Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN DISKUSI

MODUL ILMU KEDOKTERAN FORENSIK


PEMICU 1

KELOMPOK DISKUSI 4
1. Morich Kristoper
2. Sujono
3. Adinda Hari Utary
4. Antony Halim
5. Melvy Purwanti
6. Gusti Ahmad Faiz Nugraha
7. Aisyah
8. Jefry Alfarizy
9. Lisa Florencia
10. Nunung Agustia Rini
11. Indri Vebrilia

I11111049
I11112061
I11112072
I1011131029
I1011131038
I1011131040
I1011131042
I1011131060
I1011131072
I1011131080
I1011131083

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2016
BAB I
PENDULUAN

1.1 Pemicu
Dokter Anton adalah seorang yang taat beragama, ia menjadi dokter
keluarga Budi sejak mereka menikah. Budi dan istrinya telah menikah
selama 20 tahun dan mereka telah dikaruniai 2 orang anak, anak pertama
berumur 5 tahun dan yang kedua berumur 2 tahun. Ibu Budi sedang
mengandung anak ketiga dan ia rutin memeriksakan diri kepada dokter
Anton. Pada waktu kehamilan 15 minggu, kedua anaknya terkena penyakit
rubella. Dokter menganjurkan agar kedua anaknya dirawat di rumah
neneknya dan tidak tinggal bersama Ibu Budi. Ketika Pak Budi menanyakan
aPakah ada hubungannya dengan kehamilan istrinya, dokter Anton hanya
menerangkan hal itu dianjurkan supaya Ibu Budi tidak disibukkan mengurus
kedua anaknya yang sakit. Namun dokter Anton sama sekali tidak
menyinggung tentang resiko penularan terhadap istrinya yang dapat
berakibat kecacatan pada janin yang sedang dikandungnya. Dokter Anton
tidak menjawab dengan jelas. Sesudah beberapa hari Ibu Budi menunjukkan
gejala rubella. Ketika hal ini diketahui dokter Anton dia langsung
memikirkan kemungkinan janin yang sedang dikandung Ibu Budi akan
terlahir cacat. Namun hal ini tidak ia beritahukan karena ia khawatir
pasangan tersebut akan melakukan aborsi, sedangkan hal tersebut sangat
Pasangan
suami
istri
Kedua anak
menderita
rubella
bertentangan
dengan
kepercayaan
yang dianut
dokter Anton.

Pertanyaan : bagaimana menurut anda tentang perilaku dokter Anton?


1.2 Klarifikasi dan Definisi
Dokter tidak menjelaskan resiko penularan anak ke Ibu
1.3 Kata Kunci
Ibu hamil
minggu 15 minggu
Sikap dan perilaku dokter Anton sebagai dokter k
a. Istri15
mengandung
b. Kedua anak dan istri terkena rubella
c. Dokter keluarga
d. Kemungkinan aborsi
e. Dokter tidak menjelaskan resiko penularan
Tertular
rubella
f. Dokter
tidak menjelaskan kemungkinan janin lahir cacat
1.4 Rumusan Masalah
tidak
menjelaskan
resiko
janin
lahir
cacatpada
BagaimanaDokter
sikap dan
perilaku
dokter anton
sebagai
dokter
keluarga
Resiko
kecacatan
kasus
tersebut ? pada janin
1.5 Analisis Masalah

Kemungkinan aborsi
Sumpah Dokter

KODEKI Hukum Kedokteran

1.6 Hipotesis
Sikap dan perilaku dokter Anton tidak sesuai dengan KODEKI.

1.7 Pertanyaan Diskusi


a. Jelaskan mengenai hukum kedokteran
b. Jelaskan mengenai etika kedokteran
c. Jelaskan mengenai Undang-undang praktik kedokteran
d. Jelaskan mengenai hukum aborsi
e. Apa saja kewajiban dokter terhadap pasien yang diatur oleh kodeki?
f. Jelaskan kaidah dasar bioetik yang dilanggar oleh dr Anton pada kasus
dalam pemicu
g. Bagaimana sikap dan perilaku dokter yang sesuai dengan kodeki dan
uu praktek kedokteran pada kasus dalam pemicu?
h. Bagaimana infeksi rubella pada Ibu hamil dapat mempengaruhi
perkembangan janin?

