Anda di halaman 1dari 13

A.

Istirahat tidur
1. Tidur
Tidur adalah proses yang berhubungan dengan mata tertutup selama beberapa periode
yang memberikan istirahat total bagi mental dan aktivitas fisik manusia, kecuali fungsi
beberapa organ vital seperti jantung, paru-paru, hati, sirkulasi darah dan organ dalam
lainnya. Kedalaman tidur tidak teratur sepanjang periode tidur. Hal tersebut tergantung
pada beberapa faktor seperti faktor usia, aktivitas yang dilakukan, penyakit yang
diderita, dan lain-lain.
Kebutuhan tidur berubah secara dramatis dari bayi hingga usia tua. Bayi baru lahir
memiliki pola tidur polifasik dengan total 16 jam tidur per hari. Saat seorang anak
berusia 3 sampai 5 tahun, kebutuhan tidur menurun menjadi sekitar 11 jam per hari.
Remaja usia 9 hingga 10 tahun memiliki kebutuhan tidur sekitar 10 jam per hari. Orang
dewasa menunjukkan pola tidur monofasik dengan durasi rata-rata 7,5 hingga 8 jam per
malam, (Reza et al., 2019)
2. Kebutuhan tidur pada usia lanjut
Sebagian besar lansia berisiko tinggi mengalami gangguan tidur akibat berbagai faktor.
Proses patologis terkait usia dapat menyebabkan perubahan pola tidur, gangguan tidur
mempengaruhi kualitas hidup. Selama penuaan, pola tidur mengalami perubahan-
perubahan yang khas yang membedakannya dengan orang-orang yang lebih muda.
Perubahan-perubahan tersebut mencakup kelatenan tidur, terbangun pada dini hari, dan
peningkatan jumlah tidur siang. Jumlah waktu yang dihabiskan untuk tidur yang lebih
dalam juga menurun. (Sulistyarini & Santoso, 2016)
Kualitas tidur pada lansia yang buruk tidak lepas dari faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Bertambahnya usia juga terdapat penurunan dalam kualitas tidur.
Kebutuhan tidur setiap orang berbeda-beda, usia lanjut membutuhkan waktu tidur 6-7
jamper hari. Pada usia lanjut pun akan terjadi proses perubahan fisik dan mental yang
mana perubahan itu juga terjadi pada pola tidurnya.
B. Fisiologi Tidur
1. Fisiologi tidur secara umum
Tidur merupakan salah satu cara untuk melepaskan kelelahan jasmani dan
kelelahan mental. Fisiologi tidur merupakan pengaturan kegiatan tidur oleh adanya
hubungan mekanisme serebral yang secara bergantian untuk mengaktifkan dan menekan
pusat otak agar dapat tidur dan bangun. Salah satu aktvitas tidur ini diatur oleh sistem
pengaktivasi retikularis yang merupakan sistem yang mengatur seluruh tingkatan
kegiatan susunan saraf pusat termasuk pengaturan kewaspadaan dan tidur. dalam
mesensefalon dan bagian atas pons. Selain itu, reticular activating system (RAS) dapat
memberi rangsangan visual, pendengaran, nyeri dan perabaan juga dapat menerima
stimulasi dari korteks serebri termasuk rangsangan emosi dan proses pikir. Dalam
keadaan sadar, neuron dalam RAS akan melepaskan katekolamin seperti norepineprin.
Demikian juga pada saat tidur, disebabkan adanya pelepasan serum serotonin dari sel
khusus yang berada di pons dan batang otak tengah, yaitu bulbar synchronizing regional
(BSR), sedangkan bangun tergantung dari keseimbangan impuls yang diterima di pusat
otak dan system limbik. (Ambarwati, 2017)

Tidur dibagi menjadi 2 tipe yaitu:

a. Tipe Rapid Eye Movement (REM)

b. Tipe Non Rapid Eye Movement (NREM).

Fase awal tidur didahului oleh fase NREM yang terdiri dari 4 stadium, lalu diikuti
oleh fase REM. Keadaan tidur normal antara fase NREM dan REM terjadi secara
bergantian antara 4-7 kali siklus semalam.

1) Tipe NREM dibagi dalam 4 stadium yaitu:


- Tidur stadium Satu. Fase ini merupakan antara fase terjaga dan fase awal
tidur. Fase ini didapatkan kelopak mata tertutup, tonus otot berkurang dan
tampak gerakan bola mata kekanan dan kekiri. Fase ini hanya berlangsung
3-5 menit dan mudah sekali dibangunkan.
- Tidur stadium dua Pada fase ini didapatkan bola mata berhenti bergerak,
tonus otot masih berkurang, tidur lebih dalam dari pada fase pertama.
- Tidur stadium tiga Fase ini tidur lebih dalam dari fase sebelumnya.
- Tidur stadium empat Merupakan tidur yang dalam serta sukar
dibangunkan. Fase tidur NREM, ini biasanya berlangsung antara 70 menit
sampai 100 menit, setelah itu akan masuk ke fase REM.
2) Tipe REM
Pada waktu REM jam pertama prosesnya berlangsung lebih cepat dan
menjadi lebih insten dan panjang saat menjelang pagi atau bangun. Pola tidur
REM ditandai adanya gerakan bola mata yang cepat, tonus otot yang sangat
rendah, apabila dibangunkan hampir semua organ akan dapat menceritakan
mimpinya, denyut nadi, tonus otot menunjukkan relaksasi yang dalam. Pola
tidur REM berubah sepanjang kehidupan seseorang seperti periode neonatal
bahwa tidur REM mewakili 50% dari waktu total tidur.

2. Fisiologi tidur pada lansia


Pada masa lansia akan mengalami perubahan atau penurunan fungsi tubuhnya.
Salah satu daiantaranya adalah berkurangnya kebutuhan tidur. Seseorang lansia akan
terbangun lebih sering di malam hari, dan membutuhkan banyak waktu untuk jatuh
tertidur. Akan tetapi, pada lansia yang berhasil beradaptasi terhadap perubahan
fisiologis dan psikologis dalam penuaan lebih mudah memelihara tidur dan
keberlangsungan dalam siklus tidur yang mirip dengan dewasa muda.
Pada umumnya lansia mengalami penurunan fungsi kognitif dan psikomotor.
Faktor yang mempengaruhi perubahan mental yaitu: perubahan fisik, kesehatah umum,
tingkat pendidikan, keturunan, lingkungan. Dari segi mental emosional lansia sering
muncul perasaan pesimis, timbulnya perasaan tidak aman dan cemas, adanya kekacauan
mental akut, merasa terancam akan timbulnya suatu penyakit atau takut di terlantarkan
karena tidak berguna lagi. Dengan adanya hal tersebut maka lansia akan menjadi lebih
banyak mementingkan kehidupan akhirat daripada kehidupan duniawi, selain itu lansia
biasanya sering mengingat atau merenungi setiap perbuatan yang dilakukannya selama
masa mudanya sebagai bekal ansia kelak di akhirat. Dengan adanya hal tersebut maka
lansia menjadi susah untuk memulai tidurnya. (Rianjani et al., 2011)
1. Gangguan Tidur Pada Lansia
Gangguan tidur pada lansia adalah sebuah hal yang sering di alami oleh kelompok usia
lanjut (lansia). Gangguan tidur pada lansia ini disebabkan oleh banyak faktor penyebab,
baik itu faktor fisik, psikologis maupun mental. Ganggun tidur pada lansia bisa berupa
gangguan kesulitan tidur ataupun gangguan mempertahankan waktu tidur nyenyak.
Gangguan tidur pada lansia dapat bersifat nonpatologik karena faktor usia danada pula
gangguan tidur spesifik yang sering ditemukan pada lansia. Ada beberapa gangguan tidur
yang sering ditemukan pada lansia. https://repository.unja.ac.id/2381/1/JURNAL.pdf

