Tokaimura
Warga Tokaimura mulai was-was karena kejadian serupa yang parah pernah
menghantam tempat tersebut September 1999. Kebocoran nuklir sehingga dua orang
meninggal dan 667 orang terkontaminasi radioaktif yang bocor tersebut.
Kebocoran radioaktif kali ini sebagai proses dari eksperimen dengan penyinaran
kecepatan emas tingkat cahaya untuk mempercepat proton menghasilkan partikel
dilakukan. Lalu berakibat kerusakan elektromagnet menyebabkan emas dari bahan
percobaan menjadi sangat panas, bahan radioaktif pun bocor.
Di sisi lain, dengan kipas ventilasi juga penyebab tambahan setelah tidak dalam
struktur untuk mencegah kebocoran bahan radioaktif dari fasilitas dan filter belum
terpasang baik pada peralatan laboratorium. Demikian pula sistem kontrol juga
memiliki masalah.
http://www.tribunnews.com/internasional/2013/05/26/mengerikan-puluhan-orang-
terkena-radiasi-pltn-tokaimura
6-8-1945: Tragedi Bom Atom di Hiroshima
Rabu, 6 Agustus 2014 | 09:28 WIB
Oleh : Renne R.A Kawilarang
Ledakan bom atom di Hiroshima (kiri) dan Nagasaki 1945 (Wikimedia Commons / Creative
Commons Attribution-Share Alike 3.0 Unported)
VIVAnews - Pada 69 tahun lalu, penduduk Jepang di Kota Hiroshima dan sekitarnya
menjadi korban tragedi ledakan bom atom yang dijatuhkan Amerika Serikat. Ledakan
dahsyat yang memusnahkan hampir seluruh kota itu menjadi senjata pamungkas AS
untuk mengakhiri Perang Dunia Kedua.
Menurut stasiun berita BBC, misi bom atom itu berdasarkan instruksi langsung dari
Presiden AS, Harry S. Truman. Mengumumkannya di atas kapal perang USS
Augusta, yang berada di Laut Atlantik, Truman mengatakan, bom atom itu
berkekuatan 2.000 kali lebih dahsyat dari bom terbesar yang pernah ada pada saat itu.
Mulanya, yang menjadi sasaran misi bom atom AS adalah Jerman. Namun,
berhubung Jerman sudah menyerah pada awal Mei 1945 --yang sekaligus mengakhiri
Perang Dunia Kedua di Eropa--, maka sasaran dialihkan ke Jepang.
Hiroshima menjadi target pertama, karena dianggap sebagai salah satu pusat logistik
bagi pasukan Jepang, yang gigih berperang di Asia Pasifik. Bom atom itu
mencerminkan sikap AS, yang ingin segera mengakhiri Perang Dunia Kedua di
kawasan itu.
Maka, pada 6 Agustus 1945, AS mengerahkan pesawat pengebom jarak jauh B-29
Superfortress untuk menjatuhkan bom di Hiroshima. Menurut perhitungan AS,
senjata pemusnah massal itu meledak pada pukul 8.15 waktu setempat.
Berkekuatan setara hingga 15.000 TNT, diameter daya hancur bom itu hingga seluas
13 kilometer persegi. Lebih dari 60 persen bangunan yang ada di Hiroshima langsung
rata dengan tanah.
Menurut data pemerintah Jepang, tragedi itu menewaskan sedikitnya 118.661 jiwa.
Namun, angka itu bertambah menjadi 140.000 jiwa, baik karena terkena ledakan
langsung bom atom maupun radiasi yang ditimbulkan. Kalaupun ada yang selamat,
banyak warga di kota yang berpenduduk 350.000 jiwa itu menderita sakit jangka
panjang maupun cacat seumur hidup.
Belum ada sikap dari Jepang, tiga hari kemudian AS menjatuhkan lagi bom atom.
Kali ini di Kota Nagasaki. Bom ini menewaskan hampir 74.000 jiwa.
Dua kali dijatuhi bom atom dan setelah muncul pernyataan perang dari Uni Soviet,
Kekaisaran Jepang pada 15 Agustus 1945 akhirnya menyerah tanpa syarat kepada
pasukan Sekutu pimpinan AS.
http://dunia.news.viva.co.id/news/read/526712-6-8-1945--tragedi-bom-atom-di-
hiroshima
Upacara yang dihadiri PM Shinzo Abe dan dubes AS untuk Jepang Caroline Kennedy
dilanjutkan kendati adanya serangan topan dahsyat. Walikota Nagasaki Tomihisa
Taue menyeru dunia bebas nuklir dan menekankan keprihatinan seputar keputusan
pemerintah bulan lalu untuk mengizinkan militer berperang membela sekutu-
sekutunya. Pemboman merenggut korban jiwa 140.000 orang. (AFP/es)
http://analisadaily.com/headline/news/nagasaki-peringati-69-tahun-penjatuhan-bom-
atom/53571/2014/08/10
Menurut The History Channel, Chernobyl berlokasi di Pripyat, yang terletak 65 mil di
sebelah utara Kota Kiev, Ukraina, yang sejak dekade 1990-an menjadi negara
merdeka. Dibangun di pinggir sungai Pripyat akhir 1970an, Chernobyl memiliki
empat reaktor, yang masing-masing memproduksi tenaga listrik sebesar 1.000
megawatt.
Pada malam hari 25 April 1986, sekelompok teknisi mulai menjalani eksperimen
teknik listrik di reaktor nomor 4. Walau minim pengetahuan mengenai fisika reaktor,
mereka ingin mengetahui apakah turbin pada reaktor bisa menjalankan pompa air
darurat pada daya tertentu.
Belakangan diketahui bahwa eksperimen itu dipersiapkan sangat minim dan tanpa
pengamanan yang layak. Itulah sebabnya saat percobaan dimulai, reaktor nomor 4
menjadi tidak stabil.
Para teknisi saat itu mengabaikan prosedur keamanan yang layak sehingga tidak bisa
mengendalikan saat terjadi kebocoran radiasi nuklir. Pada dini hari 26 April 1986,
kebocoran di reaktor nomor 4 kian parah dan terjadi ledakan dan memicu kebakaran.
Lebih dari 50 ton materi radioaktif lepas tak terkendali ke lapisan atmosfer di atas
Chernobyl. Radiasi pun tersebar angin.
Pada 27 April 1986, pihak berwenang Soviet mulai mengungsikan 30.000 warga
yang tinggal di Pripyat. Mereka sengaja tidak mempublikasikan insiden itu. Namun,
pada 28 April 1986, tim pemantau di Swedia yang berada lebih dari 800 mil di barat
laut Chernobyl mencatat kadar radiasi sudah 40 persen di atas normal. Sorenya,
kantor berita Soviet mengakui terjadi kecelakaan nuklir di Chernobyl.
Namun, pengungkapkan itu tidak bisa mencegah banyaknya korban jiwa. Pada hari-
hari awal krisis, 32 orang tewas di PLTN Chernobyl dan puluhan lain menderita luka
bakar radiasi.
Radiasi yang sudah terbawa angin langsung menyebar bagian utara dan timur Eropa,
sehingga mencemari kawasan hutan dan pertanian. Diperkirakan, 5.000 warga Soviet
tewas akibat kanker maupun penyakit lain akibat radiasi nuklir yang dibawa dari
Chernobyl. Kesehatan fisik jutaan orang lainnya terganggu.
Pada tahun 2000, pihak berwenang akhirnya menutup Chernobyl. Setiap tanggal 26
April, pemerintah Rusia, Ukraina, dan Belarus bersama-sama mengenang peristiwa
itu. Tragedi Chernobyl, hingga kini, merupakan bencana nuklir terbesar setelah
serangan bom atom AS di Hiroshima dan Nagasaki. (umi)
http://dunia.news.viva.co.id/news/read/408188-26-4-1986--reaktor-nuklir-chernobyl-
bocor
Perdana Menteri Jepang Naoto Kan mengatakan, situasi di reaktor nuklir yang rusak
dihantam gempa masih mencemaskan. Pihak berwenang melakukan yang terbaik
untuk mencegah kerusakan menyebar.
Jepang saat ini tengah berjuang mencegah bencana nuklir dan merawat jutaan orang
tanpa air menyusul krisis terburuk sejak Perang Dunia II, setelah gempa dan tsunami
yang diperkirakan menewaskan lebih dari 10 ribu orang itu. "Kami sedang diawasi
apakah kami, orang-orang Jepang, dapat mengatasi krisis ini," ujar Kan.
Pejabat Jepang telah mengkonfirmasi tiga reaktor nuklir di utara Tokyo berada pada
risiko memanas (overheating), menimbulkan kekhawatiran kebocoran radiasi yang
tidak terkendali.
Saat Kan berbicara, insinyur tengah bekerja mati-matian untuk mendinginkan reaktor
yang bermasalah. Jika mereka gagal, wadah dari inti reaktor bisa mencair, atau
bahkan meledak, melepaskan bahan radioaktif ke atmosfer.
Kantor berita Kyodo mengatakan 80 ribu orang telah dievakuasi dari radius 20 kilo
meter sekitar pabrik nuklir bermasalah. Mereka bergabung dengan lebih dari 450 ribu
pengungsi lainnya di timur laut pulau Honshu.
Kedutaan Besar RI (KBRI) di Tokyo, Jepang, mendata ada 82 warga negara
Indonesia (WNI) yang menetap di Fukushima. Dari jumlah tersebut, 19 orang telah
diketahui keberadaannya, 3 WNI dalam radius 70 kilometer dari pembangkit sudah
direlokasi, dan 63 orang masih belum diketahui keberadaannya. “Tim di sana masih
melakukan pendataan, bisa jadi mereka sudah direlokasi oleh pemerintah Jepang,”
kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Michael Tenne saat dihubungi, Senin
(14/3).
Hingga hari ketiga sejak gempa dan tsunami mengguncang Jepang, Kedutaan Besar
RI di Tokyo belum mendapat data pasti berapa jumlah warga Indonesia yang hilang
atau meninggal.
Berdasarkan data di KBRI, WNI yang bermukim di Prefektur Miyagi dan Iwake
mencapai 414 orang. Bila dikurangi dengan jumlah WNI yang sudah direlokasi, tim
masih mencari 300 orang yang belum diketahui keberadaannya. “Saat ini belum bisa
dipastikan kalau mereka hilang atau meninggal,” katanya. Untuk mengetahui
keberadaan mereka, Tim Relief KBRI melakukan penyisiran ke rumah sakit dan
tempat penampungan di dua prefektur yang mengalami kerusakan paling parah itu.
Menurut dia, pendataan WNI mengalami beberapa kendala geografis. Karena kondisi
kota dan jalanan yang rusak parah, serta larangan Pemerintah Jepang untuk memasuki
beberapa lokasi karena dianggap masih dalam kondisi bahaya. “Sinyal telepon seluler
juga masih sulit. Jadi semua masih menunggu perkembangan di lapangan,” kata
Tenne.
Sementara itu, di Kota Oarai, Jepang, sekitar 100 WNI masih terisolasi pasca
peristiwa gempa dan tsunami di negeri itu Jumat lalu. Meski lokasi Oarai sekitar 150
kilometer sebelah timur Tokyo, dan bukan wilayah terparah akibat gempa dan
tsunami, namun daerah itu sulit dijangkau. “Kondisi tersebut dikarenakan ruas jalan
yang terputus menuju Oarai,” kata Sekretaris Kedutaan Besar RI di Tokyo, Jane
Runkat dalam surat elektroniknya, Senin (14/3).
Karena terisolasi, lanjut dia, persediaan bahan makanan di Oarai menjadi sangat tipis.
Bahkan pengungsi mendapat jatah makanan yang amat terbatas. Saat ini Tim Bantuan
Logistik KBRI Tokyo telah tiba di dua titik pengungsi di kota itu. “Tim membawa
berbagai bantuan, seperti biskuit, mie instan, minuman botol, obat-obatan,
perlengkapan sanitari, dan kebutuhan bayi,” kata Jane.
http://www.tempo.co/read/fokus/2011/03/14/1782/Reaktor-Nuklir-Jepang-Meledak-
Lagi
Dua tahun sebelumnya yakni pada 1985, The Goiania Institute of Radiotherapy
pindah ke lokasi baru dan meninggalkan mesin teletherapy Cesium-137. Institusi ini
tidak memberi tahu petugas berwenang mengenai mesin yang sudah tidak terpakai
lagi itu dan dampaknya jika terpapar ke masyarakat.
Sekitar setahun sesudah kepergian mereka, dua perampok masuk ke gedung institusi
tersebut dan memindahkan mesin Cesium-137. Pada 13 September 1987, keduanya
menjual mesin berbahaya itu ke penadah barang bekas.
Lima hari kemudian, pekerja di tempat barang bekas membongkar mesin dan
mengeluarkan Cesium-137 yang ada di dalamnya. Terpesona oleh warna biru yang
dipancarkan, para pekerja membagikan cesium tersebut pada keluarga, kerabat, dan
tetangga. Cesium ini tersebar dengan cepatnya karena kemudian ditemukan
kontaminasi hingga jarak 160 kilometer.
Beberapa hari kemudian, istri pemilik tempat barang bekas sadar jika keluarga dan
kerabat yang diberikan pancaran biru itu jatuh sakit. Dokter menyatakan mereka
keracunan radiasi akut. Empat orang tewas termasuk seorang anak kecil. Selanjutnya,
sekitar 100 ribu orang di kota tersebut harus diperiksa paparan kontaminasi.
Ditemukan bahwa sekitar 40 rumah di kota tersebut terkena kontaminasi tinggi dan
harus dihancurkan. Dalam laporan Agen Energi Atom Internasional (IAEA) yang
dipublikasikan tahun 1988, disebutkan insiden radiologi ini makin rumit karena tidak
lengkapnya kronologi yang diceritakan warga.
Dengan demikian sulit bagi tim penolong untuk menentukan berapa lama paparan
radiasi masuk ke tubuh korban. Mayoritas korban mengalami mual, muntah, diare,
pusing, dan kelelahan yang amat sangat. Mereka juga mengalami infeksi di tangan,
kaki, dan beberapa area di tubuh.
Meski akhirnya kondisi kota bisa dipulihkan, warga Goiania terkena dampak sosial.
Sebab warga kota lain menolak kehadiran apa pun yang berasal dari Goiania, baik
orang maupun barang. Secara nasional, insiden ini membuat Pemerintah Brasil
menegaskan hukum mengenai sumber penyimpanan zat yang mengandung radiasi.
http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/09/18-september-1987-insiden-radiologi-
goiania