Anda di halaman 1dari 4

Mengurangi Pelanggaran HAM

di Masa Pandemi Covid -19


Pandemi covid-19 telah membatasi ruang gerak manusia di berbagai belahan dunia.
Termasuk Indonesia. Namun kepentingan untuk tetap mempertahankan dan
memperjuangkan nila-inilai keadilan, Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokrasi sebagai
pijakan membangun peradaban berbangsa dan bernegara tidak boleh melemah. Bahkan
sebaliknya harus semakin kuat dijunjung dan ditegakkan.
Pemerintah sebagai pemangku utama yang berkewajiban melindungi dan memenuhi hak
asasi setiap warga yang tertuang dalam berbagai instrumen hukum internasional maupun
nasional termasuk dalam konstitusi negara RI (UUD 1945) dan berbagai peraturan
perundang-undangan di bawahnya.
Apalagi di tengah kondisi pandemi covid-19 saat ini, pemerintah (pusat dan daerah) tidak
sekadar wajib memberikan perlindungan warganya dari ancaman infeksi Covid-19 yang
merupakan bagian dari hak atas kesehatan namun harus juga menjamin pemenuhan hak
asasi lainnya yang dibutuhkan secara mendasar dan sehari-hari oleh warganya dengan
prinsip non-diskriminasi, partisipatif, pemberdayaan dan akuntabel.
Hak atas Kesehatan
Perlindungan rakyat dari wabah pandemi Covid-19 adalah wujud nyata dari
pemenuhan hak atas kesehatan. Hak yang terdekat dari hak atas hidup dan sangat
fundamental, yang telah dijamin dalam konstitusi negara (UUD 1945) khususnya dalam
Pasal 28H ayat (1). Juga diatur dalam berbagai Undang-undang, termasuk Kovenan
Internasional tentang hak ekonomi sosial dan budaya (ICESCR) yang telah ratifikasi
berdasarkan UU No. 11 Tahun 2015. Pasal 12 ayat (1) ICESR mengatur secara ketat
tentang pelaksanaan kewajiban Pemerintah (pusat dan daerah) dalam pemenuhan hak
untuk menikmati standar kesehatan fisik dan mental yang tertinggi yang dapat dicapai, yang
harus dilaksanakan secara optimal dengan mengerahkan seluruh sumber daya yang
tersedia, termasuk dalam hal ini: anggaran, faslitas infrastruktur dan sumber daya manusia.
Pelaksanaan pemenuhan hak ini haruslah memenuhi empat pinsip yakni 1) Ketersediaan;
2) Aksesibilitas; 3) Penerimaan; dan 4) Kualitas. Melanggar salah satu dari empat prinsip
tersebut merupakan pelanggaran HAM karena pemerintah dianggap telah lalai dan/ atau
abai terhadap kewajibannya (lihat General Comment No. 14, UN Commite Economic,
Social and Cultural Rights – UN, Geneva 25 April – 12 May 2000).
Melanggar salah satu, apalagi dua bahkan tiga prinsip tersebut adalah pelanggaran HAM
karena pemerintah dianggap lalai atau dengan sengaja abai memenuhi kewajibannya.
Saking fundamentalnya, untuk menjamin pemenuhan hak atas kesehatan, dimungkinkan
adanya penangguhan, pengurangan/ pembatasan hak asasi tertentu yang tergolong
derogable right. Pembatasan tersebut harus dilakukan dengan sangat ketat, hati-hati,
proporsional dengan batas waktu dan diatur dalam UU.
Tujuannya semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain. Tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai
agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Berdasarkan UU No. 6 Tahun 2018 dan Permenkes No. 9 Tahun 2020, bentuk pembatasan
dalam memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yakni: a) peliburan
sekolah dan tempat kerja; b) pembatasan kegiatan keagamaan; c) pembatasan kegiatan di
tempat atau fasilitas umum; d) pembatasan kegiatan sosial dan budaya; e) pembatasan
moda transportasi; dan f) pembatasan kegiatan lainnya khusus terkait aspek pertahanan
dan keamanan, disertai ancaman sanksi bagi yang melanggar.
Rasio legis dalam menerapkan pembatasan atas hak sipil, harus memenuhi prinsip
proporsional, kepatutan dan asas keseimbangan sehingga wajib disertai adanya jaminan
pemenuhan kebutuhan hidup dasar, yang mencakup hak atas perumahan/ tempat tinggal,
hak atas pangan, kebutuhan pokok dan kebutuhan sehari-hari termasuk kebutuhan fasilitas
hiburan.
Tanpa adanya jaminan pemenuhan kebutuhan dasar maka pemberlakuan PSBB adalah
melanggar HAM. Apalagi jika ternyata ditemukan adanya warga yang kelaparan, jatuh sakit
atau mengalami gangguan jiwa/ mental atau bahkan meninggal dunia akibat mengurung diri
di dalam rumah karena adanya larangan/ pembatasan tersebut sementara kebutuhan
dasarnya tidak terpenuhi.
Sebaliknya, kebijakan yang melonggarkan PSBB yang berdampak seorang atau beberapa
bahkan secara masif mengakibatkan warga terpapar Covid-19 dan meninggal dunia maka
pemerintah tidak saja gagal melaksanakan kewajibannya melindungi kesehatan publik,
namun telah melanggar hak hidup warganya yang bersifat underogable rights yakni hak
yang tidak bisa dicabut dan dikurangi dalam kondisi apapun meski keadaan darurat
sekalipun.
Pertanggungjawaban Hukum
Hukum hak asasi manusia dapat mengukur dan membuktikan adanya kesalahan
atau kelalaian pemenuhan tanggungjawab pemerintah. Apakah karena faktor
ketidakmampuan (inability/ incapacity) ataukah murni karena ketidakmauan (unwilling)?
Dengan menelisik dokumen APBN/ APBD beserta seluruh laporan realisasinya dan daftar
inventarisasi pelaporan Barang Milik Negara/Daerah. Sikap diam, lamban dan/atau
menggunakan sumber daya yang tersedia secara tidak tepat seperti program-program
isolasi mandiri pasien yang melanggar asas-asas umum pemerintah yang baik (good
governance), rencana pengadaan lima unit mobil mewah untuk pimpinan DPRD Sulsel di
masa pandemi. Terlebih jika disertai tindakan korupsi oleh pejabat terhadap dana covid-19:
transaksi fiktif, markup anggaran mengadaan APD dan alat kesehatan lainnya,
perlengkapan pengurusan jenasah Covid adalah dapat dikategorikan sebagai rangkaian
pelanggaran HAM.
Semua bentuk pelanggaran HAM baik langsung maupun tidak langsung yang dilakukan
oleh pejabat pemerintahan haruslah dipertanggungjawabkan secara hukum dan dikenakan
sanksi pidana, perdata dan/ atau administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan (Penjelasan umum UU No. 39 Tahun 1999) yang dapat dituntut
secara berjenjang yakni lewat mekanisme hukum nasional dan mekanisme internasional.
Selain itu, pelanggaran HAM yang dilakukan oleh kepala negara atau kepala daerah
(termasuk partai pengusungnya) yang dipilih dalam Pemilu/ Pilkada juga berdampak secara
politis karena kegagalannya dalam memenuhi dan melindungi hak dasar konstituen
politiknya. Semoga menjadi perhatian dan dipetimbangkan. Wallahu a'lam bish-shawabi. (*)

(Sumber:  https://makassar.tribunnews.com/2020/05/19/mengurai-pelanggaran-ham-di-
masa-pandemi-covid-19?page=2.)

Anda mungkin juga menyukai