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Hukum Kedokteran


Hukum kedokteran atau hukum kesehatan merupakan seluruh
ketentuan hukum yang langsung berhubung dengan bidang pemeliharaan
kesehatan, dan ketentuan-ketentuan dari bidang-bidang hukum lain seperti
hukum pidana, perdata dan administratif yang dapat diterapkan dalam
hubungannya dengan pelayanan kesehatan; di samping itu pedoman
internasional, hukum kebiasaan, dan jurisprudensi yang ada kaitannya

dengan pelayanan kesehata; juga hukum otonom, ilmu dan literatur;


merupakan sumber hukum kesehatan.1
Dalam lebih dari dua dekade terakhir terasa sekali disiplin hukum
memasuki wilayah kedokeran atau bisa juga dikatakan kalangan kesehatan
makin akrab dengan bidang dan pengetahuan hukum. Dua disiplin tertua di
dunia itu, pada awalnya berkembang dalam wilayahnya masing-masing,
yang satu dalam mengatasi masalah kesehatan yang timbul pada anggota
masyarakat, yang satu lagi mengatur tentang ketertiban dan ketentraman
hidup bermasyarakat. Keduanya diperlukan untuk kesejahteraan dan
kedamaian masyarakat. Dalam perkembangan kedua disiplin ini untuk
mencapai tujuan dimaksud, ternyatadisiplin yang satu diperlukan oleh
disiplin lain dalam cabang ilmunya. Dalam proses penegakan hukum, peran
ilmu dan bantuan dokter diperlukan oleh jajaran penegak hukum yang
dikenal sebagai Ilmu Kedokteran Forensik, yaitu cabang ilmu kedokteran
yang sejak awal berkembangnya telah mendekatkan disiplin ilmu
kedokteran dan ilmu hukum. Sebaliknya, dalam perkembangan dan
peningkatan upaya pemeliharaan dan pelayanan kesehatan diperlukan pula
pengetahuan dan aturan hukum dan ini berada dalam cabang ilmu hukum
yang kemudian hadir sebagai Hukum Kesehatan.1
Pada zaman sekarang ini, tidak mungkin lagi para dokter tidak
mengetahui dan memahami hukum kesehatan, apalagi setelah terbitnya
Undang-undang Kesehatan (1992) dan Undang-undang Praktik Kedokteran
(2004), yaitu aturan hukum atau ketentuan yang mengatur tentang
pelayanan kedokteran/kesehatan.1
Hukum kesehatan menurut Anggaran Dasar Perhimpunan Hukum
Kesehatan Indonesia (PERHUKI), adalah semua ketentuan hukum yang
berhubungan langsung dengan pemeliharaan/pelayanan kesehatan dan
penerapan hak dan kewajiban baik bagi perseorangan maupun segenap
lapisan masyarakat, baik sebagaipenerima pelayanan kesehatan maupun
sebagai pihak penyelenggara pelayanankesehatan dalam segala aspek,
orga.nisasi, sarana, pedoman standar pelayanan medik ilmu pengetahuan
kesehatan dan hukum, serta sumber-sumber hukum lain. Hukum Kedokteran

