Anda di halaman 1dari 3

Lo 2

pada situasi bencana, Rumah Sakit akan menjadi tujuan akhir dalam menangani
korban sehingga RS harus melakukan persiapan yang cukup. Persiapan tersebut
dapat diwujudkan diantaranya dalam bentuk menyusun perencanaan menghadapi
situasi darurat atau rencana kontingensi, yang juga dimaksudkan agar RS tetap bisa
berfungsi-hari terhadap pasien yang sudah ada sebelumnya (business continuity
plan). Rencana tersebut umumnya disebut sebagai Rencana Penanggulangan
Bencana di Rumah Sakit, atau Hospital Disaster Plan (HDP).

Ketika terjadi bencana, selalu akan terjadi keadaan yang kacau (chaos), yang bisa
menganggu proses penanganan pasien, dan mengakibatkan hasil yang tidak
optimal. Dengan HDP yang baik, chaos akan tetap terjadi, tetapi diusahakan agar
waktunya sesingkat mungkin sehingga pelayanan dapat tetap dilakukan sesuai
standard yang ditetapkan, sehingga mortalitas dan moriditas dapat ditekan
seminimal mungkin.

Dalam situasi bencana, hal-hal yang paling sering muncul di RS adalah:

o Pada satu saat ada penderita dalam jumlah banyak yang harus dilayani sehingga
persiapan yang terlalu sederhana (“simple alarm)“ akan tidak mencukupi, dan
diperlukan persiapan yang lebih komperhensif dan intensif (Organization for a Mass
admission of Patients – OMP ”).

o Kebutuhan yang melampaui kapasitas RS, dimana hal ini akan diperparah bila
terjadi kekurangan logistikdan SDM, atau kerusakan terjadi infra struktur dalam RS
itu sendiri.

Kedua hal tersebut diatas wajib diperhitungkan baik untuk bencana yang terjadi
diluar maupun didalam RS sendiri.

ada situasi bencana yang terjadi diluar RS, hasil yg diharapkan

dari HDP adalah:

 Korban dalam jumlah yang banyak mendapat penanganan sebaik mungkin,


melalui
 Optimalisasi kapasitas penerimaan dan penanganan pasien, dan
 Pengorganisasian kerja secara profesional, sehingga
 Korban/pasien tetap dapat ditangani secara individu, termasuk pasien

yg sudah dirawat sebelum bencana terjadi.

Sedangkan untuk penanganan korban di luar RS, bantuan medis diberikan


dalam bentuk pengiriman tenaga medis maupun logistik medis yang
diperlukan.
Pada kasus dimana bencana terjadi didalam RS (Internal Disaster), seperti
terjadinya kebakaran, bangunan roboh dsb, target dari HDP adalah :

1. Mencegah timbulnya kroban manusia, kerusakan harta benda maupun


lingkungan, dengan cara:
 Membuat protap yang sesuai
 Melatih karyawan agar dapat menjalankan protap tersebut
 Memanfaatkan bantuan dari luar secara optimal.
2. Mengembalikan fungsi normal RS secepat mungkin

Secara umum dapat dikatakan bahwa untuk bencana eksternal

maupun internal. Konsep dasar suatu HDP adalah:

1. Melindungi semua pasien, karyawan, dan tim penolong


2. Respon yang optimal dan efektif dari tim penanggulangan

bencana yg berbasis pada struktur organisasi RS sehari-hari

Oleh karena itu suatu HDP sudah seharusnya dibuat untuk


mengantisipasi hal tersebut, dan untuk itu sebaiknya disusun dengan
mempertibangkan komponen-komponen: kebijakan penunjang,
struktur organisasi dengan pembagian tugas dan sistim komando yang
jelas, sistim komunikasi – informasi, pelaporan data, perencanaan
fasilitas penunjang, serta sistim evaluasi dan pengembangan. Selain itu
perencanaan dalam HDP harus sudah diuji dalam suatu simulasi, serta
disosialisasikan ke internal RS maupun institusi lainnya yg
berhubungan.

Lo terakhir
Bencana atau peristiwa traumatik menimbulkan berbagai dampak, salah satunya adalah
dampak psikologis bagi yang mengalami, baiksecara langsung ataupun tidak langsung.
Gangguan stress pasca trauma (PTSD), depresi, gangguan kecemasan, dan gangguan
penggunaan obat-obatan merupakan dampak psikologis akibat bencana atau peristiwa
traumatik yang tergolong serius (Bisson & Lewis, 2009). Salah satu usaha yang dilakukan
untuk mencegah dampak yang serius ini adalah psychological debriefing, namun hasil riset
menemukan bahwa teknik tersebut tidak efektif untuk mencegah terjadinya dampak yang
serius akibat bencana (Hobbs, Mayou, Harrison, & Warlock. 1996).
Intervensi lain yang kemudian digunakan adalah psychological first aid (PFA) atau dukungan
psikologis awal. Dianalogikan seperti physical first aid atau pertolongan pertama pada
kecelakaan, PFA juga merupakan penanganan segera setelah kejadian untuk mengurangi
dampak negatif dari bencana atau peristiwa traumatik serta memperkuat proses pemulihan
penyintas. PFA juga menjawab permasalahan terbatasnya tenaga profesional seperti psikolog
dan psikiater yang dapat melakukan intervensi psikologis segera setelah bencana atau
peristiwa traumatik terjadi. Hal ini disebabkan karena PFA dapat dilakukan oleh siapapun
yang telah mendapatkan pelatihan PFA.
Saat ini PFA menjadi salah satu teknik yang cukup banyak dikembangkan dan digunakan di
Indonesia. Seiring dengan hal tersebut berbagai riset di luar negeri telah dilakukan untuk
mengevaluasi efektivitas PFA. Hingga saat ini, sebagian besar riset yang mencoba mengukur
efektivitas PFA adalah studi literatur yang sistematis (Bisson & Lewis, 2009; Fox, dkk. 2012;
Dieltjens, 2014). Hasil review menunjukan bahwa PFA merupakan layanan awal yang
membutuhkan tindak lanjut. Keterbatasan dari studi ini adalah kurangnya bukti adekuat yang
bersumber dari studi deskriptif, retrospective  atauprospective observational analytical, atau
studi eksperimen berbasis populasi.
Di lain pihak, Ramirez, Harland, Frederick, Shepherd, Wong, & Cavanaugh (2013), mencoba
melakukan studi longitudinal quasi-eksperimen kepada anak-anak usia SMP dan SMA untuk
menguji efektivitas intervensi “Listen Protect Connect” (LPC) yang merupakan implementasi
dari PFA. Intervensi ini dilakukan oleh petugas kesehatan sekolah yang sebelumnya telah
diberikan pelatihan LPC kepada anak-anak usia SMP dan SMA yang pernah mengalami
trauma berdasarkan hasil asesmen awal. Studi menunjukkan bahwa LPC merupakan
intervensi yang efektif. Namun, peneliti mengakui bahwa masih terdapat keterbatasan dari
studi tersebut, yaitu program LPC tidak diberikan segera setelah peristiwa traumatis terjadi,
tidak adanya kelompok kontrol, dan jumlah partisipan yang kecil, yaitu 20 orang.

Anda mungkin juga menyukai