Anda di halaman 1dari 45

KAJIAN ISLAM

1. Iman, Islam, Ihsan


2. Islam dan Sains
3. Islam dan Penegakan Hukum
4. Kewajiban Menegakkan Amar Makruf dan Nahi Munkar
5. Fitnah Akhir Zaman

Disusun sebagai tugas terstruktur Mata Kuliah: Pendidikan Agama Islam

Dosen Pengampuh:

Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos

Disusun Oleh:

Nama : Faturrahman
NIM : F1B020041
Fakultas&Prodi : Fakultas Teknik & Teknik Elektro
Semester : 1 (GANJIL)

PROGRAM STUDI TEKNIK ELEKTRO


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS MATARAM
T.A. 2020/2021

i
KATA PENGANTAR

Asallamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Puji syukur Alhamdulillah penulis haturkan kepada ALLAH SWT. Atas


terselesaikannya tugas artikel ini dengan judul “Iman, Islam, Ihsan, Islam dan Sains,
Islam dan Penegakan Hukum, Kewajiban Menegakkan Amar Makruf dan Nahi Munkar,
Fitnah Akhir Zaman” karena tanpa kesehatan serta kesempatan yang di berikan olleh
ALLAH SWT. Tentunya penulis tidak dapat menyelesaikan tugas ini.

Sholawat dan Salam semoga ALLAH limpahkan kepada Rasulullah Muhammad


SAW karena atas perjuangan beliau-lah yang berhasil mengeluarkan umat islam dari
jaman kegelapan menuju jaman yang terang benderang seperti yang kita rasakan
sampai saat sekarang ini.

Terima kasih saya sampaikan atas bimbingan Bapak Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I.,
M.Sos sebagai dosen pengampuh mata Kuliah Pendidkan Agama Islam yang telah
membimbing saya, sehingga saya dapat menyusun serta menyelesaikan artikel kajian
Islam secara terstruktur ini dengan baik.

Besar harapan saya tugas ini akan memberi manfaat bagi orang-orang yang
membacanya, dan harapan saya juga semoga tugas ini memberikan manfaat tidak hanya
untuk semata-mata di dunia, melainkan juga memiliki manfaat untuk bekal kehidupan
kita di akhirat kelak.

Saya menyadari dari penyusunan artikel ini masih jauh dari kata sempurna, maka dari
itu akan sangat berguna bagi kami kritik dan saran pembaca sekalian demi
menyempurnakan artikel ini.

Penyusun, Mataram 17, Desember, 2020

Nama Faturrahman
NIM F1B020041

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN COVER ······································································· i


KATA PENGANTAR ······································································ ii
DAFTAR ISI ················································································· iii

BAB I IMAN, ISLAM, & IHSAN ························································ 1


A. PENDAHULUAN ·································································· 1
B. HAKIKAT IMAN ·································································· 1
C. HAKIKAT ISLAM ································································· 4
D. HAKIKAT IHSAN ································································· 5
E. KORELASI IMAN, ISLAM, DAN IHSAN ···································· 6
F. KESIMPULAN ····································································· 7

BAB II ISLAM & SAINS ·································································· 8


A. PENDAHULUAN ·································································· 8
B. PENGERTIAN SAINS ···························································· 8
C. RELEVANSI SAINS DAN ISLAM ············································· 9
D. AL-QUR‟AN SEBAGAI SUMBER ILMU SAINS ··························· 10
E. KESIMPULAN ····································································· 13

BAB III ISLAM DAN PENEGAKAN HUKUM ······································· 14


A. HUKUM DAN KEADILAN DALAM ISLAM ································ 14
B. PENEGAKAN HUKUM ·························································· 17

BAB IV KEWAJIBAN MENEGAKAN AMAR MAKRUF


DAN NAHI MUNGKAR ··································································· 21
A. PENGERTIAN AMAR MAKRUF DAN NAHI MUNGKAR ··············· 21
B. KEWAJIBAN MENEGAKAN AMAR MAKRUF
DAN NAHI MUNGKAR ························································· 22
C. SYARAT DAN ETIKA BERAMAR MAKRUF NAHI MUNGKAR ······ 25

iii
BAB V FITNAH AKHIR ZAMAN ······················································· 30
A. PENDAHULUAN ·································································· 30
B. FITNAH AKHIR ZAMAN ························································ 30
C. KIAT MENGHADAPI FITNAH AKHIR ZAMAN ··························· 33

DAFTAR PUSTAKA ······································································· 40

iv
BAB I
IMAN, ISLAM, & IHSAN

A. PENDAHULUAN

Dalam agama Islam memiliki tiga tingkatan yaitu Islam, Iman, dan Ihsan. Tiap-
tiap tingkatan memiliki rukun-rukun yang membangunnya.

Jika Islam dan Iman disebut secara bersamaan, maka yang dimaksud Islam
adalah amalan-amalan yang tampak dan mempunyai lima rukun. Sedangkan yang
dimaksud Iman adalah amal-amal batin yang memiliki enam rukun. Dan jika
kekurangan berdiri sendiri-sendiri, maka masing-masing menyandang makna dan
hukumnya terpisah.

Ihsan berarti baik. Orang yang jiwa Ihsan berarti muhsin berarti orang yang baik.
setiap perbuatan yang baik yang nampak pada sikap jiwa dan prilaku yang sesuai
atau dilandaskan pada aqidah da syariat Islam disebut Ihsan. Dengan demikian
akhlak dan Ihsan adalah dua pranata yang berada pada suatu sistem yang lebih
besar yang disebut akhlaqul karimah.

B. HAKIKAT IMAN

Iman adalah keyakinan yang menghujam dalam hati, kokoh keyakinan penuh
tanpa dicampuri keraguan sedikitpun. Sedangkan keimanan dalam Islam itu sendiri
adalah percaya kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, Rasul-rasul-
nya, hari akhir dan beriman kepada takdir baik dan buruk. Iman perbuatan, ucapan
hati dan lisan, amal hati dan amal lisan serta amal anggota tubuh. Iman bertambah
ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan.

Kedudukan Iman lebih tinggi dari Islam, Iman memiliki cakupan yang lebih
umum dari pada cakupan Islam, karena ia mencakup Islam, maka seorang hamba
memenuhi keImanan kecuali jika seorang hamba telah mampu mewujudkan

1
keislamannya. Iman juga lebih khusus dipandang dari segi pelakunya, karena
pelaku keimanan adalah kelompok dari pelaku keIslaman dan tidak semua pelaku
keIslaman menjadi pelaku keimanan, jelaslah setiap mukmin adalah muslim dan
tidak setiap muslim adalah mukmin.

Keimanan tidak terpisah dari amal, karena amal merupakan buah keimanan dan
salah satu indikasi yang terlihat oleh manusia. Karena itu Allah menyebut Iman
dan amal soleh secara beriringan dalam surat Al Anfal ayat 2-4 yang artinya:

Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang


beriman itu adalah mereka yang jika disebut nama Allah gemetarlah hati mereka,
dan bersama dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya, bertambahlah iman mereka
(peningkatanlah) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal, (yaitu ) orang-orang
yang menyiapkan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rizki yang kami
berikan kepada me-reka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benar-
nya. ” (Al-Anfal: 2-4)

Keimanan memiliki satu ciri yang sangat khas, yaitu dinamis. Yang memandang
keimanan beriringan dengan amal soleh, sehinga mereka menganggap keImanan
akan bertambah dengan bertambahnya amal soleh. Akan tetapi ada sebagaian
ulama yang melihat Iman berdasarkan sudut pandang bahwa ia merupakan aqidah
yang tidak menerima pemilahan (dikotomi). Maka hanya memiliki dua
kemungkinan saja: mukmin atau kafir, tidak ada posisi lain diantara seseorang.
Karena itu mereka berpendapat bahwa Iman tidak bertambah dan tidak berkurang.

Iman adakalanya bertambah dan adakalanya berkurang, maka dapat diketahui


kriteria bertambahnya Iman hingga sempurnanya Iman, yaitu:

1) Yakin dalam hati


2) Diucapkan dengan lisan
3) Diamalkan dengan anggota tubuh.

2
Sedangkan dalam Islam sendiri jika membahas mengenai Iman tidak akan terlepas
dari adanya rukun Iman yang enam, yaitu:

1) Iman kepada Allah


2) Iman kepada malaikatNya
3) Iman kepada kitabNya
4) Iman kepada rosulNya
5) Iman kepada Qodho dan Qodar
6) Iman kepada hari akhir

Demikianlah kriteria amalan hati dari pribadi yang beriman, yang jika telah
tertanam dalam hati seorang mukmin enam keimanan itu maka akan secara
otomatis menentukan dalam prilakunya sehari-hari yang sinergi dengan kriteria
keImanan terhadap enam poin di atas.

Jika Iman adalah suatu keadaan yang dinamis, maka sesekali didapati kelemahan
Iman, maka yang harus kita lakukan adalah menilai segala lini dari hal-hal yang
dapat menilai Iman kembali. Hal-hal yang dapat dilakukan bisa kita mulai dengan
efek aqidah, serta ibadah kita karena Iman bertambah taat dan berkurang karena
maksiat.

Ketika Iman telah mencapai taraf yang diinginkan maka akan dirasakan oleh
pemiliknya suatu hari manisnya Iman, sebagaimana hadits Nabi Muhammad saw.
yang artinya:

“Tiga perkara yang ada di dalam seseorang, maka ia akan merasakan manisnya
Iman: Menjadikan Alloh dan RosulNya lebih dicintainya melebihi dari kelebihan,
mencintai seseorang yang tidak dicintainya karena Alloh, yang mengenali dirinya
kembali kepada kekufuran sebagaImana bencinya ia kembali dilemparkan ke
dalam api neraka. " (HR.Bukhori Muslim).

