Aterosklerosis
Batasan
Arteri. Arteri adalah pembuluh yang mengalirkan darah keluar dari jantung
untuk diedarkan ke paru-paru atau ke seluruh tubuh. Strukturnya terdiri atas
tunika intima, tunika media, dan tunika adventisia yang dibatasi dengan interna
elastik lamina dan eksterna elastik lamina (Gambar 2A). Berhadapan dengan
lumen arteri, terdapat sel endotelium. Tunika media mayoritas diisi oleh sel-sel
otot polos.
Aterosklerosis. Aterosklerosis didefinisikan oleh Ross (1999b) sebagai
pengerasan dan penyempitan arteri secara progresif akibat timbunan lemak
dengan disertai peradangan. Pengerasan arteri ini disebabkan oleh adanya pusat
nekrosis yang berisi sel-sel busa, sisa-sisa seluler, kolesterol kristal, kalsium, dan
dikelilingi oleh kapsula fibrosa (fibrous cap) yang berisi sel-sel otot polos,
makrofag, sel busa, limfosit, kolagen, elastin, proteoglikan, dan neovaskulerisasi
(Gambar 2B).
(A) (B)
Gambar 2 Diagram melintang arteri normal yang terdiri dari tunika intima,
tunika media, dan tunika adventisia (A), dan arteri yang mengalami
aterosklerosis yang ditunjukkan dengan penebalan tunika intima
berisikan pusat nekrosis dan kapsula fibrosa (B)
lemak (fatty streak), ateroma atau plak fibrosa (fibrous plaque), dan komplikasi
lesi (lesio complication) (Gambar 3).
Agen Vasoaktif,
Growth factors dan Matriks
prostaglandins, dan
cytokines Extraselular
leukotrienes
Epidermal growth factor (EGF) Angiotensin II (A-II) Fibronectin
Basic fibroblast growth factor Atrial natriuretic (FN)
(bFGF) polypeptide (ANP) Heparin
Heparin-binding EGF-like Endothelial-derived Laminin
growth factor (HB-EGF) relaxing factor-nitric oxide Osteonectin
Insulin growth factor-I (IGF-I) (EDRF-NO) (SPARC)
Interferon- (IFN-) Endothelin (ET-1) Tenascin (TN)
Interleukin-1 (IL-1) Adrenaline/noradrenaline Thrombospondin
Interleukin-6 (IL-6) 1 2-hydroxy- (TSP)
Platelet-derived growth factor eicosatetraenoic acid
(PDGF) (1 2-HETE)
Thrombin Leukotriene B4 (LTB4)
Transforming growth factor a Prostacyclin (PGI)
(TGF-a) Prostaglandin E (PGE)
Transforming growth factor-fl Serotonin
(TGF-fl) Substance
Tumour necrosis factor-a Vasopressin
(TNF-a)
12
proses peradangan. Pada masa ini dilaporkan peran sitokin dan proteolisis pada
mekanisme pecahnya kapsula fibrosa maupun peran keping darah dan koagulasi
pada mekanisme trombosis. Pada masa ini juga dilaporkan definisi lesi yang
rapuh berdasarkan ketebalan kapsula fibrosa (<65 µm). Pada tahun 2000
diperkenalkan istilah thin-cap fibroatheroma (TCFA) sebagai konsensus AHA
berkenaan dengan lesi yang rapuh dan mekanisme trombosis. Sampai pada tahun
2003 dilaporkan adanya ciri-ciri morfologi, kejadian, dan tepatnya lokasi TCFA.
Pada masa ini juga dijelaskan tentang konsep erythrocyte-derived cholesterol and
necrotic core expansion sebagai mekanisme kerapuhan lesi aterosklerosis.
Aterosklerosis koroner. Aterosklerosis dapat berkembang pada arteri
koroner seperti LAD, LCX, dan RCA (Gambar 5), serta dapat menimbulkan
komplikasi penyakit jantung koroner seperti thrombotic coronary occlusion,
myocardial infarctions, keluhan acute coronary syndrome, dan umumnya pasien
berakhir dengan kematian (Stone et al. 2011).
