Anda di halaman 1dari 6

Tugas Case #5

Pembimbing : dr. Melanie Rakhmi Mantu, Sp.A (K), M.Kes


Disusun oleh :
Devin Alexander
406192040

1. bagaimana prosedur pemeriksaan OAE dan BERA ?


OAE (otoacoustic Emmision)
OAE merupakan suara dengan intensitas rendah yang dihasilkan pada koklea yang normal,
baik secara spontan maupun respon dari rangsang akustik. Pemeriksaan ini dilakukan untuk
menilai fungsi dari koklea, terutama fungsi dari sel rambut luar (outher hair cells/OHC).
Kerusakan pada sel rambut luar menyebabkan sel rambut dalam ini tidak dapat menghasilkan
bunyi OAE. Beberapa keunggulan OAE :
 berdasarkan prinsip elektrofisiologik yang obyektif
 aman
 tidak memerlukan prosedur yang invasif atau pengobatan sebelum dilakukan
pemeriksaan
 cepat
 sensitivitas hampir 100%

Sedangkan beberapa kelemahan OAE :

 sangat dipengaruhi bising lingkungan


 jika terdapat kelainan pada telinga luar dan tengah, hasil akan menjadi tidak
objektif

Prosedur pelaksanaan OAE

 pasien (anak) harus dalam kondisi tenang dan dalam posisi duduk. Jika bayi,
posis dalam keadaan terlentang
 masukkan probe akustik yang sudah dipasang plastic tip ke telinga pasien
 stimulus diberikan dari tombol yang ada di alat mesin dan suara pada saluran
telinga ditampilkan dalam bentuk gelombang dan spektrum sehingga operator
dapat menyesuaikan posisi probe agar stimulan yang diberikan adekuat. Kabel
dari probe diarahkan 450 kearah atas, kecuali pada neonatus sudut harus lebih
besar.
 Pastikan probe sudah diposisi dan sudut yang tepat agar hasil pemeriksaan
maksimal


Figure 1: Ideal shape of a click TEOAE stimulus

 Posisi probe yang salah dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan terutama pada
frekuensi yang rendah
 Setelah check fit, tes dapat dimulai. Stimulus awal diulang sebanyak 256 kali
(total 1024 kali klik). respons koklea "tertunda" di saluran telinga diperoleh
dan diakumulasikan dalam bank memori untuk meningkatkan deteksi sinyal
koklea kecil terhadap kebisingan latar belakang.
 Perlu dicatat bahwa neonatal memiliki emisi yang lebih kuat daripada orang
dewasa dan dalam kondisi normal (subjek tenang) rata-rata 20 rangsangan (80
klik) dapat mencukupi.

BERA (Brainstem Evoked Response Auditory)/ ABR (Auditory


Brainstem Response)

BERA merupakan alat yang bisa digunakan untuk mendeteksi dini adanya
gangguan pendengaran, bahkan sejak bayi baru saja dilahirkan. BERA berguna
untuk menilai fungsi batang otak (jalur pendengaran dan Nukleus N.VII) terhadap
rangsangan suara (click) dengan mendeteksi aktivitas listrik pada telinga bagian
dalam ke colliculus inferior. BERA dapat menentukan letak kelainan (Koklea,
Retro koklea, atau batang otak) serta disebabkan oleh psikologis atau tidak

Kelebihan BERA :

 Objektivitas yang tinggi


 Aman
 Tidak nyeri
 Tidak ada efek samping
 Non – invasif
Melalui elektroda di permukaan kulit kepala atau telinga yang cukup jauh dari
sumber generator neural, tes ABR dapat merekam perubahan potensial listrik di
sepanjang jalur pendengarn perifer yang timbul setelah pemberian rangsang suara.
Hasil rekaman tersebut melalui proses amplifikasi komputer dapat menghasilkan
suatu seri gelombang yang menggambarkan aktivitas saraf auditorius dan area
sepanjang jalur pendengaan mulai dari koklea sampai sepanjang saraf auditorius di
batang otak.
BERA merekam perjalanan impuls suara selama 10 detik setelah pemberian
stimulus. Dibagi menjadi 7 (tujuh) gelombang:
 Gelombang I  aktivitas distal N.VIII
 Gelombang II  proksimal N.VIII
 Gelombang III  aktivitas Nukleus koklearis
 Gelombang IV  aktivitas olivarius superior
 Gelombang V  aktivitas lemniskus lateral dan koliulus inferior
 Gelombang VI dan VII  didominasi aktivitas kolikulus inferior

Prosedur BERA :

 Bayi harus dalam keadaan tenang (bila perlu disedasi)


 Melekatkan elektroda pada kulit kepala atau dahi dan prosesus mastoid atau
lobulus telinga
 Rangsang bunyi diberikan melalui head phone atau insert probe
 Gelombang I, III dan V dicatat

Daftar Pustaka:

 TEOAEs Test Procedures. 2012;15(16). Available from :


http://www.otoemissions.org/index.php/en/basics-of-oaes/teoaes/3-teoaes-
test-procedures
 Syamsuddin, A, Wijana, Dewi, YA. Gelombang Auditory Brainstem
Response (ABR) pada Anak di Bawah Lima Tahun. MKB. 2014;46(3):
183-8.
 Wiyardi, IMR, Wiranadha, IM. Gambaran hasil skrining pendengaran pada
pasien dengan keterlambatan bicara & bahasa di poliklinik THT-KL RSUP
Sanglah periode Januari-Desember 2017. Medicina. 2019;50(3): 452-6.
 Azwar. Deteksi Dini gangguan Pendengaran pada Anak. Jurnal kedokteran
Syiah Kuala. 2013;13(1): 59-64.
 Rundjan, L, Amir, I, et al. Skrining Gangguan Pendengaran pada Neonatus
Risiko Tinggi. Sari pediatri. 2005;6(4): 149-54.

 Soni, A. Kanauja, SK, Kaushik, S. Brainstem Evoked Response


Audiometry (BERA) in Neonates with Hyperbillirubinemia. Indian J
Otolaryngol Head Neck Surg. 2016;68(3): 334-8.

2. Apa yang diikerjakan terapis pada terapi sensori intergrasi ?


Sensori intergrasi merupakan suatu terapi yang dilakukan pada anak autisme untuk
mengenal, mengubah dan membedakan sensasi dari sistem sensori untuk
menghasilkan sesuatu respons (perilaku adaptif bertujuan). Menurut teori Ayres,
sensori intergrasi terjadi karena pengaruh input sensori (mendengar, melihat, taktil,
vestibular dan propioseptif). Adanya gangguan pada keterampilan dasar menyebabkan
gangguan mencapai keterampilan yang lebih tinggi. Tujuan dilakukannya terapi ini
adalah mengembalikan fungsi panca indra, propioseptif, serta vestibular. Sensori
integrasi atau terapi indera indra biasanya akan menggarap kelima pancaindera,
persendian, otot, fisik, untuk mendapatkan efek postif bagi penderita autis.
dimunculkan dalam berbagai aktfitas seperti terapi fisik, olahraga dan pelatihan
pendengaran dan tomatis, biasanya para terapis akan menggunakan ayunan,
memberikan sentuhan tactil dan disesuaikan dengan kebutuhan anak autis.

Yang dilakukan terapis pada terapi sensori intergrasi :

Daftar Pustaka :
 Waiman, E, Soedjatmiko, Gunardi, H, Sekartini, R, Endyarni, B. Sensori
integrasi: Dasar dan efektivitas Terapi. Sari pediatri. 2011;13(2): 129-36.
 Yahya, A, Kurniawan, A, Samawi, A. Pengaruh Terapi Sensori Integrasi
Terhadap Kemampuan Motorik Kasar Berjalan Di Atas Garis Siswa Autis.
Jrunal Ortopedagogia. 2015;1(4): 325-9.
 Komariah, F. Program Terapi Sensori Integrasi Bagi Anak Tunagrahita di
Yayasan Miftahul Qulub. Journal of Disability studies. 2018;5(1): 45-72.
 Sumanik. Pelaksanaan Terapi Wicara dan Terapi Sensori Integrasi pada Anak
Terlambat Bicara. Jurnal Pendidikan Islam. 2013;7(1): 20-44.
 Kurniawan, W. Pengaruh Terapi Sensori Integrasi pada Anak Autis yang
Mengalami Gangguan Sensori di Pusat Layanan Autis Provinsi Bangka
Belitung. Jurnal Dakwah dan Pengembangan Sosial Kemanusiaan.
2019;10(1): 96-110.

3. Tingkatan IQ retardasi mental


Retardasi mental merupakan keadaan terhentinya perkembangan pikiran, sehingga
timbul adanya keterbatasan signifikan fungsi intelektual dan perilaku penyesuaian
diri, bahasa, motoik dan diekspresikan dalam konseptual diri, sosial dan adaptasi.
Hambatan berbicara dan berbahasa yang diderita anak retardasi mental memengaruhi
kemampuan anak berinteraksi dengan lingkungan. Seseorang anak dikatakan
mengalami retardasi mental jika nilai IQ nya dibawah rata – rata (<70).
Prevalensi retardasi mental di Indonesia mencapai 1 – 3 % pada populasi umum.
Tingkatan IQ pada retardasi mental:
Retardasi Mental Tingkat IQ
Ringan 50 – 69
Sedang 35 – 49
Berat 20 – 34
Profound <20

Daftar Pustaka :

 https://www.who.int/mental_health/media/en/69.pdf

 Ramayumi, R, Nurdin, AE, Nurhajjah, S. Karakteristik Penderita Retardari


Mental di SLB Kota Bukittinggi. MKA. 2014;37(3): 181-6.
 Sularyo, TS, Kadim, M. Retardasi Mental. Sari Pediatri. 2000;2(3): 170-7.
 Rianti, V, Dharmawan, IF. Efektifitas REBT Mengatasi Kecemasan Orantua
Terhadap Masa Depan Anak Retardasi mental. Jurnal RAP UNP. 2018;9(2):
195-204.

 Fithriya, S, Lestari, S. Peningkatan Interaksi Ibu dan Anak Retardasi Mental


Melalui Pelatihan Bermain Pura – pura. Jurnal Psikologi. 2014;41(2): 165-78.

Anda mungkin juga menyukai