Anda di halaman 1dari 8

KEWARGANEGARAAN

KONSEP DASAR TENTANG WARGA NEGARA


1. PENGERTIAN WARGA NEGARA
Warga negara diartikan dengna orang-orang sebagai bagian dari suatu penduduk
yang menjadi unsur negara. Istilah ini dahulu biasa disebut hamba atau kawula negara.
Istilah warga negara lebih sesuai dengan kedudukannya sebagai orang merdeka
dibandingkan dengan istilah hamba atau kawula negara, karena warga negara
mengandung arti peserta, anggota atau warga dari suatu negara, yakni peserta dari
suatu persekutuan yang didirikan dengan kekuatan bersama, atas dasar tanggung jawab
bersama dan untuk kepentingan bersama. Untuk itu, setiap wrga negara mempunyai
persamaan hak di hadapan hukum. Semua warga negara memiliki kepastian hak, privasi
dan tanggung jawab.
Sejalan dengan definisi di atas, AS Hikam pun mendefinisikan bahwa warga
negara yang merupakan terjemahan dari citizenship adalah anggota dari sebuah
komunitas yang membentuk negara itu sendiri. Istilah ini menurutnya lebih baik
ketimbang istilah kawula negara karena kawula negara betul-betul berarti obyek yang
dalam bahasa Inggris (Object) berarti orang yang dimiliki dan mengabdikan kepada
pemiliknya.
Secara singkat, Koeriatmanto S., mendefinisikan warga negara dengang anggota
negara. Sebagai anggota negara, seorang warga negara mempunyai kedudukan yang
khusus terhadap negaranya. Ia mempunyai hubungan hak dan kewajiban yang bersifat
timbal balik terhadap negaranya.
Dalam konteks Indonesia, istilah warganegara (sesuai dengan UUD 1945 pasal
26) dimaksudkan untuk bangsa Indonesia asli dan bangsa lain yang disahkan Undang-
Undang sebagai warga negara. Dalam penjelasa UUD 1945 pasal 26 ini, dinyatakan
bahwa orang-ornag bangsa lain, misalnya orang peranakan Belanda, Peranakan Cina,
Peranakan Arab dan lain-lain yang bertempat tinggal di Indonesia, mengakui Indonesia
sebagai Tanah Airnya dan bersikap setia kepada Negara Republik Indonesia dapat
menjadi warga negara.
Selain itu, sesuai dengan pasal 1 UU No. 22/1958 dinyatakan bahwa warga
negara Republik Indonesia adalah orang-ornag yang berdasarkan perundang-undangan
dan/atau perjanjian-perjanjian dan/atau peraturan-peraturan yang berlaku sejak
Proklamasi 17 Agustus 1945 sudah menjadi warga negara Republik Indonesia.

ASAS KEWARGANGARAAN
Sebagaimana dijelaskan bahwa warga negara merupakan anggota sebuah negara
yang mempunyai tanggung jawab dan hubungan timbal balik terhadap negaranya.
Seseorang yang diakui sebagai warga yang telah disepakati dalam negara tersebut.
Ketentuan itu menjadi asas atau pedoman untuk menentukan status kewarganegaraan
seseorang. Setiap negara mempunyai kebebasan dan kewenangan untuk menentukan
asas kewarganegaraan seseorang.
Dalam menerapkan asas kewarganegaraan ini, dikenal dengan 2 (dua) pedoman,
yaitu asas kewarganegaraan berdasarkan kelahiran dan asas kewarganegaran
berdasarkan perkawinan. Dari sisi kelahiran, ada 2 (dua) asas kewarganegaraan yang
sering dijumpai, yaitu ius soli (tempat kelahiran) dan ius sanguinis (keturunan).
Sedangkan dari sisi perkawinan dikenal pula asas kesatuan hukum dan asas persamaan
derajat.