Gambar 5 Jantung dengan arteri koroner LAD, LCX, dan RCA yang
merupakan tempat terjadinya aterosklerosis
ditandai dengan tanda-tanda seperti pada tipe-I, akumulasi makrofag, dan adanya
sel busa. Tipe-III atau tipe preateroma memiliki tanda seperti yang ditemukan
pada tipe-II, dan juga ditandai dengan adanya kolam-kolam kecil yang berisi lipid
ekstraseluler. Pada tipe-IV atau tipe ateroma, selain adanya tanda-tanda seperti
pada tipe-III, terdapat pula pusat lipid ekstraseluler. Pada tipe-V atau tipe fibro-
ateroma, selain adanya tanda-tanda seperti pada tipe-IV juga ditandai dengan
adanya penebalan fibrosa. Pada tipe-VI atau tipe lesi komplikasi, selain ditemukan
tanda-tanda seperti pada tipe-V, ditemukan juga adanya komplikasi lesi berupa
trombus, fisura, dan hematoma (Gambar 6).
Tabel 2 Prasyarat sindrom metabolik menurut WHO dan NIH Amerika Serikat
Remodeling Arteri
Remodeling arteri didefinisikan oleh Groot & Veldhuizen (2006) sebagai
kemampuan homeostasis arteri dalam mengompensasi stenosis plak aterosklerosis
19
dan menjaga diameter lumen, sehingga sistem vaskuler tetap berfungsi dengan
baik. Dengan kata lain, remodeling arteri merupakan kompensasi arteri terhadap
perkembangan aterogenesis baik karena adanya mekanisme homeostasis tubuh
maupun karena adanya upaya untuk menekan faktor-faktor risiko aterosklerosis.
Gambar 8 menyajikan bentuk remodeling LCX yang mengalami
pembesaran (Ectasia) karena aterosklerosis yang bersifat konsentris.
Gambar 8 Contoh remodeling arteri koroner LCX pada manusia yang berusaha
melakukan kompensasi berupa pembesaran arteri karena dorongan
aterosklerosis (Williams et al. 2008)
Regresi Aterosklerosis
Regresi aterosklerosis digambarkan sebagai hasil dari berbagai intervensi
baik diet maupun obat-obatan untuk menghambat progresi aterosklerosis. Ciri
yang mudah dijadikan indikator regresi aterosklerosis adalah adanya perubahan
stabilitas arteri yang dicerminkan oleh formasi seluler maupun komposisi
biokimiawi arteri tersebut. Ternyata untuk mencapai keberhasilan regresi
aterosklerosis, dibutuhkan perjalanan riset dan praktik yang panjang.
Sejarah konsep regresi aterosklerosis. Konsep regresi aterosklerosis
dikemukakan oleh Anitschkow pada tahun 1920-an ketika melakukan penelitian
eksperimental aterosklerosis pada kelinci. Penelitian tersebut diperdalam pada
tahun 1950-1960 dengan ditemukannya fenomena regresi aterosklerosis
23
menggunakan hewan model kelinci, tikus, anjing, dan ayam. Tidak semua
penelitian menunjukkan hasil yang positif. Oleh karena itu, pada tahun 1970-an
dan 1980-an, penelitian tersebut dikembangkan dengan menggunakan hewan
model kelinci, anjing, burung dara (pigeon), babi, dan satwa primata. Hasilnya
cukup menggembirakan dengan ditemukannya ciri morfologis dan ciri biokimiawi
sebagai penanda regresi aterosklerosis. Pada tahun 1980-an, konsep regresi
aterosklerosis dan remodeling arteri dapat diterima oleh kalangan peneliti dan
praktisi dalam rangka meningkatkan upaya-upaya pencegahan dan pengobatan
aterosklerosis (Williams et al. 2008).
