Anda di halaman 1dari 32

PROPOSAL PENELITIAN

”PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA PADA KONSUMEN


TERHADAP PEREDARAN KOSMETIK ILEGAL”

Disusun dan dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian
Hukum

SITI KHODIJAH

NIM 1O1141

KELAS G

PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGRI GORONTALO

2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Negara Indonesia adalah Negara hukum (rechtstaat), tidak berdasarkan


atas kekuasaan belaka (maschtstaat), sebagai negara hukum sudah barang tentu
pelaksanaan kekuasaan negara harus selalu didasarkan kepada kententuan-
ketentuan yang berlaku dan berdasarkan hukum.

Negara hukum berarti hukum mempunyai suatu kekuasaan tertinggi


dalam negara. Dimana hukum hadir untuk menjadi pelindung masyarakat dan
negara yang dimana keadilan dan kepastian hukum itu sendiri harus berjalan
dengan seimbang agar tercapainya stabilitas hukum yang baik dalam berbangsa
dan bernegara. Hukum terbagi atas hukum tertulis dan hukum tidak tertulis yang
berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, bersifat mengikat bagi
semua penduduk.

Hal itu berarti bahwa negara, yang termasuk didalamnya pemerintah dan
lembaga-lembaga yang lain di dalam melaksanakan tindakan-tindakan apapun,
harus dilandasi oleh hukum atau harus dapat dipertanggung- jawabkan secara
hukum. Di dalam masyarakat terdapat berbagai macam kepentingan dimana
kepentingan bersama mengharuskan adanya ketertiban, keadilan serta kepastian
hukum dalam kehidupan masyarakat.

Kepentingan bersama dapat terwujud dalam kebutuhan kebutuhan dengan


aman, tentram dan damai maka diperlukan suatu tata. Tata yang berwujud aturan
yang menjadi pedoman bagi setiap tingkah laku manusia dalam pergaulan
hidupnya lazim disebut kaidah atau norma.

Fungsi norma adalah memberi petunjuk kepada manusia mengenai


bagaimana seseorang harus bertindak dalam masyarakat, serta perbuatan mana
yang harus dijalankan dan dihindari. Norma itu dapat dipertahankan dengan
sanksi-sanksi, yaitu ancaman hukuman terhadap siapa saja yang melanggarnya.
Sanksi merupakan suatu legitimasi pengukuh terhadap berlakunya norma tadi dan
merupakan reaksi terhadap perbuatan yang melanggar norma.1

Hukum perdata pada intinya merupakan hukum yang mengatur tentang


hubungan hukum antara orang perseorangan, badan hukum, baik mengenai
kecakapan seseorang dalam melakukan suatu perbuatan dalam lapangan hukum,
mengenai hal-hal yang berhubungan dengan kebendaan, mengenai hal-hal yang
berhubungan dengan perikatan maupun hal-hal yang berhubungan dengan
pembuktian melalui waktu atau kadaluwarsa.2

Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik
yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yan didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik
Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian bersama-sama
melalui perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha dalam berbagai bidang
ekonomi.3

Oleh karena istilah pelaku usaha yang dimaksudkan dalam UUPK


(Undang-Undang Perlindungan Konsumen) meliputi berbagai bentuk/jenis usaha,
maka sebaiknya ditentukan urutan-urutan yang seharusnya digugat oleh konsumen
manakala dirugikan oleh pelaku usaha. Urutan-urutan tersebut sebaiknya disusun
sebagai berikut:

1) yang pertama digugat adalah pelaku usaha yang membuat produk tersebut
jika berdomisili di dalam negeri dan domisilinya diketahui oleh konsumen
yang dirugikan;
2) apabila produk yang merugikan konsumen tersebut diproduksi di luar
negeri, maka yang digugat adalah importirnya, karena UUPK tidak
mencakup pelaku usaha di luar negeri; dan

1
Yulies Tiena Masriani. Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, hal. 3
2
Deddy Ismatullah, Pengantar Hukum Indonesia, Padang: CV Pustaka Setia, 2014, hal. 152
3
Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan hukum Bagi Konsumen Di Indonesia, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2013, hal. 23
3) apabila produsen maupun importir dari suatu produk tidak diketahui, maka
yang digugat adalah penjual dari siapa konsumen membeli barang
tersebut.4

Pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang saling memerlukan.
Pelaku usaha (produsen, dan/atau penjual barang dan jasa), pebisnis, perlu
menjual barang dan jasanya kepada konsumen. Konsumen memerlukan barang
dan jasa yang dihasilkan dan dijual oleh pelaku usaha guna memenuhi
keperluannya.5

Perlindungan terhadap konsumen kerap kali menjadi masalah dalam dunia


perdagangan, bisnis ataupun ekonomi, yang salah satunya ada dari akibat yang
ditimbulkan oleh para pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab. Keadaan yang
universal ini pada beberapa sisi menunjukkan adanya berbagai kelemahan pada
konsumen sehingga konsumen tidak mempunyai kedudukan yang “aman”.
Kerugian yang dialami oleh konsumen sendiri bukan hanya secara materil, tetapi
juga secara batin yang artinya langsung kepada diri konsumen sendiri. Misalnya
kerugian dari segi fisik yang ditimbulkan dari penggunaan suatu produk yang
mengandung bahan berbahaya. Hal inilah yang membuat terkadang hak-hak yang
seharusnya diperoleh oleh konsumen sesuai dengan pasal 4 UUPK menjadi tidak
terpenuhi.6

Pelaku usaha sebagai pihak yang dalam hal ini memperdagangkan atau
menjual suatu barang atau jasa memiliki tanggung jawab sebagaimana diatur
dalam pasal 7 UUPK harus dilakukan atau dilaksanakan melalui suatu perjanjian,
agar bisa menimbulkan keseimbangan kebutuhan oleh konsumen dalam hal
menjamin keamanan dan kenyamanan mengkonsumsi suatu barang dan atau jasa
dan juga bagi para pelaku usaha itu sendiri.

Namun perjanjian-perjanjian yang dilakukan antara para pihak dalam hal


ini pelaku usaha dan konumen, tidak selamanya dapat berjalan mulus dalam arti
4
Ibid.
5
Abdul Halim Barkatullah, Hukum Perlindungan Konsumen Kajian Teoritis dan Perkembangan
Pemikiran, Banjarmasin: FH Unlam Press, 2008, hal. 5
6
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hal. 5
masing-masing pihak puas, karena kadangkadang konsumen tidak menerima
barang atau jasa sesuai dengan harapannya7

Pada faktanya masih banyak saja pelaku usaha yang sama sekali tidak
mempedulikan kewajibannya sesuai dengan apa yang tertuang di dalam pasal 7
UUPK ini, hal ini disebabkan oleh adanya berbagai tuntutan dalam dunia
persaingan usaha yang membuat banyak dari mereka sebagai pelaku usaha yang
tidak ingin dirugikan dan pada akhirnya mereka akan menggunakan cara-cara
yang tidak baik agar dapat memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.

Penjualan kosmetik illegal di Kota Gorontalo pada sekarang ini sangat


marak terjadi di berbagai area-area penjualan kosmetik, baik di toko-toko ataupun
di pasar. Namun disamping beredarnya kosmetik illegal ini tidak luput dari
pengawasan dari lembaga terkait yang selalu melakukan pengawasan terhadap
setiap produksi makanan dan obat-obatan yang akan diedarkan atau
diperdagangkan kepada konsumen itu sendiri.

Balai Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) merupakan salah satu


lembaga yang berfungsi untuk melakukan pengawasan dan pengujian terhadap
setiap produksi makanan atau obat-obatan, yang akan diedarkan dan
diperdagangkan kepada mayarakat atau konsumen.

Namun pengawasan yang dilakukan oleh BPOM sendiri sampai sekarang


ini dapat dikatakan masih belum efektif atau masih belum adanya efek jera kepada
pelaku usaha tersebut. Hal ini dikarenakan kurang adanya kerjasama dari
masyarakat sebagai penopang dalam membantu terlaksananya pengawasan yang
menjadi tugas dari BPOM itu sendiri, dan juga peranan dari pelaku usaha dalam
menyadari apa yang menjadi tanggung jawabnya.

Walaupun tidak semua pelaku usaha melakukan hal yang menyimpang


dari aturan atau ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Undang-Undang, namun
jika melihat fakta yang terjadi di dalam lingkungan masyarakat, aturan atau
ketentuan ini meskipun sudah jelas keberadaanya, dan telah ada lembaga yang
7
Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, Cet, I, Jakarta:
PT. Rajawali Pers, 2011, hal. 1
mengawasi setiap produksi atau peredaran barang atau jasa yang diperdagangkan
oleh pelaku usaha, tapi tetap saja masih ada pelaku-pelaku usaha lainnya yang
nakal untuk tetap memproduksi, ataupun memperdagangkan barang atau jasa yang
tidak berdasar pada aturan atau ketentuan dimaksud.

Seiring dengan perkembangan zaman, dalam kehidupan masyarakat


modern khususnya kaum wanita mempunyai keinginan untuk tampil cantik. Hal
tersebut merupakan sesuatu yang wajar, tidak diherankan lagi banyak wanita rela
menghabiskan uangnya untuk pergi ke salon, ke klinik-klinik kecantikan ataupun
membeli kosmetik untuk memoles wajahnya agar terlihat cantik. Oleh karena itu,
banyak dari mereka yang memakai jalan alternatif untuk membeli suatu produk
tanpa memperhatikan produk kosmetik yang dibelinya tidak sesuai persyaratan
diantaranya tidak adanya nomor izin edar dari BPOM, tidak adanya label bahan
baku kosmetik, dan tidak adanya tanggal kadaluwarsa produk, serta tidak terdaftar
di BPOM.

Kosmetik tersebut mudah didapatkan dengan harga yang terjangkau


karena harganya yang murah, dan dapat dibeli dengan mudah sehingga kosmetik
tanpa nomor izin edar ini mudah dikonsumsi oleh masyarakat.

Ketidaktelitiannya konsumen dalam membeli kosmetik yang akan


digunakan bisa dijadikan suatu alasan bagi mereka sebagai pelaku usaha untuk
masih tetap menjual kosmetik tersebut. ini bisa menjadi salah satu faktor mengapa
produk kosmetik yang tidak memiliki izin edar dan mengandung bahan berbahaya
ini masih diminati oleh para wanita. Mereka umum nya langsung membeli produk
kosmetik tanpa pertimbangan terlebih dahulu mengingat produk yang dibeli
memberikan efek samping secara langsung.

Hal tersebut memungkinkan beredar luasnya kosmetik-kosmetik dalam


memenuhi kebutuhan pasar yang menjadi ladang bisnis untuk pelaku usaha, baik
kosmetik yang memiliki izin edar dari pemerintah sampai yang tidak berizin edar
dari pemerintah. Kegiatan seperti ini seringkali dijadikan lahan bisnis bagi pelaku
usaha yang mempunyai iktikad buruk akibat posisi konsumen yang lemah karena
tidak adanya perlindungan yang seimbang untuk melindungi hak-hak dari
konsumen.8

Penjualan kosmetik ilegall yang tidak memiliki nomor izin edar dari
BPOM ini sama sekali tidak dijamin keamanan dan kenyamanannya, karena
masalahnya bukan hanya mengenai nomor izin edarnya, tetapi juga label,
komposisi atau kebenaran informasi dari kosmetik ini belum tentu sesuai dengan
hasil produksi yang sebenarnya.

Penegakkan hukum masih lemah, dengan penegakan hukum yang masih


lemah membuat para pelaku usaha mengambil kesempatan untuk dapat
menggunakan bahan berbahaya tersebut dan dicampurkan pada kosmetik yang
akan dikonsumsi oleh konsumen.9

Pemerintah kurang konsisten dalam menerapkan ketentuan hukum yang


mengatur mengenai produk kosmetik. Hal ini dilihat dari penerapan hukum pada
kasus kosmetik ilegal yang belum tepat diterapkan karena sanksi yang diberikan
berbeda-beda dan terkesan ringan sehingga tidak memberikan efek jera kepada
pelaku usaha yang melakukan pelanggaran.10

Kurangnya efektif Pasal 19 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999


tentang Perlindungan Konsumen yang menentukan bahwa pemberian ganti
kerugian dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah transaksi. Apabila ketentuan
ini dipertahankan, maka konsumen yang mengonsumsi barang di hari yang ke
delapan setelah transaksi tidak akan mendapatkan penggantian kerugian dari
pelaku usaha, walaupun secara nyata konsumen yang bersangkutan telah
menderita kerugian. 11

Hal ini sangat perlu diperhatikan dan ditindaklanjuti oleh badan-badan


atau lembaga-lembaga terkait untuk memberikan efek jera bagi para pelaku-

8
Ibid.
9
Desiana Ahmad dan Mutia ChThalib, ”Tanggung Jawab Hukum Pelaku Usaha Terhadap
Peredaran Kosmetik Yang Tidak Memiliki Izin Edar”. Tanggung Jawab Hukum Pelaku Usaha
Kosmetik Tanpa Izin Edar. Vol.12 No.2,hlm,108.
10
Ibid.
11
Ibd.
pelaku usaha yang nakal ini, agar dapat menciptakan suatu keseimbangan dalam
kebutuhan dari pelaku usaha ataupun konsumen sendiri.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang di jelaskan di atas, maka dapat di ambil


suatu rumusan masalah yaitu:
1. Bagaimana perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran
kosmetik yang mengandung bahan berbahaya di tinjau dari Undanh-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlidungan Konsumen
2. Bagaimana Pertanggungjawaban pelaku usaha terhadap penjualan
kosmetik illegal ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang perlindungan Konsumen.

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi kosumen terhadap peredaran


kosmetik berbahaya di tinjau berdasarkan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsuemen
2. Untuk Mengkaji dan menganalisis bagaimana tanggung jawab pelaku
usaha terhadap penjualan kosmetik illegal.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Secara teoritis, hasil penulisan dapat digunakan sebagai bahan kajian bagi
pengembangan ilmu hukum terutama hukum perlindungan konsumen yang
berkaitan dengan tanggung jawab pelaku usaha terhadap penjualan
kosmetik illegal.
2. Secara praktis, hasil penulisan ini dapat dijadikan sebagai bahan kajian
lebih lanjut untuk mengkaji tanggung jawab pelaku usaha terhadap
penjualan kosmetik illegal.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanggung Jawab

2.1.1 Pengertian Tanggung Jawab


Tanggung jawab adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu,
sehingga bertanggung jawab merupakan berkewajiban menanggung, memikul
tanggung jawab, atau menanggung segala sesuatunya sebagai kesadaran dan
kewajibannya akan tingkah laku atau perbuatannya yang disengaja maupun
yang tidak disengaja karena adanya kesadaran atas segala perbuatan dan
akibatnya atas kepentingan pihak lain. Tanggung jawab timbul karena
manusia hidup bermasyarakat dan hidup dalam lingkungan alam yang
mengharuskan untuk tidak berbuat semaunya agar terciptanya suatu
keselarasan, keseimbangan, keserasian antara manusia dengan Tuhan, manusia
dengan manusia dan manusia dengan alam.

Tanggung jawab bersifat kodrati, sifat yang telah menjadi bagian atau
telah mendasar dalam diri atau kehidupan manusia. Setiap individu memiliki
sifat ini. Ia akan selalu ada dalam diri manusia karena pada dasarnya setiap
insan tidak bisa melepaskan diri dari kehidupan sekitar yang menunutut
kepedulian dan tanggung jawab. Inilah yang menyebabkan frekwensi
tanggung jawab masing-masing individu berbeda.12

2.1.2 Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab

1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan


Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (liability based on
fault) adalah prinsip yang cukup berlaku dalam hukum pidana dan perdata.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, khususnya pasal 1365,
1366, dan 1367, prinsip ini dipegang secara teguh.13
Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat dimintakan
pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang
dilakukan (pasal 1365 KUH Perdata), dimana ada empat unsur pokok
yaitu:
a) adanya perbuatan;
b) adanya unsur kesalahan;
12
https://www.scribd.com/doc/230389314/Pengertian-Tanggung-Jawab/, diakses pada tanggal
1 Januari 2021, jam 08.00 wit.
13
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta: PT Grasindo, 2000, hal. 59.
c) adanya kerugian yang diderita.
Maka secara umum, asas tanggung jawab ini dapat diterima karena adalah
adil bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak
korban.
2. rinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab
Prinsip ini menyatakan, tergugat dianggap selalu bertanggung jawab
(presumption of liability principle), sampai ia dapat membuktikan, ia tidak
bersalah. Jadi beban pembuktian ada pada si tergugat.14
3. Prinsip tanggung jawab mutlak
Prinsip ini adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada
pengecualiannya. Biasanya prinsip ini diterapkan karena:
1) Konsumen tidak dalam posisi menguntungkan untuk membuktikan
adanya kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi yang
kompleks.
2) Diasumsikan produsen lebih dapat mengantisipasi jika sewaktu-waktu
ada gugatan atas kesalahannya, missal dengan asuransi atau
menambah komponen biaya tertentu pada harga produknya.15
4. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan
Prinsip ini sangat disegani oleh para pelaku usaha untuk dicantumkan
sebagai klausul eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya.
Prinsip ini sangat merugikan konsumen jika diterapkan sepihak oleh
pelaku usaha. Jika ada pembatasan mutlak, harus berdasarkan pada
peraturan perundang-undangan yang jelas.16

2.2 Pelaku Usaha:

2.2.1 Pengertian Pelaku Usaha

Istilah “Pelaku Usaha” terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang


Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu sebagai berikut:

14
Ibid hal. 61
15
https://kuliahade.wordpress.com/perlindungan-konsumen-prinsip-tanggungjawab/diakses
pada tanggal 1 Januari 2020, jam 02.00 wit
16
Ibid.
Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik
yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik
Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

Sehubungan dengan hal tersebut Az. Nasution dalam bukunya menyaakan


bahwa: Dalam penjelasan undang-undang yang termasuk dalam pelaku usaha
adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor
dan lain-lain.17

2.2.2 Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

Berdasarkan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999


tentang Perlindungan Konsumen, untuk menciptakan kenyamanan berusaha bagi
para pelaku usaha dan sebagai keseimbangan atas hak-hak yang diberikan kepada
konsumen maka kepada pelaku usaha juga diberikan hak sebagai berikut:

a) hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan


mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
b) hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang
beritikad tidak baik;
c) hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian
hukum sengketa konsumen;
d) hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa
kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
e) hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan
lainnya.

17
Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta: Diadit Media, 2001,
hal. 13
Selain hak yang dimiliki oleh pelaku usaha, adapun didalam pasal 7
UUPK, pelaku usaha juga dibebankan pula mengenai kewajibannya yaitu
sebagai berikut:
a) beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahannya
b) memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/ atau jasa serta memberi penjelasan
penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c) memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
d) menjamin mutu barang dan/ atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau
jasa yang berlaku;
e) memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau
mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau
garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
f) memberi kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian
akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa
yang diperdagangkan
g) memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian.
Menyangkut kewajiban pelaku usaha yang kedua, informasi yang
benar sangat penting terhadap konsumen mengenai suatu produk, agar
konsumen tidak salah terhadap gambaran mengenai suatu produk tertentu.
Penyampaian informasi terhadap konsumen dapat berupa representasi,
peringatan, maupun yang berupa instruksi.18
2.2.3 Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo dalam bukunya yang berjudul
Hukum Perlindungan Konsumen, menyatakan bahwa:

18
Ahmadi Miru, prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, Surabaya:
Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, 2000, hal. 141
Seperti diketahui bahwa Undang-Undang Perlindungan Konsumen
menetapkan tujuan perlindungan konsumen antara lain adalah untuk
mengangkat harkat kehidupan konsumen, maka untuk maksud tersebut
berbagai hal yang membawa akibat negatif dari pemakaian barang dan/atau
jasa harus dihindarkan dari aktivitas perdagangan pelaku usaha. Sebagai
upaya untuk menghindarkan akibat negatif pemakaian barang dan/atau jasa
tersebut, maka undang-undang menentukan berbagai larangan sebagai
berikut:19

Pasal 8

1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan


barang dan/ata jasa yang:
a) tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang
dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundangundangan
b) tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah
dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau
etiket barang tersebut;
c) tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam
hitungan menurut yang sebenarnnya;
d) tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau
kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau
keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
e) tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses
pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana
dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa
tersebut.
f) tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket,
keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa
tersebut;

19
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit.,, hal. 63
g) tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu
penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
h) tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana
pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;
i) tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang
memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto,
komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan,
nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk
penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat;
j) tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan
barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.

2) Pelaku usaha dilarang memperdangkan barang yang rusak, cacat atau


bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan
benar atas barang dimaksud.

3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan


pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa
memberikan informasi secara lengkap dan benar;

4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2)
dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib
menariknya dari peredaran.

Pada intinya substansi pasal ini tertuju pada dua hal, yaitu larangan
memproduksi barang dan/atau jasa, dan larangan memperdagangkan
barang dan/atau jasa. Larangan-larangan yang dimaksudkan ini
hakikatnya menurut Numardjito yaitu: Untuk mengupayakan agar
barang dan/atau jasa yang beredar di masyarakat merupakan produk yang
layak edar, antara lain asal usul, kualitas sesuai dengan informasi
pengusaha baik melalui label, etiket, iklan, dan lain sebagainya.20
20
Numardjito, Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-undangan tentang Perlindungan
Konsumen di Indonesia, dalam Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, Penyunting, Hukum
2.2.4 Tanggung Jawab Pelaku Usaha

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani dalam bukunya yang berjudul


Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, menyatakan bahwa:

Jika berbicara soal pertanggungjawaban hukum, mau tidak mau,


kita harus berbicara soal ada tidaknya suatu kerugian yang telah diderita oleh
suatu pihak sebagai akibat (dalam hal hubungan konsumen-pelaku usaha) dari
penggunaan, pemanfaatan, serta pemakaian oleh konsumen atas barang
dan/atau jasa yang dihasilkan oleh pelaku usaha tertentu.21

Seorang konsumen yang mengkonsumsi barang dan/atau jasa


kemudian menimbulkan kerugian bagi konsumen, maka dapat menggugat atau
meminta ganti rugi kepada pihak yang menimbulkan kerugian. Pihak yang
menimbulkan kerugian di sini yaitu bisa produsen, pedagang besar, pedagang
eceran/penjual ataupun pihak yang memasarkan produk, tergantung dari pihak
yang menimbulkan kerugian bagi konsumen.

Berkaitan dengan hal tersebut Gunawan dan Ahmad Yani


menyebutkan bahwa: Seperti telah disinggung dalam Bab I, Undang-undang
tentang Perlindungan Konsumen tidak memberikan rumusan yang jelas dan
tegas tentang definisi dari jenis barang yang secara hukum dapat
dipertanggung- jawabkan, dan sampai seberapa jauh suatu
pertanggungjawaban atas barang tertentu dapat dikenakan bagi pelaku usaha
tertentu atas hubungan hukumnya dengan konsumen. Hal ini erat kaitannya
dengan konsep Product Liability yang banyak dianut oleh negara-negara
maju.22

Berdasarkan ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 8


Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka setiap penyedia barang
dan/atau jasa memiliki tanggung jawab terhadap konsumen. Hal tersebut

Perlindungan Konsumen, Bandung: Mandar Maju, 2000, hal. 18.


21
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2000, hal. 59.
22
Ibid.
diatur pada Pasal 19 sampai dengan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen. Berikut merupakan pasal-pasal yang
mengatur pertanggungjawaban pelaku usaha berdasarkan ketentuan yang ada
pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen:

Pasal 1

1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,


pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang
dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis
atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian
santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
yang berlaku.
3) Pemberian gantirugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari
setelah tanggal transaksi
4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan
pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku
apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut
merupakan kesalahan konsumen.
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani dalam bukunya Hukum
Tentang Perlindungan Konsumen, juga menyebutkan bahwa:
Pasal 19 mengatur tentang pertanggungjawaban pelaku usaha
pabrikan dan/atau distributor pada umumnya, untuk memberikan ganti rugi atas
kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi
barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan dengan ketentuan
bahwa ganti rugi tersebut dapat dilakukan dalam bentuk pengembalian uang
atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau
perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ganti rugi harus telah
diberikan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal transaksi.23

Pasal 24

1) Pelaku usaha yang menjual barang dan atau jasa kepada pelaku usaha lain
bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan atau gugatan konsumen
apabila
a) pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan
perubahan apa pun atas barang dan/atau jasa tersebut;
b) pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui
adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku
usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi
2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari
tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen
apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual
kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang
dan/atau jasa tersebut.
Adanya pengaturan Pasal 24 ayat (1) tersebut maka Ahmadi Miru dan
Sutarman Yodo, dalam bukunya mengemukakan bahwa:
Pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku
usaha lain akan tetap bertanggung jawab atas tuntutan ganti kerugian
dan/atau gugatan konsumen sekalipun tidak memiliki hubungan
kontraktual dengan konsumen yang bersangkutan. Tanggung jawab yang
dimaksudkan oleh pasal ini adalah tanggung jawab berdasarkan perbuatan
melanggar hukum.
Dasar pertanggungjawaban ini terutama karena adanya syarat yang
ditentukan di dalam pasal tersebut, yaitu; apabila pelaku usaha lain yang
menjual barang dan/atau jasa hasil produksinya kepada konsumen tidak
melakukan perubahan apapun atas barang dan/atau jasa tersebut, atau
apabila pelaku usaha lain yang melakukan transaksi jual beli dengan

23
Ibid.hlm. 65-66.
produsen, tidak mengetahui adanya perubahan barang dan/atau jasa yang
dilakukan oleh produsen, atau produsen yang bersangkutan telah
memproduksi barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan contoh, mutu,
dan komposisi yang diperjanjikan sebelumnya.24

Berkaitan dengan Pasal 24 ayat (2,) Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani
mengemukakan bahwa:
Jika pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual
kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang
dan/atau jasa tersebut, maka tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi
dan/atau gugatan konsumen dibebankan sepenuhnya kepada pelaku usaha
lain yang telah melakukan perubahan tersebut.25
Selanjutnya, berkaitan dengan dua pasal lainnya Gunawan dan
Ahmad Yani menyebutkan bahwa:
Pasal 25 dan pasal 26 berhubungan dengan layanan purna jual oleh
pelaku usaha atas barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. Dalam hal
ini pelaku usaha diwajibkan untuk bertanggung jawab sepenuhnya atas
jaminan dan/atau garansi yang diberikan, serta penyedia suku cadang atau
perbaikan.26

Pasal 27

Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung


jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila:
a) barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak
dimaksudkan untuk diedarkan;
b) cacat barang timbul pada kemudian hari
c) cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;
d) kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen;

24
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit., hal. 155-156.
25
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op. Cit., hal. 67.
26
Ibid.., hal. 67-68.
e) lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli
atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.
Pasal 27 tersebut merupakan pasal “penolong” bagi pelaku usaha
yang melepaskannya dari tanggung jawab untuk memberikan ganti rugi
pada konsumen, sebagaimana disebutkan oleh Gunawan dan Ahmad Yani
dalam bukunya yaitu:
Pasal 27 menyatakan secara jelas bahwa pelaku usaha yang
memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang
diderita konsumen, jika:
a) Barang tersebut terbukti jika seharusnya tidak diedarkan atau tidak
dimaksudkan untuk diedarkan;
b) Cacat barang timbul pada kemudian hari;
c) Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi
barang;
d) Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen;
e) Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang
dibelinya atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.27

 Faktor kendala yang terkait pemenuhan tanggung jawab pelaku usaha


terhadap peredaran kosmetik tanpa izin adalah:28
a) Kurangnya kesadaran dalam hal pengawasan yang dilakukan oleh
pemerintah terhadap peredaran kosmetik tanpa izin;
b) Kepedulian dan kesadaran pelaku usaha terhadap keamanan
masih rendah;
c) Pemerintah kurang konsisten dalam menerapkan ketentuan
hukum yang mengatur mengenai produk kosmetik;
d) Penegakkan hukum masih lemah, dengan penegakan hukum yang
masih lemah membuat para pelaku usaha mengambil kesempatan
untuk dapat menggunakan bahan berbahaya tersebut dan

27
Ibid.
28
Desiana Ahmad dan Mutia ChThalib, Loc.Cit.
dicampurkan pada kosmetik yang akan dikonsumsi oleh
konsumen;
e) Kurangnya efektif Pasal 19 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menentukan
bahwa pemberian ganti kerugian dalam tenggang waktu 7 (tujuh)
hari setelah transaksi; dan
f) Pelaku usaha yang tidak bersedia memberikan ganti rugi dengan
dalil bahwa konsumenlah yang salah dalam menggunakan produk
yang dibuat dan dijualnya.

2.3 KOSMETIK

2.3.1 Pengertian Kosmetik Ilegal

Ilegal artinya tidak sah menurut hukum, dalam hal ini melanggar hukum,
barang gelap, liar, ataupun tidak ada izin dari pihak yang bersangkutan. Jadi
Kosmetik Ilegal adalah produk yang tidak memiliki izin edar dari balai pengawas
obat dan makanan yang dibuat di Indonesia maupun luar negeri dan tidak sesuai
dengan ketentuan baik itu persyaratan mutu, keamanan, kemanfaatan dan dapat
merugikan masyarakat.

2.3.2 Pengawasan Terhadap Peredaran Kosmetik

a) Pengertian Pengawasan

Pengawasan terhadap peredaran kosmetik mempunyai permasalahan yang


luas, cenderung kompleks, dan merupakan tanggung jawab bersama antara
pemerintah, masyarakat sebagai konsumen, dan pelaku usaha. Peran serta
masyarakat dan pelaku usaha dalam pengawasan peredaran kosmetik mempunyai
arti penting dan perlu ditingkatkan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
mengenai pengertian pengawasan yaitu berasal dari

kata “awas” yang artinya adalah sebagai berikut:


Awas adalah memperhatikan baik-baik, dalam arti melihat sesuatu dengan
cermat dan seksama, tidak ada lagi kegiatan kecuali memberi laporan
berdasarkan kenyataan yang sebenarnya dari apa yang diawasi.29

Terdapat berbagai macam pengertian pengawasan menurut pendapat para


sarjana. Menurut Prayudi dalam bukunya Hukum Administrasi Negara,
mengemukakan pengertian pengawasan yaitu:

Pengawasan adalah suatu proses untuk menetapkan pekerjaan apa yang


dijalankan, dilaksanakan, atau diselenggarakan itu dengan apa yang
dikehendaki, direncanakan, atau diperhatikan.30

Selanjutnya, Saiful Anwar dalam bukunya yang berjudul Sendi-Sendi


Hukum Administrasi Negara, menyatakan bahwa:

Pengawasan atau kontrol terhadap tindakan aparatur pemerintah


diperlukan agar pelaksanaan tugas yang telah ditetapkan dapat mencapai
tujuan dan terhindar dari penyimpangan-penyimpangan.31

Dilain pihak, menurut Harold Koonz, dkk, yang dikutip oleh John
Salinderbo menyebutkan bahwa, pengawasan adalah:

Pengukuran dan pembetulan terhadap kegiatan para bawahan untuk


menjamin bahwa apa yang terlaksana itu cocok dengan rencana. Jadi
pengawasan itu mengukur pelaksanaan dibandingkan dengan cita-cita dan
rencana, memperlihatkan dimana ada penyimpangan yang negatif dan
dengan menggerakkan tindakan-tindakan untuk memperbaiki
penyimpangan-penyimpangan, membantu menjamin tercapainya rencana-
rencana.32

Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh para sarjana di atas, dapat
ditarik kesimpulan bahwa pengawasan adalah proses kegiatan yang terus-menerus
dilaksanakan untuk mengetahui pekerjaan apa yang sudah dilaksanakan,
29
Prayudi, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981, hal. 80.
30
Saiful Anwar, Sendi-Sendi Hukum Administrasi Negara, Glora Madani Press, 2004, hal. 127.
31
Jhon Salindeho, Tata Laksana Dalam Manajemen, Jakarta: Sinar Grafika, 1998, hal. 39.
32
Saiful Anwar, Op. Cit, hal. 127.
kemudian mengkoreksi apakah pelaksanaannya sudah sesuai dengan yang
semestinya atau tidak. Selain itu, pengawasan merupakan proses pengkoreksian
pelaksanaan pekerjaan agar sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Dengan kata
lain, hasil pengawasan harus dapat menunjukkan sampai mana kegiatan tersebut
berjalan atau dilakukan, sehingga mencegah secara dini kesalahan-kesalahan
dalam pelaksanaan.

b) Jenis-Jenis Pengawasan

Saiful Anwar menyebutkan bahwa berdasarkan terbentuknya pengawasan


dapat dibedakan sebagai berikut:

1) Pengawasan internal yaitu pengawasan yang dilakukan oleh suatu badan


atau organ yang secara organisatoris/struktural termasuk dalam lingkungan
pemerintahan itu sendiri. Misalnya pengawasan yang dilakukan pejabat
atasan terhadap bawahannya sendri.
2) Pengawasan eksternal dilakukan oleh organ atau lembaga-lembaga yang
seara organisatoris/structural berada di luar pemerintah dalam arti
eksekutif. Misalnya pengawasan keuangan dilakukan oleh Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK).33

Selanjutnya, pengawasan juga dapat diklasifikasikan atas beberapa jenis


dengan tinjauan dari beberapa segi, antara lain:

1) Pengawasan dilihat dari segi cara pelaksanaannya dibedakan atas:


a) Pengawasan langsung Pengawasan langsung adalah pengawasan yang
dilakukan dengan cara mendatangi atau melakukan pemeriksaan di
tempat terhadap objek yang diawasi.
b) Pengawasan tidak langsung Pengawasan tidak langsung adalah
kebalikan dari pengawasan langsung, yaitu dilakukan tanpa mendatangi
tempat pelaksanaan pekerjaan atau objek yang diawasi. Pengawasan ini
dilakukan dengan mempelajari dan menganalisa dokumen yang

33
http://nuwrileardkhiyari.blogdetik.com/2013/12/01/monitoring, diakses pada tanggal 2 Januari
2021.
menyangkut objek yang diawasi yang disampaikan oleh pelaksana
ataupun sumber lain. Dokumendokumen tersebut bisa berupa:
 Laporan pelaksanaan pekerjaan, baik laporan berkala maupun
laporan insidentil.
 Surat pengaduan dari masyarakat.
 Berita atau artikel dari media massa.
2) Pengawasan dilihat dari segi kewenangan
a) Pengawasan formal Pengawasan formal adalah pengawasan resmi
oleh lembaga-lembaga pengawasan maupun oleh aparat
pengawasan yang mempunyai legalitas tugas dalam bidang
pengawasan.
b) Pengawasan non formal Pengawasan non formal adalah
pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat baik langsung
maupun tidak langsung. Pengawasan ini sering juga disebut sosial
kontrol (social control), misalnya pengawasan melalui surat
pengaduan masyarakat melalui berita atau artikel di media massa.34

Pengawasan menurut waktu pelaksanaannya dalam buku Sistem


Administrasi Negara Republik Indonesia, disebutkan sebagai berikut:

a) Pengawasan Preventif Pengawasan yang dilakukan sebelum kegiatan


dimulai. Pengawasan ini antara lain dilakukan dengan mengadakan
pemeriksaan dan persetujuan rencana kera dan rencana anggarannya,
penetapan Petunjuk Operasional (PO), persetujuan atas rancangan
peraturan perundangan yang akan ditetapkan oleh pejabat/instansi yang
lebih rendah. Pengawasan ini bersifat preventif dengan tujuan untuk
mencegah terjadinya penyimpangan, penyelewengan, pemborosan,
kesalahan, terjadinya hambatan dan kegagalan.
b) Pengawasan yang dilakukan selama pekerjaan sedang berlangsung
Pengawasan ini dilakukan dengan tujuan membandingkan antara hasil

34
Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia, Ed ke III, Cet ke IV, Sistem Administrasi
Negara Republik Indonesia, Jakarta: PT. Toko Gunung Agung, 1997, hal 162.
yang nyata-nyata dicapai dengan yang seharusnya telah dan yang harus
dicapai dalam waktu selanjutnya. Demikian pentingnya pengawasan ini,
sehingga perlu dikembangkan sistem monitoring yang mampu mendeteksi
atau mengetahui secara dini kemungkinan-kemungkinan timbulnya
penyimpangan-penyimpangan, kesalahan-kesalahan dan kegagalan.
c) Pengawasan Represif Pengawasan represif adalah pengawasan yang
dilakukan pada akhir kegiatan atau pengawasan yang dilakukan setelah
terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan kegiatan.35

Sebagai langkah awal dari pengawasan tersebut, pelaksanaannya harus


dilakukan dengan penuh tanggung jawab karena dengan pengawasan yang terarah
dapat mencegah kemungkinan buruk yang akan terjadi atau yang tidak diinginkan.
Disamping itu juga perlu dikembangkan pengawasan berbagai bidang atau sektor
di daerah yang lebih konsisten.

c) Fungsi, Sasaran dan Tujuan Pengawasan

Pengawasan dilakukan terhadap perencanaan dan kegiatan pelaksanaanya.


Kegiatan pengawasan bermaksud untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan
kegagalan yang terjadi setelah kegiatan tersebut dilaksanakan. Keberhasilan dalam
kegiatan pengawasan peredaran kosmetik perlu dipertahankan atau ditingkatkan,
sebaliknya setiap kegagalan dalam kegiatan tersebut harus diperbaiki dengan
menghindari penyebabnya baik dalam menyusun rencana pengawasan atau
pelaksanaannya. Untuk itulah, fungsi pengawasan dilaksanakan agar diperoleh
umpan balik (feed back) untuk melaksanakan perbaikan bila terdapat
penyimpangan pada kegiatan peredaran kosmetik sebelum menjadi lebih buruk.

Jika memperhatikan lebih jauh, yang menjadi pokok permasalahan dari


pengawasan peredaran kosmetik adalah sesuatu yang telah direncanakan terlebih
dahulu apakah sudah dilaksanakan sesuai dengan rencana semula dan apakah
tujuannya telah tercapai. Terselenggaranya pengawasan dalam sebuah institusi
atau departemen yaitu untuk menilai kinerja suatu institusi atau departemen dan

35
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit, hal. 185.
untuk memperbaiki kinerja sebuah institusi atau departemen. Oleh karena itu,
dalam setiap institusi atau departemen mutlak, bahkan rutin adanya sistem
pengawasan. Dengan demikian, pengawasan merupakan instrumen pengendalian
yang melekat pada suatu instansi atau departemen untuk mencapai tujuannya.

Berbicara mengenai arti pengawasan, maka hal ini sangat erat kaitannya
dengan peran pemerintah. Supaya peredaran kosmetik di masyarakat dapat
berjalan dengan lancar sesuai dengan apa yang diharapkan, maka hendaknya
diperlukan pengawasan yang lebih efektif disamping untuk mengendalikan
peredaran kosmetik ilegal. Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah pusat dalam
hal melakukan pengawasan di daerah dengan melakukan pelimpahan bidang
pengawasan ini kepada Dinas Perdagangan dan Perindustrian serta Balai
Pengawas Obat dan Makanan atau dinas-dinas terkait yang ada disetiap daerah.

Dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang


Perlindungan Konsumen juga mengatur mengenai pengawasan, yaitu sebagai
berikut:

1. Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta


penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya diselenggarakan
oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen
swadaya masyarakat.
2. Pengawasan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait.
3. Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen
swadaya masyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar
di pasar.
4. Apabila hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ternyata
menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
membahayakan konsumen, Menteri dan/atau menteri teknis mengambil
tindakan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlak.
5. Hasil pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat dapat disebarluaskan kepada
masyarakat dan dapat disampaikan kepada Menteri dan menteri teknis.
6. Ketentuan pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Penjelasan dari Pasal 30 undang-undang tersebut adalah sebagai berikut:

Ayat (2)

Yang bertanggung jawab dengan menteri teknis adalah menteri yang


bertanggung jawab secara teknis menurut bidang tugasnya.
Ayat (3)
Pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan
konsumen swadaya masyarakat dilakukan atas barang dan/atau jasa yang
beredar di pasar dengan cara penelitian, pengujian dan/atau survei.
Aspek pengawasan meliputi pemuatan informasi tentang risiko
penggunaan barang jika diharuskan, pemasangan label, pengiklanan, dan
lain-lain yang disyaratkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan dan kebiasaan dalam praktik dunia usaha.

Ketentuan Pasal 30 tersebut cukup menjanjikan bagi upaya perlindungan


konsumen yaitu melalui masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen
Swadaya Masyarakat di samping pemerintah sendiri melalui menteri yang terkait
dengan dalam bidangnya.

Sehubungan dengan hal tersebut, Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo dalam
bukunya yang berjudul Hukum Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa:

Apabila diperhatikan substansi Pasal 30 undang-undang tersebut, juga


tampak bahwa pengawasan lebih banyak menitikberatkan pada peran masyarakat
dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, dibanding dengan
peran pemerintah yang pelaksanaannya dilakukan oleh menteri dan/atau menteri
teknis yang terkait. Seperti terlihat dalam pasal tersebut, pemerintah diserahi tugas
melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta
penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya. Sementara pengawasan
oleh masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat,
selain tugas yang sama dengan apa yang menjadi tugas pemerintah di atas, juga
diserahi tugas pengawasan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar.

Ayat 4 dari pasal tersebut juga menentukan bahwa, apabila pengawasan


oleh masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat
ternyata mendapatkan hal-hal yang menyimpang dari peraturan perundang-
undangan yang berlaku dan membahayakan konsumen, menteri dan/atau menteri
teknis mengambil tindakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Ini berarti, untuk mengetahui ada atau tidaknya suatu barang dan/atau
jasa yang tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang beredar
di pasar, pemerintah sepenuhnya menyerahkan dan menanti laporan masyarakat
dan/atau Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, untuk
kemudian diambil tindakan.36

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo menghubungkan hal tersebut di atas


dengan penjelasan Pasal 3 ayat (3), sebagai berikut:

Pengawasan yang dilakukan dengan cara penelitian, pengujian, dan/atau


survei, terhadap aspek yang meliputi pemuatan informasi tentang risiko
penggunaan barang, pemasangan label, pengiklanan, dan lain-lain yang
diisyaratkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebiasaan dalam
praktek dunia usaha tersebut menuntut upaya pemahaman dan peningkatan
kesadaran terhadap apa yang menjadi hakhaknya menjadi sangat penting. Upaya
yang dimaksudkan ini, bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan jika
dihubungkan dengan kondisi masyarakat (konsumen) pada umumnya, khususnya
tingkat pendidikan yang masih rendah yang sekaligus mempengaruhi tingkat
kesadaran hukumnya.37

Hakikat pengawasan itu sendiri menurut Lembaga Administrasi Negara


Republik Indonesia yaitu:
36
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit, hal. 185.
37
Ibid, hal. 185-186
Hakikat pengawasan adalah untuk mencegah sedini mungkin terjadinya
penyimpangan, pemborosan, penyelewengan, hambatan, kesalahan, dan
kegagalan dalam pencapaian tujuan dan sasaran serta pelaksanaan
tugastugas organisasi.38

Selanjutnya disebutkan juga mengenai sasaran pengawasan yaitu sebagai berikut:

Sebagai bagian dari aktivitas dan tanggung jawab pimpinan, sasaran


pengawasan adalah mewujudkan dan meningkatkan efisiensi, efektivitas,
rasionalitas, dan ketertiban dalam pencapaian tujuan dan pelaksanaan
tugas-tugas organisasi.39

Menurut Sukarno pengawasan tersebut mempunyai tujuan, yaitu sebagai berikut:

a) Untuk mengetahui apakah sesuatu berjalan sesuai dengan rencana yang


digariskan.
b) Untuk mengetahui apakah segala sesuatu dilaksanakan sesuai dengan
instruksi serta asas-asas yang telah diinstruksikan
c) Untuk mengetahui kesulitan-kesulitan, kelemahankelemahan dalam
bekerja.
d) Untuk mengetahui segala sesuatu apakah berjalan dengan efisien.
e) Untuk mencari jalan keluar, bila ternyata dijumpai kesulitan-kesulitan,
kelemahan-kelemahan atau kegagalan-kegagalan kearah perbaikan.40

Berkaitan dengan hal tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa


pengawasan bertujuan untuk mengoreksi kesalahan yang terjadi agar nantinya
dapat menjadi pedoman untuk mengambil kebijakan guna mencapai sasaran yang
optimal. Mengawasi bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan, akan tetapi suatu
pekerjaan yang memerlukan kecakapan, ketelitian, kepandaian, bahkan harus
disertai dengan pengalaman.

38
Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia, Op.Cit, hal. 162
39
Ibid
40
Sukarno K., Dasar-Dasar Managemen, Jakarta: Miswar, 1999, hal. 105.
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis penelitian


Dalam penelitian ini, jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian
hukum normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka yang ada. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji ketentuan-ketentuan
hukum positif, asas-asas hukum maupun prinsip-prinsip hukum, guna menjawab
isu hukum yang sedang dihadapi.

3.2 Sifat Penelitian


Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu dengan jalan menguraikan,
manjelaskan, dan menggambarkan apa adanya sesuai dengan permasalahan yang
diangkat dan bahan hukum yang diperoleh.
3.3 Pendekatan Masalah
Di dalam suatu penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Menurut
Peter Mahmud Marzuki pendekatan tersebut adalah: pendekatan undang-undang
(statute approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach). 41
Dalam peneitian ini pendekatan yang digunakan penulis yaitu pendekatan
konseptual dan pendekatan peraturan perundangundangan. Pendekatan
konseptual, pendekatan ini beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-
doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum terkait pengertian-pengertian
hukum, konsep hukum maupun asas hukum yang relevan dengan permasalahan.
Pendekatan undang-undang adalah pendekatan yang dilakukan dengan menelaah
semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang
sedang dikaji.

3.4 Sumber Bahan Hukum


Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-
sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder dan bahan hukum tersier.42
1. Data Primer merupakan bahan hukum yang diperoleh dari peraturan
perundang-undangan yang berlaku.43 Dalam hal ini ketentuan perundang-
undangan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti yaitu: Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

41
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005, hal..
133-134
42
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986, hal.
31
43
Peter Mahmud Marzuki, Op, Cit, hal. 93
2. Data Sekunder merupakan bahan-bahan yang diperoleh melalui buku-
buku, jurnal-jurnal hukum atau makalah hukum, karya tulis hukum,
wawancara, dab juga pandangan-pandangan para sarjana hukum ataupun
ahli hukum dalam media elektronik seperti internet dengan menyebut
nama situsnya yang berkaitan dengan bahan hukum primer.
3. Data Tersier merupakan bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder,
antara lain berupa kamus hukum, ensiklopedia dan sebagainya.
3.5 Teknik Pengumpulan Bahan Huku
Kegiatan pengumpulan data dalam penelitian ini, penulis tempuh dengan
melakukan membaca jurnal, wawancara dan observasi/pengamatan. Penelitian ini
dilakukan untuk memperoleh bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan
bahan hukum tersier, bahkan bahan hukum tersebut juga dapat diperoleh melalui
media elektronik seperti internet. Setelah semua Data dikumpulkan, kemudian
akan diidentifikasi dan dijadikan sebagai bahan analisis terkait dengan
permasalahaan yang sudah dirumuskan sehingga dapat memperoleh jawaban dan
solusi yang tepat terhadap permasalahan tesebut
3.6 Teknik Analisa Bahan Hukum
Bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier
setelah dikumpulkan dan disusun secara sistematis, kemudian diklasifikasi dan
dianalisis dengan cara menghubungkan antara satu dengan yang lainnya atau
menghubungkannya dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Anda mungkin juga menyukai