Disusun dan dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian
Hukum
SITI KHODIJAH
NIM 1O1141
KELAS G
2020
BAB I
PENDAHULUAN
Hal itu berarti bahwa negara, yang termasuk didalamnya pemerintah dan
lembaga-lembaga yang lain di dalam melaksanakan tindakan-tindakan apapun,
harus dilandasi oleh hukum atau harus dapat dipertanggung- jawabkan secara
hukum. Di dalam masyarakat terdapat berbagai macam kepentingan dimana
kepentingan bersama mengharuskan adanya ketertiban, keadilan serta kepastian
hukum dalam kehidupan masyarakat.
Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik
yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yan didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik
Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian bersama-sama
melalui perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha dalam berbagai bidang
ekonomi.3
1) yang pertama digugat adalah pelaku usaha yang membuat produk tersebut
jika berdomisili di dalam negeri dan domisilinya diketahui oleh konsumen
yang dirugikan;
2) apabila produk yang merugikan konsumen tersebut diproduksi di luar
negeri, maka yang digugat adalah importirnya, karena UUPK tidak
mencakup pelaku usaha di luar negeri; dan
1
Yulies Tiena Masriani. Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, hal. 3
2
Deddy Ismatullah, Pengantar Hukum Indonesia, Padang: CV Pustaka Setia, 2014, hal. 152
3
Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan hukum Bagi Konsumen Di Indonesia, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2013, hal. 23
3) apabila produsen maupun importir dari suatu produk tidak diketahui, maka
yang digugat adalah penjual dari siapa konsumen membeli barang
tersebut.4
Pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang saling memerlukan.
Pelaku usaha (produsen, dan/atau penjual barang dan jasa), pebisnis, perlu
menjual barang dan jasanya kepada konsumen. Konsumen memerlukan barang
dan jasa yang dihasilkan dan dijual oleh pelaku usaha guna memenuhi
keperluannya.5
Pelaku usaha sebagai pihak yang dalam hal ini memperdagangkan atau
menjual suatu barang atau jasa memiliki tanggung jawab sebagaimana diatur
dalam pasal 7 UUPK harus dilakukan atau dilaksanakan melalui suatu perjanjian,
agar bisa menimbulkan keseimbangan kebutuhan oleh konsumen dalam hal
menjamin keamanan dan kenyamanan mengkonsumsi suatu barang dan atau jasa
dan juga bagi para pelaku usaha itu sendiri.
Pada faktanya masih banyak saja pelaku usaha yang sama sekali tidak
mempedulikan kewajibannya sesuai dengan apa yang tertuang di dalam pasal 7
UUPK ini, hal ini disebabkan oleh adanya berbagai tuntutan dalam dunia
persaingan usaha yang membuat banyak dari mereka sebagai pelaku usaha yang
tidak ingin dirugikan dan pada akhirnya mereka akan menggunakan cara-cara
yang tidak baik agar dapat memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.
Penjualan kosmetik ilegall yang tidak memiliki nomor izin edar dari
BPOM ini sama sekali tidak dijamin keamanan dan kenyamanannya, karena
masalahnya bukan hanya mengenai nomor izin edarnya, tetapi juga label,
komposisi atau kebenaran informasi dari kosmetik ini belum tentu sesuai dengan
hasil produksi yang sebenarnya.
8
Ibid.
9
Desiana Ahmad dan Mutia ChThalib, ”Tanggung Jawab Hukum Pelaku Usaha Terhadap
Peredaran Kosmetik Yang Tidak Memiliki Izin Edar”. Tanggung Jawab Hukum Pelaku Usaha
Kosmetik Tanpa Izin Edar. Vol.12 No.2,hlm,108.
10
Ibid.
11
Ibd.
pelaku usaha yang nakal ini, agar dapat menciptakan suatu keseimbangan dalam
kebutuhan dari pelaku usaha ataupun konsumen sendiri.
1. Secara teoritis, hasil penulisan dapat digunakan sebagai bahan kajian bagi
pengembangan ilmu hukum terutama hukum perlindungan konsumen yang
berkaitan dengan tanggung jawab pelaku usaha terhadap penjualan
kosmetik illegal.
2. Secara praktis, hasil penulisan ini dapat dijadikan sebagai bahan kajian
lebih lanjut untuk mengkaji tanggung jawab pelaku usaha terhadap
penjualan kosmetik illegal.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Tanggung jawab bersifat kodrati, sifat yang telah menjadi bagian atau
telah mendasar dalam diri atau kehidupan manusia. Setiap individu memiliki
sifat ini. Ia akan selalu ada dalam diri manusia karena pada dasarnya setiap
insan tidak bisa melepaskan diri dari kehidupan sekitar yang menunutut
kepedulian dan tanggung jawab. Inilah yang menyebabkan frekwensi
tanggung jawab masing-masing individu berbeda.12
14
Ibid hal. 61
15
https://kuliahade.wordpress.com/perlindungan-konsumen-prinsip-tanggungjawab/diakses
pada tanggal 1 Januari 2020, jam 02.00 wit
16
Ibid.
Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik
yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik
Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
17
Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta: Diadit Media, 2001,
hal. 13
Selain hak yang dimiliki oleh pelaku usaha, adapun didalam pasal 7
UUPK, pelaku usaha juga dibebankan pula mengenai kewajibannya yaitu
sebagai berikut:
a) beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahannya
b) memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/ atau jasa serta memberi penjelasan
penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c) memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
d) menjamin mutu barang dan/ atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau
jasa yang berlaku;
e) memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau
mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau
garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
f) memberi kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian
akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa
yang diperdagangkan
g) memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian.
Menyangkut kewajiban pelaku usaha yang kedua, informasi yang
benar sangat penting terhadap konsumen mengenai suatu produk, agar
konsumen tidak salah terhadap gambaran mengenai suatu produk tertentu.
Penyampaian informasi terhadap konsumen dapat berupa representasi,
peringatan, maupun yang berupa instruksi.18
2.2.3 Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo dalam bukunya yang berjudul
Hukum Perlindungan Konsumen, menyatakan bahwa:
18
Ahmadi Miru, prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, Surabaya:
Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, 2000, hal. 141
Seperti diketahui bahwa Undang-Undang Perlindungan Konsumen
menetapkan tujuan perlindungan konsumen antara lain adalah untuk
mengangkat harkat kehidupan konsumen, maka untuk maksud tersebut
berbagai hal yang membawa akibat negatif dari pemakaian barang dan/atau
jasa harus dihindarkan dari aktivitas perdagangan pelaku usaha. Sebagai
upaya untuk menghindarkan akibat negatif pemakaian barang dan/atau jasa
tersebut, maka undang-undang menentukan berbagai larangan sebagai
berikut:19
Pasal 8
19
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit.,, hal. 63
g) tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu
penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
h) tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana
pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;
i) tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang
memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto,
komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan,
nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk
penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat;
j) tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan
barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2)
dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib
menariknya dari peredaran.
Pada intinya substansi pasal ini tertuju pada dua hal, yaitu larangan
memproduksi barang dan/atau jasa, dan larangan memperdagangkan
barang dan/atau jasa. Larangan-larangan yang dimaksudkan ini
hakikatnya menurut Numardjito yaitu: Untuk mengupayakan agar
barang dan/atau jasa yang beredar di masyarakat merupakan produk yang
layak edar, antara lain asal usul, kualitas sesuai dengan informasi
pengusaha baik melalui label, etiket, iklan, dan lain sebagainya.20
20
Numardjito, Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-undangan tentang Perlindungan
Konsumen di Indonesia, dalam Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, Penyunting, Hukum
2.2.4 Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Pasal 1
Pasal 24
1) Pelaku usaha yang menjual barang dan atau jasa kepada pelaku usaha lain
bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan atau gugatan konsumen
apabila
a) pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan
perubahan apa pun atas barang dan/atau jasa tersebut;
b) pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui
adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku
usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi
2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari
tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen
apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual
kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang
dan/atau jasa tersebut.
Adanya pengaturan Pasal 24 ayat (1) tersebut maka Ahmadi Miru dan
Sutarman Yodo, dalam bukunya mengemukakan bahwa:
Pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku
usaha lain akan tetap bertanggung jawab atas tuntutan ganti kerugian
dan/atau gugatan konsumen sekalipun tidak memiliki hubungan
kontraktual dengan konsumen yang bersangkutan. Tanggung jawab yang
dimaksudkan oleh pasal ini adalah tanggung jawab berdasarkan perbuatan
melanggar hukum.
Dasar pertanggungjawaban ini terutama karena adanya syarat yang
ditentukan di dalam pasal tersebut, yaitu; apabila pelaku usaha lain yang
menjual barang dan/atau jasa hasil produksinya kepada konsumen tidak
melakukan perubahan apapun atas barang dan/atau jasa tersebut, atau
apabila pelaku usaha lain yang melakukan transaksi jual beli dengan
23
Ibid.hlm. 65-66.
produsen, tidak mengetahui adanya perubahan barang dan/atau jasa yang
dilakukan oleh produsen, atau produsen yang bersangkutan telah
memproduksi barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan contoh, mutu,
dan komposisi yang diperjanjikan sebelumnya.24
Berkaitan dengan Pasal 24 ayat (2,) Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani
mengemukakan bahwa:
Jika pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual
kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang
dan/atau jasa tersebut, maka tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi
dan/atau gugatan konsumen dibebankan sepenuhnya kepada pelaku usaha
lain yang telah melakukan perubahan tersebut.25
Selanjutnya, berkaitan dengan dua pasal lainnya Gunawan dan
Ahmad Yani menyebutkan bahwa:
Pasal 25 dan pasal 26 berhubungan dengan layanan purna jual oleh
pelaku usaha atas barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. Dalam hal
ini pelaku usaha diwajibkan untuk bertanggung jawab sepenuhnya atas
jaminan dan/atau garansi yang diberikan, serta penyedia suku cadang atau
perbaikan.26
Pasal 27
24
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit., hal. 155-156.
25
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op. Cit., hal. 67.
26
Ibid.., hal. 67-68.
e) lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli
atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.
Pasal 27 tersebut merupakan pasal “penolong” bagi pelaku usaha
yang melepaskannya dari tanggung jawab untuk memberikan ganti rugi
pada konsumen, sebagaimana disebutkan oleh Gunawan dan Ahmad Yani
dalam bukunya yaitu:
Pasal 27 menyatakan secara jelas bahwa pelaku usaha yang
memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang
diderita konsumen, jika:
a) Barang tersebut terbukti jika seharusnya tidak diedarkan atau tidak
dimaksudkan untuk diedarkan;
b) Cacat barang timbul pada kemudian hari;
c) Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi
barang;
d) Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen;
e) Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang
dibelinya atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.27
27
Ibid.
28
Desiana Ahmad dan Mutia ChThalib, Loc.Cit.
dicampurkan pada kosmetik yang akan dikonsumsi oleh
konsumen;
e) Kurangnya efektif Pasal 19 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menentukan
bahwa pemberian ganti kerugian dalam tenggang waktu 7 (tujuh)
hari setelah transaksi; dan
f) Pelaku usaha yang tidak bersedia memberikan ganti rugi dengan
dalil bahwa konsumenlah yang salah dalam menggunakan produk
yang dibuat dan dijualnya.
2.3 KOSMETIK
Ilegal artinya tidak sah menurut hukum, dalam hal ini melanggar hukum,
barang gelap, liar, ataupun tidak ada izin dari pihak yang bersangkutan. Jadi
Kosmetik Ilegal adalah produk yang tidak memiliki izin edar dari balai pengawas
obat dan makanan yang dibuat di Indonesia maupun luar negeri dan tidak sesuai
dengan ketentuan baik itu persyaratan mutu, keamanan, kemanfaatan dan dapat
merugikan masyarakat.
a) Pengertian Pengawasan
Dilain pihak, menurut Harold Koonz, dkk, yang dikutip oleh John
Salinderbo menyebutkan bahwa, pengawasan adalah:
Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh para sarjana di atas, dapat
ditarik kesimpulan bahwa pengawasan adalah proses kegiatan yang terus-menerus
dilaksanakan untuk mengetahui pekerjaan apa yang sudah dilaksanakan,
29
Prayudi, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981, hal. 80.
30
Saiful Anwar, Sendi-Sendi Hukum Administrasi Negara, Glora Madani Press, 2004, hal. 127.
31
Jhon Salindeho, Tata Laksana Dalam Manajemen, Jakarta: Sinar Grafika, 1998, hal. 39.
32
Saiful Anwar, Op. Cit, hal. 127.
kemudian mengkoreksi apakah pelaksanaannya sudah sesuai dengan yang
semestinya atau tidak. Selain itu, pengawasan merupakan proses pengkoreksian
pelaksanaan pekerjaan agar sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Dengan kata
lain, hasil pengawasan harus dapat menunjukkan sampai mana kegiatan tersebut
berjalan atau dilakukan, sehingga mencegah secara dini kesalahan-kesalahan
dalam pelaksanaan.
b) Jenis-Jenis Pengawasan
33
http://nuwrileardkhiyari.blogdetik.com/2013/12/01/monitoring, diakses pada tanggal 2 Januari
2021.
menyangkut objek yang diawasi yang disampaikan oleh pelaksana
ataupun sumber lain. Dokumendokumen tersebut bisa berupa:
Laporan pelaksanaan pekerjaan, baik laporan berkala maupun
laporan insidentil.
Surat pengaduan dari masyarakat.
Berita atau artikel dari media massa.
2) Pengawasan dilihat dari segi kewenangan
a) Pengawasan formal Pengawasan formal adalah pengawasan resmi
oleh lembaga-lembaga pengawasan maupun oleh aparat
pengawasan yang mempunyai legalitas tugas dalam bidang
pengawasan.
b) Pengawasan non formal Pengawasan non formal adalah
pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat baik langsung
maupun tidak langsung. Pengawasan ini sering juga disebut sosial
kontrol (social control), misalnya pengawasan melalui surat
pengaduan masyarakat melalui berita atau artikel di media massa.34
34
Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia, Ed ke III, Cet ke IV, Sistem Administrasi
Negara Republik Indonesia, Jakarta: PT. Toko Gunung Agung, 1997, hal 162.
yang nyata-nyata dicapai dengan yang seharusnya telah dan yang harus
dicapai dalam waktu selanjutnya. Demikian pentingnya pengawasan ini,
sehingga perlu dikembangkan sistem monitoring yang mampu mendeteksi
atau mengetahui secara dini kemungkinan-kemungkinan timbulnya
penyimpangan-penyimpangan, kesalahan-kesalahan dan kegagalan.
c) Pengawasan Represif Pengawasan represif adalah pengawasan yang
dilakukan pada akhir kegiatan atau pengawasan yang dilakukan setelah
terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan kegiatan.35
35
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit, hal. 185.
untuk memperbaiki kinerja sebuah institusi atau departemen. Oleh karena itu,
dalam setiap institusi atau departemen mutlak, bahkan rutin adanya sistem
pengawasan. Dengan demikian, pengawasan merupakan instrumen pengendalian
yang melekat pada suatu instansi atau departemen untuk mencapai tujuannya.
Berbicara mengenai arti pengawasan, maka hal ini sangat erat kaitannya
dengan peran pemerintah. Supaya peredaran kosmetik di masyarakat dapat
berjalan dengan lancar sesuai dengan apa yang diharapkan, maka hendaknya
diperlukan pengawasan yang lebih efektif disamping untuk mengendalikan
peredaran kosmetik ilegal. Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah pusat dalam
hal melakukan pengawasan di daerah dengan melakukan pelimpahan bidang
pengawasan ini kepada Dinas Perdagangan dan Perindustrian serta Balai
Pengawas Obat dan Makanan atau dinas-dinas terkait yang ada disetiap daerah.
Ayat (2)
Sehubungan dengan hal tersebut, Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo dalam
bukunya yang berjudul Hukum Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa:
38
Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia, Op.Cit, hal. 162
39
Ibid
40
Sukarno K., Dasar-Dasar Managemen, Jakarta: Miswar, 1999, hal. 105.
BAB III
METODE PENELITIAN
41
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005, hal..
133-134
42
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986, hal.
31
43
Peter Mahmud Marzuki, Op, Cit, hal. 93
2. Data Sekunder merupakan bahan-bahan yang diperoleh melalui buku-
buku, jurnal-jurnal hukum atau makalah hukum, karya tulis hukum,
wawancara, dab juga pandangan-pandangan para sarjana hukum ataupun
ahli hukum dalam media elektronik seperti internet dengan menyebut
nama situsnya yang berkaitan dengan bahan hukum primer.
3. Data Tersier merupakan bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder,
antara lain berupa kamus hukum, ensiklopedia dan sebagainya.
3.5 Teknik Pengumpulan Bahan Huku
Kegiatan pengumpulan data dalam penelitian ini, penulis tempuh dengan
melakukan membaca jurnal, wawancara dan observasi/pengamatan. Penelitian ini
dilakukan untuk memperoleh bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan
bahan hukum tersier, bahkan bahan hukum tersebut juga dapat diperoleh melalui
media elektronik seperti internet. Setelah semua Data dikumpulkan, kemudian
akan diidentifikasi dan dijadikan sebagai bahan analisis terkait dengan
permasalahaan yang sudah dirumuskan sehingga dapat memperoleh jawaban dan
solusi yang tepat terhadap permasalahan tesebut
3.6 Teknik Analisa Bahan Hukum
Bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier
setelah dikumpulkan dan disusun secara sistematis, kemudian diklasifikasi dan
dianalisis dengan cara menghubungkan antara satu dengan yang lainnya atau
menghubungkannya dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.