3
C. HAKIKAT ISLAM

Islam bersal dari kata, as-salamu , as-salmu , dan as-silmu yang berarti
menyerahkan diri, pasrah, tunduk, dan patuh. Berasal dari kata as-silmu atau as-
salmu yang berarti damai dan aman. Berasal dari kata as-salmu, as-salamu, dan as-
salamatu yang berarti bersih dan selamat dari kecacatan-kecacatan lahir dan batin.

Pengertian Islam menurut istilah yaitu, sikap penyerahan diri (kepasrahan,


ketundukan,) seorang hamba kepada Tuhannya dengan senantiasa melaksanakan
perintahnya dan menjauhi larangannya, demi mencapai kedamaian dan
keselamatan hidup, di dunia maupun di akhirat.

Siapa saja yang menyerahkan diri atas diri hanya kepada Allah, maka ia seorang
muslim, dan barang siapa menyerahkan diri kepada Alloh dan selain Alloh maka ia
seorang musyrik, sedangkan yang tidak menyerahkan diri kepada Alloh maka
seorang kafir yang sombong .

Dalam pengertian ini, kata Islam dekat dengan arti kata agama. Senada dengan
hal itu Nurkholis Madjid berpendapat bahwa sikap pasrah kepada Tuhan adalah
hakikat dari Islam. Dari pengertian itu, seolah Nurkholis Madjid ingin memahami
kita memahami Islam dari sisi manusia sebagai yang sejak dalam kandungan sudah
diatur dan ketundukan kepada Tuhan, sebagaImana yang telah diisyaratkan dalam
surat al-A'rof ayat 172 yang artinya:

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan
Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah
Aku Ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), kami
menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap Ini (keesaan Tuhan)”

4
Berkaitan dengan Islam sebagai agama, maka tidak dapat terlepas dari adanya
unsur-unsur pembentuknya yaitu berupa rukun Islam, yaitu:

1) Membaca dua kalimat Syahadat


2) Mendirikan sholat lima waktu
3) Menunaikan zakat
4) Puasa Romadhon
5) Menunaikan ibadah haji bagi yang mampu

D. HAKIKAT IHSAN

Ihsan berarti baik. Orang yang identitas Ihsan disebut muhsin berarti orang yang
baik. setiap perbuatan yang baik yang nampak pada sikap jiwa dan prilaku yang
sesuai atau dilandaskan pada aqidah dan syariat Islam disebit Ihsan. Dengan
demikian akhlak dan Ihsan adalah dua pranata yang berada pada suatu sistem yang
lebih besar yang disebut akhlaqul karimah.

Adapun dalil mengenai Ihsan dari hadits adalah potongan hadits Jibril yang
sangat terkenal (dan panjang), seperti yang diriwayatkan oleh Umar bin Khattab,
ketika nabi ditanya mengenai Ihsan oleh malaikat Jibril dan nabi menjawab:

“ Hendaklah tepat pada saat Allah seolah-olah engkau akan melihatNya. Tapi jika
kamu tidak melihatNya, maka sebenarnya Allah melihatmu”

Hadits tersebut menunjukan bahwa untuk melakukan Ihsan, sebagai rumusnya


adalah memposisikan diri saat itu, kepada Allah seakan-akan kita bisa melihatNya,
atau jika belum bisa memposisikan seperti itu maka posisikanlah bahwa kita selalu
dilihat olehnya sehingga akan muncul kesadaran dalam diri untuk tidak melakukan
tindakan selain Ihsan atau perilaku baik.

5
E. KORELASI IMAN, ISLAM, DAN IHSAN

Diatas telah dibahas tentang ketiga hal tersebut, disini, akan dibahas hubungan
timbal balik antara ketiganya. Iman yang merupakan landasan awal, bila
diumpamakan sebagai pondasi dalam keberadaan rumah, sedangkan islam
merupakan entitas yang berdiri diatasnya. Maka, ramah iman seseorang lemah,
maka islamnya pun akan mendukung, lebih akan rubuh. Dalam realitanya
pelaksanaan pelaksanaan sholat akan tersendat-sendat, sehingga tidak dilakukan
pada waktunya, atau malah mungkin tidak terdirikan. Zakat tidak tersalurkan,
puasa tak terlaksana, dan lain sebagainya. Malah, iman akan kokoh bila islam
seseorang ditegakkan. Karena iman terkadang bisa menjadi tebal, kadang juga
menjadi tipis, karena perbuatan yang akan mempengaruhi hati. Sedang hati sendiri
merupakan wadah bagi iman itu.

Dalam hal ini, sayyidina Ali pernah berkata:

Artinya : Sahabat Ali kw. Berkata: sesungguhnya iman itu terlihat seperti sinar
yang putih, seorang hamba melakukan permohonan, maka sinar tersebut akan
tumbuh dan bertambah sehingga hati (berwarna) putih. Sedangkan kemunafikan
terlihat seperti titik hitam, maka bila seorang melakukan perkara yang diharamkan,
maka titik hitam itu akan tumbuh dan bertambah hingga hitamlah (warna) hati.

Adapun ihsan, bisa diumpamakan sebagai hiasan rumah, bagaimana rumah tersebut
bisa terlihat mewah, terlihat indah, dan megah. Sehingga padat menarik perhatian
dari banyak pihak. Sama halnya dalam ibadah, bagaimana ibadah ini bisa
mendapatkan perhatian dari sang kholiq, sehingga dapat diterima olehnya. Tidak
hanya asal menjalankan perintah dan menjauhi larangannya saja, melainkan
berusaha bagaimana perbuatan itu bisa bernilai plus dihadapan-Nya. Seperti yang
telah berdiri di atas kita hanyalah sebagai hamba, sebisa mungkin kita bekerja,
menjalankan perintah-Nya untuk mendapatkan perhatian dan ridlonya. Disinilah
hakikat dari ihsan.

6
F. KESIMPULAN

Iman, islam dan ihsan merupakan tiga rangkaian konsep agama islam yang
sesuai dengan dalil, Iman, Islam dan Ihsan saling berhubungan karena seseorang
yang hanya menganut Islam sebagai agama belumlah cukup tanpa dibarengi
dengan Iman. Malah, Iman mengatasi berarti apa-apa jika tidak didasari dengan
Islam. Selanjutnya, kebermaknaan Islam dan Iman akan mencapai kesempurnaan
jika dibarengi dengan Ihsan, sebab Ihsan merupakan perwujudan dari Iman dan
Islam, yang sekaligus merupakan cerminan dari kadar Iman dan Islam itu sendiri.

7
BAB II
ISLAM & SAINS

A. PENDAHULUAN

Sains merupakan kebutuhan pokok bagi setiap individu untuk menghadapi


zaman yang sarat dengan persaingan ini, tak terkecuali kaum muslimin. Karena
dengan sains, seseorang bisa dihormati dan diakui keberadaannya oleh
masyarakat. Selain itu, sains juga menjadi salah satu indikator kemajuan suatu
bangsa, karena pada dasarnya semua bidang kehidupan memerlukan sains.

Dari sinilah, untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, kita kaum
muslimin harus berusaha mempelajari dan menguasai sains. Tapi, disisi lain, kita
juga tidak diperbolehkan untuk melanggar ajaran Islam yang telah disempurnakan
oleh Allah SWT. Karena pada hakikatnya, semua yang ada di alam semesta ini
akan kembali kepadanya, bahkan sebenarnya sains dan berbagai ilmu lainnya
telah terkandung di dalam kalamnya, al-Qur‟an.

Hal-hal itu kita lakukan dengan tujuan agar Islam bisa menjaga persaingan
dengan negara-negara Barat, yang notabennya adalah penguasa sains masa kini.
Disamping itu, dengan mentaati ajaran Allah, maka kita akan selalu mendapatkan
perlindungan dan ridhanya.

B. PENGERTIAN SAINS

Istilah sains diambil dari bahasa Latin scio, scire, scientia, yang bermakna ”aku
tahu, mengetahui, pengetahuan” tentang apapun oleh siapapun dengan cara
apapun. Sains berarti ilmu, sains juga dapat diartikan sebagai pengetahuan tentang
suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu yang
dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang
(pengetahuan) itu dan bersifat koheren, empiris, sistematis, dapat diukur dan
dibuktikan.

8
C. RELEVANSI SAINS DAN ISLAM

Sains memang merupakan hal yang sangat penting, apalagi di zaman modern
ini, yang sangat menjunjung tinggi nilai rasionalitas (terutama negara Barat),
sehingga segala sesuatu harus disesuaikan dengan logika. Tapi, kita sebagai kaum
Muslimin harus selalu menjunjung tinggi nilai-nilai agama Islam, meskipun pada
kenyataannya kita juga harus menyesuaikan dengan perkembangan zaman.

Sebenarnya, bila kita amati, antara ajaran Islam dengan pendidikan sains tidak
ada pertentangan, bahkan Islam mewajibkan umatnya untuk mencari ilmu. Salah
satu dasar (dalil) yang populer adalah hadits Rasulullah SAW.

Artinya : Rasulullah SAW. bersabda : “Mencari ilmu itu hukumnya wajib bagi
setiap orang Islam laki-laki dan perempuan.”

Dalam hadits tersebut memang jelas disebutkan bahwa hukum mencari ilmu
adalah fardhu ain (harus dilakukan per individu). Tapi, banyak pendapat yang
muncul dalam menentukan ilmu mana yang dimaksud dalam hadits tersebut. Para
ahli ilmu kalam memandang bahwa belajar teologi merupakan sebuah kewajiban,
sementara para fuqaha‟ berpikir bahwa ilmu fiqih dicantumkan dalam al-Qur‟an.
Sedangkan menurut Imam Ghazali, ilmu yang wajib dicari menurut agama adalah
terbatas pada pelaksanaan kewajiban syari‟at Islam yang harus diketahui dengan
pasti. Misalnya, seseorang yang bekerja sebagai peternak binatang, haruslah
mengetahui hukum-hukum tentag zakat.

ilmu (sains) yang dipelajari haruslah bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan


bangsa, menyejahterakan umat, mensyiarkan ajaran-ajaran agama Islam. Tidak
dibenarkan, apabila ada orang Islam yang menuntut ilmu pengetahuan hanya
untuk mengejar pangkat, mencari gelar, dan keuntungan pribadi. Selain itu, ilmu
yang telah didapat harus disebarkan (diajarkan kepada orang lain) dan diamalkan
(tingkah lakunya sesuai dengan ilmunya). Bila seseorang dapat melakukan ketiga
hal tersebut, maka derajat orang tersebut diangkat oleh Allah dan disamakan

9
dengan orang-orang yang berjuang di medan perang (berjihad di jalan Allah).
Tentu kita sebagai hambanya menginginkan hal tersebut.

