Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

Maqamat (Pandangan Kaum Sufi Tentang Makna Taubat, dan


Wara)

Mata Kuliah: Tasawuf

Dosen Pengampu: Dr. H. Muhammad Khudori Saleh, M.Ag

Disusun Oleh:

Wachidatul Zulfiyah (15410107)

JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

2016

1
PENGANTAR

Maqamat kata jamak dari maqam, diartikan sebagai jalan spiritual yang
harus dilalui para sufi dalam mencapai tujuan luhurnya, melaui proses pensucian
jiwa terhadap kecenderungan materi agar kembali ke jalan Tuhan. Ia merupakan
proses training, melatih diri dalam hidup keruhanian (riyadhah), latihan
memerangi hawa nafsu (mujahadah), dan melepaskan kegiatan dunia untuk
semata-mata berbakti kepada Allah. Hal ini senada dengan pendapat al-Qusyairi,
bahwa maqam merupakan pengalaman puncak yang terjadi pada hamba Allah
berkat ketinggian martabatnya sebagai hasil dari riyadhah yang dilakukan.1

Seorang sufi yang meraih derajat kesempurnaan diri dituntut untuk


melampaui tahapan-tahapan spiritual yang disebut maqamat, yaitu struktur nilai
yang harus menyatu dalam diri seorang sufi.

Tujuan akhir dari perjalanan spiritual adalah kemurnian Tauhid (shafa al-
tauhid), yaitu kesaksian seorang Muslim dengan mengucap kalimat syahadah, la
illaha illa Allah (tiada tuhan selain Allah). Pengakuan ini mengandung dua
komitmen. Pertama, tiada Tuhan, dan kedua, selain Allah. Dua komitmen inilah
yang menjadi dasar struktur maqamat. Komitmen pertama merefleksikan
pengosongan diri dari segala sesuatu yang buruk (takhalli), seperti maqam taubat,
wara’, zuhud, dan faqr. Kemudian komitmen kedua berupa pengakuan, atau
tahalli, seperti maqam shabr, tawakkal, dan ridha.2

1
Moenir Nahrowi Tohir, Menjalajahi Eksistensi Tasawuf : Meniti Jalan Menuju Tuhan, (Jakarta:
PT. As-Salam Sejahtera, 2012), hlm.93

2
Ibid. hlm.95

2
TAUBAT

Taubat merupakan tingkatan pertama di antara tingkat-tingkat yang


dialami oleh sufi dan tahapan pertama di antara tahapan-tahapan yang dicapai oleh
salik (si penempuh jalan). Makna taubat dalam bahasa Arab adalah “ kembali”.
“Dia bertaubat” berarti “Dia kembali”. Jadi, taubat adalah kembali dari sesuatu
yang dicela oleh Islam menuju sesuatu yang dipuji olehnya.3

Allah Ta’ala telah memerintahkan agar bertaubat dalam firman-Nya,


diantaranya dalam QS. Al-Baqarah: 222

َ‫أِنَ هَلَلا َ ي ٌِحبٌّ التَّ َوبِ ْينَ َويٌ ِحبٌ ال ٌمتَطَ ِه ِر ْين‬

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang


yang mensucikan diri.”

 Penjelasan Tentang Wajib Bertaubat dan Keutamaannya

Taubat selamanya wajib hukumnya. Manusia tidak lepas dari kemaksiatan.


Sekalipun lepas dari kemaksiatan anggota badan, namun tidak lepas dari
keinginan melakukan dosa di dalam hatinya. Jika dia lepas dari semua itu, dia
tidak akan lepas dari bisikan syetan yang menjauhkan orang dari dzikir kepada
Allah Ta’ala. Jika dia lepas dari itu namun tidak lepas dari kelalaian dan
keterbatasan ilmu tentang Allah Ta’ala dengan segala sifat-sifat dan perbuatan-
perbuatannya.4

3
Qusyairi, Risalah Sufi, (Beirut: Daral-Fikr, tt) , hlm.1.
4
Ghazali, Ihya’ Ulumuddin (Beirut: Dar al-Kutub, tt), hlm.547.

3
Bagian utama taubat adalah menyesali kesalahan. Menyesali kesalahan
adalah cukup untuk memenuhi persyaratan taubat, begitu kata orang yang telah
melaksanakannya, karena tindakan tersebut mempunyai akibat berupa dua
persyaratan yang lain. Artinya orang tidak mungkin bertaubat dari suatu tindakan
yang tetap dilakukannya atau yang dia mungkin bermaksud melakukannya. Inilah
makna taubat secara ringkas.

Taubat mempunyai sebab-sebab, urutan, aturan, dan bagian-bagian.


Sebab-langsung taubat yang pertama ialah kebangunan hati dari tidur panjang
kecerobohan dan proses kesadaran yang dialami seorang hamba akan keadaannya
yang buruk. Dia mencapai ini dengan bantuan Ilahi setelah mengatasi kendala-
kendala yang dicobakan oleh Allah SWT terhadap pikirannya. Ini berlangsung
dengan cara mendengarkan kata-kata hati, lantaran sebuah hadis menyatakan,
“Ada segumpal daging di dalam jasad, yang apabila ia sehat, maka keseluruhan
jasad akan sehat, dan apabila ia rusak, maka keseluruhan jasad akan rusak.
Ketahuilah, itu adalah hati”.5

Syaikh Abu ‘Ali al-Daqqaq mengatakan “Taubat dibagi menjadi tiga


tahap: tahap awal adalah tawbah (taubat), tahap tengah adalah inabah (berpaling
kepada Tuhan), dan tahap akhir adalah awbah (kembali).” Dia menempatkan
tawbah di awal, awbah di akhir, dan inabah di antara keduanya. Siapa pun yang
bertaubat karena ingin mendapatkan pahala Ilahi berada dalam keadaan inabah.
Siapa pun yang bertaubat lantaran memenuhi perintah Ilahi, bukan karena ingin
mendapatkan pahala maupun takut akan hukuman, berada dalam keadaan awbah.6

Al-Junayd mengatakan, “Taubat mempunyai tiga makna. Pertama


menyesali kesalahan, kedua berketetapan hati untuk tidak kembali kepada apa
yang telah dilarang oleh Allah SWT, dan ketiga adalah membereskan keluhan
orang terhadap dirinya”.7

5
Qusyairi, Risalah Sufi, (Beirut: Daral-Fikr, tt), hlm.2.
6
Ibid. hlm.5.
7
Ibid. hlm.6.

4
Orang yang membiarkan dirinya pasrah kepada kesalahan benar-benar
sama dengan membiarkan dirinya tergelincir. Tetapi, apabila dia bertaubat,
niscaya dia ragu akan penerimaan taubatnya oleh Tuhan, terutama karena
kecintaan Tuhan kepadanya adalah satu syarat bagi penerimaan itu, dan itu bakal
terjadi pada waktu sebelum orang yang berbuat dosa sampai pada satu titik di
mana dia menjumpai tanda-tanda kecintaan Tuhan kepada dirinya dalam sifatnya.
Tugas seorang hamba tersebut, ketika dia mengetahui bahwa dia telah melakukan
suatu tindakan yang mengharuskan taubat, hendaknya ia bertaubat dengan
sungguh-sungguh dan konsisten, dengan menolah secara gigih perbuatan dosa dan
memohon ampunan.8

 Kesempurnaan Taubat dan Syarat-Syaratnya

Rasulullah saw mengatakan, “Menyesali kesalahan merupakan suatu


tindakan bertaubat”. Oleh karena itu, mereka yang benar-benar memahami dasar-
dasar agama Islam di kalangan Ahli Sunnah mengatakan: “Terdapat tiga syarat
taubat yang musti dipenuhi agar taubat itu efektif; menyesali pelanggaran yang
telah dilakukan; meninggalkan secara langsung penyelewengan, dan dengan
mantap memutuskan tidak kembali pada kemaksiatan yang sama”. Seorang yang
bertaubat harus menjalankan ketiga syarat ini, agar taubatnya berdayaguna.9

Perumpamaan yang demikian itu adalah seperti orang sakit yang


mengetahui bahwa buah-buahan berbahaya ketika ia sedang sakit, lalu dia
berazam sangat kuat untuk tidak memakannya sedikit pun dari jenis buah-buahan
selama dia masih dalam keadaan sakit. Sesungguhnya azam ini sangat kuat dalam
satu kondisi, apalagi jika terkesan bahwa akan terkalahkan oleh syahwat pada
keadaan yang berbeda. Akan tetapi tidak menjadi orang yang bertaubat selama
belum kuat azamnya dalam satu kondisi.

8
Qusyairi, Risalah Sufi, (Beirut: Daral-Fikr, tt), hlm.9.
9
Ibid. hlm.2.

5
Orang yang bertaubat dia harus melakukan berbagai amal yang
berlawanan dengan kejahatan apa dilakukannya agar menghapus dan
mengkaffarahnya. Amal-amal kebaikan yang menghapus adalah dengan hati dan
lisan serta anggota badan sesuai dengan jenis kejahatannya. Apa-apa yang dengan
hati seperti merengek dan merendahkan diri. Sedangkan dengan lisan adalah
pengakuan akan kezhaliman yang ia lakukan dan istighfar. Sedangkan dengan
anggota tubuh adalah dengan berbagai macam bentuk ketaatan, sedekah, dan
berbagai macam ibadah.10

WARA
10
Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, (Beirut: Dar al-Kutub, tt), hlm.566.

6
Ibrahim ibn Ad-ham mengatakan wara’ adalah meninggalkan apapun yang
meragukan, dan meninggalkan apapun yang tidak bersangkut paut dengan anda
berarti meninggalkan apapun yang berlebihan.

Al-Sari mengatakan, “Terdapat empat orang yang wara’ di zaman mereka.


Hudzayfah al-Murta’sy, Yusuf ibn Asbat, Ibrahim ibn Ad-ham, dan Sulayman al-
Khawwas. Mereka bersifat wara’, dan apabila usaha untuk mendapatkan sesuatu
yang halal begitu sulit bagi mereka, mereka mencarinya seminimal mungkin”.11

Abu Sulayman al-Darani menyatakan, “Wara’ adalah titik tolak zuhud,


sebagaimana sikap puas terhadap apa yang ada adalah bagian utama dari ridha.”
Abu Usman mengatakan, “Pahala bagi wara’ adalah kemudahan perhitungan di
akhirat”.

Yahya ibn Mu’adz menegaskan, “Ada dua jenis wara’: wara’ dalam
pengertian zahir yaitu sikap yang mengisyaratkan bahwa tidak ada satu tindakan
pun selain karena Allah SWT, dan wara’ dalam pengertian batin yaitu sikap yang
mengisyaratkan bahwa tidak ada sesuatu pun yang memasuki hati Anda kecuali
Allah SWT.” Dia juga menyatakan, “Orang yang tidak memeriksa dan memahami
seluk beluk wara’ tidak akan mendapatkan anugerah.” Bisyr ibn al-Harits
mengatakan, “Hal-hal yang paling sulit dilaksanakan adalah bersikap dermawan
di masa-masa sulit, wara’ adalah ‘uzlah, dan menyampaikan kebenaran kepada
seseorang yang kepadanya anda takut dan mengantungkan harapan” .12

Ketika Hasan ibn Abi Sinan menghampiri sahabat-sahabat al-Hasan, dia


bertanya, “Apakah yan paling sulit bagi anda?” Mereka menjawab, “Wara’.” Dia
berkata, “Tidak ada sesuatu yang paling mudah bagi saya selain (wara’)”. Mereka
11
Qusyairi, Risalah Sufi, (Beirut: Daral-Fikr, tt), hlm.31.
12
Ibid. hlm.32.

7
bertanya, “Mengapa demikian?” Dia menanggapi, “Saya belum pernah meminum
air dari mata air milik anda semua selama empat puluh tahun”. 13

Allah SWT mewahyukan kepada Nabi Musa as, “Seseorang yang


mendekati-Ku mampu memindahkan malam kepada-Ku hanya melalui wara’ dan
zuhud”.14

KESIMPULAN

13
Qusyairi, Risalah Sufi, (Beirut: Daral-Fikr, tt), hlm.37.
14
Ibid. hlm.34.

8
Maqamat kata jamak dari maqam, diartikan sebagai jalan spiritual yang
harus dilalui para sufi dalam mencapai tujuan luhurnya, melaui proses pensucian
jiwa terhadap kecenderungan materi agar kembali ke jalan Tuhan. Seorang sufi
yang meraih derajat kesempurnaan diri dituntut untuk melampaui tahapan-tahapan
spiritual yang disebut maqamat, yaitu struktur nilai yang harus menyatu dalam
diri seorang sufi.

Taubat merupakan tingkatan pertama di antara tingkat-tingkat yang


dialami oleh sufi dan tahapan pertama di antara tahapan-tahapan yang dicapai oleh
salik (si penempuh jalan). Makna taubat dalam bahasa Arab adalah “ kembali”.
“Dia bertaubat” berarti “Dia kembali”. Jadi, taubat adalah kembali dari sesuatu
yang dicela oleh Islam menuju sesuatu yang dipuji olehnya.

Sedangkan wara, menurut Ibrahim ibn Ad-ham mengatakan bahwa wara’


adalah meninggalkan apapun yang meragukan, dan meninggalkan apapun yang
tidak bersangkut paut dengan anda berarti meninggalkan apapun yang berlebihan.

DAFTAR PUSTAKA

9
Tohir, Moenir Nahrowi. 2012. Menjalajahi Eksistensi Tasawuf, Meniti Jalan
Menuju Tuhan. Jakarta: PT. As-Salam Sejahtera.

Qusyairi. tt. Risalah Sufi al-Qusyairi. Beirut: Daral-Fikr.

Ghazali. tt. Ihya ‘Ulumuddin Imam Al-Ghazali. Beirut: Dar al Kutujb.

10

Anda mungkin juga menyukai