merupakan bagian dari Hukum Kesehatan, yaitu yang menyangkut


pelayanan kedokteran (medical care/service).1
Hukum kesehatan menurut PERHUKI 1993 mencakup komponen
hukum bidang kesehatan yang bersinggungan satu dengan yang lain, yaitu
hukum Kedokteran,/Kedokteran Gigi, Hukum Keperawatan, Hukum
Farmasi Klinik, Hukum Rumah Sakit, Hukum Kesehatan Masyarakat,
Hukum Kesehatan Lingkungan, dan sebagainya.1
Hukum merupakan peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh
suatu kekuasaan. Hukum kesehatan merupakan peraturan perundangundangan yang menyangkut pelayanan kesehatan baik untuk penyelenggara
maupun penerima pelayanan kesehatan.2
Hukum kesehatan (Health Law) sangat luas dan melingkupi hukum
kedokteran (Medical Law), hukum keperawatan (Nurse Law), hukum rumah
sakit (Hospital Law), hukum lingkungan (Environnmental Law), hukum
farmasi (pharmacy Law).2
Hak atas pemeliharaan kesehatan diatur pada Undang-Undang no 9
Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Kesehatan.2
1. Pasal 1 menyatakan bahwa tiap warga negara berhak memperoleh
derajat kesehatan yang setinggi-tingginya dan perlu diikutsertakan
dalam usaha-usaha kesehatan pemerintah.
2. Pasal 2 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kesehatan tidak
hanya keadaan bebas dari penyakit, cacad dan kelemahan, tetapi juga
meliputi kesehatan badan, rohani, dan social. Sedangkan hak atas
bantuan medis tidak diatur oleh perundang-undangan kita. Hak ini
mewajibkan pihak pemberi jasa pemeliharaan kesehatan untuk
memberikan bantuan medis kepada pihak yang memerlukannya.2
Menurut Undang-Undang no 9 Tahun 1960, penguasa tidak hanya
melakukan tindakan langsung, seperti memelihara dan mempertinggi derajat
kesehatan rakyat dengan menyelenggarakan dan menggiatkan usaha-usaha
dalam lapangan pencegahan dan pemberantasan penyakit, pemulihan
kesehatan, penerangan dan pendidikan pada rakyat, pendidikan tenaga
kesehatan, perlengkapan obat-obatan dan alat-alat kesehatan, penyelidikan-

penyelidikan dan pengawasan, tetapi juga mengatur, membimbing,


membantu dan mengawasi usaha-usaha kesehatan badan-badan swasta.2
Pada pengelompokkan keempat disebutkan hal-hal yang paling
relevan dengan materi hukum kedokteran. Inti dari hukum kedokteran
adalah hubungan hukum yang dilakukan oleh dokter dalam menjalankan
profesinya, atau hubungan hukum yang dilakukan dokter mengenai
pemberian pelayanan medis.2
Ruang lingkup hukum kedokteran:2
1. Hubungan dokter dengan pasien
2. Kewajiban untuk merawat
3. Kekeliruan diagnosis
4. Kesalahan pengobatan
5. Cedera karena sarana fisik
6. Cedera karena peralatan dan janji dokter
7. Tanggungjawab terhadap perbuatan pihak ketiga
8. Persetujuan untuk dirawat.
2.2 Etika Kedokteran
Kaidah dasar bioetik terdiri dari 4 prinsip dasar yaitu sebagai berikut :
1. Beneficence
Beneficence dapat diartikan bahwa seorang dokter harus berbuat
baik, menghormati harkat dan martabat manusia, dan harus berusaha
maksimal agar pasiennya tetap dalam kondisi sehat. Dan memandang
pasien tidak saja menguntungkan dokternya, serta meminimalisasikan
akibat buruk. Point utama dari prinsip beneficence sebenarnya lebih
menegaskan bahwa seorang dokter harus mengambil langkah atau
tindakan yang lebih bayak dampak baiknya daripada buruknya
sehingga pasien memperoleh kepuasan tertinggi.3
2. Non Maleficence
Non-maleficence adalah suatu prinsip dimana seorang dokter
tidak melakukan perbuatan yang memperburuk pasien dan memilih
pengobatan yang paling kecil resikonya bagi pasien yang dirawat atau
diobati olehnya. Pernyataan kuno First do no harm, tetap berlaku dan
harus diikuti. Dokter haruslah memilih tindakan yang paling kecil
resikonya. Do no harm merupakan point penting dalam prinsip
non-maleficence. Prinsip ini dapat diterapkan pada kasus-kasus yang
bersifat gawat atau darurat. Sebenarnya memiliki konteks yang sama

dengan beneficence namun berbeda pada konteks keadaanya. Gawat


darurat disini diperlukan intervensi medic dalam rangka penyelamatan
nyawanya.3
3. Autonomi
Dalam kaidah

ini,

seorang dokter wajib menghormati

martabat dan hak manusia. Setiap individu harus diperlakukan sebagai


manusia yang mempunyai hak menentukan nasib sendiri. Dalam hal
ini pasien diberi hak untuk berfikir secara logis dan membuat
keputusan sendiri. Autonomi bermaksud menghendaki, menyetujui,
membenarkan, membela, dan membiarkan pasien demi dirinya
sendiri.
Autonomy pasien harus dihormati secara etik, dan di sebagain
besar negara dihormati secara legal. Akan tetapi perlu diperhatikan
bahwa dibutuhkan pasien yang dapat berkomunikasi dan pasien yang
sudah dewasa untuk dapat menyetujui atau menolak tindakan medis.
Melalui informed consent, pasien menyetujui suatu tindakan
medis secara tertulis.Informed consent menyaratkan bahwa pasien
harus terlebih dahulu menerima dan memahami informasi yang akurat
tentang kondisi mereka, jenis tindakan medik yang diusulkan, resiko,
dan juga manfaat dari tindakan medis tersebut.3
4. Justice
Keadilan atau Justice adalah suatu prinsip dimana seorang
dokter wajib memberikan perlakuan sama rata serta adil untuk
kebahagiaan dan kenyamanan pasien tersebut. Perbedaan tingkat
ekonomi,

pandangan

politik,

agama,

kebangsaan,

perbedaan

kedudukan sosial, , dan kewarganegaraan tidak boleh mengubah


sikap dan pelayanan dokter terhadap pasiennya. Dalam hal ini, dokter
dilarang membeda-bedakan pasiennya berdasarkan tingkat ekonomi,
agama, suku, kedudukan sosial, dsb.3
2.3 Undang-undang Praktik Kedokteran
a. UU RI No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Di undang undang ini disebutkan Pasien dalam menerima
pelayanan

pada

praktik

kedokteran,

mempunyai

hak

untuk

mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis,

meminta pendapat dokter, mendapatkan pelayanan sesuai dengan


kebutuhan medis, menolak tindakan medis dan mendapatkan isi rekam
namun pasien juga mempunyai kewajiban kepada dokter untuk
memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah
kesehatannya, mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan
kesehatan dan nasihat / petunjuk dokter serta memberikan imbalan
jasa atas pelayanan yang diterima.4
Ketentuan Umum
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :
1. Praktik kedokteran adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
dokter dan dokter gigi terhadap pasien dalam melaksanakan upaya
kesehatan.
2. Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan
dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran
gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah
Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
3. Konsil Kedokteran Indonesia adalah suatu badan otonom, mandiri,
nonstruktural, dan bersifat independen, yang terdiri atas Konsil
Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi.
4. Sertifikat kompetensi adalah surat tanda

pengakuan

terhadap

kemampuan seorang dokter atau dokter gigi untuk menjalankan praktik


kedokteran di seluruh Indonesia setelah lulus uji kompetensi.
5. Registrasi adalah pencatatan resmi terhadap dokter dan dokter gigi yang
telah memiliki sertifikat kompetensi dan telah mempunyai kualifikasi
tertentu lainnya serta diakui secara hukum untuk melakukan tindakan
profesinya.
6. Registrasi ulang adalah pencatatan ulang terhadap dokter dan dokter
gigi yang telah diregistrasi setelah memenuhi persyaratan yang berlaku.
7. Surat izin praktik adalah bukti tertulis yang diberikan pemerintah
kepada dokter dan dokter gigi yang akan menjalankan praktik
kedokteran setelah memenuhi persyaratan.4

Penyelenggaraan Praktik Kedokteran


Bagian Kesatu Surat Izin Praktik
Pasal 36
Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di
Indonesia wajib memiliki surat izin praktik.
Pasal 37
(1) Surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36
dikeluarkan

oleh

pejabat

kesehatan

yang

berwenang

di

kabupaten/kota tempat praktik kedokteran atau kedokteran gigi


dilaksanakan.
(2) Surat izin praktik dokter atau dokter gigi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) hanya diberikan untuk paling banyak 3 (tiga) tempat.
(3) Satu surat izin praktik hanya berlaku untuk 1 (satu) tempat praktik.
Pasal 38
(1) Untuk mendapatkan surat izin praktik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 36, dokter atau dokter gigi harus : a. memiliki surat
tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi yang
masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 31,
dan Pasal 32; b. mempunyai tempat praktik; dan c. memiliki
rekomendasi dari organisasi profesi.
(2) Surat izin praktik masih tetap berlaku sepanjang : a. surat tanda
registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi masih
berlaku; dan b. tempat praktik masih sesuai dengan yang tercantum
dalam surat izin praktik.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai surat izin praktik diatur dengan
Peraturan Menteri.
Bagian Kedua
Pelaksanaan Praktik
Pasal 39
Praktik kedokteran diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan
antara dokter atau dokter gigi dengan pasien dalam upaya untuk
pemeliharaan

kesehatan,

pencegahan

penyakit,

peningkatan

kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan.


Pasal 40

(1) Dokter atau dokter gigi yang berhalangan menyelenggarakan


praktik kedokteran harus membuat pemberitahuan atau menunjuk
dokter atau dokter gigi pengganti.
(2) Dokter atau dokter gigi pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus dokter atau dokter gigi yang mempunyai surat izin praktik.
Pasal 41
(1) Dokter atau dokter gigi yang telah mempunyai surat izin praktik dan
menyelenggarakan praktik kedokteran sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 36 wajib memasang papan nama praktik kedokteran.
(2) Dalam hal dokter atau dokter gigi berpraktik di sarana pelayanan
kesehatan, pimpinan sarana pelayanan kesehatan wajib membuat
daftar dokter atau dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran.
Pasal 42
Pimpinan sarana pelayanan kesehatan dilarang mengizinkan dokter
atau dokter gigi yang tidak memiliki surat izin praktik untuk
melakukan praktik kedokteran di sarana pelayanan kesehatan tersebut.
Pasal 43
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan praktik kedokteran
diatur dengan Peraturan Menteri.
b. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
512/MENKES/PER/IV/2007

Tentang

Izin

Praktik

Dan

Pelaksanaan Praktik Kedokteran MenKes RI.


Bahwa sesuai tugasnya Konsil Kedokteran Indonesia telah
mengatur/ menetapkan tata cara registrasi dokter dan dokter gigi,
penyelenggaraan praktik kedokteran yang baik, kemitraan dalam
hubungan

dokter-pasien,

tatacara

penanganan

kasus

dugaan

pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi, serta pedoman penegakan


disiplin profesi kedokteran yang harus ditaati oleh dokter dan dokter
gigi dalam penyelenggaraan praktik kedokteran.6
2.4 Hukum Aborsi
Pengertian aborsi menurut hukum adalah tindakan menghentian
kehamilan atau mematikan janin sebelum waktu kelahiran, tanpa melihat
usia kandungannya. Juga tidak dipersoalkan, apakah dengan pengguguran
kehamilan tersebut lahir bayi hidup atau mati.6,7

Ketentuan mengenai abortus dalam etika kedokteran disebutkan


dalam:8
a. Lafal sumpah dokter Indonesia: Saya akan menghormati setiap hidup
insani mulai dari pembuahan.
b. Pasal 10 KODEKI : Dokter wajib mengingat akan kewajibannya
melindungi hidup tiap insani.
Tindakan pengguguran kandungan menurut KUHP dikategorikan
sebagai tindakan kriminal. Pasal-pasal KUHP yang mengatur hal ini adalah
pasal 299, 341, 342, 343, 346, 347, 348 dan 349.9
a. Aborsi dalam KUHP dan UU No 36 Tahun 2009
1. Pasal 346
Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan
kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam
dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
2. Pasal 347
(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan
kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan
pidana penjara paling lama dua belas tahun.
(2) Jika perbuatan (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya
wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh
tahun.

3. Pasal 348

(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan


kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut,
diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
4. Pasal 349
Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan
kejahatan berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau
membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam
pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu
dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk
menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.
5. Pasal 350
Dalam hal pemidanaan karena pembunuhan, karena pembunuhan
dengan rencana, atau karena salah satu kejahatan berdasarkan Pasal
344, 347 dan 348, dapat dijatuhkan pencabutan hak berdasarkan
pasal 35 No. 1- 5.
b. UU No 36/2009
1. Pasal 194
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
2. Pasal 75 ayat (2)

(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat


dikecualikan berdasarkan:
a) Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini
kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang
menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun
yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut
hidup di luar kandungan; atau
b) Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma
psikologis bagi korban perkosaan.
c. Perbedaan aborsi dalam hal dokter tidak dapat dituntut dalam
tindakan aborsi
1. Pasal 194 UU No.36 th 2009
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
2. Pasal 75
(1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dikecualikan berdasarkan:
a) indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini
kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin,
yang menderita penyakit genetic berat dan/atau cacat bawaan,
maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan
bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau

b) kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma


psikologis bagi korban perkosaan.
(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat
dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra
tindakan dan diakhiri dengan konseling
pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan
berwenang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan
perkosaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
3. Pasal 80 ayat 1 UU No.23/1992
Barang siapa dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu
terhadap ibu hamil yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda
paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
4. Pasal 15
(1) Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyclamatkan
jiwa ibu hamil dan atau janinnya, dapat ditakukan tindakan medis
tertentu.
(2) Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
hanya dapat dilakukan :
a) berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya
tindakan tersebut;

b) oleh tenaga keschatan yang mempunyai keahlian dan


kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung
jawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim ahli;
c) dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami
atau keluarganya;
d) pada sarana kesehatan tertentu.
2.5 Kewajiban Dokter pada Pasien yang diatur oleh KODEKI 10
Dalam buku kode etik kedokteran indonesia dijelaskan mengenai
kewajiban dokter terhadap pasien dalam pasal 14, 15, 16, dan 17 yaitu
sebagai berikut :
a. Pasal 14
Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan menggunakan
segala ilmu dan ketrampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal
ini, maka atas persetujuan pasien, ia wajib merujuk pasien kepada
dokter yangg mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.

b. Pasal 15
Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar
senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya
dalam beribadat dan atau dalam masalah lainnya.
c. Pasal 16
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang
diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu
meninggal dunia
d. Pasal 17
Setiap dokter wajib mmelakukan pertolongan darurat sebagai
suatu tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain
bersedia dan mampu memberikannya.
2.6 Kaidah Dasar Bioetik yang dilanggar dokter Anton pada Kasus
a. Beneficence

Beneficence adalah prinsip bioetik dimana seorang dokter


melakukan suatu tindakan untuk kepentingan pasiennya dalam usaha
untuk membantu mencegah atau menghilangkan bahaya atau hanya
sekedar mengobati masalah-masalah sederhana yang dialami pasien.11
Berdasarkan penjelasan diatas, dokter Anton melanggar prinsip
beneficence, karena tidak langsung memeriksa apakah benar ibu Budi
positif terkena Rubella setelah ibu Budi menunjukkan tanda-tanda
b.

rubella.
Non-maleficence
Non-maleficence adalah suatu prinsip dimana seorang dokter
tidak melakukan suatu perbuatan atau tindakan yang dapat
memperburuk pasien. Dokter haruslah memilih tindakan yang paling
kecil resikonya. Do no harm merupakan poin penting dalam prinsip
non-maleficence. Prinsip ini dapat diterapkan pada kasus-kasus yang
bersifat gawat atau darurat.11
Berdasarkan penjelasan diatas, dokter Anton juga melanggar
prinsip non-maleficence. Karena, dokter Anton tidak melakukan
pemeriksaan terhadap ibu Budi setelah ibu Budi menunjukkan tandatanda rubella dan juga tidak menjawab dengan jelas yang dapat

memperburuk keadaan pasien.


c. Autonomy
Dalam prinsip
ini,

seorang dokter wajib menghormati

martabat dan hak manusia, terutama hak untuk menentukan nasibnya


sendiri. Pasien diberi hak untuk berfikir secara logis dan membuat
keputusan sesuai dengan keinginannya sendiri. Autonomy pasien harus
dihormati secara etik, dan di sebagain besar negara dihormati secara
legal. Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa dibutuhkan pasien yang
dapat berkomunikasi dan pasien yang sudah dewasa untuk dapat
menyetujui atau menolak tindakan medis.12
Melalui informed consent, pasien menyetujui suatu tindakan
medis secara tertulis. Informed consent menyaratkan bahwa pasien
harus terlebih dahulu menerima dan memahami informasi yang akurat

tentang kondisi mereka, jenis tindakan medik yang diusulkan, resiko,


dan juga manfaat dari tindakan medis tersebut.13
Berdasarkan penjelasan diatas, dokter Anton melanggar prinsip
autonomy, dikarenakan dokter Anton tidak memberikan penjelasan
yang jelas mengenai penyakit rubella serta kemungkinan bayi ibu
Budi terlahir cacat akibat rubella.
d. Justice
Justice atau keadilan adalah prinsip berikutnya yang terkandung
dalam bioetik. Justice adalah suatu prinsip dimana seorang dokter
wajib memberikan perlakuan yang adil untuk semua pasiennya.
Dalam hal ini, dokter dilarang membeda-bedakan pasiennya
berdasarkan tingkat ekonomi, agama, suku, kedudukan sosial, dsb.14
Berdasarkan penjelasan diatas, dokter Anton tidak dapat
dipastikan apakah melanggar atau tidak prinsip justice, dikarenakan
kurangnya informasi yang tersedia. Namun, apabila dilihat secara
seksama, dokter Anton telah melakukan prinsip justice dengan benar.
2.7 Sikap dan Perilaku Dokter yang Sesuai dengan KODEKI dan Undangundang Praktek Kedokteran pada Kasus
a. UU RI No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Pasal 45
(1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan
dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus
mendapatkan persetujuan.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
setelah pasien mendapatkan penjelasan secara lengkap.4
Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurangkurangnya mencakup :
a)
b)
c)
d)
e)

Diagnosis dan tata cara tindakan medis;


Tujuan tindakan medis yang dilakukan;
Alternatif tindakan lain dan resikonya;
Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat

diberikan baik secara tertulis maupun lisan.

Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung


risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang
ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.
Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau
kedokteran gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat
(3), ayat (4), ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.
b. Rahasia Kedokteran
1. Pasal 48
Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik
kedokteran wajib menyimpan rahasia kedokteran.
Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan
kesehatan pasien, memenuhi paraturan penegak hukum dalam
rangka penegakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau
berdasarkan ketentuan perundang-undangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia kedokteran diatur dengan
Peraturan Menteri.
2. Pasal 51
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran
mempunyai kewajiban:
Memberikan pelayanan medis sesuai dengan stanadr profesi dan
standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;
Merujuk pasien kedokter atau kedokter gigi lain yang mempunyai
keahlian atau kamampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu
melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;
Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien,
bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia;
Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan,
kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu
melakukannya; dan
Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu
kedokteran atau kedokteran gigi.

c. Hak dan Kewajiban Pasien


1. Pasal 52
Pasien, dalam menerima pelayanan para praktik kedokteran,
mempunyai hak:
Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis
sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat (3);
Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
Menolak tindakan medis; dan
Mendapat isi rekam medis.
d. MKEK. Kode Etik Kedokteran Indonesia Dan Pedoman
Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia.
Pasal 1
Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan
sumpah dokter.
Pasal 2
Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya
sesuai dengan standar profesi yang tertinggi.
Pasal 7a
Seorang dokter harus dalam setiap praktik medisnya, memberikan
pelayanan medis yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral
sepenuhnya,

disertai

rasa

kasih

sayang

(compassion)

dan

penghormatan atas martabat manusia.


