Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN HASIL DISKUSI PEMICU 1

MODUL ILMU KEDOKTERAN FORENSIK

KELOMPOK DISKUSI 8

Syed Muhammad Zulfikar Fikri I11112016


Yosep Andrianu Loren I11112050
Nurul Atika Putri I11112076
Jonathan Martino Samosir Pakpahan I1011131015
Kunayah I1011131037
Wiladatika Ananda I1011131043
Ega Kusuma Anindhita I1011131050
Abidah Bazlinah Dermawan I1011131055
Inggri Ocvianti Ningsih I1011131056
Yohanes Satrio I1011131076
Wulid Lailah Magfirah I1011131081

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2016

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 PEMICU

1
Dokter Anton adalah seorang yang taat beragama, ia menjadi dokter
keluarga Pak Budi sejak mereka menikah. Budi dan istrinya telah menikah
selama 20 tahun dan mereka telah dikaruniai 2 orang anak, anak pertama
berumur 5 tahun dan yang kedua berumur 2 tahun. Ibu Budi sedang
mengandung anak ketiga dan ia rutin memeruksakan diri kepada dokter
Anton. Pada waktu kehamilan 15 minggu, kedua anaknya terkena penyakit
rubella. Dokter menganjurkan agar kedua anaknya dirawat di rumah
neneknya dan tidak tinggal bersama ibu Budi. Ketika pak Budi menanyakan
apakah ada hubungannya dengan kehamilan istrinya, dokter Anton hanya
menerangkan bahwa hal itu dianjurkan supaya ibu Budi tidak disibukkan
mengurus kedua anaknya yang sakit. Namun dokter Anton sama sekali tidak
menyinggung tentang resiko penularan terhadap istrinya yang dapat berakibat
kecacatan pada janin yang sedang dikandungnya. Sesudah beberapa hari ini
Bu Budi mempunyai gejala rubella. Dokter Anton tidak menjawab dengan
jelas. Ketika hal ini diketahui dokter Anton dia langsung memikirkan
kemungkinan janin yang sedang dikandung ibu Budi akan terlahir cacat.
Namun hal ini tidak ia beritahukan karena ia khawatir pasangan suami istri
tersebut akan melakukan aborsi, sedangkan hal tersebut sangat bertentangan
dengan kepercayaan yang dianut dokter Anton.

1.2 KLASIFIKASI DAN DEFINISI


-

1.3 KATA KUNCI


a. Rubella
b. Dokter keluarga
c. Pasangan suami istri dengan dua anak
d. Istri hamil 15 minggu
e. Taat beragama
f. Dr. A tidak menjawab dengan jelas
g. Tidak memberitahu komplikasi yang dapat terjadi
h. Khawatir aborsi

2
1.4 RUMUSAN MASALAH
Bagaimana sikap dr. A sebagai dokter keluarga dalam kasus tersebut?

Dr. A (Dokter Keluarga)

Rutin memeriksa
kehamilan ibu B

Kedua anak ibu MASALAH


1.5 ANALISIS Kehamilan 15 minggu
B terinfeksi
ibu B
Rubella

Dr. A tidak Ibu B gejala rubella Janin terlahir


memberikan cacat
informasi dan
tidak menjawab 3
dengan jelas
Aborsi Sikap

Pelanggaran Hubungan dokter-


pasien

Aspek
medikolegal

Etika Hukum
kedokteran kedokteran

1.6 HIPOTESIS
dr. A melakukan pelanggaran etika dan hukum kedokteran
1.7 PERTANYAAN DISKUSI
1. Jelaskan mengenai medikolegal
a. Definisi
b. Kaidah Dasar Bioetika
c. Hubungan dokter dan pasien
2. Jelaskan mengenai malpraktik

4
3. jelaskan mengenai hukum dasar aborsi
4. jelaskan mengenai hukum tentang informed consent kepada pasien
5. jelaskan mengenai kewajiban dokter keluarga
6. Jelaskan mengenai hak dan kewajiban dokter
7. Jelaskan mengenai hak dan kewajiban pasien
8. Apa yang dimaksud dengan kesalahan dalam praktik kedokteran
9. Apa yang dimaksud dengan kelalaian dalam praktik kedokteran
10. Bagaimana tolak ukur dari kelalaian
11. Jelaskan mengenai efek pada fetus dengan ibu (+) Rubella
12. Bagaimana alur penanganan ibu hamil dengan infeksi Rubella
13. Bagaimana cara diagnosis Rubella pada ibu hamil
14. Bagaimana sikap dr. A jika ditinjau dari kodeki
15. Bagaimana sikap dr. A jika ditinjau dari Hukum Kedokteran
16. Apakah dr. A bersalah

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Medikolegal
a. Definisi
Medikolegal secara harfiah berasal dari dua pengertian yaitu medik yang
berarti profesi dokter dan legal yang berarti hukum. Sehingga batasan
medikolegal adalah ilmu hukum yang mengatur bagaimana profesi dokter ini
dilakukan sehingga memenuhi aturan-aturan hukum yang ada. Hal ini untuk
mencegah penyelewengan pelaksanaan profesional medis maupun
mengantisipasi dengan berkembang serta lajunya ilmu-ilmu kedokteran yang
tentunya terdapat hal-hal yang rawan terhadap hukum.1

5
b. Kaidah Dasar Bioetika2
Bioetika berasal dari kata bios yang berarti kehidupan dan ethos yang
berarti norma-norma atau nilai-nilai moral. Bioetika atau bioetika medis
merupakan studi interdisipliner tentang masalah yang ditimbulkan oleh
perkembangan di bidang biologi dan ilmu kedokteran baik skala mikro
maupun makro, masa kini dan masa mendatang. Adapun 4 kaidah dasar
bioetika dalam praktik kedokteran adalah sebagai berikut.
1) Beneficence : mengutamakan kepentingan pasien
2) Autonomy : menghormati hak pasien dalam memutuskan
3) Non Maleficence : tidak memperburuk keadaan pasien
4) Justice : tidak mendiskriminasikan pasien apapun dasarnya
c. Hubungan dokter dan pasien
Pasal 1601 KUHP. Bagi seorang dokter, hal ini berarti bahwa ia telah bersedia
untuk berusaha dengan segala kemampuannya memenuhi isi perjanjian itu,
yakni merawat atau menyembuhkan penyakit pasien. Sedang pasien
berkewajiban untuk mematuhi aturan-aturan yang ditentukan oleh dokter
termasuk memberikan imbalan jasa.2

2.2 Malpraktik
Malpraktek atau malpraktek terdiri dari suku kata mal dan praktik atau
praktek.Mal berasal dari kata Yunani, yang berati buruk. Praktik berarti
menjalankan perbuatan yang tersebut dalam teori atau menjalankan pekerjaan
(profesi). Jadi malpraktek berarti menjalankan pekerjaan yang buruk
kualitasnya, tidak lege artis, tidak tepat. Malpraktek tidak hanya dalam bidang
kedokteran, tetapi juga dalam profesi lain seperti perbankan, pengacara, akuntan
publik, dan wartawan.3
Ada berbagai macam pendapat dari para sarjana mengenai pengertian
malpraktek. Masing-masing pendapat itu diantaranya adalah sebagai berikut:4
a. Veronica menyatakan bahwa istilah malparaktik berasal dari “malpractice”
yang pada hakikatnya adalah kesalahan dalam menjalankan profesi yang
timbul sebagai akibat adanya kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan
oleh dokter.

6
b. Hermien Hadiati menjelaskan malpractice secara harfiah berarti bad
practice, atau praktek buruk yang berkaitan dengan praktek penerapan ilmu
dan teknologi medik dalam menjalankan profesi medik yang mengandung
ciri-ciri khusus. Karena malpraktek berkaitan dengan “how to practice the
medical science and technology”, yang sangat erat hubungannya dengan
sarana kesehatan atau tempat melakukan praktek dan orang yang
melaksanakan praktek. Maka Hermien lebih cenderung untuk menggunakan
istilah “maltreatment”.
c. Menurut J. Guwandi merumuskan pengertian malpraktek medik tersebut,
yakni: melakukan sesuatu hal yang seharusnya tidak dilakukan oleh tenaga
kesehatan; Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau
melalaikan kewajiban (negligence). Melanggar sesuatu ketentuan menurut
atau berdasarkan peraturan perundang-undangan.
d. Amri Amir menjelaskan malpraktek medis adalah tindakan yang salah oleh
dokter pada waktu menjalankan praktek, yang menyebabkan kerusakan atau
kerugian bagi kesehatan dan kehidupan pasien, serta menggunakan
keahliannya untuk kepentingan pribadi.
Dengan demikian, malpraktek medik dapat diartikan sebagai kelalaian atau
kegagalan seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu
pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang
cedera menurut ukuran dilingkungan yang sama.3
Apapun definisi malpraktek medik pada intinya mengandung salah satu
unsur berikut :5
1. Dokter kurang menguasai ilmu pengetahuan kedokteran dan keterampilan
yang sudah berlaku umum dikalangan profesi kedokteran.
2. Dokter memberikan pelayanan medik dibawah standar (tidak lege artis)
3. Dokter melakukan kelalaian berat atau kurang hati-hati, yang dapat
mencakup :
a) Tidak melakukan sesuatu tindakan yang seharusnya dilakukan, atau
b) Melakukan sesuatu tindakan yang seharusnya tidak dilakukan
4. Melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan hukum
Dalam praktiknya banyak sekali hal yang dapat diajukan sebagai
malpraktek, seperti salah diagnosis atau terlambat diagnose karena kurang
lengkapnya pemeriksaan, pemberian terapi yang sudah ketinggalan zaman,
kesalahan teknis waktu melakukan pembedahan, salah dosis obat, salah metode

7
tes atau pengobatan, perawatan yang tidak tepat, kelalaian dalam pemantauan
pasien, kegagalan komunikasi, dan kegagalan perawatan.4

Malpraktek medik adalah kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan


tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam
mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang
sama. Yang dimaksud dengan kelalaian disini ialah sikap kurang hati-hati, yang
tidak melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati melakukanya dengan
wajar, atau sebaliknya melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati
tidak akan melakukanya dalam situasi tersebut. Kelalaian diartikan pula dengan
melakukan tindakan kedokteran di bawah standar pelayanan medik.3

Jenis-Jenis Malpraktek
Ngesti Lestari dan Soedjatmiko membedakan malpraktek medik menjadi
dua bentuk, yaitu malpraktek etik (ethical malpractice) dan malpraktek yuridis
(yuridical malpractice), ditinjau dari segi etika profesi dan segi hukum.5
1) Malpraktek Etik
Yang dimaksud dengan malpraktek etik adalah tenaga
kesehatanmelakukan tindakan yang bertentangan dengan etika profesinya
sebagai tenaga kesehatan.Misalnya seorang bidan yang melakukan tindakan
yang bertentangan dengan etika kebidanan.
2) Malpraktek Yuridis
Soedjatmiko membedakan malpraktek yuridis ini menjadi tiga
bentuk, yaitu malpraktek perdata (civil malpractice), malpraktek pidana
(criminal malpractice) dan malpraktek administratif (administrative
malpractice).
3) Malpraktek Administrastif
Terjadi apabila tenaga kesehatan melakukan pelanggaran terhadap
hukum administrasi negara yang berlaku, misalnya menjalankan praktek
bidan tanpa lisensi atau izin praktek.

2.3 Hukum Dasar Aborsi

8
Abortus adalah gugur kandungan atau keguguran dan keguguran itu
sendiri berati beakhirnya kehamilan , sebelum fetus dapat hidup sendiri di luar
kandungan. Batas umur kandungan yaitu sebelum 28 minggu dengan berat
badan bayi kurang dari 1000 gram.6
Trimester pertama disebut abortus, trimester kedua disebut partus
immaturus, dan trimester ketiga disebut partus prematurus.7
Dilihat dari proses terjadinya abortus di bagi menjadi abortus spontaneus
dan abortus provocatus (legal dan illegal).7 abortus dapat dibagi menjadi empat
macam yaitu:

1. Natural yaitu abortus yang terjadi secara spontan, hal tersebut dapat
disebabkan karena adanya kelainan pada fetus.

2. Kecelakaan yang dapat terjadi karena si ibu terpukul, syok atau ruda paksa
pada daerah perut.

3. Pengobatan, penghentian kehamilan dengan tujuan agar kesehatan si ibu


baik agar nyawanya dapat diselamatkan.

4. Kriminal, yaitu tindakan abortus yang tidak mempunyai alasan medis yang
dapat dipertanggung jawabkan.
Dasar hukum melakukan aborsi di Indonesia yaitu KUHP dan UU no 36
tahun 2009.
KUHP :6

1. Pasal 346

Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya


atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling
lama empat tahun.

2. Pasal 347

9
(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan
kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan
pidana penjara paling lama dua belas tahun.

(2) Jika perbuatan (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita
tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
3. Pasal 348

(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan


kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.

(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam


dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

4. Pasal 349

Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan
berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah
satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana
yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat
dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.

5. Pasal 350
Dalam hal pemidanaan karena pembunuhan, karena pembunuhan dengan
rencana, atau karena salah satu kejahatan berdasarkan Pasal 344, 347 dan
348, dapat dijatuhkan pencabutan hak berdasarkan pasal 35 No. 1- 5.
UU No. 36 Tahun 2009
1. Pasal 194
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

10
2. 75 ayat (2)

(1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi.

(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan


berdasarkan:

a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini


kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang
menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun
yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut
hidup di luar kandungan; atau

b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma


psikologis bagi korban perkosaan.

(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan
setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan
diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor
yang kompeten dan berwenang.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan


perkosaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 80 ayat 1 uu no.23/1992

Barang siapa dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu terhadap


ibu hamil yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
15 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima
belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).

2.4 Hukum informed consent kepada pasien

11
Informed consent diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Kesehatan
No. 290 Tahun 2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. Dalam hal
memberikan informed consent, perlu diperhatikan ketentuan yang tercantum
dalam pasal 13 berikut:

Dokter dalam hal ini yang memberikan informed consent harus bisa
menentukan kompetensi pasien sebelum memberikan informed consent sehingga
informasi yang disampaikan dapat dimengerti dan langkah selanjutnya dapat
disepakati bersama.8

2.5 Kewajiban dokter keluarga

a. Care Provider (Penyelenggara Pelayanan Kesehatan)


Yang mempertimbangkan pasien secara holistik sebagai seorang
individu dan sebagai bagian integral (tak terpisahkan) dari keluarga,
komunitas, lingkungannya, dan menyelenggarakan pelayanan kesehatan
yang berkualitas tinggi, komprehensif, kontinu, dan personal dalam jangka
waktu panjang dalam wujud hubungan profesional dokter-pasien yang
saling menghargai dan mempercayai. Juga sebagai pelayanan komprehensif
yang manusiawi namun tetap dapat dapat diaudit dan
dipertanggungjawabkan.9

b. Comunicator (Penghubung atau Penyampai Pesan)


Yang mampu memperkenalkan pola hidup sehat melalui penjelasan
yang efektif sehingga memberdayakan pasien dan keluarganya untuk
meningkatkan dan memelihara kesehatannya sendiri serta memicu
perubahan cara berpikir menuju sehat dan mandiri kepada pasien dan
komunitasnya. 9

12
c. Decision Maker (Pembuat Keputusan)
Yang melakukan pemeriksaan pasien, pengobatan, dan pemanfaatan
teknologi kedokteran berdasarkan kaidah ilmiah yang mapan dengan
mempertimbangkan harapan pasien, nilai etika, “cost effectiveness” untuk
kepentingan pasien sepenuhnya dan membuat keputusan klinis yang ilmiah
dan empatik. 9
d. Manager
Yang dapat berkerja secara harmonis dengan individu dan organisasi
di dalam maupun di luar sistem kesehatan agar dapat memenuhi kebutuhan
pasien dan komunitasnya berdasarkan data kesehatan yang ada. Menjadi
dokter yang cakap memimpin klinik, sehat, sejahtera, dan bijaksana. 9
e. Community Leader (Pemimpin Masyarakat)
Yang memperoleh kepercayaan dari komunitas pasien yang
dilayaninya, menyearahkan kebutuhan kesehatan individu dan
komunitasnya, memberikan nasihat kepada kelompok penduduk dan
melakukan kegaiatan atas nama masyarakat dan menjadi panutan
masyarakat.9
Selain fungsi, ada pula tugas dokter keluarga, yaitu :9
a. Mendiagnosis dan memberikan pelayanan aktif saat sehat dan sakit
b. Melayani individu dan keluarganya
c. Membina dan mengikut sertakan keluarga dalam upaya penanganan
penyakit
d. Menangani penyakit akut dan kronik
e. Merujuk ke dokter spesialis

Kewajiban dokter keluarga, yaitu :9


a. Menjunjung tinggi profesionalisme
b. Menerapkan prinsip kedokteran keluarga dalam praktek
c. Bekerja dalam tim kesehatan
d. Menjadi sumber daya kesehatan
e. Melakukan riset untuk pengembangan layanan primer

13
2.6 Hak dan kewajiban dokter
a. Hak Dokter10

1. Dokter berhak mendapat perlindungan hukum dalam melaksanakan


tugas sesuai dengan profesinya.
2. Dokter berhak untuk bekerja menurut standar profesi serta berdasarkan
hak otonomi. (Seorang dokter, walaupun ia berstatus hukum sebagai
karyawan RS, namun pemilik atau direksi rumah sakit tidak dapat
memerintahkan untuk melakukan sesuatu tindakan yang menyimpang
dari standar profesi atau keyakinannya).
3. Dokter berhak untuk menolak keinginan pasien yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan, profesi dan etika.
4. Dokter berhak menghentikan jasa profesionalnya kepada pasien apabila
misalnya hubungan dengan pasien sudah berkembang begitu buruk
sehingga kerjasama yang baik tidak mungkin diteruskan lagi, kecuali
untuk pasien gawat darurat dan wajib menyerahkan pasien kepada
dokter lain.
5. Dokter berhak atas privasi (berhak menuntut apabila nama baiknya
dicemarkan oleh pasien dengan ucapan atau tindakan yang melecehkan
atau memalukan).
6. Dokter berhak untuk mendapat imbalan atas jasa profesi yang
diberikannya berdasarkan perjanjian dan atau ketentuan/peraturan yang
berlaku di RS.
7. Dokter berhak mendapat informasi lengkap dari pasien yang dirawatnya
atau dari keluarganya.
8. Dokter berhak atas informasi atau pemberitahuan pertama dalam
menghadapi pasien yang tidak puas terhadap pelayanannya.
9. Dokter berhak untuk diperlakukan adil dan jujur, baik oleh rumah sakit
maupun oleh pasien.

14
10. Hak rehabilitasi nama baik jika terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan.
11. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa (pasal 4 ayat b) : dalam
keadaan darurat untuk keselamatan pasien, dokter dapat memberikan
jasa pelayanan kesehatan, meskipun tidak dipilih oleh pasien.
12. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur (pasal 4 ayat c) : dalam
keadaan tertentu untuk kepentingan pasien, dokter dapat menahan
sebagian atau keseluruhan informasi tersebut.
13. Dokter dapat menolak pasien yang tidak dalam keadaan gawat darurat
yang datang diluar jam bicara.
b. Kewajiban Dokter10

1. Dokter wajib mematuhi peraturan rumah sakit sesuai dengan hubungan


hukum antara dokter tersebut dengan rumah sakit.
2. Dokter wajib merujuk pasien ke dokter lain/rumah sakit lain yang
mempunyai keahlian/kemampuan yang lebih baik, apabila ia tidak
mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan.
3. Dokter wajib memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa
dapat berhubungan dengan keluarga dan dapat menjalankan ibadah
sesuai keyakinannya.
4. Dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang
seorang penderita, bahkan juga setelah penderita itu meninggal dunia.
5. Dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas
perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan
mampu memberikannya.
6. Dokter wajib memberikan informasi yang adekuat tentang perlunya
tindakan medik yang bersangkutan serta resiko yang dapat
ditimbulkannya.
7. Dokter wajib membuat rekam medis yang baik secara
berkesinambungan berkaitan dengan keadaan pasien.

15
8. Dokter wajib terus-menerus menambah ilmu pengetahuan dan
mengikuti perkembangan ilmu kedokteran/kedokteran gigi.
9. Dokter wajib memenuhi hal-hal yang telah disepakati/perjanjian yang
telah dibuatnya.
10. Dokter wajib memenuhi hal-hal yang telah disepakati/pekerjaan yang
telah dibuatnya.
11. Dokter wajib bekerja sama dengan profesi dan pihak lain yang terkait
secara timbal-balik dalam memberikan pelayanan kepada pasien.
12. Dokter wajib mengadakan perjanjian tertulis dengan pihak rumah sakit.
13. Dalam diagnosis dan pengobatan dokter mempunyai tanggung jawab
paling besar. Seorang dokter dan tenaga kesehatan lainnya wajib
melakukan upaya yang terbaik untuk senantiasa memberi pelayanan
yang terbaik, mendahulukan kepentingan pasiennya, profesional dan
akuntabel.
14. Dokter mempunyai kewajiban untuk menjaga kesehatan fisik, rohani
dan spiritual dengan istirahat cukup untuk memulihkan kondisi fisik,
rohani dan spiritual.
15. Dokter wajib memberikan pelayanan yang berkualitas, senantiasa wajib
belajar, meningkatkan pengetahuannya, ketrampilan dan menjaga mutu
kompetensinya.

2.7 Hak dan kewajiban pasien

a. Hak Pasien11

Merupakan hak yang asasi yang bersumber dari hak dasar individual dalam
bidang kesehatan. Berikut hak-hak dari pasien:

1. Hal untuk memperoleh informasi

2. Hak untuk memberikan persetujuan

3. Hak atas rahasia kedokteran

16
4. Hak untuk memilih dokter

5. Hak untuk memilih sarana kesehatan

6. Hak untuk menolak perawatan atau pengobatan

7. Hak untuk menolak tindakan medis tertentu

8. Hak untuk menghentikan pengobatan atau perawatan

9. Hak atas secon opinion

10. Hak inzage rekam medis


11. Hak beribadat menurut agama 0dan kepercayaannya
Hak no 3 diatas bersumber pada hak privacy, sedangkan hak-hak yang
lain bersumber dari hak atas badan sendiri. Hak no 1 dan 2 disebut informed
consent.
a. Informed consent
Unsur-unsur yang perlu diinformasikan meliputi prosedur yang akan
dilakukan, risiko yang mungkin terjadi, manfaat dari tindakan yang
akan dilakukan dan alternatif tindakan yang dapat dilakukan. Pasien
berhak mengetahui perkiraan biaya pengobatannya. Prosedur yang akan
dilakukan perlu diuraikan lagi mengenai alat yang akan digunakan,
bagian tubuh yang akan terkena, kemungkinan rasa nyeri yang akan
timbul, kemungkinan perlunya dilakukan operasi, tujuan tindakan,
untuk diagnostik atau terapi. Resiko tindakan dapat dijelaskan menjadi
sifatnya, kemungkinan timbulnya, taraf keseriusan, waktu timbulnya.
Mengenai yang berhak memberikan persetujuan secara yuridis adalah
pasien sendiri, kecuali dia tidak cakap hukum dalam keaadan tertentu.
Dalam hal paien gawat darurat dokter dapat melakukan tindakan atas
dasar penyelamatan jiwa, tanpa perlu informed consent, dasar hukum
tindakan pasien yang tidak sadar bisa dikaitkan dengan pasal 135 KUH
perdata yaitu perwakilan sukarela. Pemenkres RI No 585 pasal 13

17
bahwa pasien yang melakuakn tindakan medik tanpa persetujuan pasien
maupun keluarga dapat dikenakan sanki administrasif berupa
pencabutan surat izin praktek.Untuk hukum perdata digunakan KUH
perdata pasal 1365 yaitu sanksi ganti rugi atas cacat atau luka karena
perbuatan yang salah.
b. Rahasia kedokteran
Adapun yang dimaksud dengan rahasia kedokteran adalah:
1. segala sesuatu yang oleh pasien secara disadari atau secara tidak
disadari disampaikan kepada dokter, dan
2. segala sesuatu yang oleh dokter diketahui dalam rangka mengobati
atau merawat pasien.
Dalam sumpah dokter (Peraturan Pemerintah tahun 1960 No. 26)
terdapat kalimat yang berbunyi :
“ Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena
pekerjaan saya dan karena keilmuan saya sebagai dokter”.
KUHP Pasal 322
"Barang siapa dengan sengaja membuka sesuatu rahasia yang wajib
disimpannya oleh karena jabatannya atau pekerjaannya baik yang
sekarang maupun yang dahulu dipidana dengan pidana penjara selama-
lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Sembilan ribu
rupiah."
KUH Pedata pasal 1365
tiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian kepada orang
lain, mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut.
b. Kewajiban Pasien11
1. Dokter
a) Memberikan informasi untuk anamnesis berupa keluhan utama.
Kerjasam dengan dokter pada waktu melakukan pemeriksaan fisik.
b) Mengikuti petunjuk atau nasihat untuk mempercepat
penyembuhan.

18
2. Rumah sakit
a) Menaati peraturan rumah sakit yang pada dasarnya dibuat dalam
rangka menunjang upaya penyembuhan pasien.
b) Melunasi biaya perawatan.

2.8 Kesalahan dalam praktik kedokteran


Pelayanan kesehatan pada dasarnya bertujuan untuk melaksanakan upaya
pencegahan dan pengobatan suatu penyakit, termasuk di dalamya pelayanan
medis yang didasarkan atas dasar hubungan individual antara dokter dengan
pasien yang membutuhkan kesembuhan atas penyakit yang dideritanya. Dokter
merupakan pihak yang mempunyai keahlian di bidang medis atau kedokteran
yang dianggap memiliki kemampuan dan keahlian untuk melakukan tindakan
medis. Sedangkan pasien merupakan orang sakit yang awam akan penyakit yang
dideritanya dan mempercayakan dirinya untuk diobati dan disembuhkan oleh
dokter. Oleh karena itu dokter berkewajiban memberikan pelayanan medis yang
sebaik-baiknya bagi pasien. Selain itu juga sering terjadinya kealpaan atau
kelalaian yang merupakan bentuk kesalahan yang tidak berupa kesengajaan,
akan tetapi juga bukan merupakan sesuatu yang terjadi karena kebetulan. Jadi
dalam kealpaan ini tidak ada niat jahat dari pelaku. Kealpaan atau kelalaian dan
kesalahan dalam melaksanakan tindakan medis menyebabkan terjadinya
ketidakpuasan pasien terhadap dokter dalam melaksanakan upaya pengobatan
sesuai profesi kedokteran. Kealpaan dan kesalahan tersebut menyebabkan
kerugian berada pada pihak pasien. Praktik kedokteran bukanlah pekerjaan yang
dapat dilakukan siapa saja, tapi hanya dapat dilakukan oleh kelompok
professional kedokteran yang berkompeten dan memenuhi standar tertentu.12
Secara teoritis terjadi sosial kontrak antara masyarakat profesi dengan
masyarakat umum. Dengan kontrak ini memberikan hak kepada masyarakat
profesi untuk mengatur otonomi profesi, standar profesi yang disepakati.
Sebaliknya masyarakat umum (pasien) berhak mendapatkan pelayanan sesuai
dengan standar yang diciptakan oleh masyarakat professional tadi.Dengan

19
demikian dokter memiliki tanggungjawab atas profesinya dalam hal pelayanan
medis kepada pasiennya. Dokter sebagai profesi mempunyai tugas untuk
menyembuhkan penyakit pasiennya. Kadangkala timbul perbedaan pendapat
karena berlainan sudut pandang, hal ini bisa timbul karena banyak faktor yang
mempengaruhinya, seperti adanya kelalaian pada dokter, atau penyakit pasien
sudah berat sehingga kecil kemungkinan sembuh, atau ada kesalahan pada pihak
pasien. Selain itu masyarakat atau pasien lebih melihat dari sudut hasilnya,
sedangkan dokter hanya bisa berusaha, tetapi tidak menjamin akan hasilnya
asalkan dokter sudah bekerja sesuai dengan standar profesi medik yang
berlaku.12
Kemajuan teknologi bidang biomedis disertai dengan kemudahan dalam
memperoleh informasi dan komunikasi pada era globalisasi ini memudahkan
pasien untuk mendapatkan second opinion dari berbagai pihak, baik dari dalam
maupun dari luar negeri, yang pada akhirnya bila dokter tidak hati-hati dalam
memberikan penjelasan kepada pasien, akan berakibat berkurangnya
kepercayaan pasien kepada para dokter tersebut.12

2.9 Kelalaian dalam praktik kedokteran


a. Kelalaian medis13
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia , kelalaian dari asal kata lalaiyang
berarti “tindakan yang kurang hati-hati, tidak mengindahkan
(kewajiban,pekerjaan, dsb.), lengah”. Dalam An Indone-sian-English
Dictionary 3th Edition, Kelalaian diartikan dari kata neglect,
carelessness. Dalam kamus Hukum Edisi lengkap, terjemahan dari:
culpa (Lat.) atau schuld (Bld.), atau debt, guilt, fault (Ing.), yang artinya
adalah “kekhilafan atau kelalaian yang menimbulkan akibat hukum,
dianggap melakukan tindak pidana yang dapat ditindak atau dituntut”.
b. Jenis kelalaian13
Menurut teori hukum pidana, kealpaan yang diartikan sebagai suatu
macam kesalahan sebagai akibat kurang hati-hati sehingga secara tidak
sengaja mengakibatkan terjadinya sesuatu tersebut dapat dibagi menjadi dua
bentuk, yaitu:
1. Kealpaan ringan (culpa levissima)
2. Kealpaan berat (culpa lata)

20
2.10Tolak ukur dari kelalaian
Untuk lebih berhasilnya suatu tuntutan berdasarkan kelalaian, menurut
J.guwandi, harus dipenuhi 4 (empat) unsur yang dikenal dengan nama 4-D, yaitu
:14,15,16
1. Duty to Use Due Care
Tidak ada kelalaian jika tidak ada kewajiban untuk mengobati.
Hal ini berarti bahwa harus ada hubungan hukum antara dokter dan
pasien dan dokter/rumah sakit. Dengan adanya hubungan hukum maka
implikasinya adalah bahwa sikap tindak dokter/perawat rumah sakit itu
harus sesuai dengan standar pelayanan medik agar pasien jangan sampai
menderita cedera karenanya.
2. Deriliction (Breach of Duty)
Apabila sudah ada kewajiban (duty) maka dokter/perawat rumah
sakit harus bertindak sesuai dengan standar profesi yang berlaku. Jika
terdapat penyimpangan dari standar tersebut maka ia dapat
dipersalahkan. Bukti adanya suatu penyimpangan dapat diberikan
melalui saksi ahli, catatan-catatan pada rekam medik, kesaksian perawat,
dan bukti- bukti lain. Apabila kesalahan atau kelalaian itu sedemikian
jelasnya, sehingga tidak diperlukan kesaksian ahli lagi, maka hakim
dapat menerapkan doktrin Res ipsa loquitur. Tolak ukur yang dipakai
secara umum adalah sikap-tindak seorang dokter yang wajar dan
setingkat di dalam situasi dan keadaan yang sama.
3. Damage (Injury)
Unsur ketiga untuk penuntutan malpraktik medik adalah “cedera
atau kerugian” yang diakibatkan pada pasien. Walaupun seorang dokter
atau rumah sakit dituduh telah berlaku lalai, tetapi jika tidak sampai
menimbulkan luka/cedera/kerugian (damage, injury, harm) kepada
pasien, maka ia tidak dapat dituntut ganti kerugian. Istilah (injury) tidak
saja dalam benyuk fisik, namun kadangkala juga termasuk dalam arti
gangguan mental yang hebat (mental anguish). Juga apabila terjadi
pelanggaran terhadap privasi orang lain.
4. Direct Causation (proximate Cause)

21
Untuk berhasilnya suatu gugatan ganti rugi berdasarkan
malpraktik medik, maka harus ada hubungan kausal yang wajar antara
sikap tindak tergugat

2.11Efek pada fetus dengan ibu (+) Rubella


Epidemiologi terjadi pada ibu yaitu jika ibu yang belum di imunisasi dan
seronegatif maka akan mengalami demam±ruam, dan pada ibu akan ditemukan
defek yang terdeteksi dengan infeksi yaitu sampai 8 minggu 85%, 9-12 minggu
50%, 13-20 minggu 16% sehingga semakin jauh jarak kehamilan defek susah
terdeteksi. Virus mungkin tersapat pada tenggorokan bayi selama 1 tahun.
Sedangkan pada anak gambaran klinisnya yaitu :
Pertumbuhan janin terhambat, mikrosefali, mikroftalmia, katarak,
galukoma, korioretinitis “salt and pepper” hepatosplenomegali, ikhterus, PDA,
tuli, ruam blueberry muffin, anemia, trombositopenia, leukopenia, defisiensi sel
B dan sel-T dan bayi dapat asimptomatik saat lahir.
Rubela kasusnya sangat jarang di negara maju dengan pemberian vaksin.
Rubela dapat menjadi konsikuensi neonatal berat jika infeksi terjadi pada usia
kehamilan awal. Kejadian defek konginetal mencapai 85% jika infeksi didapat
dalam 4 minggu pertama kehamilan dengan angka kejadian abortus 40% atau
lahir mati. Apabila infeksi terjadi pada minggu ke 13 16,35% bayi dapat
memiliki kelainan. Infeksi setelah usia gestasi 4 bulan biasanya tidak
menyebabkan penyakit.
Kelainan yang paling sering terjadi pada rubella kongenital asalah dimata
(katarak, retinopati, dan glaucoma) jantung (duktus ateriosus paten dan stenosis
arteri pulmonal perifer) pendengaran (kehilangan pendengaran sensorineural)
dan neurologis (gangguan prilaku, meningoensefalitis dan retardasi mental).
Selain itu bayi dapat mengalami gangguan pertumbuhan, hepatosplenomegali,
icterus awitan dini, trombositopenia, penyakit dengan kelainan tulang yang
radiolusens dan lesi kulit purpura (gambaran blueberry muffineritoposisis
dermal).17

2.12Alur penanganan ibu hamil dengan infeksi Rubella


Salah satu pencegahan infeksi virus rubela adalah dengan melakukan
vaksinasi, beberapa kontraindikasi pemberian vaksin yaitu salah satunya pada

22
kehamilan. Setiap wanita hamil harus menjalani pemeriksaan serologis prenatal
untuk menegtahui status imunitas terhadap rubela dan ibu.17

2.13Cara mendiagnosis Rubella pada ibu hamil

Untuk menangani rubella pada ibu hamil hal pertama yang diperlukan adalah
penegakan diagnosis yang tepat. Rubella merupakan penyakit infeksi di
antaranya 20–50% kasus bersifat asimptomatis. Gejala rubella hampir mirip
dengan penyakit lain yang disertai ruam. Gejala klinis untuk mendiagnosis
infeksi virus rubella pada orang dewasa atau pada kehamilan adalah :18,19
1. Infeksi bersifat akut yang ditandai oleh adanya ruam makulopapular,
2. Suhu tubuh > 37,2oC,
3. Atrhalgia/artrhitis, limfadenopati, konjungtivitis.
Infeksi virus rubella berbahaya apabila infeksi terjadi pada awal kehamilan.
Virus dapat berdampak di semua organ dan menyebabkan berbagai kelainan
bawaan. Janin yang terinfeksi rubella berisiko besar meninggal dalam
kandungan, lahir prematur, abortus sertamerta (spontan) dan mengalami
malabentuk (malformasi) sistem organ. Berat ringannya infeksi virus rubella di
janin bergantung pada lama umur kehamilan saat infeksi terjadi. Apabila infeksi
terjadi pada trimester I kehamilan, maka 80–90% akan menimbulkan kerusakan
janin. Risiko infeksi akan menurun 10–20% apabila infeksi terjadi pada
trimester II kehamilan.20 Lima puluh persen lebih kasus infeksi rubella selama
kehamilan bersifat subklinis bahkan tidak dikenali. Oleh karena itu pemeriksaan
laboratorik sebaiknya dilakukan untuk semua kasus dengan kecurigaan infeksi
rubella. Berikut adalah pedoman diagnosis infeksi rubella pada kehamilan :21

23
Adapun rekomendasi dari guidelines SOGC untuk penanganan ibu hamil
dengan infeksi rubella adalah sebagau berikut :22,23
1. Karena efek dari sindrom rubella kongenital bervariasi dengan usia
kehamilan pada saat infeksi, usia gestational harus ditetapkan, karena sangat
penting untuk konseling.
2. Diagnosis infeksi maternal primer harus dibuat oleh pengujian serologis.
3. Pada wanita hamil yang terkena rubella atau yang memiliki tanda-tanda atau
gejala rubella, pengujian serologis harus dilakukan untuk menentukan status
kekebalan tubuh dan risiko bawaan sindrom rubella.
4. Imunisasi rubella tidak boleh diberikan pada kehamilan tapi mungkin aman
diberikan post partum.
5. Wanita yang telah sengaja divaksinasi pada awal kehamilan atau yang hamil
segera setelah vaksinasi dapat diyakinkan bahwa tidak ada kasus sindrom
rubella kongenital didokumentasikan dalam situasi ini.
6. Wanita yang ingin hamil harus diberi konseling dan didorong menentukan
status antibodi mereka dan menjalani vaksinasi rubella jika diperlukan.

24
2.14Sikap dr. A jika ditinjau dari kodeki24
“dr. A sebagai dokter keluarga tidak memberikan informasi mengenai kondisi
penyakit yang dialami oleh ke- dua anak maupun istri Pak Budi”. Berdasarkan
sikap dr. A jika ditinjau dari KODEKI maka hal tersebut tidak sesuai dengan
pasal 5, pasal 9, pasal 10.

a. Pasal 5: “Tiap perbuatan atau nasihat dokter yang mungkin melemahkan


dayatahan psikis maupun fisik, wajib memperoleh persetujuanpasien/
keluarganya dan hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien
tersebut”
- Cakupan pasal (2): “Setiap dokter terhadap pasien yang sedang
menderita sakit wajib menyampaikan informasi yang dapat
melemahkan kondisi psikis pasien secara patut, teliti dan hati-hati
dengan perkataan yang tepat”.
- Cakupan pasal (3):“Dalam rangka menimbulkan dan/atau menjaga
rasa percaya diripasien, dokter seyogyanya dilarang berbohong
kepada pasiennyayang menderita penyakit berat/parah, kecacatan
atau gangguankualitas hidup tetapi boleh menahan sebagian
informasi yang dapatmelemahkan psikis pasien dan/atau siknya.”
Penjelasan pasal menyebutkan bahwa: “Pasien yang memiliki otonomi
namun akan terpapar risiko fisik dan mental akibat perjalanan penyakitnya
sendiri maupun tindakan/obat yang akan diberikan dokter, khususnya yang
diramalkan berat (fatal), serius, berpotensi kecacatan atau akan merugikan,
wajib diberi informasi memadai sebelumnya.”
b. Pasal 9: “Seorang dokter wajib bersikap jujur ketika berhubungan
denganpasien dan sejawatnya, dan berupaya untuk
mengingatkansejawatnya yang pada saat menangani pasien dia ketahui
memilikikekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang
melakukanpenipuan atau penggelapan.”
Cakupan pasal (1): “Setiap dokter wajib secara umum bertanggungjawab
menjaga martabat dan keluhuran profesi kedokteran dengan memberi kesan
mendalam bahwa korsa kedokteran senantiasa menjunjung tinggi

25
kejujuran sebagai pilar utama reputasi dan bonaditas profesi dalam
rangka terjaganya kepercayaan publik.”
c. Pasal 10: “Seorang dokter wajib senantiasa menghormati hak-hak-
pasien,teman sejawatnya, dan tenaga kesehatan lainnya, serta wajib
menjaga kepercayaan pasien”
- Cakupan pasal (2): “Seorang dokter dalam mengobati pasien
wajib senantiasamenghormati, melindungi dan/atau memenuhi
hak-hak pasien sebagai bagian dari hak asasi manusia dalam
bidang kesehatan”
- Cakupan pasal (4): “Seorang dokter wajib memberikan informasi
yang jelas dan memadaiserta menghormati pendapat atau
tanggapan pasien atas penjelasandokter”.
- Cakupan pasal (5): “Seorang dokter seharusnya tidak
menyembunyikan informasi yangdibutuhkan pasien, kecuali
dokter berpendapat hal tersebut untuk kepentingan pasien, dalam
hal ini dokter dapat menyampaikan informasi ini kepada pihak
keluarga atau wali pasien”.

2.15Sikap dr. A jika ditinjau dari Hukum Kedokteran


Berdasarkan UU hukum kesehatan No. 36 tahun 2009 dokter A telah
melanggar pasal 8. Adapun bunyi dari pasal 8 tersebut adalah “Setiap orang
berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan
dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga
kesehatan.”
Selain itu dokter A juga dapat dikenakan sanksi berdasarkan Pasal 58” (1)
Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan,
dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan
atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya. (2) Tuntutan ganti
rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan
yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan
seseorang dalam keadaan darurat. (3) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan

26
tuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.”25

2.16Apakah dr. A bersalah


Didalam kasus tersebut, secara hukum “strict juridisch” dokter tidak
dapat diipersalahkan dan belum ada pihak yang dirugikan dan timbulnya tututan.
Namun jika dilihat dari segi Etik dan displin medis, Dokter A dapat diperslahkan
karena ia tidak memberikan info yang sejelas-jelasnya kepada pasien mengenai
resiko kehamilan yang diduga terinfeksi rubela, dan secara disiplin ia melalaikan
kewajiban sehingga terhadapnya harus dijatuhkan sanksi administrative, kasus
hukum medis yang persis sama.26

BAB III
PENUTUP

27
3.1 KESIMPULAN
dr. A melakukan pelanggaran etika, hukum kesehatan, dan hukum kedokteran

DAFTAR PUSTAKA

28
1. Arif,Rahman dkk, 2009, Tanya Jawab ilmu kedokteran Forensik, badan
penerbit Universitas Diponegoro, Semarang
2. Sofyan Dahlan, Eko Soponyono. Hukum Kedokteran. Semarang : Fakultas
Hukum Universitas Diponeogoro Semarang
3. Jusuf Hanafiah, Amri Amir. 2008. Etika Kedokteran dan Hukum
Kesehatan. Jakarta: EGC
4. Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Etika dan Hukum Kesehatan. Jakarta
:Rineka Cipta.

5. Suharto G. 2008. Aspek Medikolegal Praktek Kedokteran. Semarang:


ABH Associates.

6. Idries AM, Agung LT. Penerapan ilmu kedokteran forensik dalam proses
penyidikan. Jakarta: Sagung Seto; 2011.

7. Dahlan S. Ilmu Kedokteran Forensik : pedoman bagi dokter dan penegak


hukum. Semarang: UNDIP; 2007.
8. Peraturan Menteri Kesehatan No. 290 Tahun 2008 Tentang Persetujuan
Tindakan Kedokteran.
9. Azwar, Azrul ; Gan, Goh Lee ; Wonodirekso, Sugito. A Primer On Family
Medicine Practice. Singapura : Singapore International Foundation, 2004.
10. Mun’im, Abdul. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik Edisi Pertama.
Binarupa Aksara. Jakarta: 1997.
11. Wiradharma D. Penuntun kuliah hukum kedokteran. Jakarta: Binarupa
Aksara; 1996.
12. Crisdiono M. Achadiat, 2004. Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran
Dalam Tantangan Zaman, Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.
13. Isfandyarie Anny.“Malpraktik dan Resiko medik dalam Kajian Hukum
Pidana” PrestasiPustaka, Jakarta, 2005.
14. Atmadja, Djaja Surya Dr. Sp.F, Ph.D,S.H.,DFM.“Malpraktik
danPencegahannya”, ETHICAL DIGEST. 2004.
15. Isfandyarie Anny.“Malpraktik dan Resiko medik dalam Kajian Hukum
Pidana” PrestasiPustaka, Jakarta, 2005.
16. Jusuf, M.Hanafiah,dan Amir, Amri :“EtikaKedokterandan
HukumKesehatan”BukuKedokteran EGC, Jakarta, 2000

29
17. Kliegman, Robert M., et al , Nelson textbook of pediatrics:infectious
diseases. 19th ed. W.B. Saunders Company; 2010.

18. Kadek & Darmadi S. Gejala Rubela Bawaan (Kongenital) Berdasarkan


Pemeriksaan Serologis Dan Rna Virus. Indonesian Journal of Clinical
Pathology and Medical Laboratory, Vol. 13, No. 2, Maret 2007: 63-71
19. Department of Health and Human Services. Center for Disease Control
and prevention. Epidemiology and Prevention of Vaccine Preventable
Disease. 2005. http://www.cdc.gov. Diakses 20 September 2016.
20. Anonim. Rubella. http://www.cdc.gov/nip/publications/pink/rubella.pdf.
Diakses 20 September 2016.
21. Gnansia ER. Congenital Rubella Syndrome. 2004.
http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-rubella.pdf Diakses 20 September
2016.
22. Cutts F, Best J, Siqueira MM, Engstrom K, Robertson, Susan E.
Guidelines for Surveilance of Congenital Rubella Syndrome and Rubella.
Field test version. Department of Vaccines and Biologicals. Geneva,
WHO, 1999.
23. Dontigny et al. Rubella In Pregnancy. SOGC Clinical Practice Guidelines.
J Obstet Gynaecol Can 2008;30(2):152–158
24. Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia (MKEK) Ikatan Dokter
Indonesia, Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pedoman Pelaksanaan
Kode Etik Kedokteran Indonesia, Jakarta, 2002
25. Hendrik. Etika dan hukum kesehatan. Jakarta: EGC; 2013.
26. Guwandi J. Hukum medik (medical law) 3rd ed. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.

30

Anda mungkin juga menyukai