Anda di halaman 1dari 37

TINJAUAN PUSTAKA

Aterosklerosis
Batasan
Arteri. Arteri adalah pembuluh yang mengalirkan darah keluar dari jantung
untuk diedarkan ke paru-paru atau ke seluruh tubuh. Strukturnya terdiri atas
tunika intima, tunika media, dan tunika adventisia yang dibatasi dengan interna
elastik lamina dan eksterna elastik lamina (Gambar 2A). Berhadapan dengan
lumen arteri, terdapat sel endotelium. Tunika media mayoritas diisi oleh sel-sel
otot polos.
Aterosklerosis. Aterosklerosis didefinisikan oleh Ross (1999b) sebagai
pengerasan dan penyempitan arteri secara progresif akibat timbunan lemak
dengan disertai peradangan. Pengerasan arteri ini disebabkan oleh adanya pusat
nekrosis yang berisi sel-sel busa, sisa-sisa seluler, kolesterol kristal, kalsium, dan
dikelilingi oleh kapsula fibrosa (fibrous cap) yang berisi sel-sel otot polos,
makrofag, sel busa, limfosit, kolagen, elastin, proteoglikan, dan neovaskulerisasi
(Gambar 2B).

(A) (B)

Gambar 2 Diagram melintang arteri normal yang terdiri dari tunika intima,
tunika media, dan tunika adventisia (A), dan arteri yang mengalami
aterosklerosis yang ditunjukkan dengan penebalan tunika intima
berisikan pusat nekrosis dan kapsula fibrosa (B)

Aterogenesis. Aterogenesis merupakan segmentasi perkembangan plak


aterosklerosis, mulai dari arteri normal, kemudian berkembang menjadi garit
10

lemak (fatty streak), ateroma atau plak fibrosa (fibrous plaque), dan komplikasi
lesi (lesio complication) (Gambar 3).

Gambar 3 Aterogenesis yang menggambarkan segmentasi terbentuknya plak


aterosklerosis, mulai dari arteri normal, muncul garit lemak,
menjadi plak fibrosa (ateroma), dan berkembang menjadi
komplikasi lesi aterosklerosis (adaptasi dari Ross 1999b)

Mekanisme aterosklerosis. Pada intinya, mekanisme aterosklerosis


menjelaskan proses terjadinya dan berkembangnya lesi aterosklerosis sampai
timbul komplikasi dan kematian. Menurut Hansson (2009), aterosklerosis bermula
dari akumulasi LDL, pengaktifan endotelium, serta perekrutan sel-T dan monosit.
Monosit mengalami diferensiasi menjadi makrofag agar dapat melakukan
fagositosis lipoprotein termodifikasi dan berkembang menjadi sel busa. Sel-T
bertugas mengenal adanya antigen lokal, kemudian mengundang respons sel
Helper-1 agar terlibat dalam peradangan lokal dan pertumbuhan lesi
aterosklerosis. Sejalan dengan itu sinyal yang bersifat anti-peradangan muncul,
sehingga terjadi pengaturan sistem kekebalan. Aktivasi peradangan secara intensif
mengakibatkan terjadinya komplikasi berupa proteolisis lokal, kerusakan plak,
formasi trombus, iskhemia, dan infark.
Hipotesis aterosklerosis. Penjelasan Hansson (2009) tersebut secara tidak
langsung merangkum beberapa teori penyebab aterosklerosis seperti teori lipid,
teori peradangan, teori kepekaan mesenkim, teori perlukaan, ataupun disfungsi
11

endotel. Teori-teori ini menghasilkan beberapa hipotesis, tentang timbulnya plak


aterosklerosis dan komplikasinya. Williams & Tabas (1995) menjelaskan bahwa
pengembangan hipotesis ini umumnya berdasarkan pada temuan komponen plak
aterosklerosis seperti komponen seluler (sel otot polos, makrofag, lekosit),
komponen jaringan matriks (elastin dan kolagen), komponen lipid (kolesterol,
intra dan ektraseluler lipid), dan komponen kalsifikasi. Adapun hipotesis yang
sering digunakan untuk menjelaskan mekanisme aterosklerosis meliputi hipotesis
disfungsi endotelium, hipotesis respon peradangan kronis, hipotesis migrasi sel
otot polos (dari media ke intima), hipotesis proliferasi sel otot polos (dalam
rangka menghasilkan matriks elastin dan kolagen pada intima), serta hipotesis
terjadinya akumulasi lipid. Berdasarkan hipotesis proliferasi sel otot polos,
growth factor, cytokines, vasoaktif, prostaglandins, leukotrienes, dan matriks
ekstraseluler yang ikut memengaruhi aktivitas sel-sel otot polos disajikan pada
Tabel 1.

Tabel 1 Growth factor, cytokines, vasoaktif, prostaglandins, leukotrienes, dan


matriks ekstraseluler yang ikut memengaruhi aktivitas sel-sel otot polos
(diadaptasi dari Reines & Ross 1993).

Agen Vasoaktif,
Growth factors dan Matriks
prostaglandins, dan
cytokines Extraselular
leukotrienes
 Epidermal growth factor (EGF)  Angiotensin II (A-II)  Fibronectin
 Basic fibroblast growth factor  Atrial natriuretic (FN)
(bFGF) polypeptide (ANP)  Heparin
 Heparin-binding EGF-like  Endothelial-derived  Laminin
growth factor (HB-EGF) relaxing factor-nitric oxide  Osteonectin
 Insulin growth factor-I (IGF-I) (EDRF-NO) (SPARC)
 Interferon- (IFN-)  Endothelin (ET-1)  Tenascin (TN)
 Interleukin-1 (IL-1)  Adrenaline/noradrenaline  Thrombospondin
 Interleukin-6 (IL-6)  1 2-hydroxy- (TSP)
 Platelet-derived growth factor eicosatetraenoic acid
(PDGF) (1 2-HETE)
 Thrombin  Leukotriene B4 (LTB4)
 Transforming growth factor a  Prostacyclin (PGI)
(TGF-a)  Prostaglandin E (PGE)
 Transforming growth factor-fl  Serotonin
(TGF-fl)  Substance
 Tumour necrosis factor-a  Vasopressin
(TNF-a)
12

Teori disfungsi endotel. Berdasarkan teori disfungsi endotel (Gambar 4),


dijelaskan bahwa hiperlipidemia, toksin, hipertensi, merokok, faktor
hemodinamik, reaksi imun, dan virus menyebabkan perlukaan pada sel endotel,
sehingga sel endotel melepaskan cytokines seperti Interluekin1 (IL-1), MCP-1,
dan M-CSF untuk memicu adesi monosit pada endotel bermigrasi sebagai
makrofag pada tunika intima, dan melakukan fagositosis LDL, kemudian
teroksidasi menjadi sel busa. Bersamaan dengan proses ini, sel-sel otot polos
bermigrasi menembus elatin lamina interna dan berprolifrasi pada tunika intima
untuk menyusun matriks elastin, kolagen, dan proteoglikan menggantikan
ekstraseluler dan intraseluler lipid yang terdeposit pada tunika intima.

Gambar 4 Mekanisme aterosklerosis berdasarkan teori disfungsi/perlukaan


endotel (adaptasi dari Ross 1999a)

Modulasi makrofag. Das et al. (2011) menjelaskan bahwa dalam proses


perkembangan lesi dari garit lemak sampai terbentuk plak, plasminogen berperan
sebagai prekursor bagi serine protease plasmin serta sebagai modulator bagi
makrofag dalam pembentukan sel-sel busa. Dalam hal ini, plasminogen yang
13

memiliki kemampuan memecah matriks protein selama proses fibrinolisis dan


migrasi sel, berperan menjadi perantara antara permukaan makrofag dengan
aktivitas katalisis. Secara teknis, plasminogen memengaruhi ekspresi CD36
dengan mematangkan ikatan oksidasi dengan cara mengatur sekresi leukotiene B4
oleh makrofag.
Penamaan lesi aterosklerosis. Menurut Finn et al. (2010), penamaan lesi
aterosklerosis dari sejak awal sampai terjadi komplikasi adalah sebagai berikut.
Garit lemak (fatty streak) adalah lesi yang pertama kali terlihat dalam
perkembangan aterosklerosis. Ateroma (atheroma) adalah akumulasi sel atau
runtuhan sel yang berisikan lipid, kalsium, dan jaringan ikat fibrosa yang terlihat
di antara deretan endotelium dan dinding arteri yang dipadati sel-sel otot polos.
Plak (plague) adalah deposit lemak di dalam dinding pembuluh darah. Ada pula
istilah fibroateroma dengan kapsula tipis (thin-cap fibroatheroma, TCFA), yaitu
kapsula fibrosa yang mengalami infiltrasi makrofag dan limfosit, dengan sel-sel
otot polos yang jarang dan mengalami nekrosis pada inti deposit lipid. Dijelaskan
oleh Finn et al. (2010) bahwa TCFA merupakan lesi aterosklerosis yang mudah
pecah dan mengalami trombosis.

Kerapuhan lesi aterosklerosis. Menurut Finn et al. (2010) konsep tentang


kerapuhan aterosklerosis berkembang dari masa ke masa. Konsep ini pertama kali
dicetuskan pada tahun 1844 dengan ditemukannya pecahan plak pada arteri yang
mengalami aterosklerosis. Pada tahun 1858 istilah ateroma diperkenalkan sebagai
masa lipid yang diseliputi kapsula fibrosa. Pada tahun 1970-an diperkenalkan
istilah intramural atheromatous abcess. Pada masa ini diperkenalkan peran
intraplaque angiogenesis and hemorrhrage sebagai plak yang tidak stabil. Pada
tahun 1985 diperkenalkan peran pecahan plak sebagai penyebab trombosis
koroner. Pada masa ini disusun konsensus American Hearth Association (AHA)
yang berkaitan dengan skema klasifikasi untuk awalan dan perkembangan lesi
aterosklerosis. Pada tahun 1987 diperkenalkan konsep remodeling arteri sejalan
dengan perkembangan lesi aterosklerosis. Pada tahun 1989 dilakukan
pengelompokkan kondisi hemodinamik yang secara nyata berisiko terhadap
munculnya plak yang rapuh. Pada tahun 1994-1999 dilaporkan proses
penyempitan lumen arteri akibat silih berganti pemulihan pecahan plak dengan
14

proses peradangan. Pada masa ini dilaporkan peran sitokin dan proteolisis pada
mekanisme pecahnya kapsula fibrosa maupun peran keping darah dan koagulasi
pada mekanisme trombosis. Pada masa ini juga dilaporkan definisi lesi yang
rapuh berdasarkan ketebalan kapsula fibrosa (<65 µm). Pada tahun 2000
diperkenalkan istilah thin-cap fibroatheroma (TCFA) sebagai konsensus AHA
berkenaan dengan lesi yang rapuh dan mekanisme trombosis. Sampai pada tahun
2003 dilaporkan adanya ciri-ciri morfologi, kejadian, dan tepatnya lokasi TCFA.
Pada masa ini juga dijelaskan tentang konsep erythrocyte-derived cholesterol and
necrotic core expansion sebagai mekanisme kerapuhan lesi aterosklerosis.
Aterosklerosis koroner. Aterosklerosis dapat berkembang pada arteri
koroner seperti LAD, LCX, dan RCA (Gambar 5), serta dapat menimbulkan
komplikasi penyakit jantung koroner seperti thrombotic coronary occlusion,
myocardial infarctions, keluhan acute coronary syndrome, dan umumnya pasien
berakhir dengan kematian (Stone et al. 2011).

Gambar 5 Jantung dengan arteri koroner LAD, LCX, dan RCA yang
merupakan tempat terjadinya aterosklerosis

Grading Aterosklerosis Koroner. American Heart Association


mengembangkan tahap-tahap (grading) perkembangan aterosklerosis menjadi
enam tipe plak aterosklerosis (Stary et al. 1995). Tipe-I ditandai dengan
munculnya garit lemak, perubahan minor formasi otot polos, dan penyesuaian
ketebalan dinding arteri baik pada intima maupun media. Tipe-II atau tipe lesi
15

ditandai dengan tanda-tanda seperti pada tipe-I, akumulasi makrofag, dan adanya
sel busa. Tipe-III atau tipe preateroma memiliki tanda seperti yang ditemukan
pada tipe-II, dan juga ditandai dengan adanya kolam-kolam kecil yang berisi lipid
ekstraseluler. Pada tipe-IV atau tipe ateroma, selain adanya tanda-tanda seperti
pada tipe-III, terdapat pula pusat lipid ekstraseluler. Pada tipe-V atau tipe fibro-
ateroma, selain adanya tanda-tanda seperti pada tipe-IV juga ditandai dengan
adanya penebalan fibrosa. Pada tipe-VI atau tipe lesi komplikasi, selain ditemukan
tanda-tanda seperti pada tipe-V, ditemukan juga adanya komplikasi lesi berupa
trombus, fisura, dan hematoma (Gambar 6).

Gambar 6 Grading formasi enam tipe aterosklerosis menurut American Heart


Association (Stary et al. 1995)

Faktor Risiko Aterosklerosis


Umum. Menurut Maas & Boger (2003) faktor risiko aterosklerosis terdiri
dari dua kelompok faktor, yaitu yang berpeluang untuk dimodifikasi atau tidak,
dan yang tergolong tradisional atau moderen.
1. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi meliputi hiperlipidemia, hipertensi,
merokok, diabetes melitus, peningkatan homocysteine, faktor hemostasis dan
16

trombosis, infeksi virus herpes dan Chlamydia pneumoniae, kegemukan, serta


pola hidup dan stress.
2. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi meliputi umur, jenis kelamin, dan
sejarah keluarga.
3. Faktor risiko yang masuk kategori tradisional meliputi umur, jenis kelamin,
status sosial-ekonomi, sejarah keluarga, merokok, konsentrasi kolesterol
dalam LDL dan HDL, hipertensi, obesitas, diabetes melitus, dan inaktivitas
fisik.
4. Faktor risiko yang masuk ketagori new and emerging risk factor, yaitu C-
reactive protein, homocysteine, oxidative stress, dan lipoprotein(a).

Obesitas/kegemukan. Obesitas dimengerti sebagai kondisi gemuknya


badan akibat asupan kalori yang melebihi keperluan tubuh. Istilah ini juga
digunakan untuk seseorang yang bobot badannya lebih berat 30% atau lebih dari
bobot badan normal (D’Alessio 2003). Terdapat dua kriteria obesitas, yaitu
kelebihan bobot badan dan obes. Disebut obes jika sudah menderita sakit dan
memiliki dampak patologis. Sebagaimana disinyalir oleh WHO (2005), pada
tahun 2015 diperkirakan 2.3 miliar orang dewasa mengalami kelebihan bobot
badan dan 700 juta di antaranya menderita obes.
Faktor pengendali obesitas meliputi faktor genetik, tingkah laku,
lingkungan, fisiologi, sosial, dan budaya (Racette et al. 2003). Dalam dua dekade
terakhir, obesitas lebih banyak disebabkan oleh faktor tingkah laku dan
lingkungan (WHO 2005). Faktor genetik diperkirakan memberikan kontribusi
perubahan Indeks Massa Tubuh (IMT) sebanyak 50%-90% (Racette et al. 2003).
Menurut WHO (2005), seseorang disebut kelebihan bobot badan jika IMT-nya
lebih dari 25 dan disebut menderita obesitas jika IMT-nya lebih dari 30.
Diperkirakan terdapat lebih dari 200 gen faktor genetik obesitas. Gen-gen
faktor genetik obesitas tersebut meliputi Melanocortin 4 Receptor (MC4R),
Proopiomelanocortin (POMC), leptin dan reseptor leptin, Peroxisome
Proliferator Activated Receptor Gamma (PPARϒ ), Uncoupling Proteins (UCP1,
UCP2, UCP3), Fatty Acid Binding Protein 2 (FABP2), melanocortin receptors
(MC3R, MC4R, MC5R), neuropeptide Y (NPY), hormone sensitive lipase (HSL),
17

lipoprotein lipase (LPL), insulin responsive substrate-1 (IRS-1), membrane


glycoprotein/plasma cell differentiation factor (PC-1), dan skeletal muscle
glycogen synthase.
Sindrom metabolik. Sindrom metabolik adalah kumpulan gejala atau tanda
klinis yang mengarah pada terjadinya aterosklerosis dan penyakit jantung koroner
di kemudian hari. Selain terdapat resistensi insulin dan hiperinsulinemia, terdapat
tambahan empat sampai lima gejala atau tanda klinis yang menjadi prasyarat
untuk disebut adanya sindrom metabolik. Hal yang menarik adalah adanya
perbedaan prasyarat gejala klinis antara WHO dan National Institutes of Health
(NIH) sebagaimana disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Prasyarat sindrom metabolik menurut WHO dan NIH Amerika Serikat

World Health Organization


1. Rasio pinggang-pinggul > 0.85 pada wanita dan > 0.9 pada pria atau
indeks masa tubuh > 30 kg/m2
2. Trigliserida > 150 mg% dan/atau HDL-cholesterol < 35 mg% (pria) atau
< 40 mg% (wanita)
3. Tekanan Darah > 140/90 mm Hg
4. Peningkatan sekresi albumin dalam urin

National Institutes of Health


1. Obesitas abdominal: lingkar pinggang > 35 inci pada wanita atau 40 inci
pada pria
2. Trigliserida > 150 mg%
3. HDL-cholesterol < 50 mg% pada wanita atau < 40 mg% pada pria
4. Tekanan darah > 130/85 mm Hg
5. Plasma glukosa puasa > 110 mg%

Perspektif sindrom metabolik mengalami perkembangan dari tahun ke


tahun. Pada awalnya (sebelum tahun 1980), sindrom metabolik hanya
menjelaskan hubungan antara resistensi insulin dengan diabetus melitus tipe-2.
Sepuluh tahun kemudian (sekitar tahun 1990-an), perspektif ini berkembang ke
arah faktor risiko obesitas, yaitu berdasarkan ukuran tubuh dan IMT, dihubungkan
dengan resistensi insulin dan hiperinsulinemia maupun faktor risiko penyakit
jantung koroner. Secara rinci, faktor risiko tersebut meliputi dislipidemia,
gangguan metabolisme glukosa, gangguan metabolisme asam urat, gangguan
18

hemodinamik, dan hal-hal yang berkaitan dengan peningkatan C-reactive protein


(CRP), plasminogen activator inhibitor–1 (PAI-1) dan fibrinogen. Secara singkat,
dapat dikatakan bahwa untuk setiap peningkatan bobot badan sebesar 1 kg, risiko
penyakit jantung kardiovaskuler meningkat sebesar 3.1%. Perspektif sindrom
metabolik tersebut digambarkan oleh Reaven (2001) sebagaimana Gambar 7.

Gambar 7 Diagram alir perspektif sindrom metabolik dengan pemicu obesitas


dengan faktor risiko terjadinya aterosklerosis dan penyakit jantung
koroner (modifikasi dari Reaven 2001)

Untuk mengatasi sindrom metabolik, diperlukan pendekatan yang


komprehensif. Membangun gaya hidup yang sehat seperti latihan fisik, perbaikan
diet, maupun penggunaan obat seperti penurun lipid, antidiabetik, antiobesitas
atau antihipertensi, menjadi kebutuhan yang tidak dapat dihindarkan. Kelebihan
asam lemak bebas (FFAs) dan gula darah (hiperglisemia) yang menyebabkan
resistensi insulin dan munculnya lipotoksisitas dan glukotoksisitas sedapat
mungkin dihindarkan (Grundy 2006).

Remodeling Arteri
Remodeling arteri didefinisikan oleh Groot & Veldhuizen (2006) sebagai
kemampuan homeostasis arteri dalam mengompensasi stenosis plak aterosklerosis
19

dan menjaga diameter lumen, sehingga sistem vaskuler tetap berfungsi dengan
baik. Dengan kata lain, remodeling arteri merupakan kompensasi arteri terhadap
perkembangan aterogenesis baik karena adanya mekanisme homeostasis tubuh
maupun karena adanya upaya untuk menekan faktor-faktor risiko aterosklerosis.
Gambar 8 menyajikan bentuk remodeling LCX yang mengalami
pembesaran (Ectasia) karena aterosklerosis yang bersifat konsentris.

Gambar 8 Contoh remodeling arteri koroner LCX pada manusia yang berusaha
melakukan kompensasi berupa pembesaran arteri karena dorongan
aterosklerosis (Williams et al. 2008)

Spektrum remodeling arteri. Sebagai proses perkembangan, remodeling


arteri menghasilkan formasi arteri yang beragam, tergantung pada besarnya
pengaruh tekanan (pressure), pengaruh aliran (flow), pengaruh perlukaan endotel
(injury), dan pengaruh timbunan plak dan komplikasi plak (Groot & Veldhuizen
2006). Formasi arteri tersebut menghasilkan spektrum remodeling arteri
sebagaimana disajikan pada Gambar 9. Pengaruh tekanan darah menghasilkan
perbesaran arteri yang bersifat radial dan remodeling geometris yang bersifat
sentris maupun konsentris. Pengaruh aliran darah menghasilkan remodeling
ekspansif (lumen membesar) dan remodeling konstriktif (lumen menyempit).
20

Spektrum remodeling arteri

tekanan aliran luka

Gambar 9 Spektrum remodeling arteri sebagai kompensasi proses


aterosklerosis (adaptasi Groot & Veldhuizen 2006)

Remodeling arteri koroner. Remodeling arteri koroner dipelajari oleh


Clarkson et al. (1994) dengan melakukan studi retrospektif pada 100 jantung pria
dan wanita usia lebih dari 25 tahun serta pada 328 jantung monyet ekor panjang
dan 88 monyet rhesus jantan. Satwa primata ini secara eksperimental diinduksi
diet tinggi kolesterol, sehingga mengalami jantung koroner. Hasilnya
menunjukkan bahwa ukuran lumen tidak dipengaruhi oleh ukuran plak semata.
Ukuran lumen bervariasi dan tidak dapat diprediksi sebagai faktor risiko
(tradisional) untuk menentukan penyakit jantung koroner. Namun, dengan
menempatkan ukuran plak dan ukuran lumen bersama-sama sebagai faktor yang
menggambarkan tidak adanya kompensasi arteri, ukuran lumen berkorelasi tinggi
dengan sejarah terjadinya penyakit jantung koroner. Ketiadaan kompensasi ini
menunjukkan adanya komplikasi aterosklerosis. Penelitian ini juga menyimpulkan
bahwa manusia dan satwa primata memiliki respon remodeling arteri yang sama.
Pendeteksian remodeling arteri. Pendeteksian remodeling arteri dapat
dilakukan dengan beberapa metode yang sifatnya invasif dan non-invasif. Metode
invasif umumnya dilakukan pada hewan model atau pospartum dengan
pendekatan patologis, histoteknik, maupun imunohistokimia.
Di lain sisi, metode non-invasif dilakukan dengan menggunakan Magnetic
Resonance Imaging (MRI) dengan bantuan biomarker makrofag. Biomarker ini
dikarakterisasi dengan Fluorodeoxyglucose (FDG) dan diamati dengan Positron
Emission Tomography (PET) (Worthley et al. 2008). Untuk dapat diaplikasikan
21

pada manusia, sejarah pendeteksian remodeling arteri dimulai dengan


menggunakan hewan model kelinci (New Zealand white rabbit) dalam keadaan
puasa dan terbius. Penelitian ini menunjukkan bahwa MRI dapat dijadikan
sebagai alat untuk mendata dinding arteri secara seri dan non-invasive, sehingga
dapat menjelaskan secara utuh remodeling arteri. MRI juga digunakan untuk
meneliti remodeling arteri pada aterosklerosis alami setelah intervensi
perkutaneous koroner.
Selain makrofag, biomarker remodeling arteri dapat diperankan oleh enzim
yang berfungsi dalam perkembangan matriks ekstraseluler aterosklerosis. Romero
et al. (2008) menemukan dua jenis enzim yang konsentrasinya dapat diukur, yaitu
Matrix Metallo Proteinases (MMPs) dan Tissue Inhibitor MMPs (TIMPs).
Berdasarkan pemeriksaan arteri karotid diketahui bahwa Matrix Metallo Protein-9
(MMP-9), Tissue Inhibitor MMP-1 (TIMP-1), dan Protocollagen-III n-Terminal
Propeptide (PIIINP) dapat mengekspresikan perbedaan keparahan aterosklerosis.
Tingginya biomarker remodeling arteri pada penelitian Farmingham menunjukkan
bahwa umur menengah tua ternyata memiliki hubungan dengan kejadian stenosis
pada arteri karotid dan kejadian aterosklerosis sub-klinis pada karotid interna.
Pendeteksian remodeling arteri metode invasif pada preparat histologis
hewan model maupun pasien post partum dapat dilakukan dengan pendekatan
kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kualitatif dilakukan dengan grading
aterosklerosis seperti yang telah dijelaskan pada paragraf terdahulu. Pendekatan
kuantitatif dilakukan dengan mengukur ketebalan intima maupun dengan
mengukur luas lumen, luas plak, dan luas dinding arteri. Pengukuran ketebalan
intima secara tidak langsung menggambarkan ketebalan plak dan keparahan
aterosklerosis. Perubahan ketebalan tersebut dapat dilakukan dengan melihat
lapisan-lapisan jaringan elastin pada tunika intima atau Interna Elastin Lamina
(IEL) dan jaringan elastin pada tunika media atau Externa Elastin Lamina (EEL).
Lapisan-lapisan ini membuktikan bahwa dinding arteri melakukan perbaikan
secara berkelanjutan (continuous improvement) dalam rangka menjaga keutuhan
formasi lumen arteri, yaitu sebagai kompensasi terhadap pengaruh tekanan, aliran,
perlukaan maupun pengaruh timbunan plak dan komplikasi plak yang sifatnya
saling berinteraksi.
22

Model matematika remodeling arteri. Model matematika remodeling


arteri dikembangkan oleh Groot & Veldhuizen (2006) dengan menjelaskan
perubahan dimensi dinding melalui komponen pendukung arteri koroner manusia
mulai dari awal sampai akhir terjadinya aterosklerosis. Sebelum diwarnai dan
diperiksa dengan menggunakan komputer, sebanyak 83 sampel pospartum
difiksasi kemudian diproses dengan parafin untuk mendapatkan sudut
pemotongan 5 mikron yang proporsional. Analisis dilakukan secara acak terhadap
garis radial yang menghubungkan titik pusat lumen ke titik-titik paling jelas pada
intima, media, dan penebalan jaringan ikat sepanjang keliling arteri. Analisis
tersebut menunjukkan bahwa pada dimensi intima, ditemukan adanya indikasi
pra-aterosklerosis berupa proses perluasan radius arteri dalam bentuk tahapan-
tahapan waktu pelebaran dan peningkatan luas vaskuler secara utuh.
Pertama-tama intima mengalami peningkatan secara stabil, kemudian terjadi
pengurangan proporsi luas arteri karena peningkatan diameter. Media juga
menunjukkan perkembangan sebagaimana intima, yang mula-mula mengalami
fase stabilisasi, kemudian fase mendatar, lalu meningkat pada fase ketiga.
Jaringan ikat arteri mengalami peningkatan pada fase pertama, lebih meningkat
pada fase kedua, dan dipercepat pada fase ketiga. Keseluruhan proses remodeling
arteri terjadi secara sistematis yang terdistribusi dengan jelas pada semua
pembuluh darah dan secara lokal diikuti dengan perkembangan lesi intima.

Regresi Aterosklerosis
Regresi aterosklerosis digambarkan sebagai hasil dari berbagai intervensi
baik diet maupun obat-obatan untuk menghambat progresi aterosklerosis. Ciri
yang mudah dijadikan indikator regresi aterosklerosis adalah adanya perubahan
stabilitas arteri yang dicerminkan oleh formasi seluler maupun komposisi
biokimiawi arteri tersebut. Ternyata untuk mencapai keberhasilan regresi
aterosklerosis, dibutuhkan perjalanan riset dan praktik yang panjang.
Sejarah konsep regresi aterosklerosis. Konsep regresi aterosklerosis
dikemukakan oleh Anitschkow pada tahun 1920-an ketika melakukan penelitian
eksperimental aterosklerosis pada kelinci. Penelitian tersebut diperdalam pada
tahun 1950-1960 dengan ditemukannya fenomena regresi aterosklerosis
23

menggunakan hewan model kelinci, tikus, anjing, dan ayam. Tidak semua
penelitian menunjukkan hasil yang positif. Oleh karena itu, pada tahun 1970-an
dan 1980-an, penelitian tersebut dikembangkan dengan menggunakan hewan
model kelinci, anjing, burung dara (pigeon), babi, dan satwa primata. Hasilnya
cukup menggembirakan dengan ditemukannya ciri morfologis dan ciri biokimiawi
sebagai penanda regresi aterosklerosis. Pada tahun 1980-an, konsep regresi
aterosklerosis dan remodeling arteri dapat diterima oleh kalangan peneliti dan
praktisi dalam rangka meningkatkan upaya-upaya pencegahan dan pengobatan
aterosklerosis (Williams et al. 2008).
St Clair et al. (1972) mempelajari efek regresi aterosklerosis pada lesi
ateroma dan estrifikasi kolesterol pada aorta burung dara. Small et al. (1982)
mempelajari perubahan fisikokimia dan histologis dinding arteri pada satwa
primata selama progresi dan regresi aterosklerosis. Wagner et al. (1980)
mempelajari perubahan kimia pada arteri Macaca mulata yang diinduksi dengan
diet aterogenik selama sembilan belas bulan, kemudian diregresi selama empat
puluh delapan bulan dengan memelihara konsentrasi total plasma kolesterol 300
mg/dL atau 200 mg/dL. Dalam catatan kuliah yang disampaikan St Clair (2003),
disebutkan bahwa penginduksian progresi aterosklerosis monyet rhesus dengan
diet aterogenik selama tujuh belas bulan menghasilkan Total Plasma Cholesterol
(TPC) 700 mg/dL dan penyempitan arteri koroner kiri 60%±4% dan arteri koroner
kanan 57%±7%. Setelah intervensi dengan diet dan asupan skuestrasi asam
empedu, yaitu cholestiramine selama empat puluh bulan, TPC kembali menjadi
140mg/dL. Semasa induksi, penyempitan arteri koroner kiri dan kanan adalah
sebesar 25%±5% dan 26%±3%, sedangkan setelah intervensi diet, penyempitan
arteri koroner kiri dan kanan menjadi 17%±4% dan 14%±3%. St Clair juga
memberikan catatan bahwa tidak semua komponen biokimia pada regresi
aterosklerosis kembali normal secara total. Komponen-komponen biokimia yang
tidak dapat kembali normal secara total adalah lipid, jaringan ikat, mineral, dan
seluler. Perbaikan permukaan dinding arteri dan penebalan intima relatif lebih
sulit kembali normal dibandingkan dengan perbaikan jaringan media, jaringan
adventesia, maupun lemak intraseluler dan ekstraseluler. Pada Tabel 3 disajikan
24

Perubahan parameter biokimiawi dan morfologis dalam induksi maupun regresi


aterosklerosis (Williams at al. 2008).

Tabel 3 Perubahan parameter biokimiawi dan morfologis dalam


induksi maupun regresi aterosklerosis (Williams at al. 2008)

Komponen Induksi Regresi


Lipid

Total Kolesterol

Kolesterol Bebas
Kolesterol Ester
Fosfolipid
Trigliserida

Kolesterol esterifikasi

Kolesterol ester hidrolisis ?


Jaringan Ikat
Kolagen
Elastin
Total sintesis protein
Total GAG
Mineral
Ca
PO4
Seluler
Sel busa
Proliferasi sel
Paramater Morfologis
Keterlibatan permukaan

Ketebalan intima
Kerusakan media
Adventisial RXN
Lipid Intraseluler
Lipid Ekstraseluler
25

Williams et al. (2008) menjelaskan bahwa untuk mendorong terjadinya


regresi aterosklerosis, diperlukan beberapa persyaratan minimal, di antaranya
adalah adanya profil lipid yang kondusif, yang ditandai dengan peningkatan HDL-
C maupun penurunan konsentrasi serum lipid pro-aterosklerosis seperti total
serum kolesterol, Low Density Lipoprotein-Cholesterol (LDL-C) dan ApoB;
berkurangnya deposit lemak dan respon peradangan pada dinding arteri;
peningkatan pembersihan lipid pada plak aterosklerosis, seperti reverse lipid
transport dari plak aterosklerosis ke hati; serta terjaganya stabilitas komponen
arteri dari aterosklerosis, dari kerapuhan dan kelabilan.
Sebagai perkembangan baru, Williams et al. (2008) menjelaskan bahwa
dengan menciptakan lingkungan vaskuler yang baik, sel-sel busa dapat dirangsang
untuk melakukan emigrasi ke sistem limfe dan menghilang dari lesi
aterosklerosis. Emigrasi sel busa dapat diketahui melalui adanya peningkatan
CCR7. Proses regresi ini umumnya diikuti dengan penurunan VCAP1, MCP-1,
tissue factor dan peningkatan ABCA-1. Peningkatan konsentrasi HDL melalui
peningkatan produksi ApoA-1 dapat menghasilkan remodeling atheromata.
Kemampuan HDL ini dapat ditingkatkan dengan menekan sirkulasi ApoB.
Dipertegas oleh Vink et al. (2002) bahwa dalam regresi aterosklerosis, tidak
sepenuhnya aspek morfologi, seluler, dan komponen biokimiawi kembali normal;
perubahan yang lebih penting adalah berubahnya arteri yang labil menjadi arteri
yang stabil (Hamasaki et al. 2000).

Peran HDL dalam Mencegah Aterosklerosis

Hubungan antara konsentrasi HDL-C dan risiko penyakit jantung koroner


tidak diragukan lagi; diperkirakan sebesar 40%-60% dipengaruhi oleh faktor
risiko berbasis pada aspek genetik atau sering disebut sebagai genome-wide
association. Faktor risiko lainnya yang memengaruhi penurunan konsentrasi
HDL-C meliputi jenis kelamin, umur, obesitas, merokok, alkohol, metabolik
sindrom, serta obat-obatan seperti steroid, niasin, statin, dan fibrates (Volkov &
Pajukanta 2010).
26

Di antara faktor-faktor risiko tersebut, obesitas dan IMT memiliki korelasi


kuat dengan konsentrasi HDL-C (Backer et al. 1998; Singh et al. 2007). Untuk
setiap penurunan bobot badan sebesar 1kg, konsentrasi HDL-C meningkat sebesar
0.35mg/dL (Ginsberg 2000). Dilaporkan oleh Kareinen et al. (2001) bahwa selain
peningkatan konsentrasi trigliserida, resistensi insulin, obesitas abdominal, dan
tekanan darah, rendahnya konsentrasi HDL-C memperkuat cluster faktor risiko
munculnya metabolik sindrom.
Konsentrasi HDL-C dikatakan rendah jika nilainya kurang dari 40mg/dL
(Anonim 2001). Kondisi ini ditemui pada 30%-50% pasien penyakit jantung
koroner (Anonim 2009, Sharrett et al. 2001) dan menjadi penyebab kematian di
hampir seluruh belahan dunia (Lloyd-Jones et al. 2009). Berdasarkan The
Farmingham Heart Study, risiko penyakit jantung koroner menurun untuk setiap
peningkatan konsentrasi HDL-C 20mg/dL (Gordon et al. 1977). Hasil kajian
komprehensif menunjukkan bahwa untuk setiap peningkatan 1mg/dL HDL-C,
risiko penyakit jantung koroner pada pria dan wanita menurun sebesar 2%-3%
(Chapman et al. 2004).
Disampaikan Brewer Jr (2004) bahwa secara epidemiologis, LDL dan HDL
merupakan faktor risiko penyakit jantung koroner yang bersifat independen.
Penelitian clinical trial obat penurun LDL menunjukkan bahwa obat tersebut
dapat menurunkan kejadian klinis sampai 30%-45%, namun sisanya tetap berisiko
terhadap penyakit jantung koroner yang ternyata disebabkan oleh konsentrasi
HDL-C yang rendah. Penemuan ini memperkuat argumentasi bahwa strategi
meningkatkan konsentrasi HDL-C sangat penting untuk mencegah penyakit
jantung koroner. Bukti lain menunjukkan bahwa intervensi peningkatan HDL
dengan infusi ApoA-I/Phospholipid Complexes dapat meregresi aterosklerosis
pada kelinci. Untuk memahami peran HDL dalam menghambat aterosklerosis,
berikut adalah pembahasan tentang metabolisme HDL, peran HDL dalam reverse
cholesterol tranport, serta peran HDL sebagai antiaterosklerosis dan antioksidan.

Metabolisme HDL
Struktur HDL. HDL bukan entitas makromolekul tunggal, melainkan
merupakan sekumpulan partikel lipoprotein yang memiliki muatan lipid dan
27

protein dengan karakter kimia fisika yang berdekatan (Rigotti et al. 2003). Secara
umum, struktur partikel HDL terdiri dari lapisan terluar yang bersifat amphipathic
dan berisikan kolesterol bebas, fosfolipid, dan beberapa apolipoprotein (ApoA-1,
AII, C, E, AIV, J, dan D) di permukaan, sedangkan bagian inti bersifat hidrofobia
dan kaya trigliserida. Kolesterol ester HDL pada inti membawa beberapa enzim
seperti PAFA, LCAT, dan Cholesteryl Ester Transfer Protein (CETP) (Havel &
Kane 1995). Menurut Rye et al. (2009), berdasarkan pengukuran menggunakan
ultrasentri-fugasi, elektroforesis, atau nuclear magnetic resonance terhadap
jumlah molekul apolipoprotein dan kolesterol ester, HDL dibagi menjadi beberapa
karakter subtipe, yaitu subtipe HDL-2 dan subtipe HDL-3 (Tabel 4, Gambar 10).

Tabel 4 Karakter kimiawi partikel lipoprotein pada manusia

% triasil-
Kelas Densitas Diameter % protein %
gliserol
Lipoprotein (g/mL) (nm) kering Fosfolipid
kering
HDL 1.063-1.21 5-15 33 29 8
LDL 1.019-1.063 18-28 25 21 4
IDL 1.006-1.019 25-50 18 22 31
VLDL 0.95-1.006 30-80 10 18 50
Chylomicrons < 0.95 100-500 1-2 7 84

Catatan: Semua protein memiliki densitas antara 1.3-1.4g/dL dan agregat lipid
dengan densitas 0.8g/mL

Gambar 10 Partikel HDL dengan berbagai ukuran dan bentuk, serta komposisi
apolipoprotein dan komposisi lipid (Rye et al. 2009)
28

Apolipoprotein. Apolipoprotein merupakan protein khusus (aprotein) yang


memungkinkan transportasi lipid ke seluruh tubuh untuk metabolisme.
Transportasi tersebut terjadi dengan pengenalan partikel lipoprotein terhadap
reseptor, sehingga terjadi perlekatan sesuai dengan fungsinya. Pada manusia,
setidaknya dikenal 10 apolipoprotein yang diklasifikasikan berdasarkan alfabet
dari A sampai E, diikuti numerik roman yang menjelaskan posisinya pada kolom
kromatografi (Tabel 5) (Steeg et al. 2008).

Tabel 5 Ragam Apolipoprotein pada manusia

Banyaknya
Klasifikasi Ditemukan di Peran
dalam plasma
A-I
Protein HDL Mengaktifkan LCAT
(28,300)
Terjadi sebagai
A-II Meningkatkan aktivitas hepatic
dimer terutama 30-50 mg %
(8,700) lipase
HDL
Turunan dari gen apo-B-100
B-48 gene dengan pengeditan RNA;
Chylomicron
(240,000) <5 mg% miskin LDL receptor-binding
domain terhadap apo-B-100
B-100
Protein LDL 80-100 mg % Berikatan dengan LDL receptor
(500,000)
C-I
VLDL, HDL 4-7 mg % Juga mengatifkan LCAT
(7,000)
C-II (8,800) VLDL, HDL, 3-8 mg % Mengaktifkan lipoprotein lipase
C-III chylomicron,
8-15 mg % Menghambat lipoprotein lipase
(8,800) VLDL, IDL, HDL
D HDL Juga dikenal sebagai cholesterol
8-10 mg %
(32,500) ester transfer protein (CETP)
E chylomicron,
3-6 mg % Mengikat LDL receptor
(34,100) VLDL, IDL HDL
Juga dikenal sebagai b-2-
H
Chylomicron - glycoprotein I (terlibat dalam
(50,000)
metabolisme TG)

Apo-lipoprotein A-1. ApoA-1, sebagai komponen utama HDL, memiliki


peran sentral dalam metabolisme HDL, baik dalam sintesis HDL muda di hati dan
usus dalam bentuk nascent HDL maupun dalam katabolisme HDL dewasa dari
HDL3 dan HDL2 menjadi remnant HDL (Gambar 11). Selain berisi ApoA-1,
nascent HDL juga berisi kolesterol bebas yang diperoleh melalui proses reverse
cholesterol transport dari sel-sel perifer (seperti makrofag) dengan mediasi
29

lipidasi (lipidation) ABCA-1 (Eckardstein et al. 2001). Bailey et al. (2011)


menjelaskan bahwa interaksi ApoA-1 dan ABCA-1 diikuti dengan perubahan
lipid seluler maupun dengan induksi regulasi homeostasis lipid yang berbasis pada
respon gen.
Selain ABCA-1, beberapa enzim yang terlibat dalam metabolisme HDL
adalah LCAT, PLTP, dan CETP. LCAT berperan dalam memediasi proses
esterifikasi kolesterol untuk pembangunan partikel HDL spherical dewasa. PLTP
berperan dalam proses peleburan partikel remnant HDL. CETP berperan dalam
proses transformasi partikel HDL2 menjadi partikel HDL3 yang lebih kecil dengan
cara mengeluarkan kolesterol ester dari partikel HDL. Konversi bolak balik HDL2
dan HDL3 yang dimediasi oleh PLTP menghasilkan ApoA-1 yang bersifat bebas
lipid atau miskin lemak. Bagian ApoA-1 yang bebas lipid ini kemudian difiltrasi
oleh glomerulus ginjal dan direabsorbsi kembali oleh tubular melalui cubilin.
Selain dari hati dan usus, ApoA-1 juga berasal dari hasil lipolisis VLDL dan
chylomicrons (Eckardstein et al. 2001).

Gambar 11 Diagram metabolisme HDL yang berpusat pada produksi dan


distribusi ApoA-1 (Eckardstein et al. 2001)

Steeg et al. (2008) menambahkan bahwa distribusi ApoA-1 pada berbagai


dimensi HDL memungkinkan HDL memiliki kapasitas melindungi arteri dari
ancaman aterosklerosis. Mekanisme ini terjadi ketika proses pembentukan HDL
30

berlangsung (Lee & Parks 2005). HDL memiliki kemampuan hambat oksidasi
LDL dalam tiga tahap mekanisme, termasuk terjadi di dalam dinding arteri
(Navab et al. 2000). Gordon & Davidson (2011) menunjukkan bahwa tidak semua
kinerja HDL tergantung pada keberadaan komponen ApoA-1.

Peran HDL sebagai Vacuum Cleaner


HDL sebagai good cholesterol. HDL dapat disebut sebagai good
cholesterol (Rigotti & Krieger 1999) mengingat perannya menyerupai vacuum
cleaner dalam menghambat aterogenesis maupun metabolisme lipoprotein
lainnya. Peran ini di antaranya ditunjukkan dengan kemampuan HDL menarik
kembali kolesterol bebas melalui proses reverse cholesterol transport dari sel-sel
perifer seperti makrofag pada dinding pembuluh arteri untuk dikirimkan ke hati.
HDL juga menjaga LDL dari oksidasi, mencegah ekspresi perlekatan molekul
dalam sel endotelium, serta mencegah pergerakan monosit ke dalam dinding
pembuluh darah. Pada mekanisme ini, HDL dapat mencegah terbentuknya sel
busa dalam proses aterogenesis. Dengan bantuan enzim LCAT kolesterol bebas
tersebut di dalam partikel HDL diubah menjadi kolesterol ester.
Menurut Rigotti et al. (2003), peran sentral HDL terhadap lipoprotein ialah
memberikan kolesterol ester kepada lipoprotein bermuatan apolipoprotein B
seperti VLDL, IDL, dan LDL dengan mediasi CETP, serta menarik trigliserida
dari VLDL, IDL, dan LDL dengan mediasi PLTP. Penghambatan CETP
meningkatkan ukuran partikel HDL dan menunda katabolisme HDL. Menurut
Saddar et al. (2010), penarikan kolesterol bebas oleh HDL dilakukan melalui jalur
reverse cholesterol transport, jalur SR-BI, dan jalur ABCA-1 transporter. Pada
jalur reverse cholesterol transport, kolesterol bebas dan fosfolipid ditarik dari
makrofag oleh HDL melalui jalur (pathway) difusi pasif (passive diffusion) antara
sel membran dan HDL spherical dewasa.
ABCA-1 Transporter. ABCA-1, merupakan protein anggota kesatu dari
human transporter subfamili ABCA, dengan kode gen ABCA-1 yang juga
dikenal sebagai Cholesterol Efflux Regulatory Protein (CERP). Tugas utama
ABCA-1 adalah mengatur homeostasis fosfolipid dan kolesterol seluler. Selain
melalui jalur reverse cholesterol transport, kolesterol bebas dapat
31

ditransportasikan ke HDL melalui dua jalur lainnya, yaitu jalur SR-BI dan jalur
ABCA-1. Pada jalur SR-BI kolesterol bebas ditransportasikan ke HDL dewasa.
Penarikan kolesterol bebas dari wadah kolesterol seluler melalui jalur ABCA-1
dilakukan dengan mengikat dan memfasilitasi pengeluaran kolesterol seluler dari
wadah endositosis akhir, sehingga menurunkan banyaknya kolesterol dalam sel.
Menurut Saddar et al. (2010), peran ABCA-1 transporter ini sangat penting
mengingat peran ApoA-1 sebagai aseptor dalam mengikat kolesterol seluler
sangat lemah. Semua penarikan kolesterol bebas dan fosfolipid dilakukan dalam
formasi pre-HDL dan berubah (converted) menjadi HDL spherical dewasa setelah
kolesterol bebas diesterifikasi oleh LCAT menjadi kolesterol ester.
Penjelasan di atas memperkuat pendapat Brewer Jr (2004) bahwa ABCA-1
transporter mengatur tingkat kolesterol intraseluler pada hati dan pada seluler
perifer. Pengaturan ini dilaksanakan dengan cara mengubah kelebihan kolesterol
menjadi nascent HDL yang miskin ApoA-1, kemudian diubah menjadi HDL
dewasa yang dapat berpartisipasi dalam proses reverse cholesterol trasnport. Jalur
SR-BI dan jalur ABCA-1 diregulasi pada dinding sel oleh muatan oxycholesterol.
Kelebihan kolesterol seluler ini diubah setahap demi setahap menjadi 27-hydroxy-
cholesterol oleh 27-hydroxylase. Dalam aspek genetis, 27-hydroxycholesterol
mengikat ligand yang mampu memicu faktor transkripsi Liver X Receptor (LXR),
kemudian mengalami dimerisasi dan mengikat elemen LXRE, sehingga 27-
hydroxycholesterol dapat meningkatkan ekspresi gen SR-BI dan ABCA-1
transporter. Dengan demikian, baik pre-HDL maupun HDL dewasa memfasilitasi
pengeluaran kolesterol seluler serta berpartisipasi dalam reverse cholseterol
trasnport menuju hati.
SR-BI. SR-BI pertama ditemukan sebagai glikoprotein permukaan sel yang
homolog dengan scavenger receptor CD36 dari kelas B scavenger receptor
(Acton et al. 1994). Keluarga kelas B scavenger receptor ini menempel pada
bagian ekstraseluler dengan menambatkan diri pada membran plasma melalui
pengaturan transmembran untuk memendekkan bagian terminal sitoplasmik
domain N dan C (Greenwalt et al. 1992). SR-BII memiliki perbedaan dengan SR-
BI pada bagian terminal sitoplasmik C (Webb et al. 1997), tetapi keduanya dalam
kultur jaringan sama-sama terlokalisasi pada plasma membran lipid cavaolae
32

terutama di bagian kolesterol dan spongiolipid (Babitt et al. 1997). SR-BI dapat
berikatan dengan beberapa ligand, termasuk LDL yang mengalami oksidasi atau
asetilasi, VLDL, dan fosfolipid (Krieger et al. 2001). Mengingat SR-BI
merupakan jaringan pola spesifik yang HDLnya berperan dalam penarikan
kolesterol dan regulasi ekspresi jaringan, maka SR-BI lebih tepat dikatakan
sebagai reseptor HDL (Temel et al. 1997).
Fungsi klasik SR-BI adalah memediasi pengambilan selektif (selective
uptake) kolesterol oleh sel, terutama dalam bentuk kolesterol ester. Pengambilan
selektif kolesterol oleh sel ini melibatkan kolesterol ester pada inti hidropobik
partikel HDL. Kegiatan ini tanpa harus melakukan pemindahan (transfer)
apolipoprotein pada permukaan partikel. SR-BI juga memediasi aliran dua arah
(bidirectional flux) kolesterol yang belum diesterifikasi (unesterication
cholesterol) serta fosfolipid antara HDL dan sel (Krieger 2001). SR-BI tidak
berpartisipasi dalam pengeluaran kolesterol dari sel makrofag ke plasma HDL.
Pengeluaran kolesterol dari sel makrofag ke plasma HDL dilakukan oleh ABCA-1
dan ABCG1 (Tall et al. 2008). Namun demikian, SR-BI berperan dalam respons
peradangan makrofag (Rocha & Libby 2009).
Peran SR-BI secara in-vivo pada penyakit kardiovaskuler sangat kritikal.
Menurut Kozarsky et al. (2000), pada hewan model tikus hiperkolesterolemia,
dibuktikan bahwa ketiadaan SR-BI secara global maupun overexpression SR-BI
hepatik sampai jenuh memperparah perkembangan aterosklerosis. Kondisi ini
juga menjadi pembelajaran bagi sel-sel yang diturunkan dari sumsum tulang
terhadap perkembangan lesi aterosklerosis (Van et al. 2004). Pernyataan ini
memperkuat argumentasi bahwa SR-BI protektif terhadap makrofag.
SR-BI bersama makrofag secara akumulatif mempunyai sifat protektif
terhadap fungsi kardiovaskular. Hal ini antara lain ditunjukkan oleh mekanisme
hambat HDL teroksidasi terhadap aktivitas keping darah yang ternyata
membutuhkan SR-BI (Valiyaveettil & Podrez 2009). Ikatan HDL dengan SR-BI
pada endotelium vaskuler akan mengaktifkan sintesa nitric oxide secara
langsung—sering disebut Endothelial Nitric Oxide Synthase (eNOS)—sehingga
mengaktifkan molekul Nitric Oxide (NO) yang poten sebagai antiaterogenik
(Yuhanna et al. 2001). Dalam sel endotel, SR-BI memiliki peran yang sama
33

dengan eNOS dalam caveolae. Dengan adanya HDL, aktivitas eNOS ini menjadi
semakin kuat. Kinerja enzim dan reseptor ini dalam mikrodomain pun menjadi
berlipat. Dengan menggunakan kultur jaringan sel endotel, terlihat adanya
peningkatan eNOS serine 1177 phosphorylation. Hal ini membuktikan bahwa
ikatan HDL dan SR-BI mengaktifkan enzim kinase (Mineo et al. 2003). Dengan
inisiasi sinyal dari SR-BI, HDL menstimulasi migrasi sel-sel endotel, dan secara
in-vivo, mekanisme ini menghasilkan integritas monolayer endotel (Seetharam et
al. 2006).
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dikatakan bahwa SR-BI memiliki
perangkat yang banyak (multiple features). Setidaknya, menurut Saddar et al.
(2010), terdapat tiga perangkat penting yang perlu diketahui, yaitu (1) perangkat
sinyal inisiasi berupa aliran kolesterol yang melibatkan HDL dan ApoA-1, (2)
perangkat terminal C penginteraksi domain PDZ (K509) yang berhubungan
langsung dengan adaptor molekul PDZK1, dan (3) perangkat terminal C domain
transmembran atau C-Terminal Transmembrane (CTTM), untuk mengikat
kolesterol. Penjelasan ini sekali lagi memperkuat argumentasi bahwa kinerja SR-
BI dapat diinisiasi jika terjadi aliran kolesterol (Cholesterol flux). Dibandingkan
dengan SR-BI, SR-BII tidak mampu menginduksi eNOS. Namun, menurut
Assanasen et al. (2005), terminal C domain yang dimiliki SR-BI dan SR-BII
berperan penting dalam transduksi sinyal induksi fosforilasi dan aktivasi eNOS.
Penjelasan di atas memberikan gambaran lebih lengkap bahwa selain
berfungsi dalam pertukaran kolesterol antara sel dan lipoprotein maupun reverse
cholesterol transport dan pengeluaran kolesterol empedu, SR-BI juga memiliki
dua peran lainnya, yaitu membantu HDL dalam memproteksi kardiovaskuler dan
mengaktivasi diverve kinase cascades. Dalam hal yang terakhir, sinyal SR-BI
akan muncul jika terdapat aliran kolesterol dan adanya reseptor khusus yang
langsung berikatan dengan kolesterol dibutuhkan. Reseptor ini disebut terminal C
penginteraksi domain PDZ (C-terminal PDZ-interacting domain) yang langsung
berinteraksi dengan adaptor molekul PDZK1. PDZ dan CTTM berikatan langsung
dengan kolesterol.
Menurut Karen et al. (2000), SR-BI memicu terjadinya lebih banyak
transportasi dan transformasi HDL-C, sehingga mengakibatkan kadar HDL-C
34

menurun. Demikian halnya jika kinerja SR-BI hepatik ini dipacu, misalnya
dengan recombinant adenovirus encoding murine, SR-BI akan mengalami
overexpression dan menyebabkan penurunan kadar HDL-C. Penurunan ini tidak
memengaruhi sifat SR-BI. Bahkan, SR-BI tetap protektif terhadap aterokslerosis.
Sebagai penjelasan tambahan, selain diambil oleh lipoprotein, kolesterol
ester juga diambil oleh SR-BI dalam hati dan organ/jaringan steroidogenik
maupun dari hidrolisis fosfolipid dengan bantuan HL (hepatic lipase) dan EL
(endothelial lipase) (Rigotti et al. 2003). Dipertegas oleh Trigatti et al. (2003)
bahwa RS-BI dalam melaksanakan fungsinya memerlukan konfirmasi dari ApoA-
1 yang berada dalam partikel HDL. SR-BI ditemukan cukup banyak pada
beberapa jaringan, termasuk pada hati. Temuan SR-BI ini diekspresikan dalam
beberapa mekanisme, salah satunya adalah dalam aktivitas transkripsi nuclear
receptors. Dengan bantuan manipulasi pada gen mencit, seperti SR-
BI/apolipoprotein E double-knockout mice, peran SR-BI pada metabolisme
kolesterol HDL secara keseluruhan maupun aktivitas anti-aterogenik dalam
mencegah penyakit jantung koroner, serta infark penyakit jantung, maupun
kegagalan jantung dapat dibuktikan.
Penambatan kolesterol. Melengkapi peran HDL sebagai good cholesterol,
dapat dikatakan bahwa kolesterol bebas yang telah ditarik dari sel makrofag yang
kemudian mengalami transformasi menjadi kolesterol ester dalam partikel HDL,
perlu adanya proses katabolisme sehingga memenuhi homeostasis kolesterol dan
dapat dimanfaatkan untuk proses kehidupan selanjutnya. Dalam fase ini,
kolesterol harus dapat ditambatkan pada jaringan yang memerlukan, seperti hati,
jaringan endokrin, dan jaringan lainnya. Mekanisme reverse cholesterol transport
tidak saja strategis sebagai mekanisme hambat aterosklerosis oleh HDL, tetapi
juga sebagai mekanisme homeostasis kolesterol pada seluler steroidogenik dan
pada kulit yang lemah mengurai kolesterol (Rigotti et al. 2003).
Penambatan kolesterol yang diinisiasi HDL pada prinsipnya memerlukan
mekanisme kerja reseptor. Steinberg (1997) menjelaskan bahwa setidaknya ada
tiga mekanisme reseptor HDL dalam menghambat HDL (Gambar 12), yaitu (1)
mekanisme penambatan kolesterol berikut partikel HDL secara utuh, (2)
mekanisme penambatan kolesterol dengan memanfaatkan selaput hidrofilik HDL,
35

dan (3) mekanisme penambatan kolesterol dengan pengambilan kolesterol ester


secara selektif

Gambar 12 Peran reseptor HDL dalam penambatan kolesterol ester melalui


mekanisme pengambilan partikel secara utuh, dan pengambilan
kolesterol ester secara selektif (Steinberg 1997)

.
Peran HDL sebagai Anti Aterogenik
Peran HDL sebagai anti aterogenik diilustrasikan Cockerill et. al. (1995)
seperti pada Gambar 13 yang menunjukkan bahwa HDL berperan sebagai
perangkat reserve cholesterol transport. Peranan HDL ini dikaitkan dengan
kapasitas apolipoprotein A-1 HDL dalam mendorong pengeluaran (efflux)
kolesterol dari dalam sel-sel perifer seperti makrofag. Mekanisme pengeluaran
kolesterol tersebut di antaranya melalui (1) mekanisme pasif difusi kolesterol
bebas dari makrofag yang mengalami esterifikasi bertahap oleh LCAT yang
berasal dari HDL itu sendiri, (2) mekanisme transportasi kolesterol ke HDL
melalui scavenger reseptor B1 pada permukaan dinding pembuluh darah, dan (3)
mekanisme penggandengan lipid yang miskin ApoA-1 ke pengangkut ABCA-1
yang memiliki kapasitas menerima kolesterol bebas di dalam pembuluh darah,
sehingga melalui pematangan esterifikasi ini dapat mengubah pre-beta HDL
menjadi alpha migrating HDL.
36

Gambar 13 Peran HDL dalam menghambat aterogenesis melalui mekanisme


promosi cholesterol efflux, menghambat oksidasi LDL, dan
menghambat perlekatan “molecule expression” (Cockerill et al.
1995)

Efek anti-oksidan HDL ditunjukkan dengan kemampuannya dalam


menghambat oksidasi fosfolipid dalam partikel LDL serta kemampuannya
mengurangi aktivitas pembentukan modified LDL oleh Apolipoprotein A-1.
Pengurangan aktivitas pembentukan modified LDL oleh Apolipoprotein A-1
didukung oleh paraoxanase-1 LCAT, yaitu enzim yang membantu oksidasi
fosfolipid dan hidrolisis. Paraoxanase-1 menghambat terbentuknya lipid
hydroperoxides dan oksidasi fosfolipid atau menghidrolisis apabila sudah terlanjur
terbentuk. Secara in-vitro, ApoA-1 juga mengurangi lipid hydroperoxides dalam
partikel LDL dan bersifat independen terhadap paraoxanase-1. Fosfolipid pada
fraksi HDL-3 mampu menghambat oksidasi LDL.

Nikotin sebagai Obat Masa Depan


Sifat-Sifat Nikotin
Nikotin merupakan senyawa kimia alkaloid hasil ekstraksi bahan kering
(0.5%-8.0%) tembakau. Bentuk nikotin cair, rasanya pahit, bersifat alkali, akan
37

membentuk garam jika ditambahkan asam. Nikotin larut dalam air dengan pKa =
8.5, kepadatan 1.01g/mL, dan titik didih 247°C (477°F). Nikotin disarankan untuk
disimpan di bawah 30oC, serta aman dari sinar dan air (Rodgman & Perfetti
2009).

Gambar 14 Struktur kimia Nikotin C10H14N2, atau (S)-3-(1-methyl-2-


pyrrolidinyl)pyridine asal tembakau (Nicotiana tabacum) (IPCS
ICHEM 2009)

Tembakau merupakan sumber dari Nikotin-S murni, tetapi ketika dibakar


asapnya mengandung isomer-RR (10%). Nikotin-S lebih kuat dibanding stereo-
isomer (RR). Nikotin adalah basa-lemah pH 8.0. Pada pH fisiologis, 31% nikotin
menjadi bukan ion dan diserap di membran sel secara stereospesifik, berikatan
dengan reseptor ACTh di ganglion otonom, medula adrenal, neuromuskular
junction dan otak. Nikotin dapat melewati barrier otak (blood brain barrier) dan
diedarkan ke seluruh bagian otak (IPCS ICHEM 2009). Oleh karena itu, nikotin
berpotensial meracuni syaraf, sehingga sering digunakan sebagai bahan baku
berbagai jenis insektisida (Ujváry & István 1999).

Penyerapan Nikotin
Nikotin diserap tubuh secara efektif dalam keadaan basa, yaitu pada pH 8.5
dan dalam keadaan bukan ion. Sebaliknya, dalam keadaan asam, nikotin tidak
efektif diserap tubuh, mengingat pada pH 5.5, nikotin adalah ion. Penyerapan
nikotin secara inhalasi oleh alveoli tidak tergantung pada pH. Pada pH fisiologis,
30% nikotin berubah menjadi bukan ion dan diserap oleh membran mukosa mulut
(IPCS ICHEM 2009).
Rokok. Penyerapan nikotin via rokok adalah sebanyak 1.0mg (0.37mg -
1.64mg) per batang rokok. Bagi perokok, nikotin masuk ke dalam tubuh melalui
sirkulasi pulmonal, bukan melewati vena porta atau vena sistemik, sehingga
38

waktu yang dibutuhkan ke otak lebih pendek daripada bila dimasukkan secara
intravena (7-9 detik) (Stead et al. 2008).
Bukan rokok. Penyerapan nikotin yang melalui jalur non rokok (smokless
tabacco) memiliki rata-rata penyerapan sebanyak 3.6mg nikotin/2.5g tembakau
hisap; atau 4.6mg nikotin/7.9g tembakau sugi (chewing tabacco) dalam mulut
selama 30 menit. Penyerapan di mulut lebih cepat karena pH-permen
mengandung nikotin karet yang telah diubah menjadi alkali. Setelah 30 menit,
konsentrasi nikotin darah meningkat dan bertahan selama tiga jam. Setelah dua
jam (variasi 1jam - 4jam) selanjutnya, kandungan nikotin kembali turun. Setelah
itu, tergantung pH aliran urin, nikotin diekskresi oleh ginjal sebanyak 2%-35%
(Stead et al. 2008).
Metabolit. Metabolit primer nikotin adalah kotinin (cotinine) dan Nikotin-
N-oksid. Kedua zat ini tidak mempunyai efek farmakologis. Di dalam hati, nikotin
diubah menjadi kotinin oleh enzim CYP2A6. Berkurangnya metabolisme nikotin
oleh enzim CYP2A6 sebanyak 80% merupakan kunci utama kasus-kasus adiksi
perokok (Hukkanen et al. 2005).
Peran reseptor. Nikotin yang diserap dalam membran sel berikatan dengan
reseptor ACTh pada ganglion syaraf otonom, medula adrenal, neuromuskular
junction dan otak. Reseptor utama nikotin pada sistem syaraf perifer meliputi
jaringan lemak cokelat skeletal, organ sekretori paracrine, lapisan transmiter
protein, serta catecholamine (dopamine, epinephrine and norepinethrine)
(Benowitz et al. 2009).
Akumulasi pada jaringan. Tidak seperti asetilkolin atau kolin yang secara
cepat menghilang dari ikatan reseptor, sifat nikotin yang lipofilik menyebabkan
nikotin tidak mudah diuraikan dan dihilangkan dari reseptor. Akibatnya,
konsentrasi nikotin pada jaringan akan lebih tinggi daripada serum. Pada jaringan
otak konsentrasinikotin dapat mencapai 10µM jauh di atas kemampuan serum
menerima komponen dengan nanomolar, karena biasanya hanya mampu
menerima komponen dalam nanogram permilimeter. Berdasarkan kenyataan ini
kini dibuat rasio penerimaan nikotin antara yang berada di serum darah dengan
yang berada pada jaringan tubuh. Misalnya otak 3.0, jantung 3.7, otot 2.0,
jaringan adiposa 0.5, ginjal 21.6, hati 3.7, paru-paru 2.0, dan jaringan pencernaan
39

3.5. Pengetahuan ini sangat penting dalam pengembangan farmakologi nikotin


dikaitkan dengan drug’s action (Gahring & Rogers 2006).

Efek dan Farmakologi Nikotin


Dosis. Banyak pustaka yang mengetengahkan sifat nikotin yang mendua
(biphasic). Pada dosis rendah, nikotin akan menstimulasi ganglia dan medula
adrenal. Pada dosis tinggi, nikotin memberikan efek stimulus yang cepat, namun
kemudian diikuti dengan blokade transmisi. Blokade ini di antaranya akan
menghentikan sistem otonom dan menghasilkan dampak patologis luas. Dosis
aman nikotin adalah 1mg, sedangkan dosis letal berkisar antara 30-60mg
(Henningfield & Zeller 2006).
Neurotransmisi. Untuk memahami sifat farmakologis nikotin, perlu
dipahami sistem transmisi syaraf yang dikategorikan sebagai neurotransmisi
kolinergik, adrenergik, dan dopaminergik. Pada umumnya, intervensi
farmakologis suatu obat membutuhkan adanya reseptor dan diarahkan pada
sintesa neurotransmisi, penyimpanan, pelepasan, aksi dan metabolisme, baik aksi
yang bersifat langsung (menghasilkan efek agonistik) maupun yang bersifat tidak
langsung (menghasilkan efek antagonistik). Reseptor otonom kolinergik
mempunyai dua macam aksi, yaitu muscarinic action yang mirip dengan induksi
muscarine (Amanita muscaria) dan nicotinic action yang mirip dengan induksi
oleh nikotin dan menghasilkan stimulus pada ganglia syaraf otonom, otot folunter,
dan pelepasan epinefrin dari medula adrenal. Dalam konteks tersebut, nikotin
dikenal sebagai Nicotinic Acetycholine Receptor (nAChRs) (Guzman 2012).
NAChRs. Sebagaimana diketahui, asetilkolin dapat menghasilkan efek
dengan mengaktivasi reseptor kolinergik pada postsynaptic neuron. Hal yang
sama dilakukan oleh nikotin, sehingga muncul istilah nicotinic acetycholine
receptor. NAChRs ini memiliki implikasi pada sejumlah fungsi otak, termasuk
perkembangan syaraf, formasi memori dan belajar, dan reward. Nikotin dapat
merusak beberapa sistem neurotransmisi yang berkembang akibat patogenesis
kelainan psikiatris, termasuk dopamine (DA), Norepinefrin (NE), Serotonin (5-
HT), Glutamat, Gama-asam aminobutrik (GABA), dan opoid peptida endonegus.
Oleh karena itu, nikotin memiliki potensi kesehatan untuk mengatasi penyakit
40

parkinson, alzhaimer, tourette’s syndrome, schizophrenia, attention deficit-


hyperactivity disorder (ADHD) (McKei 2004), dan untuk mengatasi penyakit
kolitis ulseratif (Green et al. 2000).
Efek kesehatan. Potensi nikotin untuk kesehatan tidak banyak diketahui,
kemungkinan karena tertutup oleh iklan bahaya rokok untuk kesehatan (McKei
2004). Efek fisiologis nikotin di antaranya meningkatkan tekanan darah,
konsentrasi glukosa, asam laktat darah, serta meningkatkan stimulasi pelepasan
katekolamin. Sebagaimana diketahui, leptos (thin) merupakan hormon (kode
167A.A.) yang berfungsi mengatur homeostasis energi dan asupan makanan
dalam tubuh. Enzim ini mengatur bagaimana energi disimpan dan digunakan.
Enzim ini juga mengatur fertilitas dan fungsi imun untuk menekan Neuropeptide-
Y (NPY) yang disekresikan oleh hipothamus. Pemberian nikotin menyebabkan
leptos meningkat, mengaktifkan Nn. simphatik jaringan otot cokelat, menurukan
nafsu makan, dan mengurangi berat badan. Nikotin dosis rendah dapat
menurunkan lesithin dan menaikkan deposit kholesterol dan platelet-CO,
sehingga berpotensi memunculkan hipoksia, mengingat afinitas nikotin terhadap
hemoglobin adalah 200-250 kali lipat daripada oksigen. Tetapi, hal ini dapat
diimbangi dengan pelepasan nor-epineprin (NE) yang mampu menginduksi
ekspresi protein 1 (UCP-1) melalui influks proton H+ (Cuming 2003; Nedergaard
et al. 2003). UCP-1 memiliki efek proteksi kardiomiosit dalam proses oksidatif
dan mereduksi produksi ROS pada mitokondria (Teshima et al. 2003).

Efek Nikotin pada Sistem Kardiovaskuler


Riset nikotin untuk kepentingan medis harus dibedakan dengan citra buruk
nikotin dalam rokok, sehingga hal tersebut dapat mendorong riset farmakologis
nikotin lebih banyak. Sisi lain yang juga harus dikembangkan dalam penelitian
nikotin adalah ekstrapolasi dari hewan model ke manusia (Benowitz 2003).
Angiogenesis. Hasil penelitian nikotin pada sistem kardiovaskuler yang
perlu ditindaklanjuti adalah temuan kemampuan nikotin mengaktifkan
angiogenesis oleh endothelial cell alpha-7 nicotinic cholinergic receptors
(Heeschen et al. 2003). Adanya induksi endotel ini menyebabkan sel endotel lebih
banyak diproduksi, sehingga menghasilkan lebih banyak NO maupun
41

prostacyclin. Kedua mediator kimiawi ini mempunyai efek vasodilatasi pembuluh


darah dan menurunkan agregasi keping darah. Secara tidak langsung, nikotin
mampu memberikan proteksi terhadap pembuluh darah maupun terjadinya
ischemia vascular.
Lipid darah. Efek nikotin terhadap lipoprotein telah dipelajari pada
manusia dan hewan. Pada tikus, nikotin meningkatkan sintesis dan sekresi dari
lipoprotein trigliserida (Chattopadhyay & Chattopadhyay 2008). Pada monyet
yang diinduksi nikotin per-oral dalam jangka waktu yang cukup lama (liquid diet
6mg/kg, selama 2 tahun), terjadi perubahan rasio kolesterol dan HDL yang diikuti
dengan konversi HDL menjadi VLDL dan LDL. Peningkatan LDL ini berpotensi
untuk didepositkan pada dinding arteri. Hasil penelitian tersebut berbeda dengan
temuan Warongan (2011). Dalam penelitian tersebut, nikotin berpotensi
mengurangi bobot badan, meningkatkan laju removal chylomicron trigliserida
plasma, mendorong aktivasi peninggian LDL, meningkatkan HDL-C, dan diduga
mengurangi proses aterogenesis melalui aktivasi motorik non-shivering
thermogenesis. Warongan (2011) menegaskan bahwa intervensi nikotin cair dosis
rendah dapat meningkatkan HDL-C secara nyata pada monyet dewasa obes.
Antiperadangan. Gahring & Rogers (2006) ketika mengawali pembahasan
tentang neural nicotinic acetylcholine receptor expression and function on
nonneural cells menjelaskan pentingnya membedakan efek nikotin, rokok, dan
tembakau dikaitkan dengan konsep “cholinergic anti-inflamatory pathway”.
Disebutkan bahwa terdapat tiga temuan yang mendukung nikotin memiliki efek
antiperadangan. Kesatu, nikotin memiliki efek hambat terhadap cytokines pro-
peradangan seperti IL-1β, IL-18, dan IL-6, tetapi tidak terhadap IL-10. Kedua,
nikotin dapat menurunkan Tumour Necrosis Factor α (TNFα) pada kultur jaringan
sel-sel mono-nuklear yang distimulasi dengan komponen bakterial
Lipopolisakarida (LPS). Ketiga, nikotin dapat menurunkan produksi protein High
Mobility Group Box-1 (HMGB1) yang menjadi mediator sepsis yang mematikan.
Endotelium. Penelitian efek nikotin terhadap endotelium beragam
(Gahring & Rogers 2006). Dijelaskan bahwa nikotin memiliki efek terhadap
kinerja intraseluler endotelium. Melalui mekanisme reseptor nAChRs α2, α3, α4,
α5, α7, β2, dan β4, tetapi tidak β3 didemonstrasikan bahwa nikotin menghambat
42

ekspresi endothelial adhesion molecules. Keterangan ini sekaligus memperkuat


penelitian terdahulu bahwa nikotin memiliki sifat anti peradangan.

Monyet Ekor Panjang sebagai Hewan Model

Biologi

Taksonomi. Monyet ekor panjang (Gambar 15) secara taksonomi


diklasifikasikan dalam Filum Chordata, Sub Filum Vertebrata, Kelas Mamalia,
Ordo Primata, Sub ordo Antropoidae, Famili Cercophitecidae, sub famili
Cercopithecinae, Genus Macaca, Spesies Macaca fascicularis Raffles 1821
(Lekagul & McNeely 1977). Monyet memiliki ciri sexual dimorphism yang
ditunjukkan dengan adanya perbedaan bobot badan (jantan 4.70-8.30kg; betina
2.50-5.70kg), panjang badan (jantan 4.12-6.48cm; betina 3.85-5.03cm) dan
panjang ekor (jantan 4.35-6.55cm; betina 4.00-5.50cm) (Rowe 1996).
Tingkah laku. Kehidupan sosial monyet tercermin dengan adanya
kelompok banyak jantan dan banyak betina (multi male, multi female) yang
beranggotakan 10-100ekor, dan biasanya 20-50ekor (Fuentes 2007). Daerah
jelajah mencapai 25-200km, meliputi hutan primer, hutan sekunder, hutan bakau
serta dapat hidup di sekitar perkampungan masyarakat (Rowe 1996).
Pakan alami. Beberapa pendapat mengatakan monyet termasuk omnifora,
mengingat adanya pertumbuhan taring guna mengoyak daging buruan sebagai
sumber pakan hewani dan adanya pertumbuhan caecum guna memfermentasi
pakan nabati. Pakan monyet disesuaikan dengan kondisi habitatnya. Karena sering
berburu kepiting di pantai, monyet ini juga disebut crab eating monkey. Di hutan,
pakan monyet terdiri atas 64.0-66.7% buah, 17.2% daun, 8.9% bunga, 4.1%
insekta, dan lain-lain 3.2% (Rowe 1996; Julliot 1996). Menurut Soegiharto
(1992), komposisi bagian tumbuhan yang dimakan meliputi daun 49.93%, buah
38.54%, bunga 6.60%, dan lain-lain 4.93%.
Kebutuhan nutrisi. Kebutuhan nutrisi monyet ekor panjang dewasa
menurut NCR (2003) meliputi protein kasar 8%, serat kasar 2-8%, lemak 5-9%,
asam lemak essensial n-3 0.50%, asam lemak essensial n-6 2%, Ca 0.55%, P
0.33%, Mg 0.04%, Fe 100mg/kg, Mn 44mg/kg, Cu 15mg/kg, Vitamin A 10.000-
43

15.000IU/kg, Vitamin D 2,000-9,000U/kg, Vitamin K 68IU/kg, Tiamin (15-


30mg/kg, Riboflavin μ 25-30/kg, Asam Pantotenat 20mg/kg, Niasin 50-
110mg/kg, Vitamin B6 4.40mg/kg, Biotin 100μ/kg, Folasin 1.50mg/kg, Vitamin
B12 0.011mg/kg, Vitamin C 1-25mg/kg, dan Energi 72-120kal/kg/hari.

Gambar 15 Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) jantan dewasa di


Stasiun Penangkaran Pulau Tinjil IPB yang sangat potensial
digunakan dalam penelitian biomedis, termasuk dalam studi
obesitas aterosklerosis. Foto diambil oleh Iskandar (2007) selaku
penanggungjawab lapangan penangkaran dalam rangka monitoring
perkembangan populasi monyet.

Monyet sebagai Hewan Model


Monyet sebagai hewan model dimungkinkan karena adanya kemiripan
anatomis, fisiologis, dan kedekatan filogenetik dengan manusia (Bennett et al.
1995). Menurut Sajuthi et al. (1993), hewan model ini dapat secara alami dan
secara eksperimental, baik dengan manipulasi pakan dan lingkungan, intervensi
obat, maupun dengan cara bedah.
Model Aterosklerosis. Sebagai hewan model aterosklerosis, monyet
memiliki keunggulan dibandingkan satwa primata lainnya. Keunggulan-
keunggulan itu ialah (1) menghasilkan lesi aterosklerosis secara alami, (2) lesi
aterosklerosis mirip pada manusia, (3) hewan jantan lebih rentan dan mudah
menghasilkan lesi aterosklerosis koroner, (4) tingkat kejadian infraksi otot jantung
(myocardial infraction) paling tinggi dibandingkan dengan satwa primata jenis
lainnya, (5) lipoprotein dapat dikarakterisasi dengan baik, (6) ukuran tubuh hewan
44

cukup memadai, (7) tersedia cukup banyak di habitatnya, dan (8) dapat
dikembangbiakkan melalui program penangkaran. Adapun kelemahannya sangat
mahal untuk mendapatkan, memelihara, dan sulit untuk ditangani karena
membutuhkan keterampilan khusus (Clarkson et al. 1994).
Model obesitas. Satwa primata yang pernah dikembangkan sebagai model
obesitas diantaranya adalah (1) monyet bonnet (Macaca radiata) remaja untuk
mengetahui faktor stres sebagai penyebab obesitas dan terjadinya resisten insulin
(Kaufman et al. 2007), (2) baboon (Papio hamadryas) dalam studi genetik
obesitas (Anthony et al. 2003), (3) monyet rhesus (Macaca mulatta) betina untuk
mengetahui pengaruh konsumsi energi pada malam hari terhadap pertambahan
bobot badan (Sullivan et al. 2005), dan (4) baboon dewasa liar untuk mengetahui
adanya peningkatan kadar leptin dalam serum darah, hiperlipidemia dan resistensi
insulin menggunakan (Banks et al. 2003).
Monyet obes. Pembentukan monyet model obes menurut Wagner et al.
(1980) dapat dilakukan secara alami maupun secara induksi. Pembentukan
monyet obes secara alami dibutuhkan waktu yang cukup lama (30 tahun).
Pembentukkan monyet obes secara induksi pada umumnya dilakukan dengan
intervensi diet tinggi energi baik berasal dari karbohidrat, lemak, kolesterol atau
kombinasinya. Susunan diet seperti ini disebut pakan obestogenik. Dalam rangka
mempelajari masalah obesitas dan penyakit terkait lainnya, Progam Studi
Primatologi Pascasarjana IPB bekerjasama dengan PT Indo Anilab dan Divisi
Biomedis Pusat Studi Satwa Primata IPB sejak tahun 2009 dalam
mengembangkan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) jantan dewasa
sebagai hewan model obes dengan intervensi pakan obesitogenik (Oktarina 2009).
Kegiatan ini telah menghasilkan monyet obes tipe-1 untuk kategori orang Asia
dengan indeks massa tubuh > 23.00.
Diet obesitogenik. Efektivitas pakan obesitogenik tersebut diteliti Oktarina
(2009) dengan memberi perlakuan 3 (tiga) macam pakan terhadap 3 (tiga)
kelompok monyet masing-masing 5 ekor selama 12 (dua belas) bulan. Formulasi
diet untuk kelompok ke-1 meliputi lemak tellow 19.62%, BETN 59.42% dan
energi 4,480kal/g; kelompok ke-2 meliputi lemak tellow dan kuning telur 19.62%,
BETN 60.34%, dan energi 4,207kal/g; dan kelompok ke-3 meliputi lemak 5.55%,
45

BETN 51.38%, dan energi 4,330kal/g dengan sumber utama monkey chow. Bobot
badan (BB) kelompok ke-1 meningkat 2.1%, ke-2 9.7%, dan ke-3 1.3%. Indeks
Massa Tubuh (IMT) pada akhir penelitian pada kelompok ke-1 sebesar 24.88
sehingga masuk kategori pre-obes, ke-2 sebesar 27.02 sehingga masuk kategori
obes tipe-1, dan ke-3 sebesar 23.55 sehingga masih termasuk kategori normal.

Kolesterol (mg/dL) HDL (mg/dL)


800 200
600 150
400 100
200 50
0 0
0 1 2 3 0 1 2 3

Periode bulan ke: 0 1 2 3 Periode bulan ke: 0 1 2 3

Kolesterol (mg/dL) 253 301 360 638 HDL-C (mg/dL) 82.6 126 90 145

Gambar 16 Profil Serum Total Kolesterol (mg/dL) dan HDL-C (mg/dL) pada
monyet ekor panjang dewasa obes yang mengalami intervensi
nikotin cair dosis rendah selama tiga bulan

Profil lipid. Penelitian Oktarina (2009) tersebut dilanjutkan Warongan


(2011) untuk membuktikan efek intervensi nikotin cair dosis rendah selama 3
bulan terhadap obesitas dan risiko aterosklerosis berdasarkan konsentrasi Total
Serum Kolesterol dan LDL-C. Warongan (2011) menjelaskan bahwa nikotin
memiliki efek dalam menurunkan bobot badan dan mengaktivasi peninggian
LDL sebagai akibat peningkatan laju removel chylomicron. Konsentrasi Serum
Total Kolesterol dinyatakan cenderung bertahan sampai bulan kedua, tetapi
meningkat pada bulan ketiga. Meskipun demikian, nikotin juga mempunyai efek
meninggikan HDL-C 16% pada bulan kedua sampai 26% pada bulan ketiga
(Gambar 16).

Anda mungkin juga menyukai