PENDIDIKAN DAN
KEBIJAKAN PUBLIK
A. Pengertian dan Tujuan Pendidikan
1. Definisi Pendidikan
Bertanya mengenai hakikat pendidikan adalah bertanya mengenai
apakah pendidikan itu? Walaupun telah sama-sama mengarah pada suatu
tujuan tertentu, para ahli masih belum seragam dalam mendefinisikan istilah
pendidikan. Ada berbagai ragam makna rumusan pendidikan yang telah
dikemukakan oleh para pakar sesuai dengan sudut pandang dan konteks
penggunaan masing-masing rumusan tersebut. Pendidikan (education) dalam
bahasa Inggris berasal dari bahasa Latin “educare” berarti memasukkan
sesuatu (Hasan Langgulung, 1988:4). Dalam konsteks ini, istilah pendidikan
dapat dimaknai sebagai proses menanamkan nilai-nilai tertentu ke dalam
kepribadian anak didik. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pendidikan
dimaknai sebagai proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau
kelompok orang dalam suatu usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran itu sendiri". Dalam Dictionary of Education bahwa pendidikan
adalah: Proses seseorang mengembangkan kemampuan, sikap, dan tingkah
laku lainnya didalam masyarakat tempat mereka hidup. Proses sosial yang
terjadi pada orang yang diharapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih
dan terkontrol (khususnya yang datang dari sekolah), sehingga mereka dapat
memperoleh perkembangan kemampuan sosial dan kemampuan individu yang
optimum.
Dalam konteks formal, makna pendidikan sebagaimana tertulis dalam
Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
1
2 Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum
pasal I adalah: "Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara".
Dalam konteks filsafat, Driyarkoro (Madya Ekosusilo & Kasihadi,
1989) mengemukakan bahwa pendidikan pada dasarnya adalah usaha untuk
“memanusiawikan manusia”. Dalam konteks tersebut pendidikan tidak dapat
dimaknai sekedar membantu pertumbuhan secara fisik saja, tetapi juga
keseluruhan perkembangan pribadi manusia dalam konteks lingkungan
manusia yang memiliki peradaban.
Pendidikan di tinjau dari sudut pandang masyarakat menurut Hasan
Langgulung (1988:3) berarti : Pewarisan kebudayaan dari generasi tua kepada
generasi muda, agar hidup masyarakat tetap berkelanjutan. Atau dengan kata
lain, masyarakat mempunyai nilai-nilai budaya yang ingin disalurkan dari
generasi ke genarasi agar identitas masyarakat tersebut tetap terpelihara.
Pandangan Hasan Langgulung tersebut sesuai dengan makna pendidikan yang
diungkapkan oleh Kneller yang memaknai pendidikan sebagai proses
pewarisan budaya. Menurut Kneller (1967: 21): Education is the process by
which society, through schools, colleges, universities, and other institutions,
deliberately transmits its cultural heritage - its accumulated knowledge, value,
and skill from one generation to another.
Dengan kata lain, pendidikan merupakan proses dimana masyarakat
melalui sekolah-sekolah, perguruan tinggi, universitas, dan institusi lain
dengan sengaja mewariskan warisan budayanya-yakni berupa akumulasi
pengetahuan, nilai, dan ketrampilan dari generasi ke generasi yang lain. Hal
senada juga diungkapkan oleh Laska (1976: 3), bahwa: Education is one of the
most important activities in which human beings engage. It is by means of the
educative process and its role in transmitting the cultural heritage from one
generation to the next that human societies are able to maintain their
existence.
2. Tujuan Pendidikan
Notoarmodjo mengatakan, Pendidikan pada hakikatnya bertujuan
untuk mengubah tingkah laku sasaran pendidikan. Tingkah laku baru (hasil
perubahan) itu dirumuskan dalam suatu tujuan pendidikan (educational
objective). Pada dasarnya tujuan pendidikan adalah suatu deskripsi dari
pengetahuan, sikap, tindakan, penampilan, dan sebagainya yang diharapkan
akan memiliki sasaran pendidikan pada periode tertentu. Lahirnya tujuan
pendidikan disebabkan karena diperlukannya suatu kurikulum yang efisien
dan efektif. Maksudnya menetapkan tujuan pendidikan terlebih dahulu, agar
memudahkan dan mengarahkan penyusunan kurikulum. Dalam rangka
pengembangan kurikulum, tujuan pendidikan perlu dibedakan berdasarkan
4. Mengarahkan dan memberi gambaran pada sasaran tentang apa yang akan
mereka peroleh dari pendidikan/pelatihan
5. Merupakan indikator untuk evaluasi proses pendidikan
6. Merupakan pasangan sasaran dan juga para pengajar untuk bekerja secara
efektif dan efisien
7. Membantu para pengajar memilih metode pengajaran yang tepat.
(Notoatmodjo, 2003:41-45)
Suatu lembaga pendidikan, terutama pendidikan formal sebenarnya
dibentangkan harapan tentang tingkat dan jenis perubahan tingkah laku sasaran
pendidikan, antara lain perubahan pengetahuan, sikap dan kemampuan mereka.
Sudah tentu bukan sembarang perubahan tingkah laku, sebagai akibat dari
berlengsungnya proses pendidikan. Demikian pula bukan setiap perubahan
tingkah laku dapat dipakai sebagai ukuran berhasilnya proses pendidikan. Itulah
sebabnya maka harapan perubahan tingkah laku tersebut perlu dirumuskan
dahulu dalam suatu pendidikan. Dengan kata lain tujuan pendidikan adalah
rumusan pada tingkah laku dan jenis tingkah laku: yang lazimnya dirumuskan
dalam kategori pengetahuan, kecerdasan sikap, keterampilan yang diharapkan
untuk dimiliki oleh sasaran pendidikan setelah menyelesaikan program
pendidikan (serangkaian proses belajar).
B. Kebijakan Publik
Menurut N. Dunn, menyatakan bahwa kebijakan publik (Public policy)
adalah “Pola ketergantungan yang kompleks dari pilihan-pilihan kolektif yang
saling tergantung, termasuk keputusan-keputusan untuk bertindak yang dibuat
oleh badan atau kantor pemerintah” (N. Dunn, 2000:132).
Kebijakan publik merupakan semacam jawaban terhadap suatu
masalah karena merupakan upaya memecahkan, mengurangi dan mencegah
suatu keburukan serta sebaliknya menjadi penganjur inovasi dan pemuka
terjadinya kebaikan dengan cara terbaik dan tindakan terarah. Dapat
dirumuskan pula bahwa pengetahuan tentang kebijakan publik adalah
9
10 Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum
Dari tiga kondisi tersebut yakni adanya elitisme, distorsi, serta proses
yang serba instant dalam setiap perumusan dan impelemntasi kebijakan
pendidikan secara akumulatif telah mendorong pada munculnya pandangan
skeptis masyarakat. Beberapa kalangan masyarakat mengeluhkan bahwa
seringnya terjadi perubahan kebijakan pendidikan yang belum mampu
menghasilkan perbaikan secara signifikan.
Dua persoalan besar yang dihadapi bangsa Indonesia. Pertama, secara
internal, bangsa Indonesia mengahadapi krisis multidimensional, persatuan
bangsa yang merenggang, demokratisasi pada semua aspek kehidupan,
desentralisasi manajemen pemerintahan, dan kualitas pendidikan belum
menunjukkan kemampuan kompetitif. Kedua, secara eksternal, bangsa
Indonesia menghadapi tantangan pasar global, kemajuan teknologi yang
menuntut pendidikan kompetitif dan inovatif, dan networking tanpa batas.
Cita-cita mulia kemerdekaan Indonesia untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa agar terbebas dari belenggu kebodohan, masih jauh dari
tercapai. Meskipun tingkat melek huruf di Indonesia sudah cukup tinggi,
jumlah penduduk dengan tingkat pendidikan di atas Sekolah Dasar masih
rendah. Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat tercermin antara lain dari
indeks hasil pembangunan manusia (Human Development Index, HDI) dimana
unsur pendidikan merupakan salah satu ukurannya. Indonesia berada pada
peringkat ke 112 dari 175 negara (nilai 0,682), peringkat terendah di Asia
Tenggara. Semenjak krisis ekonomi, tingkat pengangguran terbuka masih
sangat tinggi (19%) dan belum teratasi. Tingginya tingkat pengangguran
tersebut juga menunjukkan lemahnya pengembangan sumber daya manusia
dan sistem pendidikan belum cukup menghasilkan lulusan yang produktif bagi
pertumbuhan ekonomi. Relevansi pendidikan bagi dunia kerja dan masyarakat
perlu mendapat perhatian yang serius.
Dalam kondisi yang berat tersebut, kita memasuki era global yang
membutuhkan keunggulan bangsa untuk dapat berdiri sepadan dengan bangsa-
bangsa lain di dunia. Kemajuan ekonomi lebih ditentukan oleh kemampuan
suatu bangsa untuk memberi nilai tambah atas sumberdayanya alih-alih
di atas tidak harus dihindari, melainkan wajib dihadapi dengan semangat dan
kemampuan yang tinggi oleh setiap warga dan segenap bangsa Indonesia.
Upaya yang sangat strategi untuk menghadapinya adalah memantapkan sistem
pendidikan nasional, dan menjamin terselenggaranya pendidikan nasional
yang bertanggung jawab. Jika upaya pembenahan sistem pendidikan nasional
dapat dilakukan secara sungguh-sungguh, maka diharapkan bangsa Indonesia
mampu mengangkat martabat bangsa dan negara.
Isu-isu strategis yang muncul dalam kaitan permasalahan
pembangunan pendidikan di Indonesia antara lain:
1. Belum meratanya kesempatan pendidikan, baik secara kuantitas maupun
kualitas.
Kondisi geografis, sosial, dan budaya bangsa Indonesia yang
sangat heterogen berkonsekuensi langsung terhadap ragamnya kondisi
warga Indonesia. Ada yang mudah mengakses pendidikan, sebaliknya
sangat banyak yang mengalami mengakses pendidikan disebabkan
berbagai kendala yang dihadapinya. Kondisi yang demianlah yang
membuat pemerataan pendidikan sembilan tahun belum dapat dituntaskan,
terlebih-lebih dikaitkan dengan pemerataan mutunya.
2. Kualitas lulusan pendidikan masih belum membanggakan pada semua
jenjang.
Pembangunan sektor pendidikan telah diupayakan dari tahun ke
tahun, sehingga tidak sedikit masyarakat yang illiterate sudah dapat
dientaskan. Namun masih saja kualitas pendidikan secara nasional belum
dapat membanggakan, terutama bila dibandingkan dengan negara-negara
lainnya.
3. Rendahnya kesiapan lulusan dalam memasuki kelanjutan studi dan
kehidupan di masyarakat.
Kualitas dan relevansi pendidikan dasar, menengah dan tinggi
masih sangat rendah sehingga belum mampu mengaktualisasikan potensi
sumberdaya manusia Indonesia secara optimal. Beban kurikulum selama
ini sangat berat dan cenderung tidak mencerdaskan peserta didik.
membina fisik yang kuat dan sehat. Sistem Persekolahan Masih tetap
mengikuti UU No. 12/ 1954. Penyelenggaraan pendidikan bersifat sentralistik
di bawah Mentri Pendidikan dan Kebudayaan sebagai pembantu Presiden.
Sistem Persekolahan Masih tetap mengikuti UU No. 12/ 1954.
Penyelenggaraan pendidikan bersifat sentralistik di bawah Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan sebagai pembantu Presiden.
Sapta Usaha Utama berlaku selama pemerintahan Orde Lama (Orla)
hingga lhirnya Orde Baru (Orba, 1966). Sapta Usaha Utama dioperasionalkan
melalui Ketetapan MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara).
Ketika dicanangkan PELITA (Pembangunan Lima Tahun), ketetapan MPRS
tersebut terwujud dalam GBHN (GAris-garis Besar Haluan Negara). Hal ini
berlangsung hingga 1989.
5. Perkembangan Pendidikan Nasional Indonesia Tahun 1969/1970-
1993/1994 (Pembangunan Jangka Panjang I)
UUD 1945 secara murni dan konsekuen masih diperlakukan. Tujuan
dan Dasar Pendidikan pada saat itu adalah mengembangkan kepribadian dan
kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup
berdasar Pancasila. Undang-Undang No.2 tahun 1989 tentang Pendidikan
Nasional lahir ketika Fuad Hasan menjabat sebagai menteri. Dalam
pembahasan UU No 2 Tahun 1989 itu juga timbul pro dan kontra. Yang
menjadi masalah adalah tentang iman dan takwa, tetapi tidak ada pengerahan
massa, karena kondisi politik relative stabil.
Sistem Pendidikan dan Persekolahan meliputi (1) Sistem pendidikan
terdiri dari jalur pendidikan sekolah dan pendisikan luar sekolah; (2) Sistem
persekolahan terdiri dari 3 jenjang yaitu Pendidikan dasar, Pendidikan
Menengah, dan Pendidikan tinggi. Program pembangunan pendidikan antara
lain perluasan dan pemerataan pendidikan; peningkatan mutu pendidikan
dengan pengadaan alat pendidikan, pengadaan buku pelajaran, pengadaan dan
peningkatan mutu tenaga pengajar, perubahan kurikulum.
(2) Persiapan Wajar 12 tahun. Peningkatan mutu pendidikan melaui (1) Sarana
prasarana; (2) Guru; (3) Kurikulum; (4) Akreditasi, evaluasi, supervisi.
Pengadaan link & match antara SMA dan SMK serta efektivitas dan
efisiensi (good governance) pendidikan.
BAB 3
LANDASAN DAN ARAH
KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI
INDONESIA
A. Akar Ideologis Kebijakan Pendidikan.
Pada umumnya praktek penyelenggaraan pendidikan dalam suatu
masyarakat dilatarbelakangi adanya pertimbangan-pertimbangan subyektif
masing-masing masyarakatnya berupa preferensi nilai serta suatu prinsip yang
dipilih. Aneka pertimbangan subyektif tersebut sebenarnya bisa dimengerti,
mengingat praktek pendidikan merupakan bagian dari bentuk aktualisasi atas
keinginan–keinginan masyarakat dalam mewujudkan kehendaknya -- Edward
Stevens dan George H.Wood (1987) lebih memilih dengan istilah cita -cita
sosial (social ideals).
Dengan merunut pertimbangan dari kehendak masyarakat atau cita -
cita sosial (social ideals) di atas, maka praktek penyelenggaraan pendidikan --
baik di sekolah maupun luar sekolah-- pada umumnya mempunyai dua peran
penting yang berbeda. Pada satu sisi, proses pendidikan dapat melegitimasi
bahkan melanggengkan formasi sosial yang ada (status quo); pada sisi lain
justru sebaliknya pendidikan berperan membangun atau merubah tatanan
sosial menuju yang lebih adil. Kedua peran yang berlawanan tersebut
sebenarnya merupakan pantulan (reflection) dari kehendak serta cita-cita
sosial yang berbeda dari suatu masyarakat. Menurut William F. O’Neil (2001)
perbedaan arah praktek penyelenggaraan pendidikan pada dasarnya
disebabkan oleh perbedaan ideologi yang digunakan oleh masing-masing
masyarakat. Dalam hal ini, pengertian ideologi bila kita menengok pendapat
Sargent dalam bukunya Contemporary Political Ideologies yang dikutip
William F. O’Neil (2001), diartikan sebagai sistem nilai atau keyakinan yang
diterima sebagai fakta atau kebenaran oleh kelompok tertentu. Ideologi
berupaya menggambarkan mengenai karakteristik-karakteristik umum tentang
alam dan masyarakat; serta keterkaitan antar hakikat dunia dengan hakekat
moral, politik, dan panduan-panduan perilaku lainnya yang bersifat evaluatif.
Oleh karenanya, ia tidak sekedar memberi informasi tentang dunia ini
sebenarnya tetapi juga merupakan petunjuk yang bersifat imperatif bagaimana
seharusnya manusia/masyarakat bertindak.
Prinsip dan petunjuk nilai yang bersifat imperatif sekaligus evaluatif
tersebut pada akhirnya mempengaruhi bagaimana tatanan sosial masyarakat
dibangun. Dengan kata lain, ideologi sosial suatu masyarakat mempengaruhi
formasi sosial yang hendak diwujudkan oleh masyarakat itu sendiri.
Selanjutnya formasi sosial masyarakat yang hendak dibangun di atas pada
dasarnya merupakan wadah bagi warganya untuk mengekspresikan segala
tindakannya. Biasanya wadah formasi sosial diatur oleh adanya norma sosial
(social norms) yang diciptakan secara kolektif. Norma sosial yang mengatur
wadah formasi sosial tersebut banyak wujudnya seperti: kebiasaan (folkways),
adat istiadat (customs atau mores), norma hukum (law), serta tabu (taboo).
Kesemuanya itu dalam rangka memberikan kerangka acuan (term of
reference) bagi tindakantindakan yang dilakukan oleh semua anggotanya
(Soerjono Soekanto, 1982:).
Dengan harapan para anggotanya bisa bertingkah laku dan bertindak
sesuai dengan norma sosial yang telah disepakati. Kedudukan norma sosial di
atas memiliki dua fungsi: Pertama, fungsi direktif yakni memberikan arah atau
acuan yang benar bagi tingkah laku anggotanya sebagaimana dikehendaki oleh
kelompok. Kedua, fungsi konstraintif yakni membatasi atau memaksa
terhadap semua tingkah laku anggota masyarakat tersebut agar tidak
menyimpang dari acuan moral (terms of reference) kelompoknya.
Dengan fungsi direktif dan konstraintif ini diharapkan muncul
tindakan-tindakan moral yang memiliki kadar moralitas sebagaimana
dikehendaki oleh mayoritas anggota masyarakat dalam semua lapisan. Dalam
anggota masyarakat. Pun pula ada kebijakan politik yang mengatur khusus
pada dimensi kehidupan pendidikan masyarakat.
Dari uraian di atas akhirnya dapat digambarkan secara hirarkhis skema
nilai dimulai dari nilai dasar yang paling dijunjung tinggi yaitu prinsip nilai
yang mendasari lahirnya prinsip moral, prinsip moral mendasari lahirnya
kebijakankebijakan sosial yang dalam hal ini menurut penulis adalah filsafat
sosial, filsafat sosial melahirkan ideologi politik, yang akhirnya sampai pada
wujudnya kebijakan pendidikan.
Secara skematis, dapat digambarkan kedudukan akar nilai, filsafat, dan
ideologi pendidikan terhadap lahirnya kebijakan pendidikan. Dalam hal ini
skema yang dipaparkan merupakan skema yang dibuat William O’Neil
(2001:42) dengan sedikit penambahan penulis sebagai berikut:
Gambar 3.1.
Kedudukan Akar Nilai, Filsafat, dan Ideologi Pendidikan Terhadap Lahirnya
Kebijakan Pendidikan
Banyak orang ke sekolah dan belajar untuk berperilaku baik dan oleh
karenanya tidak dipenjara. Kaum miskin haruslah sabar dan belajar untuk
menunggu sampai giliran mereka datang, karena pada akhirnya kelak semua
orang akan mencapai kebebasan dan kebahagiaan. Sehingga dalam hal ini,
kaum konservatif sangat menjunjung tinggi adanya harmoni serta menghindari
konflik.
2. Ideologi Liberal
Penganut ideologi ini berangkat dari keyakinan bahwa dalam
masyarakat terjadi banyak masalah termasuk urusan pendidikan, namun
masalah dalam pendidikan tidak ada kaitannya dengan persoalan politik dan
ekonomi masyarakat. Sehingga tugas pendidikan tidak ada sangkut pautnya
persoalan politik dan ekonomi. Namun demikian, proses pendidikan tidak
boleh lepas sama sekali dengan kondisi-kondisi eksternal, dalam hal ini
ekonomi dan politik. Pendidikan harus bisa menyesuaikan diri terhadap
kondisi-kondisi ekternal tersebut, dengan cara memecahkan berbagai masalah
internal melalui mereformasi diri secara ‘kosmetik’. Seperti pengadaan sarana
prasarana yang memadai (ketercukupan ruang kelas, perpustakaan,
laboratorium yang canggih, dan peralatan komputer yang komplit),
menyeimbangkan rasio murid -guru, penciptaan metode pembelajaran baru
(CBSA, modul, remedial learning, learning by doing, experiental learning,
dan lain-lain), penataan manajemen sekolah (MPMBS, competency based
leadership, dan lain-lain).
Penganut ideologi konservatif dan liberal, memandang sama bahwa
pendidikan adalah apolitik dan excellent haruslah merupakan target utama
pendidikan. Kaum liberal terutama tidak melihat kaitan pendidikan dalam
struktur kelas dan dominasi politik, budaya, serta gender. Bahkan pendidikan–
menurut fungsionalisme struktural (salah satu aliran dalam ideologi liberal) –
justru dimaksud sebagai sarana untuk menstabilkan nilai dan norma
masyarakat. Pendidikan merupakan media untuk mensosialisasikan dan
mereproduksi nilai tata susila dan keyakinan agar masyarakat luas sebagai
sistem berfungsi secara baik. Ideologi liberalisme ini berakar pada cita-cita
mendetail dari sebuah kebijakan, namun dalam hal ini catatan penting yang
perlu diketengahkan dalam tulisan ini adalah semua kebijakan termasuk dalam
kebijakan pendidikan selalu dirumuskan dengan pertimbangan-pertimbangan
filosifis dan teoritis tertentu.
Secara teoritik, suatu kebijakan pendidikan dirumusk an dengan
mendasarkan diri pada landasan pemikiran yang lebih ilmiah empirik. Kajian
ini menggunakan pola pendekatan yang beragam sesuai dengan faham teori
yang dianut oleh masing-masing penentu kebijakan. Dalam kajian ini, paling
tidak ada dua pendekatan yang dapat direkomendasikan kepada para penentu/
berwenang dalam merumuskan suatu kebijakan pendidikan. Dua pendekatan
dalam perumusan kebijakan pendidikan tersebut adalah: (1) Social demand
approach, dan (2) Man-power approach. Social demand approach adalah
suatu pendekatan dalam perumusan kebijakan pendidikan yang mendasarkan
diri pada aspirasi, tuntutan, serta aneka kepentingan yang didesakkan oleh
masyarakat. Pada pendekatan jenis ini para pengambil kebijakan akan terlebih
dahulu menyelami dan mendeteksi terhadap aspirasi yang berkembang di
masyarakat sebelum mereka merumuskan kebijakan pendidikan yang
ditanganinya. Bahkan kalau perlu mereka melakukan hearing dan menangkap
semua aspirasi dari bawah secara langsung.
Pada masyarakat yang sudah maju, proses penjaringan aspirasi dari
masyarakat lapisan bawah (grass-root) bisa dilakukan melalui banyak cara,
misalnya: melalui jajak pendapat, arus wacana yang berkembang, penelitian,
atau dengan cara pemilihan umum. Sedangkan yang berlaku pada masyarakat
yang masih belum maju, proses penjaringan aspirasi dari bawah biasanya
melalui rembug deso, jagong, sarasehan, dan sebaginya.
Pendekatan social demand sebenarnya tidak semata-mata merespon
aspirasi masyarakat sebelum dirumuskannya kebijakan pendidikan, akan tetapi
juga merespon tuntutan masyarakat setelah kebijakan pendidikan
diimplementasikan. Partisipasi warga dari seluruh lapisan masyarakat
diharapkan terjadi baik pada masa perumusan maupun implementasi kebijakan
pendidikan. Dengan mencermati uraian tersebut, social demand approach
pendidikan bila pada akhirnya kurang sesuai dengan kondisi lokal. Lebih-lebih
kondisi masing-masing daerah memiliki tingkat keragaman dan kekhasan
sendiri -sendiri yang tidak bisa disamakan satu sama lain.
Teori ini berasumsi bahwa ‘tidak ada lembaga atau organ pendidikan
lokal yang persis sama satu sama lain’. Sehingga untuk menyusun kebijakan
pendidikan yang dianggap terbaik adalah diserahkan sepenuhnya kepada
lembaga-lembaga lokal yang secara hakiki memiliki karakteristik yang relatif
plural, serta yang mengetahui persoalan untuk dirinya sendiri. Hal ini amat
relevan dengan semangat otonomi daerah yang sekarang sedamg bergulir.
Dari sini nampak jelas bahwa teori radikal ini sangat menghargai
desentralisasi dalam perumusan kebijakan pendidikan.
Teori advokasi (advocacy theory) agak berbeda dengan teori radikal di
atas. Teori advokasi ini tidak menghiraukan perbedaan -perbedaan seperti
karakteristik lembaga, lingkungan sosial dan kultural, lingkungan geografis,
serta kondisi lokal lainnya. Kesemua macam corak karakteristik dan
perbedaan lingkungan tersebut menurut teori ini hanyalah perbedaan yang
didasarkan pada pengamatan empirik semata. Sebaliknya, teori advokasi ini
lebih mendasarkan pada argumentasi yang rasional, logis, dan bernilai.
Sehingga dalam hal ini pemerintah pusat sangat perlu menyusun kebijakan
pendidikan yang bersifat nasional demi kepentingan umum, serta demi
melindungi lembaga-lembaga dan organ-organ pendidikan yang relatif masih
marginal dibanding lembaga atau organ pendidikan lain yang sudah maju.
Teori advokasi bersumber dari akar teori konflik yang merekomendasikan
pemberian kewenangan negara atau pemerintah pusat untuk membatasi kelas
atau kelompok-kelompok dominan yang bisa merugikan kelas marginal.
Dalam hal ini pemerintah pusat harus mampu menyeimbangkan kemajuan
pendidikan antar daerah. Dengan demikian ketimpangan pendidikan antar da
erah bisa dieliminir. Teori transaktif (transactive theory) menekankan bahwa
perumusan kebijakan sangat perlu didiskusikan secara bersama terlebih dahulu
dengan semua pihak. Proses pendiskusian ini perlu melibatkan sebanyak
mungkin pihak–pihak terkait, termasuk dalam hal ini adalah dengan personalia
B. Peraturan Pemerintah
1. Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010: Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Dan
Penyelenggaraan Pendidikan
2. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2010: Pemberian
gaji/pensiun/tunjangan bulan ketiga belas dalam tahun anggaran 2010
kepada Pegawai Negeri Sipil, Pejabat Negara dan Penerima
pensiun/tunjangan.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010: Disiplin Pegawai Negeri
Sipil.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2010: Penetapan Pensiun Pokok
Pensiunan PNS dan Janda/Dudanya (menggantikan PP 13 Tahun 2007, no
14 tahun 2008, dan no 9 tahun 2009)
5. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2010: Perubahan ke 12 atas
Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji PNS.
6. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2010: Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah No.16 Tahun 1994 Tentang Jabatan Fungsional Pegawai
Negeri Sipil.
7. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010: Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan beserta penjelasannya.
8. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2009: tunjangan profesi guru dan
dosen, tunjangan khusus guru dan dosen, serta tunjangan kehormatan
Profesor.
9. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2009: dosen
10. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008: pendanaan pendidikan.
11. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008: Pelaksanaan Undang-
Undang tentang Yayasan.
12. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005: Standar Nasional
Pendidikan
13. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1999: Penetapan Perguruan Tinggi
Negeri Sebagai Badan Hukum (sudah dibatalkan PP no. 17 tahun 2010)
DAFTAR PUSTAKA
Alfred, Richard L. & Patricia Carter. (1995). Building the Future: Comprehensive
Educational Master Planning Report 1995-2005, University of Alabama
& Community College Consortium.
Jalal, Fasli dan Dedi Supriadi. (2001), Reformasi Pendidikan dalam Konteks
Otonomi Daerah, Yogyakarta: AdiCita Karya Nusa.
Rohman, Arif. 2002. “Kebijakan Pendidikan: Ideologi, Proses Politik, dan Peran
Birokrasi dalam Formulasi dan Implementasi Kebijakan Pendidikan”.
Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Stevens, Edward and Wood, George H. 1987. “Justice, Ideology, and Education”.
New York: Random House.
Suryadi, Ace. (2002). Pendidikan, Investasi SDM, dan Pembangunan: Isu, Teori
dan Aplikasi, Jakarta: Balai Pustaka.
Suryadi, Ace dan Tilaar, HAR. 1994. “Analisis Kebijakan Pendidikan: Suatu
Pengantar”. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Wahab, Solichin Abdul. 1997. “Analisis Kebijaksanaan: Dari Formulasi Ke
Implementasi Kebijaksanaan Negara”. Jakarta: Bumi Aksara.
BAGIAN
DUA
65
66 Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum
mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
pendidikan tertentu".
Oleh karena itu, siswa harus memiliki kepribadian yang dibutuhkan untuk
dapat hidup dan berintegrasi dengan masyarakatnya.
c. Fungsi Diferensiasi.
Fungsi Diferensiasi mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat
pendidikan harus mampu memberikan pelayanan terhadap perbedaan
individu siswa. Setiap siswa memiliki perbedaan, baik dari aspek fisik
maupun psikis, yang harus dihargai dan dilayani dengan baik.
d. Fungsi Persiapan.
Fungsi Persiapan mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat
pendidikan harus mampu mempersiapkan siswa untuk melanjutkan studi
ke jenjang pendidikan berikutnya. Selain itu, kurikulum juga diharapkan
dapat mempersiapkan siswa untuk dapat hidup dalam masyarakat
seandainya karena sesuatu hal, tidak dapat melanjutkan pendidikannya.
e. Fungsi Pemilihan.
Fungsi Pemilihan mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat
pendidikan harus mampu memberikan kesempatan kepada siswa untuk
memilih program-program belajar yang sesuai dengan kemampuan dan
minatnya. Fungsi pemilihan ini sangat erat hubungannya dengan fungsi
diferensiasi, karena pengakuan atas adanya perbedaan individual siswa
berarti pula diberinya kesempatan bagi siswa tersebut untuk memilih apa
yang sesuai dengan minat dan kemampuannya. Untuk mewujudkan kedua
fungsi tersebut, kurikulum perlu disusun secara lebih luas dan bersifat
fleksibel.
f. Fungsi Diagnostik
Fungsi diagnostik mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat
pendidikan harus mampu membantu dan mengarahkan siswa untuk dapat
memahami dan menerima kekuatan (potensi) dan kelemahan yang
dimilikinya. Jika siswa sudah mampu memahami kekuatan-kekuatan dan
kelemahan-kelemahan yang ada pada dirinya, maka diharapkan siswa
dapat mengembangkan sendiri potensi kekuatan yang dimilikinya atau
memperbaiki kelemahan-kelemahannya.
2. Peranan Kurikulum
Kurikulum dalam pendidikan formal di sekolah/madrasah memiliki
peranan yang sangat strategis dan menentukan pencapaian tujuan pendidikan.
Terdapat tiga peranan yang dinilai sangat penting, yaitu: (a) peranan
konservatif, (2) peranan kreatif, dan (3) peranan kritis/evaluatif (Oemar
Hamalik, 1990).
a. Peranan Konservatif.
Peranan ini menekankan bahwa kurikulum sebagai sarana untuk
mentransmisikan nilai-nilai warisan budaya masa lalu yang dianggap
masih relevan dengan masa kini kepada generasi muda, dalam hal ini para
siswa. Dengan demikian, peranan konservatif ini pada hakikatnya
menempatkan kurikulum, yang berorientasi ke masa lampau. Peranan ini
sifatnya menjadi sangat mendasar, disesuaikan dengan kenyataan bahwa
pendidikan pada hakikatnya merupakan proses sosial. Salah satu tugas
pendidikan yaitu mempengaruhi dan membina perilaku siswa sesuai
dengan nilai-nilai sosial yang hidup di lingkungan masyarakatnya.
b. Peranan Kreatif.
Peranan ini menekankan bahwa kurikulum harus mampu mengembangkan
sesuatu yang baru sesuai dengan perkembangan yang terjadi dan
kebutuhan-kebutuhan masyarakat pada masa sekarang dan masa
mendatang. Kurikulum harus mengandung hal-hal yang dapat membantu
setiap siswa mengembangkan semua potensi yang ada pada dirinya untuk
memperoleh pengetahuan-pengetahuan baru, kemampuan-kemampuan
baru, serta cara berpikir baru yang dibutuhkan dalam kehidupannya.
c. Peranan Kritis dan Evaluatif.
Peranan ini dilatarbelakangi oleh adanya kenyataan bahwa nilai-nilai dan
budaya yang hidup dalam masyarakat senantiasa mengalami perubahan,
sehingga pewarisan nilai-nilai dan budaya masa lalu kepada siswa perlu
disesuaikan dengan kondisi yang terjadi pada masa sekarang. Selain itu,
perkembangan yang terjadi pada masa sekarang dan masa mendatang
belum tentu sesuai dengan apa yang dibutuhkan. Karena itu, peranan
kurikulum tidak hanya mewariskan nilai dan budaya yang ada atau
menerapkan hasil perkembangan baru yang terjadi, melainkan juga
memiliki peranan untuk menilai dan memilih nilai dan budaya serta
pengetahuan baru yang akan diwariskan tersebut. Dalam hal ini, kurikulum
harus turut aktif berpartisipasi dalam kontrol atau filter sosial. Nilai-nilai
sosial yang tidak sesuai lagi dengan keadaan dan tuntutan masa kini
dihilangkan dan diadakan modifikasi atau penyempurnaan-
penyempurnaan.
Ketiga peranan kurikulum di atas tentu saja harus berjalan secara
seimbang dan harmonis agar dapat memenuhi tuntutan keadaan. Jika tidak, akan
terjadi ketimpangan-ketimpangan yang menyebabkan peranan kurikulum
persekolahan menjadi tidak optimal. Menyelaraskan ketiga peranan kurikulum
tersebut menjadi tanggung jawab semua pihak yang terkait dalam proses
pendidikan, di antaranya guru, kepala sekolah, pengawas, orang tua, siswa, dan
masyarakat. Dengan demikian, pihak-pihak yang terkait tersebut idealnya dapat
memahami betul apa yang menjadi tujuan dan isi dari kurikulum yang diterapkan
sesuai dengan bidang tugas masing-masing.
isu atau muatan lokal dan isu-isu global. Hal ini diddasarkan pada kenyataan
bahwa pendidikan harus mampu mengantarkan peserta didik untuk hidup pada
zaman mereka, serta memiliki wawasan global dan mampu berbuat sesuai
dengan kebutuhan lokal.
Untuk dapat menuju pada karakteristik kurikulum ideal tersebut maka
proses penyusunan kurikulum tidak lagi selayaknya dilakukan oleh negara dan
diberlakukan bagi seluruh satuan pendidikan tanpa melihat kondisi internal dan
lingkungannya. Kurikulum hendaknya disusun dari bawah (bottom up) oleh
setiap satuan pendidikan bersama dengan stakeholder masing-masing. Berikut
adalah Perkembangan Kurikulum di Indonesia.
1. Rencana Pelajaran 1947
Kurikulum pertama pada masa kemerdekaan namanya Rencana
Pelajaran 1947. Ketika itu penyebutannya lebih populer menggunakan
learn plan (rencana pelajaran) ketimbang istilah curriculum dalam bahasa
Inggris. Rencana Pelajaran 1947 bersifat politis, yang tidak mau lagi
melihat dunia pendidikan masih menerapkan kurikulum Belanda, yang
orientasi pendidikan dan pengajarannya ditujukan untuk kepentingan
kolonialis Belanda. Asas pendidikan ditetapkan Pancasila. Situasi
perpolitikan dengan gejolak perang revolusi, maka Rencana Pelajaran
1947, baru diterapkan pada tahun 1950. Oleh karena itu Rencana Pelajaran
1947 sering juga disebut kurikulum 1950. Susunan Rencana Pelajaran
1947 sangat sederhana, hanya memuat dua hal pokok, yaitu daftar mata
pelajaran dan jam pengajarannya, serta garis-garis besar pengajarannya.
Rencana Pelajaran 1947 lebih mengutamakan pendidikan watak,
kesadaran bernegara, dan bermasyarakat, daripada pendidikan pikiran.
Materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari, perhatian
terhadap kesenian, dan pendidikan jasmani. Mata pelajaran untuk tingkat
Sekolah Rakyat ada 16, khusus di Jawa, Sunda, dan Madura diberikan
bahasa daerah. Daftar pelajarannya adalah Bahasa Indonesia, Bahasa
Daerah, Berhitung, Ilmu Alam, Ilmu Hayat, Ilmu Bumi, Sejarah,
Menggambar, Menulis, Seni Suara, Pekerjaan Tangan, Pekerjaan
3. Kurikulum 1968
Kelahiran Kurikulum 1968 bersifat politis: mengganti Rencana
Pendidikan 1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde Lama. Tujuannya
pada pembentukan manusia Pancasila sejati. Kurikulum 1968 menekankan
pendekatan organisasi materi pelajaran: kelompok pembinaan Pancasila,
pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Jumlah pelajarannya 9.
Kurikulum 1968 sebagai kurikulum bulat, sehingga kurikulum tersebut
memuat mata pelajaran pokok-pokok saja. Muatan materi pelajaran
bersifat teoritis, tak mengaitkan dengan permasalahan faktual di lapangan.
Titik beratnya pada materi apa saja yang tepat diberikan kepada siswa di
setiap jenjang pendidikan.
4. Kurikulum 1975
Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih
efisien dan efektif. Sehingga yang melatarbelakangi adalah pengaruh
konsep di bidang manejemen, yaitu MBO (management by objective) yang
terkenal saat itu. Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam
Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Zaman ini dikenal
istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan.
Setiap satuan pelajaran dirinci lagi: petunjuk umum, tujuan instruksional
khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar,
dan evaluasi. Kurikulum 1975 banyak dikritik. Guru semakin sibuk
menulis rincian apa yang akan dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran.
5. Kurikulum 1984
Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Meski
mengutamakan pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap penting.
Kurikulum ini juga sering disebut “Kurikulum 1975 yang disempurnakan”.
Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu,
mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut
Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL).
Tokoh penting dibalik lahirnya Kurikulum 1984 adalah Profesor Dr.
Conny R. Semiawan, Kepala Pusat Kurikulum Depdiknas periode 1980-
1986 yang juga Rektor IKIP Jakarta sekarang Universitas Negeri Jakarta
periode 1984-1992. Konsep CBSA yang elok secara teoritis dan bagus
hasilnya di sekolah-sekolah yang diujicobakan, mengalami banyak deviasi
dan reduksi saat diterapkan secara nasional. Sayangnya, banyak sekolah
kurang mampu menafsirkan CBSA. Yang terlihat adalah suasana gaduh di
ruang kelas lantaran siswa berdiskusi, di sana-sini ada tempelan gambar,
dan yang menyolok guru tak lagi mengajar model berceramah. Penolakan
CBSA bermunculan.
6. Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999
Kurikulum 1994 bergulir lebih pada upaya memadukan
kurikulum-kurikulum sebelumnya. Jiwa kurikulum 1994 adalah ingin
mengkombinasikan antara Kurikulum 1975 dan Kurikulum 1984, melalui
pendekatan proses. Perpaduan tujuan dan proses ternyata belum berhasil.
Kritik bertebaran, lantaran beban belajar siswa dinilai terlalu berat. Dari
muatan nasional hingga lokal. Materi muatan lokal disesuaikan dengan
kebutuhan daerah masing-masing, misalnya bahasa daerah kesenian,
keterampilan daerah, dan lain-lain. Berbagai kepentingan kelompok-
kelompok masyarakat juga mendesakkan agar isu-isu tertentu masuk
dalam kurikulum. Walhasil, Kurikulum 1994 menjelma menjadi
kurikulum super padat. Kejatuhan rezim Soeharto pada 1998, diikuti
kehadiran Suplemen Kurikulum 1999. Tapi perubahannya lebih pada
menambal sejumlah materi.
7. Kurikulum 2004
Bahasa kerennya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Setiap
pelajaran diurai berdasar kompetensi apakah yang mesti dicapai siswa.
Sayangnya, kerancuan muncul bila dikaitkan dengan alat ukur kompetensi
siswa, yakni ujian. Ujian akhir sekolah maupun nasional masih berupa soal
pilihan ganda. Bila target kompetensi yang ingin dicapai, evaluasinya tentu
lebih banyak pada praktik atau soal uraian yang mampu mengukur
seberapa besar pemahaman dan kompetensi siswa. Meski baru
diujicobakan, ternyata di sejumlah sekolah kota-kota di Pulau Jawa, dan
kota besar di luar Pulau Jawa telah menerapkan KBK. Hasilnya tak
memuaskan. Guru-guru pun tak paham betul apa sebenarnya kompetensi
yang diinginkan pembuat kurikulum.
8. KTSP 2006
Awal 2006 ujicoba KBK dihentikan. Muncullah Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan. Pelajaran KTSP masih tersendat. Tinjauan dari
segi isi dan proses pencapaian target kompetensi pelajaran oleh siswa
hingga teknis evaluasi tidaklah banyak perbedaan dengan Kurikulum
2004. Perbedaan yang paling menonjol adalah guru lebih diberikan
kebebasan untuk merencanakan pembelajaran sesuai dengan lingkungan
dan kondisi siswa serta kondisi sekolah berada. Hal ini disebabkan
karangka dasar (KD), standar kompetensi lulusan (SKL), standar
kompetensi dan kompetensi dasar (SKKD) setiap mata pelajaran untuk
setiap satuan pendidikan telah ditetapkan oleh Departemen Pendidikan
Nasional. Jadi pengambangan perangkat pembelajaran, seperti silabus dan
sistem penilaian merupakan kewenangan satuan pendidikan (sekolah)
dibawah koordinasi dan supervisi pemerintah Kabupaten/Kota.
77
78 Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum
bagian yang sering dikenal dengan kurikulum nasional dan kurikulum muatan
lokal. Kurikulum nasional adalah kurikulum yang isi dan bahan pelajarannya
ditetapkan secara nasional dan wajib dipelajari oleh semua siswa sekolah
dasar di seluruh wilayah Indonesia, termasuk di sekolah Indonesia yang
berada di luar negeri. Kurikulum muatan lokal ialah kurikulum yang isi dan
bahan kajiannya ditetapkan dan disesuaikan dengan keadaan lingkungan alam,
sosial, ekonomi, budaya serta kebutuhan pembangunan daerah.
Terbitnya Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional sebagai pengganti dari Undang-undang Nomor 2 Tahun
1989 memunculkan kebijakan baru dalam pengembangan kurikulum di tanah
air. Pada pasal 38 ayat 1 UU tersebut dinyatakan bahwa ”Kerangka dasar dan
struktur kurikulum pendidikan dasar dan menengah ditetapkan oleh
pemerintah”. Dinyatakan pula pada ayat 2 bahwa ”Kurikulum pendidikan
dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap
kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah
koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau Kantor Departemen Agama
Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan
menengah”.
Kebijakan pengembangan kurikulum sudah diwarnai oleh semangat
otonomi daerah, meskipun kurikulum itu ditujukan untuk mencapai tujuan
nasional, tetapi cara pencapaiannya disesuaikan dengan keadaan dan
kemampuan daerah. Pelaksanaan kurikulum menerapkan prinsip “Kesatuan
dalam Kebijakan dan Keberagaman dalam Pelaksanaan”. Standar nasional
disusun pusat dan cara pelaksanaannya disesuaikan masing-masing
daerah/sekolah. Perwujudan “Kesatuan dalam Kebijakan” tertuang dalam
pengembangan Kerangka Dasar, Standar Kompetensi Bahan Kajian, dan
Standar Kompetensi Mata Pelajaran, beserta Pedoman Pelaksanaannya.
Perwujudan “Keberagaman dalam Pelaksanaan” tertuang dalam
pengembangan silabus dan skenario pembelajaran. Pendekatan yang
digunakan saat itu yaitu pendekatan kurikulum berbasis kompetensi
KURIKULUM
1. Landasan Filosofis
Semua aspek yang terkait dengan pengelolaan program
pendidikan, seperti Sumber Daya Manusia (SDM) yang harus ikut
terlibat, rumusan tujuan pendidikan, isi pendidikn, proses pelaksanaan
dan bagaimana cara untuk mengetahui hasil yang dicapai dari program
pendidikan, semuanya harus didasarkan pada hasil berpikir secara
sistematis, logis dan mendalam. Pemikiran tersebut dalam filsafat
disebut sebagai pemikiran radikal (radic), yaitu hasil berpikir secara
mendalam sampai keakar-akarnya.
Menurut Donald Butler “Filsafat memberikan arah dan
metodologi terhadap praktik pendidikan, sedangkan praktik pendidikan
memberikan bahan-bahan bagi pertimbangan-pertimbangan filofofis”.
Secara rinci filsafat pendidikan berfungsi:
a. Menentukan arah akan kemana siswa harus dibawa (tujuan)
b. Mendapatkan gambaran yang jelas hasil pendidikan yang harus
dicapai
c. Menentukan isi yang akurat yang harus dipelajari oleh para
siswa
d. Menentukan cara dan proses untuk mencapai tujuan
89
90 Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum
Analisis Kebutuhan
desain
pembelajaran
Gambar 6.1.
Kegiatan Pengembangan Dan Pembinaan Kurikulum
Gambar 6.2.
Tahap-Tahap Pengembangan Kurikulum Model Administratif
Pihak pengambil
keputusan ( Menteri, Panitia Kelompok
Dirjen, Dinas) Kerja (Membuat Kurikulum
untuk disebarluaskan )
Gambar 6.3
Implementasi prosedur dan pihak yang terlibat dalam pengembangan kurikulum
Model Administratif
2. Pendekatan Grass Roots
Pendekatan Grass roots merupakan kebalikan dari pendekatan
Administratif. Pendekatan grass roots yang disebut juga dengan istilah
pendekatan bottom-up, yaitu suatu proses pengembangan kurikulum yang
diawali dari keinginan yang muncul dari tingkat bawah (sekolah/guru).
Keinginan ini biasanya didorong oleh hasil pengalaman yang dirasakan pihak
sekolah/guru, di mana kurikulum yang sedang berjalan dirasakan terdapat
beberapa masalah atau ketidaksesuaian dengan kebutuhan dan potensi yang
tersedia di lapangan. Untuk terlaksananya pengembangan kurikulum model
grass roots ini diperlukan kepedulian dan profesionalisme yang tinggi dari
pihak sekolah antara lain yaitu.
a. Sekolah/guru bersifat kritis untuk menyikapi terhadap kurikulum yang
sedang berjalan
Revisi
Pengembang
an Naskah Pengembangan
Akademik Draft Kurikulum Uji Coba/Vaildasi
Sekolah/guru
Analisis Kebutuhan
Gambar 6.4.
Tahap-Tahap Pengembangan Kurikulum Model Grass-roots
Guru/ Sekolah
Peserta Lokakarya
Lokakarya Guru, Kepala Sekolah, Orang tua siswa,
Anggota Masyarakat, Narasumber
Kesimpulan
Gambar 6.5
Implementasi prosedur dan pihak yang terlibat dalam pengembangan kurikulum
Model Administratif
3. Pendekatan Sentral-desentral
Agar lebih mudah untuk memahami pendekatan pengembangan
kurikulum sentral de-sentral, terlebih dahulu harus melihat kembali dua
pendekatan yang telah diuraikan sebelumnya yaitu pendekatan “Administratif
dan Bottom–up approach”. Kedua pendekatan tersebut merupakan proses
pengembangan kurikulum yang sangat kontradiktif, dimana pendekatan
administratif merupakan proses pengembangan kurikulum dari atas ke bawah
(sentralisasi), sedangkan pendekatan bottom-up kebalikannya yaitu proses
pengembangan kurikulum yang dilakukan oleh para pelaksana (guru/sekolah)
di lapangan.
Adapun pendekatan sentral de-sentralisasi merupakan proses
pengembangan kurikulum yang menggabungkan kedua pendekatan tersebut di
atas, yaitu menyatukan pendekatan administratif dan pendekatan grass roots.
Dengan demikian dalam pendekatan sentral de-sentral antara pemerintah di
pusat sebagai pemilik kebijakan bekerjasama dengan pihak di bawah (sekolah,
guru dan para stakeholder), sesuai dengan fungsi dan perannya masing-masing
berkolaborasi mengembangkan kurikulum (merancang, melaksanakan,
mengontrol).
Pendekatan sentral de-sentral dapat menjadi solusi alternatif untuk
memperkecil permasalahan-permasalahan yang ditempuh melalui pendekatan
administratif maupun grass roots. Menurut Nana Syaodih Sukmadinata
(2004), manajemen kurikulum sentralistik (administratif) mempunyai
beberapa kelebihan di samping kekurangan atau kelemahan. Kelemahannya
antara lain: 1) kurikulum sentralistik tidak dapat mengakomodasi seluruh
keragaman wilayah suatu negara, 2) pemahaman kurikulum nasional oleh
seluruh wilayah tanah air memerlukan waktu yang relatif lama, 3) penerapan
kurikulum sentralisasi oleh wilayah yang sangat luas akan menghadapi banyak
hambatan dan kemungkinan penyimpangan.
Demikian juga model manajemen pengembangan kurikulum grass
roots (desentralistik) disamping terdapat beberapa kelebihan juga memiliki
beberapa kelemahan dan kekurangan. Menurut Nana Syaodih Sukmadinata
3. Beauchamp’s System
Model pengembangan kurikukum ini, dikembangkan oleh Beauchamp
seorang ahli kurikulum Beauchamp. Mengemukakan lima hal di dalam
pengembangan suatu kurikulum.
a. Pertama, menetapkan arena atau lingkup wilayah yang akan dicakup oleh
kurikulum tersebut, apakah suatu sekolah, kecamatan, kabupaten atau
seluruh negara. Pentahapan arena ini ditentukan oleh wewenang yang
dimiliki oleh pengambil kebijaksanaan dalanm pengembangan kurikulum,
umum dan tujuan yang lebih khusus, memilih isi dan pengalaman belajar
serta kegiatan evaluasi dalam menentukan keseluruhan desain kurikulum.
d. Keempat, implementasi kurikulum. Langkah ini merupakan langkah
mengimplementasikan atau melaksanakan kurikulum yang bukan sesuatu
yang sederhana, sebab membutuhkan kesiapan yang menyeluruh, baik
kesiapan guru-guru, siswa, fasilitas, bahan maupun biaya, disamping
kesiapan manajerial dari pimpinan sekolah atau administrator setempat.
Lebih jauh lagi mengemukakan lima langkah di dalam pengembangan
suatu kurikulum, yaitu:
a. Menetapkan arena atau lingkup wilayah yang akan dicakup kurikulum,
apakah suatu sekolah, kecamatan, kabupaten propinsi atau bahkan seluruh
negara. Penetapan wilayah ditentukan oleh pihak yang memiliki wewenang
pengambil kebijaksanaan dalam pengembangan kurikulum, serta oleh tujuan
pengembangan kurikulum.
b. Menetapkan personalia yang akan turut serta terlibat dalam pengembangan
kurikulum. Ada empat kategori orang yang dapat dilibatkan yaitu:
a. Para ahli pendidikan/kurikulum yang ada pada pusat pengembangan
kuruikulum/pendidikan dan para ahli bidang ilmu dari luar;
b. Para ahli pendidikan dari perguruan tinggi atau sekolah dan guru-guru
terpilih;
c. Para profesional dalam sistem pendidikan; dan
d. Profesional lain dan tokoh masyarakat.
c. Organisasi dan prosedur pengembangan yaitu berkenaan dengan prosedur
yang harus ditempuh dalam merumuskan tujuan umum dan tujuan yang lebih
khusus, memilih isi dan pengalaman belajar, serta kegiatan evaluasi dan dalam
menentukan desain kurikulum. Beauchamp membagi keseluruhan kegiatan ini
dalam lima langkah, yaitu:
1. membentuk tim pengembang kurikulum;
2. mengadakan evaluasi atau penelitian terhadap kurikulum yang
berlaku;
3. studi penjajagan kemungkinan penyusunan kurikulum baru;
Kepala Sekolah
SDM
Guru/Staf Pengajar Kurikulum
Peserta Didik
Komite Sekolah
Gambar 6.5
Pihak-pihak yang terlibat dalam pengembangan kurikulum di sekolah
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Ronald H. 1983. Selecting and Developing Media for Instruction. New
York: Van Nastrand Reinhold Company.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi
Pendidikan Dasar dan Menengah