PERATURAN DAERAH
Dosen pengampu :
A. Fahmy Arif Tsani, S.Gz., Diet
Disusun oleh :
dalam penyusunan Perda diperlukan prosedur tersendiri agar dapat lebih terarah dan
terkoordinasi. Dalam pembentukan Perda perlu ada persiapan yang matang dan
mendalam, antara lain pengetahuan mengenai materi muatan yang akan diatur dalam
Perda, pengetahuan tentang bagaimana menuangkan materi muatan tersebut ke dalam
Perda secara singkat tetapi jelas dengan bahasa yang baik serta mudah dipahami.
Prosedur penyusunan ini adalah rangkaian kegiatan penyusunan produk hukum daerah
dari perencanaannya sampai dengan penetapannya. Proses pembentukan Perda terdiri
dari 3 (tiga) tahap, yaitu:
Pasca pembatalan Peraturan Daerah oleh Pemerintah Pusat, daerah dapat mengajukan
upaya hukum yang disebut dengan mekanisme “keberatan”. Disatu sisi, keberatan
Pemerintah menunjukan bahwa penegakan hukum bisa dijalankan dengan baik, namun di
sisi lain ternyata dihadapkan oleh belum jelasnya konsep penegakan hukum. Hal ini
terjadi karena berdasarkan subtansi Pasal 10 UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman hanya mengatur 4 (empat) hal yakni; Peradilan Umum, Peradilan Agama,
Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Dengan demikian bahwa sengketa
atas Keputusan pembatalan Perda sebenarnya tidak termasuk dalam kategori keempat di
lingkungan peradilan dimaksud. Upaya yang bisa dilakukan adalah menambah
kewenangan MA dengan menata kelembagaan peradilan yang menangani sengketa perda,
optimalisasi eksekutif review dan penerapan judicial preview. Berangkat dari pelurusan
teori yang kurang tepat atas penyelesaian sengketa pembatalan Perda melalui Mahkamah
Agung adalah suatu menjadi suatu keniscayaan untuk dicarikan jalan keluar agar tidak
menimbulkan ketidakpastian hukum.
Proses penegakan hukum dalam persoalan pembatalan perda berada pada ketika
masalah ini masuk pada ranah kekuasaan yudikatif, khusus berada pada Mahkamah
Agung. Hal ini dilatar belakangi oleh Kewenangan Presiden tersebut diberikan oleh Pasal
145 UU No. 32 tahun 2004 yang menegaskan bahwa Perda Disampaikan kepada
pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan. Perda yang bertentangan dengan
kepentingan umum dan/ atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat
dibatalkan oleh pemerintah. Jika Pemerintah Daerah tidak menyepakati pembatalan Perda
yang dilakukan oleh Pemerintah, maka Pemerintah Daerah dapat mengajukan keberatan
kepada Mahkamah Agung sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 145 Ayat (5) UU
Nomor 32 Tahun 2004. Selanjutnya, pada ketentuan Pasal 145 Ayat (6), apabila
keberatan tersebut dikabulkan sebagian atau seluruhnya, maka putusan Mahkamah Agung
menyatakan Peraturan Presiden yang membatalkan Perda bersangkutan menjadi batal dan
tidak mempunyai kekuatan hukum.
Fokus masalah ini ada pada faktor kelembagaan khususnya ketidaktepatan MA
menangani persoalan ini, karena faktor kelembagaan menempati posisi penting maka
keberadaannya sangat mempengaruhi unsur-unsur penegakan yang
lain.Ketidaktepatannya ialah terletak pada melakukan permohonan keberatan yang telah
dilakukan oleh pemerintah daerah melalui mekanisme pengajuan keberatan kepada
Mahkamah Agung dalam hal upaya mempertahankan Perda yang dianggapnya
bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi. Padahal di sini jelas bahwa terdapat ketidaksepahaman dalam menafsirkan
Perda antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, yang artinya sengketa ini
merupakan konflik internal eksekutif yang seharusnya mekanisme penyelesaiannya tanpa
melibatkan lembaga yudikatif (Mahkamah Agung), melainkan mekanisme penambahan
kewenangan kepada MA, mekanisme Executive Review dan Judicial Preview yang lebih
tepat untuk menyelesaikannya.
