(Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Coorporate Finance yang diampu oleh Dr. Rachmat)
Disusun Oleh:
Nifa Ratna Mulfiyana (2409310003)
Disamping konflik antara manajer dengan pemegang saham, ada potensi konflik yang
mungkin timbul antara pemegang saham dengan pemegang hutang. Pemegang saham, melalui
manajer, bisa mengambil keuntungan atas pemegang hutang. Konflik tersebut bisa terjadi karena
pemegang saham dengan pemegang hutang mempunyai struktur penerimaan (pay off) yang
berbeda. Pemegang hutang memperoleh pendapatan yang tetap (yaitu bunga) dan kembalian
pinjamannya, sedangkan pemegang saham memperoleh pendapatan di atas kelebihan atas
kewajiban yang perlu dibayarkan ke pemegang hutang. Jika nilai perusahaan berada dibawah nilai
kewajiban hutang, pemegang hutang berhak atas semua nilai perusahaan. Jika nilai perusahaan
naik di atas nilai hutang, pemegang saham berhak atas kelebihan tersebut. Semakin tinggi
kelebihan tersebut, semakin tinggi nilai yang dimiliki pemegang saham, sementara kekayaan
pemegang hutang tetap, tidak berubah. Perbedaan (asimetri) struktur pay-off tersebut bisa
menyebabkan perbedaan perilaku.
1. Bonding cost
Biaya ini ditanggung oleh perusahaan yang timbul akibat tindakan manajer untuk memberi
jaminan kepada pemilik bahwa manajer tidak melakukan tindakan yang merugikan perusahaan.
Contoh: kelancaran dalam membayar bunga utang, penyelenggaraan sistem akuntansi yang baik
sehingga mampu menghasilkan laporan keuangan yang sesuai dengan kebutuhan prinsipal.
2. Monitoring cost
Biaya yang ditanggung oleh perusahaan yang timbul akibat tindakan prinsipal untuk
mengawasi aktivitas dan perilaku manajer. Contoh: membayar auditor untuk mengaudit laporan
keuangan perusahaan dan premi asuransi untuk melindungi asset perusahaan.
3. Residual loss
Biaya yang ditanggung oleh perusahaan yang timbul akibat adanya perbedaan antara
keputusan yang diambil oleh agen dengan keputusan yang seharusnya memberikan manfaat
maksimal pada prinsipal. Contoh: memanfaatkan fasilitas perusahaan secara berlebihan seperti
pengeluaran untuk perjalanan dinas dan akomodasi kelas satu, mobil dinas mewah atau dengan
kata lain biaya yang dikeluarkan tidak untuk kepentingan perusahaan.
Hasil pengujian menggunakan analisis regresi linier sederhana dengan return on equity
(ROE) sebagai variabel dependennya menunjukkan variabel discretionary expense (DE)
mempengaruhi kinerja keuangan secara signifikan negatif. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa hipotesis penelitian yakni bahwa agency cost mempengaruhi kinerja keuangan perusahaan-
perusahaan BUMN di bidang Pertambangan, Industri Strategis, Energi dan Telekomunikasi
(PISET). Besarnya pengaruh tersebut sebesar 8,2%.
Tsamrotul Fu’adah
Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Surabaya
https://jurnalmahasiswa.unesa.ac.id/index.php/jurnal-akuntansi/article/viewFile/6739/3495
B. MEMINIMUMKAN AGENCY PROBLEM DAN AGENCY COST DENGAN
MENGGUNAKAN KONSEP ISLAM TENTANG PERUSAHAAN:
ANTARA TEORI DAN PRAKTIK
Adanya agency problem dan kemungkinan munculnya moral hazard manajer yang berada
di luar kemampuan pemegang saham dalam mengawasinya jelas tidak menguntungkan
perusahaan, sehingga perlu diminimalkan. Upaya untuk meminimumkan gency problem akan
memunculkan agency cost yang harus disediakan pemegang saham dalam jumlah yang tidak kecil.
Agency cost tersebut di antaranya untuk keperluan monitoring kinerja manajer agar sesuai dengan
keinginan stockholder termasuk biaya auditing dan pengendalian internal, pemberian insentif atau
kompensasi kepada manajer, serta kontrak dengan pihak ketiga untuk mengantisipasi
kemungkinan manajer tidak jujur sehingga membawa kerugian bagi perusahaan di masa yang akan
datang.
Dalam konsep Islam bentuk legal perusahaan atau kontrak bisnis ditentukan oleh
bagaimana modal didapatkan, bagaimana tenaga kerja dipekerjakan, bagaimana berbagai factor
dihargai, siapa yang mengambil kebijakan, berapa banyak perusahaan atau kontrak yang
disatukan, dan siapa yang menanggung risiko kegagalan. Tujuan perusahaan Islami adalah
maksimisasi profit dan sekaligus maksimisasi kebahagiaan (al-falaah), manfaat (maslahah) dan
kebaikan (al-thayyibah) dalam suasana yang penuh dengan persaudaraan (alukhuwwah).
Pemilik modal, pengelola, tenaga kerja, supplier, konsumen, dan semua pihak yang terkait
saling berinteraksi dan saling menguntungkan. Bentuk Profit Loss Sharing (PLS) cukup dominan
dalam literature teoritis keuangan Islam. Profit Loss Sharing (PLS) adalah suatu kontrak yang
disepakati antara dua atau lebih pihak yang melakukan transaksi, yang memungkinkan mereka
mengumpulkan sumber daya masing-masing untuk diinvestasikan dalam suatu proyek serta
berbagi laba dan rugi. Kebanyakan ahli ekonomi Islam menyatakan bahwa PLS didasarkan pada
dua bentuk pembiayaan utama, yaitu mudharabah dan musyarakah.1 Secara khusus, dalam bentuk
kerjasama usaha yang dilandasi akad mudharabah dan musyarakah, ketentuan hak dan kewajiban
antara pemilik modal dengan pengelola modal telah diatur secara khas, yang menempatkan semua
pihak pada posisi sebagai mitra. Demikian pula aturan dalam perhitungan hasil usaha (revenue
sharing, profit-loss sharing atau profit sharing) untuk penentuan besarnya kompensasi/ kerugian
yang menjadi hak atau kewajiban bagi kedua belah pihak. Konsep mudaharabah dan musyarakah
ini merupakan konsep secara nyata berbeda dengan konsep pembiayaan konvensional yang akan
memberikan dampak maslahah yang lebih besar, baik secara internal (pihak yang terlibat dalam
usaha) maupun eksternal atau makro. Secara teori-normatif konsep islam tentang perusahaan/
kontrak bisnis ini jauh lebih potensial dalam meminimumkan agency problem, karena pendekatan
penyelesaian masalah yang digunakan tidak saja materi tetapi juga yang bersifat spiritual atau non-
materi, yang berorientasi pada dunia-akherat. Namun demikian dalam praktiknya perusahaan
dengan prinsip syariah Islam tidak bisa lepas dari potensi agency problem, terutama dalam model
mudharabah dan musyarakah, sebagaimana dialami oleh perusahaan konvensional yang muncul
akibat informasi yang tidak seimbang (asymmetric information) dan tindakan pengawasan yang
cukup berbiaya (costly monitoring). Salah satu indikasi adanya agency problem dalam model
pembiayaan mudharabah dan musyarakah adalah laporan Association of Islamic Banks tahun 1996
yang menyatakan bahwa konsep profit-loss sharing (mudharabah dan musyarakah) hanya
digunakan kurang dari 20% dari keseluruhan investasi yang dilakukan oleh bank Islam di seluruh
dunia. Demikian juga dengan Islamic Develop ment Bank (IDB) yang tidak banyak menggunakan
profit-loss sharing dalam bisnis keuangannya, kecuali dalam sejumlah proyek skala kecil. 3 Dalam
konteks Indonesia, pembiayaan mudharabah dan musyarakah dalam bank umum syariah dan BPR
Syariah jumlahnya tidak pernah dominan sejak tahun 1992. Hingga akhir Juli 2009 jumlah
pembiayaan PLS pada BUS dan UUS hanya 36,4%, sementara untuk pembiayaan murabahah
sebesar 56,9% dari total pembiayaan yang diberikan. Sementara pada periode yang sama umlah
pembiayaan PLS yang diberikan BPR Syariah sebesar 12,6%, dan 79,1% untuk pembiayaan
Murabahah.