A. INSOMNIA http://poltekkes-denpasar.ac.id/files/JURNAL%20GEMA
%20KEPERAWATAN/JUNI%202015/I%20Nengah%20Sumirta.pdf
Insomnia pada lansia merupakan keadaan dimana individu mengalami suatu
perubahan dalam kuantitas dan kualitas pola istirahatnya yang menyebabkan rasa
tidak nyaman atau mengganggu gaya hidup yang di inginkan.Gangguan tidur pada
lansia jika tidak segera ditangani akan berdampak serius dan akan menjadi gangguan
tidur yang kronis. Secara fisiologis, jika seseorang tidak mendapatkan tidur yang
cukup untuk mempertahankan kesehatan tubuh dapat terjadi efek-efek seperti pelupa,
konfusi dan disorientasi (Asmadi, 2008).
Kebanyakan lansia beresiko mengalami insomnia yang disebabkan oleh berbagai
faktor seperti pensiunan, kematian pasangan atau teman dekat, peningkatan obat-
obatan, dan penyakit yang dialami.
Insomnia pada lansia disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu dari faktor status
kesehatan, penggunaan obat-obatan, kondisi lingkungan, stres psikologis, diet/nutrisi,
gaya hidup Insomnia pada usia lanjut dihubungkan dengan penurunan memori,
konsentrasi terganggu dan perubahan kinerja fungsional. Perubahan yang sangat
menonjol yaitu terjadi pengurangan pada gelombang lambat, terutama stadium empat,
gelombang alfa menurun,dan meningkatnya frekuensi terbangun di malam hari atau
meningkatnya fragmentasi tidur karena seringnya terbangun. Gangguan juga terjadi
pada dalamnya tidur sehingga lansia sangat sensitif terhadap stimulus lingkungan,
kalau seorang dewasa muda normal akan terbangun sekitar 2-4 kali. Tidak begitu
halnya dengan lansia, ia lebih sering terbangun (Darmojo, 2005).
Dampak Insomnia pada lansia; misalnya mengantuk berlebihan di siang hari,
gangguan atensi dan memori, mood depresi, sering terjatuh, penggunaan hipnotik
yang tidak semestinya, dan penurunan kualitas hidup. Beberapa gangguan tidur dapat
mengancam jiwa baik secara langsung (misalnya insomnia yang bersifat keturunan
dan fatal dan apnea tidur obstruktif) atau secara tidak langsung misalnya kecelakaan
akibat gangguan tidur.
Penanganan atau sikap yang tepat untuk mengatasinya dengan tindakan non
farmakologis seperti hindari dan meminimalkan penggunaan minum kopi, teh, soda
dan alkohol, serta merokok sebelum tidur dapat mengganggu kualitas tidur lansia,
hindari tidur siang terutama setelah pukul 14.00 WIB dan batasi tidur siang, batas
untuk satu kali tidur kurang dari 30 menit, pergi ke tempat tidur hanya bila
mengantuk, mempertahankan suhu yang nyaman di kamar tidur, suara gaduh, cahaya,
dan temperatur dapat mengganggu tidur (Hardiwinoto, 2010).
Penyebab insomnia pada lansia dapat dibagi menjadi empat kelompok:
(1) penyakit fisik atau gejala, seperti nyeri jangka panjang, kandung kemih atau
prostat, penyakit sendi seperti arthritis atau bursitis, dan gastroesophageal reflux;
(2) faktor lingkungan/perilaku, termasuk diet/ nutrisi;
(3) penggunaan obatobatan, seperti kafein, alkohol, atau obat resep untuk
penyakit kronis, dan
(4) penyakit mental yang atau gejala, seperti kecemasan, depresi, kehilangan
identitas pribadi, atau dapat dikatakan status kesehatan yang buruk.
https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/download/11936/8241/
B. HIPERSOMNIA
Hipersomnia dicirikan dengan tidur lebih dari 8 atau 9 jam per periode 24 jam,
dengan keluhan tidur berlebihan (Stanley, 2006). Biasanya disebabkan oleh masalah
psikologis, depresi, kecemasan, dan gaya hidup yang membosankan (Hidayat, 2008).
Dengan pada ciri mengantuk di siang hari yang persisten, mengalami serangan tidur.
C. ENURESIS
Enuresis yaitu kencing yang tidak disengaja atau mengompol, paling banyak terjadi
pada laki-laki (Asmadi, 2008). Pada pria lansia dapat terjadi hipertrofi kelenjar
prostat yang menyebabkan tekanan pada leher kandung kemih sehingga sering
berkemih. Selain itu, hipertrofi prostat dapat mengakibatkan kesulitan memulai dan
mempertahankan aliran urine. Wanita lansia, terutama wanita yang memiliki anak,
dapat mengalami inkontinensia stress, yaitu terjadi pelepasan urine involunter saat
batuk, bersin, atau pun saat tidur tanpa disadari mereka akan mengompol sehingga
menyebabkan terbangun hal ini disebabkan karena melemahnya otot kandung kemih
pada lansia (Perry & Potter, 2005)
D. NARKOLEPSI
Merupakan keinginan yang tidak terkendali untuk tidur atau serangan mengantuk
mendadak, sehingga dapat tertidur pada setiap saat di mana serangan tidur itu datang
(Asmadi, 2008). Serangan mendadak yang dialami pada siang hari tidak bisa
dihindari, biasanya berlangsung 10-20 menit atau kurang dari 1 jam(Copel, 2007).
Gambaran tidur pada narkolepsi ini menunjukkan penurunan fase REM 30-70 %.
Terdapat empat gejala klasik penderita narkolepsi yaitu rasa kantuk berlebihan
(EDS), melemasnya otot secara mendadak (katapleksi), dan sleep paralysis (keadaan
ketika akan tidur atau bangun tidur merasa sesak napas seperti tercekik, dada sesak,
sulit berteriak, dan badan sulit bergerak) (Hanun, 2011).
E. APNEA TIDUR
Apnea tidur merupakan henti napas saat tidur atau mendengkur (Stanley, 2006). Yang
disebabkan oleh rintangan terhadap pengaliran udara di hidung dan di mulut. Pangkal
lidah yang menyumbat saluran napas sering terjadi pada usia lanjut karena otot-otot di
bagian belakang mengendur lalu bergetar jika dilewati udara pernapasan (Asmadi,
2008). Telah dilaporkan apnea napas terjadi pada 11% sampai 62% pada usia lanjut
(Cole & Richards, 2007). Sebagian besar penderita apnea tidur ini adalah pria, dengan
keluhan sering terbangun di malam hari, banyak tidur di siang hari, mendengkur,dan
nyeri kepala pada saat bangun (Lumbantobing, 2004)
2. Factor Yang Mempengaruhi
Sesuai pada jurnal : http://jki.ui.ac.id/index.php/jki/article/download/159/340
A. Faktor Fisiologis. Penyebab utama gangguan tidur klien pada tingkat gangguan yang
tinggi adalah nyeri, sesak napas, dan batuk. Nyeri membuat klien terbangun dari
tidurnya dan sulit mempertahankan tidur. Nyeri dapat timbul dari kondisi infeksi
pernapasan, pencernaan, dispepsia, serangan angina, MCI, kanker, dll. Sesak napas,
batuk, gatal-gatal pada kulit dan inkontinensia mengakibatkan klien sulit memulai
tidur dan sering terbangun (Fass, Fullerton, Tung, & Mayer, 2000; Menefe et al,
2000: Reimer, 2000).
B. Faktor Tindakan Perawat. Tindakan perawat pada klien lain, pemberian obat,
pengukuran tanda vital mengganggu tidur klien hanya pada tingkat ringan. Ini
beralasan karena klien menerima tindakan perawat tersebut sebagai upaya
pertolongan untuk mengeliminasi gejala penyakit yang mengganggu tidur (Simpson,
Lee & Cameron, 1996).
C. Faktor Lingkungan. Keadaan lingkungan yang mengganggu tidur klien adalah suara
bising, suhu ruangan panas, tempat tidur tidak nyaman, lampu terlalu terang. Namun
gangguannya tingkat ringan-sedang. Bising yang dikeluhkan klien mengindikasikan
bahwa suara (dari berbagai sumber) tersebut sudah melewati level >40 dB, di
antaranya dari bunyi telepon, bel ruangan, instrumen medis, dan aktivitas tim
kesehatan (Toft, Bookman, & Arand, 1996). The U.S. Environmental Protection
Agency (1974) dalam Freedman, Kotzer, & Schwab (1999) merekomendasikan level
suara di rumah sakit termasuk ruangan penyakit dalam pada malam hari seharusnya.
D. Faktor Psikologi. Dari klien yang cemas, 91% (N=22) mengalami kualitas tidur
buruk, dan klien yang teridentifikasi depresi, 86% (N=37) mengalami kualitas tidur
buruk. Ini menunjukkan perawatan di rumah sakit menimbulkan cemas dan depresi
klien akibat dari rasa khawatir karena kondisi penyakit, biaya pengobatan, dan
prosedur tindakan medis (Craven & Hirnle, 2000). Menurut Miller (1995) dan
Fordham (1991) cemas dan depresi dapat membangunkan klien dari tidurnya, sulit
tertidur kembali dan bangun lebih pagi.

Kesimpulannya :

Gangguan tidur utama dari faktor fisik adalah nyeri, sesak napas, dan batuk. Tindakan
perawat pada malam hari seperti pengukuran tanda vital, pemberian obat-obatan dan
kontrol perawat terhadap klien lain mengganggu tidur klien hanya pada tingkat ringan.
Sedangkan dari lingkungan: suara bising, suhu ruangan panas, lampu terlalu terang
mengganggu tidur klien pada tingkat ringansedang. Faktor psikososial seperti cemas dan
depresi juga menyebabkan kualitas tidur buruk selama di rumah sakit

E. Depresi
Depresi adalah perasaan sedih dan pesimis yang berhubungan dengan suatu
pengalaman yang tidak menyenangkan, dapat berupa serangan yang ditunjukkan pada
diri sendiri atau perasaan marah yang mendalam. Depresi merupakan masalah
kesehatan jiwa yang paling sering ditemukan pada lansia dengan gejalagejala meliputi
gangguan tidur atau cepat terbangun pada dini hari; kelelahan, lemas, dan kurang
menikmati kehidupan sehari-hari; mengabaikan kebersihan dan kerapihan diri; cepat
marah dan tersinggung; topik pembicaraan yang pesimis atau putus asa; nafsu makan
berkurang atau hilang sehingga berat badan menurun cepat; dalam pembicaraan
cenderung menyatakan ingin bunuh diri.
http://journal.fkm.ui.ac.id/kesmas/article/download/51/52
A. Usia
Orang yang berbeda memiliki kebutuhan tidur yang berbeda, tetapi
kebanyakan orang dewasa dari segala usia membutuhkan sekitar delapan jam
tidur malam untuk merasa istirahat. Dan penuaan menyebabkan perubahan
yang dapat mempengaruhi pola tidur. Pada usia lanjut proporsi waktu yang
dihabiskan dalam tidur tahap 3 dan tahap 4 menurun, sementara yang
dihabiskan di tidur ringan tahap 1 meningkat dan tidur menjadi kurang efisien.
B. Jenis kelamin
Perbedaan gender juga merupakan faktor yang mempengaruhi tidur usia
lanjut. Dimana wanita lebih sering terjadi gangguan tidur daripada laki-laki.
Hal ini disebabkan karena wanita sering mengalami depresi dibanding laki-
laki. Secara psikososial wanita lebih banyak mengalami tekanan dari pada
dengan laki-laki.
C. Lingkungan
Lingkungan fisik yang tenang memungkinkan usia lanjut untuk tidur lebih
nyenyak. Ventilasi yang baik adalah esensial untuk tidur yang tenang. Ukuran,
kekerasan, dan posisi tempat tidur juga dapat mempengaruhi kualitas tidur
pada usia lanjut. Kebisingan dari staf atau penduduk, peralatan seperti
peralatan memasak atau televisi juga dapat mengakibatkan gangguan tidur
pada usia lanjut terutama penghuni panti jompo. Selain itu tingkat cahaya
pada ruangan memiliki efek pada pola tidur. Cahaya yang terang muncul
menjadi kuat menbuat sinkronisasi ritme srikandian dan langsung
mempengaruhi pola tidur khususnya pada usia lanjut.
D. Gaya hidup
Gaya hidup hidup yang membosankan membuat usia lanjut cenderung lebih
banyak tidur. Tetapi ada juga yang tidak bisa tidur. Kelelahan dapat
mempengaruhi pola tidur, semakin tinggi tingkat kelelahan maka akan tidur
semakin nyenyak yang menyebabkan periode tidur REM lebih pendek. Gaya
hidup usia lanjut yang 24 mempunyai kebiasaan mengkonsumsi minuman
yang mengandung kafein, alkohol, dan penggunaan obat-obatan juga dapat
menyebabkan masalah tidur. Beberapa jenis obat yang mempengaruhi proses
tidur adalah jenis golongan obat diuretik yang menyebabkan seseorang
insomnia, kafein dapat meningkatkan saraf simpatis yang menyebabkan
kesulitan untuk tidur, terutama pada usia lanjutyang metabolisme atau
penyerapan obat lebih lambat dari pada pada dewasa muda sehingga
cenderung mengalami gangguan tidur.
E. Depresi
Depresi yang dapat diartikan sebagai gangguan alam perasaan dapat
menyebabkan gangguan pada frekuensi tidur pada usia lanjut. Para ahli
menunjukkan bahwa kombinasi dari dimensia dan depresi dapat menyebabkan
gangguan tidur yang lebih serius. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya
norepinefrin darah melalui sistem saraf simpatis sehingga mengurangi tahap
IV NREM dan REM. Gejala depresi diantaranya hidup mersa bosan,
berkurangnya pada hobi, kurangnya semangat untuk hidup, merasa susah tidur
setiap hari dan murung. Depresi dapat dibedakan dalam tingkatan ringan,
sedang dan berat. Depresi yang terjadi pada usia lanjut mencakup bentuk
depresi yang lebih ringan yang tampak datang dan pergi tanpa presipitan
lingkungan yang jelas dan bentuk depresi yang berat yang tampaknya resisten
terhadap pengobatan.
F. Respon terhadap penyakit
Seiring berjalannya proses penuaan pada usia lanjut maka respon terhadap
penyakit mengalami penurunan secara perlahan-lahan. Sesak napas pada saat
tidur, pusing, ada gerakan kaki secara tidak sadar, ingin buang air kecil dan
terutama respon terhadap nyeri dan ketidaknyamanan yang dapat
mengakibatkan gangguan tidur pada usia lanjut. Kurangnya penanganan nyeri
dapat menjadi masalah bagi usia lanjut karena prevalensi kondisi penyakit
yang sering menyerang usia lanjut. Penyakit yang sering menyerang pada usia
lanjut antara lain 25 penyakit jantung, stoke, diabetes mellitus, penyakit paru,
kanker, osteoporosis dan gangguan memoro. Rasa nyeri yang menyertai
penyakit pada usia lanjut dapat menyebabkan kurang tidur yang dapat
memperburuk kualitas tidur. Sebuah percobaan terbaru yang dilakukan oleh
Roehrs menunjukkan bahwa kehilangan tidur empat jam mengakibatkan
peningkatan sensitivitas terhadap rasa nyeri.
G. Stres
emosi Kecemasan tentang masalah pribadi atau situasi dapat mengganggu
tidur. Stres emosional membuat seseorang menjadi tegang dan seringkali
mengarah frustasi apabila tidak tidur. Stres juga menyebabkan seseorang
mencoba terlalu keras untuk tidur, sering terbangun selama siklus tidur, atau
terlalu banyak tidur. Stres yang berlanjut dapat menyababkan kebiasaan tidur
yang buruk. Seringkali usia lanjut mengalami kehilangan yang mengarah pada
stess emosional. Pensiun, gangguan fisik, kematian orang yang dicintai, dan
kehilngan keamanan ekonomi merupakan contoh situasi yang membuat usia
lanjut untuk cemas dan depresi. Usia lanjut juga seperti individu lain yang
mengalami masalah depresi, sering mengalami perlambatan untuk jatuh tidur,
sering terjaga, munculnya tidur REM secara dini, perasaan tidur yang kurang
dan terbangun cepat.
H. Pengaruh makanan
Tidur dapat dipengaruhi oleh makanan dan minuman. Minuman yang
mengandung kafein (kopi, teh dan minuman cola) membuat tidur lebih sulit
untuk orang dewasa khususnya usia lanjut. Efek yang didapat antara lain
kegelisahan, gugup, insomnia, tremor, peningkatan denyut jantung dan
resistensi pembuluh darah perifer. Alternatif minuman yang tidak akan
mengganggu tidur seperti jus buah, susu dan air putih. Selain kafein, alkohol
juga dapat menyebabkan berkurangnya jumlah tidur baik tidur REM, tidur
nyenyak dan dapat merusak kualitas tidur malam. Alkohol menyebabkan
sekresi hormon diuretik sehingga terbangun pada malam hari untuk buang air
kecil.
I. Obat-obatan
Obat yang dijual bebas maupun obat resep dapat berkontribusi untuk tidur dan
gangguan tidur. Obat dapat menyebabkan gangguan tidur dengan tiga cara
yaitu niat untuk tidur, menimbulkan rasa kantuk, dan menyebabkan gangguan
insomnia. Pada lansia seringkali menggunakan mediasi obat untuk mengontrol
dan mengatasi penyakit kroniknya, dan efek kombinasi dari beberapa obat
dapat mengganggu tidur secara serius. Triptofan, suatu protein alami
ditemukan dalam makanan seperti susu, keju, dan daging, dapat membantu
tidur.
3. Pengkajian Tidur
Menurut Asmadi (2008), aspek yang perlu dikaji pada klien untuk
mengidentifikasi mengenai gangguan kebutuhan istirahat tidur meliputi pengkajian
mengenai
A. Pola tidur, seperti jam berapa klien masuk kamar untuk tidur, jam berapa biasa bangun
tidur dan keteraturan pola tidur klien.
B. Kebiasaan yang dilakukan klien menjelang tidur, seperti membaca buku, buang air kecil
dan lain-lain.
C. Gangguan tidur yang sering dialami klien dan cara mengatasinya
D. Adanya kebiasan tidur siang atau tidak
E. Lingkungan tidur klien, bagaimana kondisi lingkungan tidur klien, apakah kondisinya
bising, gelap, atau suhunya dingin dan lain-lain.
F. Peristiwa yang baru dialami klien dalam hidup, perawat mempelajari apakah peristiwa
yang dialami klien yang menyebabkan klien gangguan tidur.
G. Status emosi dan mental klien. Status emosi dan mental mempengaruhi terhadap
kemampuan klien untuk istirahat dan tidur. Perawat perlu mengkaji mengenai status
H. emosi dan mental misalnya apakah klien mengalami stress emosional atau ansietas, yang
dikaji sumber stress yang dialami klien.
I. Perilaku deprivasi tidur yaitu manifestasi dan perilaku yang timbul sebagai akibat
gangguan istirahat tidur seperti :
a. Penampilan wajah misalnya adakah area gelap di sekitar mata, bengkak dikelopak
mata, konjungtiva kemerahan, mata terlihat cekung dan lain-lain
b. Perilaku yang terkait dengan gangguan istirahat tidur misalnya apakah klien mudah
tersinggung, selalu menguap, kurang konsentrasi, terlihat bingung dan lain-lain.
c. Kelelahan misalnya apakah klien tampak lelah, letih, lesu dan lainlain. Penilaian lebih
lanjut tentang istirahat tidur dapat dilakukan dengan menggunakan buku harian tidur
yang disimpan oleh dewasa yang lebih tua yang berguna untuk mengetahui jumlah
tidur, rutinitas tidur, dan kemungkinan gejala gangguan tidur yang terjadi selama
periode tidur selama 24 jam (Lueckenotte, 2000).

Selain itu informasi tambahan mengenai istirahat tidur dapat menggunakan kuesioner
untuk tujuan penelitian serta untuk evaluasi klinis. Ada tiga contoh instrument untuk
pengkajian kebutuhan istirahat tidur antara lain Stanford Sleepiness Scale (SSS), The
Epworth Sleepiness Scale (ESS), The Pittburgh Sleep Quality Index (PSQI). Dimana SSS
dan ESS digunakan untuk mengukur perasaan mengantuk atau kelelahan pada waktu
tertentu, tetapi ESS lebih mengukur kecenderungan tertidur dan jatuh tidur pada waktu
tertentu.Sedangkan PSQI yang mempunyai 9 item digunakan untuk mengukur kualitas
tidur subjektif, latensi tidur, durasi tidur, kebiasaan tidur, gangguan tidur, penggunaan
obat tidur, dan disfungsi siang hari selama satu bulan terakhir. Penilaian dengan skala
PSQI ini menggunakan kunci scoring untuk keseluruhan tujuh pasien, yang masing-
masing berkisar dari 0 sampai 3. Semua nilai dihitung dan menghasilkan nilai
keseluruhan taun global yang berkisar dari 0 sampai 21. Nilai keseluruhan 5 atau lebih
yang menununjukkan kualitas tidur 28 yang buruk, semakin tinggi nilai maka semakin
buruk kualitas tidur (Smyth, 2007).
Daftar Pustaka

Ambarwati, R. (2017). SLEEP , THE CIRCADIAN RHYTHMS AND METABOLISM. Jurnal


Keperawatan, X(1), 42–46.

Reza, R. R., Berawi, K., Karima, N., & Budiarto, A. (2019). Fungsi Tidur dalam Manajemen
Kesehatan. Majority, 8, 247–253.

Rianjani, E., Nugroho, H. A., & Astuti, R. (2011). No Title. Jurnal Keperawatan, 4(2), 194–209.

Sulistyarini, T., & Santoso, D. (2016). Gambaran karakteristik lansia dengan gangguan tidur
(insomnia) di rw 1 kelurahan bangsal kota kediri. 2(2), 150–155.

http://journal.fkm.ui.ac.id/kesmas/article/download/51/52
http://jki.ui.ac.id/index.php/jki/article/download/159/340
https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/download/11936/8241/
http://poltekkes-denpasar.ac.id/files/JURNAL%20GEMA%20KEPERAWATAN/JUNI
%202015/I%20Nengah%20Sumirta.pdf
https://repository.unja.ac.id/2381/1/JURNAL.pdf

Anda mungkin juga menyukai