
15. Ballenger, JJ. 1997. Tumor dan Kista di Muka, Faring, dan Nasofaring, dalam
Ballenger: Penyakit Telinga Hidung Tenggorok, dan leher Jilid I. Jakarta: Bina
Rupa Aksara. Hal: 1020-1039
16. Wolden, Suzanne L. 2001. Cancer of Nasopharynx, dalam buku Atlas of Clinical
Oncology: Cancer of the Head and Neck. London: BC Decker inc. Page: 142-156
17. Harry a. Asroel. Penatalaksanaan radioterapi pada karsinoma nasofaring. Referat.
Medan: FK USU,2002.h. 1-11.