Judicial preview berarti pengujian konstitusionalnya bersifat a priori (ex ante review)
atau preventif, yakni menguji RUU yang sudah disahkan parlemen tetapi belum
diundangkan, kebalikan dari judicial review yang menguji konstitusionalitas UU yang
sudah berlaku.
Beberapa simpulan yang dapat dipetik dari pembahasan di atas adalah sebagai berikut.
Pertama, metoda keberatan oleh pemerintah daerah kepada Mahkamah Agung terbukti
secara teoritis tidak dikenal dalam sistem peradilan di Indonesia. Untuk itu hal ini perlu
diluruskan dengan menempatkan teori penegakan hukum khususnya pada unsur struktur
kelembagaannya, agar kewenangan yang dilakukannya menjadi benar dan proporsional.
Kedua, perluasan teori baru untuk mengisi/menyelesaikan problema regulasi ini adalah
dengan memperkuat struktur kelembagaan dengan menambahkan kewenangan
Mahkamah Agung, sedangkan pada tataran teknis diperlukan optimalisasi eksekutif
review khususnya pada tindakan preventif dan perlunya mencoba instrumen judicial
preview.
D. Implikasi Kewenangan Pengujian dan Pembatalan Peraturan Daerah Terhadap
Kemudahan Berusaha
EoDB (Ease of Doing Bussiness) atau kemudahan dalam berusaha adalah indeks yang
digunakan untuk mengukur sejauh mana pengaturan atau regulasi dapat mempengaruhi
11 aspek dalam kemudahan berusaha. EoDB awalnya diciptakan oleh Simeon Djankov di
World Bank Group. Sebuah riset akademis dilaksanakan bersama-sama dengan Prof
Oliver dan Andrei Shleifer. Laporan kemudahan berusaha pertama kali diinisasi oleh
Simeon Djankov yang bekerjasama dengan World Bank Group pada tahun 2003 dan
dipublikasikan setiap tahun bertujuan untuk mengukur kemudahan berinvestasi di 190
negara. Studi mengenai Doing Business telah menjadi acuan dari World Bank Group
dalam aspek pengembangan sektor publik dan diklaim dapat mendukung desain reformasi
pengaturan di negara-negara berkembang. Indonesia sebagai salah satu negara
berkembang mengalami kenaikan peringkat EoDB secara perlahan sejak tahun 2015.
Indonesia mencapai posisi 106 pada EoDB Report tahun 2016 yang bertema Measuring
Regulatory and Quality and Efficiency, Indonesia masuk peringkat 91 pada tahun 2017,
dan pada tahun 2018 Indonesia masuk peringkat 72. Kemudian dalam Ease of Doing
Business Report 2019, pemerintah menargetkan Indonesia dapat mencapai rangking 40.
Sebenarnya tidak sulit untuk mencapai rangking EoDB sesuai target, karena
pemerintah telah membuat berbagai pengaturan di bidang investasi dan ekonomi yang
mendukung peningkatan investasi di tingkat pusat. Yang menjadi masalah adalah
bagaimana daerah dalam mencapai target tersebut. Ketika ditemukan Peraturan Daerah
yang dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya khususnya
mengenai peningkatan kemudahan berusaha, maka Pemerintah Pusat tidak memiliki
kewenangan langsung untuk menguji dan membatalkan Perda tersebut. Hal ini tentu akan
memberikan dampak atau implikasi terhambatnya acara deregulasi Peraturan Daerah
yang dianggap menghambat kemudahan berusaha oleh Pemerintah Pusat, sehingga dapat
berdampak pada penurunan rangking EoDB di Indonesia.
Selanjutnya pengaturan yang bersifat khusus dalam tata cara penyusunan Perda yakni
mekanisme evaluasi secara berjenjang terhadap Raperda tentang APBD (Pasal 185 s.d
Pasal 191 UU No.32/2004), Raperda tentang Pajak Daerah, Raperda tentang Retribusi
Daerah (Pasal 189 UU No.32/2004). Evaluasi atas Raperda tersebut ditujukan untuk
melindungi kepentingan umum, menyelaraskan dan menyesuaikan materi Perda dengan
PUU yang lebih tinggi dan/atau Perda lainnya. Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa
pengharmonisasian Perda dilakukan baik secara vertikal maupun horizontal.
Raperda yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD, dan RTRW sebelum
disahkan oleh kepala daerah terlebih dahulu dievaluasi oleh Menteri Dalam Negeri untuk
Raperda provinsi, dan oleh Gubernur terhadap Raperda kabupaten/kota.
Ketentuan mengenai tata cara evaluasi Raperda tentang pajak dan retribusi diatur
dalam No.28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi (Pasal 157 s.d Pasal 158),
sedangkan pengaturan mengenai tata cara evaluasi Raperda RTRW terdapat dalam UU
No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Raperda tentang pajak dan retribusi yang telah disetujui kepala daerah dengan DPRD
sebelum ditetapkan disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan
untuk Raperda Provinsi untuk dievaluasi untuk diuji kesesuaiannya dengan UU
No.28/2009, kepentingan umum, dan/atau PUU lain yang lebih tinggi. Dalam hal hasil
evaluasi berupa penolakan Raperda dimaksud dapat diperbaiki oleh
gubernur/bupati/walikota bersama DPRD yang bersangkutan, untuk kemudian
disampaikan kembali kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan. Mekanisme
tersebut berlaku mutatis mutandis bagi Raperda kabupaten/kota tentang pajak restribusi
dengan perbedaan evaluasi dilakukan oleh gubernur berkoordinasi dengan Menteri
Keuangan.
Khusus mengenai pembatalan Perda tentang Pajak dan Restribusi berdasar ketentuan
dalam UU No.28 Tahun 2009, Perda yang telah ditetapkan oleh gubernur/bupati/walikota
dibatalkan apabila bertentangan kepentingan umum dan/atau peraturan
perundangundangan yang lebih tinggi atas rekomendasi dari Menteri Keuangan kepada
Presiden yang disampaikan melalui Menteri Dalam Negeri. Keputusan pembatalan
Peraturan Daerah ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari
kerja sejak diterimanya Perda oleh Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri.
Selanjutnya sesuai Pasal 159 UU No.28 Tahun 2009 daerah yang tidak menyampaikan
Perda tentang Pajak dan Retribusi kepada Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri
dikenai sanksi berupa penundaan atau pemotongan Dana Alokasi Umum dan/atau Dana
Bagi Hasil atau restitusi.
Dalam materi peraturan daerah, terdapat pengaturan tentang pajak daerah yang
mengatur tentang pengelolaan zakat yaitu pada Provinsi Aceh Perda NAD No. 7/2004
yang menjiwai pancasila sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dan juga pada peraturan daerah provinsi Jawa Barat No. 10 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial yang menjiwai Pancasila sila ke-5.
Harmonisasi PUU adalah proses yang diarahkan untuk menuju keselerasan dan
keserasian antara satu PUU dengan PUU lainnya sehingga tidak terjadi tumpang tindih,
inkonsistensi atau konflik/perselisihan dalam pengaturan. Dalam kaitannya dengan sistem
asas hierarki PUU sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya maka proses tersebut
mencakup harmonisasi semua PUU termasuk Perda baik secara vertikal maupun
horisontal.
Harmonisasi Raperda dengan PUU perlu didukung oleh aturan yang jelas dan tegas
apabila dikehendaki untuk senantiasa dintergrasikan sebagai syarat formal penyusunan
Perda seperti halnya proses pengharmonisasian, pemantapan, dan pembulatan konsepsi
RUU, RPP, Rperpres termasuk Rinpres yang dilaksanakan sesuai Peraturan Presiden
Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU, Rperppu, RPP, dan
RanPrepres, dan Peraturan Presiden No.61/2005 tentang Prolegnas.
Dalam rangka harmonisasi Perda dan PUU, proses harmonisasi Perda dengan PUU
lainnya dan dengan perda lainnya perlu dintegrasikan sejak pembahasan Prolegda dan
penyusunan Naskah Akademis. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 15 UU No.10
Tahun 2004 bahwa perencanaan penyusunan Peraturan Daerah dilakukan dalam suatu
Prolegda. Prolegda adalah instrumen perencanaan program pembentukan Perda yang
disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis. Pasal 18 PP No.16/2010 menentukan
Raperda yang berasal dari DPRD atau kepala daerah disertai penjelasan atau keterangan
dan/atau naskah akademik, dengan catatan Naskah Akademik tidak bersifat wajib bagi
Raperda tentang APBD atau Raperda yang mengubah beberapa materi yang sudah
memiliki naskah akademik sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA