Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

A. latar belakang
Imunitas atau kekebalan adalah sistem pada organisme yang bekerja melindungi
tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasi dan membunuh
patogen serta sel tumor, sehingga tubuh bebas patogen dan aktivitas dapat berlangsung
dengan baik.Selain dapat menghindarkan tubuh diserang patogen, imunitas juga
dapatmenyebabkan penyakit, diantaranya hipersensitivitas dan autoimun.
Hipersensitivitas adalah respon imun yang merusak jaringan tubuh sendiri. Reaksi
hipersensitivitas terbagi menjadi empat tipe berdasarkan mekanisme dan lama waktu
reaksi hipersensitif, yaitu reaksi hipersensitivitas tipe I, tipe II, tipe III, dan tipe IV.
Autoimunitas adalah kegagalan dari suatu organisme untuk mengenali bagian-
bagian penyusunnya sendiri sebagai diri, yang memungkinkan respon imun terhadap
sel sendiri dan jaringan tubuh. Setiap penyakit dari hasil respon imun yang
menyimpang diistilahkan sebagai suatu penyakit autoimun .  Autoimunitas sering
disebabkan oleh kurangnya perkembangan kuman dari tubuh target dan dengan
demikian tindakan respon kekebalan tubuh terhadap sel sendiri dan jaringan.
Sistem imun tubuh telah berkembang sedemikian rupa sehingga mampu
mengenal setiap antigen asing dan membedakannya dengan struktur antigen diri (self
antigen), tetapi dapat saja timbul gangguan terhadap kemampuan pengenalan tersebut
sehingga terjadi respons imun terhadap antigen diri yang dianggap asing.

B. TUJUAN
1. memahami definisi dari hipersensitivitas
2. memahami perbedaan tipe hipersensitivitas
3. mengetahaui Etiologi dari hipersensitivitas
4. mengetahui tanda dan gejala dari hipersensitivitas
5. mengetahui patofisiologi hipersensitivitas
6. mengetahui pathway hipersensitivitas
7. mengetahui pemeriksaan diagnostik hipersensitivitas
8. mengetahui bagaimana penatalaksanaan pada hipersensitivitas
9. memahami asuhan keperawatan pada hipersensitivitas
1
2
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. DEFINISI
Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh
seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-
bahan yang umumnya nonimunogenik. Dengan kata lain, tubuh manusia bereaksi
berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing atau
berbahaya. Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut allergen.

B. ETIOLOGI
Faktor yang berperan dalam alergi dibagi menjadi 2 yaitu :
1) Faktor Internal
a. Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi : asam
lambung, enzym-enzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-fungsi imunologis
(misalnya : IgA sekretorik) memudahkan penetrasi alergen makanan.
Imaturitas juga mengurangi kemampuan usus mentoleransi makanan tertentu.
b. Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai janin
sampai masa bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan norma
kehidupan setempat.
c. Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan penyerapan
alergen bertambah.
2) Fakor Eksternal
a. Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih,
stress) atau beban latihan (lari, olahraga).
b. Contoh makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut
prevalensinya

Ikan 15,4% Apel 4,7%


Telur 12,7% Kentang 2,6%
Susu 12,2% Coklat 2,1%
Kacang 5,3% Babi 1,5%
Gandum 4,7 % Sapi 3,1 %

3
Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat
menimbulkan reaksi alergi.
C. KLASIFIKASI
Reaksi hipersentsitivitas memiliki 4 tipe reaksi seperti berikut:
1. Tipe I : Reaksi Anafilaksi
Di sini antigen atau alergen bebas akan bereaksi dengan antibodi, dalam hal
ini IgE yang terikat pada sel mast atau sel basofil dengan akibat terlepasnya
histamin. Keadaan ini menimbulkan reaksi tipe cepat. Hipersensitifitas tipe I
disebut juga sebagai hipersensitivitas langsung atau anafilaktik.Reaksi ini
berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan bronkopulmonari, dan
saluran gastrointestinal.Reaksi ini dapat mengakibatkan gejala yang beragam,
mulai dari ketidaknyamanan kecil hingga kematian.Waktu reaksi berkisar antara
15-30 menit setelah terpapar antigen, namun terkadang juga dapat mengalami
keterlambatan awal hingga 10-12 jam.Hipersensitivitas tipe I diperantarai
oleh imunoglobulin E (IgE).
Komponen seluler utama pada reaksi ini adalah mastosit atau basofil.Reaksi
ini diperkuat dan dipengaruhi oleh keping darah, neutrofil, dan eosinofil.Uji
diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas tipe I adalah
tes kulit (tusukan dan intradermal) dan ELISA untuk mengukur IgE total dan
antibodi IgE spesifik untuk melawan alergen (antigen tertentu penyebab alergi)
yang dicurigai. Peningkatan kadar IgE merupakan salah satu penanda terjadinya
alergi akibat hipersensitivitas pada bagian yang tidak terpapar langsung oleh
alergen). Namun, peningkatan IgE juga dapat dikarenakan beberapa penyakit non-
atopik seperti infeksi cacing, mieloma, dll.
Pengobatan yang dapat ditempuh untuk mengatasi hipersensitivitas tipe I
adalah menggunakan anti-histamin untuk memblokir reseptor histamin,
penggunaan Imunoglobulin G (IgG), hyposensitization (imunoterapi
atau desensitization) untuk beberapa alergi tertentu.

