Anda di halaman 1dari 17

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN LANSIA

DENGAN GANGGUAN KOMUNIKASI AFASIA

DISUSUN OLEH :

NAMA : HILLERY TULANDI

KELAS/SEMESTER : A3/7

NIM : 1714201148

MATA KULIAH : KEPERAWATAN GERONTIK

DOSEN : NS. CHRISTIANE SARAYAR S.KEP, M.KES

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN INDONESIA MANADO

FAKULTAS KEPERAWATAN

2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam berbahasa tercakup berbagai kemampuan yaitu, bicara spontan,
komprehensi, menamai, repetisi ( mengulang), membaca dan menulis. Bahasa merupakan
instrument dasar bagi komunikasi pada manusia dan merupakan dasar dan tulang
punggung bagi kemampuan kognitif. Bila terdapat defisit pada sistem berbahasa,
penilaian faktor kognitif seperti memori verbal. Interpretasi pepatah dan berhitung lisan
menjadi sulit dan mungkin tidak dapat dilakukan. Kemampuan berkomunikasi dengan
menggunakan bahasa sangat penting. Bila terdapat gangguan hal ini akan mengakibatkan
hambatan yang berarti bagi pasien.
Gangguan berbahasa tidak mudah di deteksi dengan pemeriksaan yang tergesa-
gesa. Pemeriksaan perlu meningkatkan pengetahuan menganai pola gangguan berbahasa.
B. Tujuan
1. Mahasiswa dapat mengetahui definisi dari Afasia.
2. Mahasiswa dapat mengetahui Etiologi dari Afasia
3. Mahasiswa dapat mengetahui manifestasi klinis dari Afasia
4. Mahasiswa dapat mengetahui Pemeriksaan penunjang untuk Afasia
5. Mahasiswa dapat mengetahui Penatalaksanaan untuk Afasia
6. Mahasiswa dapat mengetahui Asuhan Keperawatan untuk Afasia
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. DEFINISI
Afasia adalah gangguan fungsi bahasa yang disebapkan cedera atau penyakit
pusat otak. Ini termasuk gangguan kemapuan membaca dan menulis dengan baik,
demikian juga bercakap-cakap, mendengar berhitung, menyimpulkan dan pemahaman
terhadap sikap tubuh. Akhirnya digunakan gambaran afasia yang diprsentasikan. Kira-
kira 1-1,5 juta orang dewasa diamerika mengalami kecacatan kronik afasia.(Smeltzer dan
Bare, 2002).
Afasia adalah gangguan berbahasa akibat gangguan serebrovaskuler hemisfer
dominan, trauma kepala, atau proses penyakit. Terdapat beberapa tipe afasia, biasanya
digolongkan sesuai lokasi lesi. Semua penderita afasia memperlihatkan keterbatasan
dalam pemahaman, membaca, ekspresi verbal, dan menulis dalam derajat berbeda-beda.
Afasia biasanya berarti hilangnya kemampuan berbahasa setelah kerusakan otak.
Dalam hal ini pasien menunjukkan gangguan dalam memproduksi dan / atau memahami
bahasa.

B. ETIOLOGI
Afasia biasanya berarti hilangnya kemampuan berbahasa setelah kerusakan otak.
Kata afasia perkembangan (sering disebut sebagai disfasia) digunakan bila seseorang
mempunyai keterlambatan spesifik dalam memperoleh kemampuan berbahasa. Dalam hal
ini, perkembangan kemampuan berbahasa yang tidak sebanding dengan perkembangan
kognitif umumnya.
Stroke, tumor otak, cedera otak, demensi dan penyakit lainnya dapat
mengakibatkan gangguan berbahasa.

C. TANDA GEJALA
1. Gangguan tonus otot, terjadi kelemahan umum
2. Gangguan penglihatan
3. Gangguan tingkat kesadaran
4. Disritmia/gangguan irama jantung
5. Emosi yang labil
6. Kesulitan menelan
7. Gangguan rasa pengecapan dan penciuman
8. Afasia (gangguan fungsi bahasa), mungkin afasia motorik (kesulitan untuk
mengungkapkan.

D. PATOFISIOLOGI
Afasia terjadi akibat kerusakan pada area pengaturan bahasa/bicara di otak pada
manusia, fungsi kemampuan bahasa mengalami lateralisasi ke hemisfer kiri otak, pada
orang afasia sebagian besar lesi terletak pada hemisfer kiri.
Area bronca 44 dan 45 broadman:bertanggung jawab atas pelaksanaan motorik
bicara, lesi pada area ini akan mengakibatkan kesulitan dalam artikulasi tetapi penderita
bisa memahami bahasa dan tulisan.
Afasia dapat terjadi sekunder terhadap cedera otak atau degenerasi dan
melibatkan belahan otak kiri ke tingkat yang lebih besar dari kanan. Kebanyakan
aphasias dan gangguan terkait akibat stroke, cedera kepala, tumor otak, atau penyakit
degeneratif.

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan kelancaran berbicara. Seseorang disebut berbicara , lancar bila bicara
spontannya lancar, tanpa tertegun-tegun untuk mencari Kata yang diinginkan.
2. Kelancaran berbicara verbal merupakan refleksi dari efisiensi menemukan kata.
Defek yang ringan dapat dideteksi melalui tes kelancaran, menemukan kata yaitu
jumlah kata tertentu yang dapat diproduksi selama jangka waktu yang terbatas.
Misalnya menyebutkan sebanyak-banyaknya nama jenis hewan selama jangka waktu
satu menit, ulnu menyebutkan kata-kata yang mulai dengan huruf tertentu, misalnya
huruf S atau huruf B dalam satu menit.
Skor : Orang normal umumnya mampu menyebutkan 18 - 20 nama hewan selama 60
detik, dengan variasi I 5 - 7. Usia merupakan faktor yang berpengaruh secara
bermakna dalam tugas ini. Orang normal yang berusia di bawah 69 tahun akan
mampu menyebutkan 20 nama hewan dengan simpang baku 4,5.
Menyebutkan kata yang mulai dengan huruf tertentu: Kepada pasien dapat
juga diberikan tugas menyebutkan kata yang mulai dengan huruf tertentu, misalnya
huruf S, A atau P. Tidak termasuk nama orang atau nama kota. Skor: Orang normal
umumnya dapat menyebutkan sebanyak 36 - 60 kata, tergantung pada usia, inteligensi
dan tingkat pendidikan. Kemampuan yang hanya sampai 12 kata atau kurang untuk
tiap huruf di atas merupakan petunjuk adanya penurunan kelancaran berbicara verbal.
Namun kita harus hati-hati monginterpretasi tes ini pada pasien dengan tingkat
pendidikan tidak melebihi tingkat Sekolah Menengah Pertama.
Pemeriksaan Pemahaman (Komprehensi) Bahasa Lisan
Kemampuan pasien yang afasia untuk memahami sering sulit dlnllal
Pemeriksaan klinis disisi-ranjang dan tes yang baku cenderung kurang cukup dan
dapat memberikan hasil yang menyesatkan. Langkah terakhir dapat digunakan untuk
mengevaluasi pemahaman (komprehensi) secara klinis, yaitu dengan cara konversasi,
suruhan, pilihan (ya atau tidak), dan menunjuk.
Konversasi. Dengan mengajak pasien bercakap-cakap dapat dinilai
kemampuannya memahami pertanyaan dan suruhan yang diberikan oleh pemeriksa.
Suruhan. Serentetan suruhan, mulai dari yang sederhana (Satu langkah) sampai pada
yang sulit (banyak langkah) dapat digunakan untuk menilai kemampuan pasien
memahami. Mula-mula suruh pasien bertepuk tangan, kemudian tingkatkan
kesulitannya, misalnya: mengambil pinsil, letakkan di kotak dan taruh kotak di atas
kursi (suruhan ini dapat gagal pada pasien dengan apraksia dan gangguan motorik,
walaupun pemahamannya baik; hal ini harus diperhatikan oleh pemeriksa).
Pemeriksa dapat pula mengeluarkan beberapa benda, misalnya kunci, duit,
arloji, vulpen, geretan. Suruh pasien menunjukkan salah sntu benda tersebut,
misalnya arloji. Kemudian suruhan dapat dlpermilit, misalnya: tunjukkan jendela,
setelah itu arloji, kemudian vulpen. Pasion tanpa afasia dengan tingkat inteligensi
yang rata-rata mampu menunjukkan 4 atau lebih objek pada suruhan yang beruntun.
Pasien dengan Afasia mungkin hanya mampu menunjuk sampai 1 atau 2 objek saja.
Jadi, pada pemeriksaan ini pemeriksa (dokter) menambah jumlah objek yang hams
ditunjuk, sampai jumlah berapa pasien selalu gagal.
Ya atau tidak. Kepada pasien dapat juga diberikan tugas berbentuk pertanyaan yang
dijawab dengan "ya" atau "tidak". Mengingat kemungkinan salah ialah 50%,
jumlah pertanyaan harus banyak, paling sedikit 6 pertanyaan, misalnya :
"Andakah yang bernama Santoso?"
"Apakah AC dalam ruangan ini mati ?"
"Apakah ruangan ini kamar di hotel ?"
"Apakah diluar sedang hujan?"
"Apakah saat ini malam hari?"
Menunjuk. Kita mulai dengan suruhan yang mudah difahami dan kemudian
meningkat pada yang lebih sulit. Misalnya: "tunjukkan lampu", kemudian "tunjukkan
gelas yang ada disamping televisi".
Pemeriksaan sederhana ini, yang dapat dilakukan di sisi-ranjang, kurang
mampu menilai kemampuan pemahaman dengan baik sekali, namun dapat
memberikan gambaran kasar mengenai gangguan serta beratnya. Korelasi anatomis
dengan komprehensi adalah kompleks.
3. Pemeriksaan Repetisi (Mengulang)
Kemampuan mengulang dinilai dengan menyuruh pasien mengulang, mula-
mula kata yang sederhana (satu patah kata), kemudian ditingkatkan menjadi banyak
(satu kalimat). Jadi, kita ucapkan kata atau angka, dan kemudian pasien disuruh
mengulanginya.
Cara Pemeriksaan:
Pasien disuruh mengulang apa yang diucapkan oleh pemeriksa. Mula-mula sederhana
kemudian lebih sulit. Contoh:
a) Map
b) Bola
c) Kereta
d) Rumah Sakit
e) Sungai Barito
f) Lapangan Latihan
g) Kereta api malam
h) Besok aku pergi dinas
i) Rumah ini selalu rapi
j) Sukur anak itu naik kelas
k) Seandainya si Amat tidak kena influenza
Pemeriksa harus memperhatikan apakah pada tes repetisi ini didapatkan
parafasia, salah tatabahasa, kelupaan dan penambahan. Orang normal umumnya
mampu mengulang kalimat yang mengandung 19 suku-kata.
Banyak pasien afasia yang mengalami kesulitan dalam mengulang (repetisi),
namun ada juga yang menunjukkan kemampuan yang baik dalam hal mengulang,
dan sering lebih baik daripada berbicara spontan. Umumnya dapat dikatakan
bahwa pasien afasia dengan gangguan kemampuan mengulang mempunyai
kelainan patologis yang melibatkan daerah peri-sylvian. Bila kemampuan
mengulang terpelihara, maka daerah -sylvian bebas dari kelainan patologis.
Umumnya daerah ekstra-sylvian yang terlibat dalam kasus afasia tanpa
defek repetisi terletak di daerah perbatasan vaskuler (area water-shed).
4. Pemeriksaan Menamai Dan Menemukan Kata
Kemampuan menamai objek merupakan salah satu dasar fungsi berbahasa. Hal ini
sedikit-banyak terganggu pada semua penderita afasia. Dengan demikian, semua tes
