Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tuberculosis paru (TB paru) merupakan salah satu penyakit infeksi yang
prevalensinya paling tinggi di dunia. Berdasarkan laporan World Health
Organitation (WHO, 2012) sepertiga populasi dunia yaitu sekitar dua milyar
penduduk terinfeksi Mycobacterium Tuberculosis. Lebih dari 8 juta populasi
terkena TB aktif setiap tahunnya dan sekitar 2 juta meninggal. Lebih dari 90%
kasus TB dan kematian berasal dari negara berkembang salah satunya Indonesia
(Depkes RI, 2012).
Menurut World Health Organization sejak tahun 2010 hingga Maret 2011, di
Indonesia tercatat 430.000 penderita TB paru dengan korban meninggal sejumlah
61.000. Jumlah ini lebih kecil dibandingkan kejadian tahun 2009 yang mencapai
528.063 penderita TB paru dengan 91.369 orang meninggal (WHO Tuberculosis
Profile, 2012).
Pada tahun 1995, diperkirakan setiap tahun terjadi sekitar 9 juta penderita TB
Paru dengan kematian 3 juta orang.Di Negara berkembang, kematian karena TB
merupakan 25% dari seluruh kematian, yang sebenarnya dapat dicegah.
Diperkirakan 95% penderita TB berada di Negara berkembang dan 75% penderita
TB adalah kelompok usia produktif (15-50 tahun). WHO menyatakan bahwa
setiap detik satu orang terinfeksi TB dan setiap sepuluh detik satu orang
meninggal karena TB. (Bambang Ruswanto,2010)
Penyebab utama meningkatnya beban masalah TB paru antara lain :
1.1.1 Kondisi sosial ekonomi yang menurun pada berbagai kelompok
masyarakat, setiap pada Negara-negara berkembang, sehingga dapat
menimbulkan dampak yang buruk kepada lingkungannya.
1.1.2 Kondisi lingkungan dalam dan luar rumah yang yang sangat
mendukung untuk terjadinya penyakit tuberkulosis paru, seperti
kurangnya vemtilasi.
1.1.3 Belum optimalnya program TB paru selama ini, hal ini diakibatkan
oleh :
1.1.3.1 Tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan
1.1.3.2 Tidak memadainya organisasi pelayanan Tuberkulosis
(kurang terakses oleh masyarakat), penemuan kasus atau 2
diagnosis yang tidak standar, Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
tidak terjamin penyediaannya, tidak dilakukan pemantauan,
pencatatan dan pelaporan yang tidak standar dan sebagainya.
1.1.3.3 Tidak memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan panduan
1
obat yang tidak standar, gagal menyembuhkan kasus yang
telah didiagnose).
1.1.3.4 Salah persepsi terhadap manfaat dan efektivitas vaksin BCG
1 buruk pada Negara-negara yang
1.1.3.5 Infrastruktur kesehatan yang
mengalami krisis ekonomi atau pergolakan masyarakat.
1.1.4 Perubahan demografik karena meningkatnya pendududk dunia dan
perubahan struktur umur kependudukan.
1.1.5 Dampaka pandemic HIV/AIDS
(Bambang Ruswanto,2010)
Berdasarkan hal tersebut diatas, mengingat besarnya masalah yang
dihadapi program penanggulangan TB maka penulis mengangkat
judul “TUBERKULOSA PARU”
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah hubungan perilaku pasien
dengan keterlambatan pasien (patient delay) dalam pengoobatan tuberculosis
paru di Kota Padang tahun 2018?
1.3 Tujuan penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah mengetahui hubungan perilaku
pasien dengan keterlambatan pasien (patient delay) dalam pengobatan
tuberculosis paru di Kota Padang tahun 2018.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Mengetahui distribusi frekuensi keterlambatan pasien (patient
delay) dalam pengobatan tuberkulosis paru di Kota Padang
tahun 2018.
1.3.2.2 Mengetahui distribusi frekuensi pengetahuan pasien dalam
pengobatan tuberkulosis paru di Kota Padang tahun 2018.
1.3.2.3 Mengetahui distribusi frekuensi sikap pasien dalam pengobatan
3
tuberkulosis paru di Kota Padang tahun 2018.
1.3.2.4 Mengetahui distribusi frekuensi tindakan pasien dalam
pengobatan tuberkulosis paru di Kota Padang tahun 2018.
1.3.2.5 Mengetahui hubungan pengetahuan pasien dengan
keterlambatan pasien (patient delay) dalam pengobatan
tuberkulosis paru di Kota Padang tahun 2018.
1.3.2.6 Mengetahui hubungan sikap pasien dengan keterlambatan
(patient delay) dalam pengobatan tuberkulosis paru di Kota
Padang tahun 2018.
1.3.2.7 Mengetahui hubungan tindakan pasien dengan keterlambatan
(patient delay) dalam pengobatan tuberkulosis paru di Kota
Padang tahun 2018.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
1.4.1.1 Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai
sumber informasi dan sebagai referensi untuk meningkatkan
pendidikan kesehatan tentang perilaku.
1.4.1.2 Sebagai sarana untuk mengaplikasikan ilmu yang telah didapat
sekaligus menambah wawasan mengenai penyakit tuberkulosis
dan pentingnya melakukan pengobatan tuberkulosis secara cepat
dan tepat.
1.4.2 Manfaat Praktis
1.4.2.1 Bagi Fakultas Kesehatan Masyarakat untuk tambahan ilmu,
literatur, pengetahuan dan wawasan dalam pencegahan dan
penanggulangan penyakit tuberkulosis.
1.4.2.2 Bagi Dinas Kesehatan penelitian ini diharapkan dapat menambah
pengetahuan tentang keterlambatan diagnosis pada pasien
tuberkulosis paru, sehingga dapat dijadikan sebagai masukan
dalam penyusunan langkah dan strategi pencegahan
keterlambatan pengobatan tuberkulosis di Kota Padang.
1.4.2.3 Sebagai bahan referensi bagi peneliti lain yang ingin melakukan
penelitian lebih lanjut dan dapat dijadikan sebagai dasar untuk
pengembangan penelitian lebih lanjut tentang hubungan perilaku 4
pasien dengan keterlambatan pasien (patient delay) dalam
pengobatan tuberkulosis paru di Kota Padan tahun 2018.
1.4.2.4 Bagi Masyarakat hasil penelitian diharapkan dapat memberikan
informasi yang bermanfaat mengenai faktor yang berhubungan
dengan penyakit tuberkulosis sehingga masyarakat dapat
mengetahui tentang pencegahan serta penularan penyakit
tuberkulosis dan pentingnya melakukan pengobatan bagi
anggota keluarga yang sudah positif tuberkulosis dan tidak
menunda nunda dalam melakukan pengobatan bagi pasien yang
sudah positif tuberkulosis.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Penyakit
2.1.1 Definisi
Tuberkulosis adalah infeksi penyakit menular yang disebabkan oleh
mycobacterium tuberculosis, suatu basil aerobik tahan asam, yang ditularkan
melalui udara (airbone). Menurut (Imran Somantri, 2007) tuberkulosis paru – paru
merupakan penyakit infeksi yang menyerang parenkim paru – paru yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberkulosis. Penyakit ini juga dapat menyebar
ke bagian tubuh lain seperti meningen, ginjal, tulang, dan nodus linfe.
Menurut (Elizabeth J Corwin, 2009) tuberkulosis (TB) merupakan contoh
lain infeksi saluran napas bawah. Penyakit ini disebabkan oleh mikroorganisme
Mycobacterium tuberkulosis, yang biasanya ditularkan melalui inhalasi percikan
ludah (droplet), dari satu individu ke individu lainnya dan membentuk kolonisasi
di bronkiolus atau alveolus, kuman juga dapat masuk ketubuh melalui saluran
cerna, melalui ingesti susu tercemar yang tidak dipasteurisasi, atau kadang-kadang
melaui lesi kulit.
Menurut (Chris Brooker, 2009) tuberkulosis adalah infeksi granulomatosa
kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberkulosis (tipe manusia), suatu
basil tahan asam (BTA). Jenis lainnya meliputi M. Bovis (sapi) dan
mikobakterium altipis misalnya M. Avium intracellulare dan M. Kansasii.
2.1.2 Anatomi Fisiologi
Paru-paru terletak pada rongga dada yang ujungnya berada di atas tulang iga
pertama dan dasarnya berada pada diafragma. Paru terbagi menjadi dua yaitu, paru
kanan dan paru kiri. Paru-paru kanan mempunyai tiga lobus sedangkan paru-paru
kiri mempunyai dua lobus. Kelima lobus tersebut dapat terlihat dengan jelas.
Setiap paru-paru terbagi lagi menjadi beberapa subbagian menjadi sekitar sepuluh
unit terkecil yang disebut bronchopulmonary segments. Paru-paru dibungkus oleh
selaput tipis yaitu pleura. Paru-paru kanan dan kiri dipisahkan oleh ruang yang
disebut mediastinum (Sherwood, 2001).

5
6

Bagian paru paru terdiri dari beberapa organ sebagai berikut :


2.1.2.1 Trakea
Trakea atau tenggorokan merupakan bagian paru-paru yang
berfungsi menghubungkan larynk dengan bronkus. Trakea pada manusia
teridiri dari jaringan tulang rawan yang dilapisi oleh sel bersilia. Silia yang
terdapat pada trakea ini berguna untuk menyaring udara yang akan masuk ke
dalam paru-paru.
2.1.2.2 Bronkus
Bronkus merupakan saluran yang terdapat pada rongga dada, hasil
dari percabangan trakea yang menghubungkan paru-paru bagian kiri dengan
paru-paru bagian kanan. Bronkus bagian sebelah kanan bentuknya lebih
lebar, pendek serta lebih lurus, sedangkan bronkus bagian sebelah kiri
memiliki ukuran lebih besar yang panjangnya sekitar 5cm. Jika dilihat dari
asalnya bronkus dibagi menjadi dua, yaitu bronkus premier dan bronkus
sekunder.
2.1.2.3 Bronkiolus
Bronkiolus merupakan bagian dari percabangan saluran udara dari
bronkus. Letaknya tepat di ujung bronkus. Bronkiolus mempunyai diameter
kurang lebih 1mm atau bisa lebih kecil. Bronkiolus berfungsi untuk
menghantarkan udara dari bronkus masuk menuju ke alveoli serta juga
sebagai pengontrol jumlah udara yang akan nantinya akan di distribusikan
melalui paru-paru oleh konstriksi dan dilatasi
7
2.1.2.4 Alveolus
Alveolus merupakan kantung kecil yang terletak di dalam paru-
paru yang memungkinkan oksigen dan karbondioksida untuk bisa bergerak
di antara paru-paru dan aliran darah. Di dalam tubuh manusia terdapat
kurang lebih hampir 300 juta alveoli untuk menyerap oksigen yang berasal
dari udara. Alveolus berfungsi untuk pertukaran karbon dioksida (CO2)
dengan oksigen (O2).
2.1.2.5 Pleura
Pleura adalah selaput yang fungsinya membungkus paru-paru serta
melindungi paru-paru dari gesekan-gesekan yang ada selama proses
terjadinya respirasi. Ada dua lapisan pada Pleura paru-paru manusia
diantarnya adalah:
(1) Pleura visceral adalah bagian dalam yang membungkus
langsung paru
(2) Pleura parietal adalah pleura bagian luar yang menempel di
rongga dada.
2.1.3 Etiologi
Penyakit Tb paru adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Mycobakterium tuberkulosis. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam
sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA). Sumber penularan
adalah penderita tuberkulosis BTA positif pada waktu batuk atau bersin. Penderita
menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet
yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama
beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam
saluran pernafasan.Setelah kuman tuberkulosis masuk ke dalam tubuh manusia
melalui pernafasan, kuman tuberkulosis tersebut dapat menyebar dari paru
kebagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, saluran nafas, atau
penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya. Daya penularan dari
seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari
parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular
penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman),
maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Seseorang terinfeksi tuberkulosis
ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara
tersebut.
2.1.4 Klasifikasi
8
Ada beberapa klasifikasi Tb paru yaitu menurut Depkes (2007) yaitu:
2.1.4.1 Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:
(1) Tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang
jaringan (parenkim) paru tidak termasuk pleura (selaput paru)
dan kelenjar pada hilus.
(2) Tuberkulosis ekstra paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru,
misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium),
kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran
kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
2.1.4.2 Berdasarkan pemeriksaan dahak, TB Paru dibagi menjadi 2 yaitu :
(1) Tuberkulosis Paru BTA positif.
(2) Tuberkulosis Paru BTA negative.
2.1.4.3 Berdasarkan aspek kesehatan masyarakat pada tahun 1974 American
Thorasic Society memberikan klasifikasi baru:
(1) Karegori O, yaitu tidak pernah terpajan dan tidak terinfeksi,
riwayat kontak tidak pernah, tes tuberculin negatif.
(2) Kategori I, yaitu terpajan tuberculosis tetapi tidak tebukti
adanya infeksi, disini riwayat kontak positif, tes tuberkulin
negatif.
(3) Kategori II, yaitu terinfeksi tuberculosis tapi tidak sakit.
(4) Kategori III, yaitu terinfeksi tuberculosis dan sakit.

2.1.4.4 Berdasarkan terapi WHO membagi tuberculosis menjadi 4


kategori :
(1) Kategori I : ditujukan terhadap kasus baru dengan sputum
positif dan kasus baru dengan batuk TB berat.
(2) Kategori II : ditujukan terhadap kasus kamb uh dan kasus gagal
dengan sputum BTA positf.
8

(3) Kategori III : ditujukan terhadap kasus BTA negatif dengan


kelainan paru yang tidak luas dan kasus TB ekstra paru selain
dari yang disebut dalam kategori I.
(4) Kategori IV : ditujukan terhadap TB kronik.

2.1.5 Patofisiologi (Pathway) 9


Menurut Somantri (2008), infeksi diawali karena seseorang menghirup basil
Mycobacterium tuberculosis. Bakteri menyebar melalui jalan napas menuju
alveoli lalu berkembang biak dan terlihat bertumpuk. Perkembangan
Mycobacterium tuberculosis juga dapat menjangkau sampai ke area lain dari
paru (lobus atas). Basil juga menyebar melalui sistem limfe dan aliran darah ke
bagian tubuh lain (ginjal, tulang dan korteks serebri) dan area lain dari paru
(lobus atas). Selanjutnya sistem kekebalan tubuh memberikan respons dengan
melakukan reaksi inflamasi. Neutrofil dan makrofag melakukan aksi fagositosis
(menelan bakteri), sementara limfosit spesifik-tuberkulosis menghancurkan
(melisiskan) basil dan jaringan normal. Infeksi awal biasanya timbul dalam
waktu 2-10 minggu setelah terpapar bakteri.Interaksi antara Mycobacterium
tuberculosis dan sistem kekebalan tubuh pada masa awal infeksi membentuk
sebuah massa jaringan baru yang disebut granuloma. Granuloma terdiri atas
gumpalan basil hidup dan mati yang dikelilingi oleh makrofag seperti dinding.
Granuloma selanjutnya berubah bentuk menjadi massa jaringan fibrosa.
Bagian tengah dari massa tersebut disebut ghon tubercle. Materi yang terdiri atas
makrofag dan bakteri yang menjadi nekrotik yang selanjutnya membentuk materi
yang berbentuk seperti keju (necrotizing caseosa). Hal ini akan menjadi
klasifikasi dan akhirnya membentuk jaringan kolagen, kemudian bakteri
menjadi nonaktif.
Menurut Widagdo (2011), setelah infeksi awal jika respons sistem imun
tidak adekuat maka penyakit akan menjadi lebih parah. Penyakit yang kian
parah dapat timbul akibat infeksi ulang atau bakteri yang sebelumnya tidak aktif
kembali menjadi aktif, Pada kasus ini, ghon tubercle mengalami ulserasi
sehingga menghasilkan necrotizing caseosa di dalam bronkus.
10

2.1.5.1 Pathway

Mycrobacterium Tuberculosis

Alveolus

Respon radang

Leukosit Demam Pelepasan bahan tuberkel


memfagosit bacteri dari dinding kavitas

Leukosit digantikan Trakeobronkial

oleh makrofag
Bersihan jalan
Penumpukan sekret
napas tidak efektif
Makrofag mengadakan
infiltrasi
Penumpukan sekret

Terbentuk Sel tuberkel


epiteloid Batuk Anoreksia, mual,
muntah

Nekrosis kaseosa Nyeri droplet

Gangguan keseimbangan
Granulasi Resiko tinggi
nutrisi kurang dari
penyebaran
kebutuhan
infeksi
Jaringan parut kolagenosa

Kerusakan membran
Sesak
alveolar Gangguan pola tidur
nafas

Inadekuat oksigen untuk


Gangguan
pertukaran beraktivitas
Gas Intoleransi aktivitas
11
2.1.6 Manifestasi Klinis (Tanda dan Gejala)
Tanda dan gejala yang sering ditemui pada tuberkulosis adalah batuk yang
tidak spesifik tetapi progresif. Biasanya tiga minggu atau lebih dan tidak ada
dahak. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus, sifat batuk dimulai dari
batuk kering (non produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi
produktif (menghasilkan sputum). Selain gejala batuk disertai dengan gejala dan
tanda lain seperti tersebut di bawah ini :
2.1.6.1 Demam. Terjadi lebih dari sebulan, biasanya pada pagi hari.
2.1.6.2 Hilangnya nafsu makan dan penurunan berat badan.
2.1.6.3 Keringat malam hari tanpa kegiatan.
2.1.6.4 Sesak nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah berlanjut,
dimana infiltrasinya sudah setengah bagian paru.
2.1.6.5 Nyeri dada. Timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura
sehingga menimbulkan pleuritis. Gejala ii jarang ditemukan.
2.1.6.6 Kelelahan.
2.1.6.7 Batuk darah atau dahak bercampur darah
2.1.7 Komplikasi
Tb paru apabila tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan
komplikasi.Komplikasi-komplikasi yang terjadi pada penderita Tb paru dibedakan
menjadi dua, yaitu:
2.1.7.1 Komplikasi dini: pleuritis, efusi pleura, empiema, laryngitis, usus.
2.1.7.2 Komplikasi pada stadium lanjut: Komplikasi-komplikasi yang
sering terjadi pada penderita stadium lanjut adalah:
(1) Hemoptisis masif (pendarahan dari saluran nafas bawah) yang
dapat mengakibatkan kematian karena sumbatan jalan nafas
atau syok hipovolemik
(2) Kolaps lobus akibat sumbatan duktus
(3) Bronkietaksis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis
(pembentukan jaringan ikat pada proses pemulihan atau
reaktif) pada paru
(4) Pnemotoraks spontan, yaitu kolaps spontan karena bula/blep
yang pecah
12

(5) Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, sendi,


ginjal, dan sebagainya.
2.1.8 Pemeriksaan Penunjang
2.1.8.1 Anamnesis pada pemeriksaan fisik
2.1.8.2 Laboratorium darah rutin ( LED normal atau
meningkat,limfositosis)
2.1.8.3 Foto thoraks PA dan lateral.gambaran foto toraks yang menunjang
diagnosis TB, yaitu :
(1) Bayangan lesi terletak di lapangan atas paru atau segmen
apikal lobus bawah.
(2) Bayangan berawan (patchy) atau berbercak (nodular)
(3) Adanya kavitas, tunggal atau ganda
(4) Kelainan bilateral, terutama di lapangan atas paru
(5) Adanya klasifikasi
(6) Bayangan menetap pada foto ulang beberapa minggu
kemudian
(7) Bayangan milier
2.1.8.2 Pemeriksaan sputum BTA
pemeriksaan sputum BTA memastikan diagnosis TB paru, namun
pemeriksaan ini tidak sensitif karena hanya 30-70 persen pasien TB
yang dapat didiagnosis berdasarkan pemeriksaan ini.
2.1.8.3 Tes PAP (peroksidase anti peroksidase)
merupakan uji serologi imunoperoksidase memakai alat histogen
imunoperoksidase staning untuk menentukan adanyan IgG spesifik
terhadap basil TB
2.1.8.4 Tes mantoux / tuberkulin
2.1.7.7 Teknik polymerase chain reaction
deteksi DNA kuman secara spesifik melalui aplifikasi dalam
berbagai tahap sehingga dapat mendeteksi meskipun hanya ada 1
mikroorganisme dalam spesimen. Juga dapat mendeteksi adanya
retensi
2.1.7.8 Becton Dickinson Diagnostik Instrumen System (BACTEC)
deteksi grouth index berdasarkan CO2 yang di hasilkan dari
metabolisme asam lemak oleh M. Tuberculosis
13
2.1.7.9 Enzyme Linked Immunosorbent Assay
deteksi respon humoral memakai antigen-antibody yang terjadi.
Pelaksanaannya rumit dan antibody dapat menetap dalam waktu
lama sehingga menimbulkan masalah.
2.1.9 Penatalaksanaan Medis
2.1.9.1 Pengobatan TBC paru
Tujuan pemberian obat pada penderita tuberkulosis paru yaitu;
untuk menyembuhkan, mencegah kematian dan kekambuhan. Obat yang
sekarang digunakan adalah Fix Drugs Combination (FDC) 4 obat ini
merupakan obat baru yang memiliki kandungan sama dengan obat lama
yaitu; Rivampisin, Isoniazid (INH), Etambutol, dan Pyrazinamid. Dengan
adanya obat FDC 4 ini penderita hanya cukup satu butir saja. Menurut
Endang Nuraini (2009), dengan model pengobatan lama, yaitu dengan
banyaknya obat yang harus dikonsumsi, tingkat kegagalan penyembuhan
sangat tinggi. Sebab, banyak obat yang dikonsumsi menimbulkan beberapa
efek samping yaitu; mual, pusing, diare. Akibatnya, banyak penderita yang
menghentikan konsumsi obat. Prinsip di dalam penyembuhan penyakit
TBC adalah kerajinan minum obat.
Dalam pembarian obat ada beberapa macam cara pengobatan :
2.1.9.2 Pengobatan untuk penderita aktif selama 6 bulan, dilakukan dua
tahap yaitu:
(1) Tahap awal : obat diminum tiap hari, lama pengobatan 2 atau 3
bulan tergantung berat ringannya penyakit.
(2) Obat lanjutan : diminum 3 kali seminggu lama pengobatan 4
atau 5 bulan tergantung berat ringannya penyakit.
2.1.9.3 Pengobatan untuk penderita kambuhan atau gagal pada pengobatan
pertama yang dilakukan selama 8 bulan, yaitu :
(1) Obat diminum setiap hari selama 3 bulan
(2) Suntikan Streptomicyn setiap hari selama 2 bulan
(3) Obat diminum 3 kali seminggu selama 5 bulan (Depkes RI,
2006).
Untuk keberhasilan pengobatan, oleh badan kesehatan dunia
(WHO) dilakukan strategi DOTS (Dyrecly Observed Treatment
Shortcourse). Strategi ini merupakan yang paling efektif untuk mengontrol
pengobatan tuberkulosis 14

Lima langkah strategi DOTS adalah dukungan dari semua


kalangan, semua orang yang batuk dalam tiga minggu harus diperiksa
dahaknya, harus ada obat yang disiapkan oleh pemerintah, pengobatan
harus dipantau selama enam bulan oleh Pengawas Minum Obat dan ada
sistem pencatatan/pelaporan.
2.1.9.4 Perawatan bagi penderita TBC
Perawatan yang harus dilakukan pada penderita tuberkulosis adalah :
(1) Awasi penderita minum obat, yang paling berperan disini adalah
orang terdekat penderita yaitu keluarga.
(2) Mengetahui adanya gejala samping obat dan rujuk bila
diperlukan.
(3) Mencukupi kebutuhan gizi yang seimbang penderita.
(4) Istirahat teratur minimal 8 jam perhari.
(5) Mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak pada bulan
kedua, kelima, dan keenam.
2.1.9.5 Pencegahan penularan TBC
Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan adalah :
(1) Menutup mulut bila batuk.
(2) Membuang dahak tidak di sembarang tempat. Buang dahak pada
wadah tertutup yang diberi lysol 5% atau kaleng yang berisi pasir
1/3 dan diberi lysol.
(3) Makan makanan bergizi.
(4) Memisahkan alat makan dan minum bekas penderita.
(5) Memperhatikan lingkungan rumah, cahaya dan ventilasi yang
baik.
(6) Untuk bayi diberikan imunisasi BCG (Depkes RI,2006).
2.2 Konsep Kebutuhan Dasar Manusia Kebutuhan Oksigenasi
2.2.1 Definisi

Oksigenasi adalah proses penambahan oksigen O2 kedalam system (kimia


atau fisika). Oksigenasi merupakan gas tidak berwarna dan tidak berbau yang
sangat dibutuhkan dalam proses metabolisme sel. Sebagai hasilnya, terbentuklah
karbondioksida, energy, dan air. Akan tetapi penambahan CO2 yang melebihi
batas normal pada tubuh akan memberikan dampak yang cukup bermakna
terhadap aktifitas sel. (Wahit Iqbal Mubarak, 2007). 15
Oksigen adalah salah satu komponen gas dan unsur vital dalam proses
metabolisme untuk mempertahankan kelangsungan hidup seluruh sel-sel tubuh.
Secara normal elemen ini diperoleh dengan cara menghirup O2 ruangan setiap kali
bernapas. (Wartonah Tarwanto, 2006).
Oksigen merupakan kebutuhan dasar paling vital dalam kehidupan manusia,
dalam tubuh oksigen berperan penting dalam proses metabolisme sel tubuh.
Kekurangan oksigen bisa menyebabkan hal yang berarti bagi tubuh, salah satunya
adalah kematian. Karenanya, berbagai upaya perlu dilakukan untuk menjamin
pemenuhan kebutuhan oksigen tersebut, agar terpenuhi dengan baik. Dalam
pelaksananya pemenuhan kebutuhan oksigen merupakan garapan perawat
tersendiri, oleh karena itu setiap perawat harus paham dengan manifestasi tangkat
pemenuhan oksigen pada klien serta mampu mengatasi berbagai masalah yang
terkait dengan pemenuhan kebutuhan tersebut.
2.2.2 Anatomi Fisiologi
Menurut Tarwoto Wartonah (2006) ada 3 sistem yang bekerja dalam
penyampaian oksigen ke jaringan tubuh yaitu sistem respirasi, sistem
kardiovaskuler dan sistem hematologi.
2.2.2.1 Sistem respirasi terdiri atas organ pertukaran gas yaitu paru-paru dan
sebuah pompa ventilasi yang terdiri atas dinding dada, otot-otot pernafasan,
diafragma, isi abdomen, dinding abdomen dan pusat pernafasan di otak.
Pada sistem respirasi ada tiga langkah dalam proses oksigenasi yaitu
ventilasi, perfusi paru dan difusi.
(1) Ventilasi adalah proses keluar masuknya udara dari dan ke paru-
paru, jumlahnya sekitar 500 ml. Udara yang masuk dan keluar
terjadi karena adanya perbedaan tekanan antara intrapleura
dengan tekanan atmosfer, dimana pada saat inspirasi tekanan
intrapleural lebih negatif (752 mmHg) daripada tekanan
atmosfer (760 mmHg) sehingga udara akan masuk ke alveoli.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatenan ventilasi yaitu
kebersihan jalan nafas (adanya sumbatan atau obstruksi jalan
nafas akan menghalangi masuk dan keluarnya udara dari dan ke
paru-paru), adekuatnya sistem saraf pusat dan pusat pernafasan,
adekuatnya pengembangan dan pengempisan paru, kemampuan 16