2. Tipe II : reaksi sitotoksik


Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa imunoglobulin
G (IgG) dan imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel
dan matriks ekstraseluler. Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau
jaringan yang langsung berhubungan dengan antigen tersebut. Pada umumnya,

4
antibodi yang langsung berinteraksi dengan antigen permukaan sel akan bersifat
patogenik dan menimbulkan kerusakan pada target sel. Hipersensitivitas dapat
melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang) yang berikatan dengan antibodi
sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan. Beberapa tipe dari
hipersensitivitas tipe II adalah:
a.  Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel epidermal).
b. Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang dapat
menempel pada permukaan sel darah merah dan berperan seperti hapten untuk
produksi antibodi kemudian berikatan dengan permukaan sel darah merah dan
menyebabkan lisis sel darah merah), dan
c. Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran permukaan glomerulus
sehingga menyebabkan kerusakan ginjal).

3. Tipe III : reaksi imun kompleks


Di sini antibodi berikatan dengan antigen dan komplemen membentuk
kompleks imun.Keadaan ini menimbulkan neurotrophichemotactic factor yang
dapat menyebabkan terjadinya peradangan atau kerusakan lokal. Pada umumnya
terjadi pada pembuluh darah kecil. Pengejawantahannya di kornea dapat berupa
keratitis herpes simpleks, keratitis karena bakteri. (stafilokok, pseudomonas) dan
jamur. Reaksi demikian juga terjadi pada keratitis Herpes simpleks.

4. Tipe IV : Reaksi tipe lambat


sedangkan pada tipe IV yang berperan adalah limfosit T atau dikenal sebagai
imunitas seluler. Limfosit T peka (sensitized T lymphocyte) bereaksi dengan
antigen, dan menyebabkan terlepasnya mediator (limfokin) yang jumpai pada
reaksi penolakan pasca keratoplasti, keraton- jungtivitis flikten, keratitis Herpes
simpleks dan keratitis diskiformis.

D. MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan gejala utama pada reaksi anafilaktik dapat digolongkan menjadi reaksi
sistemik yang ringan, sedang dan berat.
1. Ringan : Reaksi sistemik yang ringan terdiri dari rasa kesemutan serta hangat
pada bagian perifer dan dapat disertai dengan perasaan penuh dalam mulut serta
tenggorokan. Kongesti nasal, pembengkakan periorbital, pruritus, bersin-bersin

5
dan mata berair dapat terjadi. Awitan gejala dimulai dalam waktu 2 jam pertama
sesudah kontak.
2. Sedang : Reaksi sistemik yang sedang dapat mencakup salah satu gejala diatas
disamping gejala flushing, rasa hangat, cemas, dan gatal-gatal. Reaksi yang lebih
serius berupa bronkospasme dan edema saluran pernafasan atau laring dengan
dispnea, batuk serta mengi. Awitan gejala sama seperti reaksi yang ringan.
3. Berat : Reaksi sistemik yang berat memiliki onset mendadak dengan tanda-tanda
serta gejala yang sama seperti diuraikan di atas dan berjalan dengan cepat hingga
terjadi bronkospasme, edema laring, dispnea berat serta sianosis. Disfagia
(kesulitan menelan), kram abdomen, vomitus, diare, dan serangan kejang-kejang
dapat terjadi. Kadang-kadang timbul henti jantung

E. PATOFISIOLOGI
Oleh Coomb dan Gell (1963), anafilaksis dikelompokkan dalam hipersensitivitas
tipe 1 atau reaksi tipe segera (Immediate type reaction).
Mekanisme anafilaksis melalui beberapa fase :
1. Fase Sensitisasi
Yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E sampai diikatnya
oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Alergen yang masuk
lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan di tangkap oleh Makrofag.
Makrofag segera mempresen-tasikan antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana
ia akan mensekresikan sitokin (IL-4, IL-13) yang menginduksi Limfosit B
berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi
Immunoglobulin E (Ig E) spesifik untuk antigen tersebut. Ig E ini kemudian
terikat pada receptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.
2. Fase Aktivasi
Yaitu waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang sama.
Mastosit dan Basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan
reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke
dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu
terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin,
serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang di sebut
dengan istilah Preformed mediators.Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi
asam arakidonat dari membran sel yang akan menghasilkan Leukotrien (LT) dan
6
Prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut
Newly formed mediators.
3. Fase Efektor
Adalah waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek
mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada
organ organ tertentu. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan
permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi mukus dan
vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan Bradikinin
menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet activating factor (PAF) berefek
bronchospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi
trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil.
Prostaglandin yang dihasilkan menyebabkan bronchokonstriksi, demikian juga
dengan Leukotrien.
Secara ringkas, berbagai senyawa kemotaksis, vasoaktif, dan bronkospasme
memerantai reaksi hipersensitivitas tipe 1. Beberapa senyawa ini dilepaskan
secara cepat dari sel mast yang tersensitasi dan bertanggung jawab terhadap reaksi
segera yang hebat yang berhubungan dengan kondisi seperti anafilaksis sistemik.
Senyawa lain, seperti sitokin, bertanggung jawab terhadap reaksi fase lambat,
termasuk rekrutmen sel radang. Sel radang yang direkrut secara sekunder tidak
hanya melepaskan mediator tambahan, tetapi juga menyebabkan kerusakan epitel
setempat.

7
F. PATHWAY

8
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. RAST (Radio Allergo Sorbent Test) atau ELISA (Enzym Linked
Immunosorbent Assay test )
Pemeriksaan yang lebih bermakna yaitu IgE spesifik, namun memerlukan
biaya yang mahal. Tes ini untuk mengetahui alergi terhadap alergen hirup dan
makanan. Tes ini memerlukan sampel serum darah sebanyak 2 cc. Lalu serum
darah tersebut diproses dengan mesin komputerisasi khusus, hasilnya dapat
diketahui setelah 4 jam.
Kelebihan tes ini : dapat dilakukan pada usia berapapun, tidak dipengaruhi oleh
obat-obatan.

2. Skin Prick Test (Tes tusuk kulit)


Tes ini untuk memeriksa alergi terhadap alergen hirup dan makanan, misalnya 
debu, tungau debu, serpih kulit binatang, udang, kepiting dan lain-lain. Tes ini
dilakukan di kulit lengan bawah sisi dalam, lalu alergen yang diuji ditusukkan pada
kulit dengan menggunakan jarum khusus (panjang mata jarum 2 mm), jadi tidak
menimbulkan luka, berdarah di kulit. Hasilnya dapat segera diketahui dalam waktu
30 menit Bila positif alergi terhadap alergen tertentu akan timbul bentol merah
gatal.Syarat tes ini :
a. Pasien harus dalam  keadaan sehat dan bebas obat yang mengandung
antihistamin (obat anti alergi) selama 3 – 7 hari, tergantung jenis obatnya.
b.  Umur yang di anjurkan 4 – 50 tahun.

3. Skin Test (Tes kulit)


Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang disuntikkan.
Dilakukan di kulit lengan bawah dengan cara menyuntikkan obat yang akan di tes.
Hasil tes yang positif menunjukkan adanya reaksi hipersensitivitas yang segera
pada individu tersebut, atau dengan kata lain pada epikutan individu tersebut
terdapat kompleks IgE mast.

4. Patch Test (Tes Tempel)


Tes ini untuk mengetahui alergi kontak terhadap bahan kimia, pada penyakit
dermatitis atau eksim. Tes ini dilakukan di kulit punggung. Hasil tes ini baru dapat
dibaca setelah 48 jam. Bila positif terhadap bahan kimia tertentu, akan timbul
bercak kemerahan dan melenting pada kulit. Syarat tes ini :

9
a. Dalam 48 jam, pasien tidak boleh melakukan aktivitas yang berkeringat,
mandi, posisi tidur tertelungkup, punggung tidak boleh bergesekan.
b. 2 hari sebelum tes, tidak boleh minum obat yang mengandung steroid atau anti
bengkak. Daerah pungung harus bebas dari obat oles, krim atau salep.
c. Hasil tes baru dapat dibaca setelah 15 menit. Bila positif akan timbul bentol,
merah, gatal.
5. Tes Provokasi
Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang diminum,
makanan, dapat juga untuk alergen hirup, contohnya debu. Tes provokasi untuk
alergen hirup dinamakan tes provokasi bronkial. Tes ini digunakan untuk penyakit
asma dan pilek alergi. Tes provokasi bronkial dan makanan sudah jarang dipakai,
karena tidak nyaman untuk pasien dan berisiko tinggi terjadinya serangan asma dan
syok.

6. Uji gores (scratch test)


Merupakan uji yang membawa resiko yang relatif rendah, namun reaksi alergi
sistemik telah dilaporkan. Tes ini dilakukan diperkutan.

7.  Uji intrakutan atau  intradermal yang tunggal atau berseri (skin end-point
titration/ SET)
Memiliki sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan tes kulit cukit.
SET (Skin End Point Titration) merupakan pengembangan larutan tunggal
dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai
konsentrasi. Selain dapat mengetahui alergen penyebab, dapat juga menentukan
derajat alergi serta dosis awal untuk immunoterapi. Uji cukit paling sesuai karena
mudah dilakukan dan dapat ditoleransi oleh sebagian penderita termasuk anak,
meskipun uji intradermal (SET) akan lebih ideal.
8. Hitung eosinofil darah tepi dapat normal atau meningkat, demikian halnya dengan
IgE total sering kali menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan ini berguna untuk
prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan
derajat alergi yang tinggi.
9. Pemeriksaan lain seperti analisa gas darah, elektrolit, dan gula darah, tes fungsi
hati,tes fungsi ginjal, feses lengkap, elektrokardiografi, rontgen thorak, dan lain-
lain.

10
I. KOMPLIKASI
1) Eritroderma eksfoliativa sekunder
Eritroderma ( dermatitis eksfoliativa ) adalah kelainan kulit yang ditandai
dengan adanya eritema seluruh / hampir seluruh tubuh, biasanya disertai skuama
(Arief Mansjoer , 2000 : 121). Etiologi eritroderma eksfoliativa sekunder :
a. Akibat penggunaan obat secara sistemik yaitu penicillin dan derivatnya ,
sulfonamide , analgetik / antipiretik dan ttetrasiklin.
b. Meluasnya dermatosis ke seluruh tubuh , dapat terjadi pada liken planus ,
psoriasis , pitiriasis rubra pilaris , pemflagus foliaseus , dermatitis seboroik
dan dermatitis atopik.
c. Penyakit sistemik seperti Limfoblastoma.(Arief Mansjoer , 2000 : 121 :
Rusepno Hasan 2005 : 239)
2) Abses limfedenopati
Limfadenopati merujuk kepada ketidaknormalan kelenjar getah bening dalam
ukuran, konsistensi ataupun jumlahnya. Limfadenopati dapat timbul setelah
pemakaian obat-obatan seperti fenitoin dan isoniazid. Obat-obatan lainnya seperti
allupurinol, atenolol, captopril, carbamazepine, cefalosporin, emas, hidralazine,
penicilin, pirimetamine, quinidine, sulfonamida, sulindac). Pembesaran karena
obat umumnya seluruh tubuh (generalisata).
3) Furunkulosis
Furunkel adalah peradangan pada folikel rambut dan jaringan yang
disekitarnya, yang disebabkan oleh Staphylococcuc aureus. Apabila
furunkelnya lebihdari satu maka disebut furunkolosis. Faktor predisposisi:
a. Hygiene yang tidak baik
b. Diabetes mellitus
c. Kegemukan
d. Sindrom hiper IgE
e. Carier kronik S.aureus (hidung)
f.  Gangguan kemotaktik
g.  Ada penyakit yang mendasari, seperti HIV
h. Sebagai komplikasi dari dermatitis atopi, ekscoriasi, scabies atau pedikulosis
(adanya lesi pada kulit atau kulit utuh bisa juga karena garukan atau sering
bergesekan)

11
4) Rinitis
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen
yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan
ulangan dengan alergen spesifik tersebut (von Pirquet,1986).

5) Stomatitis
Stomatitis Aphtous Reccurent atau yang di kalangan awam disebut sariawan
adalah luka yang terbatas pada jaringan lunak rongga mulut. Hingga kini,
penyebab dari sariawan ini belum dipastikan, tetapi ada faktor-faktor yang diduga
kuat menjadi pemicu atau pencetusnya. Beberapa diantaranya adalah:
a. Trauma pada jaringan lunak mulut (selain gigi), misal tergigit, atau ada gigi
yang posisinya di luar lengkung rahang yang normal sehingga menyebabkan
jaringan lunak selalu tergesek/tergigit pada saat makan/mengunyah
b.  Kekurangan nutrisi,terutama vitamin B12, asam folat dan zat besi.
c.  Stress
d. Gangguan hormonal, seperti pada saat wanita akan memasuki masa
menstruasi di mana terjadi perubahan hormonal sehingga lebih rentan
terhadap iritasi
e. Gangguan autoimun / kekebalan tubuh, pada beberapa kasus penderita
memiliki respon imun yang abnormal terhadap jaringan mukosanya sendiri.
f. Penggunaan gigi tiruan yang tidak pas atau ada bagian dari gigi tiruan yang
mengiritasi jaringan lunak
g. Pada beberapa orang, sariawan dapat disebabkan karena hipersensitivitas
terhadap rangsangan antigenik tertentu terutama makanan.
6) Konjungtivitis
Konjungtivitis adalah radang atau infeksi pada konjungtiva dimana batasnya
dari kelopak mata hingga sebagian bola mata.Etiologi:
a.  Infeksi oleh virus
b.  Reaksi alergi terhadap debu, serbuk sari, bulu binatang
c. Iritasi oleh angin, debu, asap dan polusi lainnya
d. Kelainan saluran air mata, dll.
7) Kolitis Bronkolitis
8) Hepatomegali
12
J. PENATALAKSANAAN
a. Penatalaksanaan farmakologis
1. Adrenalin
Adrenalin termasuk golongan adrenergik yang akan meningkatkan
konsentrasi cAMP dalam mastosit sehingga terjadi hambatan degranulasi. Selain
itu adrenalin mempunyai manfaat terhadap sel sasaran, yaitu:
a) Perangsangan terhadap pembuluh darah kulit, selaput lendir dan kelenjar liur.
b) Mengendurkan otot polos usus, bronkhus dan pembuluh darah otot rangka.
c) Perangsangan jantung dengan akibat peningkatan denyut jantung, kekuatan
kontraksinya dan tekanan darah.
d) Perangsangan pusat-pusat pengaturan di otak, misalnya pernafasan.

Semua manfaat itu akan dapat mengurangi gejala-gejala reaksi anafilaktik.


Cara pemberiannya yaitu dengan memasukkan larutan adrenalin (epinefrin)
1/1000 dalam air sebanyak 0,01 ml/kgBB, maksimum 0,5 ml (larutan 1:1000),
diberikan secara intramuskular atau subkutan pada lengan atas atau paha. Kalau
anafilaksis terjadi karena suntikan, berikan suntikan adrenalin kedua 0,1-0,3 ml
(larutan 1:1000) secara subkutan pada daerah suntikan untuk mengurangi absorbsi
antigen. Dosis adrenalin pertama dapat diulangi dengan jarak waktu 15- 20 menit
bila diperlukan. Kalau terdapat syok atau kolaps vaskular atau tidak berespons
dengan medikasi intramuskular, dapat diberikan adrenalin 0,1 ml/kgBB  dalam 10
ml NaCl fisiologik (larutan 1:10.000) secara intravena dengan kecepatan lambat
(1-2 menit) serta dapat diulang dalam 5-10 menit.

2. Difenhidramin
Difenhidramin merupakan kelompok antihistamin yang bekerja menghambat
histamin yang dihasilkan oleh sel mastosit. Difenhidramin dapat diberikan secara
intravena (kecepatan lambat selama 5 – 10 menit), intramuskular atau oral (1-2
mg/kgBB) sampai maksimum 50 mg sebagai dosis tunggal, tergantung dari
beratnya reaksi. Yang perlu diingat adalah bahwa difenhidramin bukan merupakan
substitusi adrenalin. Difenhidramin diteruskan secara oral setiap 6 jam selama 24
jam untuk mencegah reaksi berulang. Kalau penderita tidak memberikan respon
dengan tindakan di atas, jadi penderita masih tetap hipotensif atau tetap dengan

13
kesulitan bernapas, maka penderita perlu dirawat di unit perawatan intensif dan
pengobatan diteruskan dengan langkah berikut:
Cairan intravena
Untuk mengatasi syok dapat diberikan cairan NaCl fisiologis dan glukosa 5%
dengan perbandingan 1 : 4 selama 1-2 jam pertama atau sampai syok teratasi. Bila
syok sudah teratasi, cairan tersebut diteruskan dengan dosis sesuai dengan berat
badan.

3. Aminofilin
Apabila bronkospasme menetap, diberikan aminofilin intravena 4-7
mg/kgBB yang dilarutkan dalam cairan intravena (dekstrosa 5%) dengan jumlah
paling sedikit sama. Campuran ini diberikan intravena secara lambat (15-20 menit).
Tergantung dari tingkat bronkospasme, aminofilin dapat diteruskan melalui infus
dengan kecepatan 0,2-1,2 mg/kgBB atau 4-5 mg/kgBB intravena selama 20-30
menit setiap 6 jam. Bila memungkinkan kadar aminofilin serum harus dimonitor.

4. Teofilin
Teofilin termasuk kelompok xantin yang mempunyai manfaat mengatasi
reaksi anafilaktis. Mekanisme kerjanya melalui sel mastosit dan sel sasarannya
seperti halnya adrenalin. Teofilin menghambat kerja enzim fosfodiesterase yang
akan merusak cAMP, sehingga kadar cAMP akan meningkat akibatnya degranulasi
mestosit dihambat. Selain itu teofilin akan bekerja pada pusat pernafasan dan otot-
otot bronkhus, terlebih saat otot-otot brunkhus dalam keadaan kontraksi. Semua hal
itu akan mengurangi gejala-gejala reaksi anafilaktik.

5. Vasopresor
Bila cairan intravena saja tidak dapat mengontrol tekanan darah, berikan
metaraminol bitartrat (Aramine) 0,0l mg/kgBB (maksimum 5 mg) sebagai suntikan
tunggal secara lambat dengan memonitor aritmia jantung, bila terjadi aritmia
jantung, pengobatan dihentikan segera. Dosis ini dapat diulangi bila diperlukan,
untuk menjaga tekanan darah. Dapat juga diberikan vasopresor lain seperti
levaterenol bitartrat (Levophed) 1 mg dalam 250 ml cairan intravena dengan
kecepatan 0,5 ml/menit atau dopamin (Intropine) yang diberikan bersama infus,
dengan kecepatan 0,3-1,2 mg/kgBB/jam.

14
6. Kortikosteroid
Kortikosteroid merupakan kelompok obat-obatan yang paling banyak dipakai
pada penyakit radang dan penyakit imunologik. Walaupun pada beberapa binatang,
pemberiannya menimbulkan kerusakan pada jaringan limfoid, namun pada manusia
hal tersebut tidak terjadi. Kortikosteroid mempunyai efek menghambat radang,
disamping menghambat respon imun dan menstabilkan dinding sel mastosit.
Dengan menghambat respons imun dapat menghambat sintesis IgE.Kortikosteroid
tidak menolong pada pelaksanaan akut suatu reaksi anafilaksis. Pada reaksi
anafilaksis sedang dan berat kortikosteroid harus diberikan. Kortikosteroid berguna
untuk mencegah gejala yang lama. Mula-mula diberikan hidrokortison intravena 7-
10 mg/kgBB lalu diteruskan dengan 5 mg/kgBB setiap 6 jam dengan bolus infus.
Pengobatan biasanya dapat dihentikan sesudah 2-3 hari.
Tabel obat-obatan yang digunakan :
No Nama obat Indikasi Kontraindikasi
1. Pehacain Anestesi lokal Inflamasi lokal atau sepsis,
septikemia, tirotoksikosis,
hipersensitif terhadap
anastesi lokal tipe amida

2. Phaminov Untuk meredakan dan Hipersensitivitas terhadap


mengatasi obstruksi saluran derivat xantin
napas yang berhubungan
dengan asma bronkial dan
penyakit paru kronik lain,
seperti emfisema dan
bronkitis kronis
3. Teosal Bronkitis asmatik, bronkitis Hipertiroid, tirotoksikosis
akut atau kronis, emfisema
pulmonar
4. Hydrocortisone Dermatitis atopik, kontak, Penyakit virus, infeksi
alergi; pruritus anogenital, jamur dan bakteri pada
neurodermatitis kulit, akne, dermatitis
perioral, laktasi
b. Penatalaksanaan non farmakologis

15
1. Evaluasi segera. Yang penting dievaluasi adalah keadaan jalan napas dan
jantung. Kalau pasien mengalami henti jantung-paru harus dilakukan resusitasi
kardiopulmoner.
2. Intubasi dan trakeostomi. Intubasi endotrakeal adalah pemasangan selang
melalui hidung atau mulut ke saluran pernafasan, sedangkan trakeostomi adalah
pembuatan lubang di trakea untuk membantu pernafasan. Intubasi atau
trakeostomi perlu dilakukan kalau terdapat sumbatan jalan napas bagian atas
yang disebabkan oleh edema.
3. Turniket. Kalau anafilaksis terjadi karena suntikan pada ekstremitas atau
sengatan/gigitan hewan berbisa maka dipasang turniket proksimal dari daerah
suntikan atau tempat gigitan tersebut. Setiap 10 menit turniket ini dilonggarkan
selama 1-2 menit.
4. Oksigen: Oksigen harus diberikan kepada penderita penderita yang mengalami
sianosis, dispneu yang jelas atau penderita dengan mengi. Oksigen dengan aliran
sedang-tinggi (5-10 liter/menit) diberikan melalui masker atau kateter hidung. 
5. Terapi desentisasi: Berupa penyuntikan berulang alergen (yang dapat
mensentisasi pasien) dalam jumlah yang sangat kecil dapat mendorong pasien
membentuk antibodi IgG terhadap alergen. Antibodi ini dapat bekerja sebagai
antibody penghambat (blocking antibodies). Sewaktu pasien tersebut kembali
terpajan ke alergen , maka antibodi penghambat dapat berikatan dengan alergen
mendahului antibodi IgE. Karena pengikatan IgG tidak menyebabkan
degranulasi sel mast yang berlebihan, maka gejala alergi dapat dikurangi.
6. Terapi probiotik (preparat sel mikroba atau komponen mikroba yang dapat
mempertahankan kesehatan melalui kegiatan yang dilakukan dalam flora usus).
Salah satu pendekatan terbaru yang digunakan dalam penatalaksanaan alergi
makanan.
7. Diet: Dalam hal ini yaitu dengan membatasi mengkonsumsi makanan yang
menyebabkan alergen.
8. Pengobatan suportif: Sesudah keadaan stabil, penderita harus tetap mendapat
pengobatan suportif dengan obat dan cairan selama diperlukan untuk membantu
memperbaiki fungsi vital. Tergantung dari beratnya reaksi, pengobatan suportif
ini dapat diberikan beberapa jam sampai beberapa hari.

Bila terjadi komplikasi syok anafilaktik, maka tindakan yang perlu dilakukan, adalah:
16
1. Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari
kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki
curah jantung dan menaikkan tekanan darah.
2. Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu:
a)  Airway (membuka jalan napas). Jalan napas harus dijaga tetap bebas, tidak ada
sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan
leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu
dengan melakukan ekstensi kepala, tarik mandibula ke depan, dan buka mulut.
b) Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada
tanda-tanda bernapas, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada
syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat mengakibatkan terjadinya
obstruksi jalan napas total atau parsial. Penderita yang mengalami sumbatan
jalan napas parsial, selain ditolong dengan obat-obatan, juga harus diberikan
bantuan napas dan oksigen. Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus
segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi,
atau trakeotomi.
c) Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis,
atau a. femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.

1) anafilaksis. Orang dengan tes kulit negatif dan mempunyai riwayat alergi positif
mempunyai kemungkinan reaksi sebesar 1-3% dibandingkan dengan
kemungkinan terjadinya reaksi 60%, bila tes kulit positif.
2) Bagi pasien yang memiliki predisposisi untuk terjadinya reaksi anafilaksis harus
mengenakan alat identifikasi yang berkaitan dengan alergi obat, seperti
gelang Medic-Alert.
3) Pasien yang alergi terhadap bisa serangga mungkin memerlukan imunoterapi
yang digunakan sebagai terapi pengendalian dan bukan penyembuhan
4) Dilakukan Desensitisasi (usaha mengurangkan atau menghilangkan alergi thd
suatu zat):
5) serangan serangga atau beberapa jenis binatang lain sudah dapat dicegah dengan
cara desensitisasi yang berupa penyuntikan berulang-ulang dari dosis rendah
sampai dianggap cukup dalam jangka waktu yang cukup lama
6) Pasien diabetes yang alergi insulin dan sensitif terhadap penisilin memerlukan
desensitisasi
17
7) Desensitisasi alergen spesifik adalah pencegahan untuk kebutuhan jangka panjang
8) Encerkan obat bila pemberian dengan SC/ID/IM/IV dan observasi selama
pemberian

BAB III
ASKEP HIPERSENSITIVITAS
18
A. PENGKAJIAN
1. Identitas klien
Meliputi nama, umur,jenis kelamin,pendidikan, alamat, pekerjaaan, agama, suku
bangsa, tanggal dan jam MRS, no register dan diagnose medis.
2. Keluhan utama
Biasanya terdapat kemerahan dan bengkak pada kulit dan terasa gatal.
3.  Riwayat penyakit sekarang
Pasien mengeluh nyeri perut, sesak nafas, demam, bibirnya bengkak, timbul
kemerahan pada kulit, mual muntah dan terasa gatal.
4. Riwayat penyakit dahulu
Mengkaji apakah sebelumnya pasien pernah mengalami nyeri perut,sesak nafas,
demam, bibirnya bengkak, tibul kemerahan pada kulit, mual muntah, dan terasa
gatal dan pernah menjalani perawatan di RS atau pengobatan tertentu.
5.  Riwayat penyakit keluarga
Mengkaji apakah dalam keluarga pasien ada/tidak yang mengalami penyakit yang
sama.
6. Riwayat psikososial
Mengkaji orang terdekat dengan pasien, interaksi dalam keluarga, dampak
penyakit pasien terhadap keluarga, masalah yang mempengaruhi pasien,
mekanisme koping terhadap stres, persepsi pasien terhadap penyakitnya, tugas
perkembangan menurut usia saat ini, dan sistem nilai kepercayaan.
7. Pemeriksaan fisik
a. kulit, seluruh kulit harus diperhatikan apakah ada peradangan kronik, bekas
garukan terutama daerah pipi dan lipatan kulit daerah fleksor.
b. Mata, diperiksa terhadap hiperemia, edema, sekret mata yang berlebihan dan
katarak yang sering dihubungkan dengan penyakit atropi.
c.  Telinga, telinga tengah dapat merupakan penyulit rinitis alergi.
d. Hidung, beberapa tanda yang sudah baku misal: salute, allergic crease,
allergic shiners, allergic facies.
e. Mulut dan orofaring pada rinitis alergik, sering terlihat mukosa orofaring
kemerahan, edema. Palatum yang cekung kedalam, dagu yang kecil serta
tulang maksila yang menonjol kadang-kadang disebabkan alergi kronik.

19
f. Dada, diperiksa secara infeksi, palpasi, perkusi, auskultasi. Pada waktu
serangan asma kelainan dapat berupa hiperinflasi, penggunaan otot bantu
pernafasan.
g. Periksa tanda-tanda vital terutama tekanan darah.
8. Pemeriksaan Diagnostik.
a. Pemeriksaan pada jumlah leukosit dan hitung jenis sel.
b. Pemeriksaan sel eosinofil pada sekret konjungtiva, hidung, sputum.
c. Pemeriksaan serum Ig E total dan Ig G spesifik.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1) Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan  terpajan allergen
2) Hipertermi berhubungan dengan  proses inflamasi
3) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan infalamasi dermal,intrademal
sekunder
4) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan  cairan berlebih
5) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi ( allergen,ex: makanan).

C. INTERVENSI
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan  terpajan allergen
Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan selama 1x15 menit. diharapkan
pasien menunjukkan pola nafas efektif dengan frekuensi dan kedalaman rentang
normal.
Kriteria hasil :
a. Frekuensi pernapasan pasien normal (16-20 kali per menit)
b. Pasien tidak merasa sesak lagi
c. Pasien tidak tampak memakai alat bantu pernapasan
d. Tidak terdapat tanda-tanda sianosis

20
Intervensi Rasional
1. Kaji frekuensi, kedalaman Kecepatan biasanya meningkat.
2. pernapasan dan ekspansi paru. Catat Dispenea dan terjadi peningakatan
upaya  pernapasan, termasuk kerja napas. Kedalaman pernapasan
3. pengguanaan otot bantu/ pelebaran berpariasi tergantung derajat gagal
masal. napas. Ekspansi dada terbatas yang
4. berhubungan dengan atelektasis atau
nyeri dada pleuritik.
5. Auskultasi bunyi napas dan catat Bunyi napas menurun/ tak ada bila
adanya bunyi napas adventisius jalan napas obstruksi sekunder
seperti krekels, mengi, gesekan terhadap pendarahan, bekuan/ kolaps
pleura. jalan napas kecil (atelektasis). Ronci
dan mengi menyertai obstruksi jalan
napas/ kegagalan pernapasan.

Tinggikan kepala dan bantu Duduk tinggi memungkinkan ekspansi


mengubah posisi. Bangunkan pasien paru dan memudahkan pernapasan.
turun dari tempat tidur dan Pengubahan posisi dan ambulansi
ambulansi sesegera mungkin. meningkatkan pengisian  udara
segmen paru berbeda sehingga
memperbaiki difusi gas.

Observasi pola batuk dan karakter Kongesti alveolar mengakibatkan


secret. batuk kering atau iritasi. Sputum
berdarah dapat diakibatkan oleh
kerusakan jaringan atau antikoagulan
berlebihan.
Berikan oksigen tambahan Memaksimalkan bernapas dan
menurunkan kerja napas
Berikan humidifikasi tambahan, mis: Memberikan kelembaban pada
nebulizer ultrasonic membran mukosa dan membantu
pengenceran secret untuk
memudahkan pembersihan.

2. Hipertermi berhubungan dengan proses  inflamasi

21
Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan
suhu tubuh pasien menurun.
Kriteria hasil :
a. Suhu tubuh pasien kembali normal ( 36,5 oC -37,5 oC)
b. Bibir pasien tidak bengkak lagi
Intervensi Rasional
Pantau suhu pasien ( derajat dan Suhu 38,9-41,1C menunjukkan proses
pola ) penyakit infeksius akut.

Pantau suhu lingkungan, batasi atau Suhu ruangan/jumlah selimut harus


tambahkan linen tempat tidur sesuai diubah untuk mempertahankan
indikasi mendekati normal

Berikan kompres mandi hangat; Dapat membantu mengurangi demam


hindari penggunaan alcohol

3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan infalamasi dermal,


intrademal sekunder
Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan selama  2 x24 jam diharapkan
pasien tidak akan mengalami kerusakan integritas kulit lebih parah.
Kriteria hasil :
a. Tidak terdapat kemerahan,bentol-bentol dan odema
b. Tidak terdapat tanda-tanda urtikaria,pruritus dan angioderma
c. Kerusakan integritas kulit berkurang
Intervensi Rasional
Lihat kulit, adanya edema, area Kulit berisiko karena gangguan sirkulasi
sirkulasinya terganggu atau perifer
pigmentasi

Hindari obat intramaskular Edema interstisial dan gangguan


sirkulasi memperlambat absorpsi obat
dan predisposisi untuk kerusakan kulit

Beritahu pasien untuk tidak Mencegah terjadinya luka akibat

22
menggaruk area yang gatal garukan

4. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan berlebih


Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan selama 1 x 24 jam diharapkan
kekurangan volume cairan pada pasien dapat teratasi.
Kriteria hasil :
a. Pasien tidak mengalami diare lagi
b. Pasien tidak mengalami mual dan muntah
c. Tidak terdapat tanda-tanda dehidrasi
d. Turgor kulit kembali normal

Intervensi Rasional
Ukur dan pantau TTV, contoh Peningkatan suhu atau memanjangnya
peningakatan suhu/ demam demam meningkatkan laju metabolic
memanjang, takikardia, hipotensi dan kehilangan cairan melalui
ortostatik. evaporasi. TD ortostatik berubah dan
peningkatan takikardia menunjukkan
kekurangan cairan sistemik.
Kaji turgor kulit, kelembaban Indicator langsung keadekuatan volume
membrane mukosa (bibir, lidah). cairan, meskipun membrane  mukosa
mulut mungkin kering karena napas
mulut dan oksigen.
Monitor intake dan output  cairan Mengetahui keseimbangan cairan

Beri obat sesuai indikasi misalnya Berguna menurunkan kehilangan cairan


antipiretik, antiemetic.

Berikan cairan tambahan IV sesuai pada adanya penurunan masukan/


keperluan banyak kehilangan, penggunaan
parenteral dapat memperbaiki atau
mencegah kekurangan.

5. Nyeri akut berhubungan dengan  agen cedera biologi ( alergen,ex: makanan).

23
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam diharapkan
nyeri pasien teratasi
kriteria hasil :
a. Pasien menyatakan dan menunjukkan nyerinya hilang
b. Wajah tidak meringis
c. Skala nyeri 0
d. Hasil pengukuran TTV dalam batas normal, TTV normal yaitu :
1) Tekanan darah              : 130-90/90-60 mmHg
2) Nadi                             : 60-100 kali/menit
3) Pernapasan                   : 16-20 kali/menit
4) Suhu                             : 36-37oC

Intervensi Rasional
Ukur TTV untuk mengetahui kondisi umum pasien

Kaji tingkat nyeri (PQRST) Untuk mengetahui faktor pencetus


nyeri
Berikan posisi yang nyaman sesuai memberikan rasa nyaman kepada
dengan kebutuhan pasien

Ciptakan suasana yang tenang membantu pasien lebih relaks

 Bantu pasien melakukan teknik membantu dalam penurunan


relaksasi persepsi/respon nyeri. Memberikan
kontrol situasi meningkatkan perilaku
positif.

Observasi gejala-gejala yang tanda-tanda tersebut menunjukkan


berhubungan, seperti dyspnea, mual gejala nyeri yang dialami pasien.
muntah, palpitasi, keinginan berkemih.

Kolaborasi dengan dokter dalam Analgesik dapat meredakan nyeri yang


pemberian analgesik dirasakan oleh pasien.

24
D. IMPLEMENTASI
Implementasi yang dilakukan berdasarkan rencana keperawatan yang telah dibuat
dan disesuaikan dengan kondisi klien (Colvy, Jack, 2010).

E. EVALUASI
Evaluasi adalah tujuan asuhan keperawatan yang menentukan apakah tujuan ini
telah terlaksana, setelah menerapkan suatu rencana tindakan untuk meningkatkan
kualitas keperawatan.

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh
seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-
bahan yang umumnya nonimunogenik. Dengan kata lain, tubuh manusia bereaksi
berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing atau
berbahaya. Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut allergen.
Reaksi hipersentsitivitas memiliki 4 tipe reaksi yaitu : Tipe I, tipe II, tipe III, tipe
IV.
25
B. Saran
Dengan penjelasan mengenai Konsep Hipersensitivitas serta Makalah ini
diharapkan kepada pembaca untuk dapat memahami tentang Konsep
Hipersensitivitas serta ASKEPnya tersebut, sehingga pembaca dapat memperluas
pengetahuan serta dapat memahami apa saja yang berkaitan dengan hal tersebut,
serta bagi mahasiswa dapat menambah ilmu pengetahuannya mengenai Konsep
Hipersensitivitas serta ASKEPnya tersebut, dan diharapkan dapat menegakkan
asuhan keperawatan yang professional dan bersungguh-sungguh menjadi perawat
yang professional nantinya.

26
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, volume 3, Jakarta:
EGC.

Carpenito LD. 1995. Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinik. Jakarta: EGC.

Price & Wilson.2003. Patofisiologi konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.Vol 2. Edisi 6.


Jakarta: EGC.

27

Anda mungkin juga menyukai