SKENARIO V
Oleh Tutorial H
Tutor : dr. Ayu Munawaroh Aziz,M. Biomed
Anggota :
Fatih Muhammad Rifqi (192010101012)
Yudriani Nurfahimi Wikuasa (192010101027)
Latiefah Noer Widiastuti (192010101044)
Leni Alfiani (192010101067)
Hanu Neda Septian (192010101075)
Kintan Pramesti (192010101091)
Lita Nurfaiziah (192010101109)
Muhammad Farrel Ravidinata M.B (192010101118)
Nur Alfianti Putri (192010101129)
Yestin Farros Qushoyyi (192010101156)
Gavin Aditya Mukti (192010101163)
Hanifah Rosyida Herlantari (192010101177)
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa, karena dengan karunia-Nyalah kami dapat
menyelesaikan “Resume Tutorial Skenario lima” di Blok dua dengan baik dan tepat waktu.
Tidak lupa kami sampaikan terima kasih kepada dokter pembimbing dr. Ayu Munawaroh Aziz
M.Biomed yang telah membantu dan membimbing kami dalam pelaksaan tutorial skenario lima.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman turorial H yang juga sudah memberi
kontribusi,baik langsung maupun tidak langsung dalam pembuatan resume ini.
Kami sebagai penulis menyadari bahwa dalam penyusunan resume ini yang masih belum sempurna,
karena itu penulis mengaharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk memperbaiki
resume ini.Penulis berharap semoga resume ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Penyusun
A. SKENARIO
B. KLARIFIKASI ISTILAH
1. Bidan
Hasil Diskusi :
a. Bidan adalah seorang perempuan yang telah menyelesaikan program pendidikan
Kebidanan baik di dalam negeri maupun di luar negeri yang diakui secara sah oleh
Pemerintah Pusat dan telah memenuhi persyaratan untuk melakukan praktik Kebidanan.
( UU No. 4 Tahun 2009 Pasal 1 ayat 3 )
b. Bidan memberikan pelayanan kebidanan kepada perempuan selama masa sebelum hamil,
masa kehamilan, persalinan, pascapersalinan, masa nifas, bayi baru lahir, bayi, balita, dan
anak prasekolah, termasuk kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana
sesuai dengan tugas dan wewenangnya.
(Undang-undang No. 4 Tahun 2019)
c. Seorang perempuan yang lulus dari Pendidikan yang diakui oleh pemerintah dan
organisasi profesi di wilayah tertentu serta memiliki kompetensi dan kualifikasi untuk
diregister, sertifikasi dan atau secara sah mendapat lisensi untuk menjalankan praktik
kebidanan
(IBI, Ikatan Bidan Indonesia)
d. Seseorang perempuan yang telah menyelesaikan program Pendidikan bidan yang diakui
oleh negara serta memperoleh kualifikasi dan diberi izin untuk menjalankan praktik
kebidanan di negeri itu.
(Jurnal Bidan Diah)
2. Resep
Hasil Diskusi :
a. Suatu permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi atau dokter hewan kepada apoteker untuk
membuat obat dalam bentuk sediaan tertentu dan menyerahkannya kepada pasien.
(Jurnal Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas)
b. Permintaan tertulis dari dokter atau dokter gigi, kepada apoteker, baik dalam bentuk paper
maupun electronic untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan
yang berlaku.
(Peraturan menteri kesehatan ri nomor 73 tahun 2016, standar pelayanan kefarmasian di
apotek)
c. Keterangan dokter tentang obat serta takarannya, yang harus dipakai oleh si sakit dan
dapat ditukar dengan obat di apotek, keterangan tentang bahan dan cara meracik obat
(KBBI)
3. Malpraktek
Hasil Diskusi :
b. Malpraktek adalah kelalaian seorang doker atau petugas medis untuk menerapkan
tingkat keterampilan dan pengetahuannya di dalam memberi pelayanan pengobatan
dan perawatan terhadap seorang pasien yang lazimnya diterapkan dalam mengobati
dan merawat orang sakit atau terluka di lingkungan wilayah yang sama.
c. Kelalaian dari seseorang dokter atau tenaga keperawatan (perawat dan bidan) untuk
mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat
pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran
dilingkungan yang sama.
(Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).
4. Daftar G
Hasil Diskusi :
Hasil Diskusi :
6. Medikolegal
Hasil Diskusi :
7. Obat Herbal
Hasil Diskusi :
a. Obat herbal adalah campuran dari yang berasal dari tumbuh-tumbuhan (obat tradisional)
kemudian diolah menjadi satu produk dan digunakan untuk pengobatan.
(Jurnal UNUD)
b. Obat herbal atau herbal medicine merupakan bahan baku atau sediaan yang berasak dari
tumbuhan yang memiliki efek terapi atau efek lain yang bermanfaat bagi kesehatan manusia.
(Jurnal UNEJ FKP dan FK)
c. Obat herbal adalah obat yang bersifat organik atau alami, yang diambil dari saripati tumbuhan
dan mempunyai manfaat untuk pengobatan, tanpa ada campuran bahan kimia buatan (sintetis)
dan tanpa campuran hewan. Obat Herbal harus berasal dari tumbuhan (nabati) misalnya jahe,
temulawak, kunyit, bawang putih, ginseng dan lain-lain.
(Wikipedia, 2019)
C. RUMUSAN MASALAH
1. Apa dampak dari abortus ?
2. Mengapa tindakan memberi obat tersebut merupakan malpraktek ?
3. Apa perbedaan obat herbal dan obat kimia?
4. Apa saja macam macam obat uterotonika?
5. Siapa yang berwenang memberikan resep?
6. Mengapa obat uterotonika termasuk daftar G ?
7. Apa hubungan obat herbal dengan persepsi agromedis
Dampak psikologis:
1) Kecemasan Tinggi
Mereka yang melakukan aborsi pasti akan dilanda resah dan juga marah di awal atau
ketika pertama terjadi.Cara Menghilangkan Kecemasan Berlebihan tidak akan bisa
dilakukan oleh ibu yang melakukan aborsi. Aborsi sama saja dengan membunuh seorang
nyawa manusia. Sebagian besar para pelaku aborsi akan mengalami tingkat kecemasan
diatas normal, dibandingkan perempuan lainnya. Kecemasan akan berdampak pada fisik
mereka juga.
10). Malu
Terakhir yakni menanggung rasa malu yang menjadi Dampak Psikologis Akibat Seks
Bebas juga. Teori Kepercayaan Diri mengatakan bahwa kepercayaan diri akan mati
seketika apabila seseorang melakukan kesalahan besar didepan umum dan semua orang
melakukan judging atau tuduhan pada orang tersebut. Dibanding salah dan dibenahi, malu
dapat meruntuhkan kepercayaan diri seseorang dan seringkali yang melakukan aborsi
merupakan hal buruk dan dianggap mempermalukan.
Dijatuhi hukuman
Kejahatan pengguguran dan pembunuhan terhadap kandungan (doodslag op een ongeborn
vrucht) diatur dalam KUHP pasal-pasal berikut: 299, 346, 347, 348, 349. 350
2. Mengapa tindakan memberi obat tersebut merupakan malpraktek ?
Hasil Diskusi :
Pada skenario, ibu datang dan meminta aborsi tanpa adanya indikasi yang jelas. Bidan
juga disebutkan tidak melakukan pemeriksaan lebih lanjut dan malah langsung memberikan
resep untuk obat uterotonika yang jelas-jelas berbahaya jika dikonsumsi pada saat kehamilan.
Tindakan tersebut salah karena bidan tidak berhak untuk memberikan resep kepada
pasien (bukan wewenangnya), yang berhak menuliskan resep adalah dokter, dokter gigi
(hanya sebatas mulut dan gigi), dokter hewan (sebatas hanya pengobatan untuk hewan. Selain
itu, bidan tersebut membantu pasien tersebut melakukan aborsi.
Ini telah melanggar KHUP dan UU No. 36 tahun 2009 :
Pasal 349 : “ Jika seorang dokter, bidan, atau juru obat membantu melakukan kejahatan
berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan
yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu
dapat ditambah dengan 1/3 dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana
kejahatan dilakukan”
3. Apa perbedaan obat herbal dan obat kimia?
Hasil Diskusi :
Obat kimia: Obat yang diolah secara turun temurun dari nenek moyang kita dengan
bahan alami dari tanpa campuran kimia
Oksitosin Sintetik
c. Misoprosol
Merupakan suatu analog prostaglandin yang menghambat sekresi asam
lambung dan menaikkan proteksi mukosa lambung. Contoh obat : misoprosol 200
Indikasi
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN :
KESATU : Petugas yang berhak memberikan obat kepada pasien adalah
apoteker, Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK) dan perawat.
KEDUA : Apoteker yang berhak memberikan obat kepada pasien adalah
Apoteker yang berkompeten dan memiliki Surat Tanda Registrasi apoteker (STRA) dan
Surat Ijin Praktek Apoteker (SIPA).
KETIGA : Apabila Apoteker berhalangan hadir atau tidak ada di tempat
maka obat diberikan oleh TTK yang berkompeten terlatih dan memiliki Surat Tanda
Registrasi Teknis kefarmasian (STRTTK) dan Surat Ijin Kerja Tenaga Teknis
Kefarmasian (SIKTTK).
KEEMPAT : Perawat yang berhak memberikan obat kepada pasien adalah
perawat yang berkompeten dan memiliki Surat Tanda Registrasi (STR)
KELIMA : Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan
evaluasi minimal 1 tahun sekali.
KEENAM : Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka
akan dilakukakan perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.
Jadi secara umum, yang berwenang memberikan obat adalah :
• Dokter
• Dokter spesialis
• Dokter Gigi (perihal gigi dan mulut)
• Dokter hewan (perihal hewan)
• Bidan dengan syarat :
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR
900/MENKES/SK/VII/2002
TENTANG REGISTRASI DAN PRAKTIK BIDAN
Pasal 17
Dalam keadaan tidak terdapat dokter yang berwenang pada wilayah tersebut, bidan
dapat memberikan pelayanan pengobatan pada penyakit ringan bagi ibu dan anak sesuai
dengan kemampuannya.
Pasal 18
Bidan dalam memberikan pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 salah
satunya dapat berwenang untuk pemberian obat-obat terbatas, melalui lembaran
permintaan obat sesuai dengan Formulir VI terlampir; obat yang dimaksud seperti obat
selama kehamilan ibu dan proses melahirkan.
sifat fisikokimiawi (kelarutan dalam lemak dan air, BM, derajat disosiasi)
keterikatan obat pada protein plasma (albumin)
faktor faali tubuh (curah jantung, vaskularisasi atau aliran darah dan lipid content jaringan)
FARMAKODINAMIK
Farmakodinamik mempelajari efek obat terhadap fisiologi dan biokimia selular dan mekanisme
kerja obat. PARAMETER KERJA OBAT:
1. Mula, Puncak, dan Lama Kerja
Mula kerja dimulai pada waktu obat memasuki plasma dan berakhir sampai mencapai konsentrasi
efektif minimum (MEC= minimum effective concentration). Apabila kadar obat
dalam plasma atau serum menurun di bawah ambang atau MEC, maka ini berarti dosis obat
yang memadai tidak tercapai. Namun demikian, kadar obat yang terlalu tinggi dapat
menyebabkan toksisitas). Puncak kerja terjadi pada saat obat mencapai konsentrasi tertinggi
dalam darah atau plasma. Lama kerja adalah lamanya obat mempunyai efek farmakologis.
Beberapa obat menghasilkan efek dalam beberapa menit, tetapi yang lain dapat memakan
waktu beberapa jam atau hari.
2. Indeks Terapeutik dan Batasan Terapeutik
Keamanan obat merupakan hal yang utama. Indeks terapeutik (TI), yang perhitungannya akan
diuraikan dalam bagian ini, memperkirakan batas keamanan sebuah obat dengan menggunakan
rasio yang mengukur dosis terapeutik efektif pada 50% hewan (ED50) dan dosis letal
(mematikan) pada 50% hewan (LD50). Semakin dekat rasio suatu obat kepada angka 1, semakin
besar bahaya toksisitasnya. Obat-obat dengan indeks terapeutik rendah mempunyai batas
keamanan yang sempit. Dosis obat mungkin perlu penyesuaian dan kadar obat dalam plasma
(serum) perlu dipantau karena sempitnya jarak keamanan antara dosis efektif dan dosis letal.
Obat-obat dengan indeks terapeutik tinggi mempunyai batas keamanan yang lebar dan tidak
begitu berbahaya dalam menimbulkan efek toksik. Kadar obat dalam plasma (serum) tidak perlu
dimonitor secara rutin bagi obat-obat yang mempunyai indeks terapeutik yang tinggi. Batas
terapeutik dari konsentrasi suatu obat dalam plasma harus berada di antara MEC (konsentrasi obat
terendah dalam plasma untuk memperoleh kerja obat yang diinginkan), dan efek toksiknya.
3. Kadar Puncak dan Terendah
Kadar obat puncak adalah konsentrasi plasma tertingi dari sebuah obat pada waktu tertentu. Kadar
terendah adalah konsentrasi plasma terendah dari sebuah obat dan menunjukkan kecepatan
eliminasi obat. Kadar terendah diambil beberapa menit sebelum obat diberikan, tanpa memandang
apakah diberikan secara oral atau intravena. Kadar puncak menunjukkan kecepatan absorpsi suatu
obat, dan kadar terendah menunjukkan kecepatan eliminasi suatu obat. Kadar puncak dan
terendah diperlukan bagi obat-obat yang memiliki indeks terapeutik yang sempit dan dianggap
toksik, seperti aminoglikosida (antibiotika). Jika kadar terendah terlalu tinggi, maka toksisitas
akan terjadi.
4. Dosis Pembebanan
Jika ingin didapatkan efek obat yang segera, maka dosis awal yang besar, dikenal sebagai dosis
pembebanan, dari obat tersebut diberikan untuk mencapai MEC yang cepat dalam plasma. Setelah
dosis awal yang besar, maka diberikan dosis sesuai dengan resep per hari. Digoksin, suatu
preparat digitalis, membutuhkan dosis pembebanan pada saat pertama kali diresepkan. Digitalisasi
adalah istilah yang dipakai untuk mencapai kadar MEC untuk digoksin dalam plasma dalam
waktu yang singkat.
5. Efek Sampling, Reaksi yang Merugikan, dan Efek Toksik
Efek samping adalah efek fisiologis yang tidak berkaitan dengan efek obat yang diinginkan.
Semua obat mempunyai efek samping baik yang diinginkan maupun tidak. Bahkan dengan dosis
obat yang tepat pun, efek samping dapat terjadi dan dapat diketahui bakal terjadi sebelumnya.
Efek samping terutama diakibatkan oleh kurangnya spesifitas obat tersebut, seperti betanekol
(Urecholine). Dalam beberapa masalah kesehatan, efek samping mungkin menjadi diinginkan,
seperti Benadryl diberikan sebelum tidur, karena efek sampingnya yang berupa rasa kantuk
menjadi menguntungkan. Tetapi pada saat-saat lain, efek samping dapat menjadi reaksi yang
merugikan. Istilah efek samping dan reaksi yang merugikan kadang-kadang dipakai bergantian.
Reaksi yang merugikan adalah batas efek yang tidak diinginkan (yang tidak diharapkan dan
terjadi pada dosis normal) dari obat-obat yang mengakibatkan efek samping yang ringan sampai
berat, termasuk anafilaksis (kolaps kardiovaskular). Reaksi yang merugikan selalu tidak
diinginkan.
Efek toksik, atau toksisitas suatu obat dapat diidentifikasi melalui pemantauan batas terapeutik
obat tersebut dalam plasma (serum). Tetapi, untuk obat-obat yang mempunyai
indeks terapeutik yang lebar, batas terapeutik jarang diberikan. Untuk obat-obat gang
mempunyai indeks terapeutik sempit, seperti antibiotika aminoglikosida dan antikonvulsi,
batas terapeutik dipantau dengan ketat. Jika kadar obat melebihi batas terapeutik, maka
efek toksik kemungkinan besar akan terjadi akibat dosis yang berlebih atau penumpukan
obat.
6. Uji Klinik Obat
Tahap-tahap uji klinik obat adalah sebagai berikut.
a. Fase I: pengujian obat untuk pertama kali pada manusia, yang diteliti adalah keamanan
obat.
b. Fase II: pengujian obat untuk pertama kali pada sekelompok kecil penderita, dengan
tujuan melihat efek farmakologik. Dapat dilakukan secara komparatif dengan obat
sejenis ataupun plasebo. Jumlah responden 100 - 200 orang
c. Fase III: memastikan obat benar-benar berkhasiat bila dibandingkan dengan plasebo,
obat yang sama tetapi dosis beda, dan obat lain dengan indikasi sama. Jumlah
responden minimal 500 orang.
d. Fase IV: Post Marketing Drug Surveillance, dengan tujuan: menentukan pola
penggunaan obat di masyarakat, efektivitas dan keamanannya.
FARMAKOTERAPI
Farmakoterapi adalah ilmu yang mempelajari penggunaan obat untuk mengobati penyakit atau
gejalanya.
2. Klasifikasi Obat
Contoh: obat antimabuk seperti antimo, obat anti flu seperti noza, decolgen, dan lain-
lain.
c. Obat wajib apotek, adalah obat keras yang dapat diserahkan oleh apoteker pengelola
apotek tanpa resep dokter. Obat wajib apotek dibuat bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan masyarakat dalam menolong dirinya sehingga tercipta budaya pengobatan
sendiri yang tepat, aman, dan rasional. Contoh:
d. Obat keras, adalah obat yang berbahaya sehingga pemakaiannya harus di bawah
pengawasan dokter dan obat hanya dapat diperoleh dari apotek, puskesmas dan fasilitas
pelayanan kesehatan lain seperti balai pengobatan dan klinik dengan menggunakan
resep dokter. Obat ini memiliki efek yang keras sehingga jika digunakan sembarangan
dapat memperparah penyakit hingga menyebabkan kematian. Obat keras dulunya
disebut sebagai obat daftar G. Obat keras ditandai dengan lingkaran merah tepi hitam
yang ditengahnya terdapat huruf “K” berwarna hitam. Contoh: antibiotik seperti
amoxicylin, obat jantung, obat hipertensi dan lain-lain.
e. Psikotropika dan narkotika. Psikotropika merupakan zat atau obat yang secara
alamiah ataupun buatan yang berkhasiat untuk memberikan pengaruh secara selektif
pada sistem syaraf pusat dan menyebabkan perubahan pada aktivitas mental dan
perilaku. Obat golongan psikotropika masih digolongkan obat keras sehingga
disimbolkan dengan lingkaran merah bertuliskan huruf “K” ditengahnya. Sedangkan
narkotika merupakan obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis
maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan perubahan kesadaran dari mulai
penurunan sampai hilangnya kesadaran, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri,
dan dapat menimbulkan ketergantungan. Narkotika disimbolkan dengan lingkaran
merah yang ditengahnya terdapat simbol palang (+).
Food Drug Assosiation (FDA) mengeluarkan rilis kategori obat terkait dengan ibu
hamil.
FDA menetapkan kategori risiko lima huruf - A, B, C, D atau X - untuk menunjukkan
potensi obat yang bisa menyebabkan cacat lahir jika digunakan selama kehamilan.
Kategori-kategori tersebut antara lain :
a. Kategori A
Obat yang terkategori A merupakan obat-obat yang cukup aman dikonsumsi ibu hamil.
Studi menunjukkan bahwa obat kategori ini tidak menyebabkan risiko kehamilan atau
malformasi pada trimester pertama. Contoh obat atau zat: levothyroxine, asam folat,
liothyronine.
b. Kategori B
Kategori ini meliputi obat-obat yang masih jarang dikonsumsi ibu hamil namun juga tidak
menunjukkan adanya efek malformasi bagi janin.
Studi reproduksi hewan telah gagal menunjukkan risiko pada janin. Contoh
obat: metformin, hydrochlorothiazide, cyclobenzaprine, amoxicillin, pantoprazole.
c. Kategori C
Obat kategori ini bisa berdampak buruk pada janin namun biasanya dampaknya bisa
membaik kembali. Studi reproduksi hewan telah menunjukkan efek buruk pada janin,
tetapi karena manfaat potensial mungkin beberapa ibu hamil memerlukan penggunaan
obat ini. Contoh obat: tramadol, gabapentin, amlodipine, trazodone.
d. Kategori D
Obat-obat golongan ini terbukti bisa menyebabkan malformasi dan berbahaya bagi janin.
Risiko bahayanya bersifat menetap atau tidak bisa membaik dengan sendirinya. Ada bukti
positif risiko janin manusia berdasarkan data reaksi yang merugikan dari pengalaman
investigasi atau studi pada manusia. Contoh obat: lisinopril, alprazolam, losartan,
clonazepam, lorazepam
e. Kategori X
Studi pada hewan atau manusia telah menunjukkan kelainan janin dan dilarang untuk
dikonsumsi selama kehamilan.
Obat ini memiliki efek negatif yang nyata dibandingkan manfaatnya pada ibu hamil.
Contoh obat: atorvastatin, simvastatin, warfarin, methotrexate, finasteride.
Efek obat
Obat merupakan bahan dengan takaran tertentu dan dengan penggunaan yang tepat
dapat memberikan efek atau khasiat, yang dapat dimanfaatkan untuk mencegah
penyakit, menyembuhkan atau memelihara kesehatan (Anonim, 2007). Beberapa efek
obat adalah
sebagai berikut :
1) Analgesik adalah suatu zat yang mempunyai daya menghilangkan rasa nyeri.
Contohnya : asam mefenamat
2) Antipiretik adalah suatu zat yang mempunyai daya menurunkan demam. Contoh :
parasetamol, ibuprofen.
3) Dekongestan adalah suatu zat yang bekerja menghilangkan sembab di selaput lendir
hidung. Contohnya fenilefrin, fenilpropanolamin, pseudoefedrin.
4) Antihipertensi adalah suatu zat yang dapat menurunkan tekanan darah. Contohnya
hidroklortiazid, kaptopril, propanolol.
5) Ekspektoran adalah suatu zat yang dapat mengencerkan dahak. Contohnya gliseril,
guaikolat, bromheksin.
6) Antitusif adalah suatu zat yang dapat menekan batuk. Contohnya dekstrometorfan,
noskapin.
7) Antasida adalah suatu zat yang dapat menetralkan asam lambung yang berlebih dan
melindungi selaput lendir lambung. Contohnya persenyawaan Al dan Mg,
persenyawaan karbonat dan Na bikarbonat.
8) Antihistamin adalah obat yang bekerja melawan kerja histamin atau antialergi.
Contohnya klorfeniramin maleat, difenhidramin, tripolidin (Widodo, 2009).
Unsur-unsur resep:
1. Identitas Dokter
Nama, nomor surat ijin praktek, alamat praktek dan rumah dokter penulis resep
serta dapat dilengkapi dengan nomor telepon dan hari serta jam praktek. Biasanya
sudah tercetak dalam blanko resep.
2. Nama kota (sudah dicetak dalam blanko resep) dan tanggal ditulis resep
3. Superscriptio
Ini merupakan bagian inti resep, berisi nama obat, kekuatan dan jumlah obat yang
diperlukan dan ditulis dengan jelas
5. Subscriptio
Bagian ini mencantumkan bentuk sediaan obat (BSO) dan jumlahnya. Cara penulisan
(dengan singkatan bahasa latin) tergantung dari macam formula resep yang
digunakan.
Contoh:
- m.f.l.a. sol
6. Signatura
Berisi informasi tentang aturan penggunaan obat bagi pasien yaitu meliputi frekuensi,
jumlah obat dan saat diminum obat, dll.
Contoh: s.t.d.d.tab.I.u.h.p.c ( tandailah tiga kali sehari satu tablet satu jam setelah
makan)
7. Identitas pasien
Umumnya sudah tercantum dalam blanko resep (tulisan pro dan umur). Nama
pasien dicantumkan dalan pro. Sebaiknya juga mencantumkan berat badan pasien
supaya kontrol dosis oleh apotek dapat akurat.
Tidak ada standar baku di dunia tentang penulisan resep. Untuk Indonesia,
resep yang lengkap menurut SK Menkes RI No. 26/2981 (BAB III, pasal 10)
memuat:
1. Nama, alamat, Nomor Surat Ijin Praktek Dokter (NSIP)
6. Tanda seru dan paraf dokter untuk resep yang mengandung obat dengan jumlah
melebihi dosis maksimum
Menurut WHO tahun 1995 landasan penulisan resep obat secara bijak dan rasional adalah
4T+1W yaitu:
1. Tepat pasien artinya disini dokter dapat menilai kondisi pasien dengan tepat
2. Tepat indikasi artinya indikasi yang benar sesuai dengan diagnosa dokter untuk
penggunaa obat tersebut dan telah terbukti manfaat terapetiknya
3. Tepat obat artinya ketepatan pemilihan obat yang dilakukan dalam proses pemilihan
obat dengan mempertimbangkan beberapa factor seperti ketepatan kelas terapi, jenis
obat, dll
4. Tepat dosis artinya jumlah obat yang diberikan berada dalam range terapi
5. Waspada efek samping
Selain itu dalam penentuan dan pemilihan obat harus didasari oleh empat faktor
1. Faktor kemanjuran (efficacy)
2. Faktor keamanan (safety)
3. Faktor kecocokan (suitability)
4. Faktor biaya (cost).
PEDOMAN CARA PENULISAN RESEP DOKTER
1. Ukuran blanko resep (ukuran lebar 10-12 cm, panjang 15-18 cm)
2. Penulisan nama obat (Bagian Inscriptio):
a. Dimulai dengan huruf besar
b. Ditulis secara lengkap atau dengan singkatan resmi (dalam farmakope Indonesia atau
nomenklatur internasional) misal: ac. Salic; acetosal
c. Tidak ditulis dengan nama kimia (missal: kali chloride dengan KCl) atau singkatan
lain dengan huruf capital (missal clorpromazin dengan CPZ)
3. Penulisan jumlah obat
a. Satuan berat: mg (milligram), g, G (gram)
b. Sataun volume: ml (mililiter), l (liter)
c. Satuan unit: IU/IU (Internasional Unit)
d. Penulisan jumlah obat dengan satuan biji menggunakan angka Romawi. Misal: - Tab
Novalgin no. XII
- Tab Stesolid 5 mg no. X (decem)
- m.fl.a.pulv. dt.d.no. X
Catatan: Hindari penggunaan sendok teh dan senok makan rumah tangga karena
volumenya tidak selalu 15 ml untuk sendok makan dan 5 ml untuk sendok teh.
Gunakan sendok plastik (5 ml) atau alat lain ( volume 5, 10, 15 ml) yang disertakan
dalam sediaaan cair paten.
f. Arti prosentase (%)
0,5% (b/b) 0,5 gram dalam 100 gram sediaan
5. Penulisan bentuk sediaan obat (merupakan bagian subscriptio) dituliskan tidak hanya
untuk formula magistralis, tetapi juga untuk formula officialis dan spesialistis
Misal: m.f.l.a.pulv. No. X
Resep yang tidak boleh diulang, dapat diberi tanda: NI di sebelah kiri atas dari
resep untuk seluruh resep yang tidak boleh diulang. Bila tidak semua resep,
maka ditulis di bawah setiap resep yang diulang.
FORMULA RESEP
Ada 3 formula dalam penulisan resep (magistrlis, officinalis dan spesialistis). Faktor yang
diperhatikan dalam penentuan jenis formula yang akan digunakan: 1) ketepatan dosis, 2)
stabilitas obat terjamin, 3) kepatuhan pasien, 4) kemudahan mendapatkan obat/sediaan, 5)
harga terjangkau
1. FORMULA MAGISTRALIS
Formula ini dikenal dengan resep racikan.Dalam hal ini, dokter selain menuliskan bahan
obat, juga bahan tambahan. Bahan tambahan yang ditambahkan tergantung dari sediaan
yang diinginkan. Oleh karena itu, penting sekali diperhatikan sifat obat, interaksi farmasetik,
macam bentuk sediaan dan macam bahan tambahan yang dapat digunakan serta pedoman
penulisan resep magistralis. Hal-hal yang penting diperhatikan dalam formula magistralis:
Bahan obat, sedapat mungkin menggunakan bahan baku. Penggunaan sediaan jadi/paten
(tablet, sirup, dll) sering menimbulkan masalah baik dalam pelayanan( misalkan tidak dapat
halus, tidak homogen, dan tidak stabil) maupun kerasionalan terapi (antara lain perubahan
formula sediaan, perubahan bioaviabilitas obat, perubahan absorbsi, penurunan konsentrasi
obat). Pencampuran bahan yang lebih dari satu macam harus dipertimbangkan adanya
interaksi (farmasetik dan farmakologi) dan rasionalitas obat.
Bentuk sediaan yang dapat dipilih meliputi serbuk (pulveres dan pulvis adspersorium),
kapsul, larutan (solusio, infusa), suspensi, unguenta, cream dan pasta.
Penentuan bahan tambahan (corrigen saporis, corrigen odoris, corrigen coloris, dan
constituent/vehiculum).
2. FORMULA OFFICINALIS
Resep dengan formula ini berarti obat yang digunakan adalah obat generik dan tersedia
dalan sediaan generik (BPOM Depkes) atau sediaan standar baku (Formularium Indonesia).
Dengan menggunakan formula ini, berarti dokter sudah tahu komposisi bahan aktif dan
kegunaannya. Penulisan ini cepat dan sederhana serta harganya lebih murah
3. FORMULA SPESIALISTIS
Resep yang ditulis dengan formula ini adalah obat paten dari pabrik obat. Kadang pabrik
obat membuat obat dengan berbagai sediaan, kekuatan, dan kombinasi obat. Bila penulisan
resep ini kurang jelas atau tidak lengkap dapat mengakibatklan kesalahan dalam pelayanan
di apotek.
4. Terminologi Resep
Penggunaan singkatan bahasa Latin dalam praktik medis memiliki sejarah yang
sangat panjang, bisa dirunut hingga ke tahun 1400-an saat bahasa Latin menjadi
bahasa utama di Eropa Barat. Saat ini, penggunaan singkatan bahasa Latin terbatas
pada petunjuk pengambilan atau penggunaan obat dalam resep. Bahasa Latin
digunakan sebagai bahasa resep karena bahasa Latin merupakan bahasa yang tidak
berkembang/ statis, sehingga makna bahasanya tidak berubah oleh waktu, serta
bahasanya baku dan kaku sehingga bisa digunakan menjadi bahasa standar dalam
resep secara global.
Singkatan dalam resep dokter diklasifikasikan menjadi istilah yang berkaitan dengan
aturan pakai, takaran/jumlah, perintah pembuatan, keterangan waktu, pembuatan dan
bentuk sediaan, serta keterangan tempat penggunaan obat dan istilah lainnya. Istilah
dan singkatan tersebut dituangkan dalam bentuk tabel di bawah ini.
Singkatan untuk aturan pakai terlihat pada bagian signatura atau yang diawali dengan
signa (S), aturan peracikan atau pembuatan terlihat pada bagian yang diawali dengan
m.f. (misce fac).
Tabel 2.1. Istilah yang Berkaitan dengan Aturan Pakai
Singkatan Istilah Arti
Sendok makan, 15
C Cochlear ml
Berikan sekian
d.t.d Da tales doses takaran
R Recipe Ambilah
F Fac Dibuat
Tabel 2.5. Bahasa Latin yang Berkaitan dengan Pembuatan dan Bentuk Sediaan
Aq Aqua Air
air 2 kali
Aq bidest aqua bidestilata penyulingan
sediaan padat
Supp. Suposituria bentuk
Suppos peluru
Tabel 2.6. Bahasa Latin yang Berkaitan dengan Keterangan Tempat, Penggunaan
Obat dan Istilah Lainnya
R Recen segar/baru
dokter
5. Terapi Rasional
Tujuan terapi :
a. memperpanjang harapan hidup yaitu untuk mencegah kematian dini
b. memperpanjang kualitas hidup sehingga kecacatan dapat dihindari
c. mengatasi gejala atau keluhan yang diderita
terapi kuratif ada 2 :
a) terapi simptomatis yaitu untuk menghilangkan gejala-gejala penyakit
b) terapi kausatif yaitu untuk menghilangkan penyakit atau penyebab penyakit
Kerasionalan terapi obat / pengobatan (rational drugs therapy). Kerasionalan adalah
penggunaan obat yang tepat secara medik dan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu.
Konferensi tenaga ahli tentang penggunaan obat rasional yang diadakan oleh WHO di
Nairobi tahun 1985, telah membahas tentang penggunaan obat yang rasional. Penggunaan
obat yang rasional mensyaratkan bahwa pasien menerima obat-obatan yang sesuai untuk
kebutuhan klinik mereka, dalam dosis yang memenuhi kebutuhan individu itu sendiri, untuk
suatu periode waktu yang memadai, dan pada harga yang terendah untuk mereka dan
masyarakatnya (1). Untuk memenuhi kriteria tersebut, dokter penulis resep harus mengikuti
proses baku penulisan, yang ditempuh melalui suatu tahapan prosedur tertentu yang disebut
Standard Operating Procedure (SOP), yaitu terdiri dari anamnesa, pemeriksaaan fisik,
penegakan diagnosis, pengobatan, dan tindakan selanjutnya. Semua tahapan prosedur
tersebut menentukan penggunaan obat yang rasional.
Terapi yang dapat dipilih untuk pasien yang mengalami gangguan kesehatan meliputi
pemberian obat, pembedahan, psikiatrik, radiasi, fisioterapi, konseling, pendidikan
kesehatan, dan bahkan tanpa terapi. Sebenarnya ada 2 tahap penting dalam meilih
pengobatan, yang pertama mempertimbangkan terapi pilihan pertama yang merupakan hasil
proses seleksi berdasarkan langkah-langkah yang sesuai dan yang kedua adalah menimbang
apakah pilihan ini cocok untuk pasien yang akan diobati.
Langkah-langkah umum untuk menentukan terapi rasional meliputi menetapkan tujuan
terapi, menyusun daftar berbagai terapi yang mungkin manjur, dan memilih terapi-P
(pribadi/pilihan) dengan cara membandingkan kemanjuran, keamanan, keamanan,
kecocokan, dan biayanya. Proses pemilihan terapi-P antara lain :
a) Tetapkan tujuan terapi
b) Ini merupakan tahapan awal untuk menentukan terapi, dengan pemeriksaan dan
anamnesis selanjutnya diidentifikasi masalah kesehatan guna untuk menetapkan tujuan
terapi untuk mengatasi masalah pokok kesehatan pasien.
c) Menyusun daftar berbagai terapi yang mungkin manjur
d) Pada umumnya ada 4 pendekatan dalam mengobati, yaitu memberi informasi atau
nasehat, terapi non obat, terapi obat, dan perujukan,, dan kadang diperlukan
pendekatan kombinasi.
e) Pilih Obat yang sesuai berdasarkan pada kemanjuran, keamanan, kecocokan,
kepraktisan, dan biaya
f) Membandingkan berbagai terapi pilihan obat yang ada. Cara objektif dan ilmiah
adalah menerapkan lima kriteria, yaitu kemanjuran, keamanan, kecocokan, kepraktisan
dan biaya.
Proses pemilihan terapi untuk mencapai terapi yang rasional terdiri dari 6 langkah, antara
lain :
a. Tetapkan masalah pasien
Setelah melakukan diagnosa dan anamnesa kepada pasien, dokter harus menemukan dan
mengidentifikasi masalah pokok yang menyebabkan penyakit dari pasien
b. Tentukan tujuan terapi
Setelah menetapkan masalah pasien, maka dilakukan pemilihan terapi berdasarkan
penentuan tujuan terapinya terlebih dahulu
c. Tentukan cocok tidaknya terapi-P anda untuk pasien
Setelah menentukan tujuan terapi, maka perlu dianalisa kecocokan dari terapi-P untuk
pasien.
d. Mulai pengobatan
Berikan penjelasan untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam terapi
e. Berikan penjelasan tentang obat, cara meminumnya, dan peringatan
f. Pantau (hentikan) pengobatan
Keenam faktor tersebut saling terkait satu sama lain sehingga tidak mudah membuat
praktik terapi dan pengobatan yang irasional dan rasional.
Menurut WHO melalui buku pedoman terapi berjudul Guide to Good Prescribing,
terdapat siklus yang menggambarkan urutan untuk mencapai sebuah terapi rasional.
4. Mulai Pengobatan
Setelah sampai pada kesimpulan dan keputusan tentang obat yang paling cocok untuk
pasien dan kasus yang kita hadapi, maka langkah berikut adalah memulai pengobatan
dengan menuliskan resep yang merupakan suatu “instruksi” kepada apoteker untuk
menyediakan/menyiapkan obat yang dibutuhkan tadi. Dalam mata rantai pengobatan
rasional, pasien pun berhak mendapatkan informasi dari apoteker dan perawat (atau
petugas kesehatan yang bertanggung-jawab untuk hal itu) tentang obat, dosis, cara
penggunaan, efek samping, dll.
b. Rangkaian Berkala
Studi epidemiologi yang bertujuan mendeskripsikan dan mempelajari
frekuensi penyakit atau status kesehatan satu/beberapa populasi berdasarkan
serangkaian pengamatan pada beberapa sekuens waktu. Ciri rangkaian
berkala adalah menghubungkan variasi frekuensi penyakit dari waktu ke
waktu.
Variasi Musim
Variasi Siklik : perubahan yang terjadi secara periodic dalam satu tahun,
atau lebih. Fluktuasi jangka pendek sering ditemukan dalam epidemik
penyakit
Case series digunakan ketika penyakit yang diteliti bukan penyakit biasa dan
disebabkan oleh pajanan eksklusif atau hampir eksklusif (seperti vinyl
chloride dengan angiosarcoma). Hal ini merupakan hal pertama yang bisa
dilakukan untuk menemukan petunjuk dalam identifikasi sebuah penyakit
baru dan untuk melihat dampak pajanan bagi kesehatan.
Surveillans Epidemiologi
o Surveilans epidemiologi merupakan kegiatan analisis secara sistematis dan terus
menerus terhadap penyakit dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya
peningkatan dan penularan penyakit atau masalah-masalah kesehatan. Ketepatan
dan kelengkapan pengiriman laporan surveilans epidemiologi menjadi faktor
penting yang berhubungan dengan akurasi data.
o Berdasarkan keputusan menteri kesehatan republik indonesia nomor
1116/menkes/sk/viii/2003 tentang pedoman penyelenggaraan sistem surveilans
epidemiologi kesehatan, ruang lingkup penyelenggaraan sistem surveilans
epidemiologi kesehatan yaitu :
1.Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular Merupakan analisis terus menerus
dan sistematis terhadap penyakit menular dan faktor risiko untuk mendukung
upaya pemberantasan penyakit menular.
2.Surveilans Epidemiologi Penyakit Tidak Menular
Merupakan analisis terus menerus dan sistematis terhadap penyakit tidak
menular dan faktor risiko untuk mendukung upaya pemberantasan penyakit tidak
menular.
1) Surveilans aktif. Pada sistem surveilans ini dituntut keaktivan dari petugas
surveilans dalam mengumpulkan data, baik dari masyarakat maupun ke unit-
unit pelayanan kesehatan. Sistem surveilans ini memberikan data yang paling
akurat serta sesuai dengan kondisi waktu saat itu. Namun kekurangannya,
sistem ini memerlukan biaya lebih besar dibandingkan surveilans pasif.
2) Surveilans pasif. Dasar dari sistem surveilans ini adalah pelaporan. Dimana
dalam suatu sistem kesehatan ada sistem pelaporan yang dibangun dari unit
pelayanan kesehatan di masyarakat sampai ke pusat, ke pemegang kebijakan.
Pelaporan ini meliputi pelaporan laporan rutin program serta laporan rutin
manajerial yang meliputi logistik, administrasi dan finansial program (laporan
manajerial program). .
Obat Tradisional
a) Diarahkan pada sumber penyebab penyakit dan perbaikan fungsi serta organ-organ yang
rusak.
b) Bersifat rekonstruktif atau memperbaiki organ dan membangun kembali organ-organ,
jaringan atau sel-sel yang rusak.
c) Bersifat kuratif artinya benar-benar menyembuhkan karena pengobatannya pada sumber
penyebab penyakit.
d) Lebih diutamakan untuk mencegah penyakit, pemulihan penyakit-penyakit komplikasi
menahun, serta jenis penyakit yang memerluakan pengobatan lama.
e) Reaksi lambat tetepi bersifat konstruktif atau memperbaiki dan membangun kembali
organ-organ yang rusak.
f) Efek samping hampir tidak ada, asalkan diramu oleh herbalis yang ahli dan
berpengalaman
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 82 tahun 2014
tentang penanggulangan penyakit menular
Pasal 24
(1) Dalam rangka penyelenggaraan Penanggulangan Penyakit Menular pada KLB atau
Wabah, dibentuk Tim Gerak Cepat di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.
(2) Tim Gerak Cepat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki tugas dan fungsi:
a. melakukan deteksi dini KLB atau Wabah;
b. melakukan respon KLB atau Wabah; dan
c. melaporkan dan membuat rekomendasi penanggulangan
(3) Dalam melaksanakan tugas dan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Tim
Gerak Cepat berhak mendapatkan akses untuk memperoleh data dan informasi secara
cepat dan tepat dari fasilitas pelayanan kesehatan dan masyarakat
DAFTAR PUSTAKA
Wijayati, M. (2015). Aborsi Akibat Kehamilan Yang Tidak Diinginkan (KTD). Jurnal Studi
Keislaman, 15(1), 43–62.
Dewi Sumartini. 2017. Medikolegal pengobatan untuk diri sendiri (swamedikasi) sebagai upaya
menyembuhkan penyakit. HUKUM DAN DINAMIKA MASYARAKAT VOL.15 NO.1
OKTOBER 2017
Desrini. 2015. The benefit and risk of misoprostol use: in obstetrics and gynecology Indonesian.
Journal of Medicine and Health
Simatupang, A. 2012. Pedoman WHO tentang Penulisan Resep yang Baik sebagai Bagian
Penggunaan Obat yang Rasional WHO-Guide to Good Prescribing as Part of Rational Drug
Use.13November 2019.< https://www.researchgate.net/publication/232162506>.
Anonim. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2005: Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.
Nuryati. 2017. Farmakologi bahan ajar rekam medis dan informasi kesehatan. Jakarta :
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
Simatupang, A. 2012. Pedoman who tentang penulisan resep yang baik sebagai bagian
penggunaan obat yang rasional. Majalah Kedokteran FK UKI. 1–13.
Kementrian Kesehatan RI. 2011. BUKU pedoman penyelidikan dan penanggulangan kejadian
luar biasa penyakit menular dan keracunan pangan (pedoman epidemiologi penyakit). 176.