otot-otot pernafasan seperti diafragma, eksternal interkosta,


internal interkosta, otot abdominal (Wartonah, 2006).
(2) Perfusi Paru
Perfusi paru adalah pergerakan aliran darah melalui sirkulasi
paru untuk dioksigenasi dimana pada sirkulasi paru darah yang
dioksigenasi mengalir dalam arteri pulmonalis dari ventrikel
kanan jantung. Darah ini ikut serta dalam proses pertukaran
oksigen dan karbon dioksida di kapiler dan alveolus. Fungsi
utama sirkulasi pulmonal adalah mengalirkan darah yang
dioksigenasi dari dan ke paruparu agar dapat terjadi pertukaran
gas. Sirkulasi paru merupakan 8-9% dari curah jantung. Dengan
demikian, adekuatnya pertukaran gas dalam paru dipengaruhi
oleh keadaan ventilasi dan perfusi. Pada orang dewasa sehat
pada saat istirahat ventilasi alveolar. (Wartonah, 2006).
(3) Difusi
Dalam difusi pernafasan, komponen yang berperan penting
adalah alveoli dan darah. Untuk memenuhi kebutuhan Oksigen
O2 dari jaringan, proses difusi gas pada system respirasi
haruslah optimal. Difusi gas adalah bergeraknya O2 dan CO2
atau partikel lain dari area bertekanan tinggi ke arah yang
bertekanan rendah. Di dalam alveoli, Oksigen O2 melintasi
membran alveoli-kapiler dari alveoli berdifusi kedalam darah
karena adanya perbedaan tekanan PO2 yang tinggi dialveolus
(100 mmHg) dan tekanan pada kapiler lebih rendah (PO2 40
mmHg), sedangkan CO2 berdifusi keluar alveoli akibat adanya
perbedaan tekanan PCO2 darah 45 mmHg dan di alveoli 40
mmHg. Proses difusi dipengaruhi oleh faktor ketebalan
membran, luas permukaan membran, komposisi membran,
koefisien difusi O2 dan CO2, serta perbedaan tekanan gas
Oksigen O2 dan Karbondioksida CO2 (Muttaqin, 2010).
2.2.2.2 Sistem Kardiovaskuler
Kemampuan oksigenasi pada jaringan sangat dipengaruhi oleh fungsi
jantung untuk memompa darah sebagai transport oksigen. Darah masuk ke
atrium kiri dari vena pulmonaris. Aliran darah keluar dari ventrikel kiri 17
menuju aorta melalui katup aorta. Kemudian dari aorta darah disalurkan
keseluruh sirkulasi sistemik melalui arteri, arteriol, dan kapiler serta
menyatu kembali membentuk vena yang kemudian di alirkan ke jantung
melalui atrium kanan. Darah dari atrium kanan masuk dalam ventrikel kanan
melalui katup trikuspidalis kemudian keluar ke arteri pulmonalis melalui
katup pulmonalis untuk kemudian di alirkan ke paru-paru kanan dan kiri
untuk berdifusi. Darah mengalir di dalam vena pulmonalis kembali ke
atrium kiri dan bersirkulasi secara sistemik. Sehingga tidak adekuatnya
sirkulasi sistemik berdampak pada kemampuan transpor gas oksigen dan
karbon dioksida (Wartonah, 2006).
2.2.3 Etiologi
2.2.3.1 Faktor Fisiologi
(1) Menurunnya kemampuan mengikat Oksigen (O2) seperti pada
anemia.
(2) Menurunnya konsentrasi Oksigen yang di inspirasi seperti pada
obsruksi saluran pernafasan bagian atas.
(3) Hipovolemia sehingga tekanan darah menurun yang
mengakibatkan terganggunya oksigen (O2).
(4) Meningkatnya metabolisme seperti adanya infeksi, demam luka,
dll.
(5) Kondisi yang mempengaruhi pergerakkan dinding dada seperti
pada kehamilan, obesitas, muskulur sekeletal yang abnormal,
penyakit kronis seperti TBC paru.
2.2.3.2 Faktor Perilaku
(1) Nutrisi, misalnya gizi yang buruk menjadi anemia sehingga daya
ikat oksigen berkurang.
(2) Exercise, exercise akan meningkatkan kebutuhan Oksigen.
(3) Merokok, nikotin menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah
perifer dan coroner.
(4) Alkohol dan obat-obatan menyebabkan intake nutrisi/FE
mengakibatkan penurunan hemoglobin, alkohol menyebabkan
depresi pusat pernafasan.
(5) kecemasan : menyebabkan metabolisme meningkat.
2.2.4 Fisiologi perubahan fungsi pernafasan 18
2.2.4.1 Hiperventilasi
Merupakan upaya tubuh dalam meningkatkan jumlah Oksigen dalam
paru-paru agar pernafasan lebih cepat dan dalam. Hiperventilasi dapat
disebabkan karena kecemasan, infeksi, keracunan obat-obatan,
keseimbangan asam basa seperti osidosis metabolik tanda-tanda
hiperventilasi adalah takikardi, nafas pendek, nyeri dada, menurunnya
konsentrasi, disorientasi, tinnitus.
2.2.4.2 Hipoventilasi
Terjadi ketika ventilasi alveolar tidak adekuat untuk memenuhi
penggunaan Oksigen (O2) tubuh atau masuk mengeluarkan karbondioksida
(CO2) dengan cukup. Biasanya terjadi pada keadaan ateleketasis (Kolaps
paru). Tanda-tanda dan gejalanya pada keadaan hipoventilasi adalah nyeri
kepala, penurunan kesadaran, disorientasi, ketidakseimbangan elektrolit.
2.2.4.3 Hipoksia
Tidak adekuatnya pemenuhan oksigen O2 seluler akibat dari
defisiensi Oksigen yang di inspirasi atau meningkatnya penggunaan
Oksigen pada tingkat seluler. Hipoksia dapat disebabkan oleh menurunnya
hemoglobin, kerusakan gangguan ventilasi, menurunnya perfusi jaringan
seperti pada syok, berkurangnya konsentrasi O2 jika berada dipuncak
gunung. Tanda-tanda hipoksia adalah kelelahan, kecemasan menurunnya
kemampuan konsentrasi, nadi meningkat, pernafasan cepat dan dalam
sianosis, sesak nafas.
2.2.5 Faktor-faktor yang berhubungan
2.2.5.1 Patologi
(1) Penyakit pernafasan menahun (TBC, Asma, Bronkhitis)
(2) Infeksi, Fibrosis kritik, Influensa.
(3) Penyakit sistem syaraf (sindrom guillain barre, sklerosis, multipel
miastania gravis)
(4) Depresi SSP/ Trauma kepala.
(5) Cedera serebrovaskuler (stroke).
2.2.5.2 Maturasional
(1) Bayi prematur yang disebabkan kurangnya pembentukan
surfaktan.
(2) Bayi dan taddler, adanya resiko infeksi saluran pernafasan dan
19
merokok.
(3) Anak usia sekolah dan remaja, resiko infeksi saluran pernafasan
dan merokok.
(4) Dewasa muda dan pertengahan. Diet yang tidak sehat, kurang
aktifitas stress yang mengakibatkan penyakit jantung dan paru-
paru.
(5) Dewasa tua, adanya proses penuaan yang mengakibatkan
kemungkinan arterios klerosis, elastisitasi menurun, ekspansi
pann menurun.
2.2.5.3 Situasional (Personal, Lingkungan)
(1) Berhubungan dengan mobilitas sekunder akibat: pembedahan
atau trauma nyeri, ketakutan, ancietas, keletihan).
(2) Berhubungan dengan kelembaban yang sangat tinggi atau
kelembaban rendah.
(3) Berhubungan dengan menghilangnya mekanisme pembersihan
siliar, respons inflamasi, dan peningkatan pembentukan lendir
sekunder akibat rokok, pernafasan mulut.
2.2.6 Manifestasi Klinik
2.2.6.1 Suara nafas tidak normal.
2.2.6.2 Perubahan jumlah pernapasan.
2.2.6.3 Batuk disertai dahak.
2.2.6.4 Penggunaan otot tambahan pernapasan.
2.2.6.5 Dispnea.
2.2.6.6 Penurunan haluaran urin.
2.2.6.7 Penurunan ekspansi paru.
2.2.6.8 Takhipnea.
2.2.7 Pemeriksaan penunjang
2.2.7.1 EKG
2.2.7.2 Echocardiography
2.2.7.3 Kateterisasi jantung
2.2.7.4 Angiografi
2.2.8 Intervensi
2.2.8.1 Diagnosa : Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan sekret yang
berlebihan dan kental. 20
Tujuan : Pola nafas lebih dan kembali normal.
Kriteria Hasil : sesak nafas berkurang/hilang, RR 16-24x/menit, tidak ada
wheezing
Intervensi umum :
Mandiri
(1) Kaji faktor penyebab.
(2) Kurangi atau hilangkan faktor penyebab.
(3) Jika ada nyeri, berikan obat pereda nyeri sesuai kebutuhan.
(4) Sesuaikan pemberian dosis analgesik dengan sesi latihan batuk.
(5) Pertahankan posisi tubuh yang baik untuk mencegah nyeri atau
cedera otot.
18

(6) Jika sekret kental, pertahankan hidrasi yang adekuat (tingkatkan


asupan cairan hingga 2-3x sehari jika ada kontraindikasi).
(7) Pertahankan kelembapan udara inspirasi yang adekuat.
Kolaborasi
(1) Kolaborasikan dengan dokter untuk tindakan suction guna
mempertahankan kepatenan jalan napas.
(2) Kolaborasikan dengan dokter untuk pemberian oksigen melalui
masker, kanula hidung, dan transtrakea guna mempertahankan
dan meningkatkan oksigenasi.
Rasional
(1) Batuk yang tidak terkontrol dapat menyebabkan kelemahan dan
tidak efektif, dan bisa menyebabkan bronchitis.
(2) Latihan napas dalam dapat melebarkan jalan napas.
(3) Duduk pada posisi tegak menyebabkan organ-organ abdomen
terdorong menjauhi paru, akibatnya pengembangan paru
menjadi lebih besar.
(4) Pernapasan diafragma mengurangi frekuensi pernapasan dan
meningkatkan ventilas alveolar.
(5) Sekret yang kental sulit dikeluarkan dan dapat menyebabkan
henti mukus, kondisi ini dapat menimbulkan atelektasi.
21
(6) Secret harus cukup encer agar mudah dikeluarkan.
(7) Nyeri atau rasa takut akan dapat melelahkan dan menyakitkan.
Dukungan emosional menjadi semangat bagi klien, air hangat
dapat membantu relaksasi.
2.3 Manajemen Asuhan Keperawatan
2.3.1 Pengkajian
2.3.1.1 Identitas klien: selain nama klien, asal kota dan daerah, jumlah
keluarga.
2.3.1.2 Keluhan: penyebab klien sampai dibawa ke rumah sakit.
2.3.1.3 Riwayat penyakit sekarang:
Tanda dan gejala klinis TB serta terdapat benjolan/bisul pada tempat-
tempat kelenjar seperti: leher, inguinal, axilla dan sub mandibula.
2.3.1.4 Riwayat penyakit dahulu
2.3.1.5 Riwayat sosial ekonomi dan lingkungan.
(1) Riwayat keluarga.
Biasanya keluarga ada yang mempunyai penyakit yang sama.
(2) Aspek psikososial.
Merasa dikucilkan dan tidak dapat berkomunikasi dengan bebas,
menarik diri.
(3) Biasanya pada keluarga yang kurang mampu.
Masalah berhubungan dengan kondisi ekonomi, untuk
sembuh perlu waktu yang lama dan biaya yang banyak.Tidak
bersemangat dan putus harapan.
(4) Lingkungan:
Lingkungan kurang sehat (polusi, limbah), pemukiman yang
padat, ventilasi rumah yang kurang sehingga pertukaran udara
kurang, daerah di dalam rumah lembab, tidak cukup sinar
matahari, jumlah anggota keluarga yang banyak.
Pola fungsi kesehatan.
1) Pola persepsi sehat dan penatalaksanaan kesehatan.
Kurang menerapkan PHBS yang baik, rumah kumuh, jumlah
anggota keluarga banyak, lingkungan dalam rumah lembab,
22
jendela jarang dibuka sehingga sinar matahari tidak dapat
masuk, ventilasi minim menybabkan pertukaran udara kurang,
sejak kecil anggita keluarga tidak dibiasakan imunisasi.
2) Pola nutrisi - metabolik.
Anoreksia, mual, tidak enak diperut, BB turun, turgor kulit
jelek, kulit kering dan kehilangan lemak sub kutan, sulit dan
sakit menelan.
3) Pola eliminasi
Perubahan karakteristik feses dan urine, nyeri tekan pada
kuadran kanan atas dan hepatomegali, nyeri tekan pada kuadran
kiri atas dan splenomegali.
4) Pola aktifitas – latihan
Pola aktivitas pada pasien TB Paru mengalami penurunan
karena sesak nafas, mudah lelah, tachicardia, jika
melakukan aktifitas berat timbul sesak nafas (nafas pendek).
5) Pola tidur dan istirahat
Sulit tidur, frekwensi tidur berkurang dari biasanya, sering
berkeringat pada malam hari.
6) Pola kognitif – perceptual
Kadang terdapat nyeri tekan pada nodul limfa, nyeri tulang
umum, sedangkan dalam hal daya panca indera (perciuman,
perabaan, rasa, penglihatan dan pendengaran) jarang ditemukan
adanya gangguan
7) Pola persepsi diri
Pasien tidak percaya diri, pasif, kadang pemarah, selain itu
Ketakutan dan kecemasan akan muncul pada penderita TB paru
dikarenakan kurangnya pengetahuan tentang pernyakitnya yang
akhirnya membuat kondisi penderita menjadi perasaan tak
berbedanya dan tak ada harapan. (Marilyn. E. Doenges, 2000)
8) Pola peran – hubungan
Penderita dengan TB paru akan mengalami gangguan dalam
hal hubungan dan peran yang dikarenakan adanya isolasi untuk
menghindari penularan terhadap anggota keluarga yang lain.
(Marilyn. E. Doenges, 1999).
23
Aktivitas/istirahat
Gejala : kelemahan dan kelelahan
Tanda : Kesulitan tidur pada malam atau demam malam hari
dan berkeringat pada malam hari
Makanan/cairan
Gejala : Kehilangan nafsu makan
Tanda : Penurunan BB
Nyeri/kenyamanan
Gejala : Nyeri dada meningkat karena batuk, gangguan tidur pada
malam hari
Tanda : pasien meringis, tidur tidak nyenyak
Pernapasan
Gejala : batuk berdarah, Batuk produktif, Sesak nafas, Takipnea
Cardiovaskuler Gejala : takikardia (Doengoes, 2006)
Pemeriksaan Fisik
(1) Keadaan Umum dan Tanda Vital
Keadaan umum pada klien dengan TB paru dapat dilakukan
secara selintas pandang dengan menilai keadaaan fisik tiap
bagian tubuh. Selain itu, perlu di nilai secara umum tentang
kesadaran klien yang terdiri atas compos mentis, apatis,
somnolen, sopor, soporokoma, atau koma.
TTV :
Suhu : Terjadi peningkatan suhu tubuh
Nadi : Denyut nadi meningkat seirama dengan frekuensi napas
dan suhu tubuh
RR : frekuensi napas meningkat apabila disertai sesak napas
TD : tekanan darah biasanya sesuai dengan adanya penyulit
seperti hipertensi.
a. B1 (Breathing)
Pemeriksaan fisik pada klien dengan TB paru merupakan
pemeriksaan fokus yang terdiri atas inspeksi, palpasi, perkusi, dan
auskultasi.
(1) Inspeksi 24
Bentuk dada dan pergerakan pernapasan. Sekilas pandang klien
dengan TB paru biasanya tampak kurus sehingga terlihat adanya
penurunan proporsi diameter bentuk dada antero-posterior
dibandingkan proporsi diameter lateral. Apabila ada penyulit dari
TB paru seperti adanya efusi pleura yang masif, maka terlihat
adanya ketidaksimetrian rongga dada, pelebar intercostals space
(ICS) pada sisi yang sakit. TB paru yang disertai atelektasis paru
membuat bentuk dada menjadi tidak simetris, yang membuat
penderitanya mengalami penyempitan intercostals space (ICS)
pada sisi yang sakit. Pada klien dengan TB paru minimal dan
tanpa komplikasi, biasanya gerakan pernapasan tidak mengalami
perubahan. Meskipun demikian, jika terdapat komplikasi yang
melibatkan kerusakan luas pada parenkim paru biasanya klien
akan terlihat mengalami sesak napas, peningkatan frekuensi
napas, dan menggunakan otot bantu napas.
Batuk dan sputum.
Saat melakukan pengkajian batuk pada klien dengan TB paru,
biasanya didapatkan batuk produktif yang disertai adanya
peningkatan produksi secret dan sekresi sputum yang purulen.
Periksa jumlah produksi sputum, terutama apabila TB paru
disertai adanya brokhiektasis yang membuat klien akan
mengalami peningkatan produksi sputum yang sangat banyak.
Perawat perlu mengukur jumlah produksi sputum per hari sebagai
penunjang evaluasi terhadap intervensi keperawatan yang telah
diberikan.
(2) Palpasi
Gerakan dinding thoraks anterior/ekskrusi pernapasan. TB paru
tanpa komplikasi pada saat dilakukan palpasi, gerakan dada saat
bernapas biasanya normal seimbang antara bagian kanan dan kiri.
Adanya penurunan gerakan dinding pernapasan biasanya
ditemukan pada klien TB paru dengan kerusakan parenkim paru
yang luas. Getaran suara (fremitus vokal). Getaran yang terasa
ketika perawat meletakkan tangannya di dada klien saat klien
berbicara adalah bunyi yang dibangkitkan oleh penjalaran dalam
laring arah distal sepanjang pohon bronchial untuk membuat 25
dinding dada dalam gerakan resonan, teerutama pada bunyi
konsonan. Kapasitas untuk merasakan bunyi pada dinding dada
disebut taktil fremitus.
(3) Perkusi
Pada klien dengan TB paru minimal tanpa komplikasi, biasanya
akan didapatkan resonan atau sonor pada seluruh lapang paru.
Pada klien dengan TB paru yang disertai komplikasi seperti efusi
pleura akan didapatkan bunyi redup sampai pekak pada sisi yang
sesuai banyaknya akumulasi cairan di rongga pleura. Apabila
disertai pneumothoraks, maka didapatkan bunyi hiperresonan
terutama jika pneumothoraks ventil yang mendorong posisi paru
ke sisi yang sehat.
(4) Auskultasi
Pada klien dengan TB paru didapatkan bunyi napas tambahan
(ronkhi) pada sisi yang sakit. Penting bagi perawat pemeriksa
untuk mendokumentasikan hasil auskultasi di daerah mana
didapatkan adanya ronkhi. Bunyi yang terdengar melalui
stetoskop ketika klien berbica disebut sebagai resonan vokal.
Klien dengan TB paru yang disertai komplikasi seperti efusi
pleura dan pneumopthoraks akan didapatkan penurunan resonan
vocal pada sisi yang sakit.
b. B2 (Blood)
Pada klien dengan TB paru pengkajian yang didapat meliputi:
(1) Inspeksi : Inspeksi tentang adanya parut dan keluhan
kelemahan fisik.
(2) Palpasi : Denyut nadi perifer melemah.
(3) Perkusi : Batas jantung mengalami pergeseran pada
TB paru dengan efusi pleura masif
mendorong ke sisi sehat.
(4) Auskultasi : Tekanan darah biasanya normal. Bunyi
jantung tambahan biasanya tidak
didapatkan.
c. B3 (Brain)
Kesadaran biasanya compos mentis dengan GCS (4-5-6),
ditemukan adanya sianosis perifer apabila gangguan perfusi
jaringan berat. 26
Pada pengkajian objektif, klien tampak dengan meringis, menangis,
merintih, meregang, dan menggeliat. Saat dilakukan pengkajian
pada mata, biasanya didapatkan adanya kengjungtiva anemis pada
TB paru dengan gangguan fungsi hati
d. B4 (Bladder)
Pengukuran volume output urine berhubungan dengan intake
cairan. Oleh karena itu, perawat perlu memonitor adanya oliguria
karena hal tersebut merupakan tanda awal dari syok. Klien
diinformasikan agar terbiasa dengan urine yang berwarna jingga
pekat dan berbau yang menandakan fungsi ginjal masih normal
sebagai ekskresi karena meminum OAT terutama rifampisin.
e. B5 (Bowel)
Klien biasanya mengalami mual, penurunan nafsu makan, dan
penurunan berat badan.
f. B6 (Bone)
Aktivitas sehari-hari berkurang banyak pada klien dengan TB paru.
Gejala yang muncul antara lain kelemahan, kelelahan, insomnia,
pola hidup menetap, jadwal olahraga menjadi tak teratur.
2.3.2 Diagnosa Keperawatan
2.3.2.1 Ketidak efektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan
bronkospasme
2.3.2.2 Gangguan pertukaan gas berhubungan dengan kongesti paru,
hipertensi pulmonal, penurunan perifer yang mengakibatkan
asidosis laktat dan penurunan curah jantung.
2.3.2.3 Ketidakseimbangan nutrisis kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan ketidakadekuatan intake nutrisi
2.3.2.4 Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan peningkatan reflek
batuk
2.3.2.5 Ketidakefektifan regime terapeutik keluarga berhubungan dengan
ketidakteraturan minum obat (Nanda, 2015)
2.3.3 Intervensi
2.3.3.1 Ketidak efektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan
bronkospasme
Tujuan :
27

Setelah diberikan tindakan keperawatan 1 x 24 jam bersihan jalan napas


efektif
Kriteria Hasil :
(1) Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama
nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal (18-20 x/menit), tidak
ada suara nafas tambahan (abnormal).
(2) Mampu mengeluarkan sputum, bernafas dengan mudah.
Intervensi :
Intervensi Rasionalisasi

1. Kaji  ulang fungsi pernapasan: 1. Rasional : Penurunan bunyi


bunyi napas, kecepatan, irama, napas indikasi atelektasis, ronki
kedalaman dan penggunaan otot indikasi akumulasi
aksesori. secret/ketidakmampuan
membersihkan jalan napas
2. Observasi kemampuan untuk sehingga otot aksesori
mengeluarkan secret atau batuk digunakan dan kerja pernapasan
efektif, catat karakter, jumlah meningkat
sputum, adanya hemoptisis. 2. Rasional: Pengeluaran sulit bila
sekret tebal, sputum berdarah
3. Berikan pasien posisi semi fowler akibat kerusakan paru atau luka
(senyaman pasien), Bantu/ajarkan bronchial yang memerlukan
batuk efektif dan latihan napas evaluasi/intervensi lanjut
dalam. 3. Rasional: Meningkatkan
ekspansi paru, ventilasi
4. Bersihkan sekret dari mulut dan maksimal membuka area
trakea, suction bila perlu. atelektasis dan peningkatan
gerakan sekret agar mudah
5. Pertahankan intake cairan dikeluarkan.
minimal 2500 ml/hari kecuali 4. Rasional:Mencegah
kontraindikasi. obstruksi/aspirasi. Suction
dilakukan bila pasien tidak
mampu mengeluarkan sekret.
24

6. Lembabkan udara/oksigen 5. Rasional:Membantu 28


inspirasi. mengencerkan secret sehingga
mudah dikeluarkan
7. Kolaborasi pemberian obat: agen 6. Rasional: Mencegah
mukolitik,bronkodilator, pengeringan membran mukosa
kortikosteroid sesuai indikasi. 7. Rasional:Menurunkan
kekentalan sekret, lingkaran
ukuran lumen trakeabronkial,
berguna jika terjadi hipoksemia
pada kavitas yang luas 25

2.3.3.2 Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kongesti paru,


hipertensi pulmonal, penurunan perifer yang mengakibatkan
asidosis laktat dan penurunan curah jantung
Tujuan :
Setelah diberikan tindakan keperawatan 1 x 24 jam pertukaran gas
efektif
Kriteria Hasil :
(1) Tidak terjadi dispnea.
(2) Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat
dengan BGA dalam rentang normal.
(3) Bebas dari gejala distress pernapasan.
Intervensi :

Intervensi Rasionalisasi

1. Kaji dispnea, takipnea, 1. Rasional: Tuberkulosis paru dapat


bunyi pernapasan abnormal. rnenyebabkan meluasnya jangkauan
Peningkatan upaya dalam paru-pani yang berasal dari
respirasi, keterbatasan bronkopneumonia yang meluas
ekspansi dada dan menjadi inflamasi, nekrosis, pleural
kelemahan. effusion dan meluasnya fibrosis dengan
2. Evaluasi perubahan-tingkat gejala-gejala respirasi distress.
kesadaran, catat tanda-tanda 2. Rasional: Akumulasi secret dapat
sianosis dan perubahan menggangp oksigenasi di organ vital
29
warna kulit, membran dan jaringan
mukosa, dan warna kuku 3. Rasional: Mengurangi konsumsi
3. Anjurkan untuk bedrest, oksigen pada periode respirasi.
batasi dan bantu aktivitas 4. Rasional : Mengetahui kadar
sesuai kebutuhan. Oksigen ke jaringan
4. Kolaborasi dengan tim
medis untuk pemeriksaan
analisa gas darah

2.3.3.3 Ketidakseimbangan nutrisis kurang dari kebutuhan tubuh


berhubungan dengan ketidakadekuatan intake nutrisi, batuk yang sering,
adanya produksi sputum, dispnea
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 x 24 jam diharapkan
kebutuhan nutrisiterpenuhi dan adekuat
Kriteria Hasil :
(1) Menunjukkan berat badan meningkat mencapai tujuan dengan
nilai laboratoriurn normal dan bebas tanda malnutrisi.
(2) Melakukan perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan
mempertahankan berat badan yang tepat.
Intervensi :

Intervensi Rasionalisasi

1. Catat status nutrisi paasien: 1.Rasional: Berguna dalam


turgor kulit, timbang berat mendefinisikan derajat masalah
badan, integritas mukosa mulut, dan intervensi yang tepat.
kemampuan menelan, adanya 2.Rasional: Membantu intervensi
bising usus, riwayat kebutuhan yang spesifik,
mual/rnuntah atau diare. meningkatkan intake diet pasien.
2. Kaji ulang pola diet pasien yang 3.Rasional: Mengukur keefektifan
disukai/tidak disukai. nutrisi dan cairan.
3. Monitor intake dan output secara 4.Dapat menentukan jenis diet dan
periodik. mengidentifikasi pemecahan
4. Catat adanya anoreksia, mual, masalah untuk meningkatkan
30
muntah, dan tetapkan jika ada intake nutrisi.
hubungannya dengan medikasi. 5.Rasional: Mengurangi rasa tidak
Awasi frekuensi, volume, enak dari sputum atau obat-obat
konsistensi Buang Air Besar yang digunakan yang dapat
(BAB). Rasional: merangsang muntah.
5. Lakukan perawatan mulut 6.Rasional: Memaksimalkan intake
sebelum dan sesudah tindakan nutrisi dan menurunkan iritasi
pernapasan. gaster.
6. Anjurkan makan sedikit dan
sering dengan makanan tinggi
protein dan karbohidrat.

2.3.4 Implementasi
adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah
disusun pada tahap perencanaan. Setiadi (2012)
2.3.5 Evaluasi
Tahap penilaian atau evaluasi adalah perbandingan yang sistematis dan
terencaan tentang kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan
dengan cara bersinambungan dengan melibatkan klien, keluarga, dan tenaga
kesehatan lainnya. Setiadi (2012).
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Tuberkulosis paru adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium tuberculosis), terutama menyerang paru. Kuman tuberkulosis ini
masuk kedalam tubuh melalui udara,saluran pernapasan, saluran pencernaan dan
luka terbuka di kulit. Infeksi TB dikedalikan oleh respon imunitas dengan
makrofag dan limfosit sebagai Sel efektor.Respon ini disebut reaksi
hipersensitivitas seluler (lambat).
Pada penderita tuberculosis keluhan utama berupa batuk berdahak lebih dari
tiga minggu. Dari hasil pemeriksaan fisik dapat ditemukan bahwapasien TB paru
akan tampak pucat, kurus dan dagu terangkat.
Untuk mendiagnosa penyakit TB paru dapat dilakukan pemeriksaan ini dan
pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan sputum, tes tuberculin, tes radiologi
serta pemeriksaan serologis lainnya.
4.2 Saran
Ada beberapa hal yang dapat disarankan demi keperluan pengembangan hasil
penelitian hubungan motivasi diri dengan kepatuhan minum obat anti tuberculosis
(OAT) pada pasien TB paru di puskesmas Andalas Padang adalah sebagai berikut:
1. Bagi Puskesmas Bagi pihak Puskesmas Andalas disarankan agar lebih
ditingkatkan dalam mengawasi serta memberikan perhatian lebih kepada
p asien TB Parukhususnya pasien TB Paru lansia yang mempunyai
motivasi tinggi untuk sembuh tapi terkendala dengan tidak adanya
keluarga yang mengawasi dengan cara melakukan kunjungan rumah dan
memberikan tanggung jawab kepada petugas kesehatan yang
bertanggung jawab sebagai PMO (Pengawas Minum Obat) yang nantinya
akan berperan untuk mengawasi dan mengingatkan secara terus menerus
untuk minum obat. Dan untuk pasien TB Paru yang mempunyai motivasi
rendah agar selalu diberikan dukungan dan pengertian akan pentingnya
kepatuhan dalam menjalani pengobatan TB Paru agar pasien TB paru
dapat termotivasi dalam menjalani pengobatan sehingga tercapainya
kesembuhan penyakit TB paru secara optimal.
2. Bagi Pasien dan keluarga Diharapkan kepada pasien TB paru agar tetap
patuh dalam menjalani pengobatan agar kesembuhan dapat dicapai sesuai 32
yang diharapkan. Dan bagi keluarga sebaiknya tetap memberikan
dukungan pada pasien dengan cara selalu mengingatkan dan memotivasi
31
pasien untuk minum obat secara teratur serta meluangkan waktu untuk
mengantarkan pasien berobat ketika pasien membutuhkan bantuan.
3. Bagi Institusi pendidikan Diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan
masukan untuk perpustakaan dan menambah wawasan bagi mahasiswa
4. Bagi peneliti selanjutnya Bagi peneliti selanjutnya diharapkan hasil
penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi pengembangan penelitian
selanjutnya, dan diharapkan dapat menambah variabel lain yang
berhubungan dengan kepatuhan minum obat anti tuberculosis (OAT)
pada pasien TB paru dengan metode dan desain penelitian yang lebih
baik serta sampel yang lebih banyak.
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, L.J. 2000. Diagnosa Keperawatan, Aplikasi pada Praktik Klinis, edisi


6. Jakarta: EGC

Crofton, John,2002.Tuberculosis klinis.Jakarta:Widya Medika,

Doengoes, Marylinn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Ed. 3, EGC:
Jakarta.
Gleadle,Jonathan,2005.At a glance Anamnesis dan Pemeriksaan
Fisik.Jakarta:EMS,hal 175
Mansjoer, Arif. 1999. Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Jakarta:Media
Aeculapius
Nanda.2005.Panduan Diagnosa Keperawatan Nanda definisi dan
Klasifikasi
2005-2006. Editor : Budi Sentosa.Jakarta:Prima Medika
Price, S.A, 2005, Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Jakarta :
EGC
Smeltzer, C.S.2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner
dan
Suddarth. Edisi 8. Jakarta : EGC
Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006.
Jakarta: Prima Medika
Tambayong, J. 2003. Patofisiologi untuk Keperawatan. EGC : Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai