“I-
itai… kono enpitsu mo baka!” pensil itu memantul kembali dan mengenai kepalanya.
“Yuki… ada apa teriak – teriak begitu?” seru Anko yang sedang menonton TV di lantai
bawah.
“Tidak ada apa – apa neechan!” balas Yukiko, kemudian ia bangkit dari mejanya
meninggalkan tumpukan kertas dan alat tulis berjalan keluar kamar menuju lantai bawah, tempat
Anko memanggilnya tadi.
“Anko-nee…” sekarang ia tinggal kembali di Tokyo bersama Anko, dan dua orang
saudara jauh yang menumpang di rumahnya karena belajar di salah satu perguruan tinggi swasta
di Tokyo.
“Hmmm…” Anko menoleh, “Ada apa kau berteriak – teriak begitu?” Tanya Anko
dengan tenang.
“Aku buntuuuuuu! Mau nulis cerita atau fanfict nggak ada ide, gara – gara sudah lama
banget nggak nulis, hiks.”
“Hehehe”
“Kenapa tidak coba menulis sesuatu berdasarkan apa yang terjadi pada dirimu?”
“Aku selalu menuliskan seperti itu pada puisi dan tulisan pendekku, itu terlalu dan selalu
kelam neechan. Aku ingin yang ceria, menyenangkan, GeJe, atau yang semacam itulah.”
“Bukankah dulu kau selalu bisa menulis hal seperti itu? Masalahnya ada pada
pemikiranmu.”
“Iya, aku merindukan saat – saat bersama yang lain, tertawa, menangis, bertengkar benar
– benar hari yang berwarna. Masa – masa SMAku tidak indah, lalu se-“
“Stop! Dulu kau bisa menuliskan semua hal ceria karena kau menikmatinya, tulisanmu,
harimu, duniamu. Menerima semuanya, menangis kemudian menjadi kuat. Yang kulihat
sekarang pada dirimu hanyalah kemurungan dan terus berjalan ditempat.”
“Yang kau pikir dewasa itu hanyalah caramu untuk menghindari kenyataan,egois, keras
kepala, dan tidak mau mendengarkan nasihat, merasa diri paling menderita, negatif, menge-“
“Gomen ne…aku khawatir pada dirimu yang sekarang.” Anko membelai lembut rambut
Yukiko, Yukiko memeluknya.
“Aku benar – benar merindukan diriku saat aku masih berdiri di lapangan hijau sebagai
seorang striker. Keceriaan saat menghabiskan waktu bersama Hikaru dan Kaito. Kehangatan saat
Kaito tersenyum dan bicara padaku.”
“Kau pasti bisa,jangan terlalu dipikirkan.” Anko tersenyum lembut dan bangkit. “Mau ice
cream? Mungkin bisa mendinginkan kepalamu dan member inspirasi untuk menulis.”
“Doita ne.”
Hari itu hari sabtu kebetulan kedua sodara jauh Yuki sedang pulang kampung setelah
UTS berakhir jadi tinggal Yuki dan Anko saja. Setelah menghabiskan sekotak ice cream vanilla-
choco bersama Anko, Yuki kembali ke kamarnya, bukan kembali duduk di meja belajarnya, ia
berbaring di kasurnya dengan kaki menggantung di pinggir ranjang. Ia menatap langit –langit
kemudian memejamkan matanya.
Ada yang salah denganku…sejak kapan? Aku yang memutuskan untuk keluar dari
duniaku…berharap lebih baik, terobsesi untuk berubah menjadi seorang baru yang lebih kuat.
Tidak. Aku hanya berputar – putar di tempat. Apanya yang menjadi lebih baik? Apanya yang
menjadi lebih dewasa? Aku malah melupakan jati diriku.Menulis dan menggambar adalah hal
yang paling kusuka sejak kecil. Namun hanya karena tidak pede dan iri dengan karya orang lain
yang lebih baik, aku menyerah dan mencari dunia lain. Kemudian aku memasuki dunia cosplay
dan dance, sangat bersemangat walau aku tak punya bakat atau bekal apapun kecuali
keinginan. Selama hampir dua tahun aku terjun ke dunia itu, dan semakin lama kudalami aku
semakin merasa aku bukan apa – apa. Saat aku ingin kembali memegang pensil dan kertas, aku
kehilangan kemampuanku.