A. DARI SISI KELAHIRAN


Pada umumnya, penentuan kewarganegaraan berdasarkan pada sisi kelahiran
seseorang (sebagaimana disebut di atas) dikenal dengan 2 (dua) asas kewarganegaran,
yaitu ius soli dan ius sanguinis. Kedua istilah tersebut berasal dari bahasa latin. Ius
berarti hukum, dalil atau pedoman, Soli berasal dari kata solum yang berarti negeri,
tanah atau daerah dan sanguinis berasal dari kata sanguis yang berarti darah. Dengan
demikian ius soli berarti pedoman kewarganegaraan yang berdasarkan tempat atau
daerah kelahiran, sedangkan ius sanguinis adalah pedoman kewarganegaraan
berdasarkan darah atau keturunan.
Sebagai contoh, jika sebuah negara menganut asas ius soli, maka seseorang yang
dilahirkan di negara tersebut, mendapat hak sebagai warganegara. Begitu pula dengan
asas ius sanguinis. Jika sebuah negara menganut asas ius sanguinis, maka seseorang
yang lahir dari orang tua yang memiliki kewarganegaraan suatu negara, Indonesia
misalnya, maka anak tersebut berhak mendapatkan status kewarganegaraan
orangtuanya, yakni warga negara Indonesia.
Pada awalnya, asas kewarganegaraan berdasarkan kelahiran ini hanya satu,
yakni ius soli. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa karena seseorang lahir di suatu
wilayah negara, maka otomatis dan logis ia menjadi warga negara tersebut. Akan tetapi,
dengan semakin tingginya tingkat mobilitas manusia, diperlukan suatu asas lain yang
tidak hanya berpatokan pada tempat kelahiran saja. Selain itu, kebutuhan terhadap
asas lain ini juga berdasarkan realitas empirik bahwa ada orang tua yang memiliki
status kewarganegaraan yang berbeda. Hal ini akan bermasalah jika kemudian orang
tua tersebut melahirkan anak di tempat salah satu orang tuanya (misalnya di tempat
ibunya). Jika tetap menganut asas ius soli, maka si anak hanya mendapatkan status
kewarganegaraan ibunya saja, sementara ia tidak berhak atas status kewarganegaraan
bapaknya. Atas dasar itulah, maka asa ius singuinis dimunculkan, sehingga si anak
dapat memiliki status kewarganegaraan bapaknya.

B. DARI SISI PERKAWINAN


Selain hukum kewarganegaraan dilihat dari sudut kelahiran, kewarganegaraan
seseorang juga dapat dilihat dari sisi perkawinan yang mencakup asas kesatuan hukum
dan asas persamaan derajat. Asas ksatuan hukum berdasarkan pada paradigma bahwa
suami-istri ataupun ikatan keluarga merupakan inti masyarakat yang meniscayakan
suasana sejahtera, sehat dan tidak terpecah. Dalam menyelenggarakan kehidupan
bermasyarakatnya, suami-isteri ataupun keluarga yang baik perlu mencerminkn
adanya suatu kesatuan yang bulat.
Untuk merealisasikan terciptanya kesatuan dalam keluarga atau suami-istri,
maka semua harus tuduk pada hukum yang sama. Dengan adanya kesamaan
pemahaman dan komitmen menjalankan kebersamaan atas dasar hukum yang sama
tersebut, meniscayakan terdapat perbedaan yang dapat mengganggu keutuhan dan
kesejahteraan keluarga.
Sedangkan dalam asas persamaan derajat ditentukan bahwa suatu perkawinan
tidak menyebabkan perubahan status kewarganegaraan masing-masing pihak. Baik
suami ataupun isteri tetap berkewarganegaraan asal, atau dengan kata lain sekalipun
sudah menjadi suami isteri, mereka tetap memiliki status kewarganegaraan sendiri
sama halnya ketika mereka belum diikatkan menjadi suami isteri.
Asas ini dapat menghindari terjadinya penyelundupan hukum misalnya,
seseorang yang berkewarganegaraan asing ingin memperoleh status kewarganegaraan
suatu negara dengan cara atau berpura-pura melakukan pernikahan dengan
perempuan di negara tersebut. Setelah melalui perkawinan dan orang tersebut
memperoleh kewarganegaraan yang diinginkannya, maka selanjutnya ia menceraikan
isterinya. Untuk menghindari penyelundupan hukum semacam ini, banyak negara yang
menggunakan asas persamaan derajat dalam penentuan kewarganegaraannya.

UNSUR-UNSUR YANG MENENTUKAN KEWARGANEGARAAN


1. UNSUR DARAH KETURUNAN (IUS SANGUINIS)
Kewarganegaraan dari dua orang yang menurunkannya menentukan
kewarganegaraan seseorang artinya kalau orang dilahirkan dari orang tua yang
berkewarganegaraan Indonesia, ia dengan sendirinya juga warga negara Indonesia.
Prinsip ini adalah prinsip asli yang telah berlaku sejak dahulu, yang diantaranya
terbukti dalam sistem kesukuan, dimana anak dari anggota suku dengan sendirinya
dianggap sebagai anggota suku itu. Sekarang prinsip ini berlaku diantaranya di Inggris,
Amerika, Prancis, Jepang, dan juga Indonesia.

2. UNSUR DAERAH TEMPAT KELAHIRAN (IUS SOLI)


Daerah tempat seseorang dilahirkan menentukan kewarganegaraan. Misalnya,
kalau orang dilahirkan di dalam daerah hukum Indonesia, ia dengan sendirinya menjadi
warga negara Indonesia. Terkecuali anggota-anggota korps diplomatik dan anggota
tentara asing yang masih dalam ikatan dinas. Di samping dan bersama-sama dengan ius
sanguinis, prinsip ius soli ini berlaku juga di negara Amerika, Inggris, Prancis dan
Indonesia. Tetapi di Jepang prinsip ius soli ini tidak berlaku. Karena seseorang yang
tidak dapat membuktikan bahwa orang tuanya berkebangsaan Jepang, ia tidak dapat
diakui sebagai warga negara Jepang.

3. UNSUR PEWARGANEGARAAN (NATURALIS)


Walaupun tidak dapat memenuhi prinsip ius sanguinis ataupun ius soli, orang
dapat juga memperoleh kewarganegaraan dengan jalan pewarganegaraan atau
naturalisasi. Syarat-syarat dan prosedur pewarganegaraan ini diberbagai negara
sedikit-banyak dapat berlainan, menurut kebutuhan yang dibawakan oleh kondisi dan
situasi negara masing-masing.
Dalam pewarganegaraan ini ada yang aktif ada pula yang pasif. Dalam
pewarganegaraan aktif, seseorang dapat menggunakan hak opsi untuk memilih atau
mengajukan kehendak menjadi warga negara dari suatu negara. Sedangkan dalam
pewarganegaraan pasif, seseorang yang tidak mau diwarganegarakan oleh suatu negara
atau tidak mau diberi atau dijadikan warga negara suatu negara, mka yang
bersangkutan dapat menggunakan hak repudiasi, yaitu hak untuk menolak pemberian
kewarganegaraan tersebut (Kartasapoetra, 1993:216-7).
Membicarakan status kewarganegaraan seseorang dalam sebuah negara, maka
akan dibahas beberapa persoalan yang berkenaan dengan seseorang yang dinyatakan
sebagai warga negara. Jika diamati dan dianalisis, diantra penduduk sebuah negara, ada
diantara mereka yang bukan warga negara (orang asing) di negara tersebut. Dalam hal
ini, dikenal dengan apatriade, bipatride, dan multipatride.
Apatride merupakan istilah untuk orang-orang yang tidak mempunyai status
kewarganegaraan. Sedangkan bipatriade merupakan istilah yang digunakan untuk
orang-orang yang memiliki status kewarganegaraan rangkap atau dengan istilah lain
dikenal dengan dwi-kewarganegaraan. Sementara yang dimaksud dengan multipatride
adalah istilah yang digunakan untuk menyebutkan status kewarganegaraan seseorang
yang memiliki 2 (dua) atau lebih status kewarganegaraan.
Kalau orang-orang yang tidak memiliki kewarganegaraan merupakan suatu yang
akan mempersulit orang tersebut dalam konteks menjadi penduduk suatu bangsa.
Mereka sebagai orang asing, yang tentunya akan berlaku ketentuan-ketentuan
peraturan atau perundang-undangan bagi orang asing, yang selain segala kegiatannya
akan terbatasi, juga setiap tahunnya diharuskan membayar sejumlah uang pendaftaran
sebagai orang asing.
Kasus kewarganegaraan dengan kelompok bipatride, dalam realitas empiriknya,
merupakan kelompok status hukum yang tidak baik, karena dapat mengacaukan
keadan kependudukan di antara dua negara, karena itulah tiap negara dalam
menghadapi masalah bipatride dengan tegas mengharuskan orang-orang terlibat untuk
secara tegas memilih salah satu di antara kedua kewarganegaraan.
Kondisi seseorang dengan status berdwikewarganegaraan, sering terjadipada
penduduk yang tinggal di daerah perbatasan di antara dua negara. Dalam hal ini,
diperlukan peraturan atau ketentuan-ketentuan yang pasti tentang perbatasan serta
wilayah tingga teritorial, sehingga penduduk di daerah itu dapat meyakini dirinya
termasuk ke dalam kewarganegaraan mana diantara dua negara tersebut.
Untuk membangun suatu tatanan masyarakat yang demokratis dan
berkeadaban, maka setiap warga negara haruslah memiliki karakter atau jiwa yang
demokratis pula. Ada beberapa karakteristik bagi warga negara yang disebut demokrat,
yakni antara lain sebagai berikut :
1. RASA HORMAT DAN TANGGUNG JAWAB
Sebagai warga negara yang demokratis, hendaknya memiliki rasa hormat
terhadap sesama warga negara terutama dalam konteks adanya pluralitas masyarakat
Indonesia yang terdiri dari berbagai etnis, suku, ras, keyakinan, agama, dan ideologi
politik. Selain itu, sebagai warga negara yang demokrat, seorang warga negara juga
dituntut untuk turut bertanggung jawab menjaga keharmonisan hubungan antar etnis
serta keteraturan dan ketertiban negara yang berdiri di atas pluralitas tersebut.

2. BERSIFAT KRITIS
Warga negara yang demokrat hendaknya selalu bersikap kritis, baik terhadap
kenyataan empiris (realistas sosial, budaya dan politik) maupun terhadap kenyataan
supra-empiris (Agama, mitologi, kepercayaan). Setiap kritis juga harus ditunjukkan
pada diri sendiri. Sikap kritis pada diri sendiri itu tentu disertai sikap kritis terhadap
pendapat yang berbeda. Tentu saja sikap kritis ini harus didukung oleh sikap yang
bertanggung jawab terhadap apa yang dikritisi.
3. MEMBUKA DISKUSI DAN DIALOG
Perbedaan pendapat dan pandangan serta perilaku merupakan realits empirik
yang pasti terjadi di tengah komunitas warga negara, apalagi di tengah komunitas
masyarakat yang plural dan multi etnik. Untuk meminimalisir konflik yang ditimbulkan
dari perbedaan tersebut, maka membuka ruang untuk berdiskusi dan berdialog
merupakan salahs atu solusi yang bisa digunakan. Oleh karenanya, sikap membuka diri
untuk berdialog dan diskusi merupakan salah satu ciri sikap warga negara yang
demokrat.

4. BERSIKAP TERBUKA
Sikap terbuka merupakan penghargaan terhadap kebebasa sesama manusia,
termasuk rasa menghargai terhadap hal yang tidak biasa atau baru serta hal-hal yang
mungkin asing. Sikap terbuka yang didasarkan atas kesadaran akan pluralisme dan
keterbatasan diri akan melahirkan kemampuan untuk memahami dan tidak secepatnya
menjatuhkan penilaian dan pilihan.

5. RASIONAL
Bagi warga negara yang demokrat, memiliki kemampuan untuk mengambil
keputusan secara bebas dan rasional adalah sesuatu hal yang harus dilakukan.
Keputusan-keputusan yangd iambil secara rasional akan mengantarkan sikap yang logis
yang ditampilkan oleh warga negara. Sementara, sikap dan keputusan yang diambil
secara tidak rasional akan membawa implikasi emosional dan cenderung egois.
Masalah-masalah yang terjadi di lingkungan awrga negara, persoalan politik, sosial,
budaya dan sebagainya, sebaliknya dilakukan dengan keputusan-keputusan yang
rasional.

6. ADIL
Sebagai warga negara yang demokrat, tidak ada tujuan baik yang patut
diwujudkan dengan cara-cara yang tidak adil. Penggunaan cara yang tidak adil adalah
bentuk pelanggaran hak azasi dari orang yang diperlakukan tidak adil. Dengan
semangat keadilan, maka tujuan-tujuan bersama bukanlah suatu yang didiktekan tetapi
ditawarkan, mayoritas suara bukanlah diatur tetepi diperoleh.

7. JUJUR
Memiliki sikap dan sifat yang jujur bagi warga negara merupakan sesuatu yang
niscaya. Kejujuran merupakan kunci bagi terciptanya keselarasan dan keharmonisan
hubungan antar warga negara. Sikap jujur bisa diterapkan di segala sektor, baik politik,
sosial dan sebagainya.
Kejujuran politik adalah bahwa kesejahteraan warga negara merupakan tujuan
yang ingin dicapai, yaitu kesejahteraan dari masyarakat yang memilih para politisi.
Ketidakjujuran politik mencari keuntungan bagi dirinya sendiri atau masalah
keuntungan bagi partainya, karena partai itu penting bagi kedudukannya.
Beberapa karakteristik warga negara yang demokrat tersebut, merupakan sikap
dan sifat yang seharusnya melekat pada seorang warga negara. Hal ini akan
menampilkan sosok warga negara yang otonom, yakni mampu mempengaruhi dan
berpartisipasi dalam pengambilan di tingkat lokal secara mandiri. Sebagai warga negara
yang otonom, ia mempunyai karakeristik lanjutan sebagai berikut :
1. Memiliki kemandirian. Mandiri berarti tidak mudah dipengaruhi atau
dimobilisasi, teguh pendirian, dan bersikap kritis pada segenap keputusan publik
2. Memiliki tanggung jawab pribadi, politik dan ekonomi sebagai warga negara,
khususnya di lingkungan masyarakatnya yang terkecil seperti RT, RW, Desa dan
seterusnya. Atau juga di lingkungan sekolah dan perguruan tinggi
3. Menghargai martabat manusia dan kehormatan pribadi. Menghargai berarti
menghormati hak-hak asasi dan privasi pribadi orang per orang tanpa
membedakan ras, warna kulit, golongan ataupun warga negara yang lain.
4. Berpartisipasi dalam urusan kemasyarakatan dengan pikiran dan sikap yang
santun. Warga negara yang otonom secara efektif mampu mempengaruhi dan
berpartisipasi dalam proses-proses pengambilan kebijakan pada level sosial
yang paling kecil dan lokal, misalnya dalam rapat kepanitiaan, pertemuan rukun
warga dan termasuk juga mengawasi kinerja dan kebijakan parlemen dan
pemerintah.
5. Mendorong berfungsinya demokrasi konstitusional yang sehat. Tidak ada
demokrasi tanpa aturan hukum dan konstitusi. Tanpa konstitusi, demokrasi akan
menjadi anarkhi. Karena itu, warga negara yang otonom harus melakukan tiga
hal untuk mewujudkan demokrasi konstitusional yaitu :
a. Menciptakan kultur taat hukum yang sehat dan aktif (culture of law)
b. Ikut mendorong proses pembuatan hukum yang aspiratif (process of law
making)
c. Mendukung pembuatan materi-materi hukum yang responsif (content of
law)
d. Ikut menciptakan aparat penegak hukum yang bertanggung jawab (structure
of law) (Khoiron, dkk 1999 : 89-97).

CARA DAN BUKTI MEMPEROLEH KEWARGANEGARAAN


Pada umumnya ada 2 (dua) kelompok warga negara dalam suatu negara, yakni
warga negara yang memperoleh status kewarganegaraannya melalui stelsel pasif atau
dikenal juga dengan warga negara by operation of law dan warga negara yang
memperoleh kewarganegaraannya melalui stelsel aktif atau dikenal dengan by
registration.
Dalam penjelasan umum Undang-Undang No. 62 / 1958 bahwa ada 7 (tujuh)
cara memperoleh kewarganegaraan, yaitu (1) karena kelahiran, (2) karena
pengangkatan, (3) karena dikabulkannya permohonan, (4) karena pewarganegaraan,
(5) karena perkawinan, (6) karena turut ayah atau ibu, serta (7) karena pernyataan.
Untuk memperoleh status kewarganegaraan Indonesia, diperlukan bukti-bukti
sebagia berikut (Berdasarkan Undang-Undang No. 62/1958).
1. Surat bukti kewarganegaraan untuk mereka yang memperoleh
kewarganegaraan Indonesia karena kelahiran adalah dengan akta kelahiran
2. Surat bukti kewarganegaraan untuk mereka yang memperoleh
kewarganegaraan Indonesia karena pengangkatan adalah Kutipan
Pernyataan Sah Buku Catatan Pengangkatan anak Asing dari Peraturan
Pemerintah No. 67/1958, sesuai dengan Surat Edaran Menteri Kehakiman
No. JB. 3/2/25, butir 6 tanggal 5 Januari 1959.
3. Surat bukti kewarganegaraan untuk mereka yang memperoleh
kewarganegaraan Indonesia karena dikabulkannya permohonan adalah
petikan keputusan presiden tentang permohonan tersebut (tanpa
pengucapan sumpah dan janji setia)
4. Surat bukti kewarganegaraan untuk mereka yang memperoleh
kewarganegaraan Indonesia karena pewarganegaraan adalah Petikan
Keputusan Presiden tentang Pewarganegaraan tersebut setelah pemohon
mengangkat sumpah dan janji setia.
5. Surat bukti kewarganegaraan untuk mereka yang memperoleh
kewarganegaraan Indonesia karena pernyataan adalah sebagaimana diatur
dalam Surat Edaran Menteri Kehakiman No. JB. 3/166/22, tanggal 30
September 1958 tentang Memperoleh/kehilangan kewarganegaraan
Republik Indonesia dengan pernyataan.

HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA


Dalam pengertian warga negara secara umum dinyatakan bahwa warga negara
merupakan anggota negara yang mempunyai kedudukan khusus terhadap negaranya. Ia
mempunyai hubungan hak dan kewajiban yang bersifat timbal balik terhadap
negaranya. Berdasarkan pada pengertian tersebut, maka adanya hak dan kewajiban
warga negara terhadap negaranya merupakan suatu yang niscaya ada.
Dalam konteks Indonesia, hak warga negara terhadap negaranya telah diatur
dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan berbagai peraturan lainnya yang merupakan
derivasi dari hak-hak umum yang digariskan dalam UUD 1945. Diantara hak-hak warga
negara yang dijamin dalam UUD adalah Hak Azasi Manusia yang rumusan lengkapnya
tertuang dalam pasal 28 UUD Perubahan Kedua. Dalam pasal tersebut dimuat hak-hak
asasi yang melekat dalam setiap individu warga negara seperti hak kebebasan
beragama dan beribadat sesuai dengan kepercayaannya, bebas untuk berserikat dan
berkumpul (Pasal 28E), hak atas pengakuan jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil, hak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil
dan layak dalam hubungan kerja, hak memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintah, hak atas status kewarganegaraan (pasal 28F), dan hak-hak asasi lainnya
yang tertuang dalam pasal tersebut. Sedangkan contoh kewajiban yang melekat bagi
setiap warga negara antara lain kewajiban membayar pajak sebagai kontrak utama
antara negara dengan warga, membela tanah air (Pasal 27), membela pertahanan dan
keamanan negara (Pasal 29), menghormati hak asasi orang lain dan mematuhi
pembatasan yang tertuang dalam peraturan (pasal 28J), dan berbagai kewajiban
lainnya dalam Undang-Undang. Prinsip utama dalam penentuan hak dan kewajiban
warga negara adalah terlibatnya (langsung atau perwakilan) dalam setiap perumusan
hak dan kewajiban tersebut sehingga warga sadar dan menganggap hak dan kewajiban
tersebut sebagai bagian dari kesepakatan mereka yang dibuat sendiri.
DAFTAR RUJUKAN

Azed, Abdul Baru, Intisari Kuliah Masalah Kewarganegaraan, Jakart : Ind-Hill.Co., 1996,
cet. Ke-1
Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia Pustaka Media, 1987.
Khairon, dkk, Penddiikan Politik bagi Warganegara, Yogyakarta : LKIS, 1999.
Kusnardi, Moh dan Harmaily Ibrahim, Hukum Tatanegara Indonesia, Jakarta : FHUI dan
CV. Sinar Bakti, 1983.
Lubis. M. Solly, Asas-asas Hukum Tata Negara, Bandung : Alumni, 1982.
Prodjodikoro, Wirjono, Asas-asas ilmu negara dan politik, Bandung : Eresco, 1971
Syafi’e, Wirjono, Asas-asas Ilmu Negara dan Politik, Bandung : Mandar Maju, 1994.
Ubaidillah, Ahmad, et. al, Pendidikan Kewrgaan (Civic Education): Demokrasi, HAM dan
Masyrakat Madani, Jakarta : IAIN Jakarta Press, 2000, Edisi Pertama

Anda mungkin juga menyukai