Sebagai umat muslim, kita membutuhkan sains yang disusun dari kandungan
Islam yang memiliki proses dan metodologi yang mempu bekerjasama dengan
semangat nilai-nilai Islami dan yang dilaksanakan semata-mata untuk
mendapatkan keridhaan dari Allah. Sains semacam ini akan mampu memenuhi
kebutuhan masyarakat Muslim dan bekerjasama dalam konteks etika Islam. Sifat
dasar dan jenis sains ini harus jauh berbeda dari sains Barat.

D. AL-QUR‟AN SEBAGAI SUMBER ILMU SAINS

Di zaman sekarang, bila kita amati banyak orang yang mencoba menafsirkan
beberapa ayat al-Qur‟an dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan modern.
Tujuan utamanya adalah untuk menunjukkan mukjizat al-Qur‟an sebagai sumber
segala ilmu, dan untuk menumbuhkan rasa bangga kaum muslimin karena telah
memiliki kitab yang sempurna ini.

Tetapi, pandangan yang menganggap bahwa al-Qur‟an sebagai sebuah sumber


seluruh ilmu pengetahuan ini bukanlah sesuatu yang baru, sebab kita mendapati
banyak ulama besar kaum muslim terdahulu pun berpandangan demikian.
Diantaranya adalah Imam al-Ghazali. Dalam bukunya Ihya „Ulum al-Din, beliau
mengutip kata-kata Ibnu Mas‟ud: “Jika seseorang ingin memiliki pengetahuan
masa lampau dan pengetahuan modern, selayaknya dia merenungkan al-Qur‟an”.
Selanjutnya beliau menambahkan: “Ringkasnya, seluruh ilmu tercakup di dalam
karya-karya dan sifat-sifat Allah, dan al-Qur‟an adalah penjelasan esensi, sifat-
sifat, dan perbuatan-Nya. Tidak ada batasan terhadap ilmu-ilmu ini, dan di dalam
al-Qur‟an terdapat indikasi pertemuannya (al-Qur‟an dan ilmu-ilmu)”.

Mukjizat Islam yang paling utama ialah hubungannya dengan ilmu


pengetahuan. Surah pertama (al-Alaq, ayat 1-5) yang diwahyukan kepada Nabi

10
Muhammad SAW ialah nilai tauhid, keutamaan pendidikan, dan cara untuk
mendapatkan ilmu pengetahuan diberikan penekanan yang mendalam.
Firman Allah SWT (Al-alaq 1-5) :

Artinya : “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia


Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah
yang Maha pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia
mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”

Kata “bacalah” dalam ayat tersebut mengandung arti tentang perintah menuntut
ilmu, apalagi pada saat itu (awal kenabian), bangsa Arab sedang berada pada
zaman jahiliyah (kebodohan).

Jika sains dikaitkan dengan fenomena alam, maka dalam al-Qur‟an lebih dari
750 ayat menjelaskan tentang fenomena alam. Salah satunya adalah pada Surah
Luqman, ayat 10.

Artinya: “Dia menciptakan langit tanpa tiang yang kamu melihatnya dan dia
meletakkan gunung-gunung (di permukaan) bumi supaya bumi itu tidak
menggoyangkan kamu; dan memperkembang biakkan padanya segala macam
jenis binatang. dan kami turunkan air hujan dari langit, lalu kami tumbuhkan
padanya segala macam tumbuh-tumbuhan yang baik.”

Dalam ayat tersebut, menjelaskan tentang betapa besarnya kekuasaan Allah SWT.
dalam menciptakan mahluk-mahlukNya. Tidak berhenti sampai disitu, kita juga
diperintahkan untuk mempelajarinya (mahluk). Hal ini telah banyak dilakukan
oleh orang (ilmuwan) Barat, dan malah kebanyakan dari kita hanya mengikuti apa
yang mereka katakan. Padahal, kita sebagai hambanya seharusnya memiliki
keharusan yang lebih besar dari pada mereka. Karena bila diamati, tidak sedikit
dari pandangan mereka melenceng dari ajaran agama Islam. Bila kita hanya
mengikuti mereka, dikhawatirkan kita akan terjerumus kedalam jalan kesesatan
bersama mereka. Seperti contoh, pandangan Darwin tentang teori evolusi yang

11
menyebutkan bahwa manusia zaman dahulu memiliki bentuk fisik menyerupai
kera, itu merupakan pendapat yang tidak sesuai dengan al-Qur‟an. Karena secara
jelas, manusia pertama yang diciptakan Allah adalah Nabi Adam AS.
Mempelajari ilmu, baik itu ilmu agama maupun ilmu pengetahuan (sains)
merupakan hal yang sangat sulit, maka dari itu, Islam sangat memuliakan para
ahli ilmu, sehingga dalam Surah al-Mujadilah ayat 11, derajat mereka diangkat
oleh Allah SWT.

Artinya : " Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di


antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan
Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Dalam potongan ayat tersebut, Allah menjajarkan iman dengan ilmu. Disinilah
terlihat betapa pentingnya ilmu, karena orang yang beriman tanpa memiliki ilmu
maka segala ibadahnya akan ditolak. Sedangkan sebaliknya, orang berilmu tanpa
beriman, maka ilmunya dapat menyesatkannya menuju jalan yang dilarang dan
dilaknatnya.

Disinilah, kita sebagai hambanya yang beriman harus berhati-hati dalam


mempelajari suatu ilmu. Kita harus selalu mengembalikan semuanya kepadanya,
kita harus berusaha mencocokkan segala jenis ilmu dengan kalamNya (al-Qur‟an)
yang sempurna. Karena sudah jelas, al-Qur‟an membahas banyak Ilmu, antara lain
ilmu yang berhubungan dengan kemasyarakatan yang memberi pedoman dan
petunjuk berkaitan dengan perundang-undangan tentang halal dan haramnya suatu
aktivitas, peradaban, muamalat antara manusia dalam bidang ekonomi,
perniagaan, sosiobudaya, peperangan dan perhubungan antar bangsa. Juga
terdapat maklumat ataupun isyarat tentang perkara-perkara yang telah menjadi
tumpuan kajian sains, misalnya, sidik jari sebagai tanda pengenal, penciptaan
bumi dan langit, dan lain-lain.

Dari sini, maka pantaslah kalau di zaman ini banyak ilmuwan (ilmuwan Barat
khususnya) yang berusaha mempelajari al-Qur‟an demi memahami suatu kajian

12
sains. Tapi, kita sebagai umat Muslim jangan sampai kalah dengan mereka,
sehingga peradaban Islam dapat bangkit kembali. Ketika peradaban Islam mulai
bangkit, maka kemungkinan besar dunia dapat dikuasai oleh Islam, sehingga
konsep Islam sebagai agama yang “Rahmatan lil-„Alamin” (kesejahteraan bagi
seluruh dunia) dapat terwujud secara nyata.

E. KESIMPULAN

Sains merupakan ilmu pengetahuan yang dapat menjelaskan sebuah gejala atau
fenomena alam, sehingga berguna bagi kehidupan manusia. Sains yang relevan
dengan ajaran Islam harus dapat menjadi media untuk mengingat Allah dan
memajukan peradaban masyarakat Islam. Dan tidak dibenarkan bila kita
mempelajari sains hanya untuk memperoleh penghidupan dan kesenangan dunia,
apalagi berbuat maksiat, yang nanti pada ahirnya akan merugikan diri sendiri.
Banyak sekali kajian sains yang merujuk pada al-Qur‟an. Banyak ayat-ayat al-
Qur‟an yang menjelaskan tentang fenomena-fenomena alam dan keutamaan ilmu
pengetahuan. Oleh karena itulah, banyak ilmuwan yang dalam mempelajari sains
mencari referensi dari al-Qur‟an.

13
BAB III
ISLAM DAN PENEGAKAN HUKUM

A. HUKUM DAN KEADILAN DALAM ISLAM

Seorang hakim dalam Islam memiliki kewenangan yang luas dalam


melaksanakan keputusan hukum dan bebas dari pengaruh siapapun. Hakim
wajib menerapkan prinsip keadilan dan persamaan terhadap siapapun. Al-Qur‟an
dalam surat an-Nisa ayat 58 telah menetapkan garis hukum:

“bila kamu menetapkan hukum antara manusia, maka hendaklah kamu tetapkan
dengan cara adil”

Putusan seorang hakim harus mencerminkan rasa keadilan hukum dengan


tidak memandang kepada siapa hukum itu diputuskan. Sikap ini didasarkan pada
firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 8:

“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang yang lurus
karena Allah, menjadi saksi yang adil dan janganlah kebencianmu terhadap
suatu kaum menyebabkan kamu berlaku tidak adil. Bersikaplah adil, karena adil
itu lebih dekat kepada taqwa”

Dari ayat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sikap adil itu tidak akan
memihak kepada siapapun kecuali kepada kebenaran. Di sisi lain Allah
menegaskan dalam surat an- Nisa ayat 135:
“Wahai orang-orang yang beriman jadilah kamu orang yang benar-benar
penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri
atau ibu bapakmu dan kaum kerabatmu, jika ia kaya atau miskin, maka Allah
lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
karena ingin menyimpang dari kebenaran, dan jika kamu memutarbalikkan kata
atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah maha mengetahui segala
sesuatu yang kamu kerjakan”

14
Dari ayat ini dapat ditarik tiga hukum, pertama, menegakkan hukum adalah
kewajiban bagi semua orang. Kedua, setiap orang apabila menjadi saksi
hendaklah berlaku jujur dan adil. Ketiga, manusia dilarang mengikuti hawa
nafsu serta dilarang menyeleweng dari kebenaran. Keadilan dalam Islam adalah
kebenaran, kebenaran merupakan salah satu nama Allah. Dia adalah sumber
kebenaran yang dalam al-Qur‟an disebut al-Haq.

Apabila keadilan dikaitkan dengan hukum, maka dua hal tersebut dalam
tatanan peradilan Islam dianggap sebagai sesuatu interdependetie. Lahirnya
hukum dituntut adanya rasa keadilan, terwujudnya keadilan melahirkan teori
keadilan, teori keadilan perlu diwujudkan dalam hukum, dan hukum harus
melahirkan keputusan hukum yang mencerminkan rasa keadilan. Islam
merupakan sendi yang fundamental dalam rangka penegakan supremasi hukum.
Maka dalam suatu tatanan masyarakat sangat memerlukan lembaga peradilan
yang menciptakan rasa dan nilai keadilan. Lembaga peradilan merupakan tempat
memutar roda keadilan guna menjaga keseimbangan hidup dalam masyarakat.2
Hal ini bisa dilihat dari praktik Rasulullah, sebagaimana dinyatakan dalam hadis:
Ketika Uzamah binti Zaid meminta maaf atas kesalahan Fatimah binti al-Aswad
karena telah mencuri, maka Rasulullah berkata, “Apakah kamu meminta syafaat
mengenai sesuatu dari hukuman yang telah ditetapkan oleh Allah”. Kemudian
Rasulullah bersabda:

“Bahwasanya yang menyebabkan kehancuran umat sebelum kamu ialah


mereka menegakkan had terhadap kaum lemah dan meninggalkan had terhadap
kaum bangsawan. Saya bersumpah demi Allah seandainya Fatimah putri
Muhammad mencuri niscaya akan kupotong tangannya”

Prinsip keadilan dalam menegakkan hukum yang dilakukan oleh Rasulullah


semata- mata menjalankan keadilan Ilahi. Rasulullah sebagai hakim pada saat itu
hanya mengemban hukum Allah sehingga setiap keputusannya selalu berpegang
kepada hukum Allah yaitu al- Qur‟an. Sedang al-Qur‟an sendiri memberi
petunjuk bahwa kita disuruh berlaku adil, baik untuk diri sendiri maupun

15
keluarga dan jangan mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari
kebenaran. Di sini Nabi bersikap sebagai seorang penguasa atau eksekutif
sekaligus sebagai yudikatif. Namun bila dihadapkan dengan tugasnya sebagai
yudikatif, maka kekuasaan eksekutif tidak akan mempengaruhi setiap
keputusannya.

Apabila prinsip keadilan dihubungkan dengan hukum, maka harus ada


intervensi kekuasan yang dapat mengantarkan ke arah tegaknya hukum. Ada
beberapa tugas pokok bagi penyelenggara negara dalam rangka menegakkan
supremasi hukum.

Pertama, kewajiban menerapkan kekuasaan negara dengan adil, jujur dan


bijaksana. Seluruh rakyat tanpa kecuali, harus dapat merasakan nikmat keadilan
yang timbul dari kekuasaan negara. Misalnya, implementasi kekuasaan negara
dalam bidang politik dan pemerintahan. Semua rakyat harus dapat merasakan
hak-haknya secara adil tanpa adanya diskriminasi.

Kedua, kewajiban menerapkan kekuasaan kehakiman dengan seadil-adilnya.


Hukum harus ditegakkan sebagaimana mestinya, hukum berlaku bagi siapa saja,
tanpa memandang kedudukannya.

Ketiga, kewajiban penyelenggara negara untuk mewujudkan suatu tujuan


masyarakat yang adil dan kesejahteraan sosial.

Prinsip keadilan dalam Islam mengandung konsep yang bernilai tinggi. Ia


tidak identik dengan keadilan yang diciptakan manusia. Keadilan manusia
dengan doktrin humanismenya telah mengasingkan nilai-nilai transendental dan
telah mengagungkan manusia sebagai individu, sehingga manusia menjadi titik
sentral. Sebaliknya konsep keadilan dalam Islam menempatkan manusia dalam
kedudukannya yang wajar, baik sebagai individu maupun sebagai anggota
masyarakat. Manusia bukan titik sentral mutlak melainkan “hamba Allah” yang
nilainya ditentukan oleh hablu min Allah wa habl min an-nas. Dalam doktrin

16
Islam hanya Allah yang menempati posisi sentral. Karena itu keadilan dalam
humanisme Islam selalu bersifat teosentrik. Artinya bertumpu dan berpusat pada
kekuasaan Allah semata. Dengan demikian keadilan Islam memiliki kelebihan
yang tidak dijumpai dalam konsep- konsep keadilan menurut versi manusia.
Dalam peradilan Islam, satu hal yang perlu diperhatikan, bahwa seorang hakim
harus menghindari suatu bentuk hukuman sebelum adanya bukti kesalahan yang
jelas. Artinya hakim menghindari hukuman pokok karena adanya unsur subhat.
Demikian juga dianut doktrin bahwa seorang hakim lebih baik salah dalam
memaafkan dari pada salah menjatuhkan putusan. Prinsip ini perlu ditegakkan
oleh para hakim dalam rangka membangun supremasi hukum.

B. PENEGAKAN HUKUM

Berbicara tentang supremasi hukum dalam Islam, maka ada kaitannya


dengan penerapan pemidanaan dalam Islam, yang dalam konsep fiqh
dibahas dalam bab jinayah. Persoalan ini, secara historis telah mendorong
munculnya diskusi yang berkelanjutan sejak awal sejarah Islam. Apakah ia dapat
dipertimbangkan untuk dipertahankan sebagai dasar hukum yang mampu
menjamin keadilan dan ketentraman masyarakat atau sebaliknya dianggap
sebagai sesuatu yang out of date dan tidak humanis. Baik secara teoritis maupun
prakteknya Peradilan Islam diakui sebagai sumber dalam jurisprudensi Islam.
Bahkan dalam prakteknya peradilan Islam memainkan peranan yang sangat
penting dalam proses kreasi hukum Islam untuk mewujudkan supremasi hukum,
dalam rangka membentuk setiap individu bermoral guna melahirkan struktur
masyarakat yang aman dan tentram. Pada masa Nabi Muhammad, orang-orang
Arab telah mengadopsi berbagai macam adat. Praktek ini, dalam banyak hal
telah mempunyai kekuatan hukum dalam masyarakat. Dalam kaitannya dengan
keberlangsungan hukum pra-Islam, Nabi Muhammad tidak melakukan tindakan-
tindakan perubahan terhadap hukum yang ada sepanjang hukum tersebut sesuai
dengan prinsip-prinsip ajaran Islam yang fundamental. Dengan demikian Nabi
Muhammad dalam kapasitasnya sebagai pembuat hukum dari sebuah agama
yang baru melegalkan hukum lama di satu sisi, dan mengganti beberapa hal

17
yang tampaknya tidak konsisten dengan prinsip-prinsip hukum. Hukum yang
direvisi bahkan dirombak oleh Rasulullah antara lain : perkawinan dengan ibu
tiri, poliandri, menikahi wanita tanpa batas jumlahnya, hubungan seksual yang
tidak sah, aborsi, pembunuhan terhadap bayi perempuan, balas dendam dalam
hukum qisas, perlindungan pencuri bagi bangsawan, perceraian berulang-ulang
dan lain sebagainya. Penyimpangan nilai-nilai moral dalam hukum pra- Islam
nampak sekali dalam sistem pemidanaan (peradilan), terutama pada jarimah
qisas diyat. Keadaan demikian dapat dibuktikan dengan peristiwa sejarah yang
terjadi di kalangan masyarakat Arab jahiliyah yaitu salah seorang kabilah Gani
membunuh Syas bin Zuhair, maka datanglah Zuhair, ayah Syas, untuk minta
pembalasan kepada suku Gani. Mereka berkata, “Apa kehendakmu atas
kematian Syas?”. Jawab Zuhair, “Satu dari tiga hal dan tidak bisa diganti, yaitu
menghidupkan kembali Syas, atau mengisi selendangku dengan binatang-
binatang dari langit, atau engkau serahkan kepadaku semua anggota kabilah
Gani untuk saya bunuh semua, dan sesudah itu aku belum merasa telah
mengambil sesuatu ganti rugi atas kematian Syas”.

Tuntunan semacam ini semakin membuat rawannya keadaan bila ternyata si


korban dari kalangan kabilah terhormat atau pemimpin kabilah itu sendiri. Hal
ini terjadi karena ada sebagian dari kabilah-kabilah Arab yang mengabaikan
tuntutan wali si korban, bahkan sebaliknya mereka memberikan perlindungan
terhadap si pembunuh. Sehingga tidak menutup kemungkinan terjadi perang
antar kabilah yang di dalamnya melibatkan orang-orang yang tak berdosa.

Di sisi lain, memang orang-orang Arab mempunyai tradisi balas dendam,


bahkan terhadap persoalan yang telah terjadi beberapa tahun yang silam. Kalau
seseorang anggota keluarga terbunuh, maka pembalasan dilakukan terhadap
keluarga pembunuh yang tidak berdosa di samping pembunuhnya sendiri.

Al-Qur‟an dan praktik Nabi memperkenalkan berbagai modifikasi terhadap


praktek hukuman ini, akan tetapi ide utama dari prinsip-prinsip yang
mendasarinya tidak bersifat baru, melainkan telah lama dipraktekkan masyarakat

18
Arab sebelum munculnya Islam.

Perubahan utama yang dilakukan oleh Islam adalah prinsip keseimbangan


dalam kerangka hukum yang berdimensi keadilan. Dalam hukum Islam satu jiwa
harus diambil karena perbuatan menghilangkan nyawa orang lain atau
pemberian kompensasi harus dilakukan terhadap keluarga korban. Aturan ini
tidak mempersoalkan status suku atau kedudukan si korban dalam sukunya,
seperti dipraktekkan pada masyarakat Arab Jahiliyah, tetapi lebih dari itu,
sebagaimana yang dikatakan oleh Caulson, “sesuai dengan standar moral
keadilan dan nilai tebusan yang pasti terhadap pihak yang menjadi korban”.
Ketentuan ini dituangkan dalam al-Qur‟an dalam surat al-Baqarah ayat 178
sebagai berikut:

“Hai orang-orang yang beriman ditetapkan atas kamu qisas berkenaan dengan
orang yang terbunuh, orang merdeka dengan merdeka, hamba dengan hamba
dan wanita dengan wanita, barang siapa mendapat pemaafan dari saudaranya
hendaklah (yang memberi maaf) mengikuti dengan cara yang baik, dan bagi
yang dimaafkan membayar (diyat) kepada yang memaafkan dengan cara yang
baik pula….”

Menurut Imam al-Baidawi sebagaimana dikutip oleh as-Sayyid Sabiq,


bahwa turunnya ayat tersebut berkenaan dengan dua kabilah yang berhutang
piutang. Salah satu lebih kuat dari lainnya. Lalu Kabilah yang kuat bersumpah,
“Kami harus membunuh orang merdeka di antara kalian sebagai akibat
terbunuhnya hamba sahaya kami, dan kami akan membunuh laki-laki sebagai
akibat terbunuhnya perempuan dari suku kami.” Dalam hukum hadd ditemukan
adanya pembenahan sistem hukum, seperti dalam kasus delik pencurian, pada
masa pra-Islam hukum yang diberlakukan sangat diskriminasi, terutama antara
bangsawan dan rakyat biasa. Hadis di bawah ini dapat dijadikan dasar
pernyataan tersebut di atas ketika Uzamah binti Zaid kekasih Rasulullah
meminta maaf atas kesalahan Fatimah binti al-Aswad karena telah mencuri,
maka Rasulullah berkata, “Apakah kamu meminta syafa'at mengenai sesuatu

19
dari hukuman yang telah ditetapkan oleh Allah?”. Kemudian Rasulullah
bersabda:
“Bahwasanya yang menyebabkan kehancuran umat sebelum kamu sekalian
ialah karena apabila ada kaum bangsawan mencuri, mereka dibiarkan, tetapi
sebaliknya jika yang mencuri adalah kaum lemah, maka ditegakkan hukum yang
seadil-adilnya, saya bersumpah demi Allah seandainya Fatimah Putri
Muhammad mencuri niscaya akan kupotong tangannya.”

Di samping contoh di atas, ada sebagian hukum jahiliyah yang tidak


menerapkan sanksi bagi jarimah-jarimah tertentu, akibatnya muncul
ketidakadilan. Hal ini disebabkan karena perbedaan kabilah. Seperti kasus riba
yang sangat mengacaukan masyarakat, sehingga orang yang jatuh ke tangan
periba dan tidak mampu membayar hutangnya sering menyerahkan anak
gadisnya sebagai jaminan. Kejahatan semacam ini telah dihapus oleh Islam dan
diderivasikan ke dalam jarimah ta‟zir. Artinya ditetapkan adanya sanksi bagi
periba yang ditentukan oleh penguasa berdasarkan kadar riba yang diperbuatnya.
Demikian halnya dengan kasus mengawini ibu tiri (kejahatan seks), yang
memberikan indikasi bahwa praktek hukum jahiliyah sangat tidak manusiawi.
Islam datang dengan panji-panji keadilan yang ternyata lambat laun dapat
diterima oleh masyarakat luas, termasuk keadilan dalam sistem pemidanaan
dalam rangka menciptakan supremasi hukum. Dalam penerapan sanksi, Islam
sangat mempertimbangkan rasa keadilan, baik keadilan sosial (social justice)
maupun keadilan secara individual (individual justice). Di sinilah “dimensi
kemanusiaan” tercakup. Abu Zahrah, berkomentar, bahwa kedatangan Islam
adalah menegakkan keadilan dan melindungi keutamaan akal budi manusia.
Pendapat senada juga dilontarkan oleh as-Sabuni, bahwa Islam datang dengan
membawa kepentingan menuju pada tegaknya keadilan, melindungi kehormatan
manusia, mencegah segala bentuk kejahatan, memberi pelajaran pada pelaku
tindak kejahatan dengan memberikan sanksi seimbang sesuai dengan tingkat
kesalahan seseorang.

20
BAB IV
KEWAJIBAN MENEGAKAN AMAR MAKRUF DAN NAHI MUNGKAR

A. PENGERTIAN AMAR MAKRUF DAN NAHI MUNGKAR

Amar makruf nahi mungkar dalam istilah fiqh disebut dengan al Hisbah.
Perintah yang ditujukan kepada semua masyarakat untuk mengajak atau
menganjurkan perilaku kebaikan dan mencegah perilaku buruk.
Bagi umat Islam, amar makruf nahi mungkar adalah wajib, sebab syariat Islam
memang menempatkannya pada hukum dengan level wajib. Dan siapa pun dari
kita yang meninggalkannya, maka kita akan berdosa dan mendapatkan hukuman
berupa siksa yang sangat pedih dan menyakitkan.

Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits berikut:


"Hendaklah kamu beramar makruf (menyuruh berbuat baik) dan benahi
mungkar (melarang berbuat jahat). Kalau tidak, maka Allah akan menguasakan
atasmu orang-orang yang paling jahat di antara kamu, kemudian orang-orang
yang baik -baik di antara kamu berdoa dan tidak dikabulkan (doa mereka)."
(HR. Abu Dzar).

Selain itu, amar makruf nahi mungkar merupakan prinsip dasar agama Islam
yang harus dilakukan oleh setiap muslim.

Hal tersebut sesuai dengan firman Allah SWT dalam al-Qur'an:


Artinya: "Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang
munkar; merekalah orang-orang yang beruntung." (QS. Ali Imran: 104)

21
B. KEWAJIBAN MENEGAKAN AMAR MAKRUF DAN NAHI MUNGKAR

Tidak diragukan lagi bahwa amar ma‟ruf nahi mungkar adalah upaya
menciptakan kemaslahatan umat dan memperbaiki kekeliruan yang ada pada
tiap-tiap individunya. Dengan demikian, segala hal yang bertentangan dengan
urusan agama dan merusak keutuhannya, wajib dihilangkan demi menjaga
kesucian para pemeluknya.

Persoalan ini tentu bukan hal yang aneh karena Islam adalah akidah dan
syariat yang meliputi seluruh kebaikan dan menutup segala celah yang
berdampak negatif bagi kehidupan manusia. Amar ma‟ruf nahi mungkar
merupakan amal yang paling tinggi karena posisinya sebagai landasan utama
dalam Islam. Allah subhanahu wa ta‟ala berfirman:

“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
(karena kamu) menyuruh (berbuat) yang ma‟ruf, mencegah dari yang mungkar,
dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik
bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka
adalah orang-orang fasik.” (Ali Imran: 110)

Jika kita perhatikan dengan saksama, sebenarnya diutusnya para rasul dan
diturunkannya Al-Kitab adalah dalam rangka memerintah dan mewujudkan yang
ma‟ruf, yaitu tauhid yang menjadi intinya, kemudian untuk mencegah dan
menghilangkan yang mungkar, yaitu kesyirikan yang menjadi sumbernya.
Jadi, segala perintah Allah subhanahu wa ta‟ala yang disampaikan melalui rasul-
Nya adalah perkara yang ma‟ruf. Begitu pula seluruh larangan-Nya adalah
perkara yang mungkar. Kemudian, Allah subhanahu wa ta‟ala menjadikan amar
ma‟ruf nahi mungkar ini sebagai sifat yang melekat dalam diri nabi-Nya dan
kaum mukminin secara menyeluruh.

22
Allah subhanahu wa ta‟ala berfirman:

“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka


menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang
ma‟ruf dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan shalat, menunaikan
zakat, serta taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh
Allah. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (at-Taubah: 71)

Siapa pun meyakini bahwa kebaikan manusia dan kehidupannya ada dalam
ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta‟ala dan Rasul-Nya shallallahu „alaihi wa
sallam. Dan hal tersebut tidak akan sempurna tercapai melainkan dengan adanya
amar ma‟ruf nahi mungkar. Dengan hal inilah umat ini menjadi sebaik-baik
umat di tengah-tengah manusia.

Allah subhanahu wa ta‟ala berfirman:

“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
(karena kamu) menyuruh (berbuat) yang ma‟ruf, dan mencegah dari yang
mungkar.” (Ali Imran: 110)

 Hukum Amar Ma’ruf Nahi Mungkar

Amar ma‟ruf nahi mungkar adalah kewajiban bagi tiap-tiap muslim yang
memiliki kemampuan. Artinya, jika ada sebagian yang melakukannya, yang
lainnya terwakili. Dengan kata lain, hukumnya fardhu kifayah.

Namun, boleh jadi, hukumnya menjadi fardhu „ain bagi siapa yang mampu
dan tidak ada lagi yang menegakkannya. Al-Imam an-Nawawi rahimahullah
mengatakan, “Amar ma‟ruf nahi mungkar menjadi wajib „ain bagi seseorang,
terutama jika ia berada di suatu tempat yang tidak ada seorang pun yang
mengenal (ma‟ruf dan mungkar) selain dirinya; atau jika tidak ada yang dapat
mencegah yang (mungkar) selain dirinya. Misalnya, saat melihat anak, istri,

23
atau pembantunya, melakukan kemungkaran atau mengabaikan kebaikan.”
(Syarh Shahih Muslim)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Amar ma‟ruf nahi


mungkar adalah fardhu kifayah. Namun, terkadang menjadi fardhu „ain bagi
siapa yang mampu dan tidak ada pihak lain yang menjalankannya.”

Asy-Syaikh Abdul „Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah mengemukakan hal
yang sama, “Ketika para da‟i sedikit jumlahnya, kemungkaran begitu banyak,
dan kebodohan mendominasi, seperti keadaan kita pada hari ini, maka dakwah
(mengajak kepada kebaikan dan menjauhkan umat dari kejelekan) menjadi
fardhu „ain bagi setiap orang sesuai dengan kemampuannya.”

Dengan kata lain, kewajibannya terletak pada kemampuan. Dengan demikian,


setiap orang wajib menegakkannya sesuai dengan kemampuan masing-masing.

Allah subhanahu wa ta‟ala berfirman:

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu, dengarlah


serta taatlah dan infakkanlah harta yang baik untuk dirimu. Dan barang siapa
dijaga dirinya dari kekikiran, mereka itulah orang yang beruntung.” (at-
Taghabun: 16)

Kemampuan, kekuasaan, dan kewenangan adalah tiga hal yang terkait erat
dengan proses amar ma‟ruf nahi mungkar. Yang memiliki kekuasaan tentu saja
lebih mampu dibanding yang lain sehingga kewajiban mereka tidak sama
dengan yang selainnya. Al-Qur‟an telah menunjukkan bahwa amar ma‟ruf nahi
mungkar tidak wajib bagi tiap-tiap individu (wajib „ain), namun secara hukum
menjadi fardhu kifayah. Inilah pendapat yang dipegangi mayoritas para ulama,
seperti al-Imam al-Qurthubi, Abu Bakar al-Jashash, Ibnul Arabi al-Maliki, Ibnu
Taimiyah, dan lain-lain rahimahumullah.

24
Allah subhanahu wa ta‟ala berfirman:

“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh (berbuat) yang ma‟ruf, dan mencegah dari yang mungkar.
Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Ali Imran: 104)

Nabi shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:

“Siapa di antara kalian yang melihat suatu kemungkaran, maka cegahlah


dengan tangannya. Jika belum mampu, cegahlah dengan lisannya. Jika belum
mampu, dengan hatinya, dan pencegahan dengan hati itu adalah selemah -lemah
iman.” (HR. Muslim no. 70 dan lain-lain)

C. SYARAT DAN ETIKA BERAMAR MAKRUF NAHI MUNGKAR

Allah subhanahu wa ta‟ala menciptakan kita agar kita beribadah dan


menjalankan ketaatan kepada-Nya sebaik mungkin. Allah subhanahu wa ta‟ala
berfirman:

“(Dialah) yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kamu, siapa di
antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa, Maha
Pengampun.” (al-Mulk: 2)

Amar ma‟ruf nahi mungkar adalah ibadah, ketaatan, dan amal saleh. Karena
itu, harus dilakukan dengan benar dan penuh keikhlasan agar menjadi amalan
saleh yang diterima. Al-Imam Fudhail Ibnu Iyadh rahimahullah mengemukakan
bahwa suatu amalan meskipun benar tidak akan diterima jika tidak ada
keikhlasan, begitu pun sebaliknya. Keikhlasan berarti semata-mata karena Allah
subhanahu wa ta‟ala, sedangkan kebenaran berarti harus berada di atas sunnah
Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam.

25
Para penegak amar ma‟ruf nahi mungkar hendaknya memerhatikan dan
memenuhi beberapa syarat berikut.

 Syarat pertama

Ilmu dan pemahaman sebelum memerintah dan melarang.


Apabila tidak ada ilmu, dapat dipastikan yang ada adalah kebodohan dan
kecenderungan mengikuti hawa nafsu. Padahal siapa saja yang beribadah kepada
Allah subhanahu wa ta‟ala tanpa ilmu, maka kerusakan yang diakibatkannya
jauh lebih dominan daripada kebaikan yang diharapkan.

Dalam kaitannya dengan amar ma‟ruf nahi mungkar, ilmu yang harus dimiliki
meliputi tiga hal, antara lain: Mengetahui yang ma‟ruf dan yang mungkar serta
dapat membedakan antara keduanya; Mengetahui dan memahami keadaan objek
yang menjadi sasarannya; serta mengetahui dan menguasai metode atau langkah
yang tepat dan terbaik sesuai dengan petunjuk jalan yang lurus (ketentuan
syariat). Tujuan utamanya adalah supaya tercapai maksud yang diinginkan dari
proses amar ma‟ruf nahi mungkar dan tidak menimbulkan kemungkaran yang
lain.

 Syarat kedua

Lemah lembut dalam beramar ma‟ruf dan bernahi mungkar.


Penyambutan yang baik, penerimaan, dan kepatuhan adalah harapan yang tidak
mustahil apabila proses amar ma‟ruf nahi mungkar selalu dihiasi oleh
kelembutan.

Bukankah Nabi shallallahu „alaihi wa sallam telah menyatakan dalam sabdanya:

“Sesungguhnya Allah Mahalembut dan menyukai sikap lemah lembut dalam


tiap urusan. Allah subhanahu wa ta‟ala akan memberikan kepada sikap lemah
lembut sesuatu yang tidak akan diberikan kepada sikap kaku atau kasar dan

26
Allah subhanahu wa ta‟ala akan memberikan apa-apa yang tidak diberikan
kepada selainnya.” (HR. Muslim “Fadhlu ar-Rifq” no. 4697, Abu Dawud “Fi ar-
Rifq” no. 4173, Ahmad no. 614, 663, 674, dan 688, dan ad-Darimi “Bab Fi ar-
Rifq” no. 2673)

Nabi shallallahu „alaihi wa sallam juga bersabda:

“Tidaklah sikap lemah lembut itu ada dalam sesuatu, melainkan akan
menghiasinya, dan tidaklah sikap lemah lembut itu dicabut dari sesuatu,
melainkan akan menghinakannya.” (HR. Muslim no. 4698, Abu Dawud no.
2119, dan Ahmad no. 23171, 23664, 23791)

Al-Imam Sufyan ibnu Uyainah rahimahullah mengatakan, “Tidak boleh


beramar ma‟ruf dan bernahi mungkar selain orang yang memiliki tiga sifat:
lemah lembut, bersikap adil (proporsional), dan berilmu yang baik.”

Termasuk sikap lemah lembut apabila senantiasa memerhatikan kehormatan dan


perasaan manusia. Oleh karena itu, dalam beramar ma‟ruf nahi mungkar
hendaknya mengedepankan kelembutan dan tidak menyebarluaskan aib atau
kejelekan. Kecuali, mereka yang cenderung senang dan bangga untuk
menampakkan aibnya sendiri dengan melakukan kemungkaran dan kemaksiatan
secara terang-terangan. Sebab itu, tidak mengapa untuk mencegahnya dengan
cara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi.

Al-Imam asy-Syafi‟i rahimahullah berkata, “Siapa yang menasihati saudaranya


dengan sembunyi-sembunyi, sungguh ia benar-benar telah menasihatinya dan
menghiasinya. Siapa yang menasihati saudaranya dengan terang -terangan (di
depan khalayak umum), sungguh ia telah mencemarkannya dan
menghinakannya.” (Syarh Shahih Muslim)

27
 Syarat ketiga

Tenang dan sabar menghadapi kemungkinan adanya gangguan setelah beramar


ma‟ruf nahi mungkar.

Gangguan seolah-olah menjadi suatu kemestian bagi para penegak amar ma‟ruf
nahi mungkar. Oleh karena itu, jika tidak memiliki ketenangan dan kesabaran,
tentu kerusakan yang ditimbulkannya jauh lebih besar daripada kebaikan yang
diinginkan.

Al-Imam ar-Razi rahimahullah menjelaskan bahwa orang yang beramar ma‟ruf


nahi mungkar itu akan mendapat gangguan, maka urusannya adalah bersabar.
Al-Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga mengemukakan bahwa para rasul
adalah pemimpin bagi para penegak amar ma‟ruf nahi mungkar. Allah
subhanahu wa ta‟ala telah memerintah mereka semua agar bersabar, seperti
firman-Nya:

“Maka bersabarlah engkau (Muhammad) sebagaimana kesabaran rasul-rasul


yang memiliki keteguhan hati, dan janganlah engkau meminta agar azab
disegerakan untuk mereka. Pada hari mereka melihat azab yang dijanjikan,
merasa seolah-olah tinggal (di dunia) hanya sesaat saja pada siang hari.
Tugasmu hanya menyampaikan. Maka tidak ada yang dibinasakan, selain kaum
yang fasik (tidak taat kepada Allah subhanahu wa ta‟ala).” (al-Ahqaf: 35)

“Dan karena Rabbmu, bersabarlah!” (al-Mudatstsir: 7)

“Dan bersabarlah (Muhammad) menunggu ketetapan Rabbmu, karena


sesungguhnya engkau berada dalam pengawasan Kami, dan bertasbihlah
dengan memuji Rabbmu ketika engkau bangun.” (at-Thur: 48)

Allah subhanahu wa ta‟ala juga menyebutkan wasiat Luqman kepada putranya


dalam firman-Nya:

28
“Wahai anakku! Laksanakanlah shalat dan suruhlah (manusia) berbuat yang
ma‟ruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap
apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang
penting.” (Luqman: 17)

Seseorang yang beramar ma‟ruf nahi mungkar berarti telah memosisikan dirinya
sebagai penyampai kebenaran. Padahal tidak setiap orang ridha dan suka dengan
kebenaran. Oleh karena itu, ia pasti akan mendapat gangguan, dan itu menjadi
cobaan serta ujian baginya.

Allah subhanahu wa ta‟ala berfirman:

“Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan


mengatakan, „Kami telah beriman‟, dan mereka tidak diuji? Dan sungguh, Kami
telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui
orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta.” (al-
„Ankabut: 2—3)

29
BAB V
FITNAH AKHIR ZAMAN
A. PENDAHULUAN

Manusia setapak demi setapak menjalani tahap kehidupan-nya dari alam


kandungan, alam dunia, alam kubur dan alam akhirat. Tahap-tahap tersebut
harus dijalani sampai akhirnya kita akan menemui alam akhirat yaitu suatu
tempat untuk memperhitungkan amalan-amalan kita saat di Dunia. Maka tatkala
kita mendengar ayat-ayat Al-Qur‟an dan hadits-hadits Nabi yang memberitakan
tentang keadaan hari Akhir, hendaklah hati kita menjadi takut dan mata kita
menjadi menangis sehingga menjadi dekatlah hati kita kepada Allah. Sebelum
hari akhir itu terjadi maka akan muncul berbagai fitnah di akhir zaman.
Rasulullah shallallahu ‟alaihi wasallam telah mengabarkan kepada umatnya
tentang fitnah-fitnah akhir zaman agar mereka selalu berhati-hati dan selalu
bertakwa serta berpegang teguh terhadap apa yang telah dilakukan oleh para
pendahulu sebelumnya.

B. FITNAH AKHIR ZAMAN

Kata fitnah berarti musibah, cobaan, dan ujian. Kata ini disebutkan secara
berulang di dalam al-Qur‟an pada hampir 70 ayat, dan seluruh maknanya
berkisar pada ketiga makna di atas. Kata fitnah bisa juga bermakna sesuatu yang
mengantarkan kepada adzab Allah, seperti firman-Nya: “Ketahuilah, bahwa
mereka telah terjerumus ke dalam fitnah” (QS. at-Taubah: 49)

Di sisi lain, kata fitnah bermakna ujian, sebab keduanya bisa digunakan dalam
konteks kesulitan maupun kesenangan yang diterima seseorang. Hanya saja,
makna “kesulitan” lebih sering digunakan. Allah berfirman (yang artinya): “Dan
Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan
(yang sebenar-benarnya)” (QS. al-Anbiyaa‟: 35) (Mufradat Alfazh al-Qur‟an al-
Karim karya ar-Raghib al-Ashfahani).

30
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwasanya pengertian fitnah adalah hal-
hal dan kesulitan-kesulitan yang Allah timpakan kepada hamba-hamba-Nya
sebagai ujian dan cobaan yang mengandung hikmah. Biasanya fitnah terjadi
secara umum, namun ada juga fitnah yang terjadi secara khusus. Pada akhirnya,
berkat karunia Allah, fitnah itu diangkat sehingga meninggalkan dampak yang
baik bagi orang-orang yang berbuat kebaikan dan yang beriman,
sebaliknya meninggalkan dampak yang buruk bagi mereka yang berbuat
kejahatan dan tidak beriman. Wallaahu a‟lam. (Fitnah Akhir Zaman/al-Fitnah
wa Mauqif al-Muslim minhaa”, Dr.Muhammad al-„Aqil).

Diantara fitnah akhir zaman yang dijelaskan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
adalah:

1. Fitnah dalam agama, yaitu dengan mudahnya manusia berpindah dari agam
Islam.

Rasulullah shallallahu ‟alaihi wasallam menjelaskan: “Cepat-cepatlah kalian


beramal shalih sebelum datang fitnah, seperti malam yang gelap. Seorang pada
pagi harinya dalam keadaan mukmin, kemudian pada sore harinya menjadi
kafir. Pada sore harinya dalam keadaan mukmin, pada pagi harinya menjadi
kafir; dia menjual agamanya dengan benda-benda dunia.” (HR. Muslim)

2. Fitnah kebodohan, kerakusan, dan kekacauan dengan dicabutnya ilmu agama


dari hati manusia.

Beliau shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: “Zaman semakin dekat, ilmu


dicabut, muncul fitnah-fitnah, tersebar kebakhilan-kebakhilan, banyak terjadi
al-haraj. Para sahabat bertanya, „Apakah al-haraj itu, ya Rasulullah?” beliau
menjawab, Pembunuhan.” (Muttafaqun „alaih)

31
Ilmu akan dicabut dari hati manusia dengan cara diwafatkannya para ulama‟ ahli
ilmu agama. Maka setelah itu akan terjadilah kebodohan dimana-mana dan akaN
ada muncul da‟i-da‟i yang menyeru ke dalam neraka jahanam.

3. Diangkatnya amanah dari manusia.

Hal ini merupakan tanda-tanda telah dekatnya hari kiamat. Sebagaimana yang
telah di kabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‟alaihi wa sallam yang ketika itu
datang seorang Badui kepada beliau dan berkata, “Kapankah hari kiamat akan
terjadi?” Beliau menjawab dengan sabdanya: “Apabila telah disia-siakannya
amanah, maka tunggulah hari kiamat! Orang tersebut kembali bertanya,
„Bagaimana disia-siakannya, wahai Rasulullah?‟ beliau menjawab, „Apabila
suatu perkara diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tungguhlah
hari kiamat.” (HR.Bukhari)

Pada kenyataan yang bisa kita amati adalah dengan dicabutnya sifat amanah dari
pundak-pundak para pemimpin. Kepemimpinan merupakan amanah yang sangat
besar. Sebagaimana sabda shallahu ‟alaihi wasallam: “Setiap kalian adalah
pemimpin, dan setiap kalian akan diminta pertanggungjawaban terhadap apa
yang pimpin.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hal tersebut telah muncul di zaman ini seperti yang bisa kita amati seksama,
yaitu banyaknya para pemimpin yang tidak melaksanakan amanahnya dengan
baik. Mereka malah menyelewengkan amanah itu untuk kepentingan dirinya
sendiri dan keluarganya seperti halnya korupsi yang telah merajalela dimana-
mana. Hal itu termasuk bentuk penyelewengan amanah yang seharusnya
disampaikan kepada rakyat.

32
4. Fitnah harta.

Macam-macam fitnah tersebut merupakan sebagian dari tanda-tanda hari kiamat.


Dari Anas bin Malik radhiyallahu „anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu
„alayhi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya di antara tanda hari kiamat ialah;
diangkat ilmu (agama), tersebar kejahilan (terhadap agama), arak diminum
(secara leluasa), dan zahirnya zina (secara terang-terangan)”. (HR. al-Bukhari
no. 78 dan Muslim no. 4824)

Fitnah-fitnah tersebut mulai muncul setelah wafatnya Umar bin al-Khattab.


Karena beliau merupakan dinding pembatas antara kaum Muslimin dengan
fitnah tersebut, sebagaimana yang diterangkan Nabi shallallahu „alaihi wa sallam
ketika beliau berkata kepada „Umar: “Sesungguhnya antara kamu dan fitnah itu
terdapat pintu yang akan hancur.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Maka kita semua harus berhati-hati pada fitnah-fitnah tersebut, karena hal
tersebut akan menghancurkan semua umat. Sebagaimana firman Allah
subhanahu wa ta‟ala: “Dan takutlah kepada fitnah yang tidak hanya menimpa
orang yang zhalim di antara kalian semata dan ketahuilah, bahwa Allah
memiliki adzab yang sangat pedih.” (QS. al-Anfal: 25)

C. KIAT MENGHADAPI FITNAH AKHIR ZAMAN

Melihat realita derasnya arus fitnah akhir zaman ini berikut dahsyatnya
tiupan badainya, tidak ada pilihan bagi orang yang beriman melainkan berusaha
dengan mujahadah puncak untuk bisa tsabat (teguh) di atas agama Allah yang
telah kita yakini kebenarannya dan telah diyakini akan mengantarkan siapa saja
yang meniti di atasnya, yaitu kepada Jannah Allah „azza wajalla. Lalu,
bagaimanakah cara kita bisa melewati arus dan badai fitnah akhir zaman ini
sehingga bisa mengantarkan kita kepada ujung yang membahagiakan?

33
1. Meminta Perlindungan Kepada Allah

Seorang muslim hendaklah kembali kepada Allah „azza wajalla dan


senantiasa meminta perlindungan kepada-Nya dalam menghadapi fitnah.
Sesungguhnya kapan saja seorang muslim menghadapkan dirinya kepada Allah
„azza wajalla dalam meminta pertolongan, menggantungkan harapan,
melambungkan keinginan maka Allah „azza wajalla menjaganya, melindunginya
dan meneguhkannya di atas jalan Islam.

Oleh karenanya, beliau selalu memohon perlindungan kepada Allah „azza


wajalla dan memerintahkan umatnya untuk mengerjakannya. Nabi shallallahu
„alaihi wasallam biasa meminta perlindungan dengan (membaca): “Ya Allah,
aku berlindung kepada-Mu dari fitnah neraka dan siksa neraka, aku berlindung
kepada-Mu dari fitnah kubur dan siksa kubur, aku berlindung kepada-Mu dari
fitnah kekayaan dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah kefakiran dan aku
berlindung kepada-Mu dari fitnah Dajjal.” (HR. Al-Bukhari No. 5899).

Beliau juga bersabda, dari Abu Hurairah radhiyallahu „anhu beliau mengatakan,
“Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam berdoa, “Ya Allah aku meminta
perlindungan padamu dari azab kubur, dan dari azab neraka dan dari fitnah
kehidupan dan fitnah kematian dan dari fitnah al-Masih Dajjal.” (HR. Al-
Bukhari).

Ibnu Bathal rahimahullah berkata ketika menjelaskan doa Nabi (Ya Allah aku
berlindung kepada-Mu dari fitnah kehidupan dan kematian), “Ini adalah kalimat
yang Jami‟ (konprehensif) karena memiliki berbagai macam makna. Maka
seyogyanya seseorang berharap kepada Allah untuk mengangkat ujian yang
telah terjadi dan menolak ujian yang belum terjadi.”
Beliau melanjutkan penjelasannya, “Hendaknya ia merasa butuh kepada Allah
„azza wajalla dengan doa-doa tersebut, karena Nabi shallallahu „alaihi wasallam
juga berdoa kepada Allah agar semua fitnah tersebut tidak menimpa umatnya.”
(Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari, 12/468).

34
2. Bersabar Saat Menghadapinya

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah menjelaskan, tidak ada obat bagi fitnah kecuali
sabar, karena sabar merupakan penempa seseorang dan pembersih dirinya dari
dosa sebagaimana pembakaran merupakan tempaan untuk menghasilkan
perhiasan emas dan perak. Fitnah itu tempaan untuk menghasilkan seorang
mukmin yang jujur. (Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Ighatsatul Lahfan, 2/162).

Allah „azza wajalla berfirman:

“Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka,


maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan
sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al-Ankabut: 30)

Seorang mukmin tidak akan dibiarkan menikmati keimanannya tanpa


terlebih dahulu diberikan ujian dan cobaan atau fitnah. Dengan itu akan
diketahui siapa di antara mereka yang jujur dalam keimanannya dan siapa yang
dusta dalam keimanannya. Fitnah yang ditimpakan kepada umat akhir zaman ini
bukanlah satu-satunya fitnah akan tetapi ia merupakan sunnatulloh yang juga
diperjalankan terhadap umat-umat terdahulu. Allah „azza wajalla berfirman.

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan:


„Kami telah beriman,‟ sedang mereka tidak diuji lagi?” (QS. Al-Ankabut: 2)

Imam az-Zamakhsyari mengatakan, apakah orang-orang yang mengucapkan


dua kalimat syahadat dengan lisan-lisan mereka, dan menampakkan keimanan
itu akan dibiarkan Allah tanpa diuji terlebih dahulu? Bahkan Allah benar-benar
akan menguji mereka dengan berbagi macam ujian sehingga kesabaran mereka
tinggi, kaki-kaki mereka kuat, akidah mereka benar dan niat mereka itu tulus.
Agar kelak bisa diketahui siapakah yang ikhlas dan yang tidak ikhlas, siapakah
yang teguh dan lemah. (Al-Imam Zamakhsyari, Tafsir Al-Kassyaf, 3/345).

35
3. Bersegera Melakukan Ketaatan

Sesungguhnya menyibukkan diri dengan ketaatan dan bersegera menuju


peribadatan kepada Allah saat fitnah akhir zaman terjadi merupakan faktor besar
yang mendukung seorang mukmin bisa tsabat (teguh) di jalan Allah „azza
wajalla. Karena ibadah itu merupakan tali pengikat antara seorang hamba
dengan Rabbnya yang akan melindungi dan menjaganya dari fitnah. Ibadah juga
dapat menguatkan iman seseorang sehingga tiada lagi jalan bagi fitnah untuk
menyusup ke dalam hati yang dipenuhi dengan keimanan.

Allah „azza wajalla berfirman:

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga
yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang -orang yang
bertakwa.” (QS. Ali-Imran: 133)

Nabi Muhammad shallallahu „alaihi wasallam juga menyuruh umatnya untuk


segera melakukan amal saleh saat terjadi fitnah dalam sabdanya,

“Bersegeralah beramal sebelum munculnya fitnah yang datang bagaikan


potongan-potongan malam yang gelap, seseorang di pagi harinya beriman dan
di sorenya telah menjadi kafir, atau sorenya masih beriman dan pagi harinya
telah menjadi kafir, menjual agamanya dengan gemerlap dunia.” (HR. Muslim)

Bersegera dalam beramal saleh dan berlomba-lomba dalam ketaatan merupakan


perkara yang dicintai oleh Allah „azza wajalla untuk dilakukan di setiap waktu
dan keadaan meskipun fitnah belum menimpa. Oleh karena itu Allah „azza
wajalla memuji para Nabi-Nya lantaran kecekatan mereka dalam beramal saleh.

36
Allah subhanahu wata‟ala berfirman,

“Dan (ingatlah kisah) Zakaria, ketika dia berdoa kepada Rabbnya, “Wahai
Rabbku, janganlah Engkau biarkan aku hidup seorang diri (tanpa keturunan)
dan Engkaulah ahli waris yang terbaik.” (QS. Al-Anbiya: 89)

“Maka Kami memperkenankan doanya, dan Kami anugerahkan kepadanya


Yahya dan Kami jadikan istrinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka
adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-
perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan
cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami.” (QS. Al-
Anbiya‟: 90)

Kalau bersegera beramal dalam kondisi normal saja begitu diperintahkan,


apalagi jika kondisinya sudah banyak fitnah yang menimpa manusia, tentu ia
lebih ditekankan lagi. Nabi Muhammad pernah memerintahkan istri-istrinya
untuk bersegera menegakkan salat dan menyibukkan diri dengan ibadah tatkala
fitnah muncul, agar Allah „azza wajalla memberikan kekuatan untuk
menghadapinya dan keluar dari bahayanya.

Dari Ummu Salamah radhiallahu „anha bahwa pada suatu malam Nabi Nabi
shallallahu „alaihi wasallam terbangun lalu bersabda,

“Subhanallah (Maha suci Allah), fitnah apakah yang diturunkan pada malam
ini? Dan apa yang diturunkan pada dua perbendaharaan/kekayaan (Romawi
dan Parsi)? Siapa yang membangunkan orang-orang yang ada di kamar-kamar
(maksudnya istri-istrinya)?, karena betapa banyak orang hidup menikmati
nikmat-nikmat dari Allah di dunia ini namun akan telanjang nanti di akhirat
(tidak mendapatkan kebaikan).” (HR. Al-Bukhari)

37
Menyibukkan diri dengan ibadah di zaman penuh fitnah juga memiliki faedah
besar,

“Beribadah di masa haraj (sulit), seperti berhijrah kepadaku.” (HR. Muslim


No. 2948)

Ibnu Rajab Al-Hanbali menjelaskan, sebab dari mendapatkan keutamaan itu


adalah kebanyakan manusia pada zaman fitnah selalu memperturutkan hawa
nafsunya dan tidak mau kembali kepada agama. Kondisi mereka sebagaimana
orang Jahiliyah zaman dahulu. Beliau melanjutkan, maka apabila di antara
mereka ada seseorang yang mau berpegang teguh kepada agamanya dan
menyembah Rabbnya, mencari ridha-Nya dan menjauhi murka-Nya, itu seperti
halnya orang yang berhijrah dari komunitas Jahiliyah menuju Rasulullah
shallallahu „alaihi wasallam, beriman kepadanya, menaati perintah dan menjauhi
larangannya. (Ibnu Rajab Hanbali, Lathaiful Ma‟arif, 156)

4. Memohon Kematian yang Baik

Tidak bisa dipungkiri bahwasanya fitnah akhir zaman adalah ujian besar
yang menimpa diri dan hati orang beriman, bahkan sampai pada keadaan
hilangnya agama dan keimanan dari dirinya (kafir/murtad), dan itu adalah
kerugian yang amat besar.

Maka yang paling baik bagi seorang mukmin adalah memohon kepada
Allah agar bisa diberikan kematian yang baik, yaitu mati tetap teguh di atas
agama Islam. Karena mati dalam keadaan Islam itu lebih baik dari pada hidup
kehilangan iman.

38
Oleh karenanya baginda Rasulullah Muhammad shallallahu „alaihi wasallam
bersabda:

“Dua hal yang dibenci oleh manusia; kematian padahal kematian itu lebih baik
bagi orang mukmin dari pada fitnah dan benci sedikitnya harta padahal
sedikitnya harta itu lebih ringan untuk hisab.” (HR. Ahmad)

Sebagaimana juga ibunda Maryam berkata yang diabadikan dalam al-Quran:

“Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal
pohon kurma, dia berkata: „Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan
aku menjadi barang yang tidak berarti, lagi dilupakan.” (QS. Maryam: 23)

39
DAFTAR PUSTAKA

BAB I

 https://ceritakuaja.wordpress.com/2013/05/25/makalah-hakikat-iman-islam-dan-
ihsan/
 http://kurniawaalex.blogspot.com/2014/10/makalah-imanislamihsan.html
 https://akademisi12.blogspot.com/2016/06/makalah-imanislam-dan-ihsan.html
 https://paudit.alhasanah.sch.id/tahukah-anda/apa-perbedaan-islam-iman-dan-ihsan/
 https://muslim.or.id/425-islam-iman-ihsan.html

BAB II

 http://2beahumanbeing.blogspot.com/2012/06/makalah-sains-dan-islam.html
 http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/una/article/download/15193
 https://www.republika.co.id/berita/islampedia/ilmuwan/19/02/01/plokyw313-
landasan-agama-dalam-pengembangan-sains-islam
 http://repository.uin-suska.ac.id/3908/4/BAB%20III

BAB III

 https://journal.iain-samarinda.ac.id/index.php/mazahib/article/view/116
 https://www.jurnalfai-uikabogor.org/index.php/mizan/article/download/122/38
 https://publikasiilmiah.unwahas.ac.id/index.php/IQTISAD/article/view/1996

BAB IV

 https://news.detik.com/berita/d-5201638/amar-makruf-nahi-mungkar-perilaku-
yang-diperintahkan-allah-swt
 https://asysyariah.com/kewajiban-amar-maruf-nahi-mungkar-2/
 https://id.wikipedia.org/wiki/Amar_makruf_nahi_mungkar

40
BAB V

 https://bimbinganislam.com/pengertian-akhir-zaman-beserta-tanda-dan-
kejadiannya-di-masa-kini/
 http://buletin-aliman.blogspot.com/2013/02/fitnah-akhir-zaman.html
 https://kate.id/2020/08/07/bekal-menghadapi-fitnah-akhir-zaman/

41

Anda mungkin juga menyukai