yang digunakan untuk menilai afasia mencakup penilaian terhadap kemampuan ini.
Kesulitan menemukan kata erat kaitannya dengan kemampuan menyebut nama
(menamai) dan hal ini disebut anomia.
Penilaian harus mencakup kemampuan pasien menyebutkan nama objek, bagian
dari objek, bagian tubuh, warna, dan bila perlu gambar geometrik, simbol matematik
atau nama suatu tindakan. Dalam hal ini, perlu digunakan aitem yang sering
digunakan (misalnya sisir, arloji) dan yang jarang ditemui atau digunakan (misalnya
pedang). Banyak penderita afasia yang masih mampu menamai objek yang sering
ditemui atau digunakan dengan cepat dan tepat, namun lamban dan tertegun, dengan
sirkumlokusi (misalnya, melukiskan kegunaannya) atau parafasia pada objek yang
jarang dijumpainya.
Cara pemeriksaan. Terangkan kepada pasien bahwa ia akan disuruh menyebutkan
nama beberapa objek juga warna dan bagian dari objek tersebut. Kita dapat
menilai dengan memperlihatkan misalnya arloji, bolpoin, kaca mata, kemudian
bagian dari arloji (jarum menit, detik), lensa kaca mata. Objek atau gambar objek
berikut dapat digunakan: Objek yang ada di ruangan: meja, kursi, lampu, pintu,
jendela. Bagian dari tubuh: mata, hidung, gigi, ibu jari, lutut Warna: merah, biru,
hijau, kuning, kelabu. Bagian dari objek: jarum jam, lensa kaca mata, sol sepatu,
kepala ikat pinggang, bingkai kaca mata.
Perhatikanlah apakah pasien dapat menyebutkan nama objek dengan cepat atau
lamban atau tertegun atau menggunakan sirkumlokusi, parafasia, neologisme dan
apakah ada perseverasi. Disamping meng¬gunakan objek, dapat pula digunakan
gambar objek. Bila pasien tidak mampu menyebutkan nama objek, dapatkah ia
memilih nama objek tersebut dari antara beberapa nama objek.Gunakanlah sekitar 20
objek sebelum menentukan bahwa tidak didapatkan gangguan.
Area bahasa di posterior ialah area kortikal yang terutama bertugas memahami
bahasa lisan. Area ini biasa disebut area Wernicke; mengenai batasnya belum ada
kesepakatan. Area bahasa bagian frontal berfungsi untuk produksi bahasa. Area
Brodmann 44 merupakan area Broca.
Penelitian dengan PET (positron emission tomography) tentang meta-bolisme
glukosa pada penderita afasia, menyokong spesialisasi regional tugas ini. Namun
demikian, pada hampir semua bentuk afasia, tidak tergantung pada jenisnya, didapat
pula bukti adanya hipometabolisme di daerah temporal kiri. Penelitian ini memberi
kesan bahwa sistem bahasa sangat kompleks secara anatomi-fisiologi, dan bukan
merupakan kumpulan dari pusat-pusat kortikal dengan tugas-tugas terbatas atau
terpisah-pisah atau sendiri-sendiri.
5. Pemeriksaan Sistem Bahasa
Evaluasi sistem bahasa harus dilakukan secara sistematis. Perlu diperhatikan
bagaimana pasien berbicara spontan, komprehensi (pemahaman), repetisi
(mengulang) dan menamai (naming). Membaca dan menulis harus dinilai pula setelah
evaluasi bahasa lisan. Selain itu, perlu pula diperiksa sisi otak mana yang dominan,
dengan melihat penggunaan tangan (kidal atau kandal).Dengan melakukan penilaian
yang sistematis biasanya dalam waktu yang singkat dapat diidentifikasi adanya afasia
serta jenisnya. Pasien yang afasia selalu agrafia dan sering aleksia, dengan demikian
pengetesan membaca dan menulis dapat dipersingkat. Namun demikian, pada pasien
yang tidak afasia, pemeriksaan membaca dan menulis harus dilakukan sepenuhnya,
karena aleksa atau agrafia atau keduanya dapat terjadi terpisah (tanpa afasia).
6. Pemeriksaan Penggunaan Tangan (Kidal Atau Kandal)
Penggunaan tangan dan sisi otak yang dominan mempunyai kaitan yang erat
Sebelum menilai bahasa perlu ditentukan sisi otak mana yang dominan, dengan
melihat penggunaan tangan. Mula-mula tanyakan kepadn p irsion apakah ia kandal
(right handed) atau kidal. Banyak orang kidal telah illnjarkan sejak kecil untuk
menulis dengan tangan kanan. Dengan ilcmikian, mengobservasi cara menulis saja
tidak cukup untuk menentukan npakah seseorang kandal atau kidal. Suruh pasien
memperagakan tangan mana yang digunakannya untuk memegang pisau, melempar
bola, dsb. Tanyakan pula apakah ada juga kecenderungannya menggunakan tangan
yang lainnya. Spektrum penggunaan tangan bervariasi dari kandal yang kuat; kanan
sedikit lebih kuat dari kiri; kiri sedikit lebih kuat dan kanan dan kidal yang kuat. Ada
individu yang kecenderungan kandal dan kidalnya hampir sama (ambi-dextrous)
7. Pemeriksaan berbicara - spontan
Langkah pertama dalam menilai berbahasa ialah mendengarkan bagaimana pasien
berbicara spontan atau bercerita. Dengan mendengnrknn pasien berbicara spontan
atau bercerita, kita dapat memperoleh data yang sangat berharga mengenai
kemampuan pasien berbahasa. Cara Ini tidak kalah pentingnya dari tes-tes bahasa
yang formal.
Kita dapat mengajak pasien berbicara spontan atau berceritera melalui pertanyaan
berikut : Coba ceritakan kenapa anda sampai dirawat di rumah sakit. Coba ceritakan
mengenai pekerjaan anda serta hobi anda.
Bila mendengarkan pasien berbicara spontan atau bercerita, perhatikan:
a) Apakah bicaranya pelo, cadel, tertegun-tegun, disprosodik (irama, ritme, intonasi
bicara terganggu). Pada afasia sering ada gangguan ritme dan irama (disprosodi).
b) Apakah ada afasia, kesalahan sintaks, salah menggunakan kata
(parafasia, neologisme), dan perseverasi. Perseverasi sering dijumpai pada afasia.
Kadang afasia ditandai oleh kesulitan menemukan nama, sedangkan modalitas
lainnya relatif utuh. Pasien mengalami kesulitan menamai sesuatu benda. Pada
pasien demikian kita dengar ungkapan seperti : "anu, itu, kau, kau tahu kan, ya
anu itu". Afasia amnestik ini sering merupakan sisa afasia yang hampir pulih,
pada afasia yang tersebut terdahulu, namun dapat juga dijumpai pada berbagai
gangguan otak yang difus. Afasia amnestik mempunyai nilai lokalisasi yang kecil.
Adakalanya digunakan kata afasia campuran. Sebetulnya kata ini kurang tepat,
karena di klinik semua jenis afasia adalah campuran, hanya bidang tertentu lebih
menonjol atau lebih berat. Berbagai tes wawabcara, membaca, menulis,
menggambar, ataupun melakukan tugas-tugas tertentu bias digunakan untuk
mengetahui terjadinya kerusakan otak, dan tinggal dicocokkan dengan
pemeriksaan CT-Scan pada otak. Pemeriksaan ini sangat penting untuk terapi dan
rehabilitasi pasien.

F. PENATALAKSANAAN

Meningkatkan harga diri positif. Pasien afasia harus diberi banyak pengaman
psikologis bila memungkinkan. Kesabaran dan pengertian dibutuhkan sekali pada saat
pasien belajar. Dan pasien diperlakukan sebagai orang dewasa. Suatu tindakan dengan
cara yang tidak terburu-buru, dikombinasi dengan dorongan, kesabaran, dan keinginan
untuk menyediakan waktu. Pembelajaran ulang wicara dan keterampilan bahasa
memerlukan waktu beberapa tahun.
Individu afasia mengalami defresi akibat ketidak mampuan bercakap-cakap
dengan orang lain. Tidak dapat berbicara melalui telpon atau menjawab pertanyaan, atau
mengungkapkan diri melalui percakapan menyebapkan marah, frustasi, takut tentang
masa depan, dan perasaan hilangnya harapan.
Perawat harus menerima tingkah laku pasien dan perasaannya, mengurangi
keadaan yang memalukan dan memberi dukungan serta menjamin bahwa tidak ada yang
salah dengan integrensi mereka. Biasanya kesukaran bagi perawat dan anggota tim
pelayanan kesehatan lainnya adalah melengkapi pikiran dan kalimat pasien. Hal ini harus
dihindari bila menyebapkan pasien merasa lebih frustasi pada saat tidak dapat mengikuti
pembicaraan, dan dapat menunda upaya-upaya untuk latihan yang juga menggunakan
pikiran dan menunda upaya membuat kalimat lengkap.
Lingkungan harus tenang dan serba membolehkan, dan pasien harus dianjurkan
untuk bersosialisasi dengan keluarga dan teman-teman. Individu afasia sering mengalami
gangguan dalam berpikir dengan nyata, sehingga perawat dan anggota keluarga harus
mengembalikan alat-alat diruangan pada tempat yang seharusnya.
Meningkatkan Kemampuan Komunikasi. Untuk meningkatkan kemampuan
komunikasi, pasien afasia perlu dipimpin dalam upaya-upaya mereka untuk
meningkatkan keterampilan komunikasi. Keterampilan mendengar dan juga berbicara
ditekankan pada program rehabilitas. Pasien juga dapat dibantu dengan papan
komunikasi, yang menampilkan gambar-gambar, sesuai kebutuhan yang diminta dan
diungkapkan. Papan ini dapat menerjemahkan kedalam bahasa yang luas. Pasien harus
dianjurkan untuk mengungkapkan kebutuhan pribadi dan menggunakan papan tulis bila
tidak mampu mengekspresiakan kebutuhan.
Meningkatkan Stimulasi Pendengaran. Pertama pasien dianjurka untuk
mendengar. Berbicara adalah berpikir keras, dan penekanannya adalah berfikir. Pasien
harus berpikir dan menyusun pesan-pesan yang masuk dan merumuskan suatu respons.
Mendengar membutuhkan upaya mental, namun pasien berjuang melawan kebosanan dan
membutuhkan waktu untuk mengatur jawaban.
Dalam bekerjasama dengan pasien afasia, perawat harus ingin untuk berbicara
pada pasien sambil memperhatikan pada pasien tersebut. Berikan konta sosial tehadap
pasien.
Membantu Koping Keluarga. Menolong keluarga melakukan koping terhadap
perubahan gaya hidup yang tidak dapat dicegah, diselesaikan dengan membicarakannya
tentang stroke atau cedera kepala, perubahan yang diperlukan dapat terjadi, yang
berpokus pada kemampuan pasien, dan menginformasika mereka mengenai system
pendukung yang diberikan.
Sikap keluarga merupakan faktor yang penting dalam menolong pasien
menyelesaikan penurunan ini. Anggota keluarga didukung untuk melakukan secara
alamiah dan menyenagkan pasien dalam cara yang sama seperti sebelum sakit. Mereka
harus sadar bahwa kemampuan bicara pasien bervariasi dari hari kehari dan menjadi lelah
setelah bicara. Mereka harus sadar bahwa pasien dapat mogok bicara bila kontrol emosi
menurun. Menangis dan tertawa dapat terjadi tanpa penyebab yang jelas dan biasanya
perasaan hati berubah. Kelompok pendukung seperti pengumpulan stroke dan kelompok
terapi pasien afasia, dapat membantu dalam sosialisai dan motivasi pasien yang sama
baiknya dalam menurunkan kecemasan dan ketegangan. Ketegangan penyesuaian
konstan terhadap penyakit, tuntutan, kebutuhan, serta aliran dana dan perubahan gaya
hidup, dapat menimbulkan tegangan ekstrem dan distres dalam keluarga. Anggota
keluarga sering menjalani kedukaan periode ini.
Selain untuk mempelajari beberapa kemungkinan tentang cara mendukung pasien
afasia, anggota keluarga harus juga berkonsultasi terus-menerus tentang kehidupan
mereka sendiri dan cari bantuan dari pekerja sosial, rohaniawan, ahli psikologi, jika
mereka membutuhkan bantuan tambahan dalam hubungannya dengan keadaan frustasi
dan tekanan.
Bina wicara (speech therapy) pada afasia didasarkan pada :
1) Dimulai seawal mungkin. Segera diberikan bila keadaan umum pasien sudah
memungkinkan pada fase akut penyakitnya.
2) Dikatakan bahwa bina wicara yang diberikan pada bulan
pertama sejak mula sakit mempunyai hasil yang paling baik.
3) Hindarkan penggunaan komunikasi non-linguistik (seperti isyarat).
4) Program terapi yang dibuat oieh terapis sangat individual dan tergantung dari latar
belakang pendidikan, status sosial dan kebiasaan pasien.
5) Program terapi berlandaskan pada penurnbuhan motivasi pasien untuk mau belajar
(re-learning) bahasanya yang hilang. Memberikan stimulasi supaya pasien
metnberikan tanggapan verbal. Stimuli dapat berupa verbal, tulisan atau pun taktil.
Materi yang teiah dikuasai pasien perlu diulang-ulang(repetisi).
6) Terapi dapat diberikan secara pribadi dan diseling dengan terapi kelompok dengan
pasien afasi yang lain.
7) Penyertaan keluarga dalam terapi sangat mutlak.
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN TEORI

A. PENGKAJIAN
1. Mayor
a) Ketidakmampuan untuk mengucapkan kata-kata tetapi dapat dimengerti orang lain.
b) Mengungkapkan kurang pengetahuan atau keterampilan-keterampilan/permintaan
informasi.
c) Mengekspresikan suatu ketidakuratan persepsi status kesehatan melakukan dengan
tidak tepat perilaku kesehatan yang dianjurkan atau yang diinginkan.
d) Jangka panjang atau kronik.
e) Pengungkapan diri yang negative
f) Ekspresi rasa bersalah/malu.
g) Evaluasi diri karena tidak dapat menangani kejadian.
h) Menjauhi rasionalisasi/menolak umpan balik positif dan membesarkan umpan balik
negative mengenai diri.
i) Ragu untuk mencoba hal-hal/situasi baru.
j) Melaporkan ketidakmampuan untuk menetapkan dan/atau mempertahankan
hubungan suportif yang stabil.
k) Ketidakpuasan dengan jaringan sosial

2. Minor
a) Napas Pendek.
b) Memperlihatkan atau mengekspresikan perubahan psikologi (mis,ansietas, depresi)
mengakibatkan informasi atau kurang informasi.
c) Sering kurang berhasil dalam kerja atau kejadian hidup lainnya.
d) Penyelesaian diri berlebihan, bergantung pada pendapat orang lain.
e) Buruknya penampilan tubuh (Kontak mata, postur, gerakan).
f) Tidak asertif/pasif.
g) Keragu-raguan.
h) Mencari jaminan secara berlebihan.
i) Isolasi sosial.
j) Hubungan superficial.
k) Menyalahi orang lain untuk masalah-masalah interpersonal.
l) Menghindari orang lain.
m) Kesulitan Interpersonal di tempat kerja.
n) Orang lain melaporkan tentang pola interaksi yang bermasalah.
o) Perasaan tentang tidak dimengerti.
p) Perasaan tentang penolakan

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Risiko perfusi serebral ditandai dengan aterosklerosis aorta
2. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan penurunan sirkulasi serebral ditandai
dengan tidak mampu berbicara atau mendengar
3. Gangguan interaksi sosial berhubungan dengan defisiensi bicara ditandai kurang
responsif

C. INTERVENSI KEPERAWATAN
DX Tujuan/Kriteria hasil Intervensi Rasional
1.  Memperlihatkan  Identifikasi Sebagai data dasar
kemampuan yang metode alternatif untuk melakukan
meningkat untuk yang dapat intervensi
mengekspresikan diri digunakan orang selanjutnya
 Mengungkapkan tersebut untuk
penurunan dengan mengkomunikasik
komunikasi an kebutuhan-
kebutuhan dasar.
 Anjurkan Keluarga Dukungan dari
untuk membagi keluarga sangat
perasaan-perasaan diperlukan untuk
mengenai kemajuan
masalah-masalah kesehatan klien
dalam
berkomunikasi
 Klarifikasi bahasa
apa yang Untuk
digunakan di mempermudah
rumah klien dalam
berkomunikasi
dikehidupan sehari-
hari
 Upayakan untuk
rehabilitatif Pada usia yang
menggunakan sama biasanya
jender dan usia klien akan lebih
yang sama dengan mengerti
klien
2.  Klien mampu  Monitor Untuk mengetahui
berbicara kecepatan, perkembangan
tekanan, kuantitas , bicara pasien
volume dan diksi
bicara
 Gunakan metode
Agar pasien
komunikasi mampu menangkap
alternatif dan mengerti
 Anjurkan Agar pasien
berbicara perlahan mampu mengenal
bahas

3.  Klien mampu  Identifikasi Untuk mengetahui


berinteraksi dan penyebab tingkat
bersosialisasi kurangnya keterampilan sosial
keterampilan klien
sosial berlatih
keterampilan
sosial
 Edukasi keluarga Agar keluarga
untuk dukungan memahami dan
keterampilan bisa melatih klien
sosial dengan mandiri
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Afasia adalah gangguan berbahasa akibat gangguan serebrovaskuler
hemisfer dominan, trauma kepala, atau proses penyakit. Terdapat beberapa
tipe afasia, biasanya digolongkan sesuai lokasi lesi. Semua penderita
afasia memperlihatkan keterbatasan dalam pemahaman, membaca,
ekspresi verbal, dan menulis dalam derajat berbeda-beda.
Afasia biasanya berarti hilangnya kemampuan berbahasa setelah
kerusakan otak. Dalam hal ini pasien menunjukkan gangguan dalam
memproduksi dan / atau memahami bahasa.
Afasia terjadi akibat kerusakan pada area pengaturan bahasa/bicara
di otak pada manusia, fungsi kemampuan bahasa mengalami lateralisasi ke
hemisfer kiri otak, pada orang afasia sebagian besar lesi terletak pada
hemisfer kiri.
B. Saran
1. Bagi mahasiswa:
Hendaknya mahasiswa/i dapat melakukan askep sesuai dengan
tahapan-tahapan dari protap dengan baik dan benar yang diperoleh
selama masa pendidikan baik di akademik maupun di lapangan
praktek.
2. Pasien
Hendaknya pasien mampu dan mau mengikuti program terapi dengan
baik serta kooperativ pada saat dilakukan tindakan, baik tindakan
medis maupun tindakan keperawatan
3. Keluarga:
Agar keluarga selalu memberikan dukungan seperti meningkatkan
motivasi kepada pasien dan juga berperan dalam perawatan pasien
pada saat di rumah sakit maupun saat dirumah.

Anda mungkin juga menyukai