Pasal 7b
Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan
pasien dan sejawatnya dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya
yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau
kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan dalam
menangani pasien.

2.8 Pengaruhi Infeksi Rubella pada Ibu Hamil terhadap Perkembangan


Janin
Infeksi pada fetal didapat secara hematogen dan rerata transmisi dari
virus rubella bervariasi, tergantung dari umur gestasi ibu ketika terinfeksi
rubella. Setelah menginfeksi plasenta, virus rubella menyebar melalui
sistem vaskular fetus yang sedang berkembang. Hal ini menyebabkan sel-sel
yang ada di pembuluh darah mengalami perubahan degeneratif dan pada
akhirnya sel-sel tersebut akan lisis sehingga menimbukan kerusakan pada
pembuluh darah. Selain itu juga, virus rubella yang beredar melalui sistem
vaskular fetus yang sedang berkembang juga dapat menyebabkan iskemia
pada organ yang sedang berkembang.15,16
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sikap dan perilaku dr. Anton tidak sesuai dengan etika kedokteran dan
undang-undang praktik kedokteran.

DAFTAR PUSTAKA
1. Wiradharma D, Hartati DS. Penuntun kuliah hukum kedokteran. Edisi 2.
Jakarta. CV Sagung Seto. 2010.
2. Hanafiah M. Jusuf dan Amri Amir. Etika Kedokteran dan Hukum
Kesehatan. Edisi 4. Jakarta : Buku kedokteran EGC, 2008
3. Williams JR. Medical Ethics Manual. USA: Ethics Unit of the World
Medical Association; 2005.
4. UU RI No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
5. Peraturan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia

Nomor

512/MENKES/PER/IV/2007 Tentang Izin Praktik Dan Pelaksanaan Praktik


Kedokteran MenKes RI.
6. Idris, AM, Tjiptomartono, AL. Abortus dan Pembunuhan Anak dalam
Penerapan Ilmu Majalah Kedokteran Andalas No.1. Vol.34. Januari-Juni
2010 30 Kedokteran Forensik Dalam Proses Penyidikan. Sagung Seto,
2008. Hal 168-76.
7. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, Winardi T, Munim A, Hertian,
dkk. Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi pertama. Jakarta: Bagian Ilmu
kedokteran forensik FKUI; 1997.
8. Hanafiah, MJ. Reproduksi Manusia Dalam Etika Kedokteran dan Hukum
Kesehatan. EGC, 1999. Hal 94- 102
9. Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP).
10. Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia (MKEK) Ikatan Dokter
Indonesia, Kode Etik Kedokteran Indonesia. Jakarta, 2012
11. Pantilat,
Steve.
Beneficence
vs.
Nonmaleficence. [Online].
(http://missinglink.ucsf.edu/lm/ethics/Content
%20Pages/fast_fact_bene_nonmal.htm, diakses pada 16 September 2016)
12. Sachrowardi, Qomariyah & Basbeth, Ferryal. Bioetik: Isu & Dilema. Jakarta
Selatan: 2011,h. 324
13. ECC Guidelines. Circulation, opcit.; Hilberman M, Kutner J, Parsons D,
Murphy DJ.op. cit
14. Shiel, William C., dkk. Kamus Kedokteran Websters New World. Jakarta
Barat: 2010
15. Webster, W.S. Teratogen update: congenital rubella. Teratology. 1998;58:1323
16. Dontingy, Lorraine, et al. SOGC Clinical Practice and Guidelines: Rubella
in Pregnancy. Canada. 2008;203:3

Anda mungkin juga menyukai