Anda di halaman 1dari 114

BAB 1

PENDIDIKAN DAN
KEBIJAKAN PUBLIK
A. Pengertian dan Tujuan Pendidikan
1. Definisi Pendidikan
Bertanya mengenai hakikat pendidikan adalah bertanya mengenai
apakah pendidikan itu? Walaupun telah sama-sama mengarah pada suatu
tujuan tertentu, para ahli masih belum seragam dalam mendefinisikan istilah
pendidikan. Ada berbagai ragam makna rumusan pendidikan yang telah
dikemukakan oleh para pakar sesuai dengan sudut pandang dan konteks
penggunaan masing-masing rumusan tersebut. Pendidikan (education) dalam
bahasa Inggris berasal dari bahasa Latin “educare” berarti memasukkan
sesuatu (Hasan Langgulung, 1988:4). Dalam konsteks ini, istilah pendidikan
dapat dimaknai sebagai proses menanamkan nilai-nilai tertentu ke dalam
kepribadian anak didik. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pendidikan
dimaknai sebagai proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau
kelompok orang dalam suatu usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran itu sendiri". Dalam Dictionary of Education bahwa pendidikan
adalah: Proses seseorang mengembangkan kemampuan, sikap, dan tingkah
laku lainnya didalam masyarakat tempat mereka hidup. Proses sosial yang
terjadi pada orang yang diharapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih
dan terkontrol (khususnya yang datang dari sekolah), sehingga mereka dapat
memperoleh perkembangan kemampuan sosial dan kemampuan individu yang
optimum.
Dalam konteks formal, makna pendidikan sebagaimana tertulis dalam
Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

1
2 Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum

pasal I adalah: "Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara".
Dalam konteks filsafat, Driyarkoro (Madya Ekosusilo & Kasihadi,
1989) mengemukakan bahwa pendidikan pada dasarnya adalah usaha untuk
“memanusiawikan manusia”. Dalam konteks tersebut pendidikan tidak dapat
dimaknai sekedar membantu pertumbuhan secara fisik saja, tetapi juga
keseluruhan perkembangan pribadi manusia dalam konteks lingkungan
manusia yang memiliki peradaban.
Pendidikan di tinjau dari sudut pandang masyarakat menurut Hasan
Langgulung (1988:3) berarti : Pewarisan kebudayaan dari generasi tua kepada
generasi muda, agar hidup masyarakat tetap berkelanjutan. Atau dengan kata
lain, masyarakat mempunyai nilai-nilai budaya yang ingin disalurkan dari
generasi ke genarasi agar identitas masyarakat tersebut tetap terpelihara.
Pandangan Hasan Langgulung tersebut sesuai dengan makna pendidikan yang
diungkapkan oleh Kneller yang memaknai pendidikan sebagai proses
pewarisan budaya. Menurut Kneller (1967: 21): Education is the process by
which society, through schools, colleges, universities, and other institutions,
deliberately transmits its cultural heritage - its accumulated knowledge, value,
and skill from one generation to another.
Dengan kata lain, pendidikan merupakan proses dimana masyarakat
melalui sekolah-sekolah, perguruan tinggi, universitas, dan institusi lain
dengan sengaja mewariskan warisan budayanya-yakni berupa akumulasi
pengetahuan, nilai, dan ketrampilan dari generasi ke generasi yang lain. Hal
senada juga diungkapkan oleh Laska (1976: 3), bahwa: Education is one of the
most important activities in which human beings engage. It is by means of the
educative process and its role in transmitting the cultural heritage from one
generation to the next that human societies are able to maintain their
existence.

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum 3

Artinya pendidikan merupakan salah satu aktivitas yang paling utama


yang melibatkan tubuh manusia. Pendidikan merupakan sarana proses
mendidik dan perannya di dalam mewariskankan warisan budaya dari satu
generasi kepada generasi berikutnya sehingga masyarakat manusia bisa
memelihara keberadaan mereka.
Dengan kata lain pendidikan dipengaruhi oleh lingkungan atas
individu untuk menghasilkan perubahan-perubahan yang sifatnya permanen
(tetap) dalam tingkah laku, fikiran, dan sikapnya. Pengertian lain
dikemukakan oleh Crow and Crow (1980); “Modern educational theory and
practice not only are eimed at preparation for future living but also are
operative in determining the patern of present, day-bay-day attitude and
behavior”. (Pendidikan tidak hanya dipandang sebagai sarana untuk persiapan
hidup yang akan datang tetapi, juga untuk kehidupan sekarang yang dialami
individu dalam perkembangannya menuju ketingkat kedewasaannya).
Berdasarkan pengertian tersebut dapat didefinisikan beberapa ciri pendidikan
antara lain:
a. Pendidikan mengandung tujuan yaitu, kemampuan untuk berkembang
sehingga bermanfaat untuk kepentingan hidup. Untuk mencapai tujuan
itu, pendidikan melakukan usaha terencana dalam memilih isi (materi),
strategi, dan teknik penilaiannya yang sesuai.
b. Kegiatan pendidikan dilakukan dalam lingkungan keluarga, sekolah dan
masyarakat (formal dan non formal). Apabila dikaitkan dengan
keberadaan dan hakekat kehidupan manusia kemanakah pendidikan itu
diarahkan? Jawabannya untuk pembentukan kepribadian manusia, yaitu
pengembangan manusia sebagai mahluk individu, mahluk sosial, mahluk
susila, dan mahluk beragama (religius). Dengan demikian, maka dalam
proses pendidikan pengedepanan faktor manusia yang mana diharapkan
mempunyai ilmplikasi bagi pengembangan kehidupan masyarakat secara
sosial, kultural, ekonomi, ideologi dan sebagainya.
c. Pendidikan menurut sumber yang terdapat dalam Undang-Undang No.
20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas adalah: “Usaha sadar dan terencana

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


4 Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum

untuk mewujudkan suasana belajar agar peserta didik secara aktif


mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual,
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan akhlak, dan budi
mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa,
dan negara” (Sisdiknas, 2003:2).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa
lembaga pendidikan sekolah pada dasarnya merupakan salah satu harapan
masyarakat (sebagai wakil orang tua) untuk mewariskan atau menanamkan
nilai-nilai moral/budi pekerti yang bersumber pada norma, etika, tradisi
budaya yang dianutnya kepada generasi mereka. Oleh karena itu bagi
masyarakat, lembaga pendidikan disamping diharapkan mampu
mengembangkan kemampuan berfikir dan ketrampilan hidup, juga diharapkan
mampu mewariskan nilai-nilai budaya luhur kepada anak didiknya.
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan
YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab (Sisdiknas. 2003:5).

2. Tujuan Pendidikan
Notoarmodjo mengatakan, Pendidikan pada hakikatnya bertujuan
untuk mengubah tingkah laku sasaran pendidikan. Tingkah laku baru (hasil
perubahan) itu dirumuskan dalam suatu tujuan pendidikan (educational
objective). Pada dasarnya tujuan pendidikan adalah suatu deskripsi dari
pengetahuan, sikap, tindakan, penampilan, dan sebagainya yang diharapkan
akan memiliki sasaran pendidikan pada periode tertentu. Lahirnya tujuan
pendidikan disebabkan karena diperlukannya suatu kurikulum yang efisien
dan efektif. Maksudnya menetapkan tujuan pendidikan terlebih dahulu, agar
memudahkan dan mengarahkan penyusunan kurikulum. Dalam rangka
pengembangan kurikulum, tujuan pendidikan perlu dibedakan berdasarkan

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum 5

tingkatan tujuan pendidikan sesuai dengan ruang lingkup proses belajar


(Notoatmodjo. 2003). Tujuan pendidikan tersebut sebagai berikut:
a. Tujuan Pendidikan Nasional
Tujuan pendidikan ini merupakan tingkatan yang tertinggi. Pada tujuan ini
digambarkan harapan masyarakat atau negara tentang ciri-ciri seorang
manusia yang dihasilkan oleh proses pendidikan atau manusia yang terdidik.
Dengan kata lain tujuan pendidikan nasional ini menggambarkan harapan
tentang karakteristik manusia sebagai warga negara yang harus dihasilkan oleh
setiap usaha pendidikan. Hal ini berarti bahwa setiap lembaga pendidikan
harus mengarahkan tujuannya pada tujuan pendidikan nasional.
b. Tujuan Institusional
Tiap tingkat dan jenis lembaga pendidikan, mengembangkan tujuan
institusinal. Isi tujuan institusional adalah tingkah laku yang bagaimanakah
yang diharapkan oleh lembaga pendidikan tersebut. Dengan kata lain lembaga
pendidikan itu akan menghasilkan manusia-manusia yang diinginkan dengan
pengertian bahwa tujuan institusional ini harus mendukung tujuan pendidikan
nasional. Untuk menyusun tujuan institusional yang baik diperlukan criteria-
kriteria yaitu jelas, dapat dengan mudah diobservasi, dan realistis.
c. Tujuan Antara (Intermediare Objective)
Tujuan pendidikan ini bersifat mengantari tujuan institusional dan tujuan
instruksional. Isinya masih agak luas, tapi sudah mengarah pada tiap-tiap
bidang ilmu pengetahuan. Karena tujuan ini sudah mengarah pada kurikulum
(dalam arti sempit) dari institusi itu maka disebut “tujuan kurikulum” tujuan
ini sudah merinci tujuan-tujuan tiap-tiap departemen ilmu, maka sering juga
disebut tujuan departemen (departement objective).
c. Tujuan Instruksional
Tujuan instruksional mempunyai fungsi:
1. Membantu para pengajar untuk memilih isi/topik pengajaran yang relevan
2. Membantu proses pengintegrasian kurikulum baik secara instruksional
maupun kurikulum
3. Membantu para pengajar mengarah pada proses pengajarannya

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


6 Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum

4. Mengarahkan dan memberi gambaran pada sasaran tentang apa yang akan
mereka peroleh dari pendidikan/pelatihan
5. Merupakan indikator untuk evaluasi proses pendidikan
6. Merupakan pasangan sasaran dan juga para pengajar untuk bekerja secara
efektif dan efisien
7. Membantu para pengajar memilih metode pengajaran yang tepat.
(Notoatmodjo, 2003:41-45)
Suatu lembaga pendidikan, terutama pendidikan formal sebenarnya
dibentangkan harapan tentang tingkat dan jenis perubahan tingkah laku sasaran
pendidikan, antara lain perubahan pengetahuan, sikap dan kemampuan mereka.
Sudah tentu bukan sembarang perubahan tingkah laku, sebagai akibat dari
berlengsungnya proses pendidikan. Demikian pula bukan setiap perubahan
tingkah laku dapat dipakai sebagai ukuran berhasilnya proses pendidikan. Itulah
sebabnya maka harapan perubahan tingkah laku tersebut perlu dirumuskan
dahulu dalam suatu pendidikan. Dengan kata lain tujuan pendidikan adalah
rumusan pada tingkah laku dan jenis tingkah laku: yang lazimnya dirumuskan
dalam kategori pengetahuan, kecerdasan sikap, keterampilan yang diharapkan
untuk dimiliki oleh sasaran pendidikan setelah menyelesaikan program
pendidikan (serangkaian proses belajar).

B. Kebijakan Publik
Menurut N. Dunn, menyatakan bahwa kebijakan publik (Public policy)
adalah “Pola ketergantungan yang kompleks dari pilihan-pilihan kolektif yang
saling tergantung, termasuk keputusan-keputusan untuk bertindak yang dibuat
oleh badan atau kantor pemerintah” (N. Dunn, 2000:132).
Kebijakan publik merupakan semacam jawaban terhadap suatu
masalah karena merupakan upaya memecahkan, mengurangi dan mencegah
suatu keburukan serta sebaliknya menjadi penganjur inovasi dan pemuka
terjadinya kebaikan dengan cara terbaik dan tindakan terarah. Dapat
dirumuskan pula bahwa pengetahuan tentang kebijakan publik adalah

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum 7

pengetahuan tentang sebab-sebab, konsekuensi, dan kinerja kebijakan dan


program publik (Kencana, 1999).
Menelusuri pengertian kebijakan, pertama kebijakan dalam bahasa
Indonesia berasal dari kata bijaksana yang artinya: (1) selalu menggunakan
akal budinya (pengalaman dan pengetahuan), arif, tajam pikirannya; (2)
pandai dan ingat-ingat dalam menghadapi kesulitan (cermat; teliti). Pengertian
kebijakan sendiri adalah; (1) kepandaian, kemahiran; (2) rangkaian konsep
dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu
pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak (tentang pemerintahan dan
organisasi); penyertaan cita-cita, tujuan, prinsip dan maksud. Sementara itu
pengertian publik yang berasal dari bahasa Inggris yang berarti negara atau
pemerintah. Serangkaian pengertian tersebut diambil makna bahwa pengertian
kebijakan publik menurut Santosa (1988) adalah:
“Serangkaian keputusan yang dibuat oleh suatu pemerintah untuk
mencapai suatu tujuan tertentu dan juga petunjuk-petunjuk yang
diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut terutama dalam bentuk
peraturan-peraturan atau dekrit-dekrit pemerintah”

Ahli-ahli ini selanjutnya memandang kebijakan publik sebagai


keputusan-keputusan pemerintah yang mempunyai tujuan atau maksud-
maksud tertentu, dan mereka yang menganggap kebijakan publik memiliki
akibat-akibat yang bisa diramalkan. Mewakili kelompok tersebut Nakamura
dan Smallwood dalam bukunya yang berjudul The Politics of Policy
Implementation, melihat kebijakan publik dalam ketiga lingkungannya yaitu:
1. Lingkungan perumusan kebijakan (Formulation),
2. Lingkungan penerapan (Implementation), dan
3. Lingkungan penilaian (Evaluation) kebijakan.
Dengan melihat suatu kebijakan melingkupi ketiga lingkungan tadi ini berarti
kebijakan publik adalah:
“Serangkaian instruksi dari para pembuat keputusan kepada pelaksana
kebijakan yang mengupayakan baik tujuan-tujuan dan cara-cara untuk
mencapai tujuan tersebut (A set of instruction from policy makers to policy
implementers that spell out both goals and the mean for achieving those
goals). Beberapa lingkungan kebijakan dalam proses kelembagaan terdiri

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


8 Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum

dari lingkungan pembuatan; lingkungan implementasi dan lingkungan


evaluasi” (Nakamura, 1980:31).

Para pakar dalam memberi definisi kebijakan publik sering berbeda


sesuai dengan pendekatan masing-masing, bahkan cenderung berselisih
pendapat satu sama lain. Dye dalam bukunya yang berjudul Understanding
Public Policy memberikan definisi kebijakan publik sebagai What ever
government choose to do or not to do (apapun yang dipilih oleh pemerintah
untuk dilakukan atau tidak dilakukan/mendiamkan) (Dye, 1978:12).
Selanjutnya Dye mengatakan bahwa apabila pemerintah memilih untuk
melakukan sesuatu maka harus ada tujuannya. Dan kebijakan publik harus
meliputi semua tindakan pemerintah jadi bukan semata-mata merupakan
pernyataan keinginan pemerintah atau pejabat pemerintah saja. Hal yang tidak
dilakukan pemerintah juga merupakan kebijakan publik karena mempunyai
dampak yang sama besar dengan sesuatu yang dilakukan. Baik yang
dilakukan maupun yang tidak dilakukan pasti terkait dengan satu tujuan
sebagai komponen penting dari kebijakan.
Kaitannya dengan hal tersebut, kebijakan publik tentunya mempunyai
suatu kepentingan yang bersifat publik dimana menurut Schubert Jr.
mengungkapkan bahwa kepentingan publik itu ternyata paling tidak
sedikitnya ada tiga pandangan yaitu:
1. Pandangan rasionalis yang mengatakan kepentingan publik adalah
kepentingan terbanyak dari total penduduk yang ada.
2. Pandangan idealis mengatakan kepentingan publik itu adalah hal yang
luhur, sehingga tidak boleh direka-reka oleh manusia.
3. Pandangan realis memandang bahwa kepentingan publik adalah hasil
kompromi dari pertarungan berbagai kelompok kepentingan. (Dalam
Fadillah, 2001:20-21).

Dengan melihat penjelasan tersebut di atas, nampaknya kita harus


merefleksikan pada kenyataan riil kehidupan politik masyarakat modern,
maksudnya masyarakat masyarakat modern yang ideal adalah masyarakat
yang mampu mengorganisir diri mereka sesuai dengan kepentingan mereka
masing-masing.

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


BAB 2
ISU-ISU STRATEGIS DAN
PERKEMBANGAN
KEBIJAKAN PENDIDIKAN
A. Isu-Isu Strategis Pendidikan
Kalangan ahli berpendapat bahwa potret pembangunan pendidikan
Indonesia sampai saat ini masih belum menggembirakan. Paling tidak masih
ada tiga persoalan dasar berkaitan dengan kebijakan pendidikan: pertama, pola
perumusan kebijakan pendidikan yang masih berpusat pada elit kekuasaan
dengan sistem top-down di satu sisi sementara partisipasi masyarakat relatif
masih minimal di sisi lain. Meskipun sekarang ini sudah memasuki era
otonomi daerah, namun praktek dengan kultur birokrasi politik lama masih
tetap men gemuka. Kedua, banyaknya rumusan kebijakan pendidikan yang
sudah dirancang secara rumit dan mahal ternyata ketika sampai pada tataran
implementasi mengalami distorsi dan banyak penyimpangan.
Aneka distorsi pemaknaan dan penyimpangan implementasi kebijakan
di lapangan masih sering terjadi. Contoh paling nyata terhadap hal ini antara
lain berkaitan dengan paket sekolah unggul dan life skill yang sekarang sudah
menjadi bukti dari aneka bukti lain kegagalan kebijakan pendidikan Indonesia.
Ketiga, berbagai paket kebijakan tentang inovasi pendidikan hampir selalu
dilakukan dengan serba cepat (instant) dan kurang mempertimbangkan
berbagai implikasi secara matang. Contoh paling dekat terhadap hal ini adalah
penghapusan Ebtanas untuk jenjang Sekolah Dasar pada awal tahun 2002.
Akibatnya semua paket kebijakan di atas menjadi sekedar proyek dan terkesan
involutif semata.

9
10 Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum

Dari tiga kondisi tersebut yakni adanya elitisme, distorsi, serta proses
yang serba instant dalam setiap perumusan dan impelemntasi kebijakan
pendidikan secara akumulatif telah mendorong pada munculnya pandangan
skeptis masyarakat. Beberapa kalangan masyarakat mengeluhkan bahwa
seringnya terjadi perubahan kebijakan pendidikan yang belum mampu
menghasilkan perbaikan secara signifikan.
Dua persoalan besar yang dihadapi bangsa Indonesia. Pertama, secara
internal, bangsa Indonesia mengahadapi krisis multidimensional, persatuan
bangsa yang merenggang, demokratisasi pada semua aspek kehidupan,
desentralisasi manajemen pemerintahan, dan kualitas pendidikan belum
menunjukkan kemampuan kompetitif. Kedua, secara eksternal, bangsa
Indonesia menghadapi tantangan pasar global, kemajuan teknologi yang
menuntut pendidikan kompetitif dan inovatif, dan networking tanpa batas.
Cita-cita mulia kemerdekaan Indonesia untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa agar terbebas dari belenggu kebodohan, masih jauh dari
tercapai. Meskipun tingkat melek huruf di Indonesia sudah cukup tinggi,
jumlah penduduk dengan tingkat pendidikan di atas Sekolah Dasar masih
rendah. Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat tercermin antara lain dari
indeks hasil pembangunan manusia (Human Development Index, HDI) dimana
unsur pendidikan merupakan salah satu ukurannya. Indonesia berada pada
peringkat ke 112 dari 175 negara (nilai 0,682), peringkat terendah di Asia
Tenggara. Semenjak krisis ekonomi, tingkat pengangguran terbuka masih
sangat tinggi (19%) dan belum teratasi. Tingginya tingkat pengangguran
tersebut juga menunjukkan lemahnya pengembangan sumber daya manusia
dan sistem pendidikan belum cukup menghasilkan lulusan yang produktif bagi
pertumbuhan ekonomi. Relevansi pendidikan bagi dunia kerja dan masyarakat
perlu mendapat perhatian yang serius.
Dalam kondisi yang berat tersebut, kita memasuki era global yang
membutuhkan keunggulan bangsa untuk dapat berdiri sepadan dengan bangsa-
bangsa lain di dunia. Kemajuan ekonomi lebih ditentukan oleh kemampuan
suatu bangsa untuk memberi nilai tambah atas sumberdayanya alih-alih

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum 11

kelimpahan sumberdaya itu sendiri. Ekonomi semakin berbasis pada


pengetahuan, ketrampilan dan keuletan dalam mengolah sumberdaya. Laporan
Country Competitiveness tahun 2003 membuka fakta pahit bahwa Indonesia
berada pada posisi yang sangat rendah, bahkan paling rendah di antara bangsa-
bangsa berpopulasi di atas 20 juta, bila diukur dari pendidikan dan
ketrampilan tenaga kerjanya. Hasil SUSENAS tahun 2003 menunjukkan
Angka Partisipasi Murni (APM) pada jenjang SD, SLTP dan SLTA berturut-
turut adalah 92,6%, 63,5%, dan 40,6%. Kemiskinan, kebodohan, dan
kelemahan daya saing telah pula masuk ke dalam ranah moralitas bangsa.
Rendahnya moralitas bangsa ditunjukkan dengan merebaknya budaya KKN,
tingginya korupsi dan penyelewengan sehingga Indonesia menempati urutan
ketujuh negara terkorup di dunia (Transparancy International, 2002).
Persaingan yang semakin keras dalam era global menuntut
kualifikasi sumberdaya manusia yang semakin tinggi dan tangguh.
Pengembangan kualifikasi SDM yang tinggi hanya mungkin dilakukan
melalui pendidikan yang berkualitas dan mampu menjangkau seluruh lapisan
masyarakat. Carut-marut sistem pendidikan nasional serta disparitas mutu
yang lebar antar daerah dan antar sekolah merupakan permasalahan yang
harus diatasi secara sistematis dan sungguh-sungguh. Kesenjangan dalam
memperoleh kesempatan pendidikan juga masih lebar dan multidimensional,
antara masyarakat kaya dan miskin, Jawa dan luar Jawa, demikian pula antara
desa dan kota. APM masyarakat dari kalangan ekonomi mampu untuk tingkat
pendidikan SLTP mencapai 72,3%, sementara dari kelompok ekonomi lemah
hanya 49,9%. Bila di perkotaan APM pada jenjang SLTP dan SLTA mencapai
71,9% dan 56,1%, di pedesaan baru mencapai 54,1% dan 28,7%. Di Jawa,
APM pada jenjang SLTP sudah di atas 60%, bahkan Yogyakarta sudah
mencapai 78%, namun di Nusa Tenggara Timur masih di bawah 40%.
Kesenjangan tersebut harus diatasi sejalan dengan peningkatan otonomi
daerah dan pengembangan sumberdaya yang tersebar di seluruh tanah air.
Untuk bangsa Indonesia dapat survival, bahkan dapat tampil secara
berarti dalam percaturan di tengah-tengah masyarakat dunia, kondisi tersebut

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


12 Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum

di atas tidak harus dihindari, melainkan wajib dihadapi dengan semangat dan
kemampuan yang tinggi oleh setiap warga dan segenap bangsa Indonesia.
Upaya yang sangat strategi untuk menghadapinya adalah memantapkan sistem
pendidikan nasional, dan menjamin terselenggaranya pendidikan nasional
yang bertanggung jawab. Jika upaya pembenahan sistem pendidikan nasional
dapat dilakukan secara sungguh-sungguh, maka diharapkan bangsa Indonesia
mampu mengangkat martabat bangsa dan negara.
Isu-isu strategis yang muncul dalam kaitan permasalahan
pembangunan pendidikan di Indonesia antara lain:
1. Belum meratanya kesempatan pendidikan, baik secara kuantitas maupun
kualitas.
Kondisi geografis, sosial, dan budaya bangsa Indonesia yang
sangat heterogen berkonsekuensi langsung terhadap ragamnya kondisi
warga Indonesia. Ada yang mudah mengakses pendidikan, sebaliknya
sangat banyak yang mengalami mengakses pendidikan disebabkan
berbagai kendala yang dihadapinya. Kondisi yang demianlah yang
membuat pemerataan pendidikan sembilan tahun belum dapat dituntaskan,
terlebih-lebih dikaitkan dengan pemerataan mutunya.
2. Kualitas lulusan pendidikan masih belum membanggakan pada semua
jenjang.
Pembangunan sektor pendidikan telah diupayakan dari tahun ke
tahun, sehingga tidak sedikit masyarakat yang illiterate sudah dapat
dientaskan. Namun masih saja kualitas pendidikan secara nasional belum
dapat membanggakan, terutama bila dibandingkan dengan negara-negara
lainnya.
3. Rendahnya kesiapan lulusan dalam memasuki kelanjutan studi dan
kehidupan di masyarakat.
Kualitas dan relevansi pendidikan dasar, menengah dan tinggi
masih sangat rendah sehingga belum mampu mengaktualisasikan potensi
sumberdaya manusia Indonesia secara optimal. Beban kurikulum selama
ini sangat berat dan cenderung tidak mencerdaskan peserta didik.

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum 13

Keragaman budaya dan latar belakang masyarakat di Indonesia belum


menjadi bagian yang memberdayakan dan menginspirasi proses
pendidikan. Sebaliknya, yang muncul pada masyarakat justru kemerosotan
nilai-nilai kejuangan, wawasan kebangsaan, moral, dan kesantunan, serta
meningkatnya keresahan, ketegangan dan kekerasan pada masyarakat.
Kesenjangan akses untuk memperoleh pendidikan bermutu terjadi baik
secara regional maupun secara stratifikasi ekonomi. Disamping itu sudah
sangat banyak lulusan pendidikan pada semua jenjang telah dihasilkan,
namun mereka tidak sepenuhnya memiliki kesiapan yang memadai,
sehingga dapatlah dipahami manakala masih banyak lulusan yang merasa
kesulitan dalam merebut peluang kerja, apalagi mengembangkan lapangan
kerja sendiri.
4. Lemahnya kinerja lembaga pendidikan pada semua jenjang.
Manajemen pendidikan telah diupayakan dibenahi, baik infra
struktur maupun sistem, implementasi, dan evaluasinya. Namun masih
sangat banyak lembaga pendidikan yang belum memiliki kemandirian
dalam mengelola pendidikan secara produktif.
5. Rendahnya mutu dan kompetensi tenaga pendidik
Rendahnya mutu dan kompetensi tenaga pendidik sebagai unsur
utama penyelenggaraan pendidikan merupakan sisi mata uang yang lain
dari rendahnya kesejahteraan dan penghargaan kepada para pendidik.
Tingkat kompetensi dan kesesuaian pendidik dengan bidang yang
diampunya pada jenjang pendidikan SLTA baru sekitar 80%; bahkan yang
sesuai kompetensi dan kualifikasinya baru sekitar 68%. Tingkat
kompetensi dan kualifikasi untuk jenjang pendidikan SLTP berada jauh di
bawah angka itu.
Berbagai isu di atas bermuara pada keharusan memperbaiki
pendidikan di Indonesia. Perbaikan pendidikan membutuhkan komitmen
dan kesungguhan pemerintah dan masyarakat. Dalam hal ini, komitmen
pemerintah dalam pengembangan pendidikan masih jauh dari harapan.
Salah satu buktinya adalah alokasi anggaran belanja negara untuk

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


14 Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum

mendanai pendidikan yang di bawah 4%, sementara amandemen UUD 45


mengamanatkan alokasi sebesar 20% dari APBN. Jika tidak dilakukan
usaha-usaha peningkatan pendidikan, maka cita-cita masyarakat dunia
untuk mencapai education for all yang dicanangkan dalam World
Education Forum (Konvensi Dakkar, 2000) diperkirakan baru akan
tercapai 25 tahun mendatang.

B. Konsep Dasar Kebijakan Pendidikan


Kebijakan pendidikan telah dipertegas melalui pengenalan konsep dasar
kebijakan pendidikan yang meliputi latar belakang perlunya kebijakan
pendidikan, batasan kebijakan pendidikan, kebijakan pendidikan dan kebijakan
negara, sistem politik dan kebijakan pendidikan, tingkat-tingkat kebijakan
pendidikan, dan studi mengenai kebijakan pendidikan (Imron, 1996).
Kebijakan pendidikan (educational policy) merupakan penggabungan n
dari kata education dan policy. Kebijakan adalah seperangkat aturannya,
sedangkan pendidikan menunjukan kepada bidangnya. Dengan demikian
kebijakan pendidikan tidak terlalu berbeda dengan kebijakan pemerintah di
bidang pendidikan. Carter V. Good (1959) memberikan pengertian kebijakan
pendidikan (educational policy) dalam buku karya Ali Imron yang berjudul
Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia, yakni :
“Educational policy judgement, derived from some system of values and
some assesment of situational factors, operating within instituationalized
education as a general plan for guiding decision regarding means of attaining
desired educational objectives. (Suatu pertimbangan yang didasarkan atas
sistem nilai dan beberapa penilaian terhadap faktor-faktor yang bersifat
situasional; pertimbangan tersebut dijadikan sebagai dasar untuk
mengoperasikan pendidikan yang bersifat melembaga; pertimbangan tersebut
merupakan perencanaan umum yang dijadikan sebagai pedoman untuk
mengambil keputusan, agar tujuan yang bersifat melembaga bisa tercapai)”
(Dalam Imron, 1996).

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum 15

Sebagaimana dijelaskan diatas, melihat kebijakan sebagai suatu proses,


tak terkecuali ketika melihat kebijakan pendidikan. Yaitu sebagai suatu proses
dimana pertimbangan-pertimbangan itu mesti diambil dalam rangka
pelaksanaan pendidikan yang bersifat melembaga.
Dalam melakukan petimbangan, ada dua hal yang harus
dipertimbangkan, ialah sistem nilai yang berlaku dan faktor-faktor
situasionalnya. Dan, pertimbangan yang mempedomani terhadap sistem nilai
dan faktor-faktor situasional tersebut, khususnya dalam melaksanakan
pendidikan, akan dapat mengantarkan pemdidikan pada pencapaian tujuannya.
Pertimbangan tersebut ketika dirumuskan dapat berupa perencanaan umum.
Perencanaan yang bersifat umum ini dapat dijadikan sebagai pedoman dalam
pengambilan-pengambilan keputusan pendidikan (Imron, 1996).
Terdapat tingkat-tingkat kebijakan pendidikan yang menunjukan kepada
level kebijakan tersebut dirumuskan dan dilaksanakan, juga menunjuk pada
cakupannya, tingkatan pelaksanaan dan mereka yang terlibat didalamnya. Ada
empat tingkat kebijakan, yaitu :
1. Tingkatan Kebijakan Nasional (national policy level)
2. Tingkatan Kebijakan Umum (general policy level)
3. Tingkat Kebijakan Khusus (special policy level)
4. Tingkat Kebijakan Teknis (technical policy level)
Sistem Politik yang berlaku dalam suatu negara senantiasa terkait
dengan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh negara, termasuk kebijakan
pendidikan. Letak kaitan tersebut dapat dilihat pada, bagaimana kebijakan
tersebut pada saat dirumuskan, dilegitimasikan, dikhalayakkan,
dikomunikasikan, dilaksanakan dan dievaluasi. Berbedanya perumusan
kebijakan dinegara yang satu dangan yang lain dapat disebabkan berbedanya
sistem politik yang dianut. Berbedanya pelaksanaan dan evaluasi kebijakan
negara, kebijakan pendidikan, antara negara yang satu dangan yang lain dapat
disebabkan berbedanya sistem politik yang dianut oleh negara-negara tersebut
(Imron, 1996).

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


16 Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum

Kebijakan pendidikan berproses melalui tahapan-tahapan perumusan


kebijakan pendidikan, legitimasi pendidikan, komunikasi dan sosialisasi
kebijakan pendidikan, implementasi kebijakan pendidikan, mengupayakan
partisipasi masyarakat dalam kebijakan pendidikan dan evaluasi kebijakan
pendidikan. Pembahasan dalam perumusan kebijakan pendidikan meliputi;
lingkungan kebijakan pendidikan, aktor-aktor perumusan kebijakan pendidikan,
masalah dan agenda kebijaksanaan pendidikan, formulasi kebijakan pendidikan
dan problema-problemanya.
1. Lingkungan dan Aktor Kebijakan Pendidikan
Yang dimaksud dengan lingkungan kebijakan pendidikan menurut
Anderson adalah “segala hal yang berada diluar kebijakan tetapi mempunyai
pengaruh terhadap kebijakan pendidikan, pengaruh tersebut bisa besar, kecil,
langsung, tidak langsung, laten, dan jelas” (Imron, 1996).
Yang termasuk lingkungan kebijakan pendidikan dirumuskan secara
berbeda-beda oleh para ahli ilmu kebijakan pendidikan. Supandi (1988)
menyebut lingkungan kebijakan meliputi; kondisi sumber alam, iklim, topografi,
demografi, budaya politik, struktur sosial, dan kondisi ekonomik. Sementara
yang dianggap paling berpengaruh terhadap kebijakan tersebut adalah budaya
politik.
Orang-orang yang terlibat dalam perumusan kebijakan pendidikan
negara disebut sebagai aktor perumusan kebijakan pendidikan. Sebutan lain dari
aktor ini adalah: partisipan, peserta perumusan kebijakan pendidikan. Oleh
karena itu kebijakan pendidikan mempunyai tingkatan-tingkatan (nasional,
umum, khusus dan teknis), maka para aktor perumusan kebijakan disetiap
tingkatan-tingkatan tersebut berbeda. Aktor tersebut yakni: legislatif, eksekutif,
administrator, partai politik, interest group, organisasi massa, perguruan tinggi,
dan tokoh perorangan.
2. Formulasi Kebijakan Pendidikan
Aktifitas sekitar formulasi adalah interaksi peranan antar peserta
perumusan kebijakan pendidikan baik formal maupun non formal. Kapan suatu
perumusan kebijakan pendidikan dianggap selesai? Suatu kebijakan dianggap

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum 17

final setelah disahkan oleh peserta perumusan kebijakan formal. Pengesahan


tersebut dapat berupa penerbitan keputusan dan dapat berupa ketetapan. Dapat
juga berupa undang-undang, peraturan pemerintah pengganti undang-undang,
dan peraturan pemerintah.
Agar rumusan kebijakan, termasuk kebijakan pendidikan yang baik,
haruslah memenuhi kriteria; Pertama, rumusan kebijakan pendidikan tidak
mendiktekan keputusan spesifik atau hanya menciptakan lingkungan tertentu.
Kedua, rumusan kebijakan pendidikan dapat dipergunakan dalam menghadapi
masalah atau situasi yang timbul secara berulang. Hal ini berarti, bahwa waktu,
biaya dan tenaga yang telah banyak dikeluarkan tidak sekedar dipergunakan
untuk memecahkan satu masalah atau satu situasi saja.
3. Pengertian, Batasan dan Faktor Implementasi Kebijakan Pendidikan
Setelah kebijakan dirumuskan, disahkan dan dikomunikasikan, kepada
khalayak kemudian dilaksanakan atau diimplementasikan. Implementasi ini,
adalah aktualisasi kebijakan pendidikan yang telah disahkan, bergantung kepada
bagaimana pelaksanaannya dilapangan. Tolak ukur keberhasilan kebijakan
pendidikan adalah pada implementasinya. Sebaik apapun rumusan kebijakan,
jika tidak diimplementasikan, tidak akan dirasakan gunanya. Sebaliknya
sesederhana apapun rumusan kebijakan, jika sudah diimplementasikan, akan
lebih berguna, apapun dan seberapa pun gunanya.
Yang dimaksud dengan implementasi kebijakan pendidikan adalah
pengupayaan agar rumusan-rumusan kebijakan pendidikan berlaku didalam
praktik. Nakamura (1988) memberikan batasan implementasi kebijakan
pendidikan sebagai keberhasilan mengevaluasi masalah dan menerjemahkannya
kedalam keputusan-keputusan yang bersifat khusus. Jones (1977) lebih banyak
mengkritik batasan-batasan implementasi kebijakan yang mendasarkan konsepsi
implementasi kebijakan berdasarkan aktifitas fungsional. “Implementasi
kebijakan pendidikan, sebagai konsep yang dinamis, memerlukan usaha-usaha
yang untuk mencari apa yang akan dan dapat dilaksanakan. Implementasi
akhirnya dipahami sebagai pengaturan aktifitas yang mengarah pada
penempatan program kedalam suatu dampak”.

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


18 Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum

Tiga aktifitas utama dalam implementasi kebijakan pendidikan ialah


interpretasi, organisasi, dan aplikasi. Yang dimaksud dengan interpretasi adalah
aktifitas menerjemahkan makna program kedalam pengaturan yang dapat
diterima dan dijalankan. Organisasi adalah unit atau wadah yang dipergunakan
untuk menempatkan program. Sementara aplikasi adalah konsekuensi yang
berupa pemenuhan perlengkapan serta biaya yang dibutuhkan.
Supandi (1988) memberikan batasan implementasi kebijakan
(implementasi kebijakan pendidikan) sebagai suatu proses menjalankan,
menyelenggarakan atau mengupayakan agar altenatif-alternatif yang telah
diputuskan didalam praktik. Berarti, rumusan-rumusan kebijakan yang
umumnya abstrak tersebut, baru nyata dan kongkrit setelah diimplementasikan
secara nyata. Meskipun demikian, Islami (1991) memandang lain mengenai
implementasi kebijakan ini. Ia menyatakan bahwa ada kebijakan-kebijakan yang
telah dirumuskan tersebut secara otomatis terimplementasikan dengan
sendirinya.
Meskipun banyak pula rumusan-rumusan kebijakan yang
implementasinya harus diupayakan; atau tidak secara otomatis
terimplementasikan. Kebijakan-kebijakan yang terlaksana dengan sendirinya
lazim dikenal dengan self-executing, sedangkan kebijakan-kebijakan yang tidak
secara otomatis terlaksana dengan sendirinya lazim dikenal dengan non self-
executing”.
Berhasil tidaknya implementasi kebijakan pendidikan ditentukan oleh
banyak faktor. Faktor tersebut adalah :
1. Kompleksitas kebijakan-kebijakan yang telah dibuat. Semakin
kompleks suatu kebijakan yang dibuat, semakin rumit dan sulit
untuk diimplementasikannya.
2. Bila rumusan masalah kebijakan dan alternatif pemecahan masalah
kebijakan yang diajukan dalam rumusan tidak jelas.
3. Faktor sumber-sumber potensial yang dapat mendukung
pelaksanaan kebijakan.
4. Keahlian pelaksana kebijakan.

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum 19

5. Dukungan dari khalayak sasaran terhadap kebijakan yang


diimplementasikan.
6. Faktor-faktor efektifitas dan efisiensi birokrasi.
Oleh sebab itu analisis faktor yang dapat menentukan keberhasilan
dalam implementasi kebijakan pendidikan sangat perlu untuk dijadikan
pertimbangan utama oleh para penentu dan pelaksana kebijakan di lapangan.

C. Perkembangan Kebijakan Pendidikan


Pada masa Orde Lama (Orla) kondisi pendidikan di Indonesia sebagai
berikut: (1) Masa konsolidasi dari sistem pendidikan masa penjajahan menuju
system pendidikan nasional; (2. Sampai dengan tahun 1959, out
put pendidikan belum sesuai dengan kebutuhan dan tantangan bangsa; (3)
Pendidikan dilaksanakan dalam rangka semboyan “politik sebagai panglima”
dengan arah untuk mencapai tujuan politik nasional: nasionalisme,
penggalangan persatuan dan kesatuan, konsep dan implementasi demokrasi
Pancasila, politik luar negeri bebas aktif, penggalangan kekuatan negara-
negara sedang berkembang (new emergijing forces), pembentukan identitas
bangsa, model-model indoktrinasi dalam pendidikan.
Kondisi pada masa Orde Baru (Orba) mengalami perubahan yang
dapat dilihat dari banyak hal yang dicapai, seperti: pembangunan sekolah dan
pengangkatan guru (terutama jenjang pendidikan dasar), pengadaan buku
pelajaran, pembangunan perpustakaan desa, pendekatan-pendekatan baru
dalam proses pembelajaran, dan lain-lain. Pendidikan menjadi alat
penyeragaman, yaitu pakaian seragam, wadah-wadah tunggal organisasi siswa
dan organisasi kemasyarakatan. Akibatnya pendidikan sangat birokratif,
kreativitas menurun, kehidupan demokrasi memudar, inisiatif individu nyaris
hilang, hak-hak asasi manusia terabaikan demi pembangunan ekonomi,
pendidikan mengingkari kebhinekaan. Pada masa Orba ekonomi sebagai
panglima.
Masa krisis pun dating yang diawali dengan krisis moneter menyusul
negara-negara ASEAN berkembang menjadi krisis multi dimensi (politik,

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


20 Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum

ekonomi, sosial, budaya, ideologi, kepercayaan, dan kepemimpinan. Mulai


sejak itu Pemerintah merenungkan kegagalan system pendidikan nasional.
Pemerintah menganggap perlunya reformasi berkesinambungan yaitu
reformasi yang didukung oleh proses pendidikan sebagai proses
pembudayaan.
1. Perkembangan Pendidikan Indonesia Tahun 1945-1950 (Dari Proklamasi
Sampai RIS)

Pendidikan di Indonesia setelah proklamasi diatur dalam Undang-


Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1,2 dan pasal 32. Pasal 31 ayat satu (1)
berbunyi “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan “ dan ayat
dua (2) berbunyi “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya”. Pasal 32 ayat satu (1) berbunyi “Negara
memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan
menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan
nilai-nilai budayanya” dan pasal 32 ayat dua (2) “Negara menghormati dan
memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. Sedangkan
konstitusi sementara RIS menyatakan bahwa Pancasila sebagai dasar negara
federal RIS dengan rumusan yang berbeda. Pasal-pasalnya berisi tentang hak-
hak dan kebebasan manusia.
Tujuan dan dasar pendidikan pada saat itu adalah (1) mencetak warga
negara sejati yang menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk negara
(sebagaimana tercantum dalam Kepmendikjarbud); (2) dasar pendidikan
adalah Pancasila (Negara kesatuan I 1945-1949); (3) membentuk manusia
susila yang cakap, WNI demokratis dan bertanggung jawab. Dasar Pancasila
dan kebudayaan kebangsaan Indonesia diatur dalam UUD no.4 tahun 1950
(undang-undang pendidikan dan pengajaran, yang merupakan benih timbulnya
system pendidikan nasional). Sistem Persekolahan yang diterapkan pada
mulanya adalah Sekolah Rakyat (SR) yang merupakan pendidikan rendah.
Pendidikan menengah (umum, kejuruan, keguruan) meliputi SMP, SMT, STP,
ST, TM, SKP, SGKP, SGC, SGB dan SGA. Sedangkan pendidikan
masyarakat berupa PBH, kursus, dan perpus rakyat. Pendidikan tinggi

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum 21

meliputi akademi, universitas, dan sekolah tinggi. Kurikulum pada setiap


jenjang berisi tentang (1) kesadaran bernegara dan bermasyarakat; (2)
pendidikan jasmani dan (3) pendidikan watak.
Pada tahun 1947, Panitia Mangunsarkoro di bawah pimpinan Ki
Mangun Sarkoro menghasilkan lima asas yang disebut Dasar-dasar 1947 atau
Panca Dharma. Isi dari dasar-dasar 1947 adalah: (1) kemerdekaan, (2) kodrat
alam, (3) kebudayaan, (4) kebangsaan dan (5) kemanusiaan.
2. Perkembangan Pendidikan Indonesia Tahun 1950-1959 (Demokrasi
Liberal)
Pada saat demokrasi liberal di awal tahun 1950 pendidikan diatur
dalam Undang-Undang Sementara (UUDS) 1950. Tujuan dan dasar
pendidikan termuat dalam UU No.4 tahun 1950 yang diberlakukan untuk
seluruh Indonesia. Karena terjadi ketegangan yang berkisar pada masalah
pendidikan agama, khususnya agama Islam maka setelah empat tahun baru
diundangkan menjadi UU No.12 tahun1954 tentang Pendidikan dan
Pengajaran di Sekolah. Undang-undang No 12 tahun 1954 berlaku hingga
tahun 1959.
Sistem persekolahan secara formal pada saat itu terdiri dari jenjang
pendidikan TK, rendah, menengah, &tinggi. Usaha penyesuaian yang
dilakukan antara lain: Bahasa Indonesia menjadi bahasa pengantar untuk
semua SR negeri termasuk SR partikelir dan subsidi. Penyelenggaraan
Pendidikan dimulai dengan Persiapan kewajiban belajar dengan menyusun
rencana 10 tahun kewajiban belajar dengan daerah uji coba Pasuruan dan
Jepara. PP No.65 tahun 1951: penyerahan urusan sekolah rendah ke
pemerintah propinsi kecuali SR patian. Peraturan bersama antara Menteri
Pendidikan dan Menteri Agama mengatur tentang pendidikan agama,
Pendidikan masyarakat dan Partisipasi pendidikan swasta.
3. Perkembangan Pendidikan Indonesia Merdeka Tahun 1959-1965
(Demokrasi Terpimpin)
Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dianggap perlu pengkuhan Sistem
Pendidikan Nasional, maka muncul Panca Wardana, yang menekankan

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


22 Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum

pada nation and character building (pembangunan bangsa dan wataknya).


Pada saat itu UUD 1945 berlaku lagi. Pada 1960, Panca Wardhana
disempurnakan menjadi Sapta Usaha Utamadengan cakupan yang lebih luas.
Sapta Usaha Tama merangkum ketentuan-ketentuan Pembukaan UUD 1945,
Batang Tubuh dan Pancasila. Pada Tahun 1965, lahir Kepres No.145 tahun
1965 berisi tentang tujuan pendidikan, yaitu supaya melahirkan warga negara
sosialis yang bertanggung jawab terselenggaranya masyarakat sosialis
Indonesia berjiwa Pancasila seperti dijelaskan dalam Manipol/ Usdek.
Sistem Persekolahan selama kurun waktu 1959-1965 meliputi (1)
pendidikan Prasekolah (5-7th): TK; (2) SD (7-12 th): SD, MI; (3) SLTP (13-
15 th): SMP, SMEP, SKKP, ST, MTs; (4) SLTA ( 16-18 th): SMA, SMEA,
STM, SPG,SMOA, MA; (5) PT (19-23 th): Universitas, Institut, Sekolah
Tinggi. Sedangkan penyelenggaraan pendidikan meliputi (1) Sapta Usaha
Tama; (2) Panca Wardhana; (3) Panitia Pembantu. Pemeliharaan Sekolah dan
Perkumpulan Orang Tua Murid dan Guru-guru (POMG); (4) Pendidikan
Masyarakat; (5) Perguruan Tinggi;
Kurikulum Pendidikan (1). SR diubah menjadi SD (2). Kurikulum SD
1964 terdiri dari 5 kelompok bidang studi (Wardhana): Wardhana
perkembangan moral, Wardhana Perkembangan kecerdasan, Wardhana
Perkembangan emosional/ artistik, Wardhana Perkembangan keprigelan dan
Wardhana perkembangan jasmani (3) Kurikulum SMP 1962 (Kurikulum SMP
gaya baru): Penghapusan jurusan, penambahan jam Krida, pelaksanaan BP.
(4) Kurikulum SMA Selama demokrasi terpimpin 2 kali perubahan kurikulum
yaitu pada tahun 1961 dan 1964. Sedangkan pendidikan tingkat SMA terdiri
atas bagian A, bagian B, dan bagian C.
4. Perkembangan Pendidikan Nasional Indonesia Tahun 1966-1969
Undang-Undang Dasar 1945 diterapkan secara murni dan
konsekuen dengan Tujuan dan Dasar Pendidikan (1) Membentuk manusia
pancasilais sejati menurut penbukaan UUD 1945 (2) Dasar pendidikan
Pancasila (3) Isi pendidikan: mempertinggi moral, mental, budipekerti,
memperkuat keyakinan beragama, mempertinggi kecerdasan dan ketrapilan,

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum 23

membina fisik yang kuat dan sehat. Sistem Persekolahan Masih tetap
mengikuti UU No. 12/ 1954. Penyelenggaraan pendidikan bersifat sentralistik
di bawah Mentri Pendidikan dan Kebudayaan sebagai pembantu Presiden.
Sistem Persekolahan Masih tetap mengikuti UU No. 12/ 1954.
Penyelenggaraan pendidikan bersifat sentralistik di bawah Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan sebagai pembantu Presiden.
Sapta Usaha Utama berlaku selama pemerintahan Orde Lama (Orla)
hingga lhirnya Orde Baru (Orba, 1966). Sapta Usaha Utama dioperasionalkan
melalui Ketetapan MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara).
Ketika dicanangkan PELITA (Pembangunan Lima Tahun), ketetapan MPRS
tersebut terwujud dalam GBHN (GAris-garis Besar Haluan Negara). Hal ini
berlangsung hingga 1989.
5. Perkembangan Pendidikan Nasional Indonesia Tahun 1969/1970-
1993/1994 (Pembangunan Jangka Panjang I)
UUD 1945 secara murni dan konsekuen masih diperlakukan. Tujuan
dan Dasar Pendidikan pada saat itu adalah mengembangkan kepribadian dan
kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup
berdasar Pancasila. Undang-Undang No.2 tahun 1989 tentang Pendidikan
Nasional lahir ketika Fuad Hasan menjabat sebagai menteri. Dalam
pembahasan UU No 2 Tahun 1989 itu juga timbul pro dan kontra. Yang
menjadi masalah adalah tentang iman dan takwa, tetapi tidak ada pengerahan
massa, karena kondisi politik relative stabil.
Sistem Pendidikan dan Persekolahan meliputi (1) Sistem pendidikan
terdiri dari jalur pendidikan sekolah dan pendisikan luar sekolah; (2) Sistem
persekolahan terdiri dari 3 jenjang yaitu Pendidikan dasar, Pendidikan
Menengah, dan Pendidikan tinggi. Program pembangunan pendidikan antara
lain perluasan dan pemerataan pendidikan; peningkatan mutu pendidikan
dengan pengadaan alat pendidikan, pengadaan buku pelajaran, pengadaan dan
peningkatan mutu tenaga pengajar, perubahan kurikulum.

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


24 Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum

6. Perkembangan Pendidikan Nasional 1995/1996-1998/1999 (Awal


Pembangunan Jangka Panjang I)
UUD dan dasar pendidikan sistem persekolahan tidak ada perubahan
dan masih mengacu pada UUD 1945 dan UU No.2 Tahun 1989. Ketetapan
MPR No II/1993 tentang GBHN memberikan arah tujuan pendidikan nasional
menurut UU no.2 tahun1989. Program pembangunan pendidika antara lain:
perluasan kesempatan belajar; prioritas mutu pendidikan;
program link and match; peningkatan penguasaan IPTEK dan pengembangan
SDM menyongsong globalisasi.
7. Perkembangan Pendidikan Nasional Pasca Reformasi 1998-Sekarang
Undang-Undang Dasar yang digunakan adalah UUD 1945 yang
diamandemen. Ketika Malik Fajar sebagai Menteri Pendidikan Nasional,
timbul inisiatif dari DPR lewat komisi VI tentang RAncangan Undang-
Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas). Konsep dari DPR
tersebut disandingkan dengan konsep Pemerintah yang merujuk kepada
naskah akademik yang dirancang oleh Yahya Muhaimin. Naskah yang
dirancang Yahya Muhaimin disahkan menjadi UU No. 25 Tahun 2000 berisi
tentang Program Pembangunan Nasional (khusus bidang pendidikan).
Inisiatif DPR muncul sejak 27 Mei 2002, tetapi Presiden baru pada
bulan Februari 2003 mulai menunjuk Mendiknas mewakili Pemerintah untuk
membahas RUU Sisdiknas bersama DPR. Pembahasan RUU Sisdiknas ini
kembali menimbulkan pro dan kontra karena ditemukan banyak kelemahan,
tetapi juga terbelokkan pada masalah agama, hingga terjadi pengerahan massa.
Bagaimanapun, akhirnya RUU Sisdiknas disahkan menjadi UU Sisdiknas dan
diratifikasi oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada 8 Juli 2003 sebagai
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
Secara umum, program pembangunan pendidikan atau agenda
pendidikan nasional mencakup: (1) Pengelolaan pendidikan (manajemen); (2)
Isi pendidikan (substansi) dan (3) Paradigma baru pendidikan. Penuntasan
program pemerataan pendidikan melaui (1) Wajib Belajar Dikdas 9 tahun dan

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum 25

(2) Persiapan Wajar 12 tahun. Peningkatan mutu pendidikan melaui (1) Sarana
prasarana; (2) Guru; (3) Kurikulum; (4) Akreditasi, evaluasi, supervisi.
Pengadaan link & match antara SMA dan SMK serta efektivitas dan
efisiensi (good governance) pendidikan.

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


26 Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum 27

BAB 3
LANDASAN DAN ARAH
KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI
INDONESIA
A. Akar Ideologis Kebijakan Pendidikan.
Pada umumnya praktek penyelenggaraan pendidikan dalam suatu
masyarakat dilatarbelakangi adanya pertimbangan-pertimbangan subyektif
masing-masing masyarakatnya berupa preferensi nilai serta suatu prinsip yang
dipilih. Aneka pertimbangan subyektif tersebut sebenarnya bisa dimengerti,
mengingat praktek pendidikan merupakan bagian dari bentuk aktualisasi atas
keinginan–keinginan masyarakat dalam mewujudkan kehendaknya -- Edward
Stevens dan George H.Wood (1987) lebih memilih dengan istilah cita -cita
sosial (social ideals).
Dengan merunut pertimbangan dari kehendak masyarakat atau cita -
cita sosial (social ideals) di atas, maka praktek penyelenggaraan pendidikan --
baik di sekolah maupun luar sekolah-- pada umumnya mempunyai dua peran
penting yang berbeda. Pada satu sisi, proses pendidikan dapat melegitimasi
bahkan melanggengkan formasi sosial yang ada (status quo); pada sisi lain
justru sebaliknya pendidikan berperan membangun atau merubah tatanan
sosial menuju yang lebih adil. Kedua peran yang berlawanan tersebut
sebenarnya merupakan pantulan (reflection) dari kehendak serta cita-cita
sosial yang berbeda dari suatu masyarakat. Menurut William F. O’Neil (2001)
perbedaan arah praktek penyelenggaraan pendidikan pada dasarnya
disebabkan oleh perbedaan ideologi yang digunakan oleh masing-masing
masyarakat. Dalam hal ini, pengertian ideologi bila kita menengok pendapat
Sargent dalam bukunya Contemporary Political Ideologies yang dikutip

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


28 Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum

William F. O’Neil (2001), diartikan sebagai sistem nilai atau keyakinan yang
diterima sebagai fakta atau kebenaran oleh kelompok tertentu. Ideologi
berupaya menggambarkan mengenai karakteristik-karakteristik umum tentang
alam dan masyarakat; serta keterkaitan antar hakikat dunia dengan hakekat
moral, politik, dan panduan-panduan perilaku lainnya yang bersifat evaluatif.
Oleh karenanya, ia tidak sekedar memberi informasi tentang dunia ini
sebenarnya tetapi juga merupakan petunjuk yang bersifat imperatif bagaimana
seharusnya manusia/masyarakat bertindak.
Prinsip dan petunjuk nilai yang bersifat imperatif sekaligus evaluatif
tersebut pada akhirnya mempengaruhi bagaimana tatanan sosial masyarakat
dibangun. Dengan kata lain, ideologi sosial suatu masyarakat mempengaruhi
formasi sosial yang hendak diwujudkan oleh masyarakat itu sendiri.
Selanjutnya formasi sosial masyarakat yang hendak dibangun di atas pada
dasarnya merupakan wadah bagi warganya untuk mengekspresikan segala
tindakannya. Biasanya wadah formasi sosial diatur oleh adanya norma sosial
(social norms) yang diciptakan secara kolektif. Norma sosial yang mengatur
wadah formasi sosial tersebut banyak wujudnya seperti: kebiasaan (folkways),
adat istiadat (customs atau mores), norma hukum (law), serta tabu (taboo).
Kesemuanya itu dalam rangka memberikan kerangka acuan (term of
reference) bagi tindakantindakan yang dilakukan oleh semua anggotanya
(Soerjono Soekanto, 1982:).
Dengan harapan para anggotanya bisa bertingkah laku dan bertindak
sesuai dengan norma sosial yang telah disepakati. Kedudukan norma sosial di
atas memiliki dua fungsi: Pertama, fungsi direktif yakni memberikan arah atau
acuan yang benar bagi tingkah laku anggotanya sebagaimana dikehendaki oleh
kelompok. Kedua, fungsi konstraintif yakni membatasi atau memaksa
terhadap semua tingkah laku anggota masyarakat tersebut agar tidak
menyimpang dari acuan moral (terms of reference) kelompoknya.
Dengan fungsi direktif dan konstraintif ini diharapkan muncul
tindakan-tindakan moral yang memiliki kadar moralitas sebagaimana
dikehendaki oleh mayoritas anggota masyarakat dalam semua lapisan. Dalam

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum 29

perkembangan masyarakat, aneka macam norma sosial yang semakin


mendapatkan tempat sebagai acuan formal dalam kehidupan kelompok adalah
norma hukum. Seperti perundang-undangan dan keputusan-keputusan hasil
kebijakan penyelenggara negara yang bersifat publik, sehingga dikenal dengan
istilah kebijakan publik. Kebijakan publik adalah semua perundang-undangan
atau keputusankeputusan yang bersifat mengikat kepada semua warga
masyarakat atau negara. Suatu keputusan dikatakan mengikat apabila anggota-
anggota masyarakat merasa bahwa mereka harus mentaati kewenangan yang
ada.
Dalam hal ini secara implisit menyebut kebijakan publik dengan
keputusan politik oleh karena semua kebijakan publik dihasilkan melalui
proses politik. Pertanyaannya, mengapa sebagian anggota masyarakat mentaati
keputusan politik, sedangkan sebagian anggota yang lain tidak mentaatinya?
Mengapa ada kelompok yang memberikan dukungan (legitimation) sementara
kelompok lain menolak (delegitimation) terhadap keputusan-keputusan
politik.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut, paling tidak ada dua jawaban terhadap
mereka yang mentaati peraturan. Pertama, para warga masyarakat merasa
terikat pada kewenangan yang ada karena takut akan paksaan fisik dari
penyelenggara negara yang memiliki monopoli dalam penggunaan paksaan.
Kedua, disamping alasan takut paksaan, ada alasan lain yakni karena tradisi,
menguntungkan, serta kesadaran hukum.
Sedangkan bagi mereka yang membangkang atau menolak peraturan
kemungkinan mendasarkan diri pada salah satu alasan berikut: pertama,
bahwa pemerintah sudah dianggap tidak lagi mempunyai kewenangan
membuat dan melaksanakan keputusan politik. Kedua, substansi keputusan
atau kebijakan politik tersebut sangat merugikan dirinya. Kebijakan politik
yang memiliki daya ikat dan daya paksa terhadap semua warga negara atau
warga masyarakat wujudnya banyak sekali. Ada kebijakan politik yang
mengikat dalam dimensi kehidupan sosial warga. Ada pula kebijakan politik
yang membatasi dalam dimensi kehidupan ekonomi, politik, serta kebudayaan

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


30 Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum

anggota masyarakat. Pun pula ada kebijakan politik yang mengatur khusus
pada dimensi kehidupan pendidikan masyarakat.
Dari uraian di atas akhirnya dapat digambarkan secara hirarkhis skema
nilai dimulai dari nilai dasar yang paling dijunjung tinggi yaitu prinsip nilai
yang mendasari lahirnya prinsip moral, prinsip moral mendasari lahirnya
kebijakankebijakan sosial yang dalam hal ini menurut penulis adalah filsafat
sosial, filsafat sosial melahirkan ideologi politik, yang akhirnya sampai pada
wujudnya kebijakan pendidikan.
Secara skematis, dapat digambarkan kedudukan akar nilai, filsafat, dan
ideologi pendidikan terhadap lahirnya kebijakan pendidikan. Dalam hal ini
skema yang dipaparkan merupakan skema yang dibuat William O’Neil
(2001:42) dengan sedikit penambahan penulis sebagai berikut:

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum 31

PRINSIP-PRINSIP NILAI Apa yang ideal ?


(Apakah yang memiliki kebaikan teringgi

Apa pengaruh ‘yang ideal’ terhadap perilaku


manusia ?
PRINSIP MORAL (Perilaku apakah yang paling bermoral?)
(ETIKA MORAL)

Tindakan macam apa yang disyaratakan oleh


FILSAFAT/IDEOLOGI prinsip moral tersebut bila dilihat dalam kondisi
SOSIAL sekarang/ riil? (Tindakan apa yang praktis?)

IDEOLOGI POLITIK Kondisi-kondisi sosial politik seperti apa,


lembaga-lembaga apa, serta hubungan antar
lembaga yang seperti apakah yang perlu ada
bagi penanaman kebijakan moral di atas?)

IDEOLOGI Pengetahuan macam apakah yang diperlukan


PENDIDIKAN seseorang sehingga memiliki karakteristik
sebagai warga negara yang diharapkan ?

KEBIJAKAN- Bagaimanakah pengetahuan-pengetahuan yang


KEBIJAKAN diperlukan itu dibagikan dan diberikan kepada
PENDIDIKAN orang-orang lain?

Gambar 3.1.
Kedudukan Akar Nilai, Filsafat, dan Ideologi Pendidikan Terhadap Lahirnya
Kebijakan Pendidikan

B. Beberapa Faham Ideologi Pendidikan


Beberapa faham ideologi pendidikan telah banyak dikemukakan para
ahli, yang terakhir diantaranya diungkapkan oleh William F. O’Neil.
Pemetaan faham ideologi pendidikan yang disampaikan O’Neil ini sebenarnya
merupakan koreksi atas pemetaan yang telah dibuat oleh Theodore Brameld
dalam bukunya Toward a Reconstructed Philosophy of Education (1956).
Brameld membagi ada empat macam ideologi pendidikan yang dia sebut

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


32 Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum

sendiri dengan istilah aliran filsafat pendidikan. Keempat ideologi tersebut


adalah: Perenialisme, Esensialisme, Progresivisme, dan Rekonstruktivisme.
Menurut Perenialisme, sasaran yang perlu dicapai dalam pendidikan
adalah “kepemilikan atas prinsip-prinsip tentang kenyataan, kebenaran, dan
nilai yang abadi dan tak terikat ruang dan waktu”. Ia menga jukan keberadaan
pola-pola yang tak bisa berubah dan bersifat universal sejak jaman Yunani
kuno sampai, abad pertengahan, dan abad dewasa ini atau sekarang yang
melatari dan menentukan seluruh obyek serta peristiwa yang ada dalam
kenyataan. Ia berakar dari tradisi filsafat Plato, Aristoteles, dan Thomas
Aquinas.
Aliran Esensialisme berpandangan, bahwa alam semesta beserta segala
unsurnya diatur oleh hukum yang mencakup semuanya serta tatanan yang
sudah mapan sebelumnya. Karenanya, tugas utama manusia adalah memahami
hukum dan tatanan tersebut sehingga mereka bisa menghargai dan
menyesuaikan diri dengannya. Menurut esensialisme, sasaran utama sekolah
adalah untuk mengenakan siswa kepada karakter dasar alam semesta yang
sudah tertata. Oleh karena itu, anak harus dikenalkan kepada warisan budaya
sekaligus sebagai pelestari budaya. Progresifisme berpendapat, tujuan utama
sekolah adalah untuk meningkatkan kecerdasan praktis, yang membuat siswa
lebih efektif dalam menghadapi dan memecahkan problem dalam kehidupan s
ehari-hari. Progresifisme menekankan pendidikan harus bersifat duniawi,
eksperimentatif, eksploratif, aktif, dan evolusioner. Sehingga ia sering disebut
faham eksperimentalisme. Faham ini ditopang oleh filsafat Pragmatisme
Amerika.
Sedangkan faham Rekonstruktivisme menekankan bahwa sekolah
semestinya diabdikan kepada pencapaian tatanan sosial yang demokratis.
Orientasi utama sekolah haruslah pembangunan masyarakat. Namun, akibat
dari adanya beberapa kejanggalan atas pembagian ideologi pendidikan yang
dilakukan oleh Brameld, terutama berkaitan dengan dasar penggolongan.
Maka William F. O’Neil mengajukan secara berbeda. Dalam hal ini O’Neil
(2001) mengkritik teori penggolongan ideologi pendidikan dari pendahulunya

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum 33

itu memiliki empat kelemahan utama: pertama, bahwa penggolongan yang


telah dibuatnya hanya tepat untuk menggambarkan fenomena ideologi
pendidikan tahun lima puluhan. Kedua, Brameld terlalu menyederhanakan
kekayaan dan keragaman di dalam wilayah filsafat/ ideologi pendidikan
kontemporer. Ketiga, dasar penggolongan yang dipakai Brameld tidak sejajar.
Perbedaan perenialisme, esensialisme, dan progresifisme didasarkan atas ‘apa
tujuan pendidikan?’ dan ‘apa yang musti diajarkan?’. Sedangkan
rekonstruksionisme menekankan dasar penggolongannya pada ‘apa hubungan
yang tepat antara sekolah dengan masyarakat?’ Adapun kelemahan keempat
pada teori penggolongan Brameld adalah belum adanya penjelasan kuat
tentang keterkaitan antara aliran filsafat pendidikan dengan aliran filsafat.
Misalnya tidak semua pragmatis pasti eksperimentalis dan tidak semua
konservatis selalu esensialis. Oleh karena itu O’Neil (2001) membuat
penggolongan baru yang lebih longgar yang meliputi tiga macam ideologi
pendidikan, yaitu: konservatisme, liberalisme, dan kritis-radikal.
1. Ideologi Konservatif
Faham ideologi ini memandang, bahwa ketidaksederajatan masyarakat
merupakan suatu hukum keharusan alami, suatu hal yang mustahil bisa
dihindari serta sudah merupakan ketentuan sejarah. Perubahan sosial bagi
penganut faham ini bukanlah sesuatu yang harus diperjuangkan, karena
perubahan hanya akan membuat manusia lebih sengsara saja. Dalam
bentuknya yang paling klasik, kaum konservatif berkeyakinan bahwa
masyarakat pada dasarnya tidak bisa merencanakan perubahan atau paling
tidak mempengaruhi perubahan sosial, hanya Tuhan-lah yang merencanakan
keadaan masyarakat dan hanya Dia yang tahu makna dibalik semua itu.
Dengan demikian, kaum konservatif lama tidak menganggap rakyat memiliki
kekuatan atau kekuasaan untuk merubah kondisi mereka.
Dalam pandangan kaum ini, mereka yang menderita -seperti mereka
yang termasuk kelompok miskin, buta huruf, tertindas, dipenjara- menjadi
demikian disebabkan kesalahan mereka sendiri. Karena kenyataannya banyak
orang lain yang ternyata bisa bekerja keras akhirnya mampu meraih sesuatu.

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


34 Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum

Banyak orang ke sekolah dan belajar untuk berperilaku baik dan oleh
karenanya tidak dipenjara. Kaum miskin haruslah sabar dan belajar untuk
menunggu sampai giliran mereka datang, karena pada akhirnya kelak semua
orang akan mencapai kebebasan dan kebahagiaan. Sehingga dalam hal ini,
kaum konservatif sangat menjunjung tinggi adanya harmoni serta menghindari
konflik.
2. Ideologi Liberal
Penganut ideologi ini berangkat dari keyakinan bahwa dalam
masyarakat terjadi banyak masalah termasuk urusan pendidikan, namun
masalah dalam pendidikan tidak ada kaitannya dengan persoalan politik dan
ekonomi masyarakat. Sehingga tugas pendidikan tidak ada sangkut pautnya
persoalan politik dan ekonomi. Namun demikian, proses pendidikan tidak
boleh lepas sama sekali dengan kondisi-kondisi eksternal, dalam hal ini
ekonomi dan politik. Pendidikan harus bisa menyesuaikan diri terhadap
kondisi-kondisi ekternal tersebut, dengan cara memecahkan berbagai masalah
internal melalui mereformasi diri secara ‘kosmetik’. Seperti pengadaan sarana
prasarana yang memadai (ketercukupan ruang kelas, perpustakaan,
laboratorium yang canggih, dan peralatan komputer yang komplit),
menyeimbangkan rasio murid -guru, penciptaan metode pembelajaran baru
(CBSA, modul, remedial learning, learning by doing, experiental learning,
dan lain-lain), penataan manajemen sekolah (MPMBS, competency based
leadership, dan lain-lain).
Penganut ideologi konservatif dan liberal, memandang sama bahwa
pendidikan adalah apolitik dan excellent haruslah merupakan target utama
pendidikan. Kaum liberal terutama tidak melihat kaitan pendidikan dalam
struktur kelas dan dominasi politik, budaya, serta gender. Bahkan pendidikan–
menurut fungsionalisme struktural (salah satu aliran dalam ideologi liberal) –
justru dimaksud sebagai sarana untuk menstabilkan nilai dan norma
masyarakat. Pendidikan merupakan media untuk mensosialisasikan dan
mereproduksi nilai tata susila dan keyakinan agar masyarakat luas sebagai
sistem berfungsi secara baik. Ideologi liberalisme ini berakar pada cita-cita

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum 35

individualisme Barat. Menurut cita-cita ini gambara manusia ideal adalah


manasia ‘rasionalis liberal’. Yakni, semua manusia memiliki potensi sama
dalam intelektual; baik tatanan alam maupun sosial dapat ditangkap oleh akal;
serta individu -individu di dunia adalah atomistik dan otonom. Ideologi
liberalisme ini juga dipengaruhi oleh positivisme. Seperti pendewaan terhadap
metode ‘scientific’ serta adanya pemisahan antara fakta dengan nilai menuju
pemahaman obyektif.
3. Ideologi Kritis-Radikal
Pendidikan bagi kaum kritis ini merupakan arena perjuangan politik.
Jika bagi kaum konservatif, pendidikan diarahkan untuk menjaga status quo,
sedang kaum liberal pendidikan diorientasikan untuk perubahan moderat;
maka ideologi kritis ini menghendaki pendidikan sebagai sarana perubahan
struktur secara fundamental dalam politik, ekonomi, serta gender. Bagi kaum
kritis, diskriminasi kelas serta gender dalam masyarakat tercermin pula dalam
dunia pendidikan. Sehingga kaum kritis-radikal ini sangat bertentangan
dengan kaum liberal dimana pendidikan dianggap terlepas dari persoalan kelas
dan gender dalam masyarakat. Pandangan kritis-radikal melihat, perhatian
utama pendidikan adalah melakukan refleksi kritis terhadap ‘the dominant
ideology’ ke arah transformasi sosial. Tugas utama pendidikan adalah
menciptakan ruang berfikir serta bertindak untuk selalu kritis terhadap
keadaan sistem serta struktur yang tidak adil dan menindas. Pendidikan tidak
mungkin bisa bersikap netral, obyektif, dan mengambil jarak dengan
masyarakat (sebagaimana dianjurkan positivisme). Maka visi pendidikan
adalah melakukan kritik terhadap sistem dominan beserta kelas dominan yang
ada sebagai perwujudan atas pemihakan terhadap rakyat kecil, kelompok
miskin, atau kelas tertindas umumnya dalam rangka mewujudkan tatanan
masyarakat yang lebih adil.
Dilihat dari ketiga ideologi pendidikan di atas, nampaknya para
penentu kebijakan pendidikan di Indonesia masih terkesan samar -samar
dalam memilih dan mendasarkan diri sebagai basis ideologis dalam setiap
kebijakannya. Apologi yang muncul dari mereka biasanya mengatakan telah

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


36 Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum

mendasarkan diri atas ideologi Pancasila. Padahal ideologi Pancasila belum


terderifasi secara mantap menjadi ideologi pendidikan Pancasila. Ataupun
juga, pemakaian ideologi pendidikan Pancasila hanya sebatas simbolik namun
substansinya masih dipertanyakan Akibatnya, basis ideologis yang
digunakannya lagi-lagi menjadi kabur sehingga sering terjadi konstruksi dan
formulasi paradigma kebijakan yang dibangun juga menjadi tidak jelas serta
kering akan argumentasi (Suryadi dan Tilaar, 1994).
Oleh karenanya, sangat wajar bahwa terhadap keseluruhan kebijakan
pendidikan yang sering dibuat pemerintah cenderung bersifat involutif bahkan
terkesan mengulang-ulang atau blunder. Bahkan yang paling menyedihkan
adalah banyak kebijakan pendidikan yang dibuat oleh mereka demi
memuaskan kelompok kepentingan tertentu bukan kepada pemberd ayaan
bangsa secara keseluruhan. Kebijakan Pendidikan: Suatu Pendekatan
Dilematis Secara teoritis, suatu kebijakan pendidikan dirancang dan
dirumuskan untuk selanjutnya dapat diimplementasikan, sebenarnya tidak
begitu saja dibuat. Kebijakan pendidikan yang dirumuskan secara hati -hati
lebih-lebih yang menyangkut persoalan krusial atau pe rsoalan makro, maka
hampir pasti perumusan kebijakan pendidikan tersebut dilandasi oleh suatu
faham teori tertentu. Dalam proses perumusannya, para pemegang
kewenangan dalam pengambilan kebijakan (decision maker) terlebih dahulu
mempertimbangkan secara mas ak-masak (rasionalitas, proses, hasil, serta
efek samping yang ada).
Menurut pandangan Hodgkinson, dalam semua jenis perumusan
kebijakan selalu berkaitan dengan aspek metapolicy, karena akan menyangkut
hakekat (substance), sudut pandang (perspective), sikap (attitude), dan
perilaku (behaviour) yang tersembunyi maupun yang nyata dari aktor-aktor
yang bertanggung jawab (Solichin, 1997). Metapolicy mempersoalkan
mengapa dan bagaimana sebuah kebijakan (termasuk pendidikan) dipikirkan
dan dirumuskan. Bahkan kajian metapolicy ini bisa mengarah kepada kajian
yang bersifat filosofik. Dalam bahasan ini, penulis tidak akan terlalu
menelusuri dan mengupas lebih jauh sampai kepada kajian filosofik yang

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum 37

mendetail dari sebuah kebijakan, namun dalam hal ini catatan penting yang
perlu diketengahkan dalam tulisan ini adalah semua kebijakan termasuk dalam
kebijakan pendidikan selalu dirumuskan dengan pertimbangan-pertimbangan
filosifis dan teoritis tertentu.
Secara teoritik, suatu kebijakan pendidikan dirumusk an dengan
mendasarkan diri pada landasan pemikiran yang lebih ilmiah empirik. Kajian
ini menggunakan pola pendekatan yang beragam sesuai dengan faham teori
yang dianut oleh masing-masing penentu kebijakan. Dalam kajian ini, paling
tidak ada dua pendekatan yang dapat direkomendasikan kepada para penentu/
berwenang dalam merumuskan suatu kebijakan pendidikan. Dua pendekatan
dalam perumusan kebijakan pendidikan tersebut adalah: (1) Social demand
approach, dan (2) Man-power approach. Social demand approach adalah
suatu pendekatan dalam perumusan kebijakan pendidikan yang mendasarkan
diri pada aspirasi, tuntutan, serta aneka kepentingan yang didesakkan oleh
masyarakat. Pada pendekatan jenis ini para pengambil kebijakan akan terlebih
dahulu menyelami dan mendeteksi terhadap aspirasi yang berkembang di
masyarakat sebelum mereka merumuskan kebijakan pendidikan yang
ditanganinya. Bahkan kalau perlu mereka melakukan hearing dan menangkap
semua aspirasi dari bawah secara langsung.
Pada masyarakat yang sudah maju, proses penjaringan aspirasi dari
masyarakat lapisan bawah (grass-root) bisa dilakukan melalui banyak cara,
misalnya: melalui jajak pendapat, arus wacana yang berkembang, penelitian,
atau dengan cara pemilihan umum. Sedangkan yang berlaku pada masyarakat
yang masih belum maju, proses penjaringan aspirasi dari bawah biasanya
melalui rembug deso, jagong, sarasehan, dan sebaginya.
Pendekatan social demand sebenarnya tidak semata-mata merespon
aspirasi masyarakat sebelum dirumuskannya kebijakan pendidikan, akan tetapi
juga merespon tuntutan masyarakat setelah kebijakan pendidikan
diimplementasikan. Partisipasi warga dari seluruh lapisan masyarakat
diharapkan terjadi baik pada masa perumusan maupun implementasi kebijakan
pendidikan. Dengan mencermati uraian tersebut, social demand approach

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


38 Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum

dalam perumusan kebijakan dapat digolongkan ke dalam tipe perumusan


kebijakan yang bersifat pasif. Artinya, suatu kebijakan baru dapat dirumuskan
apabila ada tuntutan dari masyarakat terlebih dahulu. Dengan demikian, para
pejabat berw enang hanya bersifat menunggu dan hanya selalu menunggu.
Namun dari sisi positif, model pendekatan ini lebih demokratis sesuai dengan
aspirasi dan tuntutan masyakat, sehingga pada saat kebijakan tersebut
diimplementasikan dimungkinkan akan mendapat dukungan mayoritas dari
masyarakat. Oleh sebab itu, dengan pendekatan jenis ini tingkat ketercapaian
dari implementasi kebijakan relatif tinggi dan resiko kegagalannya akan
rendah.
Pendekatan kedua adalah man-power approach, yakni sebuah
pendekatan yang lebih menitik-beratkan kepada pertimbangan-pertimbangan
rasional dalam rangka menciptakan ketersediaan sumberdaya manusia (human
resources) yang memadai di masyarakat. Pendekatan man-power ini tidak
melihat apakah ada permintaan dari masyarakat atau tidak, apakah masyarakat
menuntut untuk dibuatkan suatu kebijakan pendidikan tertentu atau tidak;
tetapi yang terpenting adalah menurut pertimbangan-pertimbangan rasioal dan
visioner dari sudut pandang pengambil kebijakan.
Seorang pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu
menjalankan fungsi-fungsi kepemimpinannya dan juga sebagai seorang
visioner. Ia tidak hanya sekedar menjalankan tugas-tugas rutin dan ritual
dalam memimpin masyarakatnya; akan tetapi ia juga bisa melihat jauh ke
depan cita-cita yang akan dicapai masyarakatnya serta cara-cara untuk
mencapainya. Dengan kemampuan visoner dari sang pemimpin yang mampu
melihat jauh ke depan cita-cita yang akan menjadi tujuan masyarakatnya,
maka sang pemimpin tersebut bisa membuat langkah-langkah antisipasi dan
adaptasi dalam mengarahkan masyarakatnya sesuai dengan arah yang benar,
tanpa harus terlebih dahulu menunggu adanya tuntutan dari anggota -anggota
masyarakatnya.
Dalam pendekatan man-power, pemerintah sebagai pemimpin suatu
bangsa pada umumnya melihat bahwa suatu ba ngsa akan bisa maju manakala

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum 39

memiliki banyak warga yang mempunyai kapasitas dan kapabilitas yang


memadai. Dengan kata lain, memiliki kualitas sumberdaya manusia (human
resources) yang dapat diandalkan. Salah satu indikator empirik dari
penguasaan kualitas dari masingmasing warga bangsa adalah tingkat
pendidikan formal para anggotanya. Oleh karena itu pemerintah sebagai
pemimpin yang berwenang merumuskan suatu kebijakan memiliki legitimasi
kuat untuk merumuskan kebijakan pendidikan dengan alasan-alasan
sebagaimana di atas.
Beberapa catatan yang dapat dipetik dari man-power approach di atas
adalah bahwa pendekatan ini secara umum lebih bersifat otoriter. Man-power
approach pada umumnya kurang menghargai proses demokratis dalam
perumusan kebijakan pendidikan, terbukti perumusan kebijakannya tidak
diawali dari adanya aspirasi dan tuntutan masyarakat, akan tetapi langsung
saja dirumuskan sesuai dengan tuntutan masa depan sebagaimana dilihat oleh
sang pemimpin visioner. Sehingga terkesan adanya cara-cara otoriter dalam
pendekatan jenis kedua ini. Namun dari sisi positifnya, pendekatan man-
power lebih efisien dalam proses perumusannya serta lebih berdimensi jangka
panjang.
C. Menuju Formulasi Kebijakan Pendidikan Kritis -Partisipatif
Dengan mendasarkan diri pada filsafat sosial yang berlanjut kepada
filsafat dan ideologi politik sebagaimana dijelaskan di muka, maka terdapat
implikasi beragamnya teori berkenaan dengan formulasi kebijakan
pendidikan. Sebagaimana dikemukakan Hudson (Arif Rohman, 2002: 78-81)
yang telah mengelompokkan teori perumusan kebijakan pendidikan menjadi
lima teori. Kelima teori tersebut menurut Hudson adalah: (a) teori radikal, (b)
teori advokasi, (c) toeri transaktif, (d) teori sinoptik, dan (e) teori incremental.
Teori radikal (radical theory) menekankan kebebasan lembaga lokal
dalam menyusun sebuah kebijakan pendidikan. Semua kebijakan pendidikan
yang menyangkut penyelenggaraan dan perbaikan penyelenggaraan
pendidikan di tingkat daerah diserahkan kepada daerah. Sehingga negara atau
pemerintah pusat tidak perlu repot-repot menyusun sebuah rencana kebijakan

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


40 Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum

pendidikan bila pada akhirnya kurang sesuai dengan kondisi lokal. Lebih-lebih
kondisi masing-masing daerah memiliki tingkat keragaman dan kekhasan
sendiri -sendiri yang tidak bisa disamakan satu sama lain.
Teori ini berasumsi bahwa ‘tidak ada lembaga atau organ pendidikan
lokal yang persis sama satu sama lain’. Sehingga untuk menyusun kebijakan
pendidikan yang dianggap terbaik adalah diserahkan sepenuhnya kepada
lembaga-lembaga lokal yang secara hakiki memiliki karakteristik yang relatif
plural, serta yang mengetahui persoalan untuk dirinya sendiri. Hal ini amat
relevan dengan semangat otonomi daerah yang sekarang sedamg bergulir.
Dari sini nampak jelas bahwa teori radikal ini sangat menghargai
desentralisasi dalam perumusan kebijakan pendidikan.
Teori advokasi (advocacy theory) agak berbeda dengan teori radikal di
atas. Teori advokasi ini tidak menghiraukan perbedaan -perbedaan seperti
karakteristik lembaga, lingkungan sosial dan kultural, lingkungan geografis,
serta kondisi lokal lainnya. Kesemua macam corak karakteristik dan
perbedaan lingkungan tersebut menurut teori ini hanyalah perbedaan yang
didasarkan pada pengamatan empirik semata. Sebaliknya, teori advokasi ini
lebih mendasarkan pada argumentasi yang rasional, logis, dan bernilai.
Sehingga dalam hal ini pemerintah pusat sangat perlu menyusun kebijakan
pendidikan yang bersifat nasional demi kepentingan umum, serta demi
melindungi lembaga-lembaga dan organ-organ pendidikan yang relatif masih
marginal dibanding lembaga atau organ pendidikan lain yang sudah maju.
Teori advokasi bersumber dari akar teori konflik yang merekomendasikan
pemberian kewenangan negara atau pemerintah pusat untuk membatasi kelas
atau kelompok-kelompok dominan yang bisa merugikan kelas marginal.
Dalam hal ini pemerintah pusat harus mampu menyeimbangkan kemajuan
pendidikan antar daerah. Dengan demikian ketimpangan pendidikan antar da
erah bisa dieliminir. Teori transaktif (transactive theory) menekankan bahwa
perumusan kebijakan sangat perlu didiskusikan secara bersama terlebih dahulu
dengan semua pihak. Proses pendiskusian ini perlu melibatkan sebanyak
mungkin pihak–pihak terkait, termasuk dalam hal ini adalah dengan personalia

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum 41

lembaga pendidikan di tingkat lokal. Hasil dari proses diskusi tersebut


kemudian dievolusikan atau digelindingkan terlebih dahulu secara perlahan-
lahan. Pada dasarnya, teori transaktif ini sangat menekankan har kat individu
serta menjunjung tinggi kepentingan masing-masing pribadi. Keinginan,
kebutuhan, dan nilai-nilai individu diteliti satu persatu dan diajak bersama
dalam perumusan kebijakan pendidikan.
Teori sinoptik (synoptic theory) lebih menekankan bahwa dalam
menyusun sebuah kebijakan supaya menggunakan metode berfikir sistem.
Obyek yang dirancang dan terkena kebijakan, dipandang sebagai satu
kesatuan yang bulat dengan tujuan yang sering disebut dengan ‘misi’. Oleh
karena itu, teori ini sering juga disebut teori sistem, atau teori pendekatan
sistem rasional , atau teori rasional komprehensif.
Teori inkremental (incremental theory) adalah teori yang menekankan
pada perumusan kebijakan pendidikan yang berjangka pendek serta berusaha
menghindari perencanaan kebijakan yang berjangka panjang. Penekanan
semacam ini diambil disebabkan karena masalah-masalah yang dihadapi serta
performa dari para personalia pelaksana kebijakan dan kelompok yang terkena
kebijakan sulit diprediksi. Setiap saat, setiap tahun, dan setiap periode waktu
mengalami perubahan yang sangat kompleks.
Oleh karena itu menurut teori inkremental ini, amatlah sulit dan
amatlah kurang cermat manakala sebuah kebijakan pendidikan yang
berdimensi jangka panjang akan diterapkan pada suatu keadaan yang selalu
berubah. Kebijakan pendidikan yang paling tepat adalah kebijakan yang
berjangka pendek yang relevan dengan masalah pada saat itu juga.
Demikianlah beberapa teori perumusan kebijakan pendidikan yang telah
dideskripsikan panjang lebar. Tentu saja masing-masing teori yang ada
tersebut memiliki kekhasan dan implikasi positif dan negatifnya sendiri-
sendiri bila diterapkan. Ia hanya akan tepat atau memiliki banyak nilai positif
manakala diterapkan pada konteks masalah yang relevan.
Namun tidak tertutup kemun gkinan bahwa satu masalah akan bisa
dipecahkan dengan menggunakan beberapa teori secara eklektis-sinergis.

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


42 Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum

Misalnya dalam mengatasi persoalan ketimpangan antar daerah soal mutu


pendidikan yang menjadi problem bangsa Indonesia sejak tahun 1970-an
sampai sekarang, maka pemecahan kebijakan yang relevan adalah dengan
menggunakan teori radikal, advokasi, dan sinoptik secara eklektis-sinergis.
Aspek-aspek yang bisa ditangani dan diselesaikan oleh lembaga lokal
hendaknya diserahkan kepada kreatifitas lokal, sedangkan hal-hal yang
mestinya ditangani pemerintah pusat supaya diupayakan pusat. Terhadap
keseluruhan upaya tersebut dilakukan dalam kerangka sistem. Dengan
menggunakan teori secara eklektis-sinergis maka partisipasi lokal dan
masyarakat pada umumnya diharapkan bisa meningkat secara signifikan serta
daya kritis mereka dalam mempertimbangkan antara tuntutan dengan
kemampuan juga akan semakin berkembang.

D. Strategi dan Arah Kebijakan Pendidikan Nasional


Keberhasilan pembangunan yang berkelanjutan terletak pada kualitas
sumberdaya manusia yang unggul. Oleh karena itu, pembangunan manusia
harus merupakan ujung tombak strategi pembangunan berkelanjutan.
Mengingat kunci pembangunan manusia adalah pendidikan, maka pemerintah
harus menempatkan pendidikan sebagai suatu keharusan investasi jangka
panjang. Sistem pendidikan perlu dikembangkan agar dapat mencerdaskan
kehidupan bangsa dan mengembangkan jatidiri, nilai luhur serta budaya
bangsa yang produktif.
Proses pendidikan perlu dikelola secara sungguh-sungguh agar
generasi muda lebih bertaqwa, berbudi pekerti luhur, bermartabat, cerdas, ulet,
mandiri, demokratis, berkearifan lokal, dan berwawasan global sehingga
mampu berperan positif bagi peningkatan kesejahteraan dan keunggulan
bangsa. Pendidikan tinggi harus diarahkan untuk meningkatkan daya kerja
sehingga mampu menghasilkan ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya
untuk kemandirian bangsa. Pengembangan unggulan diarahkan pada bidang-
bidang yang relevan terhadap kepentingan masyarakat dan bangsa, khususnya
yang dapat memberikan nilai tambah pada hasil sumberdaya alam secara

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum 43

berkelanjutan serta mengurangi ketergantungan pada pihak luar. Di sisi lain,


pemerintah harus mengembangkan sistem yang dapat menjamin kesetaraan
akses pada pendidikan yang berkualitas. Lapangan kerja yang terus berubah
serta globalisasi mengharuskan penyelenggaraan sistem pendidikan yang
mampu mewujudkan masyarakat belajar sepanjang hayat (life-long learning).
Untuk mewujudkan kebijakan pendidikan nasional, maka ada beberapa
strategi pendidikan nasional. Pertama, demokratisasi pendidikan, upaya dapat
dilakukan dengan mengadakan perluasan dan pemerataan kesempatan untuk
memperoleh pendidikan, mewujudkan pendidikan untuk semua,
memungkinkan terjadinya pemberdayaan dan pendayagunaan institusi
masyarakat, memberikan perhatian tersendiri terhadap kelompok khusus, dan
mengupayakan pendirian unit pendidikan. Kedua, meningkatkan kualitas
pendidikan pada semua jenjang yang diwujudkan dengan melakukan
pembaharuan kurikulum pada semua jenjang, meningkatkan profesionalisme
tenaga kependidikan, eningkatkan kualitas proses dan evaluasi pendidikan,
meningkatkan peran supervisi pendidikan, dan eningkatkan kualitas penelitian.
Ketiga, meningkatkan relevansi pendidikan yang dapat dimanifestaskan
dengan pengembangan kecakapan dasar, menata program sesuai dengan
kepentingan kelanjutan studi dan memasuki dunia kerja, menciptakan proses
pendidikan yang manusiawi, dan membangun iklim pendidikan yang inklusif.
Keempat, meningkatkan efektivitas dan efisiensi pendidikan yang dapat
diwujudkan dengan penegakan Manajemen Berbasis Sekolah dan Pendidikan
berbasis masyarakat, penegakkan otonomi dan akuntabilitas perguruan tinggi,
penerapan dalam pendanaan pendidikan yang berbasis kinerja, dam
pemantapan keberadaan dan fungsi akreditasi lembaga pendidikan semua
jenjang, dan mengupayakan debirokratisasi pendidikan.
Sedangkan arah kebijakan pendidikan nasional lebih ditujukan pada:
1. Pemberdayaan Lembaga Pendidikan.
Kebijakan pendidikan nasional pada semua jenjang baik kini maupun
ke depan terutama telah diarahkan kepada pemberdayaan lembaga pendidikan,
sehingga memiliki otonomi yang tinggi dalam menghadapi setiap persoalan

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


44 Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum

yang dihadapi. Pemberdayaan lembaga pendidikan ini lebih didasarkan pada


pemberian trust kepada lembaga untuk mengelola dirinya sendiri secara
bertanggung jawab.
2. Desentralisasi Pendidikan
Keragaman yang dimiliki oleh lembaga pendidikan baik dilihat dari
jenis dan njenjangnya tidaklah relevan lagi jika semua pengelolaan pendidikan
disentralkan, sebagaimana pada era-era sebelumnya. Desentralisasi pendidikan
diharapkan dapat mewujudkan setiap program dan pelaksanaannya sesuai
dengan kondisi masing-masing, sehingga dapat dijamin efisiensi dan
efektivitas penyelenggaraan pendidikan.
3. Akuntabilitas Pendidikan.
Institusi dan sumber daya pendidikan dalam menunjukkan kegiatannya
sering kali lepas dari tanggung jawabnya. Untuk dapat lebih
dipertanggungjawabkan kepada public, maka setiap institusi seharusnya
mampu menunjukkan kinerjanya secara bertanggung jawab sebagaimana
amanat yang telah diberikan. Kegiatan pendidikan tidak hanya menghabiskan
biaya yang telah disepakati, namun sejauh mana dapat diwujudkan dalam
kegiatan yang bermakna.
4. Relevansi Pendidikan
Program pendidikan dan kurikulum telah dilakukan perbaikan secara
terus menerus yang diharapkan dapat menyiapkan lulusan memiliki kesiapan
dalam menghadapi tantangan pada jamannya. Namun lepas dari itu tetap
berbagai kegiatan yang diciptakan perlu dirahkan juga untuk membekali
peserta didik dalam menghadapi kebutuhan dalam hidupnya.
5. Pemberdayaan Masyarakat
Masyarakat merupakan stakeholder utama dalam proses pendidikan.
Oleh karena di samping pemerintah memenuhi tanggung jawabnya untuk
mendukung terjadinya proses pendidikan, masyarakat perlu diberdayakan
untuk berpartisipasi, baik secara finansial maupun substantive, sehingga
mereka ikut memiliki tanggung jawab dalam mengawal proses pendidikan
yang ada di sekitarnya.

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum 45

Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi Implementasi Kebijakan


Pendidikan di Indonesia di antaranya:
1. Mentalitas birokrat sektor pendidikan
Pengelolaan pendidikan tidak akan lebih produktif manakala pimpinan
lebih menunjukkan penampilan birokratis, dibandingkan dengan penampilan
profesional. Penampilan birokratis cenderung mengatasi persoalan pendidikan
lebih bersifat administratif dan birokratis, daripada pendekatan yang bernuansa
akademik-profesional dan humanistik. Tentui saja untuk beberapa hal masih
juga diperlukan pendekatan adminsitratif.
2. Politisasi birokrasi pendidikan.
Dampak negatif otonomi pendidikan memungkinkan terjadinya
pembinaan karir tanpa batas, sehingga siapapun dapat mengelola birokrasi
pendidikan. Jika birokrasi pendidikan dikelola dengan cara dan pendekatan
seperti ini, maka pengembangan pendidikan tidak akan pernah menunjukkan
kinerja yang membanggakan dan memuaskan semua stakeholder.
3. Penghargaan terhadap profesi pendidikan.
Profesi pendidikan tidak akan pernah menggairahkan, selama
pernghargaan yang diberikan masih belum menjanjikan dan memberikan
prestisius bagi siapapun yang terlibat dalam proses pendidikan. Oleh karena
itu, baik secara material maupun non-material, perlu terus diupayakan
peningkatan penghargaan bagi profesi pendidikan.
4. Mayoritas tenaga kependidikan belum menunjukkan keprofesionalan yang
membanggakan.
Tidaklah dapat dipnungkiri bahwa kebijakan pendidikan belum dapat
diwujudkan secara optimal, karena mayoritas tenaga kependidikan masih
menunjukkan tingkat kualifikasi dan kompetensi masih berada di bawah
kualifikasi dan kompetensi minimal.
5. Kepedulian masyarakat bisnis dan industri yang masih rendah.
Implementasi kebijakan pendidikan nampaknya tidak bisa lepas dari
kepedulian masyarakat bisnis dan industri yang masih rendah terhadap
penyelenggaraan pendidikan. Mereka belum sepenuhnya menunjukkan

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


46 Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum

dukungannnya baik berupa dukungan material yang memadai, maupun


menyiapkan space untuk tempat melakukan praktek, atau mengirimkan tenaga
ahlinya ke tempat pendidikan.

E. Program Pembangunan Pendidikan


Sejalan dengan arah kebijakan di atas, program pembangunan
pendidikan perlu ditetapkan sebagai elemen sentral pengembangan sumberdaya
manusia. Dalam rangka itu, program wajib belajar nasional 9 dan 12 tahun perlu
dituntaskan. Tingkat putus sekolah pada Wajarnas 9 tahun harus ditekan dengan
mengembangkan sistem pendidikan yang adaptif dengan kebutuhan dan kondisi
masyarakat Indonesia yang sangat beragam. Peran serta masyarakat yang sangat
dibutuhkan untuk menjamin keberhasilan sistem ini harus didorong melalui
penyadaran dan pembelajaran publik.
Peningkatan mutu pendidikan merupakan langkah strategis dalam
pengembangan sumberdaya manusia. Untuk itu, pertama-tama, kebutuhan
tenaga pendidikan harus tercukupi, dan kualitas tenaga pendidik perlu terus
ditingkatkan baik dari segi kompetensi, sikap-mental dan etika profesi.
Peningkatan kinerja mereka kiranya akan dapat diraih bersamaan dengan
peningkatan penghargaan dan kesejahteraan mereka. Peningkatan mutu guru
dilakukan melalui peningkatan mutu pendidikan guru serta membuka peluang
bagi sarjana umum untuk menjadi guru melalui sertifikasi.
Kedua, sarana-prasarana pendidikan harus disediakan dan diperbaiki.
Penyertaan masyarakat dalam hal ini kiranya akan memperkuat rasa memiliki
dan memperkuat kepeduliannya terhadap pendidikan. Masyarakat pada
umumnya melihat pendidikan sebagai (satu-satunya) jalan untuk melakukan
mobilitas vertikal. Dengan kebutuhan yang besar dan suplai pendidikan bermutu
yang terbatas, telah terjadi distorsi besar dalam sistem pendidikan kita. Apresiasi
masyarakat atas pendidikan yang bermutu harus ditingkatkan, karena
masyarakatlah yang akan menjadi pengendali mutu pendidikan. Peningkatan
apresiasi pada pendidikan akan meningkatkan apresiasi pada guru dan tenaga
pendidik.

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum 47

Ketiga, kualitas dan efektivitas manajemen pendidikan harus


dikembangkan. Hal itu dapat dilakukan melalui pemberian otonomi dan
pendelegasian otoritas penyelenggaraan pendidikan dengan menempatkan
pemerintah sebagai fasilitator, motivator, dan dinamisator. Mutu dan relevansi
pendidikan harus dikembangkan dan ditingkatkan berdasar kondisi lingkungan
spesifik masing-masing perguruan. Keempat, harus dilakukan reorientasi
pendidikan. Pembelajaran tidak hanya merupakan proses pengembangan
kompetensi tetapi harus menjadi pembelajaran yang mencerdaskan dan
membebaskan agar dapat menghasilkan lulusan yang dapat berfungsi dan
berperan positif dalam masyarakat madani.
Untuk itu, pendidikan harus dikembangkan berdasarkan pada martabat
dan komitmen terhadap nilai-nilai kebangsaan untuk membangun insan yang
tekun, teliti, dan optimis. Lebih dari itu, reorientasi pendidikan diperlukan untuk
mengakhiri kecenderung sebagian warga masyarakat yang lebih menghargai
gelar atau ijazah dari pada kompetensi. Orientasi tersebut harus diubah menjadi
orientasi pada kompetensi, kecakapan, kecerdasan dan keluhuran budi.
Kinerja sistem pendidikan perlu ditingkatkan dengan orientasi pada
kemampuan mengatasi masalah kebangsaan. Ilmu pengetahuan, teknologi, seni
dan budaya yang dikembangkan oleh perguruan tinggi haruslah membumi dan
dapat memenuhi kebutuhan serta menjawab permasalahan bangsa dengan
memanfaatkan sumberdaya dan kearifan lokal tanpa meninggalkan wawasan
global. Perguruan tinggi juga mengemban misi penting untuk menjadi kekuatan
moral dan sumber pemikiran akan solusi permasalahan bangsa.
Semua usaha di atas tentu saja memerlukan pendanaan yang tidak
sedikit. Oleh karena itu, komitmen pemerintah untuk berinvestasi pada
pendidikan sebagai solusi masa depan bangsa harus segera diwujudkan melalui
pengalokasian 20% APBN untuk pendidikan, di luar anggaran pendidikan
kedinasan dan gaji guru. Untuk lebih memperkuat dukungan pengembangan
pendidikan, maka sangat diperlukan kemitraan yang erat antara pemerintah,
pemerintah daerah, dan swasta dalam menyelenggarakan pendidikan yang
bermutu. Akses dan ekuitas pada pendidikan yang berkualitas, terutama

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


48 Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum

pendidikan dasar dan menengah, harus terus ditingkatkan. Untuk meningkatkan


daya saing bangsa, maka pendidikan unggulan bertaraf mutu internasional perlu
dikembangkan di tiap daerah dengan penekanan yang relevan dengan kebutuhan
dan ciri khas daerah.
Berdasarkan uraian di atas, perlu dijalankan program-program bidang
pendidikan berikut ini.
(1) Menetapkan pembangunan manusia melalui pendidikan sebagai strategi
pembangunan jangka panjang: (a) menjadikan pembangunan manusia
sebagai ujung tombak pembangunan berkelanjutan, (b) menjadikan
pendidikan sebagai kunci utama pembangunan manusia, (c) menuntaskan
wajib belajar nasional (Wajarnas) 9 tahun dan 12 tahun, (d) meningkatkan
komitmen pemerintah untuk berinvestasi pada pendidikan sebagai solusi
masa depan bangsa, dengan segera mewujudkan komitmen anggaran 20%
APBN untuk pendidikan, di luar anggaran pendidikan kedinasan dan gaji
guru/PNS.
(2) Meningkatkan sumberdaya pendidikan: (a) meningkatkan mutu pendidik
dan tenaga kependidikan, melalui peningkatan kompetensi, sikap-mental,
dan etika profesi, (b) meningkatkan mutu dan kompetensi guru serta mutu
pendidikan guru, (c) meningkatkan sarana-prasarana pendidikan.
(3) Meningkatkan peran masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan: (a)
meningkatkan apresiasi masyarakat akan pendidikan bermutu dan
mengubah orientasi gelar menjadi orientasi kompetensi, kecakapan,
kecerdasan dan keluhuran budi, (b) meningkatkan apresiasi pada guru dan
tenaga pendidik.
(4) Mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya yang
membumi dan menjawab kebutuhan masyarakat melalui pendekatan yang
memanfaatkan kearifan lokal dan berwawasan global.
(5) Meningkatkan kesejahteraan dan penghargaan pada tenaga pendidik
melalui pendekatan yang berdasar kinerja.

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum 49

(6) Meningkatkan kualitas dan efektivitas manajemen pendidikan melalui


otonomi penyelenggaraan pendidikan, dengan menempatkan pemerintah
sebagai fasilitator, motivator dan pemberdaya.
(7) Meningkatkan kualitas dan relevansi pendidikan: (a) meningkatkan mutu
dan relevansi pendidikan, (b) menciptakan sistem pembelajaran yang
mencerdaskan dan membebaskan, (c) mengembangkan sekolah
kejuruan/ketrampilan dan community college yang sesuai dengan
sumberdaya daerah, (d) mengembangkan lembaga pendidikan unggulan
taraf internasional di daerah, (e) mengembangkan pendidikan berdasarkan
pada martabat dan komitmen pada nilai-nilai kebangsaan, (f) membangun
insan yang tekun, teliti, dan optimis.
(8) Meningkatkan akses dan ekuitas memperoleh pendidikan berkualitas serta
mengurangi kesenjangan terutama pada pendidikan dasar dan menengah.
(9) Mengembangkan peran masyarakat dengan mewujudkan kemitraan yang
erat antara pemerintah, pemerintah daerah, dan swasta dalam
menyelenggarakan pendidikan yang bermutu.
(10) Mengembangkan perguruan tinggi yang berkualitas dan mandiri: (a)
menjadikan perguruan tinggi sebagai kekuatan moral dan sumber
pemikiran solusi permasalahan bangsa, (b) mengembangkan otonomi
perguruan tinggi dan mendorong kualitas dan relevansi pendidikan,
penelitian dan pengabdian pada masyarakat, (c) mengembangkan sistem
pendanaan pendidikan tinggi yang mendorong kinerja dan yang
berkeadilan.
Tabel 6.4
Matriks Program Pembangunan Pendidikan
NO ARAH KEBIJAKAN PROGRAM INDIKATOR
NASIONAL KINERJA

1 Menetapkan Peningkatan Terciptanya sistem


pembangunan manusia pembangunan pendidikan nasional
melalui pendidikan manusia sebagai ujung yang
sebagai strategi tombak pembangunan berkualitas, relevan,
pembangunan jangka berkelanjutan. dan
panjang. mampu menyiapkan

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


50 Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum

peserta didik menjadi


warga negara yang
bertanggung jawab
dan
produktif.
Pemberdayaan Meningkatnya
pendidikan kualitas
sebagai kunci utama pambangunan
pembangunan manusia. manusia
Indonesia
sekurangnya
setara dengan
Thailand
pada saat ini.
Penuntasan wajib Terselenggaranya
belajar Wajarnas 9 tahun
nasional (Wajarnas) 9 dalam 3
tahun tahun ke depan.
dan 12 tahun. Terselenggaranya
Wajarnas 12 tahun
dalam
9 tahun ke depan.
Peningkatan komitmen Terwujudkannya
pemerintah untuk persentase alokasi
berinvestasi pada anggaran APBN
pendidikan sebagai untuk
solusi pendidikan
masa depan bangsa,
dengan segera
mewujudkan
komitmen anggaran
20%
APBN untuk
pendidikan, di
luar anggaran
pendidikan
kedinasan dan gaji
guru/PNS.
2 Meningkatkan Peningkatan mutu Terpenuhinya
sumberdaya pendidikan. pendidik kebutuhan
dan tenaga guru untuk
kependidikan, pendidikan
melalui peningkatan dasar dan menengah
kompetensi, sikap-
mental,
dan etika profesi.

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum 51

Peningkatan mutu dan Kesesuaian


kompetensi guru dan kompetensi
pendidikan guru. guru pendidikan dasar
dan
menengah dengan
kebutuhan.
Peningkatan Tersedianya sarana
saranaprasarana prasarana pendidikan
pendidikan. yang
memadai baik
kuantitas maupun
kualitas.
3 Meningkatkan peran Peningkatan apresiasi Meningkatnya
masyarakat dalam masyarakat akan penghargaan
penyelenggaraan pendidikan masyarakat
pendidikan. bermutu dan mengubah pada pendidik dan
orientasi gelar menjadi tenaga
orientasi kompetensi, kependidikan
kecakapan, kecerdasan
dan
keluhuran budi.
Peningkatan apresiasi Meningkatnya peran
pada dan
guru dan tenaga kepedulian
pendidik masyarakat
dalam
penyelenggaraan
pendidikan.
4 Mengembangkan ilmu Pengembangan ilmu Meningkatnya
pengetahuan, teknologi, pengetahuan, teknologi, relevansi
seni dan budaya yang seni pendidikan dan hasil
membumi dan dan budaya yang didik.
menjawab membumi Meningkatnya
kebutuhan masyarakat. dan dapat memenuhi pengembangan
kebutuhan dan IPTEKS
menjawab yang bermanfaat dan
permasalahan bangsa menjawab kebutuhan
dengan memanfaatkan masyarakat luas.
kearifan lokal dan Meningkatnya
wawasan wawasan
global. global masyarakat
dengan
tetap memiliki jati diri
dan
kearifan lokal.
5 Meningkatkan Peningkatan Membaiknya tingkat

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


52 Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum

kesejahteraan dan kesejahteraan kesejahteraan dan


penghargaan pada dan penghargaan pada penghargaan pendidik
tenaga pendidik. tenaga pendidik dan
berdasar tenaga kependidikan.
kinerja.
6 Meningkatkan kualitas Peningkatan kualitas Meningkatnya
dan efektivitas dan efektivitas
manajemen pendidikan. efektivitas manajemen dan efisiensi
pendidikan melalui penyelenggaraan
otonomi pendidikan.
penyelenggaraan
pendidikan, dengan
menempatkan
pemerintah
sebagai fasilitator,
motivator
dan pemberdaya.
7 Meningkatkan kualitas Peningkatan mutu dan Meningkatnya mutu
dan relevansi relevansi pendidikan. pendidikan
pendidikan.
Penciptaan sistem Meningkatnya
pembelajaran yang relevansi
mencerdaskan dan pendidikan sehingga
membebaskan. hasil
didik lebih gayut
dengan
kebutuhan
masyarakat.
Pengembangan sekolah Tercapainya proporsi
kejuruan/ketrampilan seimbang antara
dan sekolah umum dan
community college kejuruan.
yang sesuai dengan
sumberdaya
daerah.
Pengembangan lembaga Berdirinya sekolah-
pendidikan unggulan sekolah
taraf unggulan bertaraf
internasional di daerah. internasional di tiap
daerah
untuk berbagai
jenjang
pendidikan.
Pengembangan Meningkatnya jumlah
pendidikan aktor
berdasarkan pada pembangunan yang

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum 53

martabat berkualitas baik di


dan komitmen pada sektor
nilainilai pemerintahan maupun
kebangsaan. swasta.
Pembangunan insan
yang
tekun, teliti, dan
optimis.
8 Meningkatkan akses Peningkatan akses dan Meratanya
dan ekuitas terutama pada kesempatan
ekuitas untuk pendidikan dasar dan memperoleh
memperoleh pendidikan menengah. pendidikan
berkualitas serta Berkurangnya
mengurangi kesenjangan
kesenjangan. mendapatkan
pendidikan
9 Mengembangkan peran Peningkatan kemitraan Meningkatnya
masyarakat. yang kemitraan
erat antara pemerintah, pemerintah daerah
pemerintah-daerah dan dan
swasta dalam swasta dalam
menyelenggarakan penyelenggaraan
pendidikan yang pendidikan
bermutu berkualitas.
10 Mengembangkan Pemberdayaan Berkembangnya
perguruan tinggi yang perguruan perguruan tinggi yang
berkualitas dan mandiri tinggi sebagai kekuatan mandiri, berkualitas
moral dan sumber dan
pemikiran relevan dengan
solusi permasalahan kebutuhan
bangsa. masyarakat.
Pengembangan otonomi
perguruan tinggi dan
mendorong kualitas dan
relevansi pendidikan,
penelitian dan
pengabdian
pada masyarakat.
Pengembangan sistem
pendanaan pendidikan
tinggi
yang mendorong kinerja
dan
berkeadilan.

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


54 Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum

Beberapa contoh hasil kebijakan pendidikan di Indonesia


A. Undang-undang
1. Undang-Undang No 09 Tahun 2009: Badan Hukum Pendidikan (sudah
dibatalkan melalui Putusan MK)
2. Undang-Undang No 14 Tahun 2005: Guru dan Dosen
3. Undang-Undang No 32 Tahun 2004: Pemerintahan Daerah.
4. Undang-Undang No 28 Tahun 2004: Perubahan atas UU Nomor 16 Tahun
2001 tentang Yayasan.
5. Undang-Undang No 20 Tahun 2003: Sistem Pendidikan Nasional.

B. Peraturan Pemerintah
1. Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010: Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Dan
Penyelenggaraan Pendidikan
2. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2010: Pemberian
gaji/pensiun/tunjangan bulan ketiga belas dalam tahun anggaran 2010
kepada Pegawai Negeri Sipil, Pejabat Negara dan Penerima
pensiun/tunjangan.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010: Disiplin Pegawai Negeri
Sipil.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2010: Penetapan Pensiun Pokok
Pensiunan PNS dan Janda/Dudanya (menggantikan PP 13 Tahun 2007, no
14 tahun 2008, dan no 9 tahun 2009)
5. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2010: Perubahan ke 12 atas
Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji PNS.
6. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2010: Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah No.16 Tahun 1994 Tentang Jabatan Fungsional Pegawai
Negeri Sipil.
7. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010: Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan beserta penjelasannya.
8. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2009: tunjangan profesi guru dan
dosen, tunjangan khusus guru dan dosen, serta tunjangan kehormatan
Profesor.
9. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2009: dosen
10. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008: pendanaan pendidikan.
11. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008: Pelaksanaan Undang-
Undang tentang Yayasan.
12. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005: Standar Nasional
Pendidikan
13. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1999: Penetapan Perguruan Tinggi
Negeri Sebagai Badan Hukum (sudah dibatalkan PP no. 17 tahun 2010)

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum 55

C. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional

1. Kepmendiknas No 108/P/2009: PT Penyelenggara Sertifikasi Pendidik


Untuk Dosen
2. Kepmendiknas No 022/P/2009: Penetapan Perguruan Tinggi
Penyelenggara sertifikasi bagi guru dalam jabatan
3. Kepmendiknas No 015/P/2009: Penetapan Perguruan Tinggi
Penyelenggara Program Sarjana (S1) Kependidikan bagi Guru
dalam Jabatan (022/P/2009)
4. Kepmendiknas No 056/P/2007: Pembentukan Konsorsium Sertifikasi
Guru
5. Kepmendiknas No 057/O/2007: Penetapan Perguruan Tinggi
Penyelenggara Sertifikasi Bagi Guru dalam jabatan
6. Kepmendiknas No 004/U/2002: Akreditasi Program Studi pada Perguruan
Tinggi
7. Kepmendiknas No 045/U/2002: Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi
8. Kepmendiknas No 184/U/2001: Pedoman Pengawasan-Pengendalian dan
Pembinaan Program Diploma, Sarjana dan Pascasarjana di
Perguruan Tinggi
9. Kepmendiknas No 178/U/2001: Gelar dan Lulusan Perguruan Tinggi
10. Kepmendiknas No 107/U/2001: Penyelenggaraan Program Pendidikan
JARAK Jauh (berbeda dengan KELAS jauh, kalau program
pendidikan jarak jauh dibolehkan, yang kelas jauh harus memenuhi
ketentuan Permendiknas No. 30 Tahun 2009)
11. Kepmendiknas No 36/D/O/2001: Petunjuk teknis pelaksanaan penilaian
angka kredit jabatan fungsional dosen
12. Kepmendiknas No 234/U/2000: Pedoman Pendirian Perguruan Tinggi
13. Kepmendiknas No 232/U/2000: Pedoman Penyusunan Kurikulum
Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar mahasiswa
14. 074/U/2000: Tata cara tim penilai dan tata cara penilaian angka kredit
jabatan fungsional dosen
15. Kepmendiknas No 58 Tahun 2008: Penyelenggaraan Program Sarjana (S1)
Kependidikan bagi Guru dalam Jabatan
16. Kepmendiknas No 284/U/1999: Pengangkatan Dosen sebagai Pimpinan
Perguruan Tinggi dan Pimpinan Fakultas (sudah dibatalkan oleh
Permendiknas No. 67 Tahun 2008)
17. Kepmendiknas No 264/U/1999: kerjasama antar Perguruan Tinggi dan SK
Dirjen Dikti no 61/DIKTI/Kep/2000
18. Kepmendiknas No 212/U/1999: Pedoman Penyelenggaraan Program
Doktor
19. Kepmendiknas No 187/U/1998: Badan Akreditasi Nasional Perguruan
Tinggi (sudah dibatalkan oleh Permendiknas No. 28 Tahun 2005)
20. Kepmendiknas No 155/U/1998: Pedoman Umum Organisasi
kemahasiswaan di Perguruan Tinggi
21. Kepmendiknas No 223/U/1998: Kerjasama antar Perguruan Tinggi
(dibatalkan oleh Kepmendikbud 264/U/1999 )

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


56 Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum

22. Kepmendiknas No 38/KEP/MK.WASPAN/8/1999: Jabatan Fungsional


Dosen dan Angka Kreditnya

D. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional

1.Permendiknas No 24 Tahun 2010: Pengangkatan dan Pemberhentian


Rektor/Ketua/Direktur pada Perguruan Tinggi yang diselenggarakan
oleh Pemerintah
2.Permendiknas No 17 Tahun 2010: Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat
di Perguruan Tinggi.
3.Permendiknas No 9 Tahun 2010: Program Pendidikan Profesi Guru Bagi
Guru Dalam Jabatan
4.Permendiknas No 6 Tahun 2010: Perubahan Atas Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 28 tahun 2005 tentang Badan Akreditasi
Nasional Perguruan Tinggi.
5.Permendiknas No 2 Tahun 2010: Rencana Strategis Kementerian
Pendidikan Nasional Tahun 2010-2014.
6.Permendiknas No 1 Tahun 2010: Perubahan Penggunaan Nama Departemen
Pendidikan Nasional Menjadi Kementerian Pendidikan Nasional
7.Permendiknas No 73 Tahun 2009: Perangkat Akreditasi Program Studi
Sarjana (S1)
8.Permendiknas No 68 Tahun 2009: Pedoman Akreditasi Berkala Ilmiah
9.Permendiknas No 67 Tahun 2009: Pedoman Akreditasi Berkala Ilmiah
10. ermendiknas No 66 Tahun 2009: Pemberian Izin Pendidik dan Tenaga
Kependidikan Asing pada Satuan Pendidikan Formal dan Nonformal
di Indonesia.
11. Permendiknas No 63 Tahun 2009: Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan
12. Permendiknas No 61 Tahun 2009: Pemberian Kuasa dan Delegasi
Wewenang Pelaksanaan Kegiatan Administrasi Kepegawaian kepada
Pejabat Tertentu di Lingkungan Departemen Pendidikan Nasional.
13. Permendiknas No 48 Tahun 2009: Pedoman Pemberian Tugas Belajar
Bagi PNS di lingkungan Depdiknas
14. Permendiknas No 47 Tahun 2009: Sertifikasi Pendidik Untuk Dosen.
15. Permendiknas No 46 Tahun 2009: Pedoman Umum Ejaan Bahasa
Indonesia yang Disempurnakan.
16. Permendiknas No 42 Tahun 2009: Standar Pengelola Kursus.
17. Permendiknas No 41 Tahun 2009: Standar Pembimbing pada Kursus dan
Pelatihan.
18. Permendiknas No 33 Tahun 2009: Pedoman pengangkaan Dewan
Pengawas pada PTN di Lingkungan Depdiknas yang menerapkan
Pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (BLU)
19. Permendiknas No 32 Tahun 2009: Mekanisme pendirian BHP, perubahan
BHMN atau PT, dan pengakuan penyelenggara PT sebagai BHP.
20. Permendiknas No 30 Tahun 2009: Penyelenggaraan Program Studi di luar
domisili Perguruan Tinggi

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum 57

21. Permendiknas No 26 Tahun 2009: Penyetaraan lulusan Perguruan Tinggi


Luar Negeri
22. Permendiknas No 20 Tahun 2009: Beasiswa Unggulan.
23. Permendiknas No 19 Tahun 2009: Penyaluran Tunjangan Kehormatan
Profesor.
24. Permendiknas No 18 Tahun 2009: Penyelenggaraan Pendidikan oleh
Lembaga Pendidikan Asing di Indonesia
25. Permendiknas No 16 Tahun 2009: Satuan Pengawasan Internal di
Lingkungan Departemen Pendidikan Nasional
26. Permendiknas No 8 Tahun 2009: Program Pendidikan Profesi Guru Pra
Jabatan
27. Permendiknas No 85 Tahun 2008: Pedoman Penyusunan Statuta
Perguruan Tinggi
28. Permendiknas No 67 Tahun 2008: Pengangkatan dan pemberhentian dosen
sebagai pimpinan Perguruan Tinggi dan Pimpinan Fakultas
29. Permendiknas No 61 Tahun 2008: Mekanisme Penjatuhan Hukuman
Disiplin yang merupakan kewenangan Menteri terhadap PNS di
lingkungan Depdiknas.
30. Permendiknas No 58 Tahun 2008: Penyelenggaraan Program Sarjana (S1)
Kependidikan bagi guru dalam jabatan.
31. Permendiknas No 53 Tahun 2008: Pedoman penyusunan standar
pelayanan minimum bagi PTN yang menerapkan Pengelolaan
keuangan BLU
32. Permendiknas No 38 Tahun 2008: Pengelolaan Teknologi Informasi dan
Komunikasi di Lingkungan Depdiknas.
33. Permendiknas No 27 Tahun 2008: Standar kualifikasi akademik dan
kompentensi Konselor
34. Permendiknas No 20 Tahun 2008: Penetapan inpassing pangkat dosen
bukan PNS yang telah menduduki jabatan akademik di PTS dengan
pangkat PNS.
35. Permendiknas No 19 Tahun 2008: Perguruan Tinggi Penyelenggara
Sertifikasi Dosen
36. Permendiknas No 18 Tahun 2008: Penyaluran tunjangan profesi dosen
37. Permendiknas No 17 Tahun 2008: Perubahan Pertama atas Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 42 Tahun 2007 Tentang
Sertifikasi Dosen (dibatalkan oleh Permendiknas 47 Tahun 2009)
38. Permendiknas No 09 Tahun 2008: Perpanjangan batas usia pensiun PNS
yang sudah menduduki jabatan Guru Besar/Profesor dan
pengangkatan Guru Besar/Profesor Emeritus (situs asli)
39. Permendiknas No 42 Tahun 2007: Sertifikasi dosen (dibatalkan oleh
Permendiknas 47 Tahun 2009)
40. Permendiknas No 30 Tahun 2007: Pengelolaan Rekening di Lingkungan
Depdiknas
41. Permendiknas No 26 Tahun 2007: Kerja sama Perguruan Tinggi di
Indonesia dengan Perguruan Tinggi atau Lembaga Lain di Luar
Negeri.

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


58 Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum

42. Permendiknas No 25 Tahun 2007: Persyaratan dan Prosedur bagi WNA


untuk menjadi Mahasiswa pada PT di Indonesia.
43. Permendiknas No 20 Tahun 2007: Standar Penilaian Pendidikan
44. Permendiknas No 18 Tahun 2007: Sertifikasi Bagi Guru dalam Jabatan
45. Permendiknas No 17 Tahun 2007: Ujian Nasional Pendidikan Kesetaraan
Tahun 2007
46. Permendiknas No 16 Tahun 2007: Standar Kualifikasi Akademik dan
Kompetisi Guru
47. Permendiknas No 15 Tahun 2007: Sistem Perencanaan Tahunan
Depdiknas
48. Permendiknas No 38 Tahun 2006: Persyaratan dan Tata Cara
Perpanjangan Batas Usia Pensiun Guru Besar dan Pengangkatan
Guru Besar Emeritus (sudah dibatalkan oleh Permendiknas No. 09
Tahun 2008).
49. Permendiknas No 32 Tahun 2006: Perubahan Keputusan Mendiknas
Nomor 042/U/2000 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Penetapan
Perguruan Tinggi Negeri Sebagai Badan Hukum
50. Permendiknas No 28 Tahun 2006: Prosedur Penetapan Organisasi
Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara pada Masa Peralihan
51. Permendiknas No 1 Tahun 2006: Pemberian kewenangan kepada 4 PT
BHMN untuk membuka dan menutup program studi pada PT yang
bersangkutan
52. Permendiknas No 28 Tahun 2005: Badan Akreditasi Nasional Perguruan
Tinggi

E. Keputusan Dirjen Dikti

1.Kep Dirjen Dikti No 70/D/T/2010: 17 Februari 2010, Perubahan


Perguruan Tinggi menjadi Badan Hukum Pendidikan.
2. Kep Dirjen Dikti No 03/DIKTI/Kep/2010: Pemberian Mandat Kepada
Pemimpin Perguruan Tinggi yang diselenggarakan oleh
Pemerintah untuk melakukan Evaluasi dan Penandatanganan
Surat Keputusan Perpanjangan Ijin Program Studi di
Lingkungan Perguruan Tinggi yang Bersangkutan.
3. Kep Dirjen Dikti No 82/DIKTI/Kep/2009: Pedoman Penyetaraan
Ijazah Lulusan Perguruan Tinggi Luar Negeri.
4. Kep Dirjen Dikti No 66/DIKTI/Kep/2008: Pemberian kuasa kepada
Koordinator Kopertis di wilayah masing-masing untuk atas
nama Dirjen Dikti menetapkan angka kredit dosen PTS untuk
jenjang jabatan akademik Asisten Ahli dan Lektor.
5. Kep Dirjen Dikti No 163/DIKTI/Kep/2007: Penataan dan Kodifikasi
Prodi Pada Perguruan Tinggi.
6. Kep Dirjen Dikti No 44/DIKTI/Kep/2006: Rambu-rambu pelaksanaan
kelompok mata kuliah berkehidupan bermasyarakat di
Perguruan Tinggi.

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum 59

7. Kep Dirjen Dikti No 43/DIKTI/Kep/2006: Rambu-rambu pelaksanaan


kelompok mata kuliah pengembangan kepribadian di
Perguruan Tinggi.
8. Kep Dirjen Dikti No 34/DIKTI/Kep/2002: Perubahan dan Peraturan
tambahan SK Dirjen Dikti no. 08/DIKTI/Kep/2001.
9. Kep Dirjen Dikti No 28 /DIKTI/Kep/2002: Penyelenggaraan Program
Reguler dan Non Reguler di Perguruan Tinggi.
10. 0 Kep Dirjen Dikti No 8/DIKTI/Kep/2002: Petunjuk Teknis Keputusan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 184/U/2001 Tentang
Pedoman Pengawasan Pengendalian dan Pembinaan Program
Diploma, Sarjana dan Pasca Sarjana di Perguruan Tinggi.
11. Kep Dirjen Dikti No 108/DIKTI/Kep/2001: Pedoman Pembukaan
Program Studi dan/atau Jurusan Berdasarkan Keputusan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 234/U/2000: Pendirian
Perguruan Tinggi.
12. Kep Dirjen Dikti No 275/DIKTI/Kep/1999: Tatacara Pengangkatan
Pembantu rektor, dekan, pembantu dekan, pembantu ketua
dan pembantu direktur pada PTN di lingkungan
Kemendikbud pada kondisi khusus terjadi pemberhentian
atau mutasi jabatan sebelum masa tugas berakhir.

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


60 Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum

DAFTAR PUSTAKA

Alfred, Richard L. & Patricia Carter. (1995). Building the Future: Comprehensive
Educational Master Planning Report 1995-2005, University of Alabama
& Community College Consortium.

Buchori, Mochtar. 1994. “Pendidikan dan Pembangunan”. Yogyakarta: Tiara


Wacana.

Dunn, William, N. (1994). Public Policy Analysis: An Introductions, London:


Prentice-Hall, Inc; Englewood Cliffs

Dye, Thomas R. (1981). Policy Analysis, Alabama: University of Alabama Press.

Goodgin, Robert E. (1982). Political Theory and Public Policy, Chicago:


University of Chicago Press.

Grindle, Merilee S. (1980). Politics and Policy Implementation in the Third


World, NJ: Priceton Press.

Irianto, Yoyon Bahtiar. (2006). Pembangunan Manusia dan Pembaharuan


Pendidikan, Bandung: Laboratorium Administrasi Pendidikan Universitas
Pendidikan Indonesia.

Jalal, Fasli dan Dedi Supriadi. (2001), Reformasi Pendidikan dalam Konteks
Otonomi Daerah, Yogyakarta: AdiCita Karya Nusa.

O’Neil, William F. 2001. “Ideologi-Ideologi Pendidikan”. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar.

Pal, Leslie A. (1996). Public Policy Analysis: An Introduction, Ontario: Nelson


Canada.

Rohman, Arif. 2002. “Kebijakan Pendidikan: Ideologi, Proses Politik, dan Peran
Birokrasi dalam Formulasi dan Implementasi Kebijakan Pendidikan”.
Yogyakarta, Pustaka Pelajar.

Soekanto, Soerjono. 1982. “Sosiologi Suatu Pengantar”. Jakarta: Rajawali Press.

Stevens, Edward and Wood, George H. 1987. “Justice, Ideology, and Education”.
New York: Random House.

Surbakti, Ramlan. 1992. “Memahami Ilmu Politik”. Jakarta: Gramedia


Widiasarana.

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum 61

Suryadi, Ace. (2002). Pendidikan, Investasi SDM, dan Pembangunan: Isu, Teori
dan Aplikasi, Jakarta: Balai Pustaka.

Suryadi, Ace dan Tilaar, HAR. 1994. “Analisis Kebijakan Pendidikan: Suatu
Pengantar”. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Wahab, Solichin Abdul. 1997. “Analisis Kebijaksanaan: Dari Formulasi Ke
Implementasi Kebijaksanaan Negara”. Jakarta: Bumi Aksara.

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


62 Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum 63

BAGIAN
DUA

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


64 Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


BAB 4
KURIKULUM DAN
PERKEMBANGAN DI
INDONESIA
A. Hakikat Kurikulum
Istilah kurikulum (curriculum), yang pada awalnya digunakan dalam
dunia olahraga, berasal dari kata curir (pelari) dan curere (tempat berpacu).
Pada saat itu kurikulum diartikan sebagai jarak yang harus ditempuh oleh
seorang pelari mulai dari start sampai finish untuk memperoleh
medali/penghargaan. Kemudian, pengertian tersebut diterapkan dalam dunia
pendidikan menjadi sejumlah mata pelajaran (subject) yang harus ditempuh
oleh seorang siswa dari awal sampai akhir program pelajaran untuk
memperoleh penghargaan dalam bentuk ijazah. Dari pengertian tersebut,
dalam kurikulum terkandung dua hal pokok, yaitu: (1) adanya mata pelajaran
yang harus ditempuh oleh siswa, dan (2) tujuan utamanya yaitu untuk
memperoleh ijazah. Dengan demikian, implikasi terhadap praktik pengajaran
yaitu setiap siswa harus menguasai seluruh mata pelajaran yang diberikan dan
menempatkan guru dalam posisi yang sangat penting dan menentukan.
Keberhasilan siswa ditentukan oleh seberapa jauh mata pelajaran
tersebut dikuasainya dan biasanya disimbolkan dengan skor yang diperoleh
setelah mengikuti suatu tes atau ujian. Pengertian kurikulum seperti
disebutkan di atas dianggap pengertian yang sempit atau sangat sederhana.
Jika kita mempelajari buku-buku atau literatur lainnya tentang kurikulum,
terutama yang berkembang di negara-negara maju, maka akan ditemukan
banyak pengertian yang lebih luas dan beragam. Kurikulum itu tidak terbatas
hanya pada sejumlah mata pelajaran saja, tetapi mencakup semua pengalaman

65
66 Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum

belajar (learning experiences) yang dialami siswa dan mempengaruhi


perkembangan pribadinya. Bahkan Harold B. Alberty (1965) memandang
kurikulum sebagai semua kegiatan yang diberikan kepada siswa di bawah
tanggung jawab sekolah (all of the activities that are provided for the students
by the school). Kurikulum tidak dibatasi pada kegiatan di dalam kelas saja,
tetapi mencakup juga kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh siswa di luar
kelas. Pendapat yang senada dan menguatkan pengertian tersebut
dikemukakan oleh Saylor, Alexander, dan Lewis (1974) yang menganggap
kurikulum sebagai segala upaya sekolah untuk mempengaruhi siswa supaya
belajar, baik dalam ruangan kelas, di halaman sekolah, maupun di luar
sekolah.
Pengertian kurikulum senantiasa berkembang terus sejalan dengan
perkembangan teori dan praktik pendidikan. Dengan beragamnya pendapat
mengenai pengertian kurikulum, maka secara teoretis kita agak sulit
menentukan satu pengertian yang dapat merangkum semua pendapat. Pada
saat sekarang istilah kurikulum memiliki empat dimensi pengertian, satu
dimensi dengan dimensi lainnya saling berhubungan. Keempat dimensi
kurikulum tersebut yaitu: (1) kurikulum sebagai suatu ide/gagasan; (2)
kurikulum sebagai suatu rencana tertulis yang sebenamya merupakan
perwujudan dari kurikulum sebagai suatu ide; (3) kurikulum sebagai suatu
kegiatan yang sering pula disebut dengan istilah kurikulum sebagai suatu
realita atau implementasi kurikulum. Secara teoretis dimensi kurikulum ini
adalah pelaksanaan dari kurikulum sebagai suatu rencana tertulis; dan (4)
kurikulum sebagai suatu hasil yang merupakan konsekuensi dari kurikulum
sebagai suatu kegiatan.
Pandangan atau anggapan yang sampai saat ini masih lazim dipakai
dalam dunia pendidikan dan persekolahan di negara kita, yaitu kurikulum
sebagai suatu rencana tertulis yang disusun guna memperlancar proses
pembelajaran. Hal ini sesuai dengan rumusan pengertian kurikulum seperti
yang tertera dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional: "Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum 67

mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
pendidikan tertentu".

B. Fungsi dan Peranan Kurikulum


1. Fungsi Kurikulum
Apa sebenarnya fungsi kurikulum bagi guru, siswa, kepala
sekolah/pengawas, orang tua, dan masyarakat? Pada dasarnya kurikulum itu
berfungsi sebagai pedoman atau acuan. Bagi guru, kurikulum itu berfungsi
sebagai pedoman dalam melaksanakan proses pembelajaran. Bagi kepala
sekolah dan pengawas, kurikulum itu berfungsi sebagai pedoman dalam
melaksanakan supervisi atau pengawasan. Bagi orang tua, kurikulum itu
berfungsi sebagai pedoman dalam membimbing anaknya belajar di rumah.
Bagi masyarakat, kurikulum itu berfungsi sebagai pedoman untuk
memberikan bantuan bagi terselenggaranya proses pendidikan di sekolah.
Bagi siswa sebagai subjek didik, terdapat enam fungsi kurikulum sebagai
berikut: (a) fungsi penyesuaian, (b) fungsi integrasi, (c) fungsi diferensiasi, (d)
fungsi persiapan, (e) fungsi pemilihan, dan (f) fungsi diagnostik.
a. Fungsi Penyesuaian.
Fungsi Penyesuaian mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat
pendidikan harus mampu mengarahkan siswa agar memiliki sifat well
adjusted yaitu mampu menyesuaikan dirinya dengan lingkungan, baik
lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Lingkungan itu sendiri
senantiasa mengalami perubahan dan bersifat dinamis. Karena itu, siswa
pun harus memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan
perubahan yang terjadi di lingkungannya.
b. Fungsi Integrasi.
Fungsi Integrasi mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat
pendidikan harus mampu menghasilkan pribadi-pribadi yang utuh. Siswa
pada dasarnya merupakan anggota dan bagian integral dari masyarakat.

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


68 Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum

Oleh karena itu, siswa harus memiliki kepribadian yang dibutuhkan untuk
dapat hidup dan berintegrasi dengan masyarakatnya.
c. Fungsi Diferensiasi.
Fungsi Diferensiasi mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat
pendidikan harus mampu memberikan pelayanan terhadap perbedaan
individu siswa. Setiap siswa memiliki perbedaan, baik dari aspek fisik
maupun psikis, yang harus dihargai dan dilayani dengan baik.
d. Fungsi Persiapan.
Fungsi Persiapan mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat
pendidikan harus mampu mempersiapkan siswa untuk melanjutkan studi
ke jenjang pendidikan berikutnya. Selain itu, kurikulum juga diharapkan
dapat mempersiapkan siswa untuk dapat hidup dalam masyarakat
seandainya karena sesuatu hal, tidak dapat melanjutkan pendidikannya.
e. Fungsi Pemilihan.
Fungsi Pemilihan mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat
pendidikan harus mampu memberikan kesempatan kepada siswa untuk
memilih program-program belajar yang sesuai dengan kemampuan dan
minatnya. Fungsi pemilihan ini sangat erat hubungannya dengan fungsi
diferensiasi, karena pengakuan atas adanya perbedaan individual siswa
berarti pula diberinya kesempatan bagi siswa tersebut untuk memilih apa
yang sesuai dengan minat dan kemampuannya. Untuk mewujudkan kedua
fungsi tersebut, kurikulum perlu disusun secara lebih luas dan bersifat
fleksibel.
f. Fungsi Diagnostik
Fungsi diagnostik mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat
pendidikan harus mampu membantu dan mengarahkan siswa untuk dapat
memahami dan menerima kekuatan (potensi) dan kelemahan yang
dimilikinya. Jika siswa sudah mampu memahami kekuatan-kekuatan dan
kelemahan-kelemahan yang ada pada dirinya, maka diharapkan siswa
dapat mengembangkan sendiri potensi kekuatan yang dimilikinya atau
memperbaiki kelemahan-kelemahannya.

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum 69

2. Peranan Kurikulum
Kurikulum dalam pendidikan formal di sekolah/madrasah memiliki
peranan yang sangat strategis dan menentukan pencapaian tujuan pendidikan.
Terdapat tiga peranan yang dinilai sangat penting, yaitu: (a) peranan
konservatif, (2) peranan kreatif, dan (3) peranan kritis/evaluatif (Oemar
Hamalik, 1990).
a. Peranan Konservatif.
Peranan ini menekankan bahwa kurikulum sebagai sarana untuk
mentransmisikan nilai-nilai warisan budaya masa lalu yang dianggap
masih relevan dengan masa kini kepada generasi muda, dalam hal ini para
siswa. Dengan demikian, peranan konservatif ini pada hakikatnya
menempatkan kurikulum, yang berorientasi ke masa lampau. Peranan ini
sifatnya menjadi sangat mendasar, disesuaikan dengan kenyataan bahwa
pendidikan pada hakikatnya merupakan proses sosial. Salah satu tugas
pendidikan yaitu mempengaruhi dan membina perilaku siswa sesuai
dengan nilai-nilai sosial yang hidup di lingkungan masyarakatnya.
b. Peranan Kreatif.
Peranan ini menekankan bahwa kurikulum harus mampu mengembangkan
sesuatu yang baru sesuai dengan perkembangan yang terjadi dan
kebutuhan-kebutuhan masyarakat pada masa sekarang dan masa
mendatang. Kurikulum harus mengandung hal-hal yang dapat membantu
setiap siswa mengembangkan semua potensi yang ada pada dirinya untuk
memperoleh pengetahuan-pengetahuan baru, kemampuan-kemampuan
baru, serta cara berpikir baru yang dibutuhkan dalam kehidupannya.
c. Peranan Kritis dan Evaluatif.
Peranan ini dilatarbelakangi oleh adanya kenyataan bahwa nilai-nilai dan
budaya yang hidup dalam masyarakat senantiasa mengalami perubahan,
sehingga pewarisan nilai-nilai dan budaya masa lalu kepada siswa perlu
disesuaikan dengan kondisi yang terjadi pada masa sekarang. Selain itu,
perkembangan yang terjadi pada masa sekarang dan masa mendatang
belum tentu sesuai dengan apa yang dibutuhkan. Karena itu, peranan

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


70 Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum

kurikulum tidak hanya mewariskan nilai dan budaya yang ada atau
menerapkan hasil perkembangan baru yang terjadi, melainkan juga
memiliki peranan untuk menilai dan memilih nilai dan budaya serta
pengetahuan baru yang akan diwariskan tersebut. Dalam hal ini, kurikulum
harus turut aktif berpartisipasi dalam kontrol atau filter sosial. Nilai-nilai
sosial yang tidak sesuai lagi dengan keadaan dan tuntutan masa kini
dihilangkan dan diadakan modifikasi atau penyempurnaan-
penyempurnaan.
Ketiga peranan kurikulum di atas tentu saja harus berjalan secara
seimbang dan harmonis agar dapat memenuhi tuntutan keadaan. Jika tidak, akan
terjadi ketimpangan-ketimpangan yang menyebabkan peranan kurikulum
persekolahan menjadi tidak optimal. Menyelaraskan ketiga peranan kurikulum
tersebut menjadi tanggung jawab semua pihak yang terkait dalam proses
pendidikan, di antaranya guru, kepala sekolah, pengawas, orang tua, siswa, dan
masyarakat. Dengan demikian, pihak-pihak yang terkait tersebut idealnya dapat
memahami betul apa yang menjadi tujuan dan isi dari kurikulum yang diterapkan
sesuai dengan bidang tugas masing-masing.

C. PERKEMBANGAN KURIKULUM DI INDONESIA


Kurikulum merupakan komponen sistem pendidikan yang paling rentan
terhadap perubahan. Paling tidak ada tiga faktor yang membuat kurikulum harus
selalu dirubah atau diperbaharui. Pertama, karena adanya perubahan filosofi
tentang manusia dan pendidikan, khususnya mengenai hakikat kebutuhan
peserta didik terhadap pendidikan/pembelajaran. Kedua, cara karena cepatnya
perkembangan ilmu dan teknologi, sehingga subject matter yang harus
disampaikan kepada peserta didik pun semakin banyak dan berragam. Ketiga,
adanya perubahan masyarakat, baik secara sosial, politik, ekonomi, maupun
daya dukung lingkungan alam, baik pada tingkat lokal maupun global. Karena
adanya faktor-faktor tersebut, maka salah satu kriteria baik buruknya sebuah
kurikulum bisa dilihat pada fleksibilitas dan adaptabilitasnya terhadap
perubahan. Selain itu juga dilihat dari segi kemampuan mengakomodasikan isu-

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum 71

isu atau muatan lokal dan isu-isu global. Hal ini diddasarkan pada kenyataan
bahwa pendidikan harus mampu mengantarkan peserta didik untuk hidup pada
zaman mereka, serta memiliki wawasan global dan mampu berbuat sesuai
dengan kebutuhan lokal.
Untuk dapat menuju pada karakteristik kurikulum ideal tersebut maka
proses penyusunan kurikulum tidak lagi selayaknya dilakukan oleh negara dan
diberlakukan bagi seluruh satuan pendidikan tanpa melihat kondisi internal dan
lingkungannya. Kurikulum hendaknya disusun dari bawah (bottom up) oleh
setiap satuan pendidikan bersama dengan stakeholder masing-masing. Berikut
adalah Perkembangan Kurikulum di Indonesia.
1. Rencana Pelajaran 1947
Kurikulum pertama pada masa kemerdekaan namanya Rencana
Pelajaran 1947. Ketika itu penyebutannya lebih populer menggunakan
learn plan (rencana pelajaran) ketimbang istilah curriculum dalam bahasa
Inggris. Rencana Pelajaran 1947 bersifat politis, yang tidak mau lagi
melihat dunia pendidikan masih menerapkan kurikulum Belanda, yang
orientasi pendidikan dan pengajarannya ditujukan untuk kepentingan
kolonialis Belanda. Asas pendidikan ditetapkan Pancasila. Situasi
perpolitikan dengan gejolak perang revolusi, maka Rencana Pelajaran
1947, baru diterapkan pada tahun 1950. Oleh karena itu Rencana Pelajaran
1947 sering juga disebut kurikulum 1950. Susunan Rencana Pelajaran
1947 sangat sederhana, hanya memuat dua hal pokok, yaitu daftar mata
pelajaran dan jam pengajarannya, serta garis-garis besar pengajarannya.
Rencana Pelajaran 1947 lebih mengutamakan pendidikan watak,
kesadaran bernegara, dan bermasyarakat, daripada pendidikan pikiran.
Materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari, perhatian
terhadap kesenian, dan pendidikan jasmani. Mata pelajaran untuk tingkat
Sekolah Rakyat ada 16, khusus di Jawa, Sunda, dan Madura diberikan
bahasa daerah. Daftar pelajarannya adalah Bahasa Indonesia, Bahasa
Daerah, Berhitung, Ilmu Alam, Ilmu Hayat, Ilmu Bumi, Sejarah,
Menggambar, Menulis, Seni Suara, Pekerjaan Tangan, Pekerjaan

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


72 Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum

Keputrian, Gerak Badan, Kebersihan dan Kesehatan, Didikan Budi


Pekerti, dan Pendidikan Agama. Pada awalnya pelajaran agama diberikan
mulai kelas IV, namun sejak 1951 agama juga diajarkan sejak kelas 1.
Garis-garis besar pengajaran pada saat itu menekankan pada cara guru
mengajar dan cara murid mempelajari. Misalnya, pelajaran bahasa
mengajarkan bagaimana cara bercakap-cakap, membaca, dan menulis.
Ilmu Alam mengajarkan bagaimana proses kejadian sehari-hari,
bagaimana mempergunakan berbagai perkakas sederhana (pompa,
timbangan, manfaat bes berani), dan menyelidiki berbagai peristiwa
sehari-hari, misalnya mengapa lokomotif diisi air dan kayu, mengapa
nelayan melaut pada malam hari, dan bagaimana menyambung kabel
listrik.
Pada perkembangannya, rencana pelajaran lebih dirinci lagi setiap
pelajarannya, yang dikenal dengan istilah Rencana Pelajaran Terurai 1952.
Silabus mata pelajarannya jelas sekali. Seorang guru mengajar satu mata
pelajaran. Pada masa itu juga dibentuk Kelas Masyarakat. yaitu sekolah
khusus bagi lulusan SR 6 tahun yang tidak melanjutkan ke SMP. Kelas
masyarakat mengajarkan keterampilan, seperti pertanian, pertukangan, dan
perikanan. Tujuannya agar anak tak mampu sekolah ke jenjang SMP, bisa
langsung bekerja.
2. Rencana Pelajaran Terurai 1952
Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut
Rencana Pelajaran Terurai 1952. Silabus mata pelajarannya jelas sekali.
seorang guru mengajar satu mata pelajaran. Di penghujung era Presiden
Soekarno, muncul Rencana Pendidikan 1964 atau Kurikulum 1964.
Fokusnya pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral
(Pancawardhana). Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok
bidang studi: moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan
(keterampilan), dan jasmaniah. Pendidikan dasar lebih menekankan pada
pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis.

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum 73

3. Kurikulum 1968
Kelahiran Kurikulum 1968 bersifat politis: mengganti Rencana
Pendidikan 1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde Lama. Tujuannya
pada pembentukan manusia Pancasila sejati. Kurikulum 1968 menekankan
pendekatan organisasi materi pelajaran: kelompok pembinaan Pancasila,
pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Jumlah pelajarannya 9.
Kurikulum 1968 sebagai kurikulum bulat, sehingga kurikulum tersebut
memuat mata pelajaran pokok-pokok saja. Muatan materi pelajaran
bersifat teoritis, tak mengaitkan dengan permasalahan faktual di lapangan.
Titik beratnya pada materi apa saja yang tepat diberikan kepada siswa di
setiap jenjang pendidikan.
4. Kurikulum 1975
Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih
efisien dan efektif. Sehingga yang melatarbelakangi adalah pengaruh
konsep di bidang manejemen, yaitu MBO (management by objective) yang
terkenal saat itu. Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam
Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Zaman ini dikenal
istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan.
Setiap satuan pelajaran dirinci lagi: petunjuk umum, tujuan instruksional
khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar,
dan evaluasi. Kurikulum 1975 banyak dikritik. Guru semakin sibuk
menulis rincian apa yang akan dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran.
5. Kurikulum 1984
Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Meski
mengutamakan pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap penting.
Kurikulum ini juga sering disebut “Kurikulum 1975 yang disempurnakan”.
Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu,
mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut
Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL).
Tokoh penting dibalik lahirnya Kurikulum 1984 adalah Profesor Dr.
Conny R. Semiawan, Kepala Pusat Kurikulum Depdiknas periode 1980-

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


74 Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum

1986 yang juga Rektor IKIP Jakarta sekarang Universitas Negeri Jakarta
periode 1984-1992. Konsep CBSA yang elok secara teoritis dan bagus
hasilnya di sekolah-sekolah yang diujicobakan, mengalami banyak deviasi
dan reduksi saat diterapkan secara nasional. Sayangnya, banyak sekolah
kurang mampu menafsirkan CBSA. Yang terlihat adalah suasana gaduh di
ruang kelas lantaran siswa berdiskusi, di sana-sini ada tempelan gambar,
dan yang menyolok guru tak lagi mengajar model berceramah. Penolakan
CBSA bermunculan.
6. Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999
Kurikulum 1994 bergulir lebih pada upaya memadukan
kurikulum-kurikulum sebelumnya. Jiwa kurikulum 1994 adalah ingin
mengkombinasikan antara Kurikulum 1975 dan Kurikulum 1984, melalui
pendekatan proses. Perpaduan tujuan dan proses ternyata belum berhasil.
Kritik bertebaran, lantaran beban belajar siswa dinilai terlalu berat. Dari
muatan nasional hingga lokal. Materi muatan lokal disesuaikan dengan
kebutuhan daerah masing-masing, misalnya bahasa daerah kesenian,
keterampilan daerah, dan lain-lain. Berbagai kepentingan kelompok-
kelompok masyarakat juga mendesakkan agar isu-isu tertentu masuk
dalam kurikulum. Walhasil, Kurikulum 1994 menjelma menjadi
kurikulum super padat. Kejatuhan rezim Soeharto pada 1998, diikuti
kehadiran Suplemen Kurikulum 1999. Tapi perubahannya lebih pada
menambal sejumlah materi.
7. Kurikulum 2004
Bahasa kerennya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Setiap
pelajaran diurai berdasar kompetensi apakah yang mesti dicapai siswa.
Sayangnya, kerancuan muncul bila dikaitkan dengan alat ukur kompetensi
siswa, yakni ujian. Ujian akhir sekolah maupun nasional masih berupa soal
pilihan ganda. Bila target kompetensi yang ingin dicapai, evaluasinya tentu
lebih banyak pada praktik atau soal uraian yang mampu mengukur
seberapa besar pemahaman dan kompetensi siswa. Meski baru
diujicobakan, ternyata di sejumlah sekolah kota-kota di Pulau Jawa, dan

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum 75

kota besar di luar Pulau Jawa telah menerapkan KBK. Hasilnya tak
memuaskan. Guru-guru pun tak paham betul apa sebenarnya kompetensi
yang diinginkan pembuat kurikulum.
8. KTSP 2006
Awal 2006 ujicoba KBK dihentikan. Muncullah Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan. Pelajaran KTSP masih tersendat. Tinjauan dari
segi isi dan proses pencapaian target kompetensi pelajaran oleh siswa
hingga teknis evaluasi tidaklah banyak perbedaan dengan Kurikulum
2004. Perbedaan yang paling menonjol adalah guru lebih diberikan
kebebasan untuk merencanakan pembelajaran sesuai dengan lingkungan
dan kondisi siswa serta kondisi sekolah berada. Hal ini disebabkan
karangka dasar (KD), standar kompetensi lulusan (SKL), standar
kompetensi dan kompetensi dasar (SKKD) setiap mata pelajaran untuk
setiap satuan pendidikan telah ditetapkan oleh Departemen Pendidikan
Nasional. Jadi pengambangan perangkat pembelajaran, seperti silabus dan
sistem penilaian merupakan kewenangan satuan pendidikan (sekolah)
dibawah koordinasi dan supervisi pemerintah Kabupaten/Kota.

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


76 Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


BAB 5
KEBIJAKAN DAN LANDASAN
PENGEMBANGAN
KURIKULUM DI INDONESIA
A. Kebijakan Pengembangan Kurikulum di Indonesia
Terbitnya UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional yang disertai dengan munculnya kebijakan-kebijakan lainnya seperti
PP Nomor 19/2005, Permendiknas Nomor 22, 23, dan 24 Tahun 2006 saat ini
membawa pemikiran baru dalam pengelolaan sistem pendidikan di Indonesia
yang mengarah pada berkembangnya keinginan untuk melaksanakan otonomi
pengelolaan pendidikan. Otonomi pengelolaan pendidikan ini diharapkan akan
mendorong terciptanya peningkatan pelayanan pendidikan kepada masyarakat
yang bermuara pada upaya peningkatan kualitas pengelolaan pendidikan pada
tataran paling bawah (at the bottom) yaitu sekolah atau satuan pendidikan.
Pemberdayaan sekolah dengan memberikan otonomi yang lebih besar
dalam pengembangan kurikulum, disamping menunjukkan sikap tanggap
pemerintah terhadap tuntutan masyarakat juga dapat ditujukan sebagai sarana
peningkatan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. Adanya otonomi
dalam pengembangan kurikulum ini merupakan potensi bagi sekolah untuk
meningkatkan kinerja para pengelola sekolah termasuk guru dan
meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap pendidikan. Selain itu,
otonomi dalam pengembangan kurikulum memberikan keleluasaan kepada
sekolah dalam mengelola sumber daya dan menyertakan masyarakat untuk
berpartisipasi, serta mendorong profesionalisme para pengawas, kepala
sekolah, dan guru.

77
78 Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum

Dalam pelaksanaan kurikulum, kepala sekolah dan guru memiliki


kesempatan yang sangat luas dan terbuka untuk melakukan inovasi
pengembangan kurikulum, misalnya dengan cara melakukan eksperimentasi-
eksperimentasi di lingkungan sekolah itu berada. Kepala sekolah dan guru
menjadi perancang kurikulum (curriculum designer) bagi sekolahnya
berdasarkan standar isi dan standar kompetensi lulusan sekaligus
melaksanakan, membina, dan mengembangkannya. Melaksanakan kurikulum
yaitu mentransformasikan isi kurikulum yang tertuang dalam silabus dan
rencana pelaksanaan pembelajaran kepada siswa dalam proses pembelajaran.
Membina kurikulum yaitu mengupayakan kesesuaian kurikulum aktual
dengan kurikulum potensial sehingga tidak terjadi kesenjangan.
Mengembangkan kurikulum yaitu upaya meningkatkan dalam bentuk nilai
tambah dari apa yang telah dilaksanakan sesuai dengan kurikulum potensial.
Kepala sekolah dan guru berkesempatan juga melakukan penilaian
langsung terhadap berhasil tidaknya kurikulum tersebut. Dengan melakukan
penilaian dapat diketahui kekurangan dalam pelaksanaan dan pembinaan
kurikulum yang sedapat mungkin diatasi, dicarikan upaya lain yang lebih baik,
sehingga diperoleh hasil yang lebih optimal. Dalam hal inilah, peranan
pengawas sekolah (supervisor) sangat dibutuhkan untuk membina kepala
sekolah dan guru dalam merancang, melaksanakan, membina,
mengembangkan, sampai mengevaluasi kurikulum pada tingkat satuan
pendidikan tersebut. Kecenderungan yang nampak dari pelaksanaan
kurikulum pada waktu yang lalu yaitu adanya penekanan makna mutu
pendidikan yang lebih banyak dikaitkan dengan aspek kemampuan akademik,
khususnya pada aspek kognitif.
Hal tersebut berdampak pada terabaikannya aspek akhlak, budi pekerti,
seni, dan kecakapan yang diperlukan oleh siswa untuk menghadapi
kehidupannya. Indikator-indikator yang mendukung kecenderungan tersebut,
berdasarkan hasil evaluasi Ditjen Dikdasmen Depdiknas, di antaranya:
1. Beban belajar siswa terlalu berat karena banyaknya mata pelajaran dan
materi/substansi setiap mata pelajaran.

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum 79

2. Materi pelajaran dianggap terlalu sukar karena kurang relevan dengan


tingkat perkembangan berpikir siswa, dan kurang bermakna karena
kurang terkait dengan aplikasi kehidupan sehari-hari.
3. Terjadinya deviasi misi mata pelajaran tertentu dengan kegiatan belajar
mengajar, seperti mata pelajaran Pendidikan Jasmani dan Kesehatan,
Kerajinan Tangan dan Kesenian yang lebih menekankan proses
pembelajaran teoretis.
4. Bersifat sangat populis yang memberlakukan satu sistem kurikulum untuk
semua siswa di seluruh tanah air yang sebenarnya memiliki potensi,
aspirasi, dan kondisi lingkungan yang berbeda.
5. Kurang memberikan kemerdekaan pada guru dan tenaga kependidikan
lainnya untuk melakukan improvisasi dan justifikasi sesuai kondisi
lapangan.
Pada saat yang sama diperlukan penyesuaian-penyesuaian untuk
menjawab persoalan pengurangan beban kurikulum dan penyeimbangan
antara kognisi dan emosi, pengembangan kecakapan hidup (lifeskills),
pendidikan nilai, keterkaitan dengan dunia kerja, pendidikan multikultur,
multi bahasa, pendidikan berkelanjutan, pengembangan kepekaan estetika,
proses belajar sepanjang hayat, profil kemampuan lulusan, globalisasi,
perkembangan teknologi informasi, dan pengembangan konsep sekolah
sebagai pusat budaya (centre of culture). Semua itu sangat mendukung
perlunya penyesuaian dan perubahan kurikulum yang signifikan bagi masa
depan anak bangsa.
Dilihat dari pengalaman-pengalaman dalam pelaksanaan kurikulum
sekolah, terutama kurikulum tahun 1968, 1975, 1984, beserta struktur
kurikulum yang dikembangkannya, pendekatan pengembangan kurikulum di
Indonesia lebih bersifat sentralistik, artinya kebijakan pengembangan
kurikulum dilakukan pada tingkat pusat (Kurikulum Nasional). Pada
kurikulum tahun 1994 sesuai dengan munculnya Undang-undang Nomor 2
Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional beserta peraturan pemerintah
yang menyertainya, kebijakan pengembangan kurikulum terbagi menjadi dua

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


80 Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum

bagian yang sering dikenal dengan kurikulum nasional dan kurikulum muatan
lokal. Kurikulum nasional adalah kurikulum yang isi dan bahan pelajarannya
ditetapkan secara nasional dan wajib dipelajari oleh semua siswa sekolah
dasar di seluruh wilayah Indonesia, termasuk di sekolah Indonesia yang
berada di luar negeri. Kurikulum muatan lokal ialah kurikulum yang isi dan
bahan kajiannya ditetapkan dan disesuaikan dengan keadaan lingkungan alam,
sosial, ekonomi, budaya serta kebutuhan pembangunan daerah.
Terbitnya Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional sebagai pengganti dari Undang-undang Nomor 2 Tahun
1989 memunculkan kebijakan baru dalam pengembangan kurikulum di tanah
air. Pada pasal 38 ayat 1 UU tersebut dinyatakan bahwa ”Kerangka dasar dan
struktur kurikulum pendidikan dasar dan menengah ditetapkan oleh
pemerintah”. Dinyatakan pula pada ayat 2 bahwa ”Kurikulum pendidikan
dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap
kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah
koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau Kantor Departemen Agama
Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan
menengah”.
Kebijakan pengembangan kurikulum sudah diwarnai oleh semangat
otonomi daerah, meskipun kurikulum itu ditujukan untuk mencapai tujuan
nasional, tetapi cara pencapaiannya disesuaikan dengan keadaan dan
kemampuan daerah. Pelaksanaan kurikulum menerapkan prinsip “Kesatuan
dalam Kebijakan dan Keberagaman dalam Pelaksanaan”. Standar nasional
disusun pusat dan cara pelaksanaannya disesuaikan masing-masing
daerah/sekolah. Perwujudan “Kesatuan dalam Kebijakan” tertuang dalam
pengembangan Kerangka Dasar, Standar Kompetensi Bahan Kajian, dan
Standar Kompetensi Mata Pelajaran, beserta Pedoman Pelaksanaannya.
Perwujudan “Keberagaman dalam Pelaksanaan” tertuang dalam
pengembangan silabus dan skenario pembelajaran. Pendekatan yang
digunakan saat itu yaitu pendekatan kurikulum berbasis kompetensi

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum 81

(competency-based curriculum). Pendekatan ini menjadi pilihan dalam untuk


menghadapi berbagai persoalan dengan harapan:
1. Adanya peningkatan mutu pendidikan secara nasional
2. Dilakukan secara responsif terhadap penerapan hak-hak azasi manusia,
kehidupan demokratis, globalisasi, dan otonomi daerah
3. Agar pendidikan nasional memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif
sesuai dengan standar mutu nasional dan internasional.
4. Agar pendidikan nasional dapat merespon secara proaktif berbagai
perkembangan informasi, ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni serta
tuntutan desentralisasi.
5. Lembaga pendidikan tidak akan kehilangan relevansi program
pembelajaran terhadap kepentingan daerah dan karakteristik siswa serta
tetap memiliki fleksibilitas dalam melaksanakan kurikulum yang
berdiversifikasi.
Sebagai kelanjutan dari terbitnya UU Nomor 20/2003, telah terbit juga
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan, yang di dalamnya memuat ketentuan mengenai delapan standar,
yaitu: (1) standar isi, (2) standar proses, (3) standar kompetensi lulusan, (4)
standar pendidik dan tenaga kependidikan, (5) standar sarana dan prasarana,
(6) standar pengelolaan, (7) standar pembiayaan, dan (8) standar penilaian
pendidikan.
Penetapan standar-standar di atas bertujuan untuk menjamin mutu
pendidikan nasional dalam rangka pencerdasan kehidupan bangsa dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. Standar tersebut
juga memiliki fungsi sebagai dasar perencanaan, pelaksanaan, dan
pengawasan pendidikan untuk mewujudkan pendidikan nasional yang
bermutu. Untuk mengembangkan, memantau pelaksanaan, dan mengevaluasi
pencapaian standar tersebut telah dibentuk Badan Standar Nasional
Pendidikan (BSNP) yang merupakan badan mandiri/independen yang secara
struktural bertanggung jawab kepada Mendiknas.

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


82 Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum

Dalam PP tersebut dinyatakan bahwa setiap sekolah/madrasah dapat


mengembangkan kurikulum berdasarkan Standar Kompetensi Lulusan (SKL)
dan Standar Isi (SI) dan berpedoman kepada panduan yang ditetapkan oleh
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Sekolah yang telah melakukan
uji coba kurikulum 2004 secara menyeluruh dapat secara mandiri
mengembangkan kurikulumnya berdasarkan SKL, SI dan Panduan Umum
mulai tahun ajaran 2006/2007.
B. Prinsip dan Landasan Pengembangan Kurikulum
Prinsip dan Landasan merupakan ketentuan utama yang harus
diperhatikan ketika mengembangkan kurikulum oleh para guru di sekolah.
Kalau tidak diperhatikan dampak kerugian yang akan ditanggung lebih besar
dari pada sekedar robohnya bangunan fisik gedung sekolah. Pengembangan
kurikulum sekolah berhubungan dengan program pendidikan yaitu upaya
untuk “memanusiakan manusia”. Oleh karena itu ketika mengembangkan
kurikulum harus mengacu pada prinsip-prinsip dasar dan landasan yang sesuai
dengan unsur-unsur kemanusiaan dengan berbagai dinamikanya, dan itulah
Prinsip dan Landasan pengembangan kurikulum.
1. Prinsip Pengembangan Kurikulum
Dari berbagai sumber yang berkembang ditengah-tengah
kehidupan masyarakat maupun perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, yang menjadi yang menjadi prinsip pengembangan kurikulum
dapat disarikan kedalam empat jenis, yaitu.
a. Relevansi
Kurikulum yang dikembangkan oleh sekolah harus memiliki
kesesuaian (relevansi), sehingga kurikulum tersebut bisa bermanfaat
berbagai pihak yang terkait. Ada dua relevansi yang harus
diperhatikan: pertama relevansi internal, yaitu kesesuaian antara setiap
komponen (anatomi) kurikulum yang dikembangkan (tujuan, isi,
metode, evaluasi) harus saling terkait; kedua relevansi eksternal, yaitu
program kurikulum yang dikembangkan sekolah harus sesuai dan
mampu menjawab terhadap tuntutan dan perkembangan kehidupan

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum 83

masyarakat dimana siswa nanti akan hidup (lokal, regional, maupun


global)
b. Fleksibilitas
Setiap siswa memiliki kemampuan dan potensi yang berbeda-
beda, lokasi sekolah berada di tengah-tengah kehidupan masyarakat
yang berbeda-beda pula. Kurikulum yang baik adalah kurikulum yang
bisa diterapkan secara lentur disesuaikan dengan karakteristik dan
potensi setiap siswa, disesuaikan dengan dinamika kehidupan
masyarakat.
Isi kurikulum secara nasional boleh sama (standar isi), namun
penerapannya di sekolah, harus dikelola secara kreatif, inovatif dengan
menggunakan pendekatan yang luwes (fleksibel) sehingga kurikulum
tersebut bisa diterima dan memberi dampak positi terhadap kehidupan
yang lebih baik (internal maupu eksternal).
c. Kontinuitas
Isi program dan penerapan kurikulum di setiap lembaga
pendidikan harus memberi bekal bagi setiap siswa untuk
mengembangkan kemampuan dan potensi yang dimilikinya secara
berkesinambungan dan berkelanjutan (kontinuitas). Perkembangan
anak dan proses belajarnya terus berjalan tanpa batas. Oleh karena itu
program dan pengalaman belajar di setiap sekolah harus memberi
inspirasi bagi setiap anak untuk maju keberlanjutan sehingga mencapai
ketuntasan.
Keberlanjutan harus terjadi secara paralel antar kelas pada satu
jenjang pendidikan, keberlanjutan antar jenjang pendidikan, maupun
keberlanjutan antara jenjang pendidikan dengan tugas-tugas kehidupan
di masyarakat (life skill). Oleh karena itu ketika setiap satuan
pendidikan mengembangkan kurikulum, harus membaca dan
mengetahui bagaimana program kurikulum di satuan pendidikan yang
lainnya (horizontal maupun vertikal).

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


84 Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum

d. Efisiensi dan Efektivitas

Kurikulum harus memungkinkan setiap personil (sesuai dengan


fungsi dan perannya) masing-masing untuk menerapkannya secara
mudah dengan menggunakan biaya secara proporsional dan itulah
efisien. Hal ini perlu disadari bahwa walaupun kurikulum yang
dikembangkan sangat baik, akan tetapi sulit untuk diterapkan karena
memerlukan peralatan yang langka dan biaya yang sangat mahal, maka
tentu saja kurikulum tersebut tidak akan memberi dampak positif
terhadap peningkatan kulaitas pendidikan.
Penggunaan seluruh sumber daya baik piranti kurikulum,
sumber daya manusia maupun sumber finansial harus menjamin bagi
tercapainya tujuan atau membawa hasil secara optimal dan itulah
makna dari prinsip efektivitas.
2. Landasan Pengembangan Kurikulum
Fondasi merupakan landasan bagi berpijaknya gedung sehingga
mampu berdiri kokoh. Dengan demikian agar kurikulum mampu berdiri
tegak, yaitu kurikulum yang dikembangkan mampu mengembangkan
potensi peserta didik, menciptakan para siswa agar bisa “hidup” (life skill),
sesuai dengan harapan masyarakat (user), dapat menjadi inspirasi bagi
pembaharuan (inovasi) kearah yang lebih baik, maka kurikulum harus
dikembangkan dengan menggunakan fondasi (Landasan) yang kuat dan
tepat, bahkan harus lebih kuat dan tepat dibandingkan dengan landasan
yang dipakai membangun sebuah gedung.
Apabila gedung roboh karena diakibatkan tidak menggunakan
landasan yang kuat, kerugiannya tidak seberapa karena hanya menyangkut
dengan materi saja. Akan tetapi apabila kurikulum pendidikan rusak
karena tidak berpijak pada landasan yang kuat dan tepat, kerugiannya tidak
ternilai karena menyangkut dengan pembentukan siswa (manusia), dan
berarti kegagalan “memanusiakan manusia”.

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum 85

Oleh karena itu landasan yang digunakan untuk


mengembangkankan kurikulum harus dicari dengan seleksi yang ketat
agar menghasilkan landasan yang kuat dan tepat. Adapun beberapa
landasan yang harus dijadikan acuan dalam mengembangkan kurikulum,
sekurang-kurangnya adalah seperti tertera pada bagan sebagai berikut:

KURIKULUM

Filosofi Sosiologi Psikologi IPTEK

Gambar 5.1. Landasan Pengembangan Kurikulum

1. Landasan Filosofis
Semua aspek yang terkait dengan pengelolaan program
pendidikan, seperti Sumber Daya Manusia (SDM) yang harus ikut
terlibat, rumusan tujuan pendidikan, isi pendidikn, proses pelaksanaan
dan bagaimana cara untuk mengetahui hasil yang dicapai dari program
pendidikan, semuanya harus didasarkan pada hasil berpikir secara
sistematis, logis dan mendalam. Pemikiran tersebut dalam filsafat
disebut sebagai pemikiran radikal (radic), yaitu hasil berpikir secara
mendalam sampai keakar-akarnya.
Menurut Donald Butler “Filsafat memberikan arah dan
metodologi terhadap praktik pendidikan, sedangkan praktik pendidikan
memberikan bahan-bahan bagi pertimbangan-pertimbangan filofofis”.
Secara rinci filsafat pendidikan berfungsi:
a. Menentukan arah akan kemana siswa harus dibawa (tujuan)
b. Mendapatkan gambaran yang jelas hasil pendidikan yang harus
dicapai
c. Menentukan isi yang akurat yang harus dipelajari oleh para
siswa
d. Menentukan cara dan proses untuk mencapai tujuan

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


86 Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum

e. Memungkinkan untuk menilai hasil yang telah dicapai secara


akurat
2. Landasan Psikologis
Pendidikan adalah proses interaksi antara individu manusia
dengan manusia lain dan lingkungannya. Manusia sebagai mahluk
individu dan sosial memiliki aspek psikologis yang komplek dan taraf
lebih tinggi dibandingkan dengan mahluk lain yang memiliki aspek
psikologis. Berkat aspek psikologis yang tinggi inilah, maka manusia
lebih maju dan modern dibandingkan mahluk lain.
Kondisi psikologis merupakan “karakteristik psiko-fisik
seseorang sebagai individu, yang dinyatakan dalam berbagai bentuk
perilaku dalam interaksi dengan lingkungannya”. Perilaku tersebut
mencakup perilaku kognitif, afektif, dan psikomotor. Setiap individu
siswa berbeda dan setiap siswa sedang berada dalam proses
perkembangan yang pesat. Oleh karena itu melalui landasan psikologis,
program pendidikan harus mampu memberikan layanan sesuai dengan
perilaku psikologisnya, sehingga dapat mengembangkan potensi para
siswa secara optimal.
3. Landasan Sosiologis
Pendidikan diarahkan untuk mempersiapkan para siswa agar
menjadi bagian dari anggota masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat
terdapat norma-norma yang harus diakomodasi oleh program
pendidikan, sehingga dapat melahirkan lulusan yang siap beradaptasi
dengan kehidupan masyarakat.
Ada tiga alasan penting program pendidikan menggunakan
landasan sosiologis, yaitu.
a. Pendidikan mengandung nilai dan memberikan pertimbangan
nilai yang ada dan diharapkan masyarakat
b. Pendidikan bukan hanya untuk pendidikan, tetapi menyiapkan
anak untuk kehidupan dalam masyarakat

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum 87

c. Pelaksanaan pendidikan dipengaruhi dan didukung oleh


lingkungan masyarakat tempat pendidikan berlangsung.
4. Landasan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)
IPTEK adalah dua bidang kajian yang saling melengkapi dan
menyempurnakan. Orang bijak sering mengatakan bahwa “ilmu bukan
sekedar untuk ilmu”, ilmu pengetahuan diharapkan dapat
memberikansumbangan kepada kehidupan lain yang lebih luas dan
praktis, antara lain disebut teknologi.
Menurut Iskandar Alisyahbana (1980) “Teknologi ialah cara
melakukan sesuatu untuk memenuhi kehidupan manusia dengan bantuan
alat dan akal (hardware dan software), sehingga seakan-akan
memperpanjang, memperkuat, atau membuat lebih ampuh anggota
tubuh, panca indera, dan otak manusia”. IPTEK berkembang dengan
pesat, kuikulum yang dikembangkan harus peka dan mampu beradaptasi
dengan perkembangan yang terjadi. Misalnya dalam menentukan isi
kurikulum harus relevan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang terjadi, bahkan idealnya dari pengembangan kurikulum
yang dilakukan harus mampu melahirkan ilmu pengetahuan dan
teknologi baru. Dengan demikian landasan IPTEK memiliki dua sisi
yang sama-sama penting, yaitu: pertama sebagai masukan (raw-input)
bagi kebijakan dalam menentukan isi kurikulum, dan kedua untuk
melahirkan perkembangan IPTEK yang lebih maju (produk).

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


88 Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


BAB 6
HAKEKAT DAN PROSEDUR
PENGEMBANGAN
KURIKULUM
A. Hakekat pengembangan Kurikulum
Sebelum membahas satu persatu pendekatan/model pengembangan
kurikulum, terlebih dahulu sangat penting difahami apa yang dimaksud
dengan “Pendekatan/Model” terutama dikaitkan dengan pengembangan
kurikulum. Hal ini penting, mengingat terdapat beberapa istilah lain yang
sering dihubungkan dengan pendekatan dan model, yaitu seperti: metode,
strategi, teknik. Dalam pembahasan ini tidak akan membahas secara terurai
dari masing-masing istilah tersebut, tetapi untuk memperoleh gambaran umum
terhadap makna semuanya secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu
“cara”. Adapun yang membedakannya terletak pada ruang lingkup dan
keluasan bidang garapannya.
Pendekatan merupakan suatu cara melaksanakan sesuatu kegiatan yang
masih sangat umum dan masih memubutuhkan tindaklanjut dalam bentuk
model, metode, strategi dan teknik. Adapun metode, strategi, dan teknik
merupakan suatu cara melaksanakan sesuatu yang sudah sangat spesifik dan
terukur.
Menurut kamus Bahasa Indonesia, pendekatan adalah “proses, metode
atau cara untuk mencapai sesuatu”. Dikaitkan dengan pengembangan
kurikulum memiliki arti sebagai suatu proses, metode atau cara yang ditempuh
oleh para pengembang kurikulum untuk menghasilkan suatu kurikulum yang
akan dijadikan pedoman pendidikan/pembelajaran. Adapun Model adalah
pola, contoh, acuan, ragam dari sesuatu yang akan dihasilkan. Dikaitkan

89
90 Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum

dengan model pengembangan kurikulum berarti merupakan suatu pola, contoh


dari suatu bentuk kurikulum yang akan menjadi acuan pelaksanaan
pendidikan/pembelajaran.
Sekarang mari kita kaji pengertian pendekatan/model di atas
dihubungkan dengan Pendekatan/Model Pengembangan Kurikulum. Menurut
tim pengembang MKDP Kurikulum dan Pembelajaran dijelaskan bahwa
pendekatan/model pengembangan kurikulum adalah merupakan ”Prosedur
umum dalam kegiatan mendesain (designing), menerapkan (implementation),
dan mengevaluasi (evaluation) suatu kurikulum” (Tim Jurusan Kurikulum dan
Teknologi Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia. 2009).
Dengan demikian dapat dimaknai bahwa pendekatan pengembangan
kurikulum merupakan prosedur sistematis yang ditempuh dalam menyusun
kurikulum. Secara operasional langkah atau prosedur pengembangan
kurikulum tersebut meliputi tiga tahap kegiatan yaitu: pertama mendesain,
kedua melaksanakan, dan ketiga mengevaluasi kurikulum.
Berdasarkan pada orientasi sasaran yang ingin dihasilkan dari
pengembangan kurikulum, selain menggunakan pendekatan/model yang telah
disebut di atas, pendekatan pengembangan kurikulum fokusnya ada yang
berorientasi pada kompetensi, mata pelajaran, rekonstruksi sosial, teknologis,
dan lain sebagainya. Sesuai dengan fungsinya bahan ajar yang dikembangkan
ini adalah merupakan suplemen terhadap bahan ajar yang sudah disusun
sebelumnya, maka pengayaan pembahasan hanya difokuskan pada tiga
pendekatan/model pengembangan kurikulum saja.
Untuk memberikan gambaran tentang kegiatan pengembangan dan
pembinaan kurikulum, perhatikan skema berikut ini.

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum 91

Analisis Kebutuhan

merumuskan Merumuskan Merumuskan


nama mata Visi, Misi dan struktur mata
pelajaran Tujuan pelajaran

desain
pembelajaran

Silabus Mata bahan rancangan


pelajaran pembelajaran pelaksanaan

SK, KD, Indkator, Pengalaman belajar, Metode, Media, Evaluasi


Pembelajaran

Gambar 6.1.
Kegiatan Pengembangan Dan Pembinaan Kurikulum

Dari skema di atas dapatlah kita katakan bahwa pengembangan


kurikulum berkaitan dengan kegiatan untuk menghasilkan kurikulum,
sedangkan pembinaan kurikulum berhubungan dengan kegiatan pelaksanaan
kurikulum dan pemotretan pelaksanaannya. Hal ini ditujukan untuk
mempertahankan dan menyempurnakan kurikulum yang sudah ada, supaya
hasilnya maksimal.
Berkaitan dengan tim pengembang kurikulum, mereka berkedudukan
dalam kegiatan pengembangan. Ketika pengembangan kurikulum masih
bersifat sentralistik, maka tim pengembang berada pada tingkat nasional.
Namun, ketika pengembangan kurikulum bersifat desentralistik, tim
pengembang kurikulum dapat berada pada tingkat nasional, propinsi,
kota/kabupaten, dan sekolah.
B. Pedekatan dan Model dalam Pengembangan Kurikulum
Dalam prakteknya pendekatan-pendekatan ini tidak harus
dipertentangkan, dan akan lebih bijak jika keduanya dijadikan model
pengembangan kurikulum yang saling melengkapi. Akan tetapi untuk

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


92 Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum

mempermudah Anda dalam memahami terhadap pendekatan di atas, secara


terperinci kita bahas satu persatu.
1. Pendekatan Administratif
Ada beberapa istilah yang digunakan untuk pengembangan
kurikulum model Administratif, antara lain yaitu: top down approach dan line
staf procedure. Semuanya memiliki arti yang sama yaitu suatu pendekatan
atau prosedur pengembangan kurikulum yang dilakukan oleh suatu tim atau
para pejabat tingkat atas sebagai pemilik kebijakan.
Secara teknis operasioanal pengembangan kurikulum model
administratif ini menempuh beberapa langkah sebagai berikut: pertama Tim
pengembangan kurikulum mulai mengembangkan konsep-konsep umum,
landasan, rujukan maupun strategi (naskah akademik); kedua Analisis
kebutuhan; ketiga secara operasional mulaimerumuskan kurikulum secara
komprehensif; keempat kurikulum yang sudah selesai dibuat kemudian
dilakukan uji validasi dengan cara melakukan uji coba dan pengkajian secara
lebih cermat oleh tim pengarah (tenaga ahli); kelima revisi berdasarkan pada
masukan yang diperoleh; keenam sosialisasi dan desiminasi dan; ketujuh
monitoring dan evaluasi.
Lebih jelas tahap-tahap pengembangan kurikulum tersebut di atas
dapat digambarkan dalam bagan sebagai berikut:

Pengembang Analisis Pengembangan Uji Coba/Vaildasi


an Naskah Kebutuhan Draft Kurikulum
Akademik

Sosialisasi & Revisi


Monitoring & Evaluasi Desiminasi

Gambar 6.2.
Tahap-Tahap Pengembangan Kurikulum Model Administratif

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum 93

Adapun prosedur yang dilakukan dalam pengembangan kurikulum


Model Administratif (Top Down) tergambar seperti bagan berikut:

Pihak pengambil
keputusan ( Menteri, Panitia Kelompok
Dirjen, Dinas) Kerja (Membuat Kurikulum
untuk disebarluaskan )

Panitia Pengarah Anggota


(Memberikan pengarahan
tentang kebijakan pemerintah)

Spesialis Pengembang Spesialis Pendidikan Spesialis Bidang Studi Guru Senior


Kurikulum

Kesimpulan dan Diskusi Kelompok kecil, Diskusi


rekomendasi Sidang Pleno Kelompok Besar, Lokakarya, Studi
Pustaka, Studi Lapangan

Gambar 6.3
Implementasi prosedur dan pihak yang terlibat dalam pengembangan kurikulum
Model Administratif
2. Pendekatan Grass Roots
Pendekatan Grass roots merupakan kebalikan dari pendekatan
Administratif. Pendekatan grass roots yang disebut juga dengan istilah
pendekatan bottom-up, yaitu suatu proses pengembangan kurikulum yang
diawali dari keinginan yang muncul dari tingkat bawah (sekolah/guru).
Keinginan ini biasanya didorong oleh hasil pengalaman yang dirasakan pihak
sekolah/guru, di mana kurikulum yang sedang berjalan dirasakan terdapat
beberapa masalah atau ketidaksesuaian dengan kebutuhan dan potensi yang
tersedia di lapangan. Untuk terlaksananya pengembangan kurikulum model
grass roots ini diperlukan kepedulian dan profesionalisme yang tinggi dari
pihak sekolah antara lain yaitu.
a. Sekolah/guru bersifat kritis untuk menyikapi terhadap kurikulum yang
sedang berjalan

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


94 Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum

b. Sekolah/guru memiliki ide-ide inovatif dan bertanggung jawab untuk


mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan dan potensi
yang dimiliki
c. Sekolah/guru secara terus menerus terlibat dalam proses pengembangan
kurikulum
d. Sekolah/guru bersikap terbuka dan akomodatif untuk menerima masukan-
masukan dalam rangka pengembangan kurikulum.
Pengembangan kurikulum model grass roots ini secara teknis
operasional bisa dilakukan dalam pengembangan kurikulum secara
menyeluruh (kurikulum utuh), maupun pengembangan hanya terhadap aspek-
aspek tertentu saja. Misalnya pengembangan untuk satu mata pelajaran atau
kelompok mata pelajaran tertentu, pengembangan terhadap metode dan
strategi pembelajaran, pengembangan visi dan misi serta tujuan, dan lain
sebagainya. Dengan demikian yang dimaksud pengembangan kurikulum baik
dengan pendekatan top down approach maupun grass roots approach secara
teknis bisa pengembangan terhadap kurikulum secara menyeluruh (kurikulum
utuh), atau pengembangan hanya berkenaan dengan bagian atau aspek-aspek
tertentu saja sesuai dengan kebutuhan. Adapun perbedaan yang sangat
mendasar bahwa pendekatan grass roots, inisiatif perbaikan dan
penyempurnaan muncul dari arus bawah (sekolah/guru) seperti tertera pada
tanda panah disamping ini.
Adapun tahap-tahap yang dilakukan ketika mengembangkan
kurikulum dengan menggunakan pendekatan grass roots pada dasarnya sama
dengan langkah-langkah pendekatan administratif approach (administratif--
top down), sedangkan grassroot-- bottom up seperti bagan berikut:

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum 95

Monitoring & Evaluasi Sosialisasi &


Desiminasi

Revisi
Pengembang
an Naskah Pengembangan
Akademik Draft Kurikulum Uji Coba/Vaildasi

Sekolah/guru
Analisis Kebutuhan

Gambar 6.4.
Tahap-Tahap Pengembangan Kurikulum Model Grass-roots

Adapun prosedur pengembangan kurikulum Model Grass Roots seperti tergambar


pada bagan berikut.

Guru/ Sekolah

Masalah: Narasumber atau Atasan


Perlu pemecahan dalam perubahan dan Tugas : Membimbing dan mendorong
pengembangan kurikulum

Peserta Lokakarya
Lokakarya Guru, Kepala Sekolah, Orang tua siswa,
Anggota Masyarakat, Narasumber

Kesimpulan

Gambar 6.5
Implementasi prosedur dan pihak yang terlibat dalam pengembangan kurikulum
Model Administratif

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


96 Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum

3. Pendekatan Sentral-desentral
Agar lebih mudah untuk memahami pendekatan pengembangan
kurikulum sentral de-sentral, terlebih dahulu harus melihat kembali dua
pendekatan yang telah diuraikan sebelumnya yaitu pendekatan “Administratif
dan Bottom–up approach”. Kedua pendekatan tersebut merupakan proses
pengembangan kurikulum yang sangat kontradiktif, dimana pendekatan
administratif merupakan proses pengembangan kurikulum dari atas ke bawah
(sentralisasi), sedangkan pendekatan bottom-up kebalikannya yaitu proses
pengembangan kurikulum yang dilakukan oleh para pelaksana (guru/sekolah)
di lapangan.
Adapun pendekatan sentral de-sentralisasi merupakan proses
pengembangan kurikulum yang menggabungkan kedua pendekatan tersebut di
atas, yaitu menyatukan pendekatan administratif dan pendekatan grass roots.
Dengan demikian dalam pendekatan sentral de-sentral antara pemerintah di
pusat sebagai pemilik kebijakan bekerjasama dengan pihak di bawah (sekolah,
guru dan para stakeholder), sesuai dengan fungsi dan perannya masing-masing
berkolaborasi mengembangkan kurikulum (merancang, melaksanakan,
mengontrol).
Pendekatan sentral de-sentral dapat menjadi solusi alternatif untuk
memperkecil permasalahan-permasalahan yang ditempuh melalui pendekatan
administratif maupun grass roots. Menurut Nana Syaodih Sukmadinata
(2004), manajemen kurikulum sentralistik (administratif) mempunyai
beberapa kelebihan di samping kekurangan atau kelemahan. Kelemahannya
antara lain: 1) kurikulum sentralistik tidak dapat mengakomodasi seluruh
keragaman wilayah suatu negara, 2) pemahaman kurikulum nasional oleh
seluruh wilayah tanah air memerlukan waktu yang relatif lama, 3) penerapan
kurikulum sentralisasi oleh wilayah yang sangat luas akan menghadapi banyak
hambatan dan kemungkinan penyimpangan.
Demikian juga model manajemen pengembangan kurikulum grass
roots (desentralistik) disamping terdapat beberapa kelebihan juga memiliki
beberapa kelemahan dan kekurangan. Menurut Nana Syaodih Sukmadinata

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum 97

(2004), kelemahannya antara lain: 1) tidak semua guru dan tenaga


kependidikan memiliki keahlian atau kecakapan dalam mengembangkan
kurikulum, 2) kurikulum yang bersifat lokal kemingkinan lulusannya kurang
memiliki daya saing secara nasional, 3) desain kurikulum sangat beragam,
sehingga berdampak pada kesulitan melakukan pengawasan, dan 4)
perpindahan siswa dari satu sekolah/daerah ke daerah lain akan menimbulkan
kesulitan.
Pendekatan sentral-desentral sebagai pola yang menggabungkan kedua
model (terpusat dan arus bawah), secara teknis masih bisa dilakukan secara
bervariasi. Artinya apakah masih lebih banyak muatan ke pusat atau ke bawah,
atau mungkin setengah-setengah.
Menurut Kemp dalam Brady (1990) pendekatan pengembangan
kurikulum harus dilihat dalam suatu kontinum “at one extrime is center-based
or top down curricumum development in which the curriculum is determined
by the centre, and there is little autonomy for school. At the other extreme is
the bottom-up or school-based curriculum, developed entirely by individual
school”.
Pendapat Kemp tersebut menegaskan bahwa pengembangan kurikulum
bisa bervariasi yaitu bisa seluruhnya atau sebagian dikembangkan oleh pusat
dan sebagian lagi oleh daerah. Oleh karena itu mengingat pola yang
dikembangkan ini menggabungkan keduanya (pusat dan daerah), maka
pendekatannya disebut dengan manajmen pengembangan sentral-desentral.

3. Beauchamp’s System
Model pengembangan kurikukum ini, dikembangkan oleh Beauchamp
seorang ahli kurikulum Beauchamp. Mengemukakan lima hal di dalam
pengembangan suatu kurikulum.
a. Pertama, menetapkan arena atau lingkup wilayah yang akan dicakup oleh
kurikulum tersebut, apakah suatu sekolah, kecamatan, kabupaten atau
seluruh negara. Pentahapan arena ini ditentukan oleh wewenang yang
dimiliki oleh pengambil kebijaksanaan dalanm pengembangan kurikulum,

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


98 Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum

serta oleh tujuan pengembangan kurikulum. Walaupun daerah yang menjadi


wewenang kepala kanwil pendidikan dan kebudayaan mencakup suatu
wilayah propinsi, tetapi arena pengembangan kurikulum hanya mencakup
suatu daerah akabuapten saja sebagai pilot proyek.
b. Kedua, menetapkan personalia, yaitu siapa-siapa yang turut serta terlibat
dalam pengembangan kurikulum. Ada empat kategori orang yang turut
berpartisipasi dalam pengembangan kurikulum yaitu:
1. Para ahli pendidikan/kurikulum yang ada pada pusat
pengembangan kurikulum dan para ahli bidang ilmu dari luar,
2. Para ahli pendidikan dari perguruan tinggi atau sekolah dan guru-
guru terpilih,
3. Para profesional dalam sistem pendidikan.
4. Profesioanal lain dan tokoh-tokoh masyarakat.
Beauchamp mencoba melibatkan para ahli dan tokoh-tokoh pendidikan
seluas mungkin, yang biasanya pengaruh mereka kurang langsung terhadap
pengembangan kurikulum, dibanding dengan tokoh lain seperti; para penulis
dan penerbit buku, para pejabat pemerintah, politikus, dan pengusaha serta
industriwan. Penetapan personalia ini sudah tentu disesuaikan dengan tingkat
dan luas wilayah dan arena. Untuk tingkat propinsi atau nasional tidak terlalu
banyak melibatkan guru-guru. Sebaliknya untuk tingkat kabupaten, kecamatan
atau sekolah keterlibatan guru semakin besar.
Mengenai keterlibatan kelompok-kelompok personalia ini, Beauchamp
mengemukakan tiga pertanyaan:
1. Haruskah kelompok ahli/pejabat/profesi tersebut dilibatkan dalam
pengembangan kurikulum?
2. Bila iya, apakah peranan mereka?
3. Apakah mungkin ditemukan alat dan cara yang paling efektif untuk
melaksanakan peran tersebut?
c. Ketiga, organisasi dan prosedur pengembangan kurikulum. Langkah ini harus
berkenaan dengan prosedur yang harus ditempuh dalam merumuskan tujuan

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum 99

umum dan tujuan yang lebih khusus, memilih isi dan pengalaman belajar
serta kegiatan evaluasi dalam menentukan keseluruhan desain kurikulum.
d. Keempat, implementasi kurikulum. Langkah ini merupakan langkah
mengimplementasikan atau melaksanakan kurikulum yang bukan sesuatu
yang sederhana, sebab membutuhkan kesiapan yang menyeluruh, baik
kesiapan guru-guru, siswa, fasilitas, bahan maupun biaya, disamping
kesiapan manajerial dari pimpinan sekolah atau administrator setempat.
Lebih jauh lagi mengemukakan lima langkah di dalam pengembangan
suatu kurikulum, yaitu:
a. Menetapkan arena atau lingkup wilayah yang akan dicakup kurikulum,
apakah suatu sekolah, kecamatan, kabupaten propinsi atau bahkan seluruh
negara. Penetapan wilayah ditentukan oleh pihak yang memiliki wewenang
pengambil kebijaksanaan dalam pengembangan kurikulum, serta oleh tujuan
pengembangan kurikulum.
b. Menetapkan personalia yang akan turut serta terlibat dalam pengembangan
kurikulum. Ada empat kategori orang yang dapat dilibatkan yaitu:
a. Para ahli pendidikan/kurikulum yang ada pada pusat pengembangan
kuruikulum/pendidikan dan para ahli bidang ilmu dari luar;
b. Para ahli pendidikan dari perguruan tinggi atau sekolah dan guru-guru
terpilih;
c. Para profesional dalam sistem pendidikan; dan
d. Profesional lain dan tokoh masyarakat.
c. Organisasi dan prosedur pengembangan yaitu berkenaan dengan prosedur
yang harus ditempuh dalam merumuskan tujuan umum dan tujuan yang lebih
khusus, memilih isi dan pengalaman belajar, serta kegiatan evaluasi dan dalam
menentukan desain kurikulum. Beauchamp membagi keseluruhan kegiatan ini
dalam lima langkah, yaitu:
1. membentuk tim pengembang kurikulum;
2. mengadakan evaluasi atau penelitian terhadap kurikulum yang
berlaku;
3. studi penjajagan kemungkinan penyusunan kurikulum baru;

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


100 Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum

4. merumuskan kriteria-kriteria bagi penentuan kurikulum baru; dan


5. penyusunan dan penulisan kurikulum baru.
d. Implementasi kurikulum merupakan langkah mengimplementasikan atau
melaksanakan kurikulum yang sesungguhnya bukanlah hal sederhana,
sebab membutuhkan kesiapan menyeluruh, baik guru, peserta didik,
fasilitas, bahan maupun biaya, disamping kesiapan manajerial dan
pimpinan sekolah atau administrator setempat.
e. Evaluasi kurikulum, pada langkah ini minimal mencakup empat hal yaitu:
1. evaluasi tentang pelaksanaan kurikulum oleh guru;
2. evaluasi desain;
3. evaluasi hasil belajar peserta didik; dan
4. evaluasi dari keseluruhan sistem kurikulum.
Data yang diperoleh digunakan untuk kepentingan perbaikan dan
penyempurnaan kurikulum.
5. The Demonstration Model
Model demonstrasi pada dasarnya bersifat grass roots, dangan dari
bawah. Model ini diprakarsai oleh sekelompok guru atau sekelompok guru
bekerja sama dengan ahli yang bermaksud mengadakan perbaikan kurikulum.
Model ini umumnya berskala kecil, hanya mencakup suatu atau beberapa
sekolah, suatu kompenen kurikulum atau mencakup keseluruhna kompeonen
kurikulum. Karena sikap ingin merubah atau mengganti kurikulum yang ada,
pengembangan kurikulum sering mendapat tantangan dari pihak-pihak
tertentu.
Karena sifatnya yang ingin merubah, pengembangan kurikulum
seringkali mendapat tantangan dari pihak tertentu. Terdapat dua variasi model
demonstrasi, yaitu:
a. berbentuk proyek dan
b. berbentuk informal, terutama diprakarsai oleh sekelompok guru yang
merasa kurang puas dengan kurikulum yang ada.
Beberapa keunggulan dari pengembangan kurikulum model demonstrasi ini,
yaitu:

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum 101

a. Memungkinkan untuk menghasilkan suatu kurikulum atas aspek


tertentu dari kurikulum yang lebih praktis, karena kurikulum disusun
dan dilaksanakan berdasarkan situasi nyata;
b. Jika dilakukan dalam skala kecil, resistensi dari administrator
kemungkinan relatif kecil, dibandingkan dengan perubahan yang
berskala besar dan menyeluruh;
c. Dapat menembus hambatan yang sering dialami yaitu dokumen
kurikulumnya bagus, tetapi pelaksanaannya tidak ada;
d. Menempatkan guru sebagai pengambil insiatif yang dapat menjadi
pendorong bagi para administrator untuk mengembangkan program
baru.
Sedangkan kelemahan model ini adalah bagi guru-guru yang tidak turut
berpartisipasi mereka akan enggan-enggan. Dalam keadaan terburuk mungkin
akan terjadi apatisme.

6. Taba’s Inverted Model.


Menurut cara yang bersifat tradisional pengembangan kurikulum
dilakukan secara deduksi, dengan urutan:
a. Penentuan prinsip-prinsip dan kebijaksanaan dasar,
b. Merumuskan desain kurikulum yang bersifat menyeluruh didasarkan
atas komitmen-komitmen tertentu,
c. Menyusun unit-unit kerikulum sejalan dengan desain yang menyeluruh,
d. Melaksanakan kurikulum di dalam kelas.
Taba berpendapat model deduktif ini kurang cocok, sebab tidak merangsang
timbulnya inovasi-inovasi. Menurut pengembangan kurikulum yang lebih
mendorong inovasi dan kreativitas guru-guru adalah bersifat induktif, yang
merupakan inversi atau arah terbalik dari model tradisional.
Ada lima langkah pengembangan kurikulum model Taba, yaitu:
a. Menghasilkan unit-unit percobaan (pilot unit) melalui langkah-langkah:
(1) mendiagnosis kebutuhan; (2) merumuskan tujuan-tujuan khusus;
(3) memilih isi; (4) mengorganisasi isi; (4) memilih pengalaman

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


102 Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum

belajar; (5) mengorganisasi pengalaman belajar; (5) mengevaluasi; dan


(6) melihat sekuens dan keseimbangan
b. Menguji coba unit eksperimen untuk memperoleh data dalam rangka
menemukan validitas dan kelayakan penggunaannya.
c. Mengadakan revisi dan konsolidasi unit-unit eksperimen berdasarkan
data yang diperoleh dalam uji coba.
d. Mengembangkan seluruh kerangka kurikulum
e. Implementasi dan diseminasi kurikulum yang telah teruji. Pada tahap
terakhir ini perlu dipersiapkan guru-guru melalui penataran-penataran,
loka karya dan sebagainya serta mempersiapkan fasilitas dan alat
sesuai tuntutan kurikulum.

7. Roger’s Interpersonal Relation Model


Meskipun roger bukan seorang ahli pendidikan melainkan seorang ahli
psikologi atau psikoterapi. Tetapi konsep-konsepnya tentang psikoterapi
khususnya bagaimana membimbing individu juga dapat diterapkan dalam
bidang pendidikan dan pengembangan kurikulum. Memang ia banyak
mengemukakan konsep tentang perkembangan dan perubahan individu.
Menurut When Crosby dalam Nana Syaodih Sukmadinata (2004)
“pengembangan kurikulum teori dan praktek mengatakan bahwa “perubahan
kurikulum adalah perubahan individu”.
Menurut Rogers, manusia berada dalam proses perubahan (becoming,
developing, changing), sesungguhnya ia mempunyai kekuatan dan potensi
untuk berkembang sendiri, tetapi karena ada hambatan-hambatan tertentu ia
membutuhkan orang lain untuk membantu memperlancar atau mempercepat
perubahan tersebut. Guru serta pendidik lainnya bukan pemberi informasi
apalagi penentu perkembangan anak, mereka hanyalah pendorong dan
pemelancar perkembangan anak.
Ada empat langkah pengembangan kurikulum model Rogers, yaitu:
a. Pemilihan target dari sistem pendidikan; di dalam penentuan target ini
satu-satunya kriteria yang menjadi pegangan adalah adanya kesediaan

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum 103

dari pejabat pendidikan/administrator untuk turut serta dalam kegiatan


kelompok secara intensif. Selama satu minggu pejabat
pendidikan/administrator melakukan kegiatan kelompok dalam
suasana relaks, tidak formal.
b. Partisipasi guru dalam pengalaman kelompok yang intensif.
Keikutsertaan guru dalam kegiatan sebaiknya secara sukarela. Lama
kegiatan satu minggu atau kurang. Menurut Rogers bahwa efek yang
diterima sejalan dengan para administrator seperti telah dikemukakan
di atas,
c. Pengembangan pengalaman kelompok yang intensif untuk satu kelas
atau unit pelajaran. Selama lima hari penuh peserta didik ikut serta
dalam kegiatan kelompok, dengan fasilitator guru atau administrator
atau fasilitator dari luar.
d. Partisipasi orang tua dalam kegiatan kelompok. Kegiatan ini dapat
dikoordinasi oleh Komite Sekolah masing-masing sekolah. Lama
kegiatan kelompok tiga jam tiap sore hari selama seminggu atau 24
jam secara terus menerus. Kegiatan ini bertujuan memperkaya orang-
orang dalam hubungannya dengan sesama orang tua, dengan anak, dan
dengan guru. Kegiatan ini merupakan kulminasi dari kegiatan
kelompok di atas. Metode pendidikan yang dikembangkan Rogers
adalah sensitivity trainning, encounter group, dan Trainning Group (T
Group).
Model pengembangan kurikulum dari Rogers ini berbeda dengan model-model
lainnya. Sepertinya tidak ada suatu perencanaan kurikulum tertulis, yang ada
hanyalah rangkaian kegiatan kelompok. Itulah ciri khas Carl Rogers ssebagai
sebagai Eksistensial Humanis., ia tidak mementingkan formalitas, rancangan
tertulis, data, dan sebagainya. Bagi Rogers yang penting adalah aktivitas dan
interaksi. Berkat berbagai bentuk aktivitas dalam interaksi ini individu akan
berubah . petode pendidikan yang di utamakan Rogers adalah sensitivity training,
encounter group dan Training Group

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


104 Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum

B. Peran Sumberdaya manusia dalam pengembangan Kurikulum


Siapa saja yang terlibat dalam pengembangan kurikulum di sekolah? Ya,
tentunya adalah guru sebagai ujung tombak pendidikan, kepala sekolah
sebagai administrator, komite sekolah sebagai pendukung dari pihak
masyarakat dan keluarga serta siswa sebagai peserta didik. Seperti tergambar
dalam bagan berikut ini.

Kepala Sekolah

SDM
Guru/Staf Pengajar Kurikulum
Peserta Didik

Komite Sekolah

Gambar 6.5
Pihak-pihak yang terlibat dalam pengembangan kurikulum di sekolah

1. Peran Kepala Sekolah


Kepala sekolah merupakan tokoh kunci dalam manajemen sekolah.
Padanyalah kebijakan dan keputusan mengenai berbagai hal. Secara umum,
peran dan fungsi kepala sekolah adalah sebagai berikut.
Pertama, peran sebagai sebagai manajer. Sebagai manajer, kepala sekolah
bertanggung jawab atas manajemen sekolah. Kepala sekolah
mengkoordinasikan kegiatan merencanakan, mengorganisasikan,
melaksanakan, memimpin, dan mengendalikan segenap usaha
pencapaian tujuan pendidikan. Lalu, bagaimana implementasinya
dalam pengembangan kurikulum sekolah?
Dalam aspek perencanaan, kepala sekolah merupakan pelaku
yang selalu terlibat dan bahkan sering menjadi tumpuan dalam
kegiatan perencanaan dan pengembangan kurikulum, mulai dari
konsep hingga hal-hal yang lebih teknis. Bisa jadi ia tidak terlibat

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum 105

secara fisik pada keseluruhan kegiatan perencanaan, namun kepala


sekolah terus melakukan pemantauan dari waktu ke waktu.
Dalam aspek pengorganisasian, kepala sekolah
mengorganisasikan unsur-unsur, baik unsur manusia maupun unsur
nonmanusia. Unsur-unsur itu diorganisasikan untuk membangun
sinergi antarunsur. Dari sinergi tersebut tercipta daya baru dengan
kualitas yang lebih bernilai bagi pengembangan kurikulum sekolah.
Dalam aspek pelaksanaan, kepala sekolah juga sebagai pelaksana
lapangan. Ia adalah orang yang mengkoordinasikan pengembangan
kurikulum, dan sekaligus menerjadikan atau menerapkan
kuirikulum.Kepala sekolah mengemban tugas memimpin. Dalam hal
ini kepala sekolah mengarahkan dan memberi komando. Hal yang
mendasar di sini adalah kepala sekolah harus berperan sebagai
penanggung jawab atas pengembangan kurikulum sekolah.
Kedua, peran sebagai inovator. Sebagai tokoh penting di sekolah, kepala
sekolah harus mampu melahirkan ide-ide baru yang kreatif.
Pengembangan kurikulum sering kali bermula dari gagasan kepala
sekolah. Mengingat kedudukannya sebagai pihak yang mengemban
tanggung jawab atas sekolah yang dipimpinnya, maka pada diri
kepala sekolah cenderung muncul dorongan-dorongan untuk terus
memajukan sekolah. Karena kewenangan yang dimilikinya, ide-ide
barunya menjadi lebih terbuka untuk diimplementasikan di sekolah.
Begitu pula dalam konteks pengembangan kurikulum sekolah ini.
Kepala sekolah harus mampu manghadirkan inspirasi dan ide
pembaharuan, sehingga program sekolah (kurikulum) yang
dijalankan senantiasa aktual/mutakhir.
Ketiga, peran sebagai fasilitator. Dalam pengembangan kurikulum, pelaksana
teknis pengembangan biasanya tidak langsung oleh kepala sekolah,
melainkan oleh tim khusus yang ditunjuk. Namun demikian, kepala
sekolah terus melakukan komunikasi dengan tim itu dan
memfasilitasinya untuk mengatasi berbagai persoalan yang muncul.

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


106 Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum

Kepala sekolah harus membantu mengatasi persoalan, melayani


konsultasi tim, dsb. Kepala sekolah mempunyai kedudukan strategis
dalam pengembangan kurikulum. Sebagai pemimpin professional, ia
menerjemahkan perubahan masyarakat dan kebudayaan, termasuk
generasi muda, ke dalam kurikulum. Dialah tokoh utama yang
mendorong guru agar senantiasa melakukan upaya-upaya
pengembangan, baik bagi diri guru maupun tugas keguruannya.
Karena itu, kepala sekolah perlu mempunyai latar belakang yang
mendalam tentang teori dan praktik kurikulum. Perubahan kurikulum
hanya akan berjalan dengan dukungan dan dorongan kepala sekolah.
Ia dapat membangkitkan atau mematikan perubahan kurikulum di
sekolahnya.
Masih banyak pihak lain, selain kepala sekolah, yang dapat membantu
pengembangan kurikulum. Namun demikian, kepala sekolah dan guru
merupakan pemeran utama, yang perlu menerima, mempertimbangkan, dan
memutuskan apa yang akan dimasukkan dalam kurikulum sekolah. Kepala
sekolah dan stafnya mesti bekerja dalam kerangka patokan yang ditetapkan
oleh Dinas Pendidikan Nasional.

2. Peran Guru dalam Pengembangan Kurikulum Sekolah


Kepala sekolah merupakan tokoh kunci dalam manajemen sekolah,
maka guru merupakan tokoh sentral dalam penyelenggaraan layanan
pendidikan sekolah. Gurulah pemeran utama aktivitas sekolah (pendidikan dan
pembelajaran). Krena itu, tugas guru merupakan profesi yang menuntut
keahlian. Bukan sekedar ”tukang mengajar”. Dia harus paham mengenai apa
yang disampaikan, mengapa harus disampaikan, dan bagaimana
menyampaikannya. Dengan demikian, apa yang dihadapi dan menjadi tugas
profesi guru adalah menyangkut hal yang bersifat dinamis. Juga, karena
adanya benang merah antara “apa, mengapa, dan bagaimana” maka guru juga
menjadi pusat penggerak dinamika itu. Keberadaan guru menjadikan sesuatu
bersifat dinamis. Karena tugas guru sehari-hari terkait dengan pelaksanaan

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum 107

kurikulum di sekolah, maka peran guru dalam pengembangan kurikulum


sekolah di antaranya adalah sebagai berikut.
Pertama, guru sebagai pemberi pertimbangan. Keputusan mengenai
kurikulum sekolah secara institusional terletak pada tangan kepala
sekolah. Dalam konteks ini guru adalah pemberi pertimbangan dalam
pengembangan kurikulum sekolah. Sebagai seorang yang
profesional, guru memiliki keahlian di bidangnya, termasuk dalam
hal kurikulum atau pendidikan. Oleh karenanya, dalam rangka
pengembangan kurikulum, guru perlu memiliki gagasan/ide kreatif
untuk mewujudkan harapanharapan dari pelbagai pihak yang
berkepentingan dengan sekolah.
Kedua, guru sebagai pelaksana pengembangan kurikulum sekolah. Konsep ini
dapat ditarik kedalam dua konteks. Kesatu, guru sebagai pelaksana
proses pengembangan kurikulum sekolah terlibat sebagai tim yang
ditunjuk untuk “membuat” kurikulum sekolah. Di sini, guru harus
mampu berpikir luas dan komprehensif, bahkan menjangkau masuk
ke ruang masa depan. Bersama tim, guru berpikir secara keseluruhan
mengenai kurikulum dan segenap potensi yang dimiliki sekolah.
Selanjutnya, guru sebagai pelaksana kurikulum yang dikembangkan
sekolah. Peran ini berkaitan dengan tugas pokok guru sebagai
pengampu proses pembelajaran mata pelajaran tertentu. Di sini, guru
menjabarkan kurikulum sekolah menjadi bentuk-bentuk program
yang lebih rinci (silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran) sampai
dengan pengejawantahannya dalam bentuk kegiatan pembelajaran.
Pada umumnya guru akan dapat menilai secara bersifat kritis apakah
hasil pengembangan itu terlalu teoretis, apakah dapat diterapkan dalam kelas
pembelajaran, atau apakah cara lama lebih praktis dan bermanfaat daripada
cara baru yang terlampau banyak menyita waktu dan tenaga. Jika guru
menyaksikan pelaksanaan kurikulum itu, bahkan mengalaminya sendiri, maka
ia akan lebih mudah menerima pelbagai masukan.

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


108 Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum

Dalam melakukan perubahan kurikulum, hendaknya diselidiki dan


dipertimbangkan sikap dan reaksi guru terhadap perubahan itu. Guru
mempunyai pandangan sendiri tentang kurikulum. Keberhasilan perubahan
yang terjadi bergantung pada kesesuaiannya dengan nilai-nitai guru dan taraf
partisipasinya dalam perubahan itu.
Penjelasan di atas, menunjukkan bahwa yang memegang peranan
dalam proses pengembangan kurikulum ialah guru karena dialah yang paling
bertanggung jawab atas mutu pendidikan anak-didiknya. Guru menghadapi
kesulitan tersendiri karena pada hakikatnya ia bekerja dalam dunia yang
terisolisasi. Apa yang dikerjakan dalam kelasnya tertutup bagi dunia luar.
Jarang sekali pelajarannya dihadiri oleh orang luar, sehingga ia tidak
memperoleh masukan tentang proses belajar-mengajar dalam kelasnya. Ia
cenderung tenggelam dalam cengkeraman kegiatan rutin. Pengalaman
mengajar yang bertahun-tahun cenderung kurang berdampak pada
peningkatan profesionalismenya, karena tindak pembelajaran yang
dilakukannya tidak berbeda dari waktu ke waktu dan tidak lebih dari kegiatan
yang hanya mengulang-ulang.
Profesionalisme guru akan dapat berkembang, apabila ia membiasakan
diri untuk: (1) berunding dan bertukar pikiran dengan siswa, dan terbuka
terhadap pendapat mereka, (2) belajar terus dengan membaca literatur yang
terkait dengan profesinya, (3) bertukar pikiran dan pengalaman dengan teman
guru-guru lainnya atau dengan kepala sekolah. Sikap keterbukaan ini
memungkinkannya belajar dari murid, dari buku, dan dari orang lain.
Perkembangan profesionalisme akan terbantu bila sekolah secara berkala
mengadakan rapat atau diskusi khusus untuk membicarakan hal-hal yang
terkait dengan kurikulum serta perbaikannya. Sebagian dari waktu libur
sekolah dapat dimanfaatkan untuk membicarakan kekurangan-kekurangan
dalam penyelenggaraan kurikulum dan secara bersama mencari usaha
perbaikan. Hasil pembicaraan kemudian diterapkan di kelas masingmasing
dan mendiskusikannya dengan guru yang lain. Dengan demikian, guru-guru
lebih memahami seluk-beluk kurikulum dan menyadari peranannya sebagai

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum 109

pengembang kurikulum, atau pelaksana kurikulum yang kritis dan kreatif.


Mereka akan lebih memahami bahwa gurulah unsur utama dalam kurikulum.
Penerapan kurikulum yang lalu guru belum menganggap dirinya
seorang yang boleh berbicara, bahkan yang mempunyai keahlian dalam
bidang kurikulum, khususnya dalam hal kurikulum kelas atau bidang studinya.
Ia menganggap dirinya hanya sebagai pelaksana, ibarat tukang yang harus
melaksanakan pekerjaan menurut instruksi. Jadi ia hanya terlibat dalam
praktik, tanpa memikirkan apa yang dilakukannya.
3. Peran Komite Sekolah dalam Pengembangan Kurikulum Sekolah
Keberadaan komite sekolah kian bergulir dengan diberlakukannya
otonomi sekolah. Keberadaan komite sekolah (dan dewan pendidikan) secara
legal formal tertuang dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor
044/U/2002. Dalam keputusan menteri ini, komite sekolah dimaksudkan
sebagai sebuah badan mandiri yang mewadahi peran serta masyarakat dalam
rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan efisiensi pengelolaan pendidikan
di satuan pendidikan baik pada pendidikan prasekolah, jalur pendidikan
sekolah, maupun jalur pendidikan luar sekolah. Penamaannya sendiri
disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masingmasing satuan pendidikan.
Bisa saja misalnya dengan nama Majelis Madrasah, Majelis sekolah, Komite
TK, dan sebagainya.
Untuk memperoleh pijakan yang cukup, lebih-lebih komite sekolah
juga masih menjadi fenomena baru, maka dipandang perlu untuk disinggung
terlebih dahulu hal-hal dasar atas keberadaan komite sekolah dan selanjutnya
akan dimanfaatkan untuk menjelaskan peran komite sekolah dalam
pengembangan kurikulum sekolah.
Pembentukan komite sekolah bertujuan: (1) mewadahi dan
menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan
operasional dan program pendidikan sekolah; (2) meningkatkan tanggung
jawab dan peran masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan; serta (3)
menciptakan suasana dan kondisi yang transparan, akuntabel, dan demokratis
dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan sekolah yang berkualitas.

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


110 Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum

Bertolak dari tujuan tersebut, komite sekolah memiliki peran sebagai


berikut.
1. Advisory agency, yaitu pemberi pertimbangan dalam penentuan dan
pelaksanaan kebijakan pendidikan sekolah;
2. Supporting agency, yaitu pendukung, baik yang berwujud finansial,
pemikiran, maupun tenaga, dalam penyelenggaraan pendidikan sekolah;
3. Controlling agency, yaitu pengontrol dalam rangka transparansi dan
akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan sekolah; serta
4. Mediate agency, yaitu mediator antara pemerintah dan masyarakat.
Lalu, bagaimana peran komite sekolah dalam pengembangan kurikulum?
Peran komite sekolah dalam pengembangan kurikulum tidak terlepas dari
keempat peran tersebut. Keempat peran itu saling terkait satu sama lain dan
berlangsung secara simultan. Sebagai advisory agence, komite sekolah dapat
memberikan/ menyampai-kan gagasan, usulan-usulan, atau pertimbangan-
pertimbangan untuk penyempurnaan kurikulum yang ada menuju kurikulum
sekolah yang lebih baik. Gagasan, usulan, dan pertimbangan ini pada adasarnya
dapat diarahkan kepada semua komponen kurikulum, struktur program
kurikulum, dll. Walaupun secara pokok sudah tersedia kurikulum tingkat
nasional, namun masih terbuka bagi pihak sekolah untuk melakukan eksplorasi,
pengembangan, dan penajaman-penajaman, serta dikemas dalam program inti
atau program tambahan, kegiatan intrakurikuler ataupun ekstrakurikuler. Dalam
peran advisory agence ini pulalah komite sekolah terlibat dalam pengesahan
kurikulum sekolah.
Karena terkait dengan peran sebagai advisory agence, maka komite
sekolah berada dalam komitmen lanjutan. Muncullah peran berikutnya, yaitu
suporting agence. Pengembangan kurikulum berkait dengan banyak persoalan,
baik yang terkait secara langsung maupun tidak langsung, yang bersifat manusia
dan non manusia. Dalam kaitannya dengan hal ini, dukungan komite sekolah
dapat berwujud finansial, pemikiran, maupun tenaga.
Kurikulum pada dasarnya adalah rencana program pendidikan.
Karenanya, dalam pengembangan kurikulum harus dipikirkan dan direncanakan

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum 111

segenap aspek kurikulum. Misalnya, kalau gagasan dan pertimbangan-


pertimbangan yang diberikan komite sekolah terkait dengan strategi
pembelajaran (salah satu komponen kurikulum), maka dari awal harus sudah
dipikirkan pula alat, bahan, media, dan sarana-prasarana. Dengan maksud
mewadahi dan memaksimalkan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan
pendidikan, maka di sinilah peran sebagai suporting agence menjadi sangat
menentukan.
Sebagai controlling agency, komite sekolah melakukan kontrol atas
penyelenggaraan program pendidikan. Transparansi dan akuntabelitas
penyelenggaraan dan hasil pendidikan sekolah harus diwujudkan. Karena
masyarakat adalah pengguna jasa pendidikan dan melalui konsep suporting
agence menjadi terlibat aktif, maka kepada masyarakat pulalah harus dibuka
kesempatan untuk melakukan kontrol.
Dalam konteks pengembangan kurikulum, peran kontrol komite sekolah
ini bisa pula diarahkan pada pengawasan, misalnya, apakah proses
pengembangan yang ditempuh sudah memenuhi norma/ketentuan sebagaimana
seharusnya, apakah pengembangan kurikulum telah memperhatikan dan
melibatkan pihak-pihak yang terkait, apakah sudah terukur untuk kemajuan
anak, dsb. Peran ini harus dapat diterapkan agar pengembangan kurikulum
benar-benar komprehensif.
Sebagai mediate agency, komite sekolah bertindak sebagai mediator
antara pemerintah, sekolah, dan masyarakat. Pengembangan kurikulum secara
baik menuntut keterlibatan dan tanggung jawab semua pihak, karena memamg
pada dasarnya urusan pendidikan tidak dapat diserahkan pada pemerintah (dinas
pendidikan) dan sekolah saja. Tidak jarang lembaga-lembaga masyarakat masih
bersikap masa bodoh dan tidak mau terlibat dalam urusan pendidikan/sekolah.
Bahkan lembaga pemerintah pun (di luar Dinas Pendidkan Nasional) masih
(sangat) banyak yang bersikap sama. Di sinilah komite sekolah mengambil
posisi sebagai mediator, yang pada akhirnya terciptalah pemahaman, saling
pengertian, saling dukung, dan sinergi. Dengan peran komite sekolah sebagai
mediator, maka pengembangan kurikulum sekolah menjadi lebih terbuka dalam

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


112 Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum

mengekplorasi sumber daya yang ada di sekitar sekolah. Program (kurikulum)


sekolah pun menjadi lebih dinamis.
Pada akhirnya, dengan bersinerginya kepala sekolah, guru, dan komite
sekolah dalam pengembangan kurikulum, hal itu akan majadikan
penyelenggaraan pendidikan di sekolah lebih dinamis dan semakin besar
peluangnya untuk mencapai tujuan pendidikan. Pendidikan sekolah tidak
semata-mata bermanfaat bagi pencapaian tujuan belajar anak didik, melainkan
juga bermanfaat untuk memupuk dan menyuburkan nilai kebersamaan dan
tanggung jawab bersma bagi kemajuan bangsa melalui peningkatan kualitas
pendidikan/sekolah.

4. Peran siswa dalam pengembangan kurikulum


Pada umumnya siswa kurang dipertimbangan dalam pengembangan
kurikulum karena memang mereka belum mempunyai kompetensi dalam bidang
itu. Namun pada tingkat kegiatan kelas, bila guru bertanya, bagaimana
pendapatnya tentang pelajaran, apa yang ingin dipelajarinya tentang suatu topik,
atau bila guru mengajak siswa turut-serta dalam perencanaan suatu kegiatan
belajar, pada pokoknya mereka sudah dilibatkan dalam kurikulum. Di sekolah
progresif kepada murid diberikan peranan yang lebih besar lagi tentang apa
yang mereka harapkan dari pelajaran. Partisipasi murid sama sekali tidak berarti
bahwa keinginan mereka harus selalu dituruti akan tetapi pandangan mereka
dapat dimanfaatkan, sekalipun keputusan berada di tangan guru. Memaksakan
kurikulum yang tidak mereka sukai, yang tidak disesuaikan dengan kebutuhan
mereka, akan menimbulkan rasa benci bahkan protes, sekalipun tersembunyi,
terhadap pelajaran dan sekolah yang mereka nyatakan dalam perbuatan yang
tidak diinginkan.

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum 113

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Ronald H. 1983. Selecting and Developing Media for Instruction. New
York: Van Nastrand Reinhold Company.

Badan Standar Nasional Pendidikan. 2006. Panduan Penyusunan Kurikulum


Tingkat satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.
Jakarta:BSNP.
Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. 2003. Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional.Jakarta: Depdiknas.

Departemen Pendidikan Nasional. 2004. Manajemen Berbasis Sekolah.


Jakarta:Dirjen Dikdasmen.

Hamalik, Oemar. 1990. Pengembangan Kurikulum, Dasar-dasar dan


Pengembangannya. Bandung: Mandar Maju
Mulyasa, E. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan: Suatu Panduan
Praktis. Bandung:PT Remaja Rosdakarya.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi
Pendidikan Dasar dan Menengah

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar


Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan Menengah

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 Tahun 2006 tentang Standar


Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun
2006 tentang Standar Isi dan Peraturan Menteri Pendidikan nasional
Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan
Dasar dan Menengah

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar


Nasional Pendidikan
Sudjana, Nana. 1989. Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah
Kejuruan. Bandung: PT SInar Baru.120

Sudjana, Nana dan Ibrahim, R. 1989. Penelitian dan Penilaian Pendidikan.


Bandung: PT Sinar Baru.

Mulyasa, E. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: Remaja


Rosdakarya. Nasution. 1982. Asas-asas Kurikulum. Bandung: Jemmars

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang


114 Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum

Nurgiyantoro, Burhan. 1988. Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum Sekolah;


Sebuah Pengantar Teoretis dan Pelaksanaan. Yogyakarta: BPFE.
Sukmadinata,

Nana Syaodih. 2004. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung:


Remaja Rosdakarya.

Program Pasca Sarjana STIE Indonesia Malang

Anda mungkin juga menyukai