Anda di halaman 1dari 6

RESUME BUKU

ETOS DAGANG ORANG JAWA


PENGALAMAN RAJA MANGKUNEGARA IV
KARYA : DRS. DARYONO

TUGAS MATA KULIAH


PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
DOSEN : DRS. DARYONO MSI

OLEH
NAMA : ARYA PRATAMA WIRAGUNA
NIT : 19.55.1027
HARI/JAM : SELASA/08.40-12.00
POLITEKNIK BUMI AKPELNI
SEMARANG 2019
1. Uraikan dan Jelaskan pengertian etos dan berikan contohnya yang pernah
dikerjakan oleh Raja Mangkunegara IV

Moralitas, yang sering juga disebut “etos” merupakan sikap manusia berkenaan
dengan hukum moral berdasarkan atas keputusan bebasnya. Etos kadang diartikan untuk
menunjukan karakter tertentu, yaitu didasarkan pada unggulnya suatu nilai khusus, atau
unggulnya sikap moral dari satu nilai khusus oleh seluruh bangsa atau sekelompok sosial.
Franz Magnis Suseno menjelaskan, bahwa terdapat kesamaan antara sikap moral
dengan etos, namun tidak identik. Kesamaanya terletak pada kemutlakan sikapnya,
sedangkan perbedaannya terletak pada tekanannya. Sikap moral, menegaskan orientasi
pada norma-norma sebagai suatu standar yang harus diikutinya, sementara etos
menegaskan bahwa sikap itumerupakan sikap yang sudah mantap dan atau sudah menjadi
kebiasaan, suatu hal yang nyata-nyata mempengaruhi, dan menentukan bagaimana
seseorang atau sekelompok orang mendekati atau melakukan sesuatu. Karenanya istilah
“etos” diungkapkan sebagai semangat dan sikap batin yang tetap pada seseorang atau
sekelompok orang sejauh didalamnya termuat tekanan-tekanan moral dan nilai-nilai
moral tertentu. Etos pertama-tama adalah sebagai istilah deskriptif tentang sikap mental,
namun karena dalam melakukan pekerjaan atau profesi, dagang misalnya, (etos dagang)
atau dalam menjalankan hidup (etos hidup) diharapkan bahkan dituntut adanya sikap
tertentu dan menilai sikap-sikap tertentu sebagai tidak memadai. Karenanya, kata “etos”
mendapat arti normatif bagi sikap kehendak yang dituntut agar dikembangkan. Menuntut
suatu etos di satu pihak mengandung kritik terhadap etos yang ada (nilai-nilai moral yang
berlaku dalam kehidupan), dan mengharuskan sesuatu didalmnya kepada orang lain
sebagai pihak lainnya. Etos adalah sikap yang diambil berdasarkan tanggung jawab
moralnya. Mengingat sikap moralnya itu sebagai sikap kehendaknya, maka tuntutan
peningkatan etos secara implisit memuat tuduhan bahwa nila-nilai moral yang berlaku
dalam kehidupan atau sebagai budayanya, mengandung kehendak kurang baik.
Karenanya, pihak yang menuntut etos tahu bagaiman orang lain harus bersikap supaya
menjadi manusia baik. Mencermati penjelasan tersebut, maka antara etos dan dunia
kehidupan sebagai bagian dari kebudayaan, merupakan kesatuan yang saling
mempengaruhi bagi perubahan sikap dan tindakan seseorang secara terus-menerus
(dinamis) baik pada dataran pemikiran (konsep) dan atau pelaksanaannya yang sesuai dan
berlaku pada masanya.
Menurut K. Bertens, “etos” adalah salah satu kata yunani yang masuk kedalam
banyak bahasa (termasuk bahasa Indonesia). Kata itu menunjukan ciri-ciri, pandangan,
nilai-nilai yang menandai suatu kelompok atau seseorang. Menurutnya, dalam Concise
Oxford Dictionary (1974), kata “etos” disifatkan sebagai characteristic spirit of
community, people or system yang maksudnya, “suasana khas yang menandai suatu
kelompok, seseorang, atau sistem”. Etos menunjukan kepada suasana khas yang meliputi
kerja atau profesi dan perlu ditekankan bahwa, kata “suasana” harus dipahami dalam arti
baik secara moral. Karenanya, jika bicara “etos” dalam profesi tertentu, mesti sebagai hal
yang terpuji. Sikap komersial pedagang sebagai profesinya misalnya, tentu etos
dagangnya bercendrungan kurang baik jika satu-satunya tujuan bisnis adalah
maksimalisasi pada keuntungan pada yang hanya berupa uang. Mencermatipenjelasan
tentang etos tersebut berarti, dalam kata “etos” mengandung dua nilai moral sebagai satu
kesatuan kebaikan tindakan yang selalu dilakukan atau suatu tindakan terpuji yang sering
dilakukan pada bidang profesi tertentu. Pertama, orientasi nilai-nilai moral sebagai dasar
sikap moral seseorang dalam bersikap dan bertindak sebagai bagian profesinya dan bisa
menjadi standar yang sebaiknya atau seharusnya diikuti (norma moral) bagi orang dan
masyarakat tertentu pada masanya. Kedua, bukti praktiknya dan cara pelaksanaanya
tentang hal itu. Eksistensinya nilai-nilai moral sebagi dasar sikap moralnya tindakan
terpuji ini berarti, di satu pihak berada pada dataran pikiran atau konsep, sete, dipihak
lain, dihayati pelaksanaanya dalam kehidupanatau pada salah satu bidangnya.
Moralitas (dari kata Latin moralis) pada dasarnya berarti yang sama dengan “moral”
hanya bernada lebih abstrak. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai
yang berkenaan dengan baik dan buruk.
Berdasarkan pada penjelasan tersebut maka dalam hal ini juga memberikan dua petunjuk
penting lain, yakni, Pertama, perlu adanya semacam konsep dunia kehidupan Jawa
sebagai bagian tentang budaya Jawa dan tanggapan-tanggapan baik melalui pemikiran
(konsep) dan cara bersikap atau bertindak terutama dibidang dagang pada masanya.
Kedua, penting mengkaji kembali konsep pemikiran dan pemahaman sikap dan tindakan
itu sebagai etos dagang Jawa yang sesuai dan pernah berhasil dipraktikkan oleh para
priyayi dahulu.
Etos dagang jawa dalam pemikiran Sri Mangkunegara IV dengan berbagai
pertimbangan sebagai berikut:
a) Sri Mangkunegara IV adalah seorang filsuf dunia dari Indonesia yang tercatat
dalam Dictionnaire des Philosophes, pemikiran-pemikiran yang tertulis dalam
karya-karyanya berarti mengandung nilai-nilai moral bagi salah satu etos dan
atau budaya dagang Jawa menurut konsepsinya.
b) Kerajaan Mangkunegaran pada masa pemerintahan Sri Mangkunegara IV
berhasil meraih berbagai kemajuan, khususnya dibidang perekonomian. Ia
merupakan peletak dasar ekonomi perkebunan modern di Jawa pada masanya.
c) Di samping keberhasilannya itu, sejak lama sampai sekarang telah muncul
dugaan negatif terhadap budaya Jawa tentang dagangnya seperti dipaparkan
dimuka dan pemahaman atau penilaian yang kurang tepat (kurang sesuai)
dengan keberhasilan Sri Mangkunegara IV, khususnya pada pemikirannya
yang termuat pada salah satu karyanya paling terkenal di Jawa yaitu Serat
Wedhatama, misalnya:
1. Serat Wedhatama dianggap salah satu sumber pandangan Jawa yang
merendahkan profesi dagang. Hal ini berlawanan dengan fakta di atas.
2. Sebagian pada (bait) Serat Wedhatama yaitu: “agama ageming aji”,
diterjemahkan: “agama perhiasan raja”. Penerjemahnya itu belum
memberikan pemahaman, misalnya pada kata “perhiasan” yang sesuai
dengan latar belakang kehidupan penulisnya maupun dengan makna
budaya Jawa yang berkembang pada masanya.
Pemikiran Sri Mangkunegara IV dapat dipahami sebagai ungkapan etosnya
yang eksistensinya baik berada pada dataran pemikiran dan pelaksanaan sebagai
“wujud baru” bagi tiga sistem nilai-nilai moral budaya Jawa pada masanya.
Proses menghasilkan pemahaman “wujud baru” itu terkandung pada tiga hal. Pertama,
Mengandaikan inventivitas dalam pemikiran terhadap segala babakan kebudayaannya.
Invetivitas diperlukan untuk mencapai perombakan dalam pandangan, namun tidak
untuk memusnahkan sesuatu, melainkan untuk mencapai sesuatu pembaruan yang
menyelamatkan. Invetivitas berarti, kaya akal, cerdas, yang bisa memuncak menjadi
‘kreativitas’ maksud invetivitas disini sungguh menciptakan sesuatu yang baru, tetapi
baik invetivitas maupun kreativitas meninjau kembali, memikirkan kembali sesuatu
situasi dari dalam dan, selanjutnya menemukan suatu pandagan baru atau modern.
Kedua, terjadinya inventivitas dan kreativitas tersebut berdasr kepada keinsyafan diri
refleksi diri dengan metode refleksi kritis disatu pihak sebagai sifat khas manusia dan
dasar sumber ditemukan suatu pandangan serta menjadi etosnya yang modern atau
baru bagi dunia kehidupan Jawa yang sesuai (berlaku) pada masanya. Ketiga,
konkretisasi proses pertama dan kedua tersebut khusus pada bidang dagang
dikembangkan analisis dan pemahamannya sebagai etos dagang jawa yang modern
atau baru (yang sesuai) serta berlaku pada masanya. Mencermati penjelasan etos, baik
bagi dunia kehidupan terutama dalam dagang jawa sebagai yang baru (modern) dan
yang sesuai atau berlaku pada masanya tersebut perlu dibedakan dengan kata-kata
atau istilah berikut. Pertama, etos itu berbeda baik dengan etika dan moralitas
walaupun tidak berarti terpisah kecuali sebatas bagi kesatuan analisis pada dunia
kehidupan Jawa tersebut. Maksud alasannya adalah, karena baik pada etika dan
moralitas secara etimologis sama-sama berarti “adat istiadat atau kebiasaan” yang
masih dilestarikan (sebagai tradisi).
Sonny Keraf menjelaskan, harfiahnya etika dan moralitas sama-sama berarti
adat-kebiasaan hidup yang baik, diwariskan dan dilestarikan melalui agama dan
kebudayaan dan di anggap sebagai sumber prinsip nilai moral (norma moral) yang
baku dan dianut sebagai tradisinya.
Berikut ini akan di uraikan objektivikasi pola pembaruan etos
Srimangkunegara IV yang ditunjukan pada bidang pengalaman keagamaan Islam.
Berbagai sikap dalam etosnya itu bisa ditunjukan disini, misalnya, ketika ia
bergabung dengan tentara Belanda dan Kasultanan Yogyakarta dalam peristiwa
Pakepung yang tidak berakibat pada timbulnya kekerasan. Berbagai contoh
sebelumnya dan latar belakang peristiwa Pakepung serta keterlibatan berbagai pihak
di dalamnya, mengimpilkasikan kedalaman maksud sikap kecendrungan kemandirian
moral dan keberanian moral dalam etosnya kedua belah pihak berbeda. Perbedaanya
masing-masing dapat dipahami pada 3 karakteristik kecendrungan. Pertama, pola etos
pihak Mangkunegaran cenderung realistis dan rasional. Contohnya, selain
Perundingan Salatiga dan Babad Prayut di muka, juga pada peristiwa Pakepung
diamana Mangkunegara IV bersikap berani menghadapi penilaian kafir dari para kiai-
priyayi dan berbagai jimat-nya. Kedua, di dalam perjuangan, cenderung memilih
bersikap tanpa kekerasan. Ketiga, pada pengalaman keagamaan Islam, cenderung
sesuai dengan caranya bersikap dalam pengetian objektivikasi Islam, terutama pada
pihak Belanda yang beragama Kristen.
Berikut ini akan di uraikan objetivikasi pola pembaruan etos Sri
Mangkunegara IV yang ditunjukan dalam adat-istiadat (yang ditradisikan)
keluarganya pada ritual slametan. Pola etosnya diobjektivikasikan pada model
pakainnya ketika menghadiri ritual peresmian peristirahatan (pesanggarahannya)
Sunan Paku Buwana IX yaitu, Pesanggrahan Langerhajan. John Pemberton
menjelaskan bahwa sejarah pembangunan perisitirahatan itu tertulis pada Babad
Langenharjan Sri Mangkunegara IV saat hendak hadir merasa bingung terhadap
busana yang akan dikenakannya. Dia merasa khawatir dengan cara dia menunjukan
sikap hormat kepada para tamu yang sangat beragama asal-usul dan status sosialnya.
Berkat inspirasinya yang cemerlang, dia mengambil gunting untuk memotong buntut
dari pakai resmi belanda (Rokkie Walandi) sehingga terdapat ruang di punggungnya
(bahasa jawanya: krowokan mburi) guna menyelipkan sebuah keris yang anggun. Dia
selanjutnya memaki kain batiknya yang terbagus (bukan celana panjang) sehingga dia
dapat menciptakan sebuah mode terbaru untuk surakarta sejak 1870-an. Sunan Paku
Buwana IX berkata terhadap cucu-cucunya : “rokkie dijadikan gaya Jawa ( rokkie
kadame cara jawi). Semua priyayi pengiring Sri mangkunegara IV juga memakai jas
jawa (rokkie jawi) ini”. Objetivikasi terpenting dari etos Sri Mangkunegara IV
tersebut antara lain adalah bahwa dia berhasil mengubah dan melakukan pembaruan
bukan hanya kepada pihak Kasunan Surakarta, Sunan Paku Buwana IX, melainkan,
termasuk bagi pihak Mangkunegara sendiri, terutama pada saat Mangkunegara IV
menghadiri pesta pernikahan yang dikisahkan dalam Babad Prayut diatas.
Objetivikasi etos Mangkunegara IV dengan model pakainnya sebagai cara bersikap
hormat dan rukun, baik sebagi sikap kekeluargaan maupun gotong-royong dan kepada
sesama. Meskipun etosnya itu merupakan wujud dari kemandirian dan keberanian
moral Mangkunegara IV untuk bersikap toleran pada realitas sosialnya yang beragam,
namun model pakainnya itu, baik dari segi nila moral maupun etosnya, masih
termasuk kedalam pengertian Pluralisme tradisional. Hal ini berbeda dengan model
pakaian Langenharjen yang dikenakan oleh Sri Mangkunegara IV yang apa bila
dilihat dari perspektif kebenarannya tadi, maka sebagai tata karma Jawa yang dituntut
bersikap baik dan toleran, objektivikasi etosnya lebih cenderung kedalam
pengertiannya Pluralisme Modern.
Objektivikasi pola etos R.M.A. Gondokusumo dibidang sastra adalah seperti
ditunjukan pada kisah persahabatannya dengan C.F Winter, dikutip dari Anjar Any,
sebagai berikut: Raden Mas Ario Gondokusumo berkunjung kepada tuan Federick
Winter. Keakraban keduanya seperti saudara dalam keluarga sendiri sehingga ia dapat
berkunjung sewaktu-waktu, tanpa memberitahu terlebih dahulu. Winter
memperlihatkan Bahasa Kawi karangannya. Setelah dibaca, Raden Mas Ario
Gondokusumo berkata seperti kepada dirinya sendiri tentang keahlian tuan Frederick
Winter terhadap bahasa Jawa, terhadap pembentukan kata, dan sebagiannya.
Kepandaiannya akan bahasa dan kata-kata Jawa tak ubahnya seperti para pujangga
tuan Frederick Winter lalu tertawa, dan ia menduga bahwa Raden Mas Ario
Gondokusumo sedang menyanjungnya. Raden Mas Ario Gondokusumo menolak
anggapan itu karena sama sekali ia tidak menyanjung lantaran dirinya berpendapat
bahwa hubngannya sudah seperti saudara sendiri. Jadi, pujiannya terhadap tuan
Frederick Winter berdasarkan kenyataanya yang sebenarnya. Itu lah sebabnya ia
belajar bahasa Kawi padanya, supaya sedikit demi sedikit bertambah pengetahuannya,
syukur nantinya dapat mengarang seperti tuan Frederick Winter. Frederick winter
menjawab dengan singkat, “Syukur jika demikian”. Tuan Frederick telaahnya
memang tajam dan luas. Inti sikap moral dalam pola kekeluargaan Jawa (sebagai
keluarga inti) yaitu diwarnai oleh rasa saling cinta kasih (tresno) antar mereka dengan
nilai-nilai keutamaan moralnya atau perasaan moral sepontannya, yakni sepi ing
pamrih. Moralitas Jawa, khususnya sikap hidup rukun, pada kisah diatas
mengimplikasikan tiga disposi batin (etos) yang membentuk kecendrungan sikap, baik
pada dataran pemikiran maupun perbuatan, sebagai satu kesatuan tindakan moralnya
R.M.A Gondokusumo.
2. Uraikan dan Jelaskan 3 Karakteristik nilai-nilai moral budaya Jawa dan
bagaimana contohnya masing-masing pada masa kehidupan Raja
Mangkunegara IV

Harmonis, Karakteristik inti dari pandangan harmonis adalah menciptakan dan


menjaga kesesuaian dan keselarasan hubungan antar sesame manusia, masyarakat dan dengan
alam. Ketiganya merupakan satu system yang bisa disebut sebagai “pandangan dunia Jawa”.
Tolak ukur arti pandangan dunia bagi orang jawa adalah nilai paragmatisnya agar tercapai
suatu keadaan psikis tertentu: ketenangan, ketentraman, dan keseimbangan batin. Karenanya,
maksud pandangan dunia Jawa ini tidak hanya terbatas bagi agama-agama formal dan mitos,
melainkan juga seperti dimaksud istilah kejawen.
Niels Mulder menjelaskan, kejawen merupakan suatu cap deskriptif bagi unsur-unsur
kebudayaan Jawa atau sebagai katagori yang khas Jawa. Kejawen bukanlah kategori
keagamaan (religius), namun ia lebih menunjuk pada sebuah etika dan gaya hidup yang
diilhami oleh pemikiran Jawa. Kejawen pada dasarnya merupakan “suatu sikap khas”
terhadap kehidupan sebagai sikap mental untuk mengatasi perbedaan agama. Sikap mental
kejawen antara lain condong pada “sinkretisme” dan “toleransi” yang keduanya merupakan
dasar sikap baik yang dapat menciptakan sikap hormat terhadap berbagai ungkapan religious.
Orang Jawa memiliki cara mengngungkapkan seikapnya yang sinkretis dan toleran, sebagai
symbol penting dalam acuan indentifikasi pemikiran tentang cara hidupnya. Salah satu cara
pengungkapannya adalah seperti yang secara mendalam diungkapkan melalui mitologi dalam
pementasa wayang. Menurut Soemarsaid Moertono, wayang adalah cermin kehidupan orang
Jawa. Lakon wayang, selain melukiskan suatu kehidupan kenegaraan yang diidamkan, juga
melukiskan kebijaksanaan dan kebiasaannya. Berikut ini analisis dan pemahaman pemikiran
Sri Mangkunegara IV tentang objetivikasi tindakan moral dan transformasi sosial nilai-nilai
moral budaya Jawa dalam tradisi pertunjukan wayang yang sesuai pada zamannya. Menurut
S. Margana, dalam Tripama, salah satu karya sastra Sri Mangkunegara IV, diceritakan tiga
contoh perjuangan dan pengabdian tiga tokoh pada wayang yang terkenal dan sangat
digemari masyarakat Jawa pada umumnya. Menurut F.M Suseno sumber dasar tiga kisah itu
berasal dari India. Pertama, diambil dari kisah perjuangan Sumantri, ketika nyuwita aatau
ngenger kepada Prabu Arjuna Sasrabahu yang menjadi Raja kerajaan Mahespati. Kisah
tersebut merupakan pendahuluan dari kisah kepahlawanan dalam Ramayana. Berkat
keluhuran budi atau keutamaan dan kebershasilannya dalam menjalankan berbagai tugas dari
rajanya, dia diangkat sebagai pejabat tertinggi setelah raja, yaitu patih dan bernama Patih
Suwanda. Kedua, tentang kepahlawanan Kumbakarno adalah seorang ksatria raksasa dari
kerajaan Alengka, sebagai kisah dalam Ramayana. Inti motivasi kepahlawanannya bukan
membela raja Rahwana yang terkenal berwatak angkara murka, melainkan berdasarkan
kesadaran budi luhurnya atau sifat keutamaanya sebagai ksatria yang berkewajiban menjaga
dan membela Negara Alengka. Ketiga, kisah dalam Mahabarata tentang kepahlawanan
Adipati Karno dari pihak Kurawa yang gugur melawan Arjuna (Sanjaya) dari Pandawa.
Adipati karno sebenarnya adalah kakak seibu lain ayah dengan Arjuna. Adipati Karno ketika
nyuwita pada Prabu Suyudana (raja Kurawa) diberi kerajaan Ngawangga, sehingga ia merasa
berhutang budi padanya. Motivasi kepahlawananya dipihak Kurawa berarti bahwa membalas
budi itulah yang memberikan nilai dirinya sebagai orang utama atau berbudi luhur.

Anda mungkin juga menyukai

  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Dokumen4 halaman
    Daftar Isi
    Azeroth
    Belum ada peringkat
  • Bab Iv
    Bab Iv
    Dokumen3 halaman
    Bab Iv
    Azeroth
    Belum ada peringkat
  • Bab Iii
    Bab Iii
    Dokumen32 halaman
    Bab Iii
    Azeroth
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen20 halaman
    Bab I
    Azeroth
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen13 halaman
    Bab Ii
    Azeroth
    Belum ada peringkat