Anda di halaman 1dari 23

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berbagai bencana telah menimbulkan korban dalam jumlah yang besar. Banyak korban
yang selamat menderita sakit dan cacat. Rumah, tempat kerja, ternak, dan peralatan menjadi 
rusak atau hancur. Korban juga mengalami dampak psikologis akibat bencana, misalnya -
ketakutan, kecemasan akut, perasaan mati rasa secara emosional, dan kesedihan yang
mendalam. Bagi sebagian orang, dampak ini memudar dengan berjalannya waktu. Tapi untuk
banyak orang lain, bencana memberikan dampak psikologis  jangka panjang, baik yang
terlihat jelas misalnya depresi , psikosomatis  (keluhan fisik yang diakibatkan oleh masalah
psikis) ataupun yang tidak langsung  : konflik, hingga perceraian.
Beberapa gejala gangguan psikologis merupakan respons langsung terhadap kejadian
traumatik dari bencana. Namun gejala-gejala yang lain  juga akan  menyusul, ini adalah
dampak tidak langsung dan bersifat jangka panjang yang dapat mengancam berbagai
golongan terutama kelompok yang rentan yaitu anak-anak, remaja, wanita dan lansia.
Dalam banyak kasus, jika tidak ada intervensi yang dirancang dengan baik, banyak
korban bencana akan mengalami depresi parah, gangguan kecemasan, gangguan stress pasca-
trauma, dan gangguan emosi lainnya. Bahkan lebih dari dampak fisik dari  bencana, dampak
psikologis dapat menyebabkan penderitaan lebih panjang, mereka akan kehilangan semangat
hidup, kemampuan social dan merusak nilai-nilai luhur yang mereka miliki.
Menurut Departeman Hukum dan Hak Asasi Manusia, kelompok rentan adalah semua
orang yang menghadapi hambatan atau keterbatasan dalam menikmati standar kehidupan
yang layak bagi kemanusiaan dan berlaku umum bagi suatu masyarakat yang berperadaban.
Jadi kelompok rentan dapat didefinisikan sebagai kelompok yang harus mendapatkan
perlindungan dari pemerintah karena kondisi sosial yang sedang mereka hadapi. Konteks
kerentanan merujuk kepada situasi rentan yang setiap saat dapat mempengaruhi atau
membawa perubahan besar dalam penghidupan masyarakat. Setiap orang yang termasuk
kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih
berkenaan dengan kekhususannya. Kelompok masyarakat yang rentan adalah orang lanjut
usia, anak-anak, perempuan, dan penyandang cacat. Dalam konteks ini, kita akan
membicarakan lebih rinci mengenai perawatan kelompok rentan pra, saat dan pasca
terjadinya bencana dalam makalah kami yang berjudul ‘Perawatan Pada Kelompok
Rentan’.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah yang dimaksud dengan kelompok rentan?
2. Bagaimanakah mengidentifikasi masalah pada kelompok rentan?
3. Apa sajakah tindakan yang sesuai dengan kelompok rentan?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan kelompok rentan.
2. Untuk mengetahui cara mengidentifikasi masalah pada kelompok rentan.
3. Untuk mengetahui tindakan yang sesuai dengan kelompok rentan.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kelompok Rentan


Menurut UU No 24/2007, pasal 55, ayat 2 Kelompok rentan dalam situasi
bencana adalah individu atau kelompok yang terdampak lebih berat diakibatkan adanya
kekurangan dan kelemahan yang dimilikinya yang pada saat bencana terjadi menjadi
beresiko lebih besar, meliputi: bayi, balita, dan anak-anak; ibu yang sedang
mengandung / menyusui; penyandang cacat (disabilitas); dan orang lanjut usia.
Pada dasarnya pengertian mengenai kelompok rentan tidak dijelaskan secara rinci.
Hanya saja dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 pasal 5 ayat 3 dijelaskan bahwa setiap
orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan
dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. Kelompok masyarakat yang
rentan adalah orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil, dan penyandang
cacat. Sedangkan menurut Human Rights Reference yang dikutip oleh Iskandar Husein
disebutkan bahwa yang tergolong ke dalam
Kelompok Rentan adalah:
1. Refugees (pengungsi)
2. Internally Displaced Persons (IDPs) adalah orang-orang yang terlantar/ pengungsi
3. National Minorities (kelompok minoritas)
4. Migrant Workers (pekerja migrant)
5. Indigenous Peoples (orang pribumi/ penduduk asli dari tempat pemukimannya)
6. Children (anak)
7. Women (Perempuan)
Menurut Departeman Hukum dan Hak Asasi Manusia, kelompok rentan adalah
semua orang yang menghadapi hambatan atau keterbatasan dalam menikmati standar
kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan berlaku umum bagi suatu masyarakat yang
berperadaban. Jadi kelompok rentan dapat didefinisikan sebagai kelompok yang harus
mendapatkan perlindungan dari pemerintah karena kondisi sosial yang sedang mereka
hadapi.
Kamus Besar Bahasa Indonesia merumuskan pengertian rentan sebagai : (1) mudah
terkena penyakit dan, (2) peka, mudah merasa. Kelompok yang lemah ini lazimnya tidak
sanggup menolong diri sendiri, sehingga memerlukan bantuan orang lain. Selain itu,
kelompok rentan juga diartikan sebagai kelompok yang mudah dipengaruhi. Pengertian
kedua merupakan konsekuensi logis dari pengertian yang pertama, karena sebagai
kelompok lemah sehingga mudah dipengaruhi.

2.2 Identifikasi Kelompok Beresiko


Undang-undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
mengartikan bencana sebagai suatu peristiwa luar biasa yang mengganggu dan
mengancam kehidupan dan penghidupan yang dapat disebabkan oleh alam ataupun
manusia, ataupun keduanya. Untuk menurunkan dampak yang ditimbulkan akibat
bencana, dibutuhkan dukungan berbagai pihak termasuk keterlibatan perawat yang
merupakan petugas kesehatan yang jumlahnya terbanyak di dunia dan salah satu petugas
kesehatan yang berada di lini terdepan saat bencana terjadi (Powers & Daily, 2010) Peran
perawat dapat dimulai sejak tahap mitigasi (pencegahan), tanggap darurat bencana dalam
fase prehospital dan hospital, hingga tahap recovery.
Terdapat individu atau kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat yang lebih rentan
terhadap efek lanjut dari kejadian bencana yang memerlukan perhatian dan penanganan
khusus untuk mencegah kondisi yang lebih buruk pasca bencana. Kelompok-kelompok
ini diantaranya: anak-anak, perempuan, terutama ibu hamil dan menyusui, lansia,
individu-individu yang menderita penyakit kronis dan kecacatan. Identifikasi dan
pemetaan kelompok beresiko melalui pengumpulan informasi dan data demografi akan
mempermudah perencanaan tindakan kesiap-siagaan dalam menghadapi kejadian
bencana di masyarakat (Morrow, 1999; Powers & Daily, 2010; World Health
Organization (WHO) & International Council of Nursing (ICN), 2009).
1. Bayi dan Anak-anak
Bayi dan anak-anak sering menjadi korban dalam semua tipe bencana karena
ketidakmampuan mereka melarikan diri dari daerah bahaya. Ketika Pakistan
diguncang gempa Oktober 2005, sekitar 16.000 anak meninggal karena gedung
sekolah mereka runtuh.
Tanah longsor yang terjadi di Leyte, Filipina, beberapa tahun lalu mengubur lebih
dari 200 anak sekolah yang tengah belajar di dalam kelas (Indriyani 2014).
Diperkirakan sekitar 70% dari semua kematian akibat bencana adalah anak-anak baik
itu pada bencana alam maupun bencana yang disebabkan oleh manusia (Powers &
Daily, 2010).
Selain menjadi korban, anak-anak juga rentan terpisah dari orang tua atau wali
mereka saat bencana terjadi. Diperkirakan sekitar 35.000 anak-anak Indonesia
kehilangan satu atau dua orang tua mereka saat kejadian tsunami 2004. Terdapat juga
laporan adanya perdagangan anak (Child-Trafficking) yang dialami oleh anak-anak
yang kehilangan orang tua/wali (Powers & Daily, 2010).
Pasca bencana, anak-anak berisiko mengalami masalah-masalah kesehatan jangka
pendek dan jangka panjang baik fisik dan psikologis karena malnutrisi, penyakit-
penyakit infeksi, kurangnya skill bertahan hidup dan komunikasi, ketidakmampuan
melindungi diri sendiri, kurangnya kekuatan fisik, imunitas dan kemampuan koping.
Kondisi tersebut dapat mengancam nyawa jika tidak diidentifikasi dan ditangani
dengan segera oleh petugas kesehatan (Powers & Daily, 2010; Veenema, 2007).
2. Perempuan
Diskriminasi terhadap perempuan dalam kondisi bencana telah menjadi isu vital
yang memerlukan perhatian dan penanganan khusus. Oleh karena itu, intervensi-
intervensi kemanusiaan dalam penanganan bencana yang memperhatikan standar
internasional perlindungan hak asasi manusia perlu direncanakan dalam semua stase
penanganan bencana (Klynman, Kouppari, & Mukhier, 2007).
Studi kasus bencana alam yang dilakukan di Bangladesh mendapati bahwa pola
kematian akibat bencana dipengaruhi oleh relasi gender yang ada, meski tidak terlalu
konsisten. Pola ini menempatkan perempuan, terlebih lagi yang hamil, menyusui, dan
lansia lebih berisiko karena keterbatasan mobilitas secara fisik dalam situasi darurat
(Enarson, 2000; Indriyani, 2014; Klynman et al, 2007).
Laporan PBB pada tahun 2001 yang berjudul "Women, Disaster Reduction, and
Sustainable Development" menyebutkan bahwa perempuan menerima dampak
bencana yang lebih berat. Dari 120 ribu orang yang meninggal karena badai siklon di
Bangladesh tahun 1991, korban dari kaum perempuan menempati jumlah terbesar.
Hal ini disebabkan karena norma kultural membatasi akses mereka terhadap
peringatan bahaya dan akses ke tempat perlindungan (Fatimah, 2009 dikutip dalam
Indriyani, 2014).
3. Lansia
Merupakan salah satu kelompok yang rentan secara fisik, mental, dan ekonomik
saat dan setelah bencana yang disebabkan karena penurunan kemampuan mobilitas
fisik dan/atau karena mengalami masalah kesehatan kronis (Klynman et al., 2007). Di
Amerika Serikat, lebih dari 50% korban kematian akibat dari badai Katrina adalah
lansia dan diperkirakan sekitar 1300 lansia yang hidup mandiri sebelum kejadian
badai tersebut harus dirawat di pantai jompo setelah bencana alam itu terjadi (Powers
& Daily, 2010).
Pasca bencana, kebutuhan lansia sering terabaikan dan mengalami diskriminasi,
contohnya dalam hal distribusi kebutuhan hidup dan finansial pasca bencana. Hak-
hak dan kebutuhan spesifik lansia kadang-kadang terlupakan yang dapat
memperparah masalah kesehatan dan kondisi depresi pada lansia tersebut (Klynman
et al., 2007).
4. Individu dengan keterbatasan fisik (kecacatan) dan penyakit kronis
Menurut WHO, terdapat lebih dari 600 juta orang yang menderita kecacatan di
seluruh dunia atau mewakili sekitar 7-10% dari populasi global. 80% diantaranya
tinggal di negara berkembang. Angka ini terus meningkat seiring dengan peningkatan
jumlah penduduk, angka harapan hidup dan kemajuan di bidang kesehatan (Klynman
et al., 2007).
Di Amerika Serikat, setelah kejadian banjir di Grand Forks, North Dakota pada
tahun 1997, barulah dibangun rumah perlindungan yang dapat diakses oleh korban
bencana yang menggunakan kursi roda. Pada saat terjadi bencana kebakaran di
California, tahun 2003, banyak individu-individu cacat pendengaran tidak memahani
level bahaya bencana tersebut karena kurangnya informasi yang mereka fahami
(Powers & Daily, 2010).
Orang cacat, karena keterbatasan fisik yang mereka alami berisiko sangat rentan
saat terjadi bencana, namun mereka sering mengalami diskriminasi di masyarakat dan
tidak dilibatkan pada semua level kesiapsiagaan, mitigasi, dan intervensi penanganan
bencana (Klynman et al., 2007).

2.3 Perawatan Populasi Rentan Pada Anak-Anak, Wanita Hamil, Lansia, Orang
Dengan Penyakit Kronis, Disabilitas, Dan Sakit Mental
1. Perawatan Populasi Rentan Pada Bayi dan Anak-Anak
Bayi dan anak-anak sering menjadi korban dalam semua tipe bencana karena
ketidakmampuan mereka melarikan diri dari daerah bahaya. Ketika Pakistan
diguncang gempa Oktober 2005, sekitar 16.000 anak meninggal karena gedung
sekolah mereka runtuh. Tanah longsor yang erjadi di Leyte, Filipina, beberapa tahun
lalu mengubur lebih dari 200 anak sekolah yang tengah belajar di dalam kelas
(Indriyani 2014). Diperkirakan sekitar 70% dari semua kematian akibat bencana
adalah anak-anak baik itu pada bencana alam maupun bencana yang disebabkan oleh
manusia (Powers & Daily, 2010).
Selain menjadi korban, anak-anak juga rentan terpisah dari orang tua atau wali
mereka saat bencana terjadi. Diperkirakan sekitar 35.000 anak-anak Indonesia
kehilangan satu atau dua orang tua mereka saat kejadian tsunami 2004. Terdapat juga
laporan adanya perdagangan anak (Child-Trafficking) yang dialami oleh anak-anak
yang kehilangan orang tua/wali (Powers & Daily, 2010).
Pasca bencana, anak-anak berisiko mengalami masalah-masalah kesehatan jangka
pendek dan jangka panjang baik fisik dan psikologis karena malnutrisi, penyakit-
penyakit infeksi, kurangnya skill bertahan hidup dan komunikasi, ketidakmampuan
melindungi diri sendiri, kurangnya kekuatan fisik, imunitas dan kemampuan koping.
Kondisi tersebut dapat mengancam nyawa jika tidak diidentifikasi dan ditangani
dengan segera oleh petugas kesehatan (Powers & Daily, 2010; Veenema, 2007).
Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada bayi dan anak
1) Pra bencana
a. Mensosialisasikan dan melibatkan anak-anak dalam latihan kesiagsiagaan
bencana misalnya dalam simulasi bencana kebakaran atau gempa bumi
b. Mempersiapkan fasilitas kesehatan yang khusus untuk bayi dan anak pada saat
bencana
c. Perlunya diadakan pelatihan-pelatihan penanganan bencana bagi petugas
kesehatan khusus untuk menangani kelompok-kelompok berisiko
2) Saat bencana
a. Mengintegrasikan pertimbanan pediatric dalam sistem triase standar yang
digunakan saat bencana
b. Lakukan pertolongan kegawatdaruratan kepada bayi dan anak sesuai dengan
tingkat kegawatan dan kebutuhannya dengan mempertimbangkan aspek
tumbuh kembangnya, misalnya menggunakan alat dan bahan khusus untuk
anak dan tidak disamakan dengan orang dewasa
c. Selama proses evakuasi, transportasi, sheltering dan dalam pemberian
pelayanan fasilitas kesehatan, hindari memisahkan anak dari orang tua,
keluarga atau wali mereka.
3) Pasca bencana
a. Usahakan kegiatan rutin sehari-hari dapat dilakukan sesegera mungkin
contohnya waktu makan dan personal hygiene teratur, tidur, bermain dan
sekolah
b. Monitor status nutrisi anak dengan pengukuran antropometri
c. Dukung dan berikan semangat kepada orang tua
d. Dukung ibu-ibu menyusui dengan dukungan adekuat, cairan dan emosional
e. Minta bantuan dari ahli kesehatan anak yang mungkin ada di lokasi evakuasi
sebagai voluntir untuk mencegah, mengidentifikasi,mengurangi resiko
kejadian depresi pada anak pasca bencana.
f. Identifikasi anak yang kehilangan orang tua dan sediakan penjaga yang
terpercaya serta lingkunganyang aman untuk mereka.

2. Perawatan Populasi Rentan Pada Ibu Hamil


Dalam memberikan pelayanan keperawatan pada berbagai macam kondisi kita
harus cepat dan bertindak tepat di tempat bencana, petugas harus ingat bahwa dalam
merawat ibu hamil adalah sama halnya dengan menolong janinnya sehingga
meningkatkab kondisi fisik dan mental wanita hamil dapat melindungi dua
kehidupan, ibu hamil dan janinnya.
Perubahan fisiologis pada ibu hamil, seperti peningkatan sirkulasi darah,
peningkatan kebutuhan oksigen, dan lain-lain sehingga lebih rentan saat bencana dan
setelah bencana (Farida, Ida. 2013).
Menurut Ida Farida (2013) hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penanggulangan ibu
hamil yaitu:
1) Meningkatkan kebutuhan oksigen
2) Penyebab kematian janin adalah kematian ibu. Tubuh ibu hamil yang mengalami
keadaan bahaya secara fisik berfungsi untuk membantu menyelamatkan
nyawanya sendiri daripada nyawa si janin dengan mengurangi volume perdarahan
pada uterus.
3) Persiapan melahirkan yang aman
4) Dalam situasi bencana, petugas harus mendapatkan informasi yang jelas dan
terpercaya dalam menentukan tempat melahirkan adalah keamanannya. Hal yang
perlu dipersiapkan adalah air bersih, alat-alat yang bersih dan steril dan obat-
obatan, yang perlu diperhatikan adalah evakuasi ibu ke tempat perawatan
selanjutnya yang lebih memadai.
Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada Ibu Hamil :
1) Pra bencana
a. Melibatkan perempuan dalam penyusunan perencanaan penanganan bencana
b. Mengidentifikasi ibu hamil dan ibu menyusui sebagai kelompok rentan
c. Membuat disaster plans dirumah yang disosialisasikan kepada seluruh anggota
keluarga
d. Melibatkan petugas-petugas kesehatan reproduktif dalam mitigasi bencana.

2) Saat bencana
a. Melakukan usaha/bantuan penyelamatan yang tidak meningkatkan risiko
kerentanan bumil dan busui, misalnya:
a) Meminimalkan guncangan pada saat melakukan mobilisasi dan
transportasi karena dapat merangsang kontraksi pada ibu hamil
b) Tidak memisahkan bayi dan ibunya saat proses evakuasi
b. Petugas bencana harus memiliki kapasitas untuk menolong korban bumil dan
busui.
3) Pasca bencana
a. Dukung ibu-ibu menyusui dengan dukungan nutrisi adekuat, cairan dan
emosional
b. Melibatkan petugas-petugas kesehatan reproduktif di rumah penampungan
korban bencana untuk menyediakan jasa konseling dan pemeriksaan
kesehatan untuk ibu hamil dan menyusui.
c. Melibatkan petugaspetugas konseling untuk mencegah, mengidentifikasi,
mengurangi risiko kejadian depesi pasca bencana.

3. Perawatan Populasi Rentan Pada Lansia


Lansia merupakan salah saat kelompok yang rentan secara fisik, mental dan
ekonomik saat dan setelah bencana yang disebabkan karena penurunan kemampuan
mobilitas fisik dan atau karena mengalami masalah kesehatan kronis (Klynman et
al,2007). Di Amerika serikat, lebih dari 50% korban kematian akibat dari badai
Katrina adalah lansia dan diperkirakan sekitar 1.300 lansia yang hidup mandiri
sebelum kejadian badai tersebut harus dirawat dipanti jompo setelah bencana alam itu
terjadi (Powers & daily,2010).
Pasca bencana, kebutuhan lansia sering terabaikan dan mengalami diskriminasi,
contohnya dalam hal distribusi kebutuhan hidup dan finansial pasca bencana. Hak-
hak dan kebutuhan spesifik lansia kadang- kadang terlupakan yang dapat
memperparah masalah kesehatan dan kondisi depresi pada lansia tersebut
(Klynmman et al,2007).

Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada lansia:


1) Pra bencana
a. Libatkan lansia dalam pengambilan keputusan dan sosialisasi disaster plan di
rumah
b. Mempertimbangkan kebutuhan lansia dalam perencanaan penanganan
bencana.
Menurut Ida Farida (2013) Keperawatan bencana pada lansia sebelum
bencana yakni,
a) Memfasilitasi rekonstruksi komunitas
Sejak sebelum bencana dilaksanakan kegiatan penyelamatan antara
penduduk dengan cepat dan akurat, dan distribusi barang bantuan setelah
itu pun berjalan secara sistematis. Sebagai hasilnya, dilaporkan bahwa
orang lansia dan penyandang cacat yang disebut kelompok rentan pada
bencana tidak pernah diabaikan, sehingga mereka bisa hidup di
pengungsian dengan tenang.
b) Menyiapkan pemanfaatan tempat pengungsian
Diperlukan upaya untuk penyusun perencanaan pelaksanaan pelatihan
praktek dan pelatihan keperawatan supaya pemanfaatan yang realistis dan
bermanfaat akan tercapai. (Farida, Ida. 2013).
2) Saat bencana
a. Melakukan usaha/bantuan penyelamatan yang tidka meningkatkan risiko
kerentanan lansia, misalnya meminimalkan guncangan/trauma pada saat
melakukan mobilisasi dan transportasi untuk menghindari trauma sekunder.
b. Identifikasi lansia dengan bantuan/kebutuhan khusus contohnya kursi roda,
tongkat, dll.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan lansia saat bencana adalah,
a) Tempat aman
Yang diprioritaskan pada saat terjadi encana adalah memindahkan orang
lansia ke tempat yang aman. Orang lansia sulit memperoleh informasi
karena penuruman daya pendengaran dan penurunan komunikasi dengan
luar.

b) Rasa setia
Selain itu, karena mereka memiliki rasa setia yang dalam pada tanah dan
ruma sendiri, maka tindakan untuk mengungsi pun berkecenderungan
terlambat dibandingkan dengan generasi yang lain.
c) Penyelamatan darurat
Triage, treatment, and transportation dengan cepat. Fungsi indera orang
lansia yang mengalami perubahan fisik berdasarkan proses menua, maka
skala rangsangan luar untuk memunculkan respon pun mengalami
peningkatan sensitivitas sehingga mudah terkena mati rasa.
3) Pasca Bencana
a. Program inter-generasional untuk mendukung sosialisasi komunitas dengan
lansia dan mencegah isolasi sosial lansia, diantaranya:
a) Libatkan remaja dalam pusat perawatan lansia dan kegiatan-kegiatan
sosial bersama lansia untuk memfasilitasi empati dan interaksi orang muda
dan lansia (community awareness).
b) Libatkan lansia sebagai sebagai storytellers dan animator dalam kegiatan
bersama anak-anak yang diorganisir oleh agency perlindungan anak di
posko perlindunga korban bencana.
c) Menyediakan dukungan sosial melalui pengembangan jaringan sosial yang
sehat di lokasi penampungan korban bencana.
d) Sediakan kesempatan belajar untuk meningkatkan pengetahuan dan skill
lansia.
e) Ciptakan kesempatan untuk mendapatkan penghasilan secara mandiri.
f) Berikan konseling unuk meningkatkan semangat hidup dan kemandirian
lansia.
b. Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada lansia setelah bencana
adalah
a) Lingkungan dan adaptasi
Dalam kehidupan di tempat pengungsian, terjadi berbagai ketidakcocokan
dalam kehidupan sehari-hari yang disebabkan oleh fungsi fisik yang
dibawa oleh setiap individu sebelum bencana dan perubahan lingkungan
hidup di tempat pengungsian. Kedua hal ini saling mempengaruhi,
sehingga mengakibtkan penurunan fungsi fisik orang lansia yang lebih
parah lagi.
b) Manajemen penyakit dan pencegahan penyakit sekunder
Lingkungan di tempat pengungsian mengundang tidak hanya
ketidakcocokan dalam kehidupan sehari-hari bagi orang lansia, tetapi juga
keadaan yang serius pada tubuh. Seperti penumpukan kelelahan karena
kurnag tidur dan kegelisahan.
c) Orang lanjut usia dan perawatan pada kehidupan di rumah sendiri
Lansia yang sudah kembali ke rumahnya, pertama membereskan
perabotannya di luar dan dalam rumah. Dibandingkan dengan generasi
muda, sering kali lansia tidak bisa memperoleh informasi mengenai
relawan, sehingga tidak bisa memanfaatkan tenaga tersebut dengan
optimal.
d) Lanjut usia dan perawatan di pemukiman sementara
Lansia yang masuk ke pemukiman sementara terpaksa mengadaptasikan/
menyesuaikan diri lagi terhadap lingkungan baru (lingkungan hubungan
manusia dan lingkungan fisik) dalam waktu yang singkat.
e) Mental Care
Orang lansia mengalami penurunan daya kesiapan maupun daya adaptasi,
sehingga mudah terkena dampak secara fisik oleh stressor. Namun
demikian, orang lansia itu berkecenderungan sabar dengan diam walaupun
sudah terkena dampak dan tidak mengekspresikan perasaan dan keluhan.

4. Perawatan Populasi Rentan Pada Orang Dengan Penyakit Kronis


Menurut Ida Farida (2013) dampak bencana pada penyakit kronis akan memberi
pegaruh besar pada kehidupan dan lingkungan bagi orang-orang dengan penyakit
kronik. Terutama dalam situasi yang terpaksa hidup di tempat pengungsian dalam
waktu yang lama atau terpaksa memulai kehidupan yang jauh berbeda dengan pra-
bencana, sangat sulit mengatur dan memanajemen penyakit seperti sebelum
bencana.Walaupun sudah berhasil selamat dari bencana dan tidak terluka sekalipun
manajemen penyakit kronis mengalami kesulitan, sehingga kemungkinan besar
penyakit tersebut kambuh dan menjadi lebih parah lagi ketika hidup di pengungsian
atau ketika memulai kehidupan sehari-hari lagi.
Berdasarkan perubahan struktur penyakit itu sendiri, timbulnya penyakit kronis
disebabkan oleh perubahan gaya hidup sehari-hari. Bagi orang-orang yang memiliki
resiko penyakit kronis, perubahan kehidupan yang disebabkan oleh bencana akan
menjadi pemicu meningkatnya penyakit kronis.
1) Pra bencana
a. Identifikasi kelompok rentan dari kelompok individu yang cacat dan
berpenyakit kronis
b. Sediakan informasi bencana yang bisa di akses oleh orang-orang dengan
keterbatasan fisik seperti: tuna rungu, tuna netra, dll
c. Perlunya diadakan pelatihan-pelatihan penanganan kegawatdaruratan bencana
bagi petugas kesehatan khusus untuk menanganni korban dengan kebutuhan
khusus (cacat dan penyakit kronis)
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan pada fase persiapan sebelum bencana
bagi korban dengan penyakit kronik
a. Mempersiapkan catatan self-care mereka sendiri, terutama nama pasien,
alamat ketika darurat, rumah sakit, dan dokter yang merawat.
b. Membantu pasien membiasakan diri untuk mencatat mengenai isi dari obat
yang diminum, pengobatan diet, dan data olahraga
c. Memberikan pendidikan bagi pasien dan keluarganya mengenai penanganan
bencana sejak masa normal.
2) Saat bencana :
a. Sediakan alat-alat emergency dan evakuasi yang khusus untuk orang cacat dan
berpenyakit kronis (HIV/AIDS dan penyakit infeksi lainnya), alat bantu
berjalan untuk korban dengan kecacatan, alat-alat BHD sekali pakai, dll
b. Tetap menjaga dan meningkatkan kewaspadaan universal (universal
precaution) untuk petugas dalam melakukan tindakan kegawatdaruratan.

Menurut Ida Farida (2013) keperawatan pada penyakit kronis saat bencana adalah
a. Pada fase akut bencana ini, bisa dikatakan bahwa suatu hal yang paling
penting adalah berkeliling antara orang-orang untuk menemukan masalah
kesehatan mereka dengan cepat dan mencegah penyakit mereka memburuk.
Perawat harus mengetahui latar belakang dan riwayat pengobatan dari orang-
orang yang berada di tempat dengan mendengarkan secara seksama dan
memahami penyakit mereka yang sedang dalam proses pengobatan, sebagai
contoh diabetes dan gangguan pernapasan.
b. Pada fase akut yang dimulai sejak sesaat terjadinya bencana, diperkirakan
munculnya gejala khas, seperti gejala gangguan jantung, ginjal, dan psikologis
yang memburuk karena kurang control kandungan gula di darah bagi pasien
diabetes, pasien penyakit gangguan pernapasan yang tidak bisa membawa
keluar peralatan tabung oksigen dari rumah
c. Penting juga perawat memberikan dukungan kepada pasien untuk memastikan
apakah mereka diperiksa dokter dan minum obat dengan teratur. Karena
banyak obat-obatan komersial akan didistribusikan ketempat pengungsian,
maka muncullah resiko bagi pasien penyakit kronis yang mengkonsumsi
beberapa obat tersebut tanpa memperhatikan kecocokan kombinasi antara obat
tersebut dan obat yang diberikan di rumahsakit.
3) Pasca bencana
a. Sedapat mungkin, sediakan fasilitas yang dapat mengembalikan kemandirian
individu dengan keterbatasan fisik di lokasi evakuasi sementara. Contohnya:
kursi roda, tongkat, dll
b. Libatkan agensi-agensi yang berfokus pada perlindungan individu-individu
dengan keterbatasan fisik dan penyakit kronis
c. Rawat korban dengan penyakit kronis sesuai dengan kebutuhannya.

4) Keperawatan bagi pasien diabetes:


a. Mengkonfirmasi apakan pasien yang bersangkutan harus minum obat untuk
menurunkan kandungan gula darah (contoh: insulin, dll) atau tidak, dan
identifikasi obat apa yang dimiliki pasien tersebut.
b. Mengkonfirmasi apakah pasein memiliki penyakit luka fisik atau infeksi, dan
jika ada, perlu pengamatan dan perawatan pada gejala infeksi (untuk
mencegah komplikasi kedua dari penyakit diabetes)
c. Memahami situasi manajemen diri (self-management) melalui kartu penyakit
diabetes (catatan pribadi)
d. Memberikan instruksi tertentu mengenai konsumsi obat, makanan yang tepat,
dan memberikan pedoman mengenai manajemen makanan
e. Mengatur olahraga dan relaksasi yang tepat
5) Keperawatan bagi pasien gangguan pernapasan kronis:
a. Konfirmasikan volume oksigen yang tepat dan mendukung untuk pemakaian
tabung oksigen untuk berjalan yang dimilikinya dengan aman
b. Menghindari narcosis CO2 dengan menaikkan konsentrasi oksigen karena
takut peningkatan dysphemia
c. Mengatur pemasokan tabung oksigen (ventilator) dan transportasi jika pasien
tersebut tidak bisa membawa sendiri.
d. Membantu untuk manajemen obat dan olahraga yang tepat
e. Mencocokkan lingkungan yang tepat (contoh: suhu udara panas/dingin, dan
debu).
5. Perawatan Populasi Rentan Pada Orang Dengan Disabilitas
Penyandang disabilitas rentan dalam situasi bencana akibat adanya hambatan dan
kebutuhan yang dialaminya, seperti dari aspek fisik, intelektual, mental, dan sensorik.
Beragamnya hambatan yang dimiliki menyebabkan penyandang disabilitas sering
mengalami kesulitan untuk mengakses dan menggunakan sumber daya yang pada
umunya tersedia dalam penanggulangan bencana (Wulandari, 2017).

Penyandang disabilitas bertemu dengan tantangan yang unik dalam setiap tahapan
manajemen bencana, hal yang terlihat adalah gangguan fisik saja namun yang
sebenarnya terjadi adalah gangguan fisik, sosial, dan ekonomi, hal tersebut
diungkapkan oleh Raja dan Narasiman (2013, h.15). Gangguan sosial terjadi ketika
lingkungan sosial dari penyandang disabilitas tidak bisa mengakomodasi
keberadaanya dan gangguan ekonomi adalah permasalahan kemiskinan yang
seringkali sudah melekat pada dirinya.
Beberapa Pengurangan Risiko Bencan (PRB) Inklusif bagi Penyandang Disabilitas
Menurut Andriani (2014, h.7-11), antara lain :
a. Situasi Sebelum Bencana
Kegiatan yang seharusnya dilaksanakan pada situasi sebelum bencana antara lain:
a) Koordinasi dan diskusi dengan komuitas/organiasi penyandang disabilitas
terkait risiko bencana dan membuat persiapan apabila teradi bencana
b) Membuat pemetaan kebutuhan panyandang disabilitas ada saat bencana
alam.
c) Melatih penyandang disabilitas dan kerabat terdekat tentang kegiatan PRB.
b. Situasi Saat Bencana
Kegiatan yang dilakukan pada situasi saat bencana antara lain:
a) Melakukan evakuasi bagi penyandang disabilitas untuk menjauh dari
lokasi bencana
b) Mengevakuasi penyandang disabilitas yang ditinggal oleh keluarganya
saat terjadi bencana
c) Menampung di pengungsian
d) Membawa korban ke rumah sakit
e) Melakukan pendataan dan penilaian
f) Memberikan konseling
g) Memberikan terapi.

1) Pra bencana
a. Identifikasi kelompok rentan dari kelompok individu yang cacat dan berpenyakit
kronis
b. Sediakan informasi bencana yang bisa diakses oleh orang-orang dengan keterbatasan
fisik seperti: tunarungu, tuna netra, dll
c. Perlunya diadakan pelatihan-pelatihan penanganan kegawatdaruratan bencana bagi
petugas kesehatan khusus untuk menanganni korban dengan kebutuhan khusus (cacat
dan penyakit kronis)
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan pada fase persiapan sebelum bencana bagi
korban dengan penyakit kronik
a. Mempersiapkan catatan self-care mereka sendiri, terutama nama pasien, alamat ketika
darurat, rumah sakit, dan dokter yang merawat.
b. Membantu pasien membiasakan dii untuk mencatat mengenai isi dari obat yang
diminum, pengobatan diet, dan data olahraga
c. Memberikan pendidikan bagi pasien dan keluarganya mengenai penanganan bencana
sejak masa normal
2) Saat bencana
a. Sediakan alat-alat emergency dan evakuasi yang khusus untuk orang cacat alat bantu
berjalan untuk korban dengan kecacatan, alat-alat BHD sekali pakai, dll
b. Tetap menjaga dan meningkatkan kewaspadaan universal (universal precaution)
untuk petugas dalam melakukan tindakan kegawatdaruratan.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada penyandang cacat yakni:
a. Bantuan evakuasi
b. Saat terjadi bencana, penyandang cacat membutuhkan waktu yang lama untuk
mengevakuasi diri sehingga supaya tidak terlambat dalam mengambil keputusan
untuk melakukan evakuasi, maka informasi persiapan evakuasi dan lain-lain perlu
diberitahukan kepada penyandang cacat dan penolong evakuasi
c. Informasi
d. Dalam penyampaian informasi digunakan bermacam-macam alat disesuaikan dengan
ciri-ciri penyandang cacat , misalnya internet (email, sms, dll) dan siaran televisi
untuk tuna rungu; handphone yang dapat membaca pesan masuk untuk tuna netra; HP
yag dilengkapi dengan alat handsfree untuk tuna daksa dan sebagainya.
Pertolongan pada penyandang cacat
a. Tunadaksa adalah kebanyakan orang yang jalannya tidak stabil dan mudah jatuh,
serta orang yang memiliki keterbatasan dalam perpindahan atau pemakai kursi
roda yang tidak dapat melangkah sendirian ketika berada di tempat yang jalannya
tidak rata dan menaiki tangga. Ada yang menganggap kursi roda seperti satu
bagian dari tubuh sehingga cara mendorongnya harus mengecek keinginan si
pemakai kursi roda dan keluarga
b. Tuna netra
Dengan mengingat bahwa tuna netra mudah merasa takut karena menyadari
suasana aneh di sekitarnya, maka perlu diberitahukan tentang kondisi sekitar
rumah dan tempat aman untuk lari dan bantuan untuk pindah di tempat yang
tidak familiar. Pada waktu menolong mereka untukpindah, peganglah siku dan
pundak, atau genggamlah secara lembut pergelangannya karena berkaitan dengan
tinggi badan mereka serta berjalanlah setengah langkah di depannya.
c. Tuna rungu
Beritahukan dengan senter ketika berkunjung ke rumahnya karena tidak dapat
menerima informasi suara. Sebagai metode komunikasi, ada bahasa tulis, bahasa
isyarat, bahasa membaca gerakan mulut lawan bicara, dll tetapi belum tentu
semuanya dapat menggunakan bahasa isyarat
d. Gangguan intelektual
Atau perkembangannya sulit dipahami oleh orang pada umunya karena kurang
mampu untuk bertanya dan mengungkapkan pendapatnya sendiri dan seringkali
mudah menjadi panik. Pada saat mereka mengulangi ucapan dan pertanyaan yang
sama dengan lawan bicara, hal itu menandakan bahwa mereka belum mengerti
sehingga gunakan kata-kata sederhana yang mudah dimengerti (Farida, Ida.
2013).
3) Pasca Bencana
a. Sedapat mungkin, sediakan fasilitas yang dapat mengembalikan kemandirian individu
dengan keterbatasan fisik di lokasi evakuasi sementara. Contohnya: kursi roda,
tongkat, dll
b. Libatkan agensi-agensi yang berfokus pada perlindungan individu-individu dengan
keterbatasan fisik.
6. Perawatan Populasi Rentan Pada Orang Dengan Sakit Mental
Sakit Mental atau Gangguan jiwa menurut Depkes RI (2010) adalah suatu
perubahan pada fungsi jiwa yang menyebabkan adanya gangguan pada fungsi jiwa
yang menimbulkan penderitaan pada individu dan hambatan dalam melaksanakan
peran social. Sedangkan menurut (Maramis, 2010), gangguan jiwa adalah gangguan
alam: cara berpikir (cognitive), kemauan (volition), emosi (affective), tindakan
(psychomotor). Dimana para pengidap gangguan jwa merupakan penyandang
disabilitas atau cacat mental.
Seperti halnya manusia pada umumnya, ketika terjadi suatu bencana akan timbul
beberapa kejadian atau situasi baik psikologis maupun mental yang dialami oleh
korban, termasuk juga penyandang cacat mental seperti kepanikan yang luar biasa.
Secara prinsip, penanggulangan bencana dilaksanakan secara cepat dan tepat,
mengutamakan priorotas, adanya koordinasi dan keterpaduan, berdaya guna dan
berhasil guna, adanya transparansi dan akuntabilitas, system kemitraan dan
pemberdayaan, non diskriminatif dan nonproletisi. Non diskriminatif disini
mengandung pengertian bahwa dalam kegiatan penanggulangan bencana, pihak
manapun baik aparat maupun masyarakat tidak boleh membeda-bedakan satu sama
lain. Baik pembagian hak maupun kewajiban dalam kegiatan penanggulangan resiko
bencana.
Di dalam UU no 24 tahun 2007 tersebut telah disebutkan bahwa dalam
penanganggulangan bencana saat tanggap darurat terdapat perlindungan terhadap
kelompok rentan dilakukan dengan memberikan prioritas kepada kelompok rentan
berupa penyelamatan, evakuasi, pengamanan, pelayanan kesehatan, dan psikososial.
Kelompok rentan tersebut antara lain bayi, balita, anak-anak, ibu yang sedang
mengandung atau menyusui, penyandang cacat, dan orang lanjut usia.
Kelompok rentan yang disebutkan dalam Undang-Undang tersebut dapat diartikan
sebagai penyandang disabilitas atau difabel yang berasal dari kata ‘different abilities’
yaitu kemampuan yang berbeda. Dimana penyandang disabilitas adalah setiap orang
yang mengalami gangguan, kelainan, kerusakan, dan/atau kehilangan fungsi organ
fisik, mental, intelektual atau sensorik dalam jangka waktu tertentu atau permanen
dan menghadapi hambatan lingkungan fisik dan sosial. Tidak dapat dipungkiri bahwa
keberadaan kaum penyandang sakit mental dalam setiap negara pasti ada.
Tindakan yang sesuai untuk kelompok beresiko pada Pengidap Gangguan Jiwa
1) Pra Bencana :
a. Bantuan Evakuasi : Saat bencana terjadi, penyandang cacat membutuhkan waktu
yang lama untuk mengevakuasi diri sehingga supaya tidak terlambat dalam
mengambil keputusan untuk melakukan evakuasi, maka informasi persiapan
evakuasi dan lain-lain perlu diberitahukan kepada penyandang cacat dan penolong
evakuasi
b. Mengikutsertakan dalam PRB : partisipasi penyandang dalam pendidikan
pegurangan risiko bencana (PRB)
c. Memberikan penyandang gangguan mental terhadap materi ajar/belajar PRB
2) Saat Bencana
a. Melakukan evakuasi bagi penyandang disabilitas untuk menjauh dari lokasi
bencana
b. Mengevakuasi penyandang gangguan mental yang ditinggal oleh keluarganya saat
terjadi bencana
c. Menampung di pengungsian
d. Membawa korban ke rumahsakit
e. Melakukan pendataan dan penilaian
f. Memberikan konseling
g. Memberikan terapi
3) Pasca Bencana
a. Konseling bagi penyandang disabilitas untuk meminimalisir trauma
b. Kebutuhan Rumah Tangga : Air minum, makanan, susu bayi, sanitasi, air bersih
dan sabun untuk MCK (mandi, cuci, kakus/jamban), alat-alat untuk memasak,
pakaian, selimut dan tempat tidur, dan permukiman sementara
c. Kebutuhan Kesehatan : Kebutuhan kesehatan umum – seperti perlengkapan medis
(obat-obatan, perban, dll), tenaga medis, pos kesehatan dan perawatan kejiwaan
d. Kemanan Wilayah : Kebutuhan ketentraman dan stabilitas – seperti keamanan
wilayah
e. Kebutuhan Air : Kebutuhan sanitasi – air dan tempat pengelolaan limbah dan
sampah
f. Sarana dan Prasarana : Kebutuhan sarana dan prasarana yang mendesak – seperti
air bersih, MCK untuk umum, jalan ke lokasi bencana, alat komunikasi dalam
masyarakat dan pihak luar, penerangan /listrik, sekolah sementara, alat
angkut/transport, gudang penyimpanan persediaan, tempat permukiman
sementara, pos kesehatan, alat dan bahan-bahan.
2.4 Sumber Daya yang Tersedia Dilingkungan untuk Kebutuhan Kelompok Beresiko.
Untuk mengurangi dampak yang lebih berat akibat bencana terhadap kelompok
-kelompok beresiko saat bencana baik itu dampak jangka pendek maupun jangka
panjang, maka petugas kesehatan yang terlibat dalam penanganan encana perlu
mengidentifikasikan sumber daya apa saja yang tersedia di lngkungan yang dapat
digunakan saat bencana terjadi, diantaranya (Enarson, 2000; Federal Emergency
Management Agency (FEMA), 2010; Powers & Daily, 2010; Veenema, 2007 ) :
1. Terbentuknya desa siaga dan organisasi kemasyarakatan yang terus mensosialisasikan
kesiapsiagaan terhadap bencana terutama untuk area yang rentan terhadap kejadian bencana.
2. Kesiapan rumah sakir atau fasilitas kesehatan menerima korban bencana dari kelompok
berisiko baik itu dari segi fasilitas maupun ketenagaan seperti : beberapa jumlah incubator
untuk bayi baru lahir, tempat tidur untuk pasien anak, ventilator anak, fasilitas persalinan,
fasilitas perawatan pasien dengan penyakit kronis, dsb
3. Adanya symbol – symbol atau bahasa yang bisa dimengerti oleh individu-individu dengan
kecacatan tentang peringatan bencana, jalur evakuasi, lokasi pengungsian dll.
4. Adanya system support berpa konseling dari ahli-ahli voluntir yang khusus menangani
kelompok beresiko untuk mencegah dan mengidentifikasi dini kondisi depresi pasca bencana
pada kelompok tersebut sehingga intervensi yang sesuai dapat diberikan untuk merawat
mereka.
5. Adanya agensi-agensi baik itu dari pemerintah maupun non pemerintah (NGO) yang
membantu korban bencana terutama kelompok-kelompok beresiko seperti : agensi
perlindungan anak dan perempuan, agency pelacakan keluarga korban bencana ( tracking
centre), dll.
6. Adanya website atau homepage bencana dan publikasi penelitian yang berisi informasi-
informasi tentang bagaimana perencanaan legawatdaruratan dan bencana pada kelompok-
kelompok dengan kebutuhan khusus dan beresiko.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Kelompok rentan adalah semua orang yang menghadapi hambatan atau
keterbatasan dalam menikmati standar kehidupan yang layak bagi kemanusiaan
dan berlaku umum bagi suatu masyarakat yang berperadaban. Jadi kelompok
rentan dapat didefinisikan sebagai kelompok yang harus mendapatkan
perlindungan dari pemerintah karena kondisi sosial yang sedang mereka hadapi.
Kelompok masyarakat yang rentan adalah orang lanjut usia, anak-anak,
perempuan, dan penyandang cacat. Untuk mengurangi dampak bencana pada
individu dari kelompok-kelompok rentan diatas, petugas-petugas yang terlibat
dalam perencanaan dan penanganan bencana perlu Mempersiapkan peralatan-
peralatan kesehatan sesuai dengan kebutuhan kelompok-keompok rentan
tersebut, contohnya ventilisator untuk anak, alat bantu untuk individu yang cacat,
alat-alat bantuan persalinan, dll, melakukan pemetaan kelompok-kelompok
rentan, merencanakan intervensi-intervensi untuk mengatasi hambatan informasi
dan komunikasi, menyediakan transportasi dan rumah penampungan yang dapat
diakses, menyediakan pusat bencana yang dapat diakses.
3.2 Saran

Anda mungkin juga menyukai