Anda di halaman 1dari 7

ANALISIS WACANA

Mengadakan pendekatan telaah bahasa sebagai wacana berarti memberi penekanan pada
fungsinya. Ini berarti bahwa pertanyaan yang diajukan mengenai setiap bagian atau segmen
bahasa tertentu bukanlah melulu mengenai bentuk, tetapi juga mengenai
penggunaan/pemakaiannya: apa yang ingin dicapai oleh pembicara (atau penulis), dan apa
sebenarnya yang diperolehnya, dengan bagian bahasa yang khas ini? Orang awam yang terdidik
mungkin saja mengenali/menemukan tiga hal yang dapat kita lakukan melalui bahasa, yaitu:
1. membuat pertanyaan-pertanyaan;
2. mengeluarkan perintah-perintah;
3. mengajukan pertanyaan-pertanyaan.
Secara tradisional, para penulis bahan pelajaran bahasa asing telah melihat ketiga fungsi
tersebut sebagai dasar dan dari ketiga fungsi itu, seperti yang diamati oleh Wilkins (1976 : 42),
“pernyataan” (atau “laporan”) mendapat perhatian khusus dengan mengorbankan yang dua lagi
(yaitu “perintah” dan “pertanyaan”).1
Kalau kita melakukan hal-hal melalui bahasa, kita melakukan apa yang disebut oleh
Austin (1962) sebagai “tindak tutur” (atau “speech acts”). Jumlah tindak tutur yang dilakukan
rata-rata individu setiap hari, waktu pekerjaan, dan waktu senggangnya membuat dia kontak
dengan orang lain barangkali sampai ribuan. Untuk menguji hal ini, kita dapat membuat rekaman
percakapan selama kira-kira 15 menit dan menghitung jumlah tindak tutur yang dilakukan
selama waktu yang singkat itu. Beberapa tindak tutur terlihat lebih umum dan lebih sering dalam
kebudayaan tertentu daripada dalam kebudayaan lainnya; yang umum itu mencakup “bertanya,
menolak, memuji, memerikan, memaafkan, menjelaskan,” sedangkan yang jarang-jarang adalah
“menaruh simpati, menyalahkan, dan memfitnah”.
Kalau kohesi tekstual selalu ditandai secara jelas dengan berbagai cara, fungsi-fungsi
tindak tutur dapat ditandai dengan cara tertentu atau hanya secara implisit saja. Perhatikanlah
penampilan tindak tutur “menyarankan” yang dapat direalisasikan dengan dua cara seperti
berikut ini:
1.) Saya menyarankan anda pergi berobat ke Puskesmas.
2.) Saya akan pergi berobat ke Puskesmas kalaulah saya ini adalah Anda.

1
Henry Guntur tarigan. Pengajaran Analisis Kontrastif Bahasa. 2009. Bandung: Angkasa
Bandung hlm. 193
Pada (1), tindak tutur itu ditandai secara leksikal, sedangkan pada (2) ditandai secara
tersirat, secara implisit. Jadi, jelas memang ada “penanda waca” atau “discourse markers” yang
dapat kita manfaatkan untuk menentukan jenis tindak tutur itu.
Banyak upaya yang telah dilakukan untuk mengklasifikasikan penanda wacana ini.
Winter (1971) memperkenalkan lima kategori “connectives” yang paling sering digunakan di
dalam teks-teks ilmiah bahasa Inggris, yaitu:
a) Logical sequence: thus, therefore, then,thence, consequently, so ...
b) Contrast: however, in fact, conversely
c) Doubt and Certainly: probably, possibly, indubitably ...
d) Non-contrast: moreover, likewise, similarly ...
e) Expansion: for example, in particular ...2
kata-kata penghubung atau “connectives” itu berfungsi untuk menyatakan kepada
pembaca (atau penyimak) jenis-jenis hubungan logis yang dirasakan oleh penulis (atau
pembicara) ada di antara urutan-urutan ucapan atau batas-batas ucapan di dalam suatu teks.
Kaplan (1972) bahwa para petutur bahasa Inggris memperlihatkan adanya enam fungsi
retoris, yaitu: “delfinition, classification, comparison, contrast, analisis, synthesis,”, yang paling
sering dipakai di dalam wacana ilmiah. Penjelasan-penjelasan Kaplan berdasarkan kenyataan
bahwa para petutur suatu bahasa adalah para pemakai seperangkat sarana retoris yang distingtif.
Suatu penjelasan alternatif dan lebih luas mengenai mengapa para petutur bahasa yang sama
memproses wacana dengan berbagai cara yang menjamin “intellegibility” atau “ketrpahaman”
ialah bahwa mereka menggunakan konvensi-konvensi untuk mengkaitkan peristiwa-peristiwa
bahasa dengan konteks. Penelitian atau pengkajian terhadap/mengenai bagaimana caranya
bahasa dan konteks dihubungkan untuk mencapai interpretasi dikenal sebagai “pregmatik”, atau
lebih mutakhir lagi “pragmalinguistik”. Stalnaker (1972 : 383) menyejajarkan pragmatik dengan
cabang-cabang linguistik lainnya: “sintaksis menelaah kalimat, semantik menelaah proposisi;
pragmatik adalah telaah mengenai tindak linguistik dan konteks tempatnya ditampilkan”.
Pengertian “konteks” memang amat luas karena mencakup antara lain “... maksud dan tujuan
pembicara, pengetahuan, keyakinan, harapan, atau perhatian pembicara dan penyimaknya,
tindak-tindak tutur lain yang telah ditampilkan dalam konteks yang sama, waktu tuturan, nilai

2
Henry Guntur tarigan. Pengajaran Analisis Kontrastif Bahasa. 2009. Bandung: Angkasa
Bandung hlm. 195
kebenaran gagasan yang dilontarkan ...”. komunikasi akan berhasil kalau antara pembicara dan
penyimak terdapat keserasian atau kecocokan antara hal-hal yang telah kita sebutkan di atas tadi.
Bila terjadi demikian, mereka berada dalam suatu kelompok yang padu; dan kelompok seperti ini
disebut oleh Yngve (1975 : 56) sebagai “colingual community” yang dibatasinya sebagai
“sekelompok individu-individu yang dapat berkomunikasi satu sama lain dengan cara-cara
tertentu yang merupakan karakteristik kelompok tersebut”.3
Yang menjadi masalah bagi pembelajar bahasa asing ialah bagaimana caranya menjadi
anggota suatu “masyarakat kolingual” yang baik karena bisnisnya terkait dengan bahasa asing
itu. Dengan perkataan lain, bagaimana caranya mem – B1 – kan B2 itu. Tentu saja pengetahuan
mengenai kode linguistik dengan sendirinya penting, tetapi yang tidak kurang pentingnya adalah
pengetahuan diluar linguistik,yaitu pengalaman yang sangat membantu meningkatkan
kualifikasinya sebagai anggota masyarakat kolingual. Jika pengetahuan yang terakhir ini benar-
benar dikuasai sepenuhnya, pengetahuan mengenai sandi/kode linguistik tidak perlu
dikembangkan/diperluas: inilah sebabnya maka para ilmuwan asing dapat dengan mudah
berkomunikasi mengenai ilmu pengetahuan dalam suatu “lingua franca” seperti bahasa Inggris.
Itu pula sebabnya mereka relatif sukar mendiskusikan masalah-masalah nonilmiah di bar-bar
pada malam hari. Mereka bukan merupakan anggota masyarakat kolingual dalam bidang-bidang
politik, olahraga, atau masalah umum lainnya.
Labov (1972) membedakan tiga- tipe peristiwa tempat ujaran atau tuturan mengacu:
a) Peristiwa-peristiwa A : ini terutama sekali berkaitan dengan pembicara/penulis sekarang ini.
b) Peristiwa-peristiwa B: yang berkaitan dengan penyimak/pembaca.
c) Peristiwa-peristiwa AB : yang dianggap secara umum berkaitan dengan pembicara/penulis dan
penyimak/pembaca.4
Labov menunjukan bahwa berbagai interpretasi dibuat terhadap suatu ucapan bergantung
pada pandangan terhadap hal itu yang dibuat oleh penyimak/pembaca yang mengacu pada
peristiwa A, B, AB. Jadi, kalau permbicara/penulis membuat suatu pernyataan mengenai
peristiwa B, penyimak/pembaca mendengar/membacanya sebagi suatu permintaan. Buat

3
Henry Guntur tarigan. Pengajaran Analisis Kontrastif Bahasa. 2009. Bandung: Angkasa
Bandung hlm. 196
4
Henry Guntur tarigan. Pengajaran Analisis Kontrastif Bahasa. 2009. Bandung: Angkasa
Bandung hlm. 197
penegasan, yang mengimplikasikan sesuatu berupa “saya mengira bahwa saya benar untuk
meyakini bahwa :
Pembicara/penulis : Anda orang Bandung.
Penyimak/pembaca : Ya/Tidak/ Benar, dan sebagainya.
Perlu dicatat bahwa pembicara/penulis mengharapkan suatu jawaban afirmatif dari
penyimak/pembaca, dan penyimak/pembaca mengetahui hal itu. Oleh karena itu, kalau
penyimak/pembaca ingin mengoreksi pembicara/penulis, dia cenderung berbuat demikian
dengan suatu cara yang bersifat otoritatif. Dalam hal ini, suatu konvensi sosiolinguistik telah
berlangsung: B beranggapan bahwa pernyataan-pernyataan yang dibuat oleh A dalam kehadiran
B haruslah mengarah kepada otoritas B.
Memang dalam pembicaraan mengenai wacana, “presupposition” atau “persangkaan”
merupakan suatu unsur penting; dan sehubungan ini tidak kalah pentingnya adalah “kaidah-
kaidah interpretasi” yang harus diterapkan oleh penyimak/pembaca terhadap ucapan-ucapan agar
dapat mengenali tindak-tindak tutur yang diembannya. Berikut ini kita kemukakan sebuah
kaidah/aturan seperti itu:
“Kalau A meminta B untuk melakukan suatu aksi X pada suatu waktu W, ucapan A akan
terdengar sebagai suatu perintah yang sahih hanya kalau prakondisi-prakondisi berikut ini
terpenuhi:
B percaya vahwa A yakin:
1) X perlu dilakukan untuk tujuan/maksud Y;
2) B mempunyai kemampuan melakukan X;
3) B mempunyai kewajiban melakukan X;
4) A mempunyai hak menyuruh B melakukan X.
Prakondisi-prakondisi ini muncul dalam hampir semua/setiap kaidah interpretasi dan
produksi yang ingin dicapai dalam kaitannya dengan perintah-perintah atau suruhan-suruhan”
(Labov . 1972 : 255).5

5
Henry Guntur tarigan. Pengajaran Analisis Kontrastif Bahasa. 2009. Bandung: Angkasa
Bandung hlm. 198
Widdowson (1975) memanfaatkan kerangka-kerja Labov ini dalam dua cara yang sangat
menarik bagi pakar kontrastif. Dia mendaftarkan tidak kurang dari 17 cara penerapan perintah
dalam bahasa Inggris.6
a) Pembicara dapat mengacu kepada salah satu dari keempat kondisi tersebut “secara
langsung” dengan sebuah kalimat deklaratif atau kalimat berita.
1) These windows need clearing.
2) You can clean windows John.
3) You are in charge of windows.
4) It’s my duty to make sure the windows get cleaned.
b) Pembicara dapat mengacu “secara tidak langsung” pada keempat kondisi itu. Dia
melakukan suatu “tindak tutur tak langsung” yang dibatasi oleh Searle (1975 : 60)
sebagai “kasus-kasus tempat satu tindak ilokusi dilakukan secara tidak langsung dengan
cara melakukan yang lain”. Searle memberi contoh jawaban B terhadap usulan/anjuran A
dalam:
A : Let’s go to the movies tonight.
B : I have to study for an exam.
Dia menambahkan bahwa tindak-tindak tak langsung jenis ini digunakan untuk
“petunjuk/isyarat/gambaran, sindiran, ironi dan metafora”. Isyarat-isyarat yang mungkin
untuk mmembuat B membersihkan jendela mencakup :
1) I can’t see through these windows.
2) I’m to ill to clean these windows.
3) Somebody’s forgotten to clean the windows.
4) I hate having to tell people to clean the windows.
c) Pembicara dapat menarik perhatian penyimak keempat kondisi itu dengan menggunakan
interogatif yang mengacu secara, lengsung kepada masing-masing:
1) Are those windows clean?
2) Have you been tooll to clean windows?
3) Aren’t you in charge of the window-cleaning?
4) Did I forget to tell you to clean the windows?

6
Henry Guntur tarigan. Pengajaran Analisis Kontrastif Bahasa. 2009. Bandung: Angkasa
Bandung hlm. 199
d) Pembicara mengacu “secara tidak langsung” kepada kondisi-kondisi itu dengan bantuan
interogatif. Tak ada satu pun yang membuat acuan eksplisit kepada kondisi-kondisi itu.
Penyimak harus melakukan hal itu untuk membuat hubungan-hubungan atau koneksi-
koneksi yang diperlukan:
1) Do you like living in a dark room?
2) Have you run out of “windowlene” then?
3) Have I meet the new chap in charge of windowcleanning?
4) Do you think I like going round giving people orders all day?
Dan akhirnya ada juga imperatif untuk menyatakan perintah:
5) Clean those windows.
Selanjutnya, Widdowson mengutarakan bahwa dengan bantuan perangkat-perangkat
kondisi-kondisi tersebut, pendekatan terhadap spesifikasi tindak tutur dapat diperluas untuk
meliputi seluruh perangkat tindak-tindak tutur yang berkaitan. Pertama-tama ada keluarga
tindak-tindak tutur yang berbagi ciri realisasi konvensial “perintah” dengan imperatif, paling
tidak dalam bahasa Inggris:7
Instruction : Report to General H.Q. at 0 : 600 hours.
Direction : Turn left at the supermarket.
Advice : See a doctor about that caugh.
Appeal : Be a blood donor.
Prayer : Forgive us our trespasses.
Warning : Watch out for falling rock.
Sekarang kalau kita tambahkan selanjutnya kondisi yang enam ini kepada keempat
kondisi tersebut untuk menentukan tindak “perintah” itu, kita dapat menetapkan secara tersendiri
keenam tindak yang berkaitan dengannya juga. Keenam kondisi tambahan itu adalah:
1) Pembicara mengacu kepada suatu tindak yang perlu bagi pencapaian suatu tujuan tertentu.
2) Pembicara mengacu/suatu tindak yang perlu kalau penyimak ingin menghindari
konsekuensi-konsekuensi yang tidak diinginkan.
3) Pembicara mengacu kepada suatu tindak yang menguntungkan penyimak.
4) Pembicara mengacu kepada suatu tindak yang menguntungkan pembicara.

7
Henry Guntur tarigan. Pengajaran Analisis Kontrastif Bahasa. 2009. Bandung: Angkasa
Bandung hlm. 200
5) Pembicara memiliki pengetahuan yang tidak/kurang diketahui oleh penyimak.
6) Pembicara tidak dapat melaksanakan tindak yang diacu oleh pembicara.

Sumber :
Henry Guntur tarigan. Pengajaran Analisis Kontrastif Bahasa. 2009. Bandung: Angkasa
Bandung hlm. 193-201

Anda mungkin juga menyukai