Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN DISKUSI KELOMPOK

PEMICU 1
MODUL ETNOMEDIK ET FARMAKA

KELOMPOK DISKUSI 2

Morich Kristoper I111121049


Ely Kusumawardani I1011131044
Andini Puji Lestari I1011141005
Muhammad Deni Kurniawan I1011141010
Hizki Ervando I1011141018
Feddy Setiady I1011141019
Maghfira Aufa Asli I1011141036
Thevany I1011141052
Ariski Pratama Johan I1011141062
M. Hammam Faisal F. I1011141066
Gata Dila I1011141068

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Pemicu
Obat Kanker Herbal Sulit Diandalkan
Rabu, 24 February 2016
ANTARA/Asep Fathultahman
MASYARAKAT diminta untuk waspada dan kritis terhadap berbagai
promosi dan penawaran dari pihak produsen obat-obatan herbal yang
mengklaim bisa menyembuhkan dengan cepat penyakit kanker. Kurangnya
sikap kritis dalam memilih obat dan jenis pengobatan membuka peluang
kematian akibat kanker semakin besar.
"Kanker ini penyakit yang semakin cepat ditangani akan semakin
besar pula peluang kesembuhannya. Sebaliknya, semakin tertunda akibat
mencoba berbagai obat yang belum terbukti secara ilmiah, semakin kecil
peluang untuk sembuh," ujar Soehartati, Ketua Komite Penanggulangan
Kanker Nasional (KPNK), di Jakarta, Selasa (23/2).
Pilihan penggunaan obat tradisional yang belum teruji klinis dan
mendapat izin edar Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM) masih terus
terjadi di kalangan pasien dengan tingkat pengetahuan dan kondisi ekonomi
yang terbatas.
Soehartati menjelaskan pengobatan dengan menggunakan ramuan
herbal untuk penanganan kanker masih belum terbukti dapat diandalkan.
Hal tersebut juga terbukti dengan belum adanya suatu bentuk penelitian
yang menyatakan tingkat kesembuhan dan keberhasilan pengobatan
tradisional pada kanker secara efektif dan menyeluruh. "Hanya pengakuan-
pengakuan dan kampanye obat tradisional. Padahal, secara medis belum ada
obat tradisional yang terbukti berhasil menyembuhkan kanker," ungkapnya,
dalam acara seminar bertema Cara cerdas memilih pengobatan kanker yang
tepat.
Senada dengan Soehartati, dokter onkologi, Sonar Panigoro,
mengatakan obat dan pengobatan tradisional umumnya memiliki sistem
kerja lebih lama jika dibandingkan dengan terapi medis.
"Pasien kanker yang masih stadium 1 dan langsung diobati secara
medis dan terapi berpeluang sembuh 100%. Semakin terlambat deteksi dan
lama memilih pengobatan, tingkat kesembuhan semakin rendah, di bawah
20%," ungkap Sonar.
Lisensi Badan POM
Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisonal, Kosmetik, dan Produk
Komplemen Badan POM, Ondri Dwi Dampurno, mengatakan hingga saat
ini belum pernah ada obat tradisional yang secara resmi mendapatkan lisensi
dari Badan POM sebagai obat penyembuh kanker

1.2. Klarifikasi dan Definisi


Tidak ada.

1.3. Kata Kunci


a. Obat herbal g. Kecil untuk sembuh
b. Kanker h. Belum terbukti
c. KPNK i. Tingkat kesembuhan
d. BPOM j. Tingkat pengetahuan
e. Obat tradisional k. Terapi medis
f. Ekonomi terbatas

1.4. Rumusan Masalah


Bagaimana peranan obat tradisional dan herbal terhadap
penyembuhan kanker di kalangan masyarakat yang belum mendapatkan
lisensi dari BPOM ?
1.5. Analisis Masalah
Pengobatan Tradisional

Alternatif Tanaman obat Evidence Based


Pengobatan Kanker Medicine

Pengertian Aplikasi

Penelitian Uji
Tanaman Obat Tanaman Obat

Sejarah Penggunaan Efek


Penemuan Obat Khasiat
Samping

1.6. Hipotesis
Obat tradisional yang belum mendapatkan lisensi dari BPOM banyak
digunakan oleh masyarakat dikarenakan kondisi ekonomi yang terbatas.

1.7. Pertanyaan Diskusi


1. Apa pengertian pengobatan tradisional ?
2. Bagaimana sejarah perkembangan obat tradisional ?
3. Bagaimana klasifikasi obat tradisional ?
4. Apa perbedaan pengobatan tradisional dan herbal ?
5. Apa saja tanaman obat yang ada di Kalimantan Barat ?
6. Jelaskan proses uji tanaman obat !
7. Apa saja program pemerintah dalam pengembangan fitofarmaka ?
8. Bagaimana alur dari lisensi dari Badan POM ?
9. Bagaimana sudut pandang dokter terhadap obat tradisional ?
10. Apakah obat tradisional boleh digunakan bersama terapi medis ?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Apa pengertian pengobatan tradisional?1


Pelayanan kesehatan tradisional merupakan salah satu bentuk
pelayanan kesehatan yang sudah berkembang sejak dulu di Indonesia
bahkan sebelum keberadaan pengobatan modern. Pemerintah menerbitkan
berbagai peraturan untuk berupaya melindungi warga negara dan sekaligus
memberikan rasa aman. Perlindungan dan rasa aman tersebut juga diberikan
bagi pemberi pelayanan kesehatan. Pengobatan tradisional sebagai salah
satu pengobatan di luar ilmu kedokteran juga dirumuskan pada Pasal 12
Ayat (1) dan (2) Kepmenkes No. 1076//MENKES/SK/VII/2003 tentang
Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional bahwa pengobatan tradisional
merupakan salah satu upaya pengobatan dan /atau perawatan cara lain di
luar ilmu kedokteran dan/atau ilmu keperawatan. Pengobatan tradisional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai upaya peningkatan
kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan penyakit, dan/atau
pemulihan kesehatan. Berdasarkan rumusan di atas dapat disimpulkan
bahwa pengobatan tradisional merupakan sarana penyembuhan yang
mendukung pemerintah dalam upaya memberikan pelayanan kesehatan
terhadap masyarakat. Pengobatan tradisional pada prinsipnya merupakan
salah satu upaya pengobatan dan/atau perawatan cara lain di luar ilmu
kedokteran. Metode pengobatan tradisional meskipun di luar ilmu
kedokteran namun tetap dipercaya dan diminati oleh masyarakat, hal ini
karena tidak semua lapisan masyarakat dapat menerima pengobatan secara
medis yang pada umumnya menggunakan obat-obatan melalui proses kimia.
Pemerintah menerbitkan aturan melalui Kepmenkes No.
1076//MENKES/SK/VII/2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan
Tradisional. Peraturan tersebut dibentuk oleh Pemerintah, hal ini
membuktikan bahwa pengobatan tradisional mendukung peningkatan
derajat kesehatan masyarakat.
2.2. Bagaimana sejarah perkembangan obat tradisional?2
Jamu telah menjadi bagian budaya dan kekayaan alam Indonesia dan
hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2010 menunjukkan bahwa penggunaan
jamu oleh masyarakat Indonesia lebih dari 50%. Meskipun demikian belum
semua dokter di Indonesia terutama dokter spesialis menerimanya dengan
alasan tidak memiliki bukti ilmiah (evidence based medicine/EBM).
Adapun jamu ataupun obat tradisional indonesia ini mempunyai
sejarah, yang mana juga dapat mendukung atau membuktikan penggunaan
ramuan tersebut secara empiris. Sehingga dilakukan telaah lieratur pada 3
zaman perkembangan jamu di Indonesia yaitu sebelum abad ke-18, abad ke
18-20 dan abad ke-21, dikhususkan pada masalah di Kementerian
Kesehatan dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Sebelum Abad XVIII
Penggunaan ramuan untuk pengobatan tercantum di prasasti sejak
abad 5 M antara lain relief di candi Borobudur, candi Prambanan dan candi
Penataran abad 8-9 M. Usada Bali merupakan uraian penggunaan jamu yang
ditulis dalam bahasa Jawa Kuno, Sansekerta dan bahasa Bali di daun lontar
pada tahun 991-1016 M. Istilah djamoe dimulai sejak abad 15-16 M yang
tersurat dalam primbon di Kartasuro. Uraian jamu secara lengkap terdapat di
serat centini yang ditulis oleh Kanjeng Gusti Adipati Anom Mangkunegoro
III tahun 1810-1823. Pada tahun 1850 R. Atmasupana II menulis sekitar
1734 ramuan jamu. Djamoe merupakan singkatan dari djampi yang berarti
doa atau obat dan oesodo (husada) yang berarti kesehatan. Dengan kata lain
djamoe berarti doa atau obat untuk meningkatkan kesehatan.
Abad 18-20
Menurut Pols, sejak zaman penjajahan Belanda pada awal abad ke-17,
para dokter berkebangsaan Belanda, Inggris ataupun Jerman tertarik
mempelajari jamu sampai beberapa di antaranya menuliskannya ke dalam
buku, misalnya Practical Observations on a Number of Javanese
Medications oleh dr. Carl Waitz pada tahun 1829. Isi buku antara lain
menjelaskan bahwa obatyang lazim digunakan di Eropa dapat digantikan
oleh herbal/tanaman (jamu) Indonesia, misalnya rebusan sirih (Piper bettle)
untuk batuk, rebusan kulit kayu manis (Cinnamomum) untuk demam
persisten, sedangkan daunnya digunakan untuk gangguan pencernaan.pada
tahun 1850, seorang ahli kesehatan Geerlof Wassink membuat kebun
tanaman obatdan menginstruksikan kepada para dokter agarmenggunakan
herbal untuk pengobatan. Hasil pengobatan tersebut dipublikasikan di
Medical Journal of the Dutch East Indies.

2.3. Bagaimana klasifikasi obat tradisional?3


Klasifikasi Obat Tradisional Keterangan
Jamu adalah obat tradisional Indonesia
berupa bahan atau ramuan bahan yang
berupa bahan tumbuhan, bahan hewan,
bahan mineral, sediaan sarian (galenik)
atau campuran dari bahan tersebut, yang
secara turun-temurun telah digunakan
untuk pengobatan berdasarkan
pengalaman.
a. Aman sesuai dengan persyaratan
yang ditetapkan;
b. Klaim khasiat dibuktikan
berdasarkan data empiris;
c. Memenuhi persyaratan mutu yang
berlaku.
Obat herbal terstandar adalah sediaan
obat bahan alam yang telah dibuktikan
keamanan dan khasiatnya secara ilmiah
dengan uji praklinik dan bahan bakunya
telah di standarisasi.
a. Aman sesuai dengan persyaratan
yang ditetapkan;
b. Klaim kasiat dibuktikan secara
ilmiah/pra klinik;
c. Telah dilakukan standardisasi
terhadap bahan baku yang
digunakan dalam produk jadi;
d. Memenuhi persyaratan mutu yang
berlaku.
Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan
alam yang telah dibuktikan keamanan
dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji
praklinik dan uji klinik, bahan baku dan
produk jadinya telah di standarisasi.
a. Aman sesuai dengan persyaratan
yang ditetapkan;
b. Klaim khasiat harus dibuktikan
berdasarkan uji klinik;
c. Telah dilakukan standarisasi
terhadap bahan baku yang
digunakan dalam produk jadi;
d. Memenuhi persyaratan mutu yang
berlaku.
2.4. Apa perbedaan pengobatan tradisional dan herbal?4,5,6
Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan
tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau
campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan
untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Tanaman obat tradisional
adalah Obat Jadi atau ramuan bahan alam yang berasal dari tumbuhan,
mineral, hewan atau campuran bahan tersebut yangsecara tradisional telah
digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Pengobatan
tradisional yang bersumber dari tumbuhan telah diketahui sejak dahulu.
Pengetahuan mengenai pengobatan tradisional tersebut pada umumnya
diwariskan secaraturun-temurun dari generasi-kegenerasi. Setiap daerah
atau suku bangsa memiliki ciri khas masingmasingdalam hal pengobatan
tradisional, hal ini disebabkan oleh kondisi alamnya khususnya ketersediaan
tumbuh-tumbuhan yang berkhasiat obat di masing-masing daerah, juga
perbedaan falsafah budaya dan adat istiadat yang melatarbelakanginya.
Menurut WHO (World Health Organization) definisi herbal adalah
tanaman yang bagian tanamannya daun, bunga, buah, biji, batang kayu,
kulit, akar, rimpang atau bagian tanaman lainnya, yang mungkin seluruhnya
dapat terframentasi. Sedangkan definisi dari pengobatan herbal adalah
penggunaan obat dapat mengurangi, menghilangkan penyakit atau
menyembuhkan seseorang dari penyakit dengan menggunakan bagian-
bagian dari tanaman seperti biji, bunga, daun, batang dan akar yang
kemudian diolah menjadi tanaman obat herbal.
Obat herbal atau herbal medicine didefinisikan sebagai bahan baku
atau sediaan yang berasal dari tumbuhan yang memiliki efek terapi atau efek
lain yang bermanfaat bagi kesehatan manusia; komposisinya dapat berupa
bahan mentah atau bahan yang telah mengalami proses lebih lanjut yang
berasal dari satu jenis tumbuhan atau lebih. Sediaan herbal diproduksi
melalui proses ekstraksi, fraksinasi, purifikasi, pemekatan atau proses fisika
lainnya; atau diproduksi melalui proses biologi. Sediaan herbal dapat
dikonsumsi secara langsung atau digunakan sebagai bahan baku produk
herbal. Produk herbal dapat berisi eksipien atau bahan inert sebagai
tambahan bahan aktif.
Obat herbal telah diterima secara luas di negara berkembang dan di
negara maju. Menurut WHO, hingga 65 % dari penduduk negara maju dan
80 % penduduk negara berkembang telah menggunakan obat herbal. Faktor
pendorong terjadinya peningkatan penggunaan obat herbal di negara maju
adalah :
1. Meningkatnya usia harapan hidup pada saat prevalensi penyakit kronik
meningkat
2. Adanya kegagalan penggunaan obat modern untuk penyakit tertentu
seperti kanker, serta
3. Semakin meluasnya akses informasi obat herbal di seluruh dunia
2.5. Apa saja tanaman obat yang ada di Kalimantan Barat?7
2.6. Jelaskan proses uji tanaman obat!8
Agar obat tradisional dapat diterima di pelayanan kesehatan
formal/profesi dokter, maka hasil data empirik harus didukung oleh bukti
ilmiah adanya khasiat dan keamanan penggunaannya pada manusia. Bukti
tersebut hanya dapat diperoleh dari penelitian yang dilakukan secara
sistematik. Tahapan pengembangan obat tradisional menjadi fitofarmaka
adalah sebagai berikut :
1. Tahap Seleksi
Sebelum memulai penelitian, perlu dilakukan pemilihan jenis obat
tradisional/obat herbal yang akan diteliti dan dikembangkan. Jenis obat
tradisional/obat herbal yang diprioritaskan untuk diteliti dan
dikembangkan adalah diharapkan berkhasiat untuk penyakit yang
menduduki urutan atas dalam angka kejadiannya (berdasarkan pola
penyakit), berdasarkan pengalaman berkhasiat untuk penyakit tertentu,
dan merupakan alternatif jarang untuk penyakit tertentu, seperti AIDS
dan kanker.
Akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk meneliti tanaman obat
yang mendadak populer di kalangan masyarakat. Sebagai contoh banyak
penelitian belakangan ini dilakukan terhadap tanaman Mahkota Dewa
(Phaleria macrocarpa) yang diklaim antara lain bermanfaat untuk
penderita diabetes melitus dan buah merah (Pandanus conoideus Lamk.)
yang diklaim antara lain dapat menyembuhkan kanker dan AIDS.
2. Tahap Uji Preklinik
Uji preklinik dilaksanakan setelah dilakukan seleksi jenis obat
tradisional yang akan dikembangkan menjadi fitofarmaka. Uji preklinik
dilakukan secara in vitro dan in vivo pada hewan coba untuk melihat
toksisitas dan efek farmakodinamiknya. Bentuk sediaan dan cara
pemberian pada hewan coba disesuaikan dengan rencana pemberian pada
manusia. Menurut pedoman pelaksanaan uji klinik obat tradisional yang
dikeluarkan Direktorat Jenderal POM Departemen Kesehatan RI hewan
coba yang digunakan untuk sementara satu spesies tikus atau mencit,
sedangkan WHO menganjurkan pada dua spesies. Uji farmakodinamik
pada hewan coba digunakan untuk memprediksi efek pada manusia,
sedangkan uji toksisitas dimaksudkan untuk melihat keamanannya.
3. Uji Toksisitas
Uji toksisitas dibagi menjadi uji toksisitas akut, subkronik, kronik,
dan uji toksisitas khusus yang meliputi uji teratogenisitas, mutagenisitas,
dan karsinogenisitas. Uji toksisitas akut dimaksudkan untuk menentukan
LD50 (lethal dose50) yaitu dosis yang mematikan 50% hewan coba,
menilai berbagai gejala toksik, spektrum efek toksik pada organ, dan cara
kematian. Uji LD50 perlu dilakukan untuk semua jenis obat yang akan
diberikan pada manusia. Untuk pemberian dosis tunggal cukup dilakukan
uji toksisitas akut. Pada uji toksisitas subkronik obat diberikan selama
satu atau tiga bulan, sedangkan pada uji toksisitas kronik obat diberikan
selama enam bulan atau lebih. Uji toksisitas subkronik dan kronik
bertujuan untuk mengetahui efek toksik obat tradisional pada pemberian
jangka lama. Lama pemberian sediaan obat pada uji toksisitas ditentukan
berdasarkan lama pemberian obat pada manusia
Uji toksisitas khusus tidak merupakan persyaratan mutlak bagi
setiap obat tradisional agar masuk ke tahap uji klinik. Uji toksisitas
khusus dilakukan secara selektif bila: 1) Obat tradisional berisi
kandungan zat kimia yang potensial menimbulkan efek khusus seperti
kanker, cacat bawaan, 2) Obat tradisional potensial digunakan oleh
perempuan usia subur, 3) Obat tradisional secara epidemiologik diduga
terkait dengan penyakit tertentu misalnya kanker, 4) Obat digunakan
secara kronik.
4. Uji Farmakodinamik
Penelitian farmakodinamik obat tradisional bertujuan untuk
meneliti efek farmakodinamik dan menelusuri mekanisme kerja dalam
menimbulkan efek dari obat tradisional tersebut. Penelitian dilakukan
secara in vitro dan in vivo pada hewan coba. Cara pemberian obat
tradisional yang diuji dan bentuk sediaan disesuaikan dengan cara
pemberiannya pada manusia. Hasil positif secara in vitro dan in vivo pada
hewan coba hanya dapat dipakai untuk perkiraan kemungkinan efek pada
manusia
5. Standardisasi Sederhana, Penentuan Identitas dan Pembuatan Sediaan
Terstandar
Pada tahap ini dilakukan standarisasi simplisia, penentuan identitas,
dan menentukan bentuk sediaan yang sesuai. Bentuk sediaan obat herbal
sangat mempengaruhi efek yang ditimbulkan. Bahan segar berbeda
efeknya dibandingkan dengan bahan yang telah dikeringkan. Proses
pengolahan seperti direbus, diseduh dapat merusak zat aktif tertentu yang
bersifat termolabil. Sebagai contoh tanaman obat yang mengandung
minyak atsiri atau glikosida tidak boleh dibuat dalam bentuk decoct
karena termolabil. Demikian pula prosedur ekstraksi sangat
mempengaruhi efek sediaan obat herbal yang dihasilkan. Ekstrak yang
diproduksi dengan jenis pelarut yang berbeda dapat memiliki efek terapi
yang berbeda karena zat aktif yang terlarut berbeda. Sebagai contoh daun
jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk) memiliki tiga jenis kandungan
kimia yang diduga berperan untuk pelangsing yaitu tanin, musilago,
alkaloid. Ekstraksi yang dilakukan dengan etanol 95% hanya melarutkan
alkaloid dan sedikit tanin, sedangkan ekstraksi dengan air atau etanol
30% didapatkan ketiga kandungan kimia daun jati belanda yaitu tanin,
musilago, dan alkaloid tersari dengan baik.
6. Uji klinik Obat tradisional
Untuk dapat menjadi fitofarmaka maka obat tradisional/ obat herbal
harus dibuktikan khasiat dan keamanannya melalui uji klinik. Seperti
halnya dengan obat moderen maka uji klinik berpembanding dengan
alokasi acak dan tersamar ganda (randomized double-blind controlled
clinical trial) merupakan desain uji klinik baku emas (gold standard). Uji
klinik pada manusia hanya dapat dilakukan apabila obat tradisional/obat
herbal tersebut telah terbukti aman dan berkhasiat pada uji preklinik.
Pada uji klinik obat tradisional seperti halnya dengan uji klinik obat
moderen, maka prinsip etik uji klinik harus dipenuhi. Sukarelawan harus
mendapat keterangan yang jelas mengenai penelitian dan memberikan
informed-consent sebelum penelitian dilakukan. Standardisasi sediaan
merupakan hal yang penting untuk dapat menimbulkan efek yang
terulangkan (reproducible). Uji klinik dibagi empat fase yaitu:
Fase I : dilakukan pada sukarelawan sehat, untuk menguji keamanan dan
tolerabilitas obat tradisiona.l
Fase II awal: dilakukan pada pasien dalam jumlah terbatas, tanpa
pembanding.
Fase II akhir: dilakukan pada pasien jumlah terbatas, dengan
pembanding.
Fase III : uji klinik definitif.
Fase IV : pasca pemasaran, untuk mengamati efek samping yang jarang
atau yang lambat timbulnya.
Untuk obat tradisional yang sudah lama beredar luas di masyarakat
dan tidak menunjukkan efek samping yang merugikan, setelah
mengalami uji preklinik dapat langsung dilakukan uji klinik dengan
pembanding. Untuk obat tradisional yang belum digunakan secara luas
harus melalui uji klinik pendahuluan (fase I dan II) guna mengetahui
tolerabilitas pasien terhadap obat tradisional tersebut.
Berbeda dengan uji klinik obat modern, dosis yang digunakan
umumnya berdasarkan dosis empiris tidak didasarkan dose-ranging
study. Kesulitan yang dihadapi adalah dalam melakukan pembandingan
secara tersamar dengan plasebo atau obat standar. Obat tradisional
mungkin mempunyai rasa atau bau khusus sehingga sulit untuk dibuat
tersamar. Saat ini belum banyak uji klinik obat tradisional yang
dilakukan di Indonesia meskipun nampaknya cenderung meningkat
dalam lima tahun belakangan ini. Kurangnya uji klinik yang dilakukan
terhadap obat tradisional antara lain karena:
1. Besarnya biaya yang dibutuhkan untuk melakukan uji klinik
2. Uji klinik hanya dapat dilakukan bila obat tradisional telah terbukti
berkhasiat dan aman pada uji preklinik
3. Perlunya standardisasi bahan yang diuji
4. Sulitnya menentukan dosis yang tepat karena penentuan dosis
berdasarkan dosis empiris, selain itu kandungan kimia tanaman
tergantung pada banyak faktor.
5. Kekuatiran produsen akan hasil yang negatif terutama bagi produk
yang telah laku di pasaran Setelah melalui penilaian oleh Badan POM,
dewasa ini terdapat sejumlah obat bahan alam yang digolongkan
sebagai obat herbal terstandar dan dalam jumlah lebih sedikit
digolongkan sebagai fitofarmaka.

2.7. Apa saja program pemerintah dalam pengembangan fitofarmaka ?


Dalam rangka pengembangan obat tradisional ke arah Fitofarmaka
tersebut perlu adanya suatu pedoman. Hal ini diatur dalam Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 761/ MENKES/SK/IX/1992
tentang Pedoman Fitofarmaka dan Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia nomor 56/MHNKES/SK/I/2000 tentang Pedoman Pelaksanaan
Uji Klinik Obat Tradisional. Dasar pemikirannya adalah bahwa obat
tradisional baik dalam bentuk simplisia tunggal maupun ramuan sebagian
besar penggunaan dan kegunaannya masih berdasarkan pengalaman. Data
yang meliputi kegunaan, dosis dan efek samping sebagian besar belum
didasarkan pada landasan ilmiah, karena penggunaan obat tradisional baru
didasaikan kepada kepercayaan terhadap informasi berdasarkan
pengalaman.
Apabila obat tradisional yang tidak terkena ketentuan wajib daftar
berdasarkan UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan seperti Jamu Racik
dan Jamu Gendong ingin dikembangkan penggunaannya ke jalur pelayanan
kesehatan, maka obat tradisional tersebut terlebih dahulu harus mengalami
pengungkapan untuk memperoleh informasi tentang kemanfaatannya secara
empiris, luas jangkauan masyarakat pengguna, dan informasi menyangkut
teknologi kefarmasian (cara pembuatan dan bentuk sediaan, cara pemakaian,
bahan yang digunakan, identitas serta cara perolehan, ketersediaan bahan
sumber simplisia). Hal ini dimaksudkan agar obat tradisional tersebut dapat
terulangkan pada saat pemanfaatan nantinya. Berdasarkan informasi
tersebut selanjutnya dilakukan persiapan dan pengujian praklinik dan klinik
obat tradisional dimaksud.Dari hasil-hasil uji yang diperoleh ditetapkan
langkah lanjut oleh Tim yang berwenang untuk itu.
Bagi obat tradisional yang terkena ketentuan wajib daftar ingin
dikembangkan penggunaannya pada jalur pelayanan kesehatan, maka
industri dan produk yang dihasilkannya pertama-tama harus memenuhi
persyaratan seperti tertera pada Peraturan Menkes nomor 007 tahun 2012
tentang Registrasi Obat Tradisional serta Keputusan Menteri Kesehatan
nomor 661/Menkes/SK/VII/1994 tentang Persyaratan Obat Tradisional.
Dengan melampirkan dokumen seperti dipersyaratkan pada peraturan
tersebut, maka industri obat tradisional dapat mengajukan permintaan untuk
uji klinik terhadap produk, di mana protokolnya terlebih dahulu diajukan ke
Badan POM untuk memperoleh persetujuan. Hasil uji klinik obat tradisional
merupakan syarat pelengkap pendaftaran obat tradisional yang akan
digunakan pada upaya pelayanan kesehatan.

2.8. Bagaimana alur dari lisensi dari Badan POM?


Registrasi obat tradisional telah diatur di Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 007 Tahun 2012 Tentang Registrasi Obat
Tradisional.

2.9. Bagaimana sudut pandang dokter terhadap obat tradisional?9,10


Bentuk obatan-obatan tradisional yang paling menguntungkan secara
finansial adalah obat-obatan herbal yang memang oleh Organisasi
Kesehatan Dunia atau WHO telah dinyatakan dapat mengobati penyakit
kronis.Salah satunya adalah obat malaria yang dikembangkan dari
penemuan zat artimisinin yang ditemukan dari tumbuhan Artemisia annua
L, tanaman yang telah digunakan oleh masyarakat Cina sejak 2000 tahun
lalu.
Bahkan, negara-negara berkembang di seluruh dunia mulai
menggunakan obat tradisional termasuk didalamnya akupuntur. Saat ini,
sebesar 70%-80% dari total populasi di negara-negara berkembang telah
menggunakan pengobatan alternatif. Obat tradisional menurut WHO adalah
keseluruhan dari pengetahuan, keterampilan, dan praktek berdasarkan teori,
kepercayaan, dan pengalaman asli setempat yang digunakan untuk
pemeliharaan kesehatan dan pengobatan penyakit fisik dan mental. Obat
tradisional termasuk di dalamnya obat-obatan herbal, pijat, akupuntur, dan
lainnya. Obat-obatan herbal telah mendapat tempat tersendiri di hati
masyarakat dunia.Ini dibuktikan dengan banyaknya pendapatan dari adanya
perdagangan obat-obatan herbal di Eropa Barat, Cina, dan Brazil. Obat
herbal dapat mengobati berbagai keluhan yang mereka adukan kepada
dokter. Masalah yang meliputi kesehatan jantung dan sirkulasi darah
termasuk didalamnya angina, tekanan darah tinggi, dan varises bisa dirawat
dengan obat-obatan herbal. Begitu juga dengan penyakit yang berhubungan
dengan ginekologi seperti menstruasi dan menopause. Di samping itu,
obatan-obatan herbal tanpa bahan kimia juga dapat menanggulangi penyakit
seperti insomnia, migrain, influenza, asma, demam, dan reaksi alergi
lainnya. Masyarakat umumnya menganggap bahwa obat-obatan herbal
berasal dari tumbuhan sehingga obat-obat ini tidak memiliki efek samping.
Namun, faktanya obat-obatan herbal bisa saja berbahaya dan memiliki efek
buruk jika kualitas obat-obatan herbal sangat rendah. Dunia medis menolak
penggunaan obat-obatan herbal akibat belum adanya banyak penelitian
tentang kandungan obat-obatan herbal dan efeknya bagi tubuh. Organisasi
Kesehatan Dunia atau WHO telah membuat strategi untuk mendukung dan
mengintegrasikan pengobatan tradisional termasuk didalamnya obat-obatan
herbal ke dalam sistem kesehatan nasional bagi negara-negara anggota
WHO. WHO juga akan memastikan bahwa pengobatan tradisional yang
dipasarkan memiliki kualitas yang baik serta penggunaanya aman bagi
masyarakat dunia. Selain itu, WHO juga akan mengakui pengobatan
tradisional sebagai bagian dari perawatan kesehatan primer.

2.10. Apakah obat tradisional boleh digunakan bersama terapi medis?


Seperti layaknya penggunaan obat dalam dunia kedokteran harus
mempertimbangkan interaksi obat. Interaksi obat ada yang sinergis dan
antagonis. Perlu kewaspadaan dalam penggunaan obat tradisional yang
sifatnya antagonis. Beberapa obat tradisional dapat mengurangi
metabolisme obat dan avaibilitasnya. Telah ditemukan beberapa obat
tradisional yang menghambat kerja enzim CYP sehingga meninggikan
konsentrasi obat dalam darah.
Sebagai contoh penggunaan antibiotik tetrasiklin bersamaan dengan
obat tradisional yang mengandung banyak mineral polyvalent menyebabkan
kurangnya absorbsi tetrasiklin. Tetrasiklin berikatan dengan mineral
polyvalent sehingga tidak dapat diserap. Selain itu, beberapa substansi dapat
mengikat obat bila dikonsumsi dalam waktu yang dekat sehingga
menyebabkan obat gagal diserap. Substansi yang dimaksud adalah serat,
pectin, dan tannin. Sebagai contoh tannin sangat baik dalam mengikat obat
alkaloid dan beberapa antibiotik, contoh obat herbal yang mengandung
tannin adalah ilex, rosa, dan sanguisorba.
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Obat Tradisional yang belum mendapatkan lisensi dari BPOM banyak
digunakan oleh masyarakat dikarenakan kondisi ekonomi yang terbatas
namun belum terbukti secara ilmiah dapat menyembuhkan kanker.
DAFTAR PUSTAKA

1. Soekidjo Notoatmodjo, Etika & Hukum Kesehatan, Jakarta: PT. Rineka


Cipta, 2010.
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar 2010.
Jamu, Obat Tradisional Asli Indonesia Pasang Surut Pemanfaatannya di
Indonesia.
3. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia Nomor: Hk.00.05.4.2411 Tentang Ketentuan Pokok
Pengelompokan dan Penandaan Obat Bahan Alam Indonesia
4.
Abdiyani S. Keanekaragaman jenis tumbuhan bawah berkhasiat obat di
dataran tinggi Dieng. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. 2016;
5(1), 79-92.
5. WHO. Legal Status of Traditional Medicine and
Complementary/Alternative Medicine : A Worldwide Review, Geneva.
2001.
6. WHO. National Policy on Traditional Medicine and Regulation of Herbal
Medicines, Report of a WHO global survey, Geneva.
7. Sari, A, Linda R, Dan Lovadi I. Pemanfaatan Tumbuhan Obat Pada
Masyarakat Suku Dayak Jangkang Tanjung Di Desa Ribau Kecamatan
Kapuas Kabupaten Sanggau. Jurnal Protobiont. 2015.
8. Dewoto H. Pengembangan Obat Tradisional Indonesia Menjadi
Fitofarmaka. Maj Kedokt Indon, 2007;57:205-11.
9. Dewoto, H. R. Pengembangan Obat Tradisional Menjadi Fitofarmaka,
Majalah Kedokteran Indonesia, 57(7), 205-211.2007.
10. Menteri Kesehatan RI, 2007, Kebijakan Obat Tradisional Nasional Tahun
2007, Depkes RI, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai