Anda di halaman 1dari 58

RESUME TUTORIAL

SKENARIO V

ASPEK MEDIKOLEGAL PRAKTEK KEDOKTERAN

Oleh Tutorial H
Tutor : dr. Ayu Munawaroh Aziz,M. Biomed
Anggota :
Fatih Muhammad Rifqi (192010101012)
Yudriani Nurfahimi Wikuasa (192010101027)
Latiefah Noer Widiastuti (192010101044)
Leni Alfiani (192010101067)
Hanu Neda Septian (192010101075)
Kintan Pramesti (192010101091)
Lita Nurfaiziah (192010101109)
Muhammad Farrel Ravidinata M.B (192010101118)
Nur Alfianti Putri (192010101129)
Yestin Farros Qushoyyi (192010101156)
Gavin Aditya Mukti (192010101163)
Hanifah Rosyida Herlantari (192010101177)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa, karena dengan karunia-Nyalah kami dapat
menyelesaikan “Resume Tutorial Skenario lima” di Blok dua dengan baik dan tepat waktu.

Tidak lupa kami sampaikan terima kasih kepada dokter pembimbing dr. Ayu Munawaroh Aziz
M.Biomed yang telah membantu dan membimbing kami dalam pelaksaan tutorial skenario lima.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman turorial H yang juga sudah memberi
kontribusi,baik langsung maupun tidak langsung dalam pembuatan resume ini.

Kami sebagai penulis menyadari bahwa dalam penyusunan resume ini yang masih belum sempurna,
karena itu penulis mengaharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk memperbaiki
resume ini.Penulis berharap semoga resume ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Jember, 16 November 2019

Penyusun
A. SKENARIO

ASPEK MEDIKOLEGAL DAN PRAKTEK KEDOKTERAN

Seorang wanita 25 tahun, datang ke Bidan dengan harapan menggugurkan


kandungannya. Sebelumnya sudah dicoba menggugurkan dengan berbagai obat herbal,
oleh karena persepsinya yang bagus terhadap agromedis. Oleh Bu Bidan pasien
diberikan resep. Namun saat di apotik, Apotekernya tidak mau memberi obat karena
menurutnya itu malpraktek dan obat yang diminta itu obat- obatan uterotonika yang
masuk daftar G.

B. KLARIFIKASI ISTILAH
1. Bidan
Hasil Diskusi :
a. Bidan adalah seorang perempuan yang telah menyelesaikan program pendidikan
Kebidanan baik di dalam negeri maupun di luar negeri yang diakui secara sah oleh
Pemerintah Pusat dan telah memenuhi persyaratan untuk melakukan praktik Kebidanan.
( UU No. 4 Tahun 2009 Pasal 1 ayat 3 )
b. Bidan memberikan pelayanan kebidanan kepada perempuan selama masa sebelum hamil,
masa kehamilan, persalinan, pascapersalinan, masa nifas, bayi baru lahir, bayi, balita, dan
anak prasekolah, termasuk kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana
sesuai dengan tugas dan wewenangnya.
(Undang-undang No. 4 Tahun 2019)
c. Seorang perempuan yang lulus dari Pendidikan yang diakui oleh pemerintah dan
organisasi profesi di wilayah tertentu serta memiliki kompetensi dan kualifikasi untuk
diregister, sertifikasi dan atau secara sah mendapat lisensi untuk menjalankan praktik
kebidanan
(IBI, Ikatan Bidan Indonesia)
d. Seseorang perempuan yang telah menyelesaikan program Pendidikan bidan yang diakui
oleh negara serta memperoleh kualifikasi dan diberi izin untuk menjalankan praktik
kebidanan di negeri itu.
(Jurnal Bidan Diah)

2. Resep
Hasil Diskusi :

a. Suatu permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi atau dokter hewan kepada apoteker untuk
membuat obat dalam bentuk sediaan tertentu dan menyerahkannya kepada pasien.
(Jurnal Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas)
b. Permintaan tertulis dari dokter atau dokter gigi, kepada apoteker, baik dalam bentuk paper
maupun electronic untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan
yang berlaku.
(Peraturan menteri kesehatan ri nomor 73 tahun 2016, standar pelayanan kefarmasian di
apotek)
c. Keterangan dokter tentang obat serta takarannya, yang harus dipakai oleh si sakit dan
dapat ditukar dengan obat di apotek, keterangan tentang bahan dan cara meracik obat
(KBBI)

3. Malpraktek

Hasil Diskusi :

a. Menurut Azrul Azwar


 Pertama, setiap kesalahan professional yang diperbuat oleh dokter, oleh karena pada
waktu melakukan pekerjaan professional, tidak memeriksa, tidak menilai, tidak
berbuat, atau meninggalkan hal-hal yang diperiksa, dinilai, diperbuat atau dilakukan
pleh dokter pada umumnya, di dalam situasi dan kondisi, yang sama
 Kedua, setiap kesalahan yang diperbuat oleh dokter, oleh karena melakukan pekerjaan
dokter di bawah standar yang sebenarnya secara rata-rata dan masuk akal, dapat di
lakukan oleh setiap dokter dalam situasi atau tempat yang sama.
 Ketiga, setiap kesalahan professional diperbuat oleh seorang dokter, yang di dalamnya
termasuk kesalahan karena perbuatan-perbuatan yang tidak masuk akal serta
kesalahan karena keterampilan ataupun kesetiaan yang kurang dalam
menyelenggarakan kewajiban atau dan atau pun kepercayaan professional yang
dimilikinya.
(Jurnal Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman)

b. Malpraktek adalah kelalaian seorang doker atau petugas medis untuk menerapkan
tingkat keterampilan dan pengetahuannya di dalam memberi pelayanan pengobatan
dan perawatan terhadap seorang pasien yang lazimnya diterapkan dalam mengobati
dan merawat orang sakit atau terluka di lingkungan wilayah yang sama.

Dianggap melakukan malpraktek apabila :


i. Melakukan sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang
tenaga kesehatan.
ii. Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melalaikan
kewajiban.
iii. Melanggar suatu ketentuan menurut atau berdasar peraturan perundang-
undangan.
(drg. Simson, M.Si-FKG USU)

c. Kelalaian dari seseorang dokter atau tenaga keperawatan (perawat dan bidan) untuk
mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat
pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran
dilingkungan yang sama.
(Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).

4. Daftar G

Hasil Diskusi :

a. G = gevaarlijk yang artinya berbahaya


b. Obat keras, yaitu semua obat yang pada bungkus luarnya oleh si pembuat disebutkan, bahwa
obat hanya boleh diserahkan dengn resep dokter.
(Keputusan Menteri Nomor 02396/A/SK/VIII/1989)
c. Obat yang hanya dapat dibeli di apotik atas resep dokter dan dapat diulangi tanpa resep baru,
jika dokter menyatakan pada resep “boleh diulangi”
d. Obat yang memiliki tanda khusus untuk obat keras adalah lingkaran bulat berwarna merah
dengan garis tepi berwarna hitam dengan huruf K yang menyentuh garis tepi.
( Pasal 3 pada Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 02396/A/SK/VIII/1989 )
5. Uterotonika

Hasil Diskusi :

a. Obat yang merangsang kontraksi uterus


b. Obat yang menyebabkan respon bertingkat pada kehamilan, mulai dari kontraksi uterus
spontan, ritmis sampai kontraksi tetanidan efek samping lainnya.
c. Obat yang dapat meningkatkan motilitas (kemampuan untuk bergerak/kontraksi) uterus
dengan merangsang kontraksi otot polos uterus
d. Obat yang digunakan untuk :
i. Induksi,
ii. Penguatan persalinan,
iii. Pencegahan serta penanganan pendarahan post partum (persalinan),
iv. Pengendapan perdarahan akibat abortus inkompletikus (keguguran dengan janin tersisa
di dalam rahim/tidak seluruh janin ikut luruh)
v. Penanganan aktif pada kala persalinan

6. Medikolegal

Hasil Diskusi :

a. Suatu ilmu terapan yang melibatkan dua aspek ilmu :


medico : ilmu kedokteran
legal : ilmu hukum.
b. Medikolegal berpusat pada standar pelayanan medis dan standar pelayanan operasional dalam
bidang kedokteran dan hukum – hukum yang berlaku pada umumnya dan hukum – hukum
yang bersifat khusus seperti kedokteran dan kesehatan pada khususnya.
( Jurnal UNUD )
c. Mediko Legal adalah merupakan bidang interdisipliner antara kesehatan/kedokteran dengan
ilmu hukum. Pelayanan mediko legal adalah bentuk pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh
tenaga medis dengan menggunakan ilmu dan teknologi kedokteran atas dasar kewenangan
yang dimiliki untuk kepentingan hukum dan untuk melaksanakan peraturan yang berlaku.

7. Obat Herbal

Hasil Diskusi :
a. Obat herbal adalah campuran dari yang berasal dari tumbuh-tumbuhan (obat tradisional)
kemudian diolah menjadi satu produk dan digunakan untuk pengobatan.
(Jurnal UNUD)
b. Obat herbal atau herbal medicine merupakan bahan baku atau sediaan yang berasak dari
tumbuhan yang memiliki efek terapi atau efek lain yang bermanfaat bagi kesehatan manusia.
(Jurnal UNEJ FKP dan FK)
c. Obat herbal adalah obat yang bersifat organik atau alami, yang diambil dari saripati tumbuhan
dan mempunyai manfaat untuk pengobatan, tanpa ada campuran bahan kimia buatan (sintetis)
dan tanpa campuran hewan. Obat Herbal harus berasal dari tumbuhan (nabati) misalnya jahe,
temulawak, kunyit, bawang putih, ginseng dan lain-lain.
(Wikipedia, 2019)

C. RUMUSAN MASALAH
1. Apa dampak dari abortus ?
2. Mengapa tindakan memberi obat tersebut merupakan malpraktek ?
3. Apa perbedaan obat herbal dan obat kimia?
4. Apa saja macam macam obat uterotonika?
5. Siapa yang berwenang memberikan resep?
6. Mengapa obat uterotonika termasuk daftar G ?
7. Apa hubungan obat herbal dengan persepsi agromedis

D. PEMBAHASAN RUMUSAN MASALAH


1. Apa dampak dari abortus ?
Hasil diskusi :
 Dampak aborsi di Indonesia menurut jurnal Guttmacher Institute 2008
o Kematian ibu → AKI di Indonesia karena aborsi mencapai 16%
o Komplikasi meliputi perdarahan berat, infeksi dan keracunan dari bahan yang dipakai,
kerusakan alat kemaluan, kerusakan rahim, dan perforasi rahim.
 Jurnal NCBI : The Effect of Pregnancy Termination on Future Reproduction
o Kehamilan selanjutnya berisiko prematur/BBLR (jumlah tidak signifikan)
o Kehamilan selanjutnya, bayi mengalami kelainan congenital
 American Pregnancy Association
o Deperesi dan gangguan mental meliputi rasa menyesal, kemarahan, rasa bersalah, malu,
kesepian, pengasingan diri, kehilangan kepercayaan diri, pikiran bunuh diri, gangguan
makan, serangan panik, dll.
o Perempuan dengan risiko tinggi :
- Perempuan dengan gangguan psikologi dan mental
- Perempuan yang dipaksa
- Perempuan dengan kepercayaan agama yang melarang aborsi
- Perempuan dengan pandangan moral yang melarang aborsi
- Perempuan yang aborsinya dilakukan di akhir kehamilan
- Perempuan tanpa dukungan
- Perempuan yang tujuan aborsinya karena kelainan pada janin
Dampak Pada Kesehatan Wanita:
• Kerusakan leher rahim , Hal ini terjadi karena leher Rahim robek akibat penggunaan
alat aborsi.
• Infeksi, Penggunaan peralatan medis yang tidak steril kemudian dimasukkan ke dalam
rahim bisa menyebabkan infeksi, selain itu infeksi juga disebabkan jika masih ada bagian
janin yang tersisa di dalam rahim.
• Pendarahan Hebat, Ini adalah resiko yang sering dialami oleh wanita yang melakukan
aborsi, pendarahan terjadi karena leher rahim robek dan terbuka lebar. Sehingga dapat
menyebabkan kehabisan darah dan jika tidak segera tertangani dapat menyebabkan
kematian.
• Resiko Kanker, Karena leher rahim yang robek dan rusak bisa mengakibatkan resiko
kanker serviks, kanker payudara, indung telur dan hati.

Dampak psikologis:
1) Kecemasan Tinggi
Mereka yang melakukan aborsi pasti akan dilanda resah dan juga marah di awal atau
ketika pertama terjadi.Cara Menghilangkan Kecemasan Berlebihan tidak akan bisa
dilakukan oleh ibu yang melakukan aborsi. Aborsi sama saja dengan membunuh seorang
nyawa manusia. Sebagian besar para pelaku aborsi akan mengalami tingkat kecemasan
diatas normal, dibandingkan perempuan lainnya. Kecemasan akan berdampak pada fisik
mereka juga.

2). Trauma Melihat Tanggal Aborsi


Karena rasa bersalahnya seringkali wanita yang melakukan aborsi bahkan takut untuk
melihat tanggal-tanggal tertentu, dimana ia bisa mengingat hari ketika ibu tersebut
melakukan aborsi. Karena hal tersebut bisa menyebabkan sang ibu terus menerus trauma.
Trauma ini bisa saja berkepanjangan dan berdampak pada kehidupan wanitanya di masa
depan. Tak dipungkiri trauma ini sering menyebabkan seorang wanita tak pernah lagi
hamil atau bahkan menikah, atau bahkan tidak ada pria yang ingin menikahi mereka.

3). Keinginan untuk tidak hamil


Seseorang yang mengalami atau melakukan aborsi ketika ia menikah bisa saja tidak ingin
hamil kembali. Hal ini karena mengingat rasa bersalah yang ia lakukan setelah
menghilangkan nyawa dan takut merasa salah dan mengalami karma atau akibat dari
menghilangkan bayinya, meskipun sudah menikah.
Selain itu, mereka yang pernah melakukan aborsi akan merasa tidak adil dan ada yang
salah jika melakukan hal seperti aborsi namun mereka hamil kembali meskipun setelah
status pernikahan. Karena ia menganggap bahwa ia telah membunuh anak pertamanya.

4). Ingin Bunuh Diri


Karena rasa bersalah yang tinggi tak jarang ibu yang pernah melakukan aborsi ingin
membunuh dirinya karena telah melakukan hal buruk atau amoral. Sering juga, mereka
tidak bisa mengendalikan diri dan merasa tidak pantas untuk hidup.
Bunuh diri sudah menjadi kasus terbesar yang sering terjadi ketika seorang wanita
melakukan aborsi, terutama jika aborsi dilakukan pada anak remaja yang melakukan seks
bebas atau mereka yang belum dewasa.

5). Emosi yang tidak stabil


Saat seseorang melakukan hal yang dipaksa atau tidak diingkan namun harus dilakukan
menyebabkan ibu atau wanita tersebut mengalami emosi yang tidak stabil. Emosi dalam
Psikologi merupakan jiwa atau hal penting dalam seorang manusia. Jenis Emosi yang
paling sering muncul tentu saja marah dan dendam serta sedih.

6). Gangguan Aktifitas


Tidak sedikit wanita yang memiliki tubuh yang semakin gemuk atau bahkan semakin
kurus setelah melakukan aborsi. Hal ini terjadi karena porsi makan serta pola makan yang
tidak lagi benar dan juga dilakukan karena faktor tertekan atau stress yang berat. Ada
sebagian wanita merasa sangat sedih dan tidak mau makan, terutama mereka yang
melakukan aborsi karena paksaan orang tua atau kekasihnya atau suaminya. Tetapi,
sebagian lagi melampiaskan kesedihannya dengan banyak makan.

7). Menggunakan Obat Terlarang


Untuk melupakan kesedihan dan rasa tertekannya beberapa wanita yang melakukan aborsi
sengaja mengonsumsi obat terlarang, padahal faktanya hal ini membahayakan rahim sang
ibu karena belum kering atau dipaksa mengeluarkan janin. Selain itu, mereka beranggapan
bahwa dengan mengonsumsi obat terlarang mereka akan lupa seperti apa kejadian yang
sudah mereka lalui dan mereka lakukan. Untuk menutupi rasa bersalahnya, seringkali
narkoba jadi pelarian tercepat.

8). Tidak Bisa Menikmati Seks


Karena terbayang dampak dari seks bebas yakni hamil dan mengharuskan para wanita
tersebut untuk aborsi maka paska aborsi meskipun sudah menikah mereka tidak akan bisa
menikmati seks dengan bebas. Bukan tanpa sebab, mereka bisa jadi merasa takut atau
gagal ataupun merasa bersalah akibat seks bebas yang dilakukan dulu.

9). Rasa Bersalah


Seperti yang dijelaskan oleh Dr. Paul dan Teri Reisser, wanita yang melakukan aborsi
akan dihantui rasa bersalah. Rasa bersalah ini akan terus dirasakannya karena ia merasa
telah gagal melindungi anaknya terutama mereka yang mengalami paksaan aborsinya.

10). Malu
Terakhir yakni menanggung rasa malu yang menjadi Dampak Psikologis Akibat Seks
Bebas juga. Teori Kepercayaan Diri mengatakan bahwa kepercayaan diri akan mati
seketika apabila seseorang melakukan kesalahan besar didepan umum dan semua orang
melakukan judging atau tuduhan pada orang tersebut. Dibanding salah dan dibenahi, malu
dapat meruntuhkan kepercayaan diri seseorang dan seringkali yang melakukan aborsi
merupakan hal buruk dan dianggap mempermalukan.

Dijatuhi hukuman
Kejahatan pengguguran dan pembunuhan terhadap kandungan (doodslag op een ongeborn
vrucht) diatur dalam KUHP pasal-pasal berikut: 299, 346, 347, 348, 349. 350
2. Mengapa tindakan memberi obat tersebut merupakan malpraktek ?
Hasil Diskusi :
Pada skenario, ibu datang dan meminta aborsi tanpa adanya indikasi yang jelas. Bidan
juga disebutkan tidak melakukan pemeriksaan lebih lanjut dan malah langsung memberikan
resep untuk obat uterotonika yang jelas-jelas berbahaya jika dikonsumsi pada saat kehamilan.
Tindakan tersebut salah karena bidan tidak berhak untuk memberikan resep kepada
pasien (bukan wewenangnya), yang berhak menuliskan resep adalah dokter, dokter gigi
(hanya sebatas mulut dan gigi), dokter hewan (sebatas hanya pengobatan untuk hewan. Selain
itu, bidan tersebut membantu pasien tersebut melakukan aborsi.
Ini telah melanggar KHUP dan UU No. 36 tahun 2009 :
Pasal 349 : “ Jika seorang dokter, bidan, atau juru obat membantu melakukan kejahatan
berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan
yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu
dapat ditambah dengan 1/3 dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana
kejahatan dilakukan”
3. Apa perbedaan obat herbal dan obat kimia?
Hasil Diskusi :
 Obat kimia: Obat yang diolah secara turun temurun dari nenek moyang kita dengan
bahan alami dari tanpa campuran kimia

• Lebih diarahkan untuk menghilangkan gejala-gejala sakinya saja


• Bersifat symptomatis yang hanya untuk mengurangi penderitaan saja
• Bersifat paliatif artinya penyembuhan yang bersifat spekulatif, bila tepat penyakit akan
sembuh, bila tidak tepat akan menjadi racun yang berbahaya.
• Lebih diutamakan untuk penyakit-penyakit yang bersifat akut (butuh pertolongan
segera) seperti asma akut, diare akut, patah tulang, infeksi akut dan lain-lain.
• Reaksi cepat, namun bersifat destruktif artinya melemahkan organ tubuh lain, terutama
jika dipakai terus-menerus dalam waktu yang sama
• Efek samping secara langsung atau terakumulasi, karena obat kimia terdiri dari bahan
kimia yang murni tunggal ataupun campuran. Bahan kimia tidak bersifat organis (alami)
dan murni, namun bersifat tajam dan reaktif (mudah bereaksi).
 Obat herbal: Obat yang mempunyai campuran bahan kimia yang tidak disintesis dalam
tubuh.
• Diarahkan pada sumber penyebab penyakit dan perbaikan organ yang rusak.
• Bersifat rekonstruksi atau memperbaiki organ dan membangun kembali organ-organ,
jaringan atau sel yang rusak.
• Bersifat kuratif, artinya benar-benar menyembuhkan karena pengobatannya pada
sumber penyakit.
• Lebih diutamakan untuk pencegahan penyakit, pemulihan penyakit, penyakit
komplikasi menahun.
• Reaksi lambat tetapi bersifat konstruktif atau memperbaiki atau membangun kembali
organ-organ yang rusak.
• Efek samping hampir tidak ada, asal diramu oleh herbalis yang handal dan
berpengalaman dan jika penggunaannya benar. Hal ini karena tanaman obat bersifat
organis dan kompleks yang cocok dengan tubuh manusia. Sehingga tanaman obat bisa
disamakan dengan makanan.
4. Apa saja macam macam obat uterotonika?
Hasil Diskusi :
Uterotonika diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu.
a. Matergin
Merupakan alkaloid ergot dengan mekanisme kerja mempengaruhi otot uterus
berkontraksi terus-menerus sehingga memperpendek kala uri. Contoh obat : metal
ergometrin, Hydrogen meleat.
b. Oksitosin
Merupakan hormon peptide yang disekresi oleh pituitary posterior yang
mneyebabkan ejeksi air susu pada wnaita dalam masa laktasi. Contoh obat : Tablet
oksitosina pitosi tablet.

Oksitosin Sintetik

Oksitosin ( Syntocinon ) dapat diberikan intramuskuler, intravena,


sublingual atau intranasal. Oksitosin bekerja dalam waktu satu menit setelah
pemberian intravena , peningkatan kontraksi uterus dimulai hampir seketika,
kemudidan menjadi stabil selama 15 – 60 menit , setelah penghentian infus
tersebut kontraksi uterus masih berlangsung selama 20 menit.

c. Misoprosol
Merupakan suatu analog prostaglandin yang menghambat sekresi asam
lambung dan menaikkan proteksi mukosa lambung. Contoh obat : misoprosol 200
Indikasi

Oksitosik : Sebagai stimultan uterus pada perdarahan paska persalinan atau


paska abortus, yaitu :
Induksi partus aterm
Mengontrol perdarahan dan atoni uteri pasca persalinan.
Merangsang konstraksi setelah operasi Caesar/operasi uterus lainnya
Induksi abortus terapeutik
Uji oksitoksin

5. Siapa yang berwenang memberikan resep?


Hasil Diskusi :
Berdasarkan surat keputusan disalah satu rumah sakitr berdasrkan beberapa undang
undang.
Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
2. Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1963 tentang Farmasi.
3. Peraturan Pemerintah RI Nomor 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.
4. Undang-Undang RI Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
5. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197 tahun 2004 tentang Standar
Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN :
KESATU : Petugas yang menuliskan resep adalah dokter, dokter gigi yang
berkompeten dan memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Ijin Praktek (SIP).
KEDUA : Perawat dan bidan diijinkan atau diperbolehkan untuk
menuliskan resep yang berupa alat kesehatan dan cairan infus dasar.
KETIGA : Daftar nama petugas yang berkompeten dalam menuliskan
resep terlampir dalam surat keputusan ini.
KELIMA : Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan
evaluasi minimal 1 tahun sekali.
KEENAM : Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka
akan dilakukakan perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.

MEMUTUSKAN
MENETAPKAN :
KESATU : Petugas yang berhak memberikan obat kepada pasien adalah
apoteker, Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK) dan perawat.
KEDUA : Apoteker yang berhak memberikan obat kepada pasien adalah
Apoteker yang berkompeten dan memiliki Surat Tanda Registrasi apoteker (STRA) dan
Surat Ijin Praktek Apoteker (SIPA).
KETIGA : Apabila Apoteker berhalangan hadir atau tidak ada di tempat
maka obat diberikan oleh TTK yang berkompeten terlatih dan memiliki Surat Tanda
Registrasi Teknis kefarmasian (STRTTK) dan Surat Ijin Kerja Tenaga Teknis
Kefarmasian (SIKTTK).
KEEMPAT : Perawat yang berhak memberikan obat kepada pasien adalah
perawat yang berkompeten dan memiliki Surat Tanda Registrasi (STR)
KELIMA : Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan
evaluasi minimal 1 tahun sekali.
KEENAM : Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka
akan dilakukakan perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.
Jadi secara umum, yang berwenang memberikan obat adalah :
• Dokter
• Dokter spesialis
• Dokter Gigi (perihal gigi dan mulut)
• Dokter hewan (perihal hewan)
• Bidan dengan syarat :
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR
900/MENKES/SK/VII/2002
TENTANG REGISTRASI DAN PRAKTIK BIDAN
Pasal 17
Dalam keadaan tidak terdapat dokter yang berwenang pada wilayah tersebut, bidan
dapat memberikan pelayanan pengobatan pada penyakit ringan bagi ibu dan anak sesuai
dengan kemampuannya.
Pasal 18
Bidan dalam memberikan pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 salah
satunya dapat berwenang untuk pemberian obat-obat terbatas, melalui lembaran
permintaan obat sesuai dengan Formulir VI terlampir; obat yang dimaksud seperti obat
selama kehamilan ibu dan proses melahirkan.

6. Mengapa obat uterotonika termasuk daftar G ?


Hasil Diskusi :
Karena di dalam obat utero tonika terdapat Ergometrin yang dapat berfungsi
menstimulasi reseptor alfa pada system saraf dan mengakibatkan kontraksi uterus, dan
kriteria Obat Daftar G salah satunya obat yang dapat mempengaruhi kinerja system saraf

7. Apa hubungan obat herbal dengan persepsi agromedis ?


Hasil Diskusi :
Hubungan obat herbal dengan agromedis adalah karena obat herbal sendiri terbuat dari
dedaunan, kulit kayu, buah, bunga, dan berbagai bahan dasar dalam pertanian sehingga obat
herbal merupakan salah satu contoh penerapan agromedis.
Pelaku atau pelaksana agroindustri erat kaitannya dengan alam sebagai lingkungan
sekitar mereka. Penggunaan tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan sebagai bahan dasar obat,
atau yang biasa disebut dengan obat herbal, sudah begitu melekat karena cara memperolehnya
mudah dan sesuai dengan ekonomi sebagian besar dari mereka. Maka dari itu, pada ruang
lingkup agromedis dipelajari juga tentang obat herbal.
Adanya kecenderungan pola hidup kembali ke alam (back to nature)dengan keyakinan
bahwa mengkomsumsi obat alami relatif lebih aman dibanding dengan obat sintetik, maka
berdampak tingginya permintaan dunia akan obat alami sehingga prospek pasar tumbuhan
obat Indonesia di dalam maupun di luar negeri semakin besar peluangnya.
Learning Objective

1. Farmakokinetik, Farmakodinamik, dan Farmakoterapi


2. Klasifikasi Obat
3. Cara Penulisan Resep
4. Terminologi Resep
5. Terapi Rasional
6. Perbedaan Obat Kimia dan Obat Herbal
7. Malpraktik, Abortus, dan Sanksi
8. Persepsi Agromedis

Pembahasan Learning Objective

1. Farmakokinetik, Farmakodinamik, dan Farmakoterapi


FARMAKOKINETIK
Farmakokinetik adalah proses pergerakan obat untuk mencapai kerja obat. Empat proses yang
termasuk di dalamnya adalah: absorpsi, distribusi, metabolisme (atau biotransformasi), dan
ekskresi (atau eliminasi).
1. Absorpsi
Absorpsi adalah pergerakan partikel-partikel obat dari saluran gastrointestinal ke dalam cairan
tubuh melalui absorpsi pasif, absorpsi aktif, atau pinositosis. Kebanyakan obat oral diabsorpsi di
usus halus melalui kerja permukaan vili mukosa yang luas. Jika sebagian dari vili ini berkurang,
karena pengangkatan sebagian dari usus halus, maka absorpsi juga berkurang. Obat-obat yang
mempunyai dasar protein, seperti insulin dan hormone pertumbuhan, dirusak di dalam usus halus
oleh enzim-enzim pencernaan. Absorpsi obat dipengaruhi oleh aliran darah, rasa nyeri, stres,
kelaparan, makanan, dan pH.

Faktor-faktor yg mempengaruhi absorpsi

1. Sifat fisikokimia obat (kelarutan, ukuran molekul/ partikel ,dll)


2. Kemampuan difusi melewati sel membrane
3. Konsentrasi obat, makin tinggi konsentrasi obat dalam larutan makin cepat obat diabsorpsi
4. Sirkulasi pada letak absorpsi Pada letak absorbsi yang mengandung lebih banyak pembuluh
darah maka absorpsi obat akan lebih cepat dan lebih banyak. Untuk memperlambat absorbsi
obat dapat dilakukan dengan mempersempit pembuluh darah (vasokonstriksi)
5. Luas permukaan kontak obat Semakin luas permukaan kontak obat maka obat akan lebih cepat
diabsorpsi
6. pH tempat obat di absorbsi
7. Bentuk sediaan obat dan formulasi obat
8. Rute pemakaian obat untuk obat oral : ada tidaknya makanan di saluran cerna, kecepatan
pengosongan lambung, motiltas usus
2. Distribusi
Distribusi adalah proses di mana obat menjadi berada dalam cairan tubuh dan jaringan tubuh.
Distribusi obat dipengaruhi oleh aliran darah, afinitas (kekuatan penggabungan) terhadap
jaringan, dan efek pengikatan dengan protein.

Distribusi dipengaruhi oleh :

 sifat fisikokimiawi (kelarutan dalam lemak dan air, BM, derajat disosiasi)
 keterikatan obat pada protein plasma (albumin)
 faktor faali tubuh (curah jantung, vaskularisasi atau aliran darah dan lipid content jaringan)

3. Metabolisme atau Biotransformasi


Hati merupakan tempat utama untuk metabolisme. Kebanyakan obat di-inaktifkan oleh enzim-
enzim hati dan kemudian diubah atau ditransformasikan oleh enzim-enzim hati menjadi metabolit
inaktif atau zat yang larut dalam air untuk diekskresikan. Ada beberapa obat ditransformasikan
menjadi metabolit aktif, sehingga menyebabkan peningkatan respons farmakologik. Penyakit-
penyakit hati, seperti sirosis dan hepatitis, mempengaruhi metabolisms obat.
4. Ekskresi atau Eliminasi
Rute utama dari eliminasi obat adalah melalui ginjal, rute-rute lain meliputi empedu, feses, paru-
paru, saliva, keringat, dan air susu ibu. Obat bebas, yang tidak berikatan, yang larut dalam air, dan
obat-obat yang tidak diubah, difiltrasi oleh ginjal. Obat-obat yang berikatan dengan protein tidak
dapat difiltrasi oleh ginjal. Sekali obat dilepaskan ikatannya dengan protein, maka obat menjadi
bebas dan akhirnya akan diekskresikan melalui urin. Faktor lain yang memengaruhi ekskresi obat
adalah pH urin, yang bervariasi dari 4,5 sampai 8. Urin yang bersifat asam akan meningkatkan
eliminasi obat-obat yang bersifat basa lemah.

FARMAKODINAMIK
Farmakodinamik mempelajari efek obat terhadap fisiologi dan biokimia selular dan mekanisme
kerja obat. PARAMETER KERJA OBAT:
1. Mula, Puncak, dan Lama Kerja
Mula kerja dimulai pada waktu obat memasuki plasma dan berakhir sampai mencapai konsentrasi
efektif minimum (MEC= minimum effective concentration). Apabila kadar obat
dalam plasma atau serum menurun di bawah ambang atau MEC, maka ini berarti dosis obat
yang memadai tidak tercapai. Namun demikian, kadar obat yang terlalu tinggi dapat
menyebabkan toksisitas). Puncak kerja terjadi pada saat obat mencapai konsentrasi tertinggi
dalam darah atau plasma. Lama kerja adalah lamanya obat mempunyai efek farmakologis.
Beberapa obat menghasilkan efek dalam beberapa menit, tetapi yang lain dapat memakan
waktu beberapa jam atau hari.
2. Indeks Terapeutik dan Batasan Terapeutik
Keamanan obat merupakan hal yang utama. Indeks terapeutik (TI), yang perhitungannya akan
diuraikan dalam bagian ini, memperkirakan batas keamanan sebuah obat dengan menggunakan
rasio yang mengukur dosis terapeutik efektif pada 50% hewan (ED50) dan dosis letal
(mematikan) pada 50% hewan (LD50). Semakin dekat rasio suatu obat kepada angka 1, semakin
besar bahaya toksisitasnya. Obat-obat dengan indeks terapeutik rendah mempunyai batas
keamanan yang sempit. Dosis obat mungkin perlu penyesuaian dan kadar obat dalam plasma
(serum) perlu dipantau karena sempitnya jarak keamanan antara dosis efektif dan dosis letal.
Obat-obat dengan indeks terapeutik tinggi mempunyai batas keamanan yang lebar dan tidak
begitu berbahaya dalam menimbulkan efek toksik. Kadar obat dalam plasma (serum) tidak perlu
dimonitor secara rutin bagi obat-obat yang mempunyai indeks terapeutik yang tinggi. Batas
terapeutik dari konsentrasi suatu obat dalam plasma harus berada di antara MEC (konsentrasi obat
terendah dalam plasma untuk memperoleh kerja obat yang diinginkan), dan efek toksiknya.
3. Kadar Puncak dan Terendah
Kadar obat puncak adalah konsentrasi plasma tertingi dari sebuah obat pada waktu tertentu. Kadar
terendah adalah konsentrasi plasma terendah dari sebuah obat dan menunjukkan kecepatan
eliminasi obat. Kadar terendah diambil beberapa menit sebelum obat diberikan, tanpa memandang
apakah diberikan secara oral atau intravena. Kadar puncak menunjukkan kecepatan absorpsi suatu
obat, dan kadar terendah menunjukkan kecepatan eliminasi suatu obat. Kadar puncak dan
terendah diperlukan bagi obat-obat yang memiliki indeks terapeutik yang sempit dan dianggap
toksik, seperti aminoglikosida (antibiotika). Jika kadar terendah terlalu tinggi, maka toksisitas
akan terjadi.
4. Dosis Pembebanan
Jika ingin didapatkan efek obat yang segera, maka dosis awal yang besar, dikenal sebagai dosis
pembebanan, dari obat tersebut diberikan untuk mencapai MEC yang cepat dalam plasma. Setelah
dosis awal yang besar, maka diberikan dosis sesuai dengan resep per hari. Digoksin, suatu
preparat digitalis, membutuhkan dosis pembebanan pada saat pertama kali diresepkan. Digitalisasi
adalah istilah yang dipakai untuk mencapai kadar MEC untuk digoksin dalam plasma dalam
waktu yang singkat.
5. Efek Sampling, Reaksi yang Merugikan, dan Efek Toksik
Efek samping adalah efek fisiologis yang tidak berkaitan dengan efek obat yang diinginkan.
Semua obat mempunyai efek samping baik yang diinginkan maupun tidak. Bahkan dengan dosis
obat yang tepat pun, efek samping dapat terjadi dan dapat diketahui bakal terjadi sebelumnya.
Efek samping terutama diakibatkan oleh kurangnya spesifitas obat tersebut, seperti betanekol
(Urecholine). Dalam beberapa masalah kesehatan, efek samping mungkin menjadi diinginkan,
seperti Benadryl diberikan sebelum tidur, karena efek sampingnya yang berupa rasa kantuk
menjadi menguntungkan. Tetapi pada saat-saat lain, efek samping dapat menjadi reaksi yang
merugikan. Istilah efek samping dan reaksi yang merugikan kadang-kadang dipakai bergantian.
Reaksi yang merugikan adalah batas efek yang tidak diinginkan (yang tidak diharapkan dan
terjadi pada dosis normal) dari obat-obat yang mengakibatkan efek samping yang ringan sampai
berat, termasuk anafilaksis (kolaps kardiovaskular). Reaksi yang merugikan selalu tidak
diinginkan.
Efek toksik, atau toksisitas suatu obat dapat diidentifikasi melalui pemantauan batas terapeutik
obat tersebut dalam plasma (serum). Tetapi, untuk obat-obat yang mempunyai
indeks terapeutik yang lebar, batas terapeutik jarang diberikan. Untuk obat-obat gang
mempunyai indeks terapeutik sempit, seperti antibiotika aminoglikosida dan antikonvulsi,
batas terapeutik dipantau dengan ketat. Jika kadar obat melebihi batas terapeutik, maka
efek toksik kemungkinan besar akan terjadi akibat dosis yang berlebih atau penumpukan
obat.
6. Uji Klinik Obat
Tahap-tahap uji klinik obat adalah sebagai berikut.
a. Fase I: pengujian obat untuk pertama kali pada manusia, yang diteliti adalah keamanan
obat.
b. Fase II: pengujian obat untuk pertama kali pada sekelompok kecil penderita, dengan
tujuan melihat efek farmakologik. Dapat dilakukan secara komparatif dengan obat
sejenis ataupun plasebo. Jumlah responden 100 - 200 orang
c. Fase III: memastikan obat benar-benar berkhasiat bila dibandingkan dengan plasebo,
obat yang sama tetapi dosis beda, dan obat lain dengan indikasi sama. Jumlah
responden minimal 500 orang.
d. Fase IV: Post Marketing Drug Surveillance, dengan tujuan: menentukan pola
penggunaan obat di masyarakat, efektivitas dan keamanannya.

FARMAKOTERAPI
Farmakoterapi adalah ilmu yang mempelajari penggunaan obat untuk mengobati penyakit atau
gejalanya.

2. Klasifikasi Obat

 Dalam dunia farmasi obat dikelompokkan menjadi beberapa golongan, yaitu:


1. Penggolongan obat berdasarkan jenis,
2. Penggolongan obat berdasarkan mekanisme kerja obat,
3. Penggolongan obat berdasarkan tempat atau lokasi pemakaian,
4. Penggolongan obat berdasarkan efek yang ditimbulkan, dan
5. Penggolongan obat berdasarkan asal obat dan cara pembuatannya.
Berikut penjelasan secara rinci.

1. Penggolongan Obat Berdasarkan Jenis


Penggolongan obat berdasarkan jenis tertuang dalam Permenkes RI Nomor
917/Menkes/X/1993 yang kini telah diperbaharui oleh Permenkes RI Nomor 949/
Menkes/Per/VI/2000. Penggolongan obat bertujuan untuk meningkatkan keamanan dan
ketepatan penggunaan serta keamanan distribusi. Penggolongan obat ini terdiri atas:
a. Obat bebas, yaitu obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa resep
dokter. Obat ini ter golong obat yang paling aman, dapat dibeli tanpa resep di apotik
dan bahkan juga dijual di warung-warung. Obat bebas biasanya digunakan untuk
mengobati dan meringankan gejala penyakit. Tanda khusus untuk obat bebas adalah
berupa lingkaran berwarna hijau dengan garis tepi berwarna hitam.
Contoh: rivanol, tablet paracetamol, bedak salicyl, multivitamin, dan lain-lain.
b. Obat bebas terbatas, adalah segolongan obat yang dalam jumlah tertentu aman
dikonsumsi namun jika terlalu banyak akan menimbulkan efek yang berbahaya. Obat
ini dulunya digolongkan kedalam daftar obat W. Tidak diperlukan resep dokter untuk
membeli obat bebas terbatas. Disimbolkan dengan lingkaran biru tepi hitam.
Biasanya obat bebas terbatas memiliki peringatan pada kemasannya sebagai berikut:
P No. 1 : Awas! Obat Keras. Bacalah aturan, memakainya ditelan
P No. 2: Awas! Obat Keras. Hanya untuk dikumur, jangan ditelan
P No. 3: Awas! Obat Keras. Hanya untuk bagian luar dari badan
P No. 4: Awas! Obat Keras. Hanya untuk dibakar
P No. 5: Awas! Obat Keras. Tidak boleh ditelan

P No. 6: Awas! Obat Keras. Obat Wasir, jangan ditelan

Contoh: obat antimabuk seperti antimo, obat anti flu seperti noza, decolgen, dan lain-
lain.
c. Obat wajib apotek, adalah obat keras yang dapat diserahkan oleh apoteker pengelola
apotek tanpa resep dokter. Obat wajib apotek dibuat bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan masyarakat dalam menolong dirinya sehingga tercipta budaya pengobatan
sendiri yang tepat, aman, dan rasional. Contoh:
d. Obat keras, adalah obat yang berbahaya sehingga pemakaiannya harus di bawah
pengawasan dokter dan obat hanya dapat diperoleh dari apotek, puskesmas dan fasilitas
pelayanan kesehatan lain seperti balai pengobatan dan klinik dengan menggunakan
resep dokter. Obat ini memiliki efek yang keras sehingga jika digunakan sembarangan
dapat memperparah penyakit hingga menyebabkan kematian. Obat keras dulunya
disebut sebagai obat daftar G. Obat keras ditandai dengan lingkaran merah tepi hitam
yang ditengahnya terdapat huruf “K” berwarna hitam. Contoh: antibiotik seperti
amoxicylin, obat jantung, obat hipertensi dan lain-lain.
e. Psikotropika dan narkotika. Psikotropika merupakan zat atau obat yang secara
alamiah ataupun buatan yang berkhasiat untuk memberikan pengaruh secara selektif
pada sistem syaraf pusat dan menyebabkan perubahan pada aktivitas mental dan
perilaku. Obat golongan psikotropika masih digolongkan obat keras sehingga
disimbolkan dengan lingkaran merah bertuliskan huruf “K” ditengahnya. Sedangkan
narkotika merupakan obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis
maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan perubahan kesadaran dari mulai
penurunan sampai hilangnya kesadaran, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri,
dan dapat menimbulkan ketergantungan. Narkotika disimbolkan dengan lingkaran
merah yang ditengahnya terdapat simbol palang (+).

2. Penggolongan obat berdasarkan mekanisme kerja obat.


a. Obat yang bekerja pada penyebab penyakit, misalnya penyakit akibat bakteri atau
mikroba. Contoh: antibiotik.
b. Obat yang bekerja untuk mencegah kondisi patologis dari penyakit. Contoh:
vaksin, dan serum.
c. Obat yang menghilangkan simtomatik/gejala, seperti meredakan nyeri. Contoh:
analgesik.
d. Obat yang bekerja menambah atau mengganti fungsi-fungsi zat yang kurang.
Contoh: vitamin dan hormon.
e. Pemberian placebo adalah pemberian obat yang tidak mengandung zat aktif,
khususnya pada pasien normal yang menganggap dirinya dalam keadaan sakit.
Contoh: aqua pro injeksi dan tablet placebo.

3. Penggolongan obat berdasarkan lokasi pemakaian.


a. Obat dalam yaitu obat-obatan yang dikonsumsi peroral (melalui mulut). Contoh:
tablet antibiotik, parasetamol.
b. Obat luar yaitu obat-obatan yang dipakai secara topikal/tubuh bagian luar.
Contoh: sulfur salep, caladine, dan lain-lain.

4. Penggolongan obat berdasarkan efek yang ditimbulkan


a. Sistemik: obat atau zat aktif yang masuk ke dalam peredaran darah.
b. Lokal: obat atau zat aktif yang hanya berefek/menyebar/mempengaruhi bagian
tertentu tempat obat tersebut berada, seperti pada hidung, mata, kulit, dan lain-
lain.
5. Penggolongan obat berdasarkan asal obat.
a. Alamiah: obat obat yang berasal dari alam (tumbuhan, hewan dan mineral)
seperti, jamur (antibiotik), kina (kinin), digitalis (glikosida jantung). Dari hewan:
plasenta, otak menghasilkan serum rabies, kolagen.
b. Sintetik: merupakan cara pembuatan obat dengan melakukan reaksi-reaksi kimia,
contohnya minyak gandapura dihasilkan dengan mereaksikan metanol dan asam
salisilat.
 Penggolongan obat berdasarkan jenis seperti obat OTC (over the counter), obat generik, obat
generik berlogo, obat nama dagang, obat paten, obat mitu (obat me-too), obat tradisional, obat
jadi, obat baru, obat esensial, dan obat wajib apotek. Obat OTC atau over the counter adalah
sebutan umum untuk obat yang termasuk golongan obat bebas dan obat bebas terbatas, yang
digunakan untuk swamedikasi (pengobatan sendiri) atau self medication.
c. Obat Generik (unbranded drugs). Obat generik adalah obat dengan nama generik
sesuai dengan penamaan zat aktif sediaan yang ditetapkan oleh farmakope indonesia
dan INN (International non-propietary Names) dari WHO, tidak memakai nama
dagang maupun logo produsen. Contoh amoksisilin, metformin dan lain-lain.
d. Obat Generik berlogo. Obat generik berlogo adalah Obat generik yang mencantumkan
logo produsen (tapi tidak memakai nama dagang), misalkan sediaang obat generik
dengan nama amoksisilin (ada logo produsen Kimia Farma).
e. Obat Nama dagang (branded drugs). Obat nama dagang adalah obat dengan nama
sediaan yang ditetapkan pabrik pembuat dan terdaftar di departemen kesehatan negara
yang bersangkutan, obat nama dagang disebut juga obat merek terdaftar. Contoh:
amoksan, diafac, pehamoxil, dan lain-lain.
f. Obat Paten. Adalah hak paten yang diberikan kepada industri farmasi pada obat baru
yang ditemukannya berdasarkan riset Industri farmasi tersebut diberi hak paten untuk
memproduksi dan memasarkannya, setelah melalui berbagai tahapan uji klinis sesuai
aturan yang telah ditetapkan secara internasional. Obat yang telah diberi hak paten
tersebut tidak boleh diproduksi dan dipasarkan dengan nama generik oleh industri
farmasi lain tanpa izin pemilik hak paten selama masih dalam masa hak paten.
Berdasarkan U.U No 14 tahun 2001, tentang paten, masa hak paten berlaku 20 tahun
(pasal 8 ayat 1) dan bisa juga 10 tahun (pasal 9). Contoh yang cukup populer adalah
Norvask. Kandungan Norvask (aslinya Norvasc) adalah amlodipine besylate, untuk
obat antihipertensi. Pemilik hak paten adalah Pfizer. Ketika masih dalam masa hak
paten (sebelum 2007), hanya Pfizer yang boleh memproduksi dan memasarkan
amlodipine. Bisa dibayangkan, produsen tanpa saingan. Harganya luar biasa mahal.
Biaya riset, biaya produksi, biaya promosi dan biaya-biaya lain, semuanya dibebankan
kepada pasien. Setelah masa hak paten berakhir, barulah industri farmasi lain boleh
memproduksi dan memasarkan amlodipine dengan berbagai merek. Amlodipine
adalah nama generik dan merek-merek yang beredar dengan berbagai nama adalah
obat generik bermerek.
g. Obat Mitu/Obat me-too. Obat mitu atau obat me-too adalah obat yang telah habis masa
patennya yang diproduksi dan dijual pabrik lain dengan nama dagang yang ditetapkan
pabrik lain tersebut, di beberapa negara barat disebut branded generic atau tetap dijual
dengan nama generik.
h. Obat Tradisional. Obat tradisional adalah obat jadi yang berasal dari tumbuhan,
hewan, dan mineral atau sediaan galenik, obat berdasarkan pengalaman empiris turun
temurun.
i. Obat Jadi. Obat jadi adalah obat dalam keadaan murni atau campuran dalam bentuk
serbuk, emulsi, suspensi, salep, krim, tablet, supositoria, klisma, injeksi dll yang mana
bentuk obat tersebut tercantum dalam farmakope Indonesia.
j. Obat Baru. Obat baru adalah obat yang terdiri dari satu atau lebih zat, baik yang
berkhasiat maupun tidak berkhasiat misalnya lapisan, pengisi, pelarut, bahan
pembantu, atau komponen lainnya yang belum dikenal, hingga tidak diketahui khasiat
dan keamanannya.
k. Obat Esensial. Obat esensial adalah obat yang paling banyak dibutuhkan untuk
pelaksanaan pelayanan kesehatan masyarakat banyak, meliputi diagnosa, profilaksi
terapi dan rehabilitasi, misalkan di Indonesia : obat TBC, antibiotik, vaksin, obat
generik dan lain-lain.
l. Obat Wajib Apotek. Obat wajib apotek adalah obat keras yang dapat diperoleh di
apotek tanpa resep dokter, diserahkan oleh apoteker

 Penggolongan berdasarkan bentuk obat


Bentuk obat atau bentuk sediaan obat adalah wujud obat yang diberikan kepada pasien.
Obat dapat diberikan kepada pasien dalam bentuk pil, kapsul, suspensi, serbuk, salep, obat
tetes, dsb. Bentuk sediaan obat yang diberikan akan berpengaruh terhadap kecepatan dan
takaran jumlah obat yang diserap oleh tubuh. Selain itu, bentuk sediaan obat akan
berpengaruh pada kegunaan terapi obat. Bentuk sediaan obat dapat dibagi menjadi tiga
bentuk: padat, cair, dan gas.
1. Macam bentuk obat padat
a. Tablet. Tablet merupakan sediaan obat berbentuk bundar atau pipih. Tablet paling
sering dijumpai di Indonesia karena bentuk ini mudah dan praktis dalam pemakaian,
penyimpanan dan juga dalam produksinya. Tablet tidak sepenuhnya berisi obat, biasanya
tablet juga dilengkapi dengan zat pelengkap atau zat tambahan yang berguna untuk
menunjang agar obat tepat sasaran. Berikut beberapa zat tambahan berdasarkan
kegunaannya.
b. Kapsul. Kapsul merupakan sediaan obat padat dikemas ke dalam sebuah cangkang
berbentuk tabung keras maupun lunak yang dapat larut. Tabung kapsul in biasanya terbuat
dari gelatin, pati, dan lain-lain. Contoh: kapsida, incidal, dan lain-lain.
c. Kaplet. Bentuk sediaan obat kaplet (kapsul tablet) merupakan sediaan berbentuk
tablet yang dibungkus dengan lapisan gula dan pewarna menarik. Lapisan warna dan gula
ini bertujuan untuk menjaga kelembaban dan menjaga agar tidak tekontaminas dengan
HCL di lambung.
d. Pil. Sediaan obat berbentuk bundar dengan ukuran yang kecil. Ada beberapa
variasi dari pil, antara lain: granulae, pilulae, dan boli.
e. Serbuk. Sediaan obat yang berbentuk remahan yang merupakan campuran kering
obat dan zat kimia yang dihaluskan. Serbuk terbagi menjadi serbuk granulae dan serbuk
effervescent. Sama seperti tablet effervescent, serbuk effervescent juga akan
mengeluarkan buih ketika bercampur dengan air. Contoh: adem sari, jesscool, dan lain-
lain.
f. Supositoria. Merupakan sediaan padat dalam berbagai bobot dan bentuk, yang
diberikan melalui rektal, vagina atau uretra, umumnya meleleh, melunak atau melarut
pada suhu tubuh. Tujuan pengobatan yaitu:
Penggunaan lokal bertujuan untuk memudahkan defekasi serta mengobati gatal,
iritasi, dan inflamasi karena hemoroid.
Penggunaan sistemik seperti: aminofilin dan teofilin untuk asma, chlorprozamin
untuk anti muntah, chloral hydariat untuk sedatif dan hipnotif, aspirin untuk analgenik
antipiretik.

1. Macam bentuk obat cair.


Sediaan obat cair adalah obat yang mengandung berbagai zat kimia terlarut. Biasanya
dikonsumsi dengan melalui mulut (oral) atau secara topikal. Penjelasan terkait rute
pemberian obat akan disampaikan pada bab selanjutnya. Sediaan obat cair memiliki
berbagai macam bentuk seperti diuraikan berikut ini.

a. Larutan (Solutio). Solutio merupakan larutan obat yang merupakan campuran


homogen yang terdiri dari 2 zat kimia obat atau lebih.
b. Elixir. Elixir adalah suatu larutan yang mengandung alkohol dan diberi pemanis,
mengandung obat dan diberi bahan pembau.
c. Sirup. Sirup merupakan larutan zat kimia obat yang dikombinasikan dengan
larutan gula sebagai perasa manis. Biasa digunakan untuk obat dan suplemen anak-anak.
d. Emulsi. Emulsi merupakan campuran dari zat kimia yang larut dalam minyak dan
larut dalam air. Untuk membuat obat dengan sediaan emulsi dibutuhkan zat pengemulsi
atau yang biasa disebut dengan emulgator agar salah satu zat cair dapat terdispersi dalam
zat cair yang lain.
e. Suspensi. Merupakan campuran obat berupa zat padat yang kemudian terdispersi
dalam cairan. Biasanya pada petunjuk penggunaan obat terdapat keterangan: “dikocok
dahulu”. Suspensi terbagi ke dalam berbagai jenis berdasarkan cara pemakaiannya:
suspensi oral, suspensi topikal, suspensi optalmik, dan lain-lain.
f. Injeksi. Merupakan sediaan steril berupa larutan, emulsi atau suspensi atau serbuk
yang harus dilaruntukan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum digunakan, yang
disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau selaput
lendir. Tujuannya yaitu kerja obat cepat serta dapat diberikan pada pasien yang tidak dapat
menerima pengobatan melalui mulut.
g. Guttae. Merupakan sediaan cairan berupa larutan, emulsi, atau suspensi,
dimaksudkan untuk obat dalam atau obat luar, digunakan dengan cara meneteskan
menggunakan penetes yang menghasilkan tetesan setara dengan tetesan yang dihasilkan
penetes beku yang disebuntukan Farmacope Indonesia. Sediaan obat tetes dapat berupa
antara lain: Guttae (obat dalam), Guttae Oris (tetes mulut), Guttae Auriculares (tetes
telinga), Guttae Nasales (tetes hidung), Guttae Ophtalmicae (tetes mata).
h. Galenik. Galenik adalah sediaan obat berbentuk cairan yang merupakan sari dari
bahan baku berupa hewan atau tumbuhan.
i. Extract. Ekstrak merupakan sediaan obat berbentuk cairan pekat yang didapatkan
dari pengekstraksian zat dari nabati maupun hewani yang kemudian diberi pelarut.
j. Immunosera. Sediaan obat berbentuk cairan berisikan zat immunoglobin yang
diperoleh dari serum hewan lalu dimurnikan. Biasanya Immunosera digunakan untuk
menetralisir racun hewan serta sebagai penangkal virus dan antigen.

Macam obat gas/uap.


Obat dengan bentuk sediaan gas/uap biasanya digunakan untuk pengobatan penyakit
pernapasan dan cara pemakaiannya dengan inhalasi. Bentuk sediaan gas/uap dibuat agar
partikel obat menjadi kecil sehingga lebih mudah dan cepat diabsorbsi melalui alveoli
dalam paru-paru dan membran mukus dalam saluran pernapasan. Obat dengan sediaan
bentuk gas biasanya dibungkus dengan alat khusus seperti vaporizer dan nebulizer.

 Food Drug Assosiation (FDA) mengeluarkan rilis kategori obat terkait dengan ibu
hamil.
FDA menetapkan kategori risiko lima huruf - A, B, C, D atau X - untuk menunjukkan
potensi obat yang bisa menyebabkan cacat lahir jika digunakan selama kehamilan.
Kategori-kategori tersebut antara lain :
a. Kategori A
Obat yang terkategori A merupakan obat-obat yang cukup aman dikonsumsi ibu hamil.
Studi menunjukkan bahwa obat kategori ini tidak menyebabkan risiko kehamilan atau
malformasi pada trimester pertama. Contoh obat atau zat: levothyroxine, asam folat,
liothyronine.
b. Kategori B
Kategori ini meliputi obat-obat yang masih jarang dikonsumsi ibu hamil namun juga tidak
menunjukkan adanya efek malformasi bagi janin.
Studi reproduksi hewan telah gagal menunjukkan risiko pada janin. Contoh
obat: metformin, hydrochlorothiazide, cyclobenzaprine, amoxicillin, pantoprazole.
c. Kategori C
Obat kategori ini bisa berdampak buruk pada janin namun biasanya dampaknya bisa
membaik kembali. Studi reproduksi hewan telah menunjukkan efek buruk pada janin,
tetapi karena manfaat potensial mungkin beberapa ibu hamil memerlukan penggunaan
obat ini. Contoh obat: tramadol, gabapentin, amlodipine, trazodone.
d. Kategori D
Obat-obat golongan ini terbukti bisa menyebabkan malformasi dan berbahaya bagi janin.
Risiko bahayanya bersifat menetap atau tidak bisa membaik dengan sendirinya. Ada bukti
positif risiko janin manusia berdasarkan data reaksi yang merugikan dari pengalaman
investigasi atau studi pada manusia. Contoh obat: lisinopril, alprazolam, losartan,
clonazepam, lorazepam
e. Kategori X
Studi pada hewan atau manusia telah menunjukkan kelainan janin dan dilarang untuk
dikonsumsi selama kehamilan.
Obat ini memiliki efek negatif yang nyata dibandingkan manfaatnya pada ibu hamil.
Contoh obat: atorvastatin, simvastatin, warfarin, methotrexate, finasteride.

 Rute Pemberian Obat, dapat dengan cara:


1. Melalui rute oral
2. Melalui rute parenteral
3. Melalui rute inhalasi
4. Melalui rute membran mukosa seperti mata, hidung, telinga, vagina dan lainnya
5. Melalui rute kulit
 Penggolongan obat berdasarkan waktu penggunaan obat.
Untuk mencapai efek terapeutik yang optimal (di samping menghilangkan, atau
sekurang-kurangnya mengurangi efek samping obat yang dapat mengganggu) harus
ditetapkan pula waktu yang tepat sesuatu obat digunakan (Joenes, 2001). Sehingga
perlu adanya pengetahuan waktu penggunaan obat secara benar.
1) Sebelum makan adalah dalam kondisi perut kosong, yaitu kira-kira 15-30 menit
sebelum makan atau dua jam setelah makan. Contoh : kaptopril.
2) Sesudah makan adalah dalam kondisi perut terisi. Contoh : asetosal, asam mefenamat.
3) Sedang atau waktu makan adalah bersama makanan atau ditengah-tengah saat makan.
Contoh : ibuprofen, griseofulvin, spironolakton, akarbose.
4) Malam atau sebelum tidur adalah obat diminum menjelang tidur malam. Contohnya :
simvastatin, phenolphthalein (pencahar dengan aksi lambat).
5) Pagi hari adalah obat diminum pada pagi hari. Contoh : magnesii sulfat (pencahar
dengan aksi cepat), furosemid, hidroklortiazid (Joenoes, 2001).
Aturan pakai obat : berapa kali atau berapa jumlah obat diminum atau digunakan
dalam sehari. Contoh :
1) Sehari : 3 x 1 tablet, artinya 1 tablet diminum setiap 8 jam.
2) Sehari : 3 x 2 tablet, artinya 2 tablet diminum setiap 8 jam.
3) Sehari : 1 x 1 tablet, artinya 1 tablet diminum setiap 24 jam.

Cara penyimpanan obat


Sifat bahan obat dapat terurai menjadi zat lain atau bentuk lain karena adanya
pengaruh cahaya, kelembaban, temperatur (suhu udara), bahan wadah (pembungkus)
sehingga tidak lagi memenuhi syarat baku yang ditetapkan oleh Pharmakope
Indonesia. Obat yang tidak lagi memenuhi syarat baku (rusak) akan berbahaya apabila
digunakan, karena khasiat atau fungsi obat sudah tidak sesuai dengan efek terapi yang
diharapkan (Umar, 2005). Cara penyimpanan obat sebaiknya sebagai berikut :
1) Menjauhkan obat dari jangkauan anak-anak.
2) Menyimpan obat dalam kemasan aslinya dan dalam wadah yang tertutup rapat.
3) Menyimpan obat ditempat yang sejuk dan terhindar dari sinar matahari langsung.
4) Menyimpan kapsul atau tablet ditempat kering, tidak ditempat panas atau tidak
ditempat lembab karena dapat menyebabkan obat tersebut rusak.
5) Menyimpan obat sesuai dengan etiket atau kemasan obat. Misalnya: insulin disimpan
dalam lemari pendingin (20 – 80 C).
6) Menghindarkan agar obat dalam bentuk cair menjadi beku.
7) Menyimpan obat pada suhu kamar dan menyimpan obat sebelum waktu kadaluarsa

Efek obat
Obat merupakan bahan dengan takaran tertentu dan dengan penggunaan yang tepat
dapat memberikan efek atau khasiat, yang dapat dimanfaatkan untuk mencegah
penyakit, menyembuhkan atau memelihara kesehatan (Anonim, 2007). Beberapa efek
obat adalah
sebagai berikut :
1) Analgesik adalah suatu zat yang mempunyai daya menghilangkan rasa nyeri.
Contohnya : asam mefenamat
2) Antipiretik adalah suatu zat yang mempunyai daya menurunkan demam. Contoh :
parasetamol, ibuprofen.
3) Dekongestan adalah suatu zat yang bekerja menghilangkan sembab di selaput lendir
hidung. Contohnya fenilefrin, fenilpropanolamin, pseudoefedrin.
4) Antihipertensi adalah suatu zat yang dapat menurunkan tekanan darah. Contohnya
hidroklortiazid, kaptopril, propanolol.
5) Ekspektoran adalah suatu zat yang dapat mengencerkan dahak. Contohnya gliseril,
guaikolat, bromheksin.
6) Antitusif adalah suatu zat yang dapat menekan batuk. Contohnya dekstrometorfan,
noskapin.
7) Antasida adalah suatu zat yang dapat menetralkan asam lambung yang berlebih dan
melindungi selaput lendir lambung. Contohnya persenyawaan Al dan Mg,
persenyawaan karbonat dan Na bikarbonat.
8) Antihistamin adalah obat yang bekerja melawan kerja histamin atau antialergi.
Contohnya klorfeniramin maleat, difenhidramin, tripolidin (Widodo, 2009).

3. Cara Penulisan Resep

 Unsur-unsur resep:

1. Identitas Dokter

Nama, nomor surat ijin praktek, alamat praktek dan rumah dokter penulis resep
serta dapat dilengkapi dengan nomor telepon dan hari serta jam praktek. Biasanya
sudah tercetak dalam blanko resep.
2. Nama kota (sudah dicetak dalam blanko resep) dan tanggal ditulis resep

3. Superscriptio

Ditulis dengan symbol R/ (recipe=harap diambil). Biasanya sudah dicetak dalam


blanko. Bila diperlukan lebih dari satu bentuk sediaan obat/formula resep,
diperlukan penulisan R/ lagi.
4. Inscriptio

Ini merupakan bagian inti resep, berisi nama obat, kekuatan dan jumlah obat yang
diperlukan dan ditulis dengan jelas
5. Subscriptio

Bagian ini mencantumkan bentuk sediaan obat (BSO) dan jumlahnya. Cara penulisan
(dengan singkatan bahasa latin) tergantung dari macam formula resep yang
digunakan.
Contoh:

- m.f.l.a. pulv. d.t.d.no. X

- m.f.l.a. sol

- m.f.l.a. pulv. No XX da in caps

6. Signatura

Berisi informasi tentang aturan penggunaan obat bagi pasien yaitu meliputi frekuensi,
jumlah obat dan saat diminum obat, dll.
Contoh: s.t.d.d.tab.I.u.h.p.c ( tandailah tiga kali sehari satu tablet satu jam setelah
makan)
7. Identitas pasien

Umumnya sudah tercantum dalam blanko resep (tulisan pro dan umur). Nama
pasien dicantumkan dalan pro. Sebaiknya juga mencantumkan berat badan pasien
supaya kontrol dosis oleh apotek dapat akurat.

TATA CARA PENULISAN RESEP

Tidak ada standar baku di dunia tentang penulisan resep. Untuk Indonesia,
resep yang lengkap menurut SK Menkes RI No. 26/2981 (BAB III, pasal 10)
memuat:
1. Nama, alamat, Nomor Surat Ijin Praktek Dokter (NSIP)

2. Tanggal penulisan resep

3. Nama setiap obat/komponen obat

4. Tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan resep

5. Tanda tangan/paraf dokter penulis resep

6. Tanda seru dan paraf dokter untuk resep yang mengandung obat dengan jumlah
melebihi dosis maksimum
 Menurut WHO tahun 1995 landasan penulisan resep obat secara bijak dan rasional adalah
4T+1W yaitu:
1. Tepat pasien artinya disini dokter dapat menilai kondisi pasien dengan tepat
2. Tepat indikasi artinya indikasi yang benar sesuai dengan diagnosa dokter untuk
penggunaa obat tersebut dan telah terbukti manfaat terapetiknya
3. Tepat obat artinya ketepatan pemilihan obat yang dilakukan dalam proses pemilihan
obat dengan mempertimbangkan beberapa factor seperti ketepatan kelas terapi, jenis
obat, dll
4. Tepat dosis artinya jumlah obat yang diberikan berada dalam range terapi
5. Waspada efek samping

Selain itu dalam penentuan dan pemilihan obat harus didasari oleh empat faktor
1. Faktor kemanjuran (efficacy)
2. Faktor keamanan (safety)
3. Faktor kecocokan (suitability)
4. Faktor biaya (cost).
 PEDOMAN CARA PENULISAN RESEP DOKTER

1. Ukuran blanko resep (ukuran lebar 10-12 cm, panjang 15-18 cm)
2. Penulisan nama obat (Bagian Inscriptio):
a. Dimulai dengan huruf besar
b. Ditulis secara lengkap atau dengan singkatan resmi (dalam farmakope Indonesia atau
nomenklatur internasional) misal: ac. Salic; acetosal

c. Tidak ditulis dengan nama kimia (missal: kali chloride dengan KCl) atau singkatan
lain dengan huruf capital (missal clorpromazin dengan CPZ)
3. Penulisan jumlah obat
a. Satuan berat: mg (milligram), g, G (gram)
b. Sataun volume: ml (mililiter), l (liter)
c. Satuan unit: IU/IU (Internasional Unit)
d. Penulisan jumlah obat dengan satuan biji menggunakan angka Romawi. Misal: - Tab
Novalgin no. XII
- Tab Stesolid 5 mg no. X (decem)

- m.fl.a.pulv. dt.d.no. X

e. Penulisan alat penakar:


Dalam singkatan bahasa latin dikenal:

C. = sendok makan (volume 15 ml)


Cth. = sendok teh (volume 5 ml)
Gtt. = guttae (1 tetes = 0,05 ml)

Catatan: Hindari penggunaan sendok teh dan senok makan rumah tangga karena
volumenya tidak selalu 15 ml untuk sendok makan dan 5 ml untuk sendok teh.
Gunakan sendok plastik (5 ml) atau alat lain ( volume 5, 10, 15 ml) yang disertakan
dalam sediaaan cair paten.
f. Arti prosentase (%)
0,5% (b/b) 0,5 gram dalam 100 gram sediaan

0,5% (b/v) 0,5 gram dalam 100 ml sediaan

0,5% (v/v) 0,5 ml dalam 100 ml sediaan

g. Hindari penulisan dengan angka desimal (misal: 0,...; 0,0....; 0,00...)


4. a. Penulisan kekuatan obat dalam sediaan obat jadi (generik/paten) yang beredar di
pasaran dengan beberapa kekuatan, maka kekuatan yang diminta harus ditulis,
misalkan Tab.
Primperan 5 mg atau Tab. Primperan 10 mg
b. Penulisan volume obat minum dan berat sediaan topikal dalam tube dari sediaan
jadi/paten yang tersedia beberapa kemasan, maka harus ditulis, misal:
- Allerin exp. Yang volume 60 ml atau 120 ml

- Garamycin cream yang 5 mg/tube atau 15mg/tube

5. Penulisan bentuk sediaan obat (merupakan bagian subscriptio) dituliskan tidak hanya
untuk formula magistralis, tetapi juga untuk formula officialis dan spesialistis
Misal: m.f.l.a.pulv. No. X

Tab Antangin mg 250


X Tab Novalgin mg
250 X
6. Penulisan jadwal dosis/aturan pemakaian (bagian signatura)
a. Harus ditulis dengan benar
Misal: s.t.d.d. pulv. I.p.c atau s.p.r.n.t.d.d.tab.I
b. Untuk pemakaian yang rumit seperti pemakaian ”tapering up/down” gunakan
tanda s.u.c (usus cognitus = pemakaian sudah tahu). Penjelasan kepada pasien
ditulis pada kertas dengan bahasa yang dipahami.
7. Setiap selesai menuliskan resep diberi tanda penutup berupa garis penutup
(untuk 1 R/) atau tanda pemisah di antara R/ (untuk > 2R/) dan paraf/tanda
tangan pada setiap R/.
8. Resep ditulis sekali jadi, tidak boleh ragu-ragu, hindari coretan, hapusan dan
tindasan.
9. Penulisan tanda Iter (Itteretur/ harap diulang) dan N.I. (Ne Iterretur/tidak boleh
diulang)
Resep yang memerlukan pengulanagan dapat diberi tanda: Iter n X di sebelah
kiri atas dari resep untuk seluruh resep yang diulang. Bila tidak semua resep,
maka ditulis di bawah setiap resep yang diulang.

Resep yang tidak boleh diulang, dapat diberi tanda: NI di sebelah kiri atas dari
resep untuk seluruh resep yang tidak boleh diulang. Bila tidak semua resep,
maka ditulis di bawah setiap resep yang diulang.

10. Penulisan tanda Cito atau PIM


Apabila diperlukan agar resep segera dilayani karena obat sangat diperlukan
bagi penderita, maka resep dapat diberi tanda Cito atau PIM dan harus ditulis
di sebelah kanan atas resep.

 FORMULA RESEP
Ada 3 formula dalam penulisan resep (magistrlis, officinalis dan spesialistis). Faktor yang
diperhatikan dalam penentuan jenis formula yang akan digunakan: 1) ketepatan dosis, 2)
stabilitas obat terjamin, 3) kepatuhan pasien, 4) kemudahan mendapatkan obat/sediaan, 5)
harga terjangkau
1. FORMULA MAGISTRALIS
Formula ini dikenal dengan resep racikan.Dalam hal ini, dokter selain menuliskan bahan
obat, juga bahan tambahan. Bahan tambahan yang ditambahkan tergantung dari sediaan
yang diinginkan. Oleh karena itu, penting sekali diperhatikan sifat obat, interaksi farmasetik,
macam bentuk sediaan dan macam bahan tambahan yang dapat digunakan serta pedoman
penulisan resep magistralis. Hal-hal yang penting diperhatikan dalam formula magistralis:
Bahan obat, sedapat mungkin menggunakan bahan baku. Penggunaan sediaan jadi/paten
(tablet, sirup, dll) sering menimbulkan masalah baik dalam pelayanan( misalkan tidak dapat
halus, tidak homogen, dan tidak stabil) maupun kerasionalan terapi (antara lain perubahan
formula sediaan, perubahan bioaviabilitas obat, perubahan absorbsi, penurunan konsentrasi
obat). Pencampuran bahan yang lebih dari satu macam harus dipertimbangkan adanya
interaksi (farmasetik dan farmakologi) dan rasionalitas obat.
Bentuk sediaan yang dapat dipilih meliputi serbuk (pulveres dan pulvis adspersorium),
kapsul, larutan (solusio, infusa), suspensi, unguenta, cream dan pasta.
Penentuan bahan tambahan (corrigen saporis, corrigen odoris, corrigen coloris, dan
constituent/vehiculum).

2. FORMULA OFFICINALIS
Resep dengan formula ini berarti obat yang digunakan adalah obat generik dan tersedia
dalan sediaan generik (BPOM Depkes) atau sediaan standar baku (Formularium Indonesia).
Dengan menggunakan formula ini, berarti dokter sudah tahu komposisi bahan aktif dan
kegunaannya. Penulisan ini cepat dan sederhana serta harganya lebih murah

3. FORMULA SPESIALISTIS
Resep yang ditulis dengan formula ini adalah obat paten dari pabrik obat. Kadang pabrik
obat membuat obat dengan berbagai sediaan, kekuatan, dan kombinasi obat. Bila penulisan
resep ini kurang jelas atau tidak lengkap dapat mengakibatklan kesalahan dalam pelayanan
di apotek.

4. Terminologi Resep
 Penggunaan singkatan bahasa Latin dalam praktik medis memiliki sejarah yang
sangat panjang, bisa dirunut hingga ke tahun 1400-an saat bahasa Latin menjadi
bahasa utama di Eropa Barat. Saat ini, penggunaan singkatan bahasa Latin terbatas
pada petunjuk pengambilan atau penggunaan obat dalam resep. Bahasa Latin
digunakan sebagai bahasa resep karena bahasa Latin merupakan bahasa yang tidak
berkembang/ statis, sehingga makna bahasanya tidak berubah oleh waktu, serta
bahasanya baku dan kaku sehingga bisa digunakan menjadi bahasa standar dalam
resep secara global.
 Singkatan dalam resep dokter diklasifikasikan menjadi istilah yang berkaitan dengan
aturan pakai, takaran/jumlah, perintah pembuatan, keterangan waktu, pembuatan dan
bentuk sediaan, serta keterangan tempat penggunaan obat dan istilah lainnya. Istilah
dan singkatan tersebut dituangkan dalam bentuk tabel di bawah ini.
 Singkatan untuk aturan pakai terlihat pada bagian signatura atau yang diawali dengan
signa (S), aturan peracikan atau pembuatan terlihat pada bagian yang diawali dengan
m.f. (misce fac).
 Tabel 2.1. Istilah yang Berkaitan dengan Aturan Pakai
Singkatan Istilah Arti

Ad.lib Ad libitum Sesukanya

B Bis Dua kali

App Applicandum Untuk digunakan

.b.i.d Bis in die Dua kali sehari

.t.d.d Ter.de.die Tiga kali sehari

.q.d.d. Quartuor de die Empat kali sehari

.u.c. Usus cognitus Pemakaian tahu

.u.e. Usus externus Dipakai untuk luar

.p.r.n Pro renata Jika perlu

S Signa tanda/ tandai

 Tabel 2.2. Bahasa Latin yang Berkaitan dengan Jumlah Pemakaian

Singkatan Istilah Arti

a/aa Ana Tiap tiap

Sendok makan, 15
C Cochlear ml

Cth Cochlear theae Sendok teh 5 ml

d.i.d Da in dimido Berilah separuhnya


ad. Ad 50 ml Sampai 50 ml

Berikan sekian
d.t.d Da tales doses takaran

Gtt Guttae Tetes

q.s. Quantum sufficit Secukupnya

 Tabel 2.3. Bahasa Latin yang Berkaitan dengan Perintah Pembuatan

Singkatan Istilah Arti

R Recipe Ambilah

Add Adde Tambahkan

F Fac Dibuat

m.f. misce fac campur buat

Cito cito dispensetur Segera dibuat

l.a. lege artis menurut aturan seni

 Tabel 2.4. Bahasa Latin yang Berkaitan dengan Keterangan Waktu

Singkatan Istilah Arti

a.c. ante coenam sebelum makan

d.c. durante coenam selagi makan

p.c post coneam setelah makan


d.d. de die Sehari

Vesp Vespere Malam

 Tabel 2.5. Bahasa Latin yang Berkaitan dengan Pembuatan dan Bentuk Sediaan

Singkatan Istilah Arti

Aq Aqua Air

Aq dest aqua destilata air suling

air 2 kali
Aq bidest aqua bidestilata penyulingan

Cer Cera malam/lilin

Dil Dilutus encer/encerkan

sediaan padat
Supp. Suposituria bentuk

Suppos peluru

P atau pulv Pulvis Serbuk

Pulv. Adsp. pulvis adspersorius serbuk tabur

Cap Capsula Kapsul

Aurist Auristillae tetes telinga

 Tabel 2.6. Bahasa Latin yang Berkaitan dengan Keterangan Tempat, Penggunaan
Obat dan Istilah Lainnya

Singkatan Istilah Arti


Aur Auris telinga

a.d. auris dexter telinga kanan

a.l. auris laeva telinga kiri

o.d. oculuc dexter mata kanan

o.s. oculuc sinister mata kiri

Iter Iteratur Diulang

u.p. usus propium untuk sendiri

n.i. ne iter tidak diulang

R Recen segar/baru

ne det ne detur belum diserahkan

i.m.m in manus medici diserahkan ke tangan

dokter

S Signa tanda/ tandai

Det Detur Diserahkan

r.p. recen paratus dibuat segar

non rep non reparatur jangan diulang

 Tanda-tanda pada resep


1. Tanda Segera, yaitu:
Bila dokter ingin resepnya dibuat dan dilayani segera, tanda segera atau peringatan
dapat ditulis sebelah kanan atas atau bawah blanko resep, yaitu:
Cito! = segera
Urgent = penting
Statim = penting sekali
PIM (Periculum in mora) = berbahaya bila ditunda
Urutan yang didahulukan adalah PIM, Statim, dan Cito!.
2. Tanda resep dapat diulang.
Bila dokter menginginkan agar resepnya dapat diulang, dapat ditulis dalam resep di
sebelah kanan atas dengan tulisan iter (Iteratie) dan berapa kali boleh diulang. Misal,
iter 1 x, artinya resep dapat dilayani 2x. Bila iter 2x, artinya resep dapat dilayani 1+ 2
= 3 x. Hal ini tidak berlaku untuk resep narkotika, harus resep baru.
3. Tanda Ne iteratie (N.I) = tidak dapat diulang.
Bila dokter menghendaki agar resepnya tidak diulang, maka tanda N.I ditulis di
sebelah atas blanko resep (ps. 48 WG ayat (3); SK Menkes No.
280/Menkes/SK/V/1981). Resep yang tidak boleh diulang adalah resep yang
mengandung obat-obatan narkotik, psikotropik dan obat keras yang telah ditetapkan
oleh pemerintah/ Menkes Republik Indonesia.
4. Tanda dosis sengaja dilampaui.
Tanda seru diberi di belakang nama obatnya jika dokter sengaja member obat dosis
maksimum dilampaui.
5. Resep yang mengandung narkotik.
Resep yang mengadung narkotik tidak boleh ada iterasi yang artinya dapat diulang;
tidak boleh ada m.i. (mihipsi) yang berarti untuk dipakai sendiri; tidak boleh ada u.c.
(usus cognitus) yang berarti pemakaiannya diketahui. Resep dengan obat narkotik
harus disimpan terpisah dengan resep obat lainnya (Jas, 2009).

5. Terapi Rasional
 Tujuan terapi :
a. memperpanjang harapan hidup yaitu untuk mencegah kematian dini
b. memperpanjang kualitas hidup sehingga kecacatan dapat dihindari
c. mengatasi gejala atau keluhan yang diderita
terapi kuratif ada 2 :
a) terapi simptomatis yaitu untuk menghilangkan gejala-gejala penyakit
b) terapi kausatif yaitu untuk menghilangkan penyakit atau penyebab penyakit
 Kerasionalan terapi obat / pengobatan (rational drugs therapy). Kerasionalan adalah
penggunaan obat yang tepat secara medik dan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu.
Konferensi tenaga ahli tentang penggunaan obat rasional yang diadakan oleh WHO di
Nairobi tahun 1985, telah membahas tentang penggunaan obat yang rasional. Penggunaan
obat yang rasional mensyaratkan bahwa pasien menerima obat-obatan yang sesuai untuk
kebutuhan klinik mereka, dalam dosis yang memenuhi kebutuhan individu itu sendiri, untuk
suatu periode waktu yang memadai, dan pada harga yang terendah untuk mereka dan
masyarakatnya (1). Untuk memenuhi kriteria tersebut, dokter penulis resep harus mengikuti
proses baku penulisan, yang ditempuh melalui suatu tahapan prosedur tertentu yang disebut
Standard Operating Procedure (SOP), yaitu terdiri dari anamnesa, pemeriksaaan fisik,
penegakan diagnosis, pengobatan, dan tindakan selanjutnya. Semua tahapan prosedur
tersebut menentukan penggunaan obat yang rasional.
 Terapi yang dapat dipilih untuk pasien yang mengalami gangguan kesehatan meliputi
pemberian obat, pembedahan, psikiatrik, radiasi, fisioterapi, konseling, pendidikan
kesehatan, dan bahkan tanpa terapi. Sebenarnya ada 2 tahap penting dalam meilih
pengobatan, yang pertama mempertimbangkan terapi pilihan pertama yang merupakan hasil
proses seleksi berdasarkan langkah-langkah yang sesuai dan yang kedua adalah menimbang
apakah pilihan ini cocok untuk pasien yang akan diobati.
 Langkah-langkah umum untuk menentukan terapi rasional meliputi menetapkan tujuan
terapi, menyusun daftar berbagai terapi yang mungkin manjur, dan memilih terapi-P
(pribadi/pilihan) dengan cara membandingkan kemanjuran, keamanan, keamanan,
kecocokan, dan biayanya. Proses pemilihan terapi-P antara lain :
a) Tetapkan tujuan terapi
b) Ini merupakan tahapan awal untuk menentukan terapi, dengan pemeriksaan dan
anamnesis selanjutnya diidentifikasi masalah kesehatan guna untuk menetapkan tujuan
terapi untuk mengatasi masalah pokok kesehatan pasien.
c) Menyusun daftar berbagai terapi yang mungkin manjur
d) Pada umumnya ada 4 pendekatan dalam mengobati, yaitu memberi informasi atau
nasehat, terapi non obat, terapi obat, dan perujukan,, dan kadang diperlukan
pendekatan kombinasi.
e) Pilih Obat yang sesuai berdasarkan pada kemanjuran, keamanan, kecocokan,
kepraktisan, dan biaya
f) Membandingkan berbagai terapi pilihan obat yang ada. Cara objektif dan ilmiah
adalah menerapkan lima kriteria, yaitu kemanjuran, keamanan, kecocokan, kepraktisan
dan biaya.

 Proses pemilihan terapi/obat secara rasional

Proses pemilihan terapi untuk mencapai terapi yang rasional terdiri dari 6 langkah, antara
lain :
a. Tetapkan masalah pasien
Setelah melakukan diagnosa dan anamnesa kepada pasien, dokter harus menemukan dan
mengidentifikasi masalah pokok yang menyebabkan penyakit dari pasien
b. Tentukan tujuan terapi
Setelah menetapkan masalah pasien, maka dilakukan pemilihan terapi berdasarkan
penentuan tujuan terapinya terlebih dahulu
c. Tentukan cocok tidaknya terapi-P anda untuk pasien
Setelah menentukan tujuan terapi, maka perlu dianalisa kecocokan dari terapi-P untuk
pasien.
d. Mulai pengobatan
Berikan penjelasan untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam terapi
e. Berikan penjelasan tentang obat, cara meminumnya, dan peringatan
f. Pantau (hentikan) pengobatan

 Ruang lingkup obat yang terpilih

Penulisan obat terpilih harus meliputi :

a. nama farmakologi/ generic


b. bentuk sediaan
c. dosis
d. lama pemerian

 Peran farmasis dalam meningkatkan terapi


Peran seorang farmasis dalam proses terapi rasional :
1) Membantu memilih obat, dosis, dan bentuk sediaan
2) Mengkaji kondisi pasien/hasil terapi
3) Memantau kepatuhan minum obat
4) Meracik obat secara tepat
5) Memantau adverse drug reaction (ADR) atau efek samping
6) Konseling obat
7) Dokumentasi
 Dijelaskan oleh Prof. dr. Iwan Darmansyah pada tahun 2010 bahwa sedikitnya ada enam
faktor yang memengaruhi pola penggunaan obat atau terapi rasional :
1. Pengaturan obat (regulasi, law enforcement)
2. Pendidikan (formal dan informal)
3. Pengaruh industry obat (iklan, intensif, dll.)
4. Informasi (prescribing information)
5. Sistem pelayanan kesehatan (asuransi, jaminan kesehatan, dll.)
6. Sosio-kultural (hubungan dokter-pasien yang cenderung patrilinia, tidak kritis, dll.)

Keenam faktor tersebut saling terkait satu sama lain sehingga tidak mudah membuat
praktik terapi dan pengobatan yang irasional dan rasional.
Menurut WHO melalui buku pedoman terapi berjudul Guide to Good Prescribing,
terdapat siklus yang menggambarkan urutan untuk mencapai sebuah terapi rasional.

1. Menetapkan Masalah Pasien


Keluhan yang disampaikan pasien harus digali lebih dalam saat anamnesis. Anamnesis
yang baik sangat membantu penegakan diagnosis yang tepat setelah ditambah data
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lain. Bila
masalah jelas maka diagnosis (kerja) menjadi lebih mudah, karena bila diagnosis sudah
ditegakkan, maka tujuan terapi lebih mudah ditetapkan. Data anamnesis dan pemeriksaan
yang lengkap akan membantu membangun hipotesis berdasarkan patofisiologi penyakit.
Dengan mengenal patofisiologi dapat diusahakan untuk mengembalikan ke keadaan
fisiologis melalui pilihan terapi yang sesuai.

2. Menetapkan Tujuan Terapi


Bila diagnosis dapat ditegakkan maka tujuan terapi pun dapat dibuat dengan tegas karena
dari sinilah ditentukan apa yang diharapkan bila terapi diberikan pada pasien. Contoh :
Tuan P umur 40 tahun mengeluh sering pusing dan berkunang-kunang. Tekanan
darahnya 140/95 mmHg, nadi 80x/menit. Paru, jantung, hati, dan ginjal dalam batas
normal, BMI 27.
Diagnosis kerja : hipertensi (esensial) grade 1
Tujuan terapi : mencegah end-organ failure dengan menurunkan tekanan darah
mendekati optimal.

3. Meneliti Kecocokan Personal Therapy


Dari keadaan pasien dipilih rangkaian personal therapy yang paling cocok agar tujuan
terapi tercapai dengan mempertimbangkan efektifitas, keamanan, kecocokan, dan biaya.
Bila kasus di atas diambil sebagai contoh maka pengaturan diet dan upaya penurunan
berat badan bisa dianjurkan meskipun tetap diperlukan terapi dengan obat anti-hipertensi
yang tersedia.

4. Mulai Pengobatan
Setelah sampai pada kesimpulan dan keputusan tentang obat yang paling cocok untuk
pasien dan kasus yang kita hadapi, maka langkah berikut adalah memulai pengobatan
dengan menuliskan resep yang merupakan suatu “instruksi” kepada apoteker untuk
menyediakan/menyiapkan obat yang dibutuhkan tadi. Dalam mata rantai pengobatan
rasional, pasien pun berhak mendapatkan informasi dari apoteker dan perawat (atau
petugas kesehatan yang bertanggung-jawab untuk hal itu) tentang obat, dosis, cara
penggunaan, efek samping, dll.

5. Penjelasan Tentang Obat, Cara Pakai, dan Peringatan


Setelah resep ditulis, kita harus menjelaskan tentang berbagai hal kepada pasien yaitu:
1) Efek obat: Efek utama obat yang menjadi dasar pilihan kita untuk mengatasi
permasalahan/diagnosis perlu dijelaskan kepada pasien, misalnya gejala demam dan
pusing akan berkurang atau hilang.
2) Efek samping: Demikian pula efek samping yang mungkin muncul akibat menggunakan
obat. Namun perlu bijaksana, agar pasien tidak justru menjadi takut karenanya, yang
penting pasien tahu dan bisa mengantisipasi bila efek samping itu muncul, misalnya
hipoglikemia akibat obat anti diabetes, mengantuk akibat anti-histamin, dll
3) Instruksi: Pasien harus jelas tentang saat minum obat, cara minum obat, misalnya obat
diminum 3 kali (pagi, siang dan malam, sesudah/sebelum makan, dengan cukup air, dst.),
cara menyimpannya, apa yang harus dilakukan bila ada masalah dst. Antibiotika misalnya
harus diminum sampai habis sesuai dengan jumlah yang diresepkan, sedangkan beberapa
obat digunakan hanya bila diperlukan saja. Ada obat yang diminum secara bertahap
dengan dosis berangsur-angsur naik dan setelah itu berangsur-angsur turun
(kortikosteroid).
4) Peringatan: terkait dengan efek samping, misalnya tidak boleh mengemudi dan
menjalankan mesin karena efek kantuk obat.
5) Kunjungan berikutnya: jadwal kunjungan berikutnya ke dokter (untuk evaluasi dan
monitor terapi).
6) Sudah jelaskah semuanya? Pasien perlu ditanya apakah semua informasi yang diberikan
telah dimengerti dengan baik. Pasien bisa diminta untuk mengulang segenap informasi
yang telah disampaikan.

6. Pantau (hentikan) Pengobatan


Manjurkah pengobatan Anda?
a. Ya, dan pasien sembuh: Hentikan pengobatan
b. Ya, tapi belum selesai: Adakah efek samping serius?
o Tidak: pengobatan dapat dilanjutkan
o Ya: Pertimbangkan kembali dosis atau pilihan obat
c. Tidak dan pasien belum sembuh: Teliti ulang semua langkah:
o Diagnosis tepat?
o Tujuan pengobatan benar?
o Obat-P cocok untuk pasien ini?
o Obat diresepkan dengan benar?
o Instruksi kepada pasien benar?
o Apakah efek dipantau dengan benar?
 Hubungan antara jumlah konsumsi rokok pada satu wilayah dengan jumlah kematian
yang diakibatkan oleh penyakit paru

b. Rangkaian Berkala
Studi epidemiologi yang bertujuan mendeskripsikan dan mempelajari
frekuensi penyakit atau status kesehatan satu/beberapa populasi berdasarkan
serangkaian pengamatan pada beberapa sekuens waktu. Ciri rangkaian
berkala adalah menghubungkan variasi frekuensi penyakit dari waktu ke
waktu.

Manfaat studi rangkaian berkala adalah:

o Meramalkan kejadian penyakit berikutnya berdasarkan pengalaman


lampau
o Mengevaluasi efektifitas intervensi kesehatan masyarakat

Rangkaian berkala merupakan salah satu rancangan eksperimen semu untuk


mengevaluasi efektivitas intervensi. Evaluasi dilakukan dengan cara :
mempelajari perubahan gerakan kurva frekuensi penyakit pada populasi
selama beberapa interval waktu, baik sebelum maupun sesudah implementasi
intervensi pada populasi.

Contoh : rangkaian berkala untuk mengevaluasi efektifitas peraturan senjata


api di Detroit.

Komponen pembentuk rangkaian berkala yang dapat merancukan pengaruh


intervensi sebenarnya.

Kecenderungan sekuler : Seculer trends, yaitu perubahan atau variasi


frekuensi kejadian penyakit dalam jangka panjang

Variasi Musim

Variasi Siklik : perubahan yang terjadi secara periodic dalam satu tahun,
atau lebih. Fluktuasi jangka pendek sering ditemukan dalam epidemik
penyakit

Variasi Acak (Random)

2. Studi Individu terdiri dari :


a.Case series

Menurut National Cancer Institute (NCI) dari National Institue of Health,


Departemen Kesehatan dan Pelayanan Kemanusiaan Amerika Serikat, “Case
series merupakan serangkaian laporan pasien (serangkaian case report) yang
melibatkan pengobatan yang diberikan. Hal ini berisi data diri pasien yang
meliputi informasi demografis (seperti usia, seks, etnis) dan informasi tentang
diagnosis, pengobatan, perawatan, sampai dengan tindak lanjut setelahnya.”

Case series digunakan ketika penyakit yang diteliti bukan penyakit biasa dan
disebabkan oleh pajanan eksklusif atau hampir eksklusif (seperti vinyl
chloride dengan angiosarcoma). Hal ini merupakan hal pertama yang bisa
dilakukan untuk menemukan petunjuk dalam identifikasi sebuah penyakit
baru dan untuk melihat dampak pajanan bagi kesehatan.

Karena merupakan laporan per pasien tanpa populasi kontrol sebagai


perbandingan, case series tidak memiliki validitas statistik.

Case series berguna untuk mendeskripsikan spektrum penyakit, manifestasi


klinis, perjalanan klinis, dan prognosis kasus. Case series banyak dijumpai
dalam literatur kedokteran klinik. Tetapi desain studi ini lemah untuk
memberikan bukti kausal, sebab pada case series tidak dilakukan
perbandingan kasus dengan non-kasus. Case series dapat digunakan untuk
merumuskan hipotesis yang akan diuji dengan desain studi analitik.

b.Case report (laporan kasus)

Merupakan studi kasus yang bertujuan mendeskripsikan manifestasi klinis,


perjalanan klinis, dan prognosis kasus. Laporan kasus merupakan rancangan
studi yang menggambarkan kejadian satu kasus baru yang menarik, misalnya
terjadi kasus keracunan merthyl mercuri di Teluk Minimata Jepang. Case
report mendeskripsikan cara klinisi mendiagnosis dan memberi terapi kepada
kasus, dan hasil klinis yang diperoleh. Selain tidak terdapat kasus
pembanding, hasil klinis yang diperoleh mencerminkan variasi biologis yang
lebar dari sebuah kasus, sehingga case report kurang andal (reliabel) untuk
memberikan bukti empiris tentang gambaran klinis penyakit.

c.Cross Sectional (Studi potong-lintang)

Cross-sectional meliputi studi prevalensi dan survei) berguna untuk


mendeskripsikan penyakit dan paparan pada populasi pada satu titik waktu
tertentu. Data yang dihasilkan dari studi potong-lintang adalah data
prevalensi. Tetapi studi potong-lintang dapat juga digunakan untuk meneliti
hubungan paparan-penyakit, meskipun bukti yang dihasilkan tidak kuat untuk
menarik kesimpulan kausal antara paparan dan penyakit, karena tidak dengan
desain studi ini tidak dapat dipastikan bahwa paparan mendahului penyakit
(Murti, 1997).

Studi cross-sectional adalah sebuah studi deskriptif tentang penyakit dan


status paparan diukur secara bersamaan dalam sebuah populasi tertentu. Studi
ini mempelajari hubungan penyakit dengan paparan secara acak terhadap satu
individu dimana faktor pencetus dan status penyakit diteliti pada waktu yang
sama.

Studi Cross-sectional berpikir bagaimana menyediakan sebuah snapshot


(gambaran) frekuensi dan karakteristik dari penyakit di populasi pada suatu
titik dalam waktu tertentu. Penelitian yang bersifat eksploratif, deskriptif,
ataupun eksplanatif, penelitian cross-sectional mampu menjelaskan hubungan
satu variabel dengan variabel lain pada populasi yang diteliti, menguji
keberlakuan suatu model atau rumusan hipotesis serta tingkat perbedaan di
antara kelompok sampling Data jenis ini dapat digunakan untuk menilai
prevalensi dari kondisi akut atau kronis di sebuah populasi.

Tujuan penelitian cross sectional menurut Budiarto (2004), yaitu sebagai


berikut:

1. Mencari prevalensi serta indisensi satu atau beberapa penyakit tertentu


yang terdapat di masyarakat.
2. Memperkirakan adanya hubungan sebab akibat pada penyakit-penyakit
tertentu dengan perubahan yang jelas.

3. Menghitung besarnya risiko tiap kelompok, risiko relatif, dan risiko


atribut.

o Epidemiologi deskriptif sendiri dapat digunakan untuk menjawab terkait penyakit


dari faktor:
1. Who : menerangkan perihal orang yang terlibat dalam masalah kesehatan
termasuk juga variabel umur, jenis kelamin, suku, agama, pendidikan,
pekerjaan, dan pendapatan
2. Where : menerangkan perihal tempat yang berkaitan dengan masalah
kesehatan, dapat berupa lingkungan tempat tinggal, tempat bekerja, dan
lingkungan lain yang memiliki kemungkinan penyebab masalah kesehatan
3. When : menerangkan perihal waktu yang berkaitan dengan terjadinya
suatu masalah kesehatan

 Surveillans Epidemiologi
o Surveilans epidemiologi merupakan kegiatan analisis secara sistematis dan terus
menerus terhadap penyakit dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya
peningkatan dan penularan penyakit atau masalah-masalah kesehatan. Ketepatan
dan kelengkapan pengiriman laporan surveilans epidemiologi menjadi faktor
penting yang berhubungan dengan akurasi data.
o Berdasarkan keputusan menteri kesehatan republik indonesia nomor
1116/menkes/sk/viii/2003 tentang pedoman penyelenggaraan sistem surveilans
epidemiologi kesehatan, ruang lingkup penyelenggaraan sistem surveilans
epidemiologi kesehatan yaitu :
1.Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular Merupakan analisis terus menerus
dan sistematis terhadap penyakit menular dan faktor risiko untuk mendukung
upaya pemberantasan penyakit menular.
2.Surveilans Epidemiologi Penyakit Tidak Menular
Merupakan analisis terus menerus dan sistematis terhadap penyakit tidak
menular dan faktor risiko untuk mendukung upaya pemberantasan penyakit tidak
menular.

3.Surveilans Epidemiologi Kesehatan Lingkungan dan Perilaku


Merupakan analisis terus menerus dan sistematis terhadap penyakit dan faktor
risiko untuk mendukung program penyehatan lingkungnan.
4.Surveilans Epidemiologi Masalah Kesehatan
Merupakan analisis terus menerus dan sistematis terhadap masalah kesehatan
dan faktor risiko untuk mendukung program-program kesehatan tertentu.
5.Surveilans Epidemiologi Kesehatan Matra
6.Merupakan analisis terus menerus dan sistematis terhadap masalah kesehatan
dan faktor risiko untuk upaya mendukung program kesehatan matra. Contoh :
surveilans haji.
o Sistem surveillens:
o Berdasarkan cara pengumpulan data, sistem surveilans dapat dibagi menjadi:

1) Surveilans aktif. Pada sistem surveilans ini dituntut keaktivan dari petugas
surveilans dalam mengumpulkan data, baik dari masyarakat maupun ke unit-
unit pelayanan kesehatan. Sistem surveilans ini memberikan data yang paling
akurat serta sesuai dengan kondisi waktu saat itu. Namun kekurangannya,
sistem ini memerlukan biaya lebih besar dibandingkan surveilans pasif.

2) Surveilans pasif. Dasar dari sistem surveilans ini adalah pelaporan. Dimana
dalam suatu sistem kesehatan ada sistem pelaporan yang dibangun dari unit
pelayanan kesehatan di masyarakat sampai ke pusat, ke pemegang kebijakan.
Pelaporan ini meliputi pelaporan laporan rutin program serta laporan rutin
manajerial yang meliputi logistik, administrasi dan finansial program (laporan
manajerial program). .

o Fungsi surveilans yang paling mendasar ada 2 yaitu:

1.deteksi dini kejadian luar biasa


2.fungsi monitoring program untuk penyakit-penyakit spesifik maupun
penyakit yang umum di masyarakat.
o Prinsip Umum Surveilans Epidemiologi (Eko Budiarto, 2003)
1. Pengumpulan data dan Pencatatan insidensi terhadap population at risk.
Teknik pengumpulan data dapat dilakukan dengan wawancara dan
pemeriksaan. Tujuan pengumpulan data adalah menentukan kelompok high
risk, Menentukan jenis dan karakteristik (penyebabnya), Menentukan
reservoir, Transmisi, Pencatatan kejadian penyakit, dan KLB.
2. Pengelolaan data
Data yang diperoleh biasanya masih dalam bentuk data mentah (row data)
yang masih perlu disusun sedemikian rupa sehingga mudah dianalisis. Data
yang terkumpul dapat diolah dalam bentuk tabel, bentuk grafik maupun
bentuk peta atau bentuk lainnya.
3. Analisis dan interpretasi data untuk keperluan kegiatan
Data yang telah disusun dan dikompilasi, selanjutnya dianalisis dan dilakukan
interpretasi untuk memberikan arti dan memberikan kejelasan tentang situasi
yang ada dalam masyarakat.
4. Penyebarluasan data dan keterangan termasuk umpan balik
Setelah analisis dan interpretasi data serta telah memiliki keterangan yang
cukup jelas dan sudah disimpulkan dalam suatu kesimpulan, selanjutnya
dapat disebarluaskan kepada semua pihak yang berkepentingan, agar
informasi ini dapat dimanfaatkan sebagai mana mestinya.
5. Evaluasi Hasil
Evaluasi terhadap data sistem surveilans selanjutnya dapat digunakan untuk
perencanaan, penanggulangan khusus serta program pelaksanaannya, untuk
kegiatan tindak lanjut (follow up), untuk melakukan koreksi dan perbaikan-
perbaikan program
o Surveillans epidemiologi sendiri memiliki tujuan untuk dapat melakukan tindakan
penanggulangan secara efektif-efisien serta penyebaran informasi epidemiologi
yang baik melalui penyelenggara program kesehatan
6. Perbedaan Obat Kimia dan Obat Herbal
 Obat Kimiawi :
a. Lebih diarahkan untuk menghilangkan gejala-gejalanya saja.
b. Bersifat sympthomatis yang hanya untuk mengurangi penderitaannya saja.
Beberapa jenis penyakit memang belum ada obatnya, obat yang ada hanya bersifat
simptomatik dan harus diminum seumur hidup. Beberapa penyakit belum diketahui
penyebabnya. Banyak pasien secara rutin pergi ke dokter tanpa perbaikan yang signifikan
bahkan semakin buruk keadaannya.
c. Bersifat paliatif artinya penyembuhan yang bersifat spekulatif, bila tepat penyakit akan
sembuh, bila tidak endapan obat akan menjadi racun yang berbahaya.
d. Lebih diutamakan untuk penyakit-penyakit yang sifatnya akut (butuh pertolongan segera)
seperti asma akut, diare akut, patah tulang, infeksi akut dan lain-lain.
e. Reaksi cepat, namun bersifat destruktif artinya melemahkan organ tubuh lain, terutama
jika dipakai terus-menerus dalam jangka waktu lama.
f. Efek samping yang bisa ditimbulkan iritasi lambung dan hati, kerusakan ginjal,
mengakibatkan lemak darah. Terdapat efek samping dari obat kimia yang bisa berupa
efek samping langsung maupun tidak langsung atau terakumulasi. Hal ini terjadi karena
bahan kimia bersifat anorganik dan murni sementara tubuh bersifat organik dan
kompleks. Maka bahan kimia bukan bahan yang benar benar cocok untuk tubuh.
Penggunaan bahan kimia pada tubuh dianggap sebagai sesuatu yang tidak terhindarkan
dan digunakan secara terbatas yang dapat diterima dan ditoleransi oleh tubuh.
g. Reaksi terhadap tubuh cepat.

 Obat Tradisional
a) Diarahkan pada sumber penyebab penyakit dan perbaikan fungsi serta organ-organ yang
rusak.
b) Bersifat rekonstruktif atau memperbaiki organ dan membangun kembali organ-organ,
jaringan atau sel-sel yang rusak.
c) Bersifat kuratif artinya benar-benar menyembuhkan karena pengobatannya pada sumber
penyebab penyakit.
d) Lebih diutamakan untuk mencegah penyakit, pemulihan penyakit-penyakit komplikasi
menahun, serta jenis penyakit yang memerluakan pengobatan lama.
e) Reaksi lambat tetepi bersifat konstruktif atau memperbaiki dan membangun kembali
organ-organ yang rusak.
f) Efek samping hampir tidak ada, asalkan diramu oleh herbalis yang ahli dan
berpengalaman
 Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 82 tahun 2014
tentang penanggulangan penyakit menular
Pasal 24
(1) Dalam rangka penyelenggaraan Penanggulangan Penyakit Menular pada KLB atau
Wabah, dibentuk Tim Gerak Cepat di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.
(2) Tim Gerak Cepat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki tugas dan fungsi:
a. melakukan deteksi dini KLB atau Wabah;
b. melakukan respon KLB atau Wabah; dan
c. melaporkan dan membuat rekomendasi penanggulangan

(3) Dalam melaksanakan tugas dan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Tim
Gerak Cepat berhak mendapatkan akses untuk memperoleh data dan informasi secara
cepat dan tepat dari fasilitas pelayanan kesehatan dan masyarakat

 Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1991 telah


dibuat suatu sistem kewaspadaan dini KLB (SKD - KLB) dengan menerapkan surveilans
epidemiologi untuk pencegahan dan penanggulangan cepat suatu Wabah, Upaya
penanggulangan meliputi:
a. Penyelidikan epidemiologis, yang bertujuan untuk:
•Mengetahui sebab-sebab penyakit wabah
• Menentukan faktor penyebab timbulnya wabah
• Mengetahui kelompok masyarakat yang terancam terkena wabah
• Menentukan cara penanggulangan
b. Pemeriksaan, Pengobatan, Perawatan, dan Isolasi Penderita, termasuk Tindakan
Karantina, dilakukan di sarana pelayanan kesehatan, atau di tempat yang ditentukan.
Kegiatan ini dilakukan bertujuan untuk:
•Memberikan pertolongan medis kepada penderita agar sembuh dan mencegah agar
mereka tidak menjadi sumber penularan
•Menemukan dan mengobati orang yang tampaknya sehat, tetapi mengandung
penyebab penyakit sehingga secara potensial dapat menularkan penyakit (carrier)
c. Pencegahan dan Pengebalan
Pencegahan dan pengebala dilakukan terhadap masyarakat yang mempunyai risiko
terkena penyakit wabah dengan atau tanpa persetujuan dar orang yang bersangkutan.
Kegiatan ini dilakukan untuk memberi perlindungan kepada orang-orang yang belum
sakit tetapi mempunyai resiko untuk terkena penyakit.
d. Mempertinggi nilai kesehatan, hal ini dapat dilakukan dengan cara usaha kesehatan per
orang dan usaha kesehatan lingkungan, salah satunya adalah dengan membiasakan untuk
mencuci tangan setelah melakukan kegiatan untuk menghindari patogen
e. Memberikan vaksinasi/ imunisasi, merupakan usaha untuk melakukan pengebalan
tubuh.
f. Pemeriksaan kesehatan berkala, merupakan upaya yang dilakukan untuk mencegah
munculnya atau menyebarnya suatu penyakit , sehingga munculnya
wabah dapat dideteksi secara dini.
g. Pemusnahan penyebab penyakit, Tindakan ini harus dilakukan dengan cara tidak
merusak lingkungan hidup atau tidak menyebabkan tersebarnya wabah penyakit. Seperti
contoh, dalam pemusnahan sarang tempat berkembangbiaknya nyamuk penular malaria.
 Suatu daerah dapat ditetapkan dalam keadaan KLB, apabila memenuhi salah satu kriteria
sebagai berikut:
a. Timbulnya suatu penyakit menular tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal pada suatu daerah.
b. Peningkatan kejadian kesakitan terus menerus selama 3 (tiga) kurun waktu dalam
jam, hari atau minggu berturut-turut menurut jenis penyakitnya.
c. Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan dengan periode
sebelumnya dalam kurun waktu jam, hari atau minggu menurut jenis penyakitnya.
d. Jumlah penderita baru dalam periode waktu 1 (satu) bulan menunjukkan kenaikan
dua kali atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata per bulan dalam tahun
sebelumnya.
e. Rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan selama 1 (satu) tahun menunjukkan
kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan rata-rata jumlah kejadian kesakitan
per bulan pada tahun sebelumnya.
f. Angka kematian kasus suatu penyakit (Case Fatality Rate) dalam 1 (satu) kurun
waktu tertentu menunjukkan kenaikan 50% (lima puluh persen) atau lebih
dibandingkan dengan angka kematian kasus suatu penyakit periode sebelumnya
dalam kurun waktu yang sama.
g. Angka proporsi penyakit (Proportional Rate) penderita baru pada satu periode
menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibanding satu periode sebelumnya dalam
kurun waktu yang sama.
 Dalam pasal 14 Permenkes Nomor 1501/Menteri/Per/X/2010 disebutkan bahwa upaya
penanggulangan KLB dilakukan secara dini kurang dari 24 jam terhitung sejak terjadinya
KLB.
 Penanggulangan KLB :
a. Penyelidikan epidemiologi
b. Tata laksana penderita yang meliputi pemeriksaan, pengobatan, perawatan, dan
isolasi penderita
c. Pencegahan dan pengebalan
d. Pemusnahan penyebab penyakit
e. Penanganan jenazah
f. Penyuluhan kepada masyarakat
 Program pengendalian KLB :
1) Perencanaan
o Analisis masalah
o Penentuan prioritas masalah (bisa menggunakan metode CARL)
o Inventarisasi alternatif pemecahan masalah
o Menyusun dokumen perencanaan (target → SMART, uraian kegiatan, tempat,
waktu, uraian kegiatan, indikator, rincian kebutuhan biaya, dll.)
2) Pelaksanaan : merupakan implementasi dari tahap perencanaan.
3) Pengendalian : mencakup monitoring dan supervise
 Penyelidikan dan penanggulangan KLB :
1) Menegakkan atau memastikan diagnosis
2) Memastikan terjadinya KLB
3) Menghitung jumlah kasus/angka insidens yang tengah berjalan
4) Menggambarkan karakteristik KLB
5) Mengidentifikasi sumber dan cara penularan
6) Mengidentifikasi populasi yang mempunyai peningkatan risiko
7) Tindakan penanggulangan
7. Malpraktik, Abortus, Sanksi
 Abortus dapat dibagi atas dua golongan yaitu abortus spontan dan abortus provokatus.
Abortus spontan adalah abortus yang terjadi tanpa tindakan mekanis dan disebabkan oleh
faktor-faktor alamiah. Abortus provokatus adalah abortus yang terjadi akibat tindakan
atau disengaja, baik dengan memakai obat-obatan maupun alat-alat (Mochtar, 1998).
Klasifikasi abortus menurut Sastrawinata dan kawan-kawan (2005) adalah seperti
berikut:
d. Abortus spontan adalah keluarnya hasil konsepsi tanpa intervensi medis
maupun mekanis.
e. Abortus buatan, Abortus provocatus (disengaja, digugurkan), yaitu:
o Abortus buatan menurut kaidah ilmu (Abortus provocatus artificialis
atau abortus therapeuticus). Indikasi abortus untuk kepentingan ibu,
misalnya : penyakit jantung, hipertensi esential, dan karsinoma serviks.
Keputusan ini ditentukan oleh tim ahli yang terdiri dari dokter ahli
kebidanan, penyakit dalam dan psikiatri, atau psikolog.
o Abortus buatan kriminal (Abortus provocatus criminalis) adalah
pengguguran kehamilan tanpa alasan medis yang sah atau oleh orang
yang tidak berwenang dan dilarang oleh hukum.
8. Persepsi Agromedis

DAFTAR PUSTAKA

Wijayati, M. (2015). Aborsi Akibat Kehamilan Yang Tidak Diinginkan (KTD). Jurnal Studi
Keislaman, 15(1), 43–62.

Dewi Sumartini. 2017. Medikolegal pengobatan untuk diri sendiri (swamedikasi) sebagai upaya
menyembuhkan penyakit. HUKUM DAN DINAMIKA MASYARAKAT VOL.15 NO.1
OKTOBER 2017

Subanada, I. B. dan S. H. Denpasar. 2014. Artikel asli. 36(September):19–24.

Desrini. 2015. The benefit and risk of misoprostol use: in obstetrics and gynecology Indonesian.
Journal of Medicine and Health
Simatupang, A. 2012. Pedoman WHO tentang Penulisan Resep yang Baik sebagai Bagian
Penggunaan Obat yang Rasional WHO-Guide to Good Prescribing as Part of Rational Drug
Use.13November 2019.< https://www.researchgate.net/publication/232162506>.
Anonim. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2005: Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.

Drs. Priyanto, M.Biomed., Apt. 2012 Farmakoterapi dan terminologi medis


[Kerasionalan Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Rawat Inap Anak Rumah Sakit M.M
Dunda Limboto.PDF]&[Kerasionalan Penggunaan Asiklovir Pada Salah Satu Poliklinik
Kulit Dan Kelamin Di Sumatera Selatan.PDF] Tahun 2007
Ratri, G., Indah, A., Amirah, W., Faris, A. El, Wahyuni, S., Khadijah, T., … Ainun, R. (2015).
Pengetahuan Ibu Tentang Pengobatan Selama Masa Kehamilan. Jurnal Farmasi Komunitas,
2(2), 47–51.
Ayu, S. 2008. PRESKRIPSI dokter kaidah penulisan resep. (Vi)

Nuryati. 2017. Farmakologi bahan ajar rekam medis dan informasi kesehatan. Jakarta :
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia

Simatupang, A. 2012. Pedoman who tentang penulisan resep yang baik sebagai bagian
penggunaan obat yang rasional. Majalah Kedokteran FK UKI. 1–13.
Kementrian Kesehatan RI. 2011. BUKU pedoman penyelidikan dan penanggulangan kejadian
luar biasa penyakit menular dan keracunan pangan (pedoman epidemiologi penyakit). 176.

Gan, Sulistia, 1995.Farmakologi dan Terapi, edisi ke-4, FK-UI, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai