Anda di halaman 1dari 28

KAJIAN ISLAM

1. IMAN ,ISLAM,IHSAN
2. ISLAM DAN SAINS
3. ISLAM DAN PENEGAKAN HUKUM
4. KEWAJIBAN MENEGAKKAN AMAR MAKRUF DAN NAHI MUNKAR
5. FITNAH AKHIR ZAMAN
Disusun sebagai tugas terstruktur mata kuliah: Pendidikan Agama Islam
Dosen Pengampuh:
Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos

Disusun Oleh:
Nama : EKA RABIATUL ADWIAH
Nim : E1Q020016
Fakultas : Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Prodi : Pendidikan Fisika
Semester :Satu (1)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA


FAKULTAS KEGURUANDAN ILMU PENDIDIKAN (FKIP)
UNIVERSITAS MATARAM (UNRAM)
TAHUN AJARAN 2020/2021

1
KATA PENGANTAR

Assalamualikum Warahmatullahi Wabarakatuh.


Puji syukur alhamdulillah penulis haturkan kepada ALLAH SWT atas limpahan nikmat
sehat-Nya, baik berupa fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas yang berjudul “Kajian Keislaman”.
sholawat serta salam tidak lupa selalu kita haturkan kepada junjungan nabi agung
kita,yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah menyampaikan petunjuk ALLAH SWT
untuk kita semua, yang merupakan sebuah petunjukyang paling benar Syariah agama
islam yang sempurna dan merupakan satu-satunya karunia paling besar bagi seluruh
alam semesta.
Terima kasih saya sampaikan atas bimbingan Bapak Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I.,
M.Sos sebagai dosen pengampuh mata kuliah Pendidikan Agama Islam, Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Mataram, saya juga berterima kasih kepada
orang tua yang tak pernah putus mendoakan agar kuliah saya berjalan dengan baik.
Harapan saya semoga tugas ini akan memberi manfaat bagi semua orang dan terkhusus
penulis.

Penyusun, Mataram 17 Desember 2020


EKA RABIATUL ADWIAH
E1Q020016

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
1. Iman,Islam,Ihsan................................................................................4
2. Islam dan Saina...................................................................................6
3. Islam dan Penegakkan Hukum.......................................................11
4. Kewajiban Menegakkan Amar Makruf dan Nahi Munkar.......13
5. Fitnah Akhir Zaman.........................................................................22

DAFTAR PUSTAKA

3
1. IMAN,ISLAM,IHSAN
IMAN
Iman adalah beriman kepada allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-
Nya dan hari akhir dan beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk. ketika
seseorang dapat di katakan sebagai seorang mukmin (orang yang beriman)
yang sempurna apabila memenuhi ketiga unsur keimanan di atas. Dan apabila
seseorang mengakui dalam hatinya tentang keberadaan Allah, kemudian di
ikrarkan dengan lisan dan dibuktikan dengan amal perbuatan.
Sebab, ketiga unsur keimanan tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh dan
tudak dapat dipisahkan.
Firman Allah
Beriman kepada Allah adalah suatu kebutuhan yang sangat mendasar bagi
seseorang. Karena Allah memerintahkan agar umat manusia beriman kepada-
Nya, sebagaimana firman Allah yang artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman. Tetaplah beriman kepada Allah dan
RosulNya (Muhammad) dan kepada Kitab (Al Qur’an) yang diturunkan kepada
RosulNya, serta kitab yang diturunkan sebelumnya. Dan barang siapa ingkar
kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rosul-rosulNya, dan
hari kemudian, maka sungguh orang itu telah tersesat sangat jauh.”(Q.S.An
Nisa : 136)
Dari ayat di atas, kita bisa simpulkan bahwa bila kita ingkar kepada Allah maka
akan mengalami kesesatan yang nyata. Dan orang yang tersesat tidak akan bisa
merasakan kebahagiaan dalam hidup. Oleh karenanya, beriman kepada Allah
sesungguhnya adalah untuk kebaikan manusia.

ISLAM
Islam adalah berserah diri sepenuhnya kepada allah dengan tauhid dan tunduk kepada-
Nya. Rukun islam adalah syahadat tidak ada ilah yang berhak disembah selain allah,
dan bahwa nabi Muhammad adalah utusan allah, mendirikan sholat, meunaikan zakat,
puasa ramadhan dan ibadah haji jika mampu.
beriman kepada allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari
akhir dan beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk. Sedangkan c. ihsan
adalah beribadah kepada allah seakan-akan hamba tidak melihat-Nya maka dia melihat
hamba.Bila kita pahami lebih mendalam, islam lebih mengarah kepada amal lahir,
seperti shalat, zakat, haji, dan rukun islam yang lain. Iman lebih menekankan kepada
amal batin, seperti iman kepada allah, malaikat-Nya, Rasul-Nya, Rasul-Nya dan rukun
iman yang lain. Adapun ihsan adalah puncak penghambaan yang sesugguhya yang
harus mengiringi setiap aktivitas seorag hamba.
Prinsip orang islam bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah,
merupakan persoalan utama dalam hidup. Orang mukmin mempunyai tujuan mengajak
manusia kembali kepada allah dan menolak kebatilan.
Islam, iman, dan ihsan, ketiganya adalah cahaya. Semakin dekat kita dengan cahaya itu,
semakin dekat kita denga cahaya itu, semakin kuat keinginan kita untuk menyinari
hidup ini dengan cahaya ketaatan kepada Allah dan menghindar dari gelapnya
kemaksiatan. Ketika cahaya ini adalah jembatan menuju surga-Nya.Karenanya, mengisi
hidup, umur dan waktu dengan waktu, iman, dan ihsan termasuk inti perkara dalam
pergolakan hidup. Manakala ketiganya paripurna dalam praktiknya, berarti seorang
hamba benar-benar terpatri untuk beribadah kepada Allah ya Islam, iman, dan ihsan

4
termasuk komponen dalam peribadatan kepadanya.Beribadah dengan modal islam,
iman, dan ihsan sudah cukup disebut sebagai mukmin, muslim, dan muhsin sejati
sehingga pula dalam ayat ini tak ada lagi tempat bertumpu kecuali kepada Allah
semata.Karena islam telah mengajarkan cara cara beribadah lahir kepada-Nya. Iman
yang mengarahkan hati untuk membenarkan dan bergantung kepada-Nya. Sedang
lautan ihsan adalah pucak kedamaian seorang hamba karena senantiasa merasa diawasi
Allah, dalam setiap lisan da perbuatannya.Pada kondisi ini, hati seseorang sudah
ditumbuhi oleh perasaan diawasi oleh-Nya.Sungguh damai jiwa yang islam, iman, dan
ihsan bahagia jiwa yang megisi waktu dengannya. Sebaliknya, umur yang nihil dengan
keimanan, keislaman, apalagi kepada Allah, niscaya kerugian tak bakal luput
darinya.Kehidupan yang kosong dari peribadatan kepada allah tentu akan mengundang
kemurkaan-Nya, sehingga di dunia dan akhirat tak akan meraih ridho dan rahmat-Nya.

IHSAN
; "kesempurnaan" atau "terbaik") adalah seseorang yang menyembah Allah seolah-olah
ia melihat-Nya, dan jika ia tidak mampu membayangkan melihat-Nya, maka orang
tersebut membayangkan bahwa sesungguhnya Allah melihat perbuatannya.Ihsan adalah
lawan dari isa'ah (berbuat kejelekan), yaitu seorang manusia mencurahkan kebaikan dan
menahan diri untuk tidak mengganggu orang lain. Mencurahkan kebaikan kepada
hamba-hamba Allah dengan harta, ilmu, kedudukan dan badannya  hadist riwayat
Muslim dari Abu Hurairah adalah:Dari Abu Hurairah, ia berkata: "Pada suatu hari,
rasulullah ‫ ﷺ‬muncul di antara kaum muslimin. Lalu datang seseorang dan
berkata: 'Wahai rasulullah, apakah Iman itu?' Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:
'Yaitu engkau beriman kepada Allah, kepada malaikat-Nya, kitab-Nya, pertemuan
dengan-Nya, para utusan-Nya, dan beriman kepada Hari Kebangkitan akhir'.Orang itu
bertanya lagi: 'Wahai rasulullah, apakah Islam itu?' Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:
'Islam, yaitu engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan
apapun, mendirikan salaf fardhu, memberikan zakat wajib dan berpuasa di
bulan Ramadhan'.Orang itu kembali bertanya: 'Wahai rasulullah, apakah Ihsan itu?'
Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda: 'Yaitu engkau beribadah kepada Allah seolah-olah
engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak mampu melihat-Nya, maka ketahuilah bahwa
Dia selalu melihatmu'.Orang itu bertanya lagi: 'Wahai rasulullah, kapankah Hari
Kiamat itu?' Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda: 'Orang yang ditanya tidak lebih tahu
daripada yang menanya. Apabila ada budak perempuan melahirkan majikannya, maka
itulah satu di antara tandanya. Apabila ada orang yang semula miskin menjadi pimpinan
manusia, maka itu termasuk di antara tandanya. Apabila orang-orang yang tadinya
menggembalakan ternak saling berlomba memperindah bangunan, maka itu termasuk di
antara tandanya. Ada lima hal yang hanya diketahui oleh Allah'.Kemudian rasulullah
‫ ﷺ‬membaca surat Luqman ayat 34: "Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-
Nya saja lah pengetahuan tentang Hari Kiamat dan Dia lah yang menurunkan hujan, dan
mengetahui apa yang ada di dalam rahim, dan tiada seorang pun dapat mengetahui
(dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok, dan tiada seorang pun dapat
mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal".Kemudian orang itu berlalu. Lalu rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:
'Panggillah orang itu kembali!'. Para sahabat beranjak hendak memanggilnya, tetapi
mereka tidak melihat sesuatu pun. Maka rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda: 'Itu tadi
adalah Jibril, yang datang untuk mengajarkan kepada manusia tentang agama mereka'."

5
2.ISLAM DAN SAINS

Islam berakar kata dari “aslama”, “yuslimu”, “islaaman” yang berarti tunduk, patuh, dan
selamat. Islam berarti kepasrahan atau ketundukan secara total kepada Allah SWT.
Orang yang beragama Islam berarti ia pasrah dan tunduk patuh terhadap ajaran-ajaran
Islam. Seorang muslim berarti juga harus mampu menyelamatkan diri sendiri, juga
menyelamatkan orang lain. Tidak cukup selamat tetapi juga menyelamatkan.

Secara istilah Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW untuk umat
manusia agar dapat hidup bahagia di dunia dan akhirat.

Inti ajarannya (rukun Islam) adalah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan
Nabi Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan sholat, menunaikan zakat, berpuasa
di bulan Ramadhan, dan pergi haji bila mampu.

Penjelasan

Islam datang ke bumi untuk membangun manusia dalam kedamaian dengan sikap
kepasrahan total kepada Allah SWT, sehingga seorang yang beragama Islam akan
mengutamakan kedaiaman pada diri sendiri maupun pada orang lain. Juga keselamatan
diri sendiri dan keselamatan orang lain.

Dalam sebuah hadits Nabi SAW dikatakan:

ِ ‫ َوا ْل ُم َه‬،‫سانِ ِه َويَ ِده‬


ُ ‫اج ُر َمنْ َه َج َر َما نَ َهى هَّللا‬ َ ِ‫ون ِمنْ ل‬ ْ ‫سلِ َم ا ْل ُم‬
َ ‫سلِ ُم‬ ْ ‫ا ْل ُم‬
َ ْ‫سلِ ُم َمن‬
ُ‫َع ْنه‬
Artinya:

Seorang muslim itu yang menyelamatkan muslim yang lain dari perkataannya, dan dari
perbuatan tangannya, dan orang yang berhijrah adalah orang yang berhijrah dari
sesuatu yang dilarang Allah. (HR. Nasa’i).

Hubungan Islam dan Sains tidak lepas dari kemajuan dan kemunduran sains dalam
peradaban Islam. Umat Islam mulai mempelajari atau melakukan penafsiran ilmiah
sejak generasi pertama sampai abad ke-lima hijriyah hingga menjadikan diri mereka
sebagai pelopor Ilmu pengetahuan di seluruh penjuru dunia, umat Islam telah menjadi
pelopor dalam research tentang alam, sekaligus sebagai masyarakat pertama dalam
sejarah ilmu pengetahuan yang melakukan experimental science atau ilmu thabi’i
berdasarkan percobaan yang kemudian berkembang menjadi applied science atau
technology.

6
Islam mendorong ummatnya untuk selalu berupaya mengembangkan sains seperti
tercantum dalam QS Al-‘Alaq: 1-5 :

Artinya : “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah
menciptakan manusia dari ‘alaq. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang
mengajar manusia dengan pena, mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya.”

Iqra’ terambil dari akar kata yang berarti menghimpun. Dari menghimpun lahir aneka
makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu,
dan membaca baik teks tertulis maupun tidak. Wahyu pertama itu tidak menjelaskan apa
yang harus dibaca, karena Al-Quran menghendaki umatnya membaca apa saja selama
bacaan tersebut bismi Rabbik, dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan. Iqra’ berarti
bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu; bacalah alam, tanda-tanda
zaman, sejarah, maupun diri sendiri, yang tertulis maupun yang tidak. Alhasil, objek
perintah iqra’ mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkaunya.

Q.S. Ali-Imran: 190-191 :

Artinya : “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya
malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. Yaitu orang-
orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring
dan mereka memikirkan tentang penciptaan lanjut dan bumi (seraya berkata), “Ya Robb
kami, tiadalah Engkau ciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka
dipeliharalah kami dari siksa neraka.”

Salah satu cara mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah adalah dengan membaca
dan merenungkan ayat-ayat-Nya yang terbentang di alam semesta. Dalam ayat ini,
Allah menyuruh manusia untuk merenungkan alam, langit dan bumi. Langit yang
melindungi dan bumi yang terhampar tempat manusia hidup. Juga memperhatikan

7
pergantian siang dan malam. Semuanya itu penuh dengan ayat-ayat, tanda-tanda
kebesaran Allah SWT.

Kemudian islam juga menempatkan orang yang beriman, berilmu dan beramal shalih
pada derajat yang tinggi, seperti dalam Q.S. Al-Mujadilah: 11 :

Artinya : “Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Kedudukan orang-orang beriman jauh lebih tinggi dibandingkan dengan orang-orang


kafir meski mereka memiliki kelebihan yang bersifat keduniaan dari orang-orang
beriman. Namun derajat orang-orang beriman yang berilmu akan menempati posisi
yang lebih baik lagi ketimbang orang yang hanya beriman saja. Hal tersebut
dikarenakan hanya dengan sarana ilmu lah, seseorang dapat mengetahui mana yang haq
dan mana yang bathil.

Pandangan Al-Qur’an terhadap Sains :


Seluruh pengetahuan, termasuk pengetahuan kealaman (sains) ada dalam al-Qur’an.
Pendapat ini didukung antara lain oleh al-Ghazali, al-Suyuti, dan Maurice Bucaile.
Al-Qur’an hanya sebagai petunjuk untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Pendapat
ini didukung antara lain oleh Ibnu Sina, al-Biruni, dan al-Haitam.

Faktor-faktor pendorong kemajuan sains dalam peradaban islam adalah :

1. Universalisme

Tolong-menolong secara universal memang telah menjadi satu bagian yang tidak dapat
di hilangkan dari ajaran Islam. Islam mewajibkan umatnya untuk saling menolong satu
dengan yang lain. Segala bentuk perbedaan yang mewarnai kehidupan manusia
merupakan salah satu isyarat kepada umat manusia agar saling membantu satu sama lain
sesuai dengan ketetapan Islam.

Saling membantu dalam kesusahan demi tercapainya tujuan hidup bersama merupakan
hal yang sangat mulia, hal tersebut merupakan karakter daripada islam itu sendiri,
menjadikan Ikatan Kebersamaan Umat Islam kemudian menjadikannya sebagai batu
lompatan demi tercapanya tujuan hidup bersama.

2. Toleransi

8
Sesungguhnya sikap toleransi dalam Islam sangat nampak pada setiap perintah dan
larangannya. Bahkan sampai kedetailnya, maka seharusnyalah sikap ini menjadi
kebangkitan baru untuk mengubah suatu bangsa menjadi bangsa yang bisa saling
bertoleransi apalagi dalam hal ilmu. Berbagi ilmu itu tidaklah sulit, tidak akan rugi,
malah akan mendapatkan wawasan baru dan juga teman-teman tentunya yang akan
sangat berterimakasih karna telah diajarkan. Dengan saling bertoleransi tentu tidak akan
teriolasi dari orang-orang karna kita mau berbagi apa yang kita punya untuk membantu
mereka, tidakkah itu baik,..??? Dan mungkin ada dari setiap orang yang diajarkan akan
membalas kebaikan yang telah kita diberikan.

3. Karakter Pasar Internasional

Sejarah mencatat bahwa kaum pedagang memegang peranan penting dalam persebaran
agama dan kebudayaan Islam. Letak suatu negara yang strategis menyebabkan
timbulnya bandarbandar perdagangan yang turut membantu mempercepat persebaran
tersebut. Di samping itu, cara lain yang turut berperan ialah melalui dakwah yang
dilakukan para mubaligh. Rihlah ilmiyah (perjalanan untuk mencari ilmu pengetahuan)
sudah banyak dijadikan metode dalam pembelajaran di setiap institusi pendidikan hal
ini tentu akan menjadikan sains dan teknologi di dunia Islam menjadi maju.

4. Perhargaan Terhadap Sains dan Saintis

Memberikan penghargaan kepada sains maupun saintis menjadikan mereka tahu bahwa
mereka dibutuhkan dalam perkembangan dunia yang semakin maju ini, membuat
mereka menjadi semakin semangat untuk menemukan hal baru lagi. Seperti Khalifah
Al-Makmun membangun Baitul Hikmah di Baghdad, beliau mengirim wakil-wakilnya
ke segala penjuru daerah untuk mencari naskah-naskah tentang materi pendidikan dan
Sains, motif dasarnya adalah kepentingan orang lain (altruistic) dan bukan materialistic.
Tentu saja, kemungkinan adanya balasan materi dalam bentuk teknologi maju atau baru
sebenarnya tidak ada karena hubungan Sains kuno dengan teknologi kuno jauh terpisah,
tidak seperti sekarang. Hingga melahirkan para Saintis Muslim terkemuka dibidang
Alkimia, Astronomi, Matematika dan kedokteran.

4. Keterpaduan Antara Tujuan dan Cara

Sangatlah penting dapat membedakan antara tujuan dan cara. Seperti contoh jikalau kita
punya tujuan yang jelas mengapa kita sekolah, tentunya kita tidak akan nyontek, karena
dengan cara tersebut kita tidak akan mendapatkan pelajaran yang berguna bagi
kehidupan kita kedepannya. Jadi harus ada keterpaduan antara tujuan dan cara, apabila
kita memiliki tujuan yang benar tentu kita juga harus meraihnya dengan cara yang benar
juga. Sangatlah jelas bahwa tujuan akan membedakan cara kita melakukan sesuatu,
sehingga tujuan sangatlah penting didalam kehidupan. Kalau kita tidak mempunyai
tujuan yang jelas kehidupan kita juga akan menjadi tidak jelas karena tidak ada arah
yang jelas.

Ketika sains dan teknologi mengalami proses sekularisasi, dikosongkan dari nilai-nilai
ketuhanan, seperti sains Barat pada umumnya, maka tujuan akhir dari sains itu ialah
semata-mata manfaat (nafiyyah), baik yang bersifat fisik – seperti kenikmatan,

9
keindahan, dan kenyamanan – maupun kepuasan intelektual dan kebanggaan.
Sedangkan ukuran manfaat itu bersifat relatif, dan sangat sulit dipenuhi secara hakiki.
Karena itu, perkembangan sains cenderung sangat liar. Seorang dokter yang ahli
rekayasa genetik, misalnya, mungkin belum merasa memperoleh manfaat dan kepuasan
sebelum berhasil melakukan clonning, dan mendistorsi proses penciptaan manusia
secara konvensional.

Sebaliknya, ketika nilai-nilai ketuhanan dimasukkan ke dalam proses sains, di samping


menghasilkan teori, baik dalam ilmu-ilmu eksaskta maupun non-eksak (sosial, ekonomi,
politik, ekonomi, dan lain-lain) yang sesuai dengan sudut pandang dan pemahaman
Islam (hadhoroh Islam), juga akan menghasilkan produk yang bersifat materi
(kebendaan) dari proses eksperimen, yang sarat dengan nilai-nilai ruhiah yang
puncaknya bermuara pada tercapainya keridhoan Allah. Karena itu, seorang ilmuan
muslim akan mengintegrasikan antara penemuan ilmiah yang bersifat materi dengan
kesadaran ruhiah (majhu al- maddah bi ar-ruh). Nilai ruhiah yang paling tinggi ialah
ketika seseorang merasa dekat dengan Allah dan merasa mendapat ridho Allah.

5.Kemunduran Sains

Konflik terjadi pada masa akhir kemunduran sains Islam yakni kemunculan sains
modern (Newton), konflik juga terjadi saat”Kitab Ihya Ulumuddin” karya Imam Al-
Ghazali. Siapa yang tidak mengenal kitab Ihya Ulumuddin? Ya, kitab hasil karya Imam
Abu Hamid Al-Ghazali yang sering dijadikan sebagai sandaran dan rujukan bagi
sebagian ummat Islam terutama di Indonesia. Imam Al-Ghazali sering sekali dianggap
sebagai ahli filsafat Islam dan ilmu kalam. Dan kitabnya yang berjudul Ihya Ulumuddin
itu pun dianggap sebagai ‘masterpiece’ Imam Al-Ghazali dalam hal ilmu kalam dan
filsafat. Ihya’ ulumiddin menyerukan umat Islam untuk kembali menghidupkan ajaran
agama, pendapat ini menyebabkan kesalahpahaman bahwa adanya larangan untuk
mempelajari sains, sehingga budaya mempelajari sains ditinggalkan.

Kesalahpahaman ini berdampak pada ketimpangan posisi ilmu seperti terpisahnya


tradisi filsafat kelompok (ilmu duniawi) dengan tradisi pemikiran keagamaan (ilmu
ukhrawi ). Dampak dari kesalah pahaman agama dan sains menimbulkan ketimpangan
posisi ilmu sehingga terpisahnya tradisi filsafat dengan tradisi pemikiran keagamaan,
keduanya berada pada tempat yang berbeda, filsafat dan sains berada dalam satu
kelompok (ilmu duniawi) dan agama berada dalam kelompok lain (ilmu ukhrawi).

10
3.ISLAM DAN PENEGAKKAN HUKUM
Penegakan hukum dalam konteks law enforcement sering diartikan dengan
penggunaan force (kekuatan) dan berujung pada tindakan represif. Dengan demikian
penegakanhukum dalam pengertian ini hanya bersangkutan dengan hukum pidana
saja.2Dalam tulisan ini dikehendaki pengertian penegakanhukum itu dalam arti luas secara
represif,maupun preventif. Konsekuensinya memerlukan kesadaran hukum secara meluas
pula baik warga negara, lebih-lebih para penyelenggara negara terutama penegak
hukumnya. Adapun penegak hukum meliputi instrumen administratif yaitu pejabat
administratif di lingkungan pemerintahan. Sedangkan dalam lingkungan pidana dimonopoli
oleh negara melalui alat-alatnya mulai dari kepolisian, kejaksaan dan kehakiman sebagai
personifikasi negara.Penegakanhukum saja tidaklah cukup tanpa tegaknya keadilan. Karena
tegaknya keadilan itu diperlukan guna kestabilan hidup bermasyarakat, hidup berbangsa dan
bernegara. Tiap sesuatu yang melukai rasa keadilan terhadap sebagian dari masyarakat bisa
mengakibatkan .rusaknya kestabilan bagi masyarakat keseluruhan, sebab rasa keadilan
adalah unsur fitrah kelahiran seseorang sebagai manusia.3Kepastian hukum akan tercapai
jika penegakanhukum itu sejalan dengan undang-undang yang berlaku dan rasa keadilan
masyarakat yang ditopang oleh kebersamaan tiap individu di depan hukum (equality before
the law). Bahwa hukum memandang setiap orang sama, bukan karena kekuasaan dan bukan
pula karena kedudukannya lebih tinggi dari yang lain. Persamaan setiap manusia sesuai
fitrah kejadiannya:“Manusia itu adalah umat yang satu, maka Allah mengutus para Nabi
sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan dan beserta mereka Dia turunkan kitab
denganmembawa kebenaran, supaya kitab itu memberi keputusan antara manusia tentang
apa yang mereka perselisihkan (QS.2:213).Penegakan HukumTerdapat beberapa faktor yang
dapat mendukung tegaknya hukum di suatu Negara antara lain: Kaidah hukum, Penegak
hukum, Fasilitas dan Kesadaran hukum warga Negara. Dalam pelaksanaannya masih
tergantung pada sistem politik Negara yang bersangkutan. Jika sistem politik Negara itu
otoriter maka sangat tergantung penguasa bagaimana kaidah hukum, penegak hukum dan
fasilitas yang ada. Adapun warga Negara ikut saja kehendak penguasa (lihat synopsis).Pada
sistem politik demokratis juga tidak semulus yang kita bayangkan. Meski warga Negara
berdaulat, jika sistem pemerintahannya masih berat pada eksekutif (Executive heavy) dan
birokrasi pemerintahan belum direformasi, birokratnya masih “kegemukan” dan bermental
mumpung,maka penegakanhukum masih mengalami kepincangan dan kelambanan (kasus
“hotel bintang” di Lapas).Belum lagi kaidah hukum dalam hal perundang-undangan yang
simpang siur penerapannya (kasus Prita). Agar suatu kaidah hukum berfungsi maka bila
kaidah itu berlaku secara yuridis, maka kemungkinan besar kaidah tersebut merupakan
kaidah mati (dode regel), kalau secara sosiologis (teori kekuasaan),maka kaidah tersebut
menjadi aturan pemaksa (dwang maat regel).Jika berlaku secara filosofi,maka
kemungkinannya hanya hukum yang dicita-citakan yaitu ius constituendum.4Kaidah hukum
atau 3M.Natsir,2002:94Soerjono Soekanto, 1983.Penegakan Hukum Atas Keadilan Dalam
Pandangan IslamMizan: Jurnal Ilmu Syariah. Volume 1 No 2Desember2013. ISSN: 2089-
032X-146peraturan itu sendiri, apakah cukup sistematis, cukup sinkron, secara kualitatif dan
kuantitatif apakah sudah cukup mengatur bidang kehidupan tertentu.Dalam hal
penegakanhukum mungkin sekali para petugas itu menghadapi masalah seperti sejauh mana
dia terikat oleh peraturan yang ada, sebatas mana petugas diperkenankan memberi
kebijaksanaan. Kemudian teladan macam apa yang diberikan petugas kepada masyarakat.
Selainselalu timbul masalah jika peraturannya baik tetapi petugasnya malah kurang baik.
Demikian pula jika peraturannya buruk, makakualitas petugas baik.Fasilitas merupakan
sarana dalam proses penegakanhukum. Jika sarana tidak cukup memadai,maka
penegakanhukum pun jauh dari optimal. Mengenai warga negara atau warga masyarakat

11
dalam hal ini tentang derajat kepatuhan kepada peraturan. Indikator berfungsinya hukum
adalah kepatuhan warga. Jika derajat kepatuhan rendah, hal itu lebih disebabkan oleh
keteladanan dari petugas hukum. KeadilanPengertian keadilan dapat ditinjau dari dua segi
yakni keadilan hukum dan keadilan sosial. Adapun keadilan mengandung asas kesamaan
hukum artinya setiap orang harus diperlakukan sama dihadapan hukum. Dengan kata lain
hukum harus diterapkan secara adil. Keadilan hukum ternyata sangat erat kaitannya dengan
implementasi hukum ditengah masyarakat. Untuk mencapai penerapan dan pelaksanaan
hukum secara adil diperlukan kesadaran hukum bagi para penegak hukum. Dengan
demikian guna mencapai keadilan hukum itu,maka faktor manusia sangat penting. Keadilan
hukum sangat didambakan oleh siapa saja termasuk penjahat (pembunuh, pemerkosa, dan
koruptor).Jika dalam suatu negara ada yang cenderung bertindak tidak adil secara hukum,
termasuk hakim,maka pemerintah harus bertindak mencegahnya. Pemerintah harus
menegakkan keadilan hukum, bukan malah berlaku zalim terhadap rakyatnya. Keadilan
sosial terdapat dalam kehidupan masyarakat, terdapat saling tolong-menolong sesamanya
dalam berbuat kebaikan. Terdapat naluri saling ketergantungan satu dengan yang lain dalam
kehidupan sosial (interdependensi).Keadilan sosial itu diwujudkan dalam bentuk upah yang
seimbang, untuk mencegah diskriminasi ekonomi. Keadilan sosial adalah persamaan
kemanusiaan, suatu penyesuaian semua nilai, nilai-nilai yang termasuk dalam pengertian
keadilan. Kepemilikan atas harta seharusnya M. Rais Ahmad147–Fakultas Agama Islam
Universitas Ibn Khaldun Bogor tidak bersifat mutlak. Perlu dilakukan pemerataan, distribusi
kekayaananggota masyarakat. Bagaimana pemilik harta seharusnya menggunakan hartanya.
Penimbunan atau konsentrasi kekayaan,sehingga tidak dimanfaatkan dalam sirkulasi dan
distribusi akan merugikan kepentingan umum. Sebaiknya harta kekayaan itu digunakan
sebaik mungkin dan memberikan manfaat bagi pemiliknya maupun bagi masyarakat.Hukum
dan Keadilan Dalam IslamMenurut M. Natsir (demokrasi dibawah hukum cet.III, 2002)
adalah suatu penegasan, ada undang-undang yang disebut Sunnatullah yang nyata-nyata
berlaku dalam kehidupan manusia pada umumnya. Perikehidupan manusia hanya dapat
berkembang maju dalam berjama’ah (Society).Man is born as a social being. Hidup
perorangan dan hidup bermasyarakat berjalin, yang satu bergantung pada yang lain. Kita
mahluk sosial harusberhadapan dengan berbagai macam persoalan hidup, dari persoalan
rumah tangga, hidup bermasyarakat, berbangsa, bernegara, berantara negara, berantar agama
dan sebagainya, semuanya problematika hidup duniawi yang bidangnya amat luas. Maka
risalah Muhammad Saw, meletakkan beberapa kaidah yang memberi ketentuan-ketentuan
pokok guna memecahkan persoalan-persoalan.Kestabilan Hidup bermasyarakat memerlukan
tegaknya keadilan lanjut M. Natsir. Tiap-tiap sesuatu yang melukai rasa keadilan terhadap
sebagian masyarakat,maka bisa merusak kestabilan secara keseluruhan. Menegakkan
keadilan di tengah-tengah masyarakat dan bangsa diawali dengan kedaulatan hukum yang
ditegakkan. Semua anggota masyarakat berkedudukan sama dihadapan hukum. Jadi
dihadapan hukum semuanya sama, mulai dari masyarakat yang paling lemah sampai
pimpinan tertinggi dalam Negara.“Dan janganlah rasa benci kamu kepada suatu golongan
menyebabkan kamu tidak berlaku adil. Berlaku adilah, karena itu lebih dekat kepada taqwa.
Dan bertaqwalah kepada Allah karena sesungguhnya Allah amat mengetahui apa yang kamu
kerjakan”(QS.5:8).“Dengarlah dan taatilah sekalipun andaikata yang menjalankan hukum
atasmu seseorang budak Habsyi yang kepalanya seperti kismis selama dijalankannya hukum
Allah Swt”. (H.R.Buchori dari Anas)

Penegakan Hukum Atas Keadilan Dalam Pandangan IslamMizan: Jurnal Ilmu Syariah.
Volume 1 No 2Desember2013. ISSN: 2089-032X-148Tidak mungkin hukum dan keadilan

12
dapat tegak berdiri keadilan dapat tegak berdiri kokoh apabila konsep persamaan itu
diabaikan. Implementasi keadilan hukum dimasyarakat dewasa ini banyak ditemui
sandungan yang menyolok atas pandangan lebih terhadap orang yang punya kedudukan
tinggi, yang punya kekayaan melimpah, sehingga rakyat banyak telah menyimpan imej
bertahun-tahun bahwa dinegeri ini keadilan itu dapat dibeli. Lebih jauh kesamaan itu
dijabarkan Rachman di bukunya Political Science and Government dalam Ramly Hutabarat
di bukunya Hukum dan Demokrasi (1999) yaitu, yakni:a.Manusia secara alamiah dilahirkan
sama (Natural Equality)b.Setiap masyarakat memiliki kesamaan hak sipilc.Semua warga
negara memiliki hak yang sama mendapatkan lapangan pekerjaand.Semua warga Negara
sama kedudukannya dalam politik.QS.4:135.”Wahai orang-orang yang beriman jadilah
kamu orang yang tegak menegakkan keadilan, menjadi saksi kebenaran karena Allah,
biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapakmu atau kerabatmu”.

4.KEWAJIBAN MENEGAKKAN AMAR MAKRUF DAN NAHI MUNKAR

Tidak diragukan lagi bahwa amar ma’ruf nahi mungkar adalah upaya menciptakan
kemaslahatan umat dan memperbaiki kekeliruan yang ada pada tiap-tiap individunya.
Dengan demikian, segala hal yang bertentangan dengan urusan agama dan merusak
keutuhannya, wajib dihilangkan demi menjaga kesucian para pemeluknya.

Persoalan ini tentu bukan hal yang aneh karena Islam adalah akidah dan syariat yang
meliputi seluruh kebaikan dan menutup segala celah yang berdampak negatif bagi
kehidupan manusia.

Amar ma’ruf nahi mungkar merupakan amal yang paling tinggi karena posisinya
sebagai landasan utama dalam Islam. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu)
menyuruh (berbuat) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada
Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara
mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik.” (Ali
Imran: 110)

Jika kita perhatikan dengan saksama, sebenarnya diutusnya para rasul dan
diturunkannya Al-Kitab adalah dalam rangka memerintah dan mewujudkan yang
ma’ruf, yaitu tauhid yang menjadi intinya, kemudian untuk mencegah dan
menghilangkan yang mungkar, yaitu kesyirikan yang menjadi sumbernya.
Jadi, segala perintah Allah subhanahu wa ta’ala yang disampaikan melalui rasul-Nya
adalah perkara yang ma’ruf. Begitu pula seluruh larangan-Nya adalah perkara yang
mungkar. Kemudian, Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan amar ma’ruf nahi
mungkar ini sebagai sifat yang melekat dalam diri nabi-Nya dan kaum mukminin secara
menyeluruh.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi
penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang ma’ruf dan
mencegah dari yang mungkar, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, serta taat
kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah
Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (at-Taubah: 71)

13
Siapa pun meyakini bahwa kebaikan manusia dan kehidupannya ada dalam ketaatan
kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan
hal tersebut tidak akan sempurna tercapai melainkan dengan adanya amar ma’ruf nahi
mungkar. Dengan hal inilah umat ini menjadi sebaik-baik umat di tengah-tengah
manusia.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu)
menyuruh (berbuat) yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar….” (Ali Imran:
110)

Hukum Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Amar ma’ruf nahi mungkar adalah kewajiban bagi tiap-tiap muslim yang memiliki
kemampuan. Artinya, jika ada sebagian yang melakukannya, yang lainnya terwakili.
Dengan kata lain, hukumnya fardhu kifayah.

Namun, boleh jadi, hukumnya menjadi fardhu ‘ain bagi siapa yang mampu dan tidak
ada lagi yang menegakkannya. Al-Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Amar
ma’ruf nahi mungkar menjadi wajib ‘ain bagi seseorang, terutama jika ia berada di suatu
tempat yang tidak ada seorang pun yang mengenal (ma’ruf dan mungkar) selain dirinya;
atau jika tidak ada yang dapat mencegah yang (mungkar) selain dirinya. Misalnya, saat
melihat anak, istri, atau pembantunya, melakukan kemungkaran atau mengabaikan
kebaikan.” (Syarh Shahih Muslim)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Amar ma’ruf nahi mungkar
adalah fardhu kifayah. Namun, terkadang menjadi fardhu ‘ain bagi siapa yang mampu
dan tidak ada pihak lain yang menjalankannya.”

Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah mengemukakan hal yang
sama, “Ketika para da’i sedikit jumlahnya, kemungkaran begitu banyak, dan kebodohan
mendominasi, seperti keadaan kita pada hari ini, maka dakwah (mengajak kepada
kebaikan dan menjauhkan umat dari kejelekan) menjadi fardhu ‘ain bagi setiap orang
sesuai dengan kemampuannya.”

Dengan kata lain, kewajibannya terletak pada kemampuan. Dengan demikian, setiap
orang wajib menegakkannya sesuai dengan kemampuan masing-masing. Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu, dengarlah serta


taatlah dan infakkanlah harta yang baik untuk dirimu. Dan barang siapa dijaga dirinya
dari kekikiran, mereka itulah orang yang beruntung.” (at-Taghabun: 16)

14
Kemampuan, kekuasaan, dan kewenangan adalah tiga hal yang terkait erat dengan
proses amar ma’ruf nahi mungkar. Yang memiliki kekuasaan tentu saja lebih mampu
dibanding yang lain sehingga kewajiban mereka tidak sama dengan yang selainnya.

Al-Qur’an telah menunjukkan bahwa amar ma’ruf nahi mungkar tidak wajib bagi tiap-
tiap individu (wajib ‘ain), namun secara hukum menjadi fardhu kifayah. Inilah pendapat
yang dipegangi mayoritas para ulama, seperti al-Imam al-Qurthubi, Abu Bakar al-
Jashash, Ibnul Arabi al-Maliki, Ibnu Taimiyah, dan lain-lain rahimahumullah.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh (berbuat) yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah
orang-orang yang beruntung.” (Ali Imran: 104)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ِ ‫ك أَضْ َعفُ اإْل ِ ي َم‬


‫ان‬ َ ِ‫َم ْن َرأَى ِم ْن ُك ْم ُم ْن َكرًا فَ ْليُ َغيِّرْ هُ بِيَ ِد ِه فَإ ِ ْن لَ ْم يَ ْست َِط ْع فَبِلِ َسانِ ِه فَإ ِ ْن لَ ْم يَ ْستَ ِط ْع فَبِقَ ْلبِ ِه َو َذل‬

“Siapa di antara kalian yang melihat suatu kemungkaran, maka cegahlah dengan
tangannya. Jika belum mampu, cegahlah dengan lisannya. Jika belum mampu, dengan
hatinya, dan pencegahan dengan hati itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim no.
70 dan lain-lain)

Syarat dan Etika Beramar Ma’ruf Nahi Mungkar

Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan kita agar kita beribadah dan menjalankan
ketaatan kepada-Nya sebaik mungkin. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“(Dialah) yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kamu, siapa di antara kamu
yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa, Maha Pengampun.” (al-Mulk: 2)

Amar ma’ruf nahi mungkar adalah ibadah, ketaatan, dan amal saleh. Karena itu, harus
dilakukan dengan benar dan penuh keikhlasan agar menjadi amalan saleh yang diterima.
Al-Imam Fudhail Ibnu Iyadh rahimahullah mengemukakan bahwa suatu amalan
meskipun benar tidak akan diterima jika tidak ada keikhlasan, begitu pun sebaliknya.
Keikhlasan berarti semata-mata karena Allah subhanahu wa ta’ala, sedangkan
kebenaran berarti harus berada di atas sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Para penegak amar ma’ruf nahi mungkar hendaknya memerhatikan dan memenuhi
beberapa syarat berikut.

Syarat pertama: Ilmu dan pemahaman sebelum memerintah dan melarang.


Apabila tidak ada ilmu, dapat dipastikan yang ada adalah kebodohan dan
kecenderungan mengikuti hawa nafsu. Padahal siapa saja yang beribadah kepada Allah
subhanahu wa ta’ala tanpa ilmu, maka kerusakan yang diakibatkannya jauh lebih
dominan daripada kebaikan yang diharapkan.

15
Dalam kaitannya dengan amar ma’ruf nahi mungkar, ilmu yang harus dimiliki meliputi
tiga hal, antara lain: Mengetahui yang ma’ruf dan yang mungkar serta dapat
membedakan antara keduanya; Mengetahui dan memahami keadaan objek yang
menjadi sasarannya; serta mengetahui dan menguasai metode atau langkah yang tepat
dan terbaik sesuai dengan petunjuk jalan yang lurus (ketentuan syariat). Tujuan
utamanya adalah supaya tercapai maksud yang diinginkan dari proses amar ma’ruf nahi
mungkar dan tidak menimbulkan kemungkaran yang lain.

Syarat kedua: Lemah lembut dalam beramar ma’ruf dan bernahi mungkar.
Penyambutan yang baik, penerimaan, dan kepatuhan adalah harapan yang tidak
mustahil apabila proses amar ma’ruf nahi mungkar selalu dihiasi oleh kelembutan.

Bukankah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyatakan dalam sabdanya:

ِ ‫ْطي َعلَى ْال ُع ْن‬


ُ‫ف َو َما اَل يُ ْع ِطي َعلَى َما ِس َواه‬ ِ ‫ق َويُ ْع ِطي َعلَى ال ِّر ْف‬
ِ ‫ق َما اَل يُع‬ َ ‫ق يُ ِحبُّ ال ِّر ْف‬
ٌ ‫إِ َّن هللاَ َرفِي‬

“Sesungguhnya Allah Mahalembut dan menyukai sikap lemah lembut dalam tiap
urusan. Allah subhanahu wa ta’ala akan memberikan kepada sikap lemah lembut
sesuatu yang tidak akan diberikan kepada sikap kaku atau kasar dan Allah subhanahu
wa ta’ala akan memberikan apa-apa yang tidak diberikan kepada selainnya.” (HR.
Muslim “Fadhlu ar-Rifq” no. 4697, Abu Dawud “Fi ar-Rifq” no. 4173, Ahmad no. 614,
663, 674, dan 688, dan ad-Darimi “Bab Fi ar-Rifq” no. 2673)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

ُ‫ع ِم ْن َش ْي ٍء إِاَّل َشانَه‬ َ ‫إِ َّن ال ِّر ْف‬


ُ َ‫ق اَل يَ ُكونُ فِي َش ْي ٍء إِاَّل َزانَهُ َواَل يُ ْنز‬

“Tidaklah sikap lemah lembut itu ada dalam sesuatu, melainkan akan menghiasinya,
dan tidaklah sikap lemah lembut itu dicabut dari sesuatu, melainkan akan
menghinakannya.” (HR. Muslim no. 4698, Abu Dawud no. 2119, dan Ahmad no.
23171, 23664, 23791)

Al-Imam Sufyan ibnu Uyainah rahimahullah mengatakan, “Tidak boleh beramar


ma’ruf dan bernahi mungkar selain orang yang memiliki tiga sifat: lemah lembut,
bersikap adil (proporsional), dan berilmu yang baik.”

Termasuk sikap lemah lembut apabila senantiasa memerhatikan kehormatan dan


perasaan manusia. Oleh karena itu, dalam beramar ma’ruf nahi mungkar hendaknya
mengedepankan kelembutan dan tidak menyebarluaskan aib atau kejelekan. Kecuali,
mereka yang cenderung senang dan bangga untuk menampakkan aibnya sendiri dengan
melakukan kemungkaran dan kemaksiatan secara terang-terangan. Sebab itu, tidak
mengapa untuk mencegahnya dengan cara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi.

Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Siapa yang menasihati saudaranya dengan


sembunyi-sembunyi, sungguh ia benar-benar telah menasihatinya dan menghiasinya.
Siapa yang menasihati saudaranya dengan terang-terangan (di depan khalayak umum),
sungguh ia telah mencemarkannya dan menghinakannya.” (Syarh Shahih Muslim)

16
Syarat ketiga: Tenang dan sabar menghadapi kemungkinan adanya gangguan setelah
beramar ma’ruf nahi mungkar.

Gangguan seolah-olah menjadi suatu kemestian bagi para penegak amar ma’ruf nahi
mungkar. Oleh karena itu, jika tidak memiliki ketenangan dan kesabaran, tentu
kerusakan yang ditimbulkannya jauh lebih besar daripada kebaikan yang diinginkan.

Al-Imam ar-Razi rahimahullah menjelaskan bahwa orang yang beramar ma’ruf nahi
mungkar itu akan mendapat gangguan, maka urusannya adalah bersabar.
Al-Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga mengemukakan bahwa para rasul adalah
pemimpin bagi para penegak amar ma’ruf nahi mungkar. Allah subhanahu wa ta’ala
telah memerintah mereka semua agar bersabar, seperti firman-Nya:

“Maka bersabarlah engkau (Muhammad) sebagaimana kesabaran rasul-rasul yang


memiliki keteguhan hati, dan janganlah engkau meminta agar azab disegerakan untuk
mereka. Pada hari mereka melihat azab yang dijanjikan, merasa seolah-olah tinggal (di
dunia) hanya sesaat saja pada siang hari. Tugasmu hanya menyampaikan. Maka tidak
ada yang dibinasakan, selain kaum yang fasik (tidak taat kepada Allah subhanahu wa
ta’ala).” (al-Ahqaf: 35)

“Dan karena Rabbmu, bersabarlah!” (al-Mudatstsir: 7)

“Dan bersabarlah (Muhammad) menunggu ketetapan Rabbmu, karena sesungguhnya


engkau berada dalam pengawasan Kami, dan bertasbihlah dengan memuji Rabbmu
ketika engkau bangun.” (at-Thur: 48)

Allah subhanahu wa ta’ala juga menyebutkan wasiat Luqman kepada putranya dalam
firman-Nya:

“Wahai anakku! Laksanakanlah shalat dan suruhlah (manusia) berbuat yang ma’ruf dan
cegahlah (mereka) dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu,
sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting.” (Luqman: 17)

Seseorang yang beramar ma’ruf nahi mungkar berarti telah memosisikan dirinya
sebagai penyampai kebenaran. Padahal tidak setiap orang ridha dan suka dengan
kebenaran. Oleh karena itu, ia pasti akan mendapat gangguan, dan itu menjadi cobaan
serta ujian baginya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan,
‘Kami telah beriman’, dan mereka tidak diuji? Dan sungguh, Kami telah menguji orang-
orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti
mengetahui orang-orang yang dusta.” (al-‘Ankabut: 2—3)

Amar Ma’ruf Nahi Munkar – Dalam ilmu bahasa, amar ma’ruf nahi munkar ini
memiliki arti yakni menyuruh kepada yang baik, mencegah kejahatan. Amar artinya:

17
menyuruh, ma’ruf artinya: kebaikan, nahi artinya mencegah, dan munkar artinya
kejahatan.

Jika dipandang dari sudut syari’ah perkataan amar ma’ruf nahi munkar tersebut sudah
menjadi istilah yang menjadi ajaran pokok dari agama islam, malahan sudah menjadi
tujuan yang utama.

Mengenai hal tersebut Aabul a’la al-maududi menjelaskan jika tujuan yang utama dari
syari’at yaitu untuk membangun kehidupan manusia dengan dasar ma’rufat “kebaikan-
kebaikan” serta membersihkan dari hal-hal yang bersifat munkarat “kejahatan-
kejahatan”.

Lebih jauh lagi, beliau memberikan sebuah definisi seperti ini : ” istilah dari amar
ma’ruf nahi munkar itu menunjukan bahwa semua kebaikan-kebaikan serta sifat-sifat
yang baik, yang sepanjang massanya diterima oleh hati manusia sebagai sesuatu
memiliki kebaikan.

Sebaliknya istilah dari munkarat “ jamak dari munkar” menunjukan bahwa semua dosa
serta kejahatan – kejahatan yang sepanjang masanya sudah di kutuk oleh watak atau
sifat manusia sebagai sesuatu yang jahat.

Kesimpulannya adalah, ma’ruf merupakan sesuatu yang sesuai dengan watak manusia
umumnya dan juga kebutuhan-kebutuhannya, sedangkan munkarat sendiri yakni
kebalikannya.

Syariat telah memberikan kita satu pandangan yang jelas mengenai ma’rufat serta
munkarat tersebut dan juga telah menyatakannya sebagai norma-norma yang apapun itu
harus di sesuaikan dengannya, baik sesuatu itu dari perilaku seseorang maupun
masyarakat.

Berikut ini merupakan klasifikasi dari amar ma’ruf nahi munkar

Dalam memperjelas pengertian dari amar ma’ruf nahi munkar ada baiknya kita uraikan
sajasecara singkat dari segi pembagiannya, dipandang dari sudut ilmu fiqih.

Ma’ruf : Syariat Telah Membagi Ma’ruf Menjadi 3 Kategori

Jadi Ma’ruf dalam syariat telah dibagi menjadi 3 kategori, diantaranya sebagai berikut:

Fardhu atau Wajib

Yaitu sesuatu yang apa bila dikerjakan akan mendapat pahala dan apabila di tinggalakan
kita akan mendapat dosa. Kategori tersebut merupakan kategori yang menjadi
kewajiban bagi setiap masyarakat islam dan juga mengenai hal tersebut syariat sudah
memberikan petunjuknya yang jelas serta mengikat.

Sunat atau Matlub

18
Yaitu mendapat pahala apa bila kita kerjakan dan tidak berdosa apabila kita tinggalakan.
Kategori ini adalah kategori dari serangkaian kebaikan-kebaikan yang di anjurkan oleh
syariat agar di laksanakan. Karena memang dianjurkan oleh syariat maka, sebaiknya
kita mengamalkan sesuatu yang sunat ini.

Mubah

yaitu suatu perkara yang apabila dikerjakan tidak mendapatkan pahala dan apabila
ditinggalakan tidak mendapat dosa. Kategori ini mempunyai makna yang luas,
sedangkan patokan dan juga ukurannya yakni segala sesuatu yang tidak dilarang berarti
masuk ke dalam kategori ini.

Yang tata cara pelaksanaannya diserahkan sepenuhnya oleh syariat yang berlaku kepada
manusia untuk memilihnya sendiri yang nantinya di kerjakan atu tidak.

Munkar : Suatu Perkara yang Dilarang Oleh Islam, Munkar Ini Dibagi
Menjadi 2 Kategori

Munkar dalam syariat dibagi kedalam 2 kategori, diantaranya sebagai berikut:

Haram

yakni segala sesuatu yang dilarang secara mutlak. Setiap umat muslim tanpa terkecuali
wajib untuk menjauhkan diri dari sesuatu yang secara tegas di haramkan. Jadi sudah
sepatutnya apa terdapat suatu perkara yang sudah jelas keharamannya kita patut untuk
menjauhinya.

Makruh

yakni segala sesuatu yang masuk ke dalam kategori tidak di senangi. Apabila dikerjakan
tidak berdosa tetapi jika di tinggalkan sesuatu tersebut akan mendapatkan pahala. Jadi
lebih baik kita meninggalkan sesuatu yang makruh jika memang hal tersebut tidak
bermanfaat bagi kita.

Hukum Amar Ma’ruf Nahi Munkar Menjadi Haram

Selain fardhu ‘ain, Amar Ma’ruf Nahi Munkar hukumnya dapat berubah menjadi haram
dalam beberapa kondisi, seperti,

19
Pertama, orang yang tidak berilmu atau bodoh terhadap urusan ma’ruf dan munkar,
tidak bisa membedakan hakikat keduanya, maka dia haram melakukan Amar Ma’ruf
Nahi Munkar.

Kedua, pelaksanaakn Amar Ma’ruf Nahi Munkar justru menimbulkan kemunkaran


yang lebih besar. Dalam kondisi seperti ini, Amar Ma’ruf Nahi Munkar hukumnya
haram.

Ketiga, aktivitas Amar Ma’ruf Nahi Munkar berkonsekuensi pada timbulnya bahaya
terhadap jiwa dan kehormatan kepada selain pelakunya—baik keluarga, tetangga dan
selainnya. (Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 17/230)

Praktek Penerapan Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Setelah mengetahui seputar hukum dan fleksibilitasnya, pertanyaan berikutnya adalah


bagaimana praktek penerapan Amar Ma’ruf Nahi Munkar ini?

Secara garis besar, syariat Islam telah memberikan konsep dasar tentang praktek
penerapan Amar Ma’ruf Nahi Munkar yang disarikan dari sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam,

‫َم ْن َرأَى ِم ْن ُك ْم ُم ْن َكرًا فَ ْليُ َغيِّرْ هُ بِيَ ِد ِه فَإ ِ ْن لَ ْم يَ ْستَ ِط ْع فَبِلِ َسانِ ِه فَإ ِ ْن لَ ْم يَ ْستَ ِط ْع فَبِقَ ْلبِ ِه َو َذلِكَ أَضْ َعفُ اإْل ِ ي َما ِن‬

“Barangsiapa di antara kalian yang melihat kemunkaran, maka ubahlah dengan


tangannya, jika tidak mampu ubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka
ubahlah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim
No. 70)

Amar Ma’ruf Nahi Munkar dengan Hati

Pertama, mengubah kemunkaran dengan hati, karena ini merupakan bentuk Amar
Ma’ruf Nahi Munkar yang harus bisa dilakukan oleh seorang muslim. Jika seorang
muslim melihat kemunkaran sedang hatinya tidak mengingkarinya, maka ini
menunjukkan betapa lemah imannya atau bahkan sudah hilang imannya kepada Allah.

Termasuk Amar Ma’ruf Nahi Munkar juga adalah dengan meng-hajr-nya (mendiamkan
dan menjahuinya); tidak bermuamalah dengan pelaku kemunkaran tersebut, supaya
sadar bahwa teman-temannya menjauhi dirinya karena perbuatan munkar yang
dilakukan. Tentu dalam melakukan hajr ini, ada batasan-batasannya dan dalam kondisi
memang tidak bisa melakukan Amar Ma’ruf Nahi Munkar kecuali harus dengan
mendiamkan dan menjauhinya.

20
Amar Ma’ruf Nahi Munkar dengan Lisan

Kemudian setelah hati mengingkari perbuatan munkar, maka hal berikutnya yang harus
dilakukan oleh seorang muslim adalah mengubahnya dengan lisannya atau dengan
tangannya, melihat mana yang mendatangkan maslahat dan mampu menghilangkan
mudarat.

Adapun rambu-rambu tingkatan Amar Makruf Nahi Munkar dengan lisan adalah
sebagai berikut;

Pertama, memberitahu dengan baik, memberi pengertian bahwa yang dilakukannya ini
salah.

Kedua, melarangnya dengan nasehat yang baik, menakut-nakutinya akan ancaman dari
Allah ‘azza wajalla.

Ketiga, melarang dengan mengeraskan suaranya, dengan nada yang lantang dan tegas,
keempat, memberikan ancaman dan hal-hal yang membuatnya takut untuk mengulangi
perbuatannya.

Amar Ma’ruf Nahi Munkar dengan Tangan

Adapun rambu-rambu tingkatan Amar Makruf Nahi Munkar dengan tangan, adalah
sebagai berikut;

Pertama, mengambil atau menghancurkan alat-alat yang digunakan untuk berbuat


munkar.

Kedua, mengingatkan dengan memberinya hukuman fisik, tanpa harus menimbulkan


rasa sakit yang signifikan.

Ketiga, mengubahnya dengan tangan dengan menggunakan alat hukuman; bisa tongkat,
cemeti, dan lainya,

Keempat, membawa bala bantuan untuk mengubahnya—pada kasus kemunkaran yang


cukup besar.

Amar Ma’ruf Nahi Munkar Tetap Mempertimbangkan Maslahat-Mudarat

Semua bentuk Amar Ma’ruf Nahi Munkar di atas harus didasari dengan asas
mendatangkan kemaslahatan dan menghilangkan kemudaratan. Aktivitas Amar Makruf
Nahi Munkar tidak boleh berdampak pada munculnya kemunkaran atau kemudaratan

21
yang lebih besar, karena ini bertentangan dengan perintah syar’i dalam melakukan
Amar Makruf Nahi Munkar.

Ibnu al-Qayyim rahimahullah memberikan rambu—rambu syar’i secara singkat tentang


pelaksanaan Amar Ma’ruf Nahi Munkar,

“Apabila dalam melakukan Amar Ma’ruf Nahi Munkar yang dihasilkan adalah
hilangnya kemunkaran atau kemudaran dan mendatangkan kema’rufan atau maslahat,
maka ini disyariatkan. Apabila yang dihasilkan adalah meminimalisir kemunkaran atau
kemudaratan, maka ini juga disyariatkan. Apabila yang dihasilkan adalah sama saja
dengan tidak melakukannya, maka ini menjadi ruang ijtihad (mana yang lebih utama,
dengan kejelian melihat kondisi). Apabila yang dihasilkan adalah datangnya
kemudaratan yang lebih besar atau lebih membahayakan, maka ini dilarang oleh syariat.

5.FITNAH AKHIR ZAMAN

Hidup manusia saat ini telah berada di akhir zaman , dan sudah dekat dengan waktu hari
kiamat. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam telah menjelaskan dalam sejumlah hadisnya
tentang dekatnya dengan hari kiamat ini. Walaupun, kapan akan hari kiamat, seberapa lama
lagi hari kiamat, itu adalah ilmu yang dirahasiakan di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Tetapi Baginda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mengisyaratkan tentang dekatnya hari
kiamat. Sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadis:

‫ َويُ ِشي ُر بِإِصْ بَ َع ْي ِه فَيَ ُم ُّد هُ َما‬،‫ت أَنَا َوالسَّا َعةُ َكهَاتَ ْي ِن‬
ُ ‫بُ ِع ْث‬.

“Jarak diutusnya aku dan hari kiamat seperti dua (jari) ini.” Beliau memberikan isyarat dengan
kedua jarinya (jari telunjuk dan jari tengah), lalu merenggangkannya. (HR. Bukhari)

Rasulullah pun telah mengisyaratkan tentang keadaan di akhir zaman dalam sabdanya,
“Bagaimana sikap kalian apabila fitnah telah mengelilingi kalian?”

Tentang hadis ini, Ustaz Abu Qotadah dalam kajian dan tausiyah di kanal RodjaTV menjelaskan,

22
fitnah telah berada di sekitar kita dan kita telah diliputi oleh fitnah, kita telah dihadapkan
kepada fitnah dari depan, dari belakang, dari kanan, dari kiri, dari berbagai unsur kehidupan,
fitnah berada di tengah-tengah. Dan fitnah itupun berkepanjangan, lama, berkesinambungan
dan semakin dahsyat dari satu waktu ke waktu yang lainnya. Sampai disebutkan di dalam
hadis:

‫ص ِغي ُر َو يَ ْه َر ُم فِيهَا ْال َكبِي ُر‬


َّ ‫يَرْ بُو فِيهَا ال‬

“Anak-anak kecil menjadi dewasa dan orang yang tua menjadi pikun.”

“Yaitu apabila kebanyakan dari umat ini telah meninggalkan sunnah.”

Lalu para sahabat bertanya: “Kapan akan terjadi hal itu Wahai Abu Abdurrahman?” Maka
beliau menjawab: “Apabila telah pergi para ulamanya.” Artinya banyak yang meninggal dunia
dari kalangan ulama, banyak orang-orang yang wafat dari kalangan para ulama.

“Dan semakin banyak orang-orang yang bodohnya. Semakin banyak ahli qira’ah, tapi semakin
sedikit yang faqih kepada makna-makna ayat Al-Qur’an.” Semakin sedikit orang yang faham
kepada isi dari Al-Qur’an.

Kemudian beliau mengatakan: “Apabila semakin banyak pemimpin kalian tetapi semakin
sedikit orang yang amanah,” orang yang adil, orang yang menegakkan hukum Allah. Berkuasa,
memiliki jabatan, memiliki tahta, tetapi berada dalam kondisi dzalim, tidak menegakkan syariat
Allah. Semakin sedikit yang amanah.

Kemudian beliau mengatakan: “Dan apabila telah dicari dunia dengan ibadah (amal shalih),”
artinya orang-orang beramal shalih tapi tujuannya dunia, tidak berkaitan dengan surga, tidak
berkaitan dengan kehidupan setelah kematian. Yang diharapkan ketika melakukan amal saleh
adalah untuk kehidupan dunia.

“Dan apabila semakin banyak orang-orang yang tafaqquh tentang urusan dunia (tapi tidak
tafaqquh tentang urusan agama),” artinya semakin sedikit orang yang belajar tentang agama
Allah, belajar tentang tauhid, belajar tentang aqidah, belajar tentang iman, belajar tentang
Islam, belajar tentang halal dan haram semakin sedikit. Dan sibuknya sebagian besar di antara
kita adalah dengan dunia ini.

Lantas bagaimana kita harus menghadapi ujian dan fitnah akhir zaman ini? Dai yang juga
pendiri Pondok Pesantren Ma’had Ihya As Sunnah, menjelaskan sebagai berikut:

1. Semua problem berkaitan dengan fitnah, jalannya ilmu

Hiruk-pikuk fitnah dunia hari ini, maka mesti setiap mukmin menjadikan bagian dari hidupnya
adalah untuk mencari ilmu. Karena ilmu adalah bagian terpenting dalam hidup kita.

2. Kehiudpan setelah kematian kita dalah masa depan yang paling depan

Jika para ibu dan para bapak berbicara tentang masa depan, maka inilah masa depan yang

23
sesungguhnya. Oleh sebab itu Al-Qur’an mengajarkan kisah seorang Nabi yang mengajarkan
masa depan kepada anaknya, yaitu Nabi Ya’qub ‘Alaihis Salam. Ketika beliau sedang dalam
keadaan dekat kepada kematian, sedang sakaratul mau, maka mengumpulkan semua anaknya.
Allah berfirman:

‫ق‬ َ َ‫ت ِإ ْذ قَا َل لِبَنِي ِه َما تَ ْعبُ ُدونَ ِمن بَ ْع ِدي قَالُوا نَ ْعبُ ُد إِلَ ٰـه‬
َ ِ‫ك َوإِلَ ٰـهَ آبَائ‬
َ ‫ك إِ ْب َرا ِهي َم َوإِ ْس َما ِعي َل َوإِ ْس َحا‬ ُ ْ‫وب ْال َمو‬ َ ‫أَ ْم ُكنتُ ْم ُشهَدَا َء إِ ْذ َح‬
َ ُ‫ض َر يَ ْعق‬
١٣٣﴿ َ‫﴾إِلَ ٰـهًا َوا ِحدًا َونَحْ نُ لَهُ ُم ْسلِ ُمون‬

“Tidaklah kalian memperhatikan tentang Nabi Ya’qub ‘Alaihis Salam ketika datang sakaratul
maut menjemputnya? Maka beliau berkata: ‘Wahai anak-anakku, apa yang kalian akan sembah
setelah aku meninggal dunia?’ Maka serempak anaknya mengatakan: ‘Kami akan menyembah
Ilahmu dan Ilah nenek moyangmu (yaitu Allah, Ilah yang satu), dan kami tunduk kepadaNya.’”
(QS. Al-Baqarah[2]: 133)

Jadi ketika kita berbicara tentang masa depan, maka ingatkanlah masa depan itu adalah masa
depan setelah kematian. Maka oleh sebab itu -sebagai catatan tinta emas bagi kita- semua apa
yang kita cari dalam interaksi dunia, maka jadikanlah semuanya adalah jembatan dan
jadikanlah kendaraan untuk kita ke surga. Jadikanlah semua nikmat yang Allah berikan kepada
kita sebagai kendaraan yang menghantarkan kita ke surga, sebagai masa depan kita. Jangan
Anda berpikir masa depan adalah masa depan karir kita di dunia ini.

3. Menjaga amal

Ketika kita bertanya tentang amal dan ketika kita meminta ditunjukkan kepada seorang alim
tentang amal dimasa hari ini, maka ada jawaban yang sederhana dari sekian penjelasan.
Lakukanlah amal yang mampu kita mendawamkannya setelah kita menunaikan perkara-
perkara yang fardhu (wajib). Menjaga shalat lima waktu, menjaga puasa dan menjaga setiap
perkara yang Allah Ta’ala fardhu-kan.

Oleh sebab itu Baginda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah ditanya oleh istrinya sendiri,
‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha: “Ya Rasulullah, amal yang mana yang paling dicintai Allah? Yang
paling mulia di sisi Allah?” Maka Baginda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:

‫أَ َحبُّ األَ ْع َما ِل إِلَى هَّللا ِ تَ َعالَى أَ ْد َو ُمهَا َوإِ ْن قَ َّل‬

“Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang mampu kita
mendawamkannya walaupun amalan itu sederhana.” (HR. Muslim)

Sering kita bertanya tentang mungkin yang sulit bagi kita untuk melakukan hari ini. Beramal
tapi banyak yang kita lalaikan. Contohnya adalah sudahkah Anda meng-kontinu-kan untuk
diam ketika mendengar suara adzan kemudian menjawabnya kemudian kita membaca
shalawat setelahnya?

Maka jangan kita lewatkan amalan yang sederhana untuk mendapatkan pahala besar.
Terutama diwaktu yang sangat sulit bagi kita untuk melakukan kebaikan. Dan ini adalah
solusinya.

4.Kewajiban mukmin adalah benar dalam berkata, benar dalam bercakap, benar dalam

24
berucap dan benar dalam beramal

Fitnah terbesar pada hari ini adalah melihat berbagai kedzaliman. Mungkin di berbagai negara
rakyat mencium bau kedzaliman dari para pemimpinnya. Di sisi lain, kita pun melihat begitu
dahsyatnya rekayasa musuh kepada kaum muslimin dan rekayasa musuh terhadap Islam. Dan
kita seorang muslim yang punya ghiroh iman pasti ingin melakukan sesuatu, melawan
terhadap semua kedzaliman ini, melawan setiap keburukan ini. Dan tentunya itu adalah alamat
dalam diri kita ada iman

Karena ghirah itu sebagaimana dinyatakan di dalam hadis, ghirah itu berupa energi yang ada
dalam diri seorang mukmin yang disebutkan di dalam hadis:

‫ك أَضْ َعفُ اإْل ِ ي َمان‬


َ ِ‫ َو َذل‬،‫ فَإِ ْن لَ ْم يَ ْستَ ِط ْع فَبِقَ ْلبِ ِه‬،‫ فَإِ ْن لَ ْم يَ ْست َِط ْع فَبِلِ َسانِ ِه‬،‫َم ْن َرأَى ِم ْن ُك ْم ُم ْن َكرًا فَ ْليُ َغيِّرْ هُ بِيَ ِد ِه‬

“Apabila kamu melihat kemungkaran, maka cegahlah dengan tanganmu (kekuasaanmu), kalau
tidak mampu maka dengan lisanmu, kalau tidak mampu maka dengan cara engkau tidak
menyetujuinya (benci dalam hatimu), dan itu adalah bagian yang lemah dari iman kita.” (HR.
Muslim)

Ustadz Abu Qatadah memberikan dua poin tentang nasihat yang harus kita lakukan, yakni:

Poin pertama, masalah bagi kita adalah bukan semata-mata kita mengatakan “Menolong
agama Allah”, bukan semata-mata kita mengatakan bahwa kita akan menjaga agama Allah.
Kenapa? Karena sesungguhnya Allah benar-benar akan menjaga agamaNya dan benar-benar
Allah akan memenangkan agamaNya. Seandainya kita tidak menjadi penolongNya, maka Allah
akan mencari dan memunculkan generasi lainnya yang akan menjaga agama ini. Jadi Allah
telah memberikan jaminan agama ini akan dijaga.

Poin kedua, bahwa kewajiban bagi seorang mukmin adalah dituntut untuk benar dalam
berkata, benar dalam berucap, benar dalam beramal. Yaitu seorang muslim diperintahkan
untuk sejalan dengan perintah Allah dan RasulNya dalam setiap perkara. Kemudian Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mengatakan tentang apa yang harus kita lakukan hari ini.

Apa yang didapatkan oleh para sahabat dan para tabi’in di masa Hajjaj bin Yusuf, itu melebihi
kedzaliman yang kita lihat hari ini, artinya keburukan individunya, bukan keburukan
keadaannya. Karena kalau keadaan tetap dimasa Hajjaj lebih baik dari masa ‘Umar bin Abdul
‘Aziz. Walaupun tidak diragukan bahwa pada masa ‘Umar bin Abdul ‘Aziz itu lebih mulia
daripada Hajjaj. Tapi massanya, tetap. Hal ini karena dimasa Hajjaj itu ada Anas bin Malik dan
para sahabat yang lainnya.

Maka kaum muslimin mengadu kepada Anas bin Malik tentang kedzaliman tentang yang
mereka rasakan. Apa nasihat Anas bin Malik Radhiyallahu Ta’ala ‘Anhu?

ٌ ‫ فَإِنَّهُ الَ يَأْتِى َعلَ ْي ُك ْم زَ َم‬، ‫اصْ بِرُوا‬


ُ‫ان إِالَّ الَّ ِذى بَ ْع َدهُ َش ٌّر ِم ْنه‬

“Sabarlah. Karena tidak datang tahun kecuali akan lebih buruk dari yang sebelumnya.”

Lalu disebutkan yang dimaksud dengan “lebih buruk dari yang sebelumnya” bukan berkaitan
dengan masalah ekonomi, sulitnya mencari harta dan sebagainya, bukan berkaitan dengan itu.
Dalam riwayat yang lain disebutkan:

25
ْ َ‫إِ َذا َذهَب‬
‫ت ُعلَ َما ُؤ ُك ْم‬

“Apabila telah pergi orang-orang alimnya.”

Apabila semua umat Islam dalam semua individunya mereka komitmen kepada apa yang
dibawa oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka pertolongan itu akan dekat. Karena
semua keburukan yang kita dapatkan hari ini dari keburukan para pemimpin kita, maka itu
sesuai dengan kata:

‫كَـ َمـا تَـ ُكـونُـوا يُـولَّـى عَـلَـيْـ ُكـم‬

“Bagaimana kalian, maka demikianlah pemimpin kalian.”

Apabila ketika melihat sesuatu kedzaliman, maka problem solvingnya adalah setiap mukmin
melakukan perombakan jiwa, setiap mukmin melakukan perombakan individu yang dinamakan
dengan istilah revolusi mental dalam arti revolusi karakter, yaitu berkaitan dengan akhlak kita
sebagai seorang muslim, yaitu kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Maka kewajiban kita adalah beribadah kepada Allah. Kemudian kita membereskan diri.
Kemudian jadikanlah bagian-bagian dari shalat kita dalah berdoa untuk kebaikan pemimpin
kita. Sehingga para ulama kita mengatakan: “Seandainya aku memiliki doa yang mustajab,
maka aku akan khususkan doa ini adalah untuk pemimpinku.” Doakan agar pemimpin kita
mendapat hidayah, agar pemimpin kita menjadi pemimpin yang adil.

5. Solusi ketika iman sedang turun

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan bahwa di antara hiruk-pikuk kehidupan dalam
fitnah, maka kita akan sering mendapatkan ujian yang menyebabkan kita lemah. Dan Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun telah mengisyaratkan:

ْ ‫َت فَ ْت َرتُهُ إِلَى ُسنَّتِي فَقَ ْد أَ ْفلَ َح َو َم ْن كَان‬


َ َ‫َت ِش َّرتُهُ إِلَى َغي ِْر َذلِكَ فَقَ ْد هَل‬
‫ك‬ ْ ‫إِ َّن لِ ُكلِّ َع َم ٍل ِش َّرةٌ َولِ ُك ِّل ِش َّر ٍة فَ ْت َرةٌ فَ َم ْن كَان‬

“Dalam setiap kondisi semangat, akan datang masa yang lemah. Maka barangsiapa yang
melemahnya kepada sunnahku, maka ia akan selamat. Dan barangsiapa yang dalam kondisi
lemahnya kepada selain sunnah, maka dia akan celaka.” (HR. Ibnu Hibban)

Dahsyatnya fitnah hari ini terkadang akan mengurangi dan menguras kondisi iman kita.
Semangat beramal berkurang, semangat mencari ilmu adalah berkurang. Solusinya adalah
‘Umar bin Khattab menjelaskan hadis yang tadi, beliau mengatakan:

‫ وإن أدبرت فألزموها الفرائض‬، ‫ فإذا أقبلت فخذوها بالنوافل‬، ‫إن لهذه القلوب إقباال وإدبارا‬

“Hati itu ada bolak-balinya, turun naiknya. Apabila sedang semangat, sedang kuat, maka
tunaikanlah perkara-perkara yang wajib dan ikutilah dengan perkara-perkara yang sunnah. Jika
dalam keadaan lemah, maka komitmenlah kepada perkara yang wajib.”

26
DAFTAR PUSTAKA

 Abdul Ghani Abdullah, Pengantar Komopilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum
Indonesia Jakarta, Gema Insani Press, 1994.
 Dahlan Idhamy, Karakteristik Hukum Islam, Jakarta, Media Sarana Press, 1987.
 Departemen Agama RI, Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi
Umum, Jakarta : Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2001.
 Hamdan Mansoer, dkk, Materi Instruksional Pendidikan Agama Islam, Jakarta :
Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam, 2004.

 Sumber: Majalah As-Sunnah Edisi 12 Tahun ke-7 1424/ 2004 dengan beberapa
penyuntingan seperlunya oleh redaksi www.khotbahjumat.com
Artikel www.khotbahjumat.com
 Syaikh Shâlih Fauzân bin Abdillâh Al Fauzân
 Referensi: https://almanhaj.or.id/3693-mewaspadai-fitnah-ujian-di-zaman-
modern.html
 Penulis al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf al-Atsari

27
 Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, Syaikh Ibn Baz (7/327-329)]
[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min
Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi
Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerbit Darul Haq]
 Referensi: https://almanhaj.or.id/1466-cara-amar-maruf-dan-nahi-
mungkar-serta-hikmah-di-baliknya.html
 al-Syaibani>,Abu> Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hala>l bin Asad.
2001. Musnad Ima>m bin Hambal. Tk: Ma’susah al-Risalah
 al-salah}, Abu ’Amr ‘Utsman ibn ‘Abd al-Rahman Ibn. 1972. U>lum al-
H}adith. al-Madinah al Munawwarah: al-Maktabah al-Islamiyah
 Arif, Syamsudin, “Transmigrasi Ilmu: Dari Dunia Islam ke Eropa”, dalam Tsaqafah,
Jurnal Peradaban Islam, Vol. 6 No. 2, Oktober 2010.
 al-Asyqar, Muhammad Sulayman, al -Mustasyfa, Beirut: Mu’assasah al-Risa>lah, 1997

28

Anda mungkin juga menyukai