St Clair et al. (1972) mempelajari efek regresi aterosklerosis pada lesi
ateroma dan estrifikasi kolesterol pada aorta burung dara. Small et al. (1982)
mempelajari perubahan fisikokimia dan histologis dinding arteri pada satwa
primata selama progresi dan regresi aterosklerosis. Wagner et al. (1980)
mempelajari perubahan kimia pada arteri Macaca mulata yang diinduksi dengan
diet aterogenik selama sembilan belas bulan, kemudian diregresi selama empat
puluh delapan bulan dengan memelihara konsentrasi total plasma kolesterol 300
mg/dL atau 200 mg/dL. Dalam catatan kuliah yang disampaikan St Clair (2003),
disebutkan bahwa penginduksian progresi aterosklerosis monyet rhesus dengan
diet aterogenik selama tujuh belas bulan menghasilkan Total Plasma Cholesterol
(TPC) 700 mg/dL dan penyempitan arteri koroner kiri 60%±4% dan arteri koroner
kanan 57%±7%. Setelah intervensi dengan diet dan asupan skuestrasi asam
empedu, yaitu cholestiramine selama empat puluh bulan, TPC kembali menjadi
140mg/dL. Semasa induksi, penyempitan arteri koroner kiri dan kanan adalah
sebesar 25%±5% dan 26%±3%, sedangkan setelah intervensi diet, penyempitan
arteri koroner kiri dan kanan menjadi 17%±4% dan 14%±3%. St Clair juga
memberikan catatan bahwa tidak semua komponen biokimia pada regresi
aterosklerosis kembali normal secara total. Komponen-komponen biokimia yang
tidak dapat kembali normal secara total adalah lipid, jaringan ikat, mineral, dan
seluler. Perbaikan permukaan dinding arteri dan penebalan intima relatif lebih
sulit kembali normal dibandingkan dengan perbaikan jaringan media, jaringan
adventesia, maupun lemak intraseluler dan ekstraseluler. Pada Tabel 3 disajikan
24
Total Kolesterol
Kolesterol Bebas
Kolesterol Ester
Fosfolipid
Trigliserida
Kolesterol esterifikasi
Ketebalan intima
Kerusakan media
Adventisial RXN
Lipid Intraseluler
Lipid Ekstraseluler
25
Metabolisme HDL
Struktur HDL. HDL bukan entitas makromolekul tunggal, melainkan
merupakan sekumpulan partikel lipoprotein yang memiliki muatan lipid dan
27
protein dengan karakter kimia fisika yang berdekatan (Rigotti et al. 2003). Secara
umum, struktur partikel HDL terdiri dari lapisan terluar yang bersifat amphipathic
dan berisikan kolesterol bebas, fosfolipid, dan beberapa apolipoprotein (ApoA-1,
AII, C, E, AIV, J, dan D) di permukaan, sedangkan bagian inti bersifat hidrofobia
dan kaya trigliserida. Kolesterol ester HDL pada inti membawa beberapa enzim
seperti PAFA, LCAT, dan Cholesteryl Ester Transfer Protein (CETP) (Havel &
Kane 1995). Menurut Rye et al. (2009), berdasarkan pengukuran menggunakan
ultrasentri-fugasi, elektroforesis, atau nuclear magnetic resonance terhadap
jumlah molekul apolipoprotein dan kolesterol ester, HDL dibagi menjadi beberapa
karakter subtipe, yaitu subtipe HDL-2 dan subtipe HDL-3 (Tabel 4, Gambar 10).
% triasil-
Kelas Densitas Diameter % protein %
gliserol
Lipoprotein (g/mL) (nm) kering Fosfolipid
kering
HDL 1.063-1.21 5-15 33 29 8
LDL 1.019-1.063 18-28 25 21 4
IDL 1.006-1.019 25-50 18 22 31
VLDL 0.95-1.006 30-80 10 18 50
Chylomicrons < 0.95 100-500 1-2 7 84
Catatan: Semua protein memiliki densitas antara 1.3-1.4g/dL dan agregat lipid
dengan densitas 0.8g/mL
Gambar 10 Partikel HDL dengan berbagai ukuran dan bentuk, serta komposisi
apolipoprotein dan komposisi lipid (Rye et al. 2009)
28
Banyaknya
Klasifikasi Ditemukan di Peran
dalam plasma
A-I
Protein HDL Mengaktifkan LCAT
(28,300)
Terjadi sebagai
A-II Meningkatkan aktivitas hepatic
dimer terutama 30-50 mg %
(8,700) lipase
HDL
Turunan dari gen apo-B-100
B-48 gene dengan pengeditan RNA;
Chylomicron
(240,000) <5 mg% miskin LDL receptor-binding
domain terhadap apo-B-100
B-100
Protein LDL 80-100 mg % Berikatan dengan LDL receptor
(500,000)
C-I
VLDL, HDL 4-7 mg % Juga mengatifkan LCAT
(7,000)
C-II (8,800) VLDL, HDL, 3-8 mg % Mengaktifkan lipoprotein lipase
C-III chylomicron,
8-15 mg % Menghambat lipoprotein lipase
(8,800) VLDL, IDL, HDL
D HDL Juga dikenal sebagai cholesterol
8-10 mg %
(32,500) ester transfer protein (CETP)
E chylomicron,
3-6 mg % Mengikat LDL receptor
(34,100) VLDL, IDL HDL
Juga dikenal sebagai b-2-
H
Chylomicron - glycoprotein I (terlibat dalam
(50,000)
metabolisme TG)
berlangsung (Lee & Parks 2005). HDL memiliki kemampuan hambat oksidasi
LDL dalam tiga tahap mekanisme, termasuk terjadi di dalam dinding arteri
(Navab et al. 2000). Gordon & Davidson (2011) menunjukkan bahwa tidak semua
kinerja HDL tergantung pada keberadaan komponen ApoA-1.
ditransportasikan ke HDL melalui dua jalur lainnya, yaitu jalur SR-BI dan jalur
ABCA-1. Pada jalur SR-BI kolesterol bebas ditransportasikan ke HDL dewasa.
Penarikan kolesterol bebas dari wadah kolesterol seluler melalui jalur ABCA-1
dilakukan dengan mengikat dan memfasilitasi pengeluaran kolesterol seluler dari
wadah endositosis akhir, sehingga menurunkan banyaknya kolesterol dalam sel.
Menurut Saddar et al. (2010), peran ABCA-1 transporter ini sangat penting
mengingat peran ApoA-1 sebagai aseptor dalam mengikat kolesterol seluler
sangat lemah. Semua penarikan kolesterol bebas dan fosfolipid dilakukan dalam
formasi pre-HDL dan berubah (converted) menjadi HDL spherical dewasa setelah
kolesterol bebas diesterifikasi oleh LCAT menjadi kolesterol ester.
Penjelasan di atas memperkuat pendapat Brewer Jr (2004) bahwa ABCA-1
transporter mengatur tingkat kolesterol intraseluler pada hati dan pada seluler
perifer. Pengaturan ini dilaksanakan dengan cara mengubah kelebihan kolesterol
menjadi nascent HDL yang miskin ApoA-1, kemudian diubah menjadi HDL
dewasa yang dapat berpartisipasi dalam proses reverse cholesterol trasnport. Jalur
SR-BI dan jalur ABCA-1 diregulasi pada dinding sel oleh muatan oxycholesterol.
Kelebihan kolesterol seluler ini diubah setahap demi setahap menjadi 27-hydroxy-
cholesterol oleh 27-hydroxylase. Dalam aspek genetis, 27-hydroxycholesterol
mengikat ligand yang mampu memicu faktor transkripsi Liver X Receptor (LXR),
kemudian mengalami dimerisasi dan mengikat elemen LXRE, sehingga 27-
hydroxycholesterol dapat meningkatkan ekspresi gen SR-BI dan ABCA-1
transporter. Dengan demikian, baik pre-HDL maupun HDL dewasa memfasilitasi
pengeluaran kolesterol seluler serta berpartisipasi dalam reverse cholseterol
trasnport menuju hati.
SR-BI. SR-BI pertama ditemukan sebagai glikoprotein permukaan sel yang
homolog dengan scavenger receptor CD36 dari kelas B scavenger receptor
(Acton et al. 1994). Keluarga kelas B scavenger receptor ini menempel pada
bagian ekstraseluler dengan menambatkan diri pada membran plasma melalui
pengaturan transmembran untuk memendekkan bagian terminal sitoplasmik
domain N dan C (Greenwalt et al. 1992). SR-BII memiliki perbedaan dengan SR-
BI pada bagian terminal sitoplasmik C (Webb et al. 1997), tetapi keduanya dalam
kultur jaringan sama-sama terlokalisasi pada plasma membran lipid cavaolae
32
terutama di bagian kolesterol dan spongiolipid (Babitt et al. 1997). SR-BI dapat
berikatan dengan beberapa ligand, termasuk LDL yang mengalami oksidasi atau
asetilasi, VLDL, dan fosfolipid (Krieger et al. 2001). Mengingat SR-BI
merupakan jaringan pola spesifik yang HDLnya berperan dalam penarikan
kolesterol dan regulasi ekspresi jaringan, maka SR-BI lebih tepat dikatakan
sebagai reseptor HDL (Temel et al. 1997).
Fungsi klasik SR-BI adalah memediasi pengambilan selektif (selective
uptake) kolesterol oleh sel, terutama dalam bentuk kolesterol ester. Pengambilan
selektif kolesterol oleh sel ini melibatkan kolesterol ester pada inti hidropobik
partikel HDL. Kegiatan ini tanpa harus melakukan pemindahan (transfer)
apolipoprotein pada permukaan partikel. SR-BI juga memediasi aliran dua arah
(bidirectional flux) kolesterol yang belum diesterifikasi (unesterication
cholesterol) serta fosfolipid antara HDL dan sel (Krieger 2001). SR-BI tidak
berpartisipasi dalam pengeluaran kolesterol dari sel makrofag ke plasma HDL.
Pengeluaran kolesterol dari sel makrofag ke plasma HDL dilakukan oleh ABCA-1
dan ABCG1 (Tall et al. 2008). Namun demikian, SR-BI berperan dalam respons
peradangan makrofag (Rocha & Libby 2009).
Peran SR-BI secara in-vivo pada penyakit kardiovaskuler sangat kritikal.
Menurut Kozarsky et al. (2000), pada hewan model tikus hiperkolesterolemia,
dibuktikan bahwa ketiadaan SR-BI secara global maupun overexpression SR-BI
hepatik sampai jenuh memperparah perkembangan aterosklerosis. Kondisi ini
juga menjadi pembelajaran bagi sel-sel yang diturunkan dari sumsum tulang
terhadap perkembangan lesi aterosklerosis (Van et al. 2004). Pernyataan ini
memperkuat argumentasi bahwa SR-BI protektif terhadap makrofag.
SR-BI bersama makrofag secara akumulatif mempunyai sifat protektif
terhadap fungsi kardiovaskular. Hal ini antara lain ditunjukkan oleh mekanisme
hambat HDL teroksidasi terhadap aktivitas keping darah yang ternyata
membutuhkan SR-BI (Valiyaveettil & Podrez 2009). Ikatan HDL dengan SR-BI
pada endotelium vaskuler akan mengaktifkan sintesa nitric oxide secara
langsung—sering disebut Endothelial Nitric Oxide Synthase (eNOS)—sehingga
mengaktifkan molekul Nitric Oxide (NO) yang poten sebagai antiaterogenik
(Yuhanna et al. 2001). Dalam sel endotel, SR-BI memiliki peran yang sama
33
dengan eNOS dalam caveolae. Dengan adanya HDL, aktivitas eNOS ini menjadi
semakin kuat. Kinerja enzim dan reseptor ini dalam mikrodomain pun menjadi
berlipat. Dengan menggunakan kultur jaringan sel endotel, terlihat adanya
peningkatan eNOS serine 1177 phosphorylation. Hal ini membuktikan bahwa
ikatan HDL dan SR-BI mengaktifkan enzim kinase (Mineo et al. 2003). Dengan
inisiasi sinyal dari SR-BI, HDL menstimulasi migrasi sel-sel endotel, dan secara
in-vivo, mekanisme ini menghasilkan integritas monolayer endotel (Seetharam et
al. 2006).
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dikatakan bahwa SR-BI memiliki
perangkat yang banyak (multiple features). Setidaknya, menurut Saddar et al.
(2010), terdapat tiga perangkat penting yang perlu diketahui, yaitu (1) perangkat
sinyal inisiasi berupa aliran kolesterol yang melibatkan HDL dan ApoA-1, (2)
perangkat terminal C penginteraksi domain PDZ (K509) yang berhubungan
langsung dengan adaptor molekul PDZK1, dan (3) perangkat terminal C domain
transmembran atau C-Terminal Transmembrane (CTTM), untuk mengikat
kolesterol. Penjelasan ini sekali lagi memperkuat argumentasi bahwa kinerja SR-
BI dapat diinisiasi jika terjadi aliran kolesterol (Cholesterol flux). Dibandingkan
dengan SR-BI, SR-BII tidak mampu menginduksi eNOS. Namun, menurut
Assanasen et al. (2005), terminal C domain yang dimiliki SR-BI dan SR-BII
berperan penting dalam transduksi sinyal induksi fosforilasi dan aktivasi eNOS.
Penjelasan di atas memberikan gambaran lebih lengkap bahwa selain
berfungsi dalam pertukaran kolesterol antara sel dan lipoprotein maupun reverse
cholesterol transport dan pengeluaran kolesterol empedu, SR-BI juga memiliki
dua peran lainnya, yaitu membantu HDL dalam memproteksi kardiovaskuler dan
mengaktivasi diverve kinase cascades. Dalam hal yang terakhir, sinyal SR-BI
akan muncul jika terdapat aliran kolesterol dan adanya reseptor khusus yang
langsung berikatan dengan kolesterol dibutuhkan. Reseptor ini disebut terminal C
penginteraksi domain PDZ (C-terminal PDZ-interacting domain) yang langsung
berinteraksi dengan adaptor molekul PDZK1. PDZ dan CTTM berikatan langsung
dengan kolesterol.
Menurut Karen et al. (2000), SR-BI memicu terjadinya lebih banyak
transportasi dan transformasi HDL-C, sehingga mengakibatkan kadar HDL-C
34
menurun. Demikian halnya jika kinerja SR-BI hepatik ini dipacu, misalnya
dengan recombinant adenovirus encoding murine, SR-BI akan mengalami
overexpression dan menyebabkan penurunan kadar HDL-C. Penurunan ini tidak
memengaruhi sifat SR-BI. Bahkan, SR-BI tetap protektif terhadap aterokslerosis.
Sebagai penjelasan tambahan, selain diambil oleh lipoprotein, kolesterol
ester juga diambil oleh SR-BI dalam hati dan organ/jaringan steroidogenik
maupun dari hidrolisis fosfolipid dengan bantuan HL (hepatic lipase) dan EL
(endothelial lipase) (Rigotti et al. 2003). Dipertegas oleh Trigatti et al. (2003)
bahwa RS-BI dalam melaksanakan fungsinya memerlukan konfirmasi dari ApoA-
1 yang berada dalam partikel HDL. SR-BI ditemukan cukup banyak pada
beberapa jaringan, termasuk pada hati. Temuan SR-BI ini diekspresikan dalam
beberapa mekanisme, salah satunya adalah dalam aktivitas transkripsi nuclear
receptors. Dengan bantuan manipulasi pada gen mencit, seperti SR-
BI/apolipoprotein E double-knockout mice, peran SR-BI pada metabolisme
kolesterol HDL secara keseluruhan maupun aktivitas anti-aterogenik dalam
mencegah penyakit jantung koroner, serta infark penyakit jantung, maupun
kegagalan jantung dapat dibuktikan.
Penambatan kolesterol. Melengkapi peran HDL sebagai good cholesterol,
dapat dikatakan bahwa kolesterol bebas yang telah ditarik dari sel makrofag yang
kemudian mengalami transformasi menjadi kolesterol ester dalam partikel HDL,
perlu adanya proses katabolisme sehingga memenuhi homeostasis kolesterol dan
dapat dimanfaatkan untuk proses kehidupan selanjutnya. Dalam fase ini,
kolesterol harus dapat ditambatkan pada jaringan yang memerlukan, seperti hati,
jaringan endokrin, dan jaringan lainnya. Mekanisme reverse cholesterol transport
tidak saja strategis sebagai mekanisme hambat aterosklerosis oleh HDL, tetapi
juga sebagai mekanisme homeostasis kolesterol pada seluler steroidogenik dan
pada kulit yang lemah mengurai kolesterol (Rigotti et al. 2003).
Penambatan kolesterol yang diinisiasi HDL pada prinsipnya memerlukan
mekanisme kerja reseptor. Steinberg (1997) menjelaskan bahwa setidaknya ada
tiga mekanisme reseptor HDL dalam menghambat HDL (Gambar 12), yaitu (1)
mekanisme penambatan kolesterol berikut partikel HDL secara utuh, (2)
mekanisme penambatan kolesterol dengan memanfaatkan selaput hidrofilik HDL,
35
.
Peran HDL sebagai Anti Aterogenik
Peran HDL sebagai anti aterogenik diilustrasikan Cockerill et. al. (1995)
seperti pada Gambar 13 yang menunjukkan bahwa HDL berperan sebagai
perangkat reserve cholesterol transport. Peranan HDL ini dikaitkan dengan
kapasitas apolipoprotein A-1 HDL dalam mendorong pengeluaran (efflux)
kolesterol dari dalam sel-sel perifer seperti makrofag. Mekanisme pengeluaran
kolesterol tersebut di antaranya melalui (1) mekanisme pasif difusi kolesterol
bebas dari makrofag yang mengalami esterifikasi bertahap oleh LCAT yang
berasal dari HDL itu sendiri, (2) mekanisme transportasi kolesterol ke HDL
melalui scavenger reseptor B1 pada permukaan dinding pembuluh darah, dan (3)
mekanisme penggandengan lipid yang miskin ApoA-1 ke pengangkut ABCA-1
yang memiliki kapasitas menerima kolesterol bebas di dalam pembuluh darah,
sehingga melalui pematangan esterifikasi ini dapat mengubah pre-beta HDL
menjadi alpha migrating HDL.
36
membentuk garam jika ditambahkan asam. Nikotin larut dalam air dengan pKa =
8.5, kepadatan 1.01g/mL, dan titik didih 247°C (477°F). Nikotin disarankan untuk
disimpan di bawah 30oC, serta aman dari sinar dan air (Rodgman & Perfetti
2009).
Penyerapan Nikotin
Nikotin diserap tubuh secara efektif dalam keadaan basa, yaitu pada pH 8.5
dan dalam keadaan bukan ion. Sebaliknya, dalam keadaan asam, nikotin tidak
efektif diserap tubuh, mengingat pada pH 5.5, nikotin adalah ion. Penyerapan
nikotin secara inhalasi oleh alveoli tidak tergantung pada pH. Pada pH fisiologis,
30% nikotin berubah menjadi bukan ion dan diserap oleh membran mukosa mulut
(IPCS ICHEM 2009).
Rokok. Penyerapan nikotin via rokok adalah sebanyak 1.0mg (0.37mg -
1.64mg) per batang rokok. Bagi perokok, nikotin masuk ke dalam tubuh melalui
sirkulasi pulmonal, bukan melewati vena porta atau vena sistemik, sehingga
38
waktu yang dibutuhkan ke otak lebih pendek daripada bila dimasukkan secara
intravena (7-9 detik) (Stead et al. 2008).
Bukan rokok. Penyerapan nikotin yang melalui jalur non rokok (smokless
tabacco) memiliki rata-rata penyerapan sebanyak 3.6mg nikotin/2.5g tembakau
hisap; atau 4.6mg nikotin/7.9g tembakau sugi (chewing tabacco) dalam mulut
selama 30 menit. Penyerapan di mulut lebih cepat karena pH-permen
mengandung nikotin karet yang telah diubah menjadi alkali. Setelah 30 menit,
konsentrasi nikotin darah meningkat dan bertahan selama tiga jam. Setelah dua
jam (variasi 1jam - 4jam) selanjutnya, kandungan nikotin kembali turun. Setelah
itu, tergantung pH aliran urin, nikotin diekskresi oleh ginjal sebanyak 2%-35%
(Stead et al. 2008).
Metabolit. Metabolit primer nikotin adalah kotinin (cotinine) dan Nikotin-
N-oksid. Kedua zat ini tidak mempunyai efek farmakologis. Di dalam hati, nikotin
diubah menjadi kotinin oleh enzim CYP2A6. Berkurangnya metabolisme nikotin
oleh enzim CYP2A6 sebanyak 80% merupakan kunci utama kasus-kasus adiksi
perokok (Hukkanen et al. 2005).
Peran reseptor. Nikotin yang diserap dalam membran sel berikatan dengan
reseptor ACTh pada ganglion syaraf otonom, medula adrenal, neuromuskular
junction dan otak. Reseptor utama nikotin pada sistem syaraf perifer meliputi
jaringan lemak cokelat skeletal, organ sekretori paracrine, lapisan transmiter
protein, serta catecholamine (dopamine, epinephrine and norepinethrine)
(Benowitz et al. 2009).
Akumulasi pada jaringan. Tidak seperti asetilkolin atau kolin yang secara
cepat menghilang dari ikatan reseptor, sifat nikotin yang lipofilik menyebabkan
nikotin tidak mudah diuraikan dan dihilangkan dari reseptor. Akibatnya,
konsentrasi nikotin pada jaringan akan lebih tinggi daripada serum. Pada jaringan
otak konsentrasinikotin dapat mencapai 10µM jauh di atas kemampuan serum
menerima komponen dengan nanomolar, karena biasanya hanya mampu
menerima komponen dalam nanogram permilimeter. Berdasarkan kenyataan ini
kini dibuat rasio penerimaan nikotin antara yang berada di serum darah dengan
yang berada pada jaringan tubuh. Misalnya otak 3.0, jantung 3.7, otot 2.0,
jaringan adiposa 0.5, ginjal 21.6, hati 3.7, paru-paru 2.0, dan jaringan pencernaan
39
Biologi
cukup memadai, (7) tersedia cukup banyak di habitatnya, dan (8) dapat
dikembangbiakkan melalui program penangkaran. Adapun kelemahannya sangat
mahal untuk mendapatkan, memelihara, dan sulit untuk ditangani karena
membutuhkan keterampilan khusus (Clarkson et al. 1994).
Model obesitas. Satwa primata yang pernah dikembangkan sebagai model
obesitas diantaranya adalah (1) monyet bonnet (Macaca radiata) remaja untuk
mengetahui faktor stres sebagai penyebab obesitas dan terjadinya resisten insulin
(Kaufman et al. 2007), (2) baboon (Papio hamadryas) dalam studi genetik
obesitas (Anthony et al. 2003), (3) monyet rhesus (Macaca mulatta) betina untuk
mengetahui pengaruh konsumsi energi pada malam hari terhadap pertambahan
bobot badan (Sullivan et al. 2005), dan (4) baboon dewasa liar untuk mengetahui
adanya peningkatan kadar leptin dalam serum darah, hiperlipidemia dan resistensi
insulin menggunakan (Banks et al. 2003).
Monyet obes. Pembentukan monyet model obes menurut Wagner et al.
(1980) dapat dilakukan secara alami maupun secara induksi. Pembentukan
monyet obes secara alami dibutuhkan waktu yang cukup lama (30 tahun).
Pembentukkan monyet obes secara induksi pada umumnya dilakukan dengan
intervensi diet tinggi energi baik berasal dari karbohidrat, lemak, kolesterol atau
kombinasinya. Susunan diet seperti ini disebut pakan obestogenik. Dalam rangka
mempelajari masalah obesitas dan penyakit terkait lainnya, Progam Studi
Primatologi Pascasarjana IPB bekerjasama dengan PT Indo Anilab dan Divisi
Biomedis Pusat Studi Satwa Primata IPB sejak tahun 2009 dalam
mengembangkan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) jantan dewasa
sebagai hewan model obes dengan intervensi pakan obesitogenik (Oktarina 2009).
Kegiatan ini telah menghasilkan monyet obes tipe-1 untuk kategori orang Asia
dengan indeks massa tubuh > 23.00.
Diet obesitogenik. Efektivitas pakan obesitogenik tersebut diteliti Oktarina
(2009) dengan memberi perlakuan 3 (tiga) macam pakan terhadap 3 (tiga)
kelompok monyet masing-masing 5 ekor selama 12 (dua belas) bulan. Formulasi
diet untuk kelompok ke-1 meliputi lemak tellow 19.62%, BETN 59.42% dan
energi 4,480kal/g; kelompok ke-2 meliputi lemak tellow dan kuning telur 19.62%,
BETN 60.34%, dan energi 4,207kal/g; dan kelompok ke-3 meliputi lemak 5.55%,
45
BETN 51.38%, dan energi 4,330kal/g dengan sumber utama monkey chow. Bobot
badan (BB) kelompok ke-1 meningkat 2.1%, ke-2 9.7%, dan ke-3 1.3%. Indeks
Massa Tubuh (IMT) pada akhir penelitian pada kelompok ke-1 sebesar 24.88
sehingga masuk kategori pre-obes, ke-2 sebesar 27.02 sehingga masuk kategori
obes tipe-1, dan ke-3 sebesar 23.55 sehingga masih termasuk kategori normal.
Kolesterol (mg/dL) 253 301 360 638 HDL-C (mg/dL) 82.6 126 90 145
Gambar 16 Profil Serum Total Kolesterol (mg/dL) dan HDL-C (mg/dL) pada
monyet ekor panjang dewasa obes yang mengalami intervensi
nikotin cair dosis rendah selama tiga bulan