Anda di halaman 1dari 27

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

DEPARTEMEN GEOSAINS PRODI GEOLOGI


LAPORAN RESMI PRAKTIKUM KRISTALOGRAFI DAN MINERALOGI

ACARA: BATUAN TERALTERASI

Disusun oleh :
Belyana
1806198534
Geologi Panas Bumi B
Kamis 13.00 WIB

Asisten Acara :
M. Farel Bagaskara

DEPOK
2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sistem panas bumi merupakan salah satu sistem yang terjadi dalam proses geologi yang
berjalan dalam orde ratusan bahkan jutaan tahun yang dewasa ini membawa manfaat bagi manusia
baik dimanfaatkan dengan menjadikan manifestasi untuk pariwisata maupun pemanfaatannya
untuk pertanian dan peternakan (Winarsih, 2014). Sistem panas bumi sangat penting untuk
dipelajari mengingat Indonesia memiliki potensi panas bumi yang sangat besar agar
pemanfaatannya dapat ditingkatkan secara maksimal.

Reservoir panas bumi sendiri sangat erat kaitannya dengan keberadaan struktur geologi
seperti fault dan fractures. Namun, sifat-sifat fisis dan kimiawi pada batuan juga berkaitan untuk
menerangkan bagaimana kondisi serta pemanfaatan yang akan dicapai pada suatu sistem panas
bumi. Parameter untuk sifat batuan reservoir panas bumi yang perlu dipelajari berupa porositas,
permeabilitas, densitas, serta sifat kemagnetannya. Selain parameter tersebut, sebagian besar
batuan yang akan ditemui pada lingkungan geotermal adalah sudah teralterasi. Alterasi menjadi
informasi penting mengenai batuan di sistem panas bumi. Alterasi menunjukkan sifat fluida dan
temperatur di masa lalu (paleotemperatur), digunakan untuk mengestimasi lokasi heat source.

Alterasi sendiri juga banyak berpengaruh sifat fisik batuan, seperti kemagnetan, densitas,
porositas, dan permeabilitas batuan sehingga merupakan informasi penting dalam interpretasi data
geofisika, pemodelan konseptual, dan juga pemodelan reservoar panas bumi. Pada praktikum kali
ini akan kita akan mempelajara tipe alterasi. Cara paling baik untuk mempelajari alterasi adalah
dengan membandingkan batuan yang belum teralterasi dengan batuan teralterasi dari tipe yang
sama/mirip. Selain dari itu, akan dilihat juga perubahan sifat fisik antara batuan yang teralterasi
dan tidak teralterasi. Akan ada dua tipe alterasi yang akan banyak dipelajari, yaitu alterasi argillic
dan propilitic. Hal ini dikarenakan kedua alterasi inilah yang paling banyak ditemukan di sistem
panas bumi yang berkaitan dengan setting gunung api.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah yang disusun dalam praktikum kali ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana cara melakukan deskripsi batuan? Hal apa saja yang perlu dicatat dalam melakukan
deskripsi batuan?
2. Bagaimana tipe alterasi yang terjadi pada batuan?
3. Bagaimana proses dan penyebab alterasi yang terjadi pada batuan?
4. Bagaimana cara mengidentifikasi protolith pada batuan teralterasi?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam praktikum kali ini adalah sebagai berikut:

1. Dapat mendeskripsikan batuan serta mengetahui jenis batuan.


2. Dapat mengetahui dan memahami tipe alterasi yang terjadi pada batuan
3. Dapat mengetahui dan memahami penyebab dan proses alterasi pada batuan
4. Dapat mengetahui dan memahami protolith batuan teralterasi
BAB II

TEORI DASAR

2.1 Jenis Batuan

Pada dasarnya, batuan dalam bumi ini dikelompokkan kedalam tiga jenis yaitu batuan
beku, batuan sedimen, dan batuan metamorf. Berikut adalah penjelasan dari masing-masing jenis
batuan:

2.1.1 Batuan Sedimen

Batuan sedimen adalah bataun yang terbentuk dari akumulasi material hasil
perombakan batuan yang telah ada sebelumnya atau hasil akumulasi kimia maupun
organisme yang diendapkan lapis demi lapis pada permukaan bumi yang kemudian
mengalami pembatuan (Pettijohn, 1975).

Batuan sedimen terbagi atas dua macam yaitu klastik dan non-klastik. Pada praktikum
kali ini, batuan sedimen yang dijadikan fokus utama merupakan batuan sedimen klastik
dengan klasifikasinya yaitu batuan sedimen vulkaniklastik.

• Batuan Sedimen Vulkaniklastik

Batuan sedimen vulkaniklastik sering juga disebut sebagai piroklastik, adalah batuan
beku yang terbentuk dari bergabungnya fragmen individual yang terlontar dari erupsi
vulkanis yang berupa material piroklastik (debu halus, butiran-butiran, gumpalan cair, dll)
(Tarbuck & Lutgens, 2015). Pada dasarnya, dalam mendeskripsikan batuan hal mendasar
yang perlu dicatat adalah warna. Selain warna, terdapat beberapa komponen yang perlu
diidentifikasi pada piroklastik, yakni:

1. Tekstur
Pada piroklastik, tekstur terbagi atas 3 yakni berdasarkan kekompakan, sortasi,
serta kemas.
a) Kekompakan, terbagi dua:
» Consolidated, merupakan material yang telah mengalami litifikasi
(kompaksi dan sementasi) sehingga membentuk akumulasi padatan dari
material penyusunnya (Tarbuck & Lutgens, 2015).
» Unconsolidated, merupakan batuan yang belum kompak dimana fragmen
atau material piroklastik berupa akumulasi dan tidak menjadi kesatuan
batuan (Hall, 2007).
b) Sortasi
Pemilahan (sortasi) adalah derajat keseragaman ukuran butir dari fragmen
penyusun batuan. Ketika ukuran butir seragam sortasinya baik dan ketika ukuran
butir tidak seragam sortasinya buruk (Nichols, 2009).
c) Kemas, terbagi dua:
» Kemas terbuka, hubungan antar butiran penyusun batuan yang
didominasi oleh matriks atau disebut matrix supported (Nichols, 2009).
Butiran akan terlihat saling mengapung pada kemas terbuka.
» Kemas tertutup, hubungan antar butiran penyusun batuan yang
didominasi oleh fragmen/clast atau disebut clast supported (Nichols,
2009). Butiran akan saling menyentuh satu sama lainnya.

2. Struktur
Terdapat beberapa struktur penting pada batuan sedimen vulkaniklastik, yaitu:
a) Welded/Fiamme, merupakan struktur batuan yang berbentuk lenticular/ lensa
dan terbentuk karena adanya tekanan pada pumice yang melepaskan gas pada
pumice kemudian ketika gas tersebut keluar maka pumice akan berubah warna
menjadi menghitam seperti obsidian (Winter, 2014).
b) Vesikular, merupakan struktur batuan berongga akibat saat terbentuknya batuan
terdapat gelembung gas yang terjebak dan ketika gelembung tersebut pecah akan
meninggalkan rongga (Winter, 2014).
c) Masif, merupakan struktur batuan yang tidk terdapat secara mendetail atau hanya
dapat dilihat sebagai suatu batuan yang masid (Winter, 2014).
d) Amigdaloidal, merupakan struktur di mana batuan memiliki rongga yang terisi
oleh mineral sekunder.

3. Fragmen Vulkaniklastik
Fragmen vulkaniklastik terbagi menjadi 3 yaitu block, lapilli, dan ash dengan 3
macam jenisnya yaitu berupa fragmen gelas, litik dan kristal.
a) Block, merupakan fragmen dalam batuan yang berukuran >64 mm dan berbentuk
menyudut (angular), yang dapat pula disebut bombs apabila berbentuk
membundar (rounded) (Winter, 2014).
b) Lapilli, merupakan fragmen batuan yang berukuran 2-64 mm
c) Ash, merupakan fragmen batuan yang berukuran < 2 mm

2.1.2 Batuan Beku

Batuan beku adalah batuan yang terbentuk dari pendinginan atau pemadatan magma.
Magma adalah campuran dari cairan silikat (meleleh), kristal mineral yang terkristalisasi
dari cairan dan terkadang gelembung gas (Mc. Kenzie et all., 2017). Berdasarkan proses
pembentukannya, batuan beku terbagi menjadi dua, yakni batuan beku intrusif (plutonik)
dan batuan beku ekstrusif (vulkanik). Dalam melakukan deskripsi batuan beku terdapat
beberapa hal penting yang perlu dicantum, yaitu:

1. Tekstur
Merupakan karakteristik fisik pada batuan seperti ukuran kristal, derajat
kristalisasi, kemas, dan bentuk kristal. Namun dalam praktikum kali ini, poin utama yang
perlu dideskripsikan yaitu ukuran kristalnya.
a) Faneritik, merupakan batuan yang memiliki butiran kasar dan dapat diamati
tanpa alat bantu atau dengan mata telanjang.
b) Porfiritik, merupakan batuan yang butirannya bercampur antara butiran kasar
dan butiran kecil (ground mass). Bersifat masih dapat diamati dengan bantuan
loupe
c) Afanitik, merupakan batuan yang berbutir halus – sehingga sudah tidak bisa
lagi diamati dengan mata telanjang maupun dengan alat loupe.
d) Porfiriafanitik, apabila butiran-butiran mineral yang besar (mineral sulung atau
fenokris) dan dikelilingi oleh mineral mineral yang berukuran lebih kecil
(massa dasar) yang afanitik.
e) Faneroafanitik, apabila butiran-butiran mineral yang besar (mineral sulung atau
fenokris) dan dikelilingi oleh mineral mineral yang berukuran lebih kecil
(massa dasar) yang fanerik.
2. Struktur
Berikut adalah beberapa struktur penting yang terdapat pada batuan beku:
a) Massif, apabila tidak menunjukkan adanya jejak gas, lubang, perlapisandan
fragmen lain yang tertanam dalam tubuh batuan beku.
b) Pillow lava, struktur paling khas dari batuan vulkanik dibawah permukaan air
yang membentuk seperti bantal.
c) Columnar joint, struktur yang ditandai dengan adanya kekar yang tersusun
secara teratur, tegak lurus dengan arah alirannya.
d) Vesikular, struktur berlubang yang diakibatkan oleh keluarnya gas pada waktu
pembekuan magma, biasanya menunjukkan arah yang teratur.
e) Scoria, struktur yang sama dengan vesikuler tetapi lubangnya menunjukkan
arah yang tidak teratur.

3. Komponen Penyusun
Komponen biasanya terdapat informasi mengenai penyusun batuan seperti
komposisi mineral yang terkandung, rasio massa dasar dan fenokris dalam suatu batuan
(Raymond, 2002). Informasi mengenai komponen ini akan berguna untuk menentukan
nama batuan berdasarkan plotting pada QAPF diagram.

2.2 Sifat Fisik Batuan

2.2.1 Porositas

Porositas adalah persentase ruang terbuka dalam sedimen atau batuan yang tidak
terkonsolidasi (Steven Earle, 2016). Fluida panas bumi umumnya terkandung pada pori-
pori. Porosias dapat diklasifikasikan menjadi dua, yakni:

1. Porositas primer, yaitu porositas yang terbentuk selama proses pengendapan


berlangsung.
2. Porositas sekunder, yaitu porositas yang terbentuk oleh proses-proses geologi setelah
pengendapan selesai atau terjadi setelah proses terbentuknya batuan.
Porositas yang biasanya terdapat dalam reservoir panas bumi adalah porositas sekunder,
karena porositas ini berupa rekahan-rekahan (fracture) yang timbul akibat proses geologi
seperti lipatan, sesar, ataupun patahan.

2.2.2 Permeabilitas

Permeabilitas adalah kemampuan suatu batuan untuk mengalirkan fluida.


Permeabilitas merupakan parameter penting untuk menentukan kecepatan alir fluida di
dalam batuan berpori dan batuan rekah alami. Besarnya permeabilitas batuan tidak sama ke
segala arah (anisotropy), umumnya permeabilitas pada arah horizontal jauh lebih besar dari
permeabilitasnya pada arah vertikal (Estrela Bellia, dll. 2015)

2.2.3 Kemagnetan

Kemagnetan pada batuan dipengaruhi magnetic susceptibility yang merupakan


kerentanan suatu batuan untuk memiliki medan magnet ketika terinduksi atau berdasarkan
kandungan mineralnya

2.3 Alterasi Hidrothermal

Alterasi hidrotermal adalah suatu proses yang sangat kompleks yang melibatkan perubahan
mineralogi, kimiawi, dan tekstur yang disebabkan oleh interaksi fluida panas dengan batuan yang
dilaluinya, di bawah kondisi evolusi fisio-kimia. Proses alterasi merupakan suatu bentuk
metasomatisme, yaitu pertukaran komponenkimiawi antara cairan-cairan dengan batuan dinding
(Pirajno, 1992). Interaksi antara fluida hidrotermal dengan batuan yang dilewatinya (batuan
dinding), akan menyebabkan terubahnya mineral-mineral primer menjadi mineral ubahan
(mineral alterasi), maupun fluida itu sendiri (Pirajno, 1992, dalam Sutarto, 2004). Alterasi
hidrotermal akan bergantung pada :

1. Karakter batuan dinding.


2. Karakter fluida (Eh, pH).
3. Kondisi tekanan dan temperatur pada saat reaksi berlangsung (Guilbert dan Park, 1986,
dalam Sutarto, 2004).
4. Konsentrasi.
5. Lama aktivitas hidrotermal (Browne, 1991, dalam Sutarto, 2004).
Walaupun faktor-faktor di atas saling terkait, tetapi temperatur dan kimia fluida kemungkinan
merupakan faktor yang paling berpengaruh pada proses alterasi hidrotermal (Corbett dan Leach,
1996, dalam Sutarto, 2004 ). Henley dan Ellis (1983, dalam Sutarto, 2004), mempercayai bahwa
alterasi hidrotermal pada sistem epitermal tidak banyak bergantung pada komposisi batuan
dinding, akan tetapi lebih dikontrol oleh kelulusan batuan, tempertatur, dan komposisi fluida.

2.4 Tipe Alterasi

Creasey (1966, dalam Sutarto, 2004) membuat klasifikasi alterasi hidrotermal pada endapan
tembaga porfir menjadi empat tipe yaitu propilitik, argilik, potasik, dan himpunan kuarsa-serisit-
pirit. Lowell dan Guilbert (1970, dalam Sutarto, 2004) membuat model alterasi-mineralisasi juga
pada endapan bijih porfir, menambahkan istilah zona filik untuk himpunan mineral kuarsa, serisit,
pirit, klorit, rutil, kalkopirit. Adapun delapan macam tipe alterasi antara lain :

2.4.1 Propilitik

Dicirikan oleh kehadiran klorit disertai dengan beberapa mineral epidot, illit/serisit,
kalsit, albit, dan anhidrit. Terbentuk pada temperatur 200°-300°C pada pH mendekati netral,
dengan salinitas beragam, umumnya pada daerah yang mempunyai permeabilitas rendah.

2.4.2 Argilik

Pada tipe argilik terdapat dua kemungkinan himpunan mineral, yaitu


muskovotkaolinit-monmorilonit dan muskovit-klorit-monmorilonit. Himpunan mineral
pada tipe argilik terbentuk pada temperatur 100°-300°C (Pirajno, 1992, dalam Sutarto,
2004), fluida asam-netral, dan salinitas rendah.

2.4.3 Potasik

Zona potasik merupakan zona alterasi yang berada pada bagian dalam suatu sistem
hidrotermal dengan kedalaman bervariasi yang umumnya lebih dari beberapa ratus meter.
Zona alterasi ini dicirikan oleh mineral ubahan berupa biotit sekunder, K Feldspar, kuarsa,
serisit dan magnetite. Pembentukkan biotit sekunder ini dapat terbentuk akibat reaksi antara
mineral mafik terutama hornblende dengan larutan hidrotermal yang kemudian
menghasilkan biotit, feldspar maupun piroksen.

Dicirikan oleh melimpahnya himpunan muskovit-biotit-alkali felspar-magnetit.


Anhidrit sering hadir sebagai asesoris, serta sejumlah kecil albit, dan titanit (sphene) atau
rutil kadang terbentuk. Alterasi potasik terbentuk pada daerah yang dekat batuan beku
intrusif yang terkait, fluida yang panas (>300°C), salinitas tinggi, dan dengan karakter
magmatik yang kuat

2.4.4 Argilik Lanjut ( Advanced Argilic )

Sedangkan untuk sistem epitermasl sulfidasi tinggi (fluida kaya asam sulfat),
ditambahkan istilah advanced argilic yang dicirikan oleh kehadiran himpunan mineral
pirofilit+diaspor±andalusit±kuarsa±turmalin±enargit-luzonit (untuk temperatur tinggi,
250°-350°C), atau himpunan mineral kaolinit+alunit±kalsedon±kuarsa±pirit (untuk
temperatur rendah, < 180 °C).
BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Deskripsi Batuan

A. SET PERTAMA

Batuan beku ekstrusif skoria dari yang tidak teralterasi hingga teralterasi kuat

No. Deskripsi
Kode Batu: BM 3 Nama Batu: Scoria
Deskripsi Batuan:
Batu Beku
• Warna
-Warna Segar : Hitam keabu-abu gelap
-Warna Lapuk : Coklat tua
• Tekstur: Porfiriafanitik – groundmass halus dan memiliki kristal.
• Komponen Penyusun Batuan: Kuarsa
• Struktur : Vesikuler
• Kemagnetan: Kuat
• Porositas : 30%
• Permeabilitas : Tidak terlalu baik
• Reaksi HCl: Negatif
• Tipe alterasi : tidak mengalami alterasi
• Intensitas Alterasi : very low bahkan tidak ada.
• Vein/Kekar : tidak ada
1.
Berdasarkan deskripsi di atas, dapat dikatakan batuan ini merupakan batu scoria
Pada batu ini, terlihat bahwa batuan tidak teralterasi karena keseluruhan batuan masih
merupakan produk aslinya.
Scoria merupakan batu vulkanik sebagai fragmentasi dari lava. Scoria memiliki komposisi
yang sama seperti basalt hingga andesite. Karena merupakan batu vulkanik, maka
keterbentukannya pada geologic setting yang berasosiasi dengan gunung api.
Gambar 1. Batuan BM 3 (Sumber: Modul Praktikum)

Kode Batu: S2 Nama Batu: Batu Beku Teralterasi (Argillic)


Deskripsi Batuan:
Batu Beku
• Warna
-Warna Segar : Putih Krem dan Abu-Abu (dari protolith)
-Warna Lapuk : Putih Kecoklatan
• Tekstur: Hancur (mineral sulit terlihat)
• Komponen Penyusun Batuan: Mineral primer sulit terlihat. Dominasi clay (mineral
sekunder)
• Protolith : Batu Beku Vulkanik (Scoria)
• Struktur : Vesikuler (scorius)
• Kemagnetan: Rendah. Pada bagian abu-abu kemagnetan lebih kuat.
• Porositas : 25%
• Permeabilitas : Buruk-Sedang
• Reaksi HCl: Negatif
• Tipe alterasi : Argillic
2. • Intensitas Alterasi : Moderate –groundmass dan sebagian fenokris sudah teralterasi.
• Vein/Kekar : tidak ada

Batuan ini merupakan batuan yang sudah teralterasi. Pada batuan, protolithnya masih terlihat
yaitu dari kesan warna abu-abunya serta struktur batuan yang scorius – sehingga diduga
protolithnya merupakan scoria. Batu ini telah didominasi oleh mineral clay, menyebabkan
densitas batuan semakin berkurang, kemudian teksturnya yang menjadi lebih lembek, serta
warnanya putih krem. Oleh karenanya, dapat dikatakan alterasi ini adalah argillic.

Berdasarkan Nicholson (1992), alterasi tipe ini dihasilkan pada jenis air bicarbonate pada
wilayah non-volcanogenic dan high temperature system. Alterasi argillic terjadi ketika low
temperature groundwater menjadi asam dan dicirikan dengan mineral primer berubah
menjadi clay minerals.
Karena protolith berupa scoria, maka dapat diinterpretasikan bahwa batuan ini berasal dari
geothermal play CV1 sebagai produk dari zona outflownya. Alterasi terjadi akibat fluida
hydrothermal yaitu bicarbonate water pada low temperature ~200C bahkan kondisi
atmospheric.
Gambar 2. Batuan S2 (Sumber: Modul Praktikum)

Kode Batu: S1 Nama Batu: Batu Beku Teralterasi (Argillic)


Deskripsi Batuan:
Batu Beku
• Warna
-Warna Segar : Putih Krem dan beberapa Abu-Abu (dari protolith)
-Warna Lapuk : Kecoklatan
• Tekstur: Hancur (mineral sulit terlihat)
• Komponen Penyusun Batuan: Mineral primer sulit terlihat. Dominasi clay (mineral
sekunder)
• Protolith : Batu Beku Vulkanik (Scoria)
• Struktur : Vesikuler (scorius)
• Kemagnetan: Rendah.
• Porositas : 30%
• Permeabilitas : Sangat Baik
• Reaksi HCl: Negatif
3. • Tipe alterasi : Argillic
• Intensitas Alterasi : High – hampir seluruh groundmass dan fenokris sudah
teralterasi sehingga protolith susah untuk dikenali.
• Vein/Kekar : tidak ada

Batuan ini merupakan batuan yang sudah teralterasi. Pada batuan, protolithnya sulit untuk
diidentifikasi. Namun terlihat sedikit warna abu-abu serta struktur batuan yang scorius –
sehingga diduga protolithnya merupakan scoria sama seperti batuan S2. Batu ini telah
didominasi oleh mineral clay, menyebabkan densitas batuan semakin berkurang, kemudian
teksturnya yang menjadi lebih lembek, serta warnanya putih krem. Oleh karenanya, dapat
dikatakan alterasi ini adalah argillic.

Berdasarkan Nicholson (1992), alterasi tipe ini dihasilkan pada jenis air bicarbonate pada
wilayah non-volcanogenic dan high temperature system. Alterasi argillic terjadi ketika low
temperature groundwater menjadi asam dan dicirikan dengan mineral primer berubah
menjadi clay minerals.
Karena protolith berupa scoria, maka dapat diinterpretasikan bahwa batuan ini berasal dari
geothermal play CV1 sebagai produk dari zona outflownya. Alterasi terjadi akibat fluida
hydrothermal yaitu bicarbonate water pada low temperature ~200C bahkan kondisi
atmospheric.

Gambar 3. Batuan BM 3 (Sumber: Modul Praktikum)

Perubahan sifat fisik yang dapat diamati (SET PERTAMA)

• Secara alterasi, urutan dari terkuat hingga terendah adalah S1-S2-BM3. Hal ini karena batuan
S1 sangat didominasi oleh mineral clay dan teksturnya sudah hancur sehingga protolithnya
sangat susah untuk dikenali dibandingkan batu S2 dan BM3
• Secara densitas, alterasi yang lebih kuat memiliki densitas yang lebih lemah akibat dominan
oleh clay karena mineral primer yang basaltic dari protolithnya tergantikan – sehingga
mengurangi berat jenis batuan. Sehingga urutan densitas terkuat hingga terendah adalah BM3-
S2-S1.
• Secara permeabilitas, berdasarkan pengamatan batuan yang teralterasi lebih kuat memiliki
permeabilitas lebih baik dibandingkan lainnya. Sehingga urutan permeabilitas terkuat hingga
terendah adalah S1-S2-BM3.
• Secara porositas, tidak ada perubahan secara signifikan. Porositas primer yang berasal dari
protolithnya tetap hadir.
• Secara kemagnetan, sangat jelas semakin berkurang akibat proses alterasi. Hal ini disebabkan
karena susceptibility batuan yang dipengaruhi oleh mineral logam telah tergantikan oleh
mineral clay yang non logam. Maka secara urutan kemagnetan dari terkuat hingga terendah
adalah BM3-S2-S1.

B. SET KEDUA

Batuan beku intrusif yang tidak teralterasi, teralterasi propilitik, dan teralterasi argilik

No. Deskripsi
Kode Batu: 35 Nama Batu: Batu Beku Teralterasi Propilitik
1. Deskripsi Batuan:
Batu Beku
• Warna
-Warna Segar : Hijau
-Warna Lapuk : Tidak ada
• Tekstur: Porfiriafanitik – groundmass halus dan memiliki kristal.
• Komponen Penyusun Batuan: Plagioklas 40%, Kuarsa 3%, Hornblende 20%.
Terdapat mineral sekunder berupa chlorite.
• Protolith : Batu Beku
• Struktur : Massif
• Kemagnetan: Kuat
• Porositas : < 5%
• Permeabilitas : Buruk
• Reaksi HCl: Negatif
• Tipe alterasi : Propilitik
• Intensitas Alterasi : low to moderate
• Vein/Kekar : tidak ada

Berdasarkan deskripsi di atas, dapat dikatakan batuan ini merupakan batu beku intrusive
yang telah mengalami alterasi propilitik di mana sebagian groundmass dan fenokris telah
teralterasi. Hal ini diindikasikan dari keberadaan warna hijau yang diduga merupakan mineral
chlorite.
Alterasi propilitik disebabkan oleh fluida hydrothermal yang mengandung iron dan
magnesium – mengalterasi biotite atau amfibol pada batuan dengan tipikal hasil alterasinya
berupa mineral hijau seperti epidote dan chlorite serta pengisian fraktur dengan mineral pirit
(Roger, 2009). Alterasi propilitik juga dikarakterisasikan dengan temperature-dependent
mineral. Dalam hal ini karena protolithnya merupakan batu beku intrusive, maka alterasi ini
dapat terjadi di geothermal play mana saja pada kedalaman yang cukup dalam dan
temperature yang bisa dikatakan cukup tinggi.

Gambar 4. Batuan 35 (Sumber: Modul Praktikum)

Kode Batu: 13 Nama Batu: Batu Beku Tidak Alterasi


2. Deskripsi Batuan:
Batu Beku
• Warna
-Warna Segar : Abu-Abu Gelap
-Warna Lapuk : Abu-Abu Coklat
• Tekstur: Porfiroafanitik
• Komponen Penyusun Batuan: Plagioklas 40%, Hornblende 5%
• Struktur : Masif
• Kemagnetan: Kuat
• Porositas : < 5%
• Permeabilitas : Buruk
• Reaksi HCl: Negatif
• Tipe alterasi : -
• Intensitas Alterasi : Tidak teralterasi
• Vein/Kekar : tidak ada

Berdasarkan deskripsi di atas, dapat dikatakan batuan ini merupakan batu beku intrusive
Pada batu ini, terlihat bahwa batuan tidak teralterasi karena keseluruhan batuan masih
merupakan produk aslinya.

Gambar 5. Batuan 13 (Sumber: Modul Praktikum)

Kode Batu: ALT 1 Nama Batu: Batu Beku Teralterasi (Argillic)


Deskripsi Batuan:
Batu Beku
• Warna
-Warna Segar : Putih dan Abu-Abu
-Warna Lapuk : Coklat Muda
3. • Tekstur: Hancur, susah terlihat. Pada bagian abu-abu porfiroafanitik.
• Komponen Penyusun Batuan: Dominasi clay mineral. Pada bagian abu-abu terlihat
terdapat plagioklas 20% dan hornblende 10% serta pyrite (minor)
• Protolith : Batuan Beku
• Struktur : Vesikuler (scorius)
• Kemagnetan: Rendah.
• Porositas : 30%
• Permeabilitas : Sangat Baik
• Reaksi HCl: Negatif
• Tipe alterasi : Argillic
• Intensitas Alterasi : High – hampir seluruh groundmass dan fenokris sudah
teralterasi sehingga protolith susah untuk dikenali.
• Vein/Kekar : tidak ada

Batuan ini merupakan batuan yang sudah teralterasi. Pada batuan, protolithnya sulit untuk
diidentifikasi. Namun terlihat sedikit warna abu-abu dengan kandungan plagioklas 20%,
hornblende 10%, serta keberadaan pyrite. Oleh karenanya, dapat dikatakan protolith daru
batuan ini merupakan batuan beku. Batu ini telah didominasi oleh mineral clay, menyebabkan
densitas batuan semakin berkurang, kemudian teksturnya yang menjadi lebih lembek, serta
warnanya putih krem. Oleh karenanya, dapat dikatakan alterasi ini adalah argillic.

Berdasarkan Nicholson (1992), alterasi tipe ini dihasilkan pada jenis air acid-sulphate yang
bereaksi sangat cepat dan mampu me-leaching host rock untuk menghasilkan advanced
argillic alteration dengan keberadaan pyrite yang umum ditemukan. Sehingga dapat
dikatakan jika keterbentukannya di zona upflow pada topografi relative tinggi yang
merupakan wilayah keberadaan air sulfat.

Gambar 3. Batuan ALT1 (Sumber: Modul Praktikum)

Perubahan sifat fisik yang dapat diamati (SET KEDUA)

• Secara alterasi, urutan dari terkuat hingga terendah adalah ALT1-35-13. Hal ini karena batuan
ALT 1 sangat didominasi oleh mineral clay dan teksturnya sudah hancur sehingga protolithnya
sangat susah untuk dikenali dibandingkan batu 35 dan 13
• Secara densitas, alterasi yang lebih kuat memiliki densitas yang lebih lemah akibat dominan
oleh clay karena mineral primer yang basaltic dari protolithnya tergantikan – sehingga
mengurangi berat jenis batuan. Sehingga urutan densitas terkuat hingga terendah adalah 13-35-
ALT1.
• Secara permeabilitas, berdasarkan pengamatan batuan yang teralterasi lebih kuat memiliki
permeabilitas lebih baik dibandingkan lainnya. Sehingga urutan permeabilitas terkuat hingga
terendah adalah ALT1-35-13.
• Secara porositas, tidak ada perubahan secara signifikan.
• Secara kemagnetan, sangat jelas semakin berkurang akibat proses alterasi. Hal ini disebabkan
karena susceptibility batuan yang dipengaruhi oleh mineral logam telah tergantikan oleh
mineral clay yang non logam. Maka secara urutan kemagnetan dari terkuat hingga terendah
adalah 13-35-ALT1.

C. SET KETIGA

Batuan piroklastik yang tidak teralterasi, teralterasi propilitik, dan teralterasi argilik

No. Deskripsi
Kode Batu: P3 Nama Batu: Batu Beku Teralterasi Argilitik
Deskripsi Batuan:
Batu Piroklastik
• Warna
-Warna Segar : Putih Krem
-Warna Lapuk : Putih Kemerahan
• Tekstur: Berbutir halus (silt)
• Komponen Penyusun Batuan: Dominasi mineral clay. Mineral primel tidak terlihat.
• Protolith : Batu Piroklastik (Tuff)
• Struktur : Massif
• Kemagnetan: Lemah
• Porositas : < 5%
• Permeabilitas : Cukup baik
1.
• Reaksi HCl: Negatif
• Tipe alterasi : Argillic
• Intensitas Alterasi : High to Intense
• Vein/Kekar : tidak ada

Batuan ini merupakan batuan yang sudah teralterasi. Pada batuan, protolithnya masih terlihat
yaitu dari kesan warna krem serta teksturnya yang unconsolidated – sehingga diduga
protolithnya merupakan batu piroklastik. Batu ini telah didominasi oleh mineral clay,
menyebabkan densitas batuan semakin berkurang, kemudian teksturnya yang menjadi lebih
lembek, serta warnanya putih krem. Oleh karenanya, dapat dikatakan alterasi ini adalah
argillic.

Berdasarkan Nicholson (1992), alterasi tipe ini dihasilkan pada jenis air bicarbonate pada
wilayah non-volcanogenic dan high temperature system. Alterasi argillic terjadi ketika low
temperature groundwater menjadi asam dan dicirikan dengan mineral primer berubah
menjadi clay minerals.
Karena protolith berupa piroklastik, maka dapat diinterpretasikan bahwa batuan ini berasal
dari geothermal play CV1 sebagai produk dari zona outflownya. Alterasi terjadi akibat fluida
hydrothermal yaitu bicarbonate water pada low temperature ~200C berubah tingkat
keasamannya. Sehingga batuan piroklastik mengalami direct deposition serta heating yang
mampu mengalami rekristalisasi.

Gambar 7. Batuan P3 (Sumber: Modul Praktikum)

Kode Batu: G Nama Batu: Batu Beku Tidak Alterasi


Deskripsi Batuan:
Batu Piroklastik
• Warna
-Warna Segar : Krem
-Warna Lapuk : Tidak ada
• Tekstur: Fine sand to medium sand
• Komponen Penyusun Batuan: Biotite, Kuarsa, Hornblende
• Struktur : Masif dengan sedikit laminasi kecil
• Kemagnetan: Kuat
• Porositas : 15%
2. • Permeabilitas : Sedang
• Reaksi HCl: Negatif
• Tipe alterasi : -
• Intensitas Alterasi : Tidak teralterasi
• Vein/Kekar : tidak ada

Berdasarkan deskripsi di atas, dapat dikatakan batuan ini merupakan batu tuff
Pada batu ini, terlihat bahwa batuan tidak teralterasi karena keseluruhan batuan masih
merupakan produk aslinya.
Batu tuff merupakan batu yang terbentuk dari volcanic ash yang dihasilkan dari erupsi
gunung api – yang mana ash tersebut terlitifikasi menjadi batuan.
Gambar 8. Batuan G (Sumber: Modul Praktikum)

Kode Batu: 12 Nama Batu: Batu Beku Teralterasi Propilitik


Deskripsi Batuan:
Batu Piroklastik
• Warna
-Warna Segar : Hijau Muda
-Warna Lapuk : Tidak ada
• Tekstur: Very fine sand to silt
• Komponen Penyusun Batuan: Dominasi hijau chlorite. Mineral sulit terlihat.
• Protolith : Batuan Beku
• Struktur : Masif
• Kemagnetan: Rendah.
• Porositas : <5%
• Permeabilitas : Sangat Baik
• Reaksi HCl: Negatif
3. • Tipe alterasi : Propilitik
• Intensitas Alterasi : Moderate
• Vein/Kekar : Ada vein fracture.

Berdasarkan deskripsi di atas, dapat dikatakan batuan ini merupakan batu piroklastik yang
telah mengalami alterasi propilitik di mana sebagian groundmass dan fenokris telah
teralterasi. Hal ini diindikasikan dari keberadaan warna hijau yang diduga merupakan mineral
chlorite.
Alterasi propilitik disebabkan oleh fluida hydrothermal yang mengandung iron dan
magnesium – mengalterasi biotite atau amfibol pada batuan dengan tipikal hasil alterasinya
berupa mineral hijau seperti epidote dan chlorite serta pengisian fraktur dengan mineral pirit
(Roger, 2009). Alterasi propilitik juga dikarakterisasikan dengan temperature-dependent
mineral. Dalam hal ini karena protolithnya merupakan batu piroklastik, maka alterasi ini
terjadi pada geothermal play volcanic type yaitu CV1 yang mengalami direct deposition.
Gambar 9. Batuan 12 (Sumber: Modul Praktikum)

Perubahan sifat fisik yang dapat diamati (SET KETIGA)

• Secara alterasi, urutan dari terkuat hingga terendah adalah P3-12-G. Hal ini karena batuan P3
sangat didominasi oleh mineral clay dan teksturnya sudah hancur sehingga protolithnya sangat
susah untuk dikenali dibandingkan batu 12 dan G.
• Secara densitas, alterasi yang lebih kuat memiliki densitas yang lebih lemah akibat dominan
oleh clay karena mineral primer yang basaltic dari protolithnya tergantikan – sehingga
mengurangi berat jenis batuan. Sehingga urutan densitas terkuat hingga terendah adalah G-12-
P3.
• Secara permeabilitas, berdasarkan pengamatan batuan yang teralterasi propilitik memiliki
permeabilitas lebih baik dibandingkan lainnya. Sehingga urutan permeabilitas terkuat hingga
terendah adalah 12-P3-G.
• Secara porositas, tidak ada perubahan secara signifikan.
• Secara kemagnetan, sangat jelas semakin berkurang akibat proses alterasi. Hal ini disebabkan
karena susceptibility batuan yang dipengaruhi oleh mineral logam telah tergantikan oleh
mineral clay yang non logam. Maka secara urutan kemagnetan dari terkuat hingga terendah
adalah G-12-P3.

C. SET KEEMPAT

Batuan breksi yang tidak teralterasi, teralterasi propilitik, dan teralterasi argilik

No. Deskripsi
Kode Batu: P1 Nama Batu: Batu Breksi
Deskripsi Batuan:
Batu Sedimen
1. • Warna
-Warna Segar : Tidak terlihat
-Warna Lapuk : Putih krem
• Tekstur: Fragmen berukuran pebble (kerakal). Groundmass fine sand to medium
sand
• Komponen Penyusun Batuan: Komponen melimpah berupa fragmen dari batu beku
andesitic dan piroklastik tuff. Bertekstur halus dengan bentuk butir sub angular dan
sub rounded.
• Struktur : Massif
• Kemagnetan: Lemah. Kuat pada fragmen andesitic.
• Porositas : 20%
• Permeabilitas : Baik
• Reaksi HCl: Negatif
• Tipe alterasi : -
• Intensitas Alterasi : Very low hingga tidak ada
• Vein/Kekar : tidak ada

Berdasarkan deskripsi di atas, dapat dikatakan batuan ini merupakan batu breksi
Pada batu ini, terlihat bahwa batuan tidak teralterasi karena keseluruhan batuan masih
merupakan produk aslinya.
Batu Breksi merupakan batuan sedimen klastik yang tersusun atas fragmen-fragmen bersudut
(angular) dengan ukuran lebih besar dari 2 mm yang tersemen bersama-sama oleh matriks
berbutir halus.

Gambar 10. Batuan P1 (Sumber: Modul Praktikum)

Kode Batu: 24 Nama Batu: Batu Breksi Teralterasi Propilitik


Deskripsi Batuan:
Batu Sedimen
• Warna
-Warna Segar : Hijau Tua
2. -Warna Lapuk : Tidak ada
• Tekstur: Fine sand. Fragmen berukuran pebble (0.5 cm – 4 cm)
• Komponen Penyusun Batuan: Dominan mineral hijau (Chlorite). Mineral primer
sulit untuk dilihat.
• Protolith : Batu Sedimen Breksi
• Struktur : Masif
• Kemagnetan: Kuat namun lemah pada groundmassnya.
• Porositas : <5%
• Permeabilitas : Buruk
• Reaksi HCl: Negatif
• Tipe alterasi : Propilitik
• Intensitas Alterasi : Moderatep
• Vein/Kekar : tidak ada

Berdasarkan deskripsi di atas, dapat dikatakan batuan ini merupakan batu breksi yang telah
mengalami alterasi propilitik di mana sebagian groundmass dan fenokris pada batuan telah
teralterasi. Hal ini diindikasikan dari keberadaan warna hijau yang diduga merupakan mineral
chlorite.
Alterasi propilitik disebabkan oleh fluida hydrothermal yang mengandung iron dan
magnesium – mengalterasi biotite atau amfibol pada batuan dengan tipikal hasil alterasinya
berupa mineral hijau seperti epidote dan chlorite serta pengisian fraktur dengan mineral pirit
(Roger, 2009). Alterasi propilitik juga dikarakterisasikan dengan temperature-dependent
mineral.
Pada batu ini, karena protolithnya berupa breksi, maka penyebab utamanya akibat duration
of exposure di mana breksi ini mengalami kontak dengan fluida yang mengalai proses heating
kemudian dapat juga karena faulting – sehingga breksi ini terdapat pada kedalaman tertentu
yang mampu mengalami rekristalisasi menjadi mineral chlorite.

Gambar 11. Batuan 24 (Sumber: Modul Praktikum)

Kode Batu: P2 Nama Batu: Batu Sedimen Teralterasi Argillic


Deskripsi Batuan:
Batu Sedimen
• Warna
3. -Warna Segar : Putih
-Warna Lapuk : Kuning Kecoklatan
• Tekstur: Hancur. Grain supported, fragmen tidak dominan. Namun terdapat
beberapa komponen fragmen berukuran > 2 mm.
• Komponen Penyusun Batuan: Tidak ada. Komponen > 2 mm memiliki warna yang
sama dengan ground mass
• Protolith : Batu Sedimen Breksi
• Struktur : Masif
• Kemagnetan: Lemah – hampir tidak ada
• Porositas : 10%
• Permeabilitas : Sangat Baik
• Reaksi HCl: Negatif
• Tipe alterasi : Argillitic
• Intensitas Alterasi : Intense
• Vein/Kekar : Tidak ada

Batuan ini merupakan batuan yang sudah teralterasi. Pada batuan, protolithnya sulit untuk
diidentifikasi. Namun terdapat komponen fragmen > 2mm dengan bentuk sudut subangular
maka dapat dikatakan protolithnya merupakan breksi. Batu ini secara keseluruhan telah
didominasi oleh mineral clay, menyebabkan densitas batuan semakin berkurang, kemudian
teksturnya yang menjadi lebih lembek, serta warnanya putih krem. Oleh karenanya, dapat
dikatakan alterasi ini adalah argillic.

Berdasarkan Nicholson (1992), alterasi tipe ini dihasilkan pada jenis air acid-sulphate water
pada high temperature system. Alterasi argillic terjadi ketika low temperature groundwater
menjadi asam dan dicirikan dengan mineral primer berubah menjadi clay minerals.
Pada batu ini, karena protolithnya berupa breksi, maka penyebab utamanya akibat duration
of exposure di mana breksi ini mengalami mixing fluids sehingga terjadi direct deposition
yang menyebabkan mineral replacement akibat fluida asam.

Gambar 12. Batuan P2 (Sumber: Modul Praktikum)

Perubahan sifat fisik yang dapat diamati (SET KEEMPAT)


• Secara alterasi, urutan dari terkuat hingga terendah adalah P2-24-P1. Hal ini karena batuan P2
sangat didominasi oleh mineral clay dan teksturnya sudah hancur sehingga protolithnya sangat
susah untuk dikenali dibandingkan batu 12 dan G (alterasi lebih kuat dibandingkan lainnya).
• Secara densitas, alterasi yang lebih kuat memiliki densitas yang lebih lemah akibat dominan
oleh clay karena mineral primer yang basaltic dari protolithnya tergantikan – sehingga
mengurangi berat jenis batuan. Sehingga urutan densitas terkuat hingga terendah adalah P2-
24-P1.
• Secara permeabilitas, berdasarkan pengamatan batuan yang teralterasi argillitik memiliki
permeabilitas lebih baik dibandingkan lainnya. Sehingga urutan permeabilitas terkuat hingga
terendah adalah P2-P1-24.
• Secara porositas, tidak ada perubahan secara signifikan.
• Secara kemagnetan, sangat jelas semakin berkurang akibat proses alterasi. Hal ini disebabkan
karena susceptibility batuan yang dipengaruhi oleh mineral logam telah tergantikan oleh
mineral clay yang non logam. Maka secara urutan kemagnetan dari terkuat hingga terendah
adalah P1-24-P2.
BAB IV

KESIMPULAN

Berdasarkan praktikum, dapat diketahui bahwa salah satu penyebab alterasi pada batuan yaitu
akibat fluida hydrothermal – di mana fluida hydrothermal tersebut mampu menyebabkan mineral
replacement pada suatu batuan. Selain itu, terdapat beberapa faktor lainnya seperti exposure pada
batuan kemudian temperature serta kedalaman. Pembelajaran alterasi hydrothermal ini membantu kita
untuk menentukan permeabilitas dari suatu reservoir – karena pada dasarnya batuan yang telah
mengalami alterasi cenderung memiliki permeabilitas lebih baik. Selain itu mampu untuk menentukan
lokasi zona produksi geothermal.

Dalam praktikum ini, alterasi yang diamati berupa argillic dan propilitik. Alterasi argilik
diketahui terjadi ketika suatu batuan mengalami reaksi perubahan mineral menjadi mineral lunak
seperti clay yang diakibatkan oleh fluida hydrothermal bersifat asam. Alterasi argillic umum terjadi
pada low temperature (<200 C). Selain itu, alterasi propilitik terjadi ketika ada mineral replacement
pada batuan akibat fluida hydrothermal lebih netral seperti alkali-chloride (iron dan magnesium
bearing). Alterasi propilitik merupakan alterasi yang terjadi pada temperature-dependent mineral
seperti biotite dan amphibole – alterasi ini mengubah mineral primer menjadi mineral sekunder
berwarna hijau seperti chlorite.
REFERENSI

Cahyati, F., Syafri, I., Patonah, A., & Fajri, R. J. (2018). Alterasi Hidrotermal dan Temperature
Bawah Permukaan Sumur X lapangan Panasbumi Patuha . Padjadjaran Geoscience Journal ,
514-518.

Corbett, G.J., Leach, T.M., (1996). Southwest Pacific Rim Gold Copper System, Structure, Alteration
and Mineralization., manual for exploration world

Earle, S. 2016. Physical Geology. Vancouver: BCcampus

Espinal, L. 2012. Porosity and Its Measurement. New Jersey: John Wiley & Sons.

Hall Jr, C. 2007. Introduction to the Geology of Southern California and Its Native Plants.
California: University of California Press.
Illinois State Water Survey Division. 1984. EFFECTIVE POROSITY OF GEOLOGIC MATERIALS
FIRST ANNUAL REPORT. Retrieved from:
https://www.isws.illinois.edu/pubdoc/CR/ISWSCR-351.pdf
Joseferd, R., & Mahmood, S. 2015. CERTIFICATION OF APPROVAL IMPORTANCE OF
POROSITY – PERMEABILITY RELATIONSHIP IN SANDSTONE : PETROPHYSICAL
PROPERTIES. Perak: Universiti Teknologi PETRONAS.

Moeck, I.S. 2014. Catalog of geothermal play types based on geologic controls. Renewable
and Sustainable Energy Review. 37, 867-882, https://doi.org/10.1016/j.rser.2014.05.032
Nichols, G. 2009. Sedimentology and Stratigraphy 2nd edition. London : Wiley-Blackwell.

Nicholson, K. 1993. Geothermal Fluids. Chemistry and Exploration Techniques. Berlin: Springer-
Verlag.

Petford, N. 2003. Controls on primary porosity and permeability development in igneous rocks.
Geological Society Special Publication. 214, 93-107,
https://doi.org/10.1144/GSL.SP.2003.214.01.06.

Raymond, L. 2002. Petrology the study of Igneous Rocks, Sedimentology, and Metamorphic
Rocks 2nd edition. New York: McGraw Hill.
Tarbuck, E. 2015. Earth Science : 14th Edition. New York : Pearson Education

Telford, et al. 1990. Applied Geophysics. Cambridge: Cambridge University Press

Winter, J. 2014. Principles of Igneous and Metamorphic Rocks 2nd edition. Harlow: Pearson
Education Limited.

Anda mungkin juga menyukai