Anda di halaman 1dari 4

Luka dan kesembuhan luka

Fisiologi penyembuhan luka, akibat kerusakan jaringan yang terjadi baik


sebagai intervensi (seperti bekas suntikan) maupun bukan, akan menyebabkan
terjadinya perubahan-perubahan molekuler dan seluler yang merupakan usaha dari
tubuh hewan penderita untuk memulihkan kontinuitas dari fungsi organ jaringan
tersebut untuk melakukan fibroplasias dan regenerasi epitel (Schwartz and
Seymour, 2000).
Kejadian luka sebagai gangguan pada jaringan tubuh yang dapat terjadi
secara tertutup disebut vulneratio occlusa, yaitu jaringan kulit yang terluka masih
tetap utuh, dan pada kejadian ini dapat disebabkan akibat contusion. Pada
contusion, kulit mengalami kerusakan sekalipun masih utuh, namun demikian
jaringan yang mengalami kerusakan tersebut dapat terjadi pada muskulus tendon
saraf maupun tulang. Selain itu dapat berakibat abrasio yang mana luka dibagian
superfisial dari kulit terkelupas disebabkan akibat friksi dan luka ini sangat
sensitif sekalipun sedikit mengalami perdarahan namun mengalami penyembuhan
yang lama. Pada kejadian luka kulit yang terbuka disebut vulneratio operta
dikenal beberapa bentuk, yakni dalam bentuk insisi adalah luka yang disebabkan
benda tajam, tepi luka yang terjadi rata dengan kerusakan yang sedikit sekali, luka
insisi ini dapat terjadi pada muskulus, tendon, pembuluh darah, dan saraf yang
disertai dengan pendarahan. Pada luka tusukan (punktur) adalah luka yang dalam
dengan lubang yang kecil yang bisa disebabkan oleh benda yang ujungnya tajam
(seperti jarum suntik) (Sardjana dan Kusumawati, 2011).

Proses pembekuan dan penghentian pendarahan


Hemostasis merupakan proses penghentian pendarahan secara spontan dari
pembuluh darah yang mengalami kerusakan atau akibat putusnya atau robeknya
pembuluh darah. Thrombosis terjadi apabila endotelium yang melapisi pembuluh
darah rusak atau hilang. Proses homeostasis mencakup pembekuan darah atau
koagulasi dan melibatkan pembuluh darah, agregasi trombosit, serta protein
plasma baik yang menyebabkan pembekuan darah maupun yang melarutkan
bekuan (Durachim dan Astuti 2018).
Platelet atau trombosit yang bersirkulasi dalam pembuluh darah,
merupakan mediator penting yang memicu jalur mekanikal dari kaskade koagulasi
saat pembuluh darah mengalami kerusakan. Pada saat terjadi kerusakan jaringan,
mekanisme hemostasis menggunakan sejumlah besar reseptor vaskular dan
ekstravaskular, sesuai dengan komponen darah, untuk menutup gangguan pada
pembuluh darah dan menutupnya dari jaringan di sekitarnya. Fungsi utama dari
trombosit adalah untuk menghentikkan pendarahan setelah cedera vaskular
(Periayah et al. 2017).
Pembekuan darah merupakan proses yang kompleks dan peristiwa dimana
fibrinogen, protein plasma yang larut diubah menjadi bakuan fibrin yang stabil
(Fuadi et al. 2018). Proses pembekuan darah dimulai dengan vasospasm yang
merupakan respon awal dari luka pada pembuluh darah. Vasospasm dapat dipicu
oleh reseptor nyeri lokal dan senyawa yang dilepas oleh jaringan endotel yang
rusak, yang kemudian menstimulasi vasokonstriksi. Endotelium yang rusak
mengekspos kolagen sub-endotel, faktor von Wilebrand (vWF), melepaskan ATP,
dan mediator inflamasi. Kombinasi paparan vWF, kolagen subendotel, ATP, dan
mediator inflamasi ini menyediakan tempat untuk adhesi trombosit (Periayah et
al. 2017).
Menurut Garmo et al. (2021), pasca kerusakan vaskular, trombosit akan
menggulung di sepanjang dinding pembuluh darah dan menempel pada area
kolegen subendotel dan vWF yang terbuka. Membran trombosit kaya akan
reseptor protein G (Gp) yang terletak di dalam lapisan fosfolipid ganda. Reseptor
GP pada trombosit mengikat vWF pada endotelium dan kemudian mengaktifkan
trombosit. Setelah menempel, trombosit mengalami perubahan bentuk yang
irreversibel dari cakram halus menjadi plug multi-pseudopodal, yang sangat
meningkatkan luas permukannya, dan mengeluarkan granula sitoplasmanya.
Granula trombosit melepaskan serotonin, faktor pengaktif trombosit, dan
ADP. Pada saat ADP berikatan dengan reseptornya, ia mengindusi ekspresi
kompleks GP IIb/IIIa pada permukaan membran trombosit. Kompleks GP IIb/IIIa
adalah reseptor kolagen yang bergantung pada kalsium yang diperlukan untuk
perlekatan trombosit-ke-endotel dan agregasi trombosit-ke-trombosit. Secara
bersamaan, trombosit mensintesis Tromboksan A2 (TXA2). TXA2 lebih lanjut
mengintensifkan vasokonstriksi dan agregasi trombosit. Agregasi trombosit
dimulai setelah trombosit diaktifkan. Setelah diaktifkan, reseptor Gp IIb/IIIa
melekat pada vWF dan fibrinogen. Fibrinogen ditemukan dalam sirkulasi dan
membentuk hubungan antara reseptor Gp IIb/IIIa dari trombosit untuk
menghubungkannya satu sama lain dan akhirnya membentuk sumbat trombosit
yang lemah (Garmo et al. 2021). Sumbatan trombosit ini bersifat sementara dan
harus diperkuat lagi dengan proses pembekuan darah (clot) yang akan
memperkokoh penutupan kerusakan pembuluh darah (Durachim dan Astuti 2018).
Pembentukan bekuan darah terdiri dari dua jalur utama yaitu jalur
ekstrinik dan instrinsik. Kedua jalur tidak bersifat independen walau ada
perbedaan artificial yang dipertahankan. Proses yang mengawali pembentukan
bekuan darah sebagai respons terhadap cedera jaringan dilaksanakan oleh jalur
ekstrinsik. Pengaktifan jalur intrinsik berhubungan dengan permukaan yang
bermuatan negatif. Kedua lintasa kemudian menyatu dalam jalur terakhir yang
sama. Jalur ekstrinsik dimulai dari eksposur faktor pembekuan darah dengan
faktor jaringan (TF), di jaringan ekstravaskular dan melibatkan faktor VII, X,
serta Ca2+ dan menghasilkan faktor Xa (aktif). Jalur intrinsik melibatkan faktor
XII, XI, IX, VIII, dan X disamping prekalikrein, kaninogen dengan berat molekul
tinggi, ion Ca2+ dan fosfolipid trombosit. Jalur intrinsik juga membentuk faktor
Xa. Jalur ekstrinsik dan intrinsik kemudian masuk kedalam jalur bersama
pengaktivasian trombin (Durachim dan Astuti 2018).
Jalur bersama dari kedua jalur dimulai via aktivasi dari faktor X.
Pengaktifan protrombin menjadi trombin terjadi pada permukaan trombosit aktif
dan memerlukan perakitan komplek protrombinase yang terdiri dari fosfolipid
anionic platelet, Ca2+, fator Va, faktor Xa, dan protrombin. Trombin yang
terbentuk kemudian melekat pada fibrinopeptida A dan B untuk membentuk
monomer fibrin. Monomer-monomer ini berkumpul menjadi protofibril dengan
cara setengah terdistribusi, yang distabilkan oleh interaksi non-kovalen antara
molekul-molekul fibrin. Akhirnya, protofibril tersusun miring menjadi jaringan
fibrin padat untuk membentuk bekuan fibrin sementara yang tidak terikat silang
secara kovalen. Benang fibrin kemudian menjerat plasma, trombosit, dan sel darah
untuk membentuk bekuan darah yang lebih kuat (Periayah et al. 2017).

Gambar 1. Mekanisme pembekuan darah


(Sumber: Durachim dan Astuti 2018)

Hemostasis merupakan mekanisme normal yang dilakukan oleh tubuh


untuk menghentikan pendarahan pada lokasi yang mengalami kerusakan atau
luka. Pendarahan yang lama membeku dapat disebabkan oleh banyak faktor.
Gangguan pada hemostasis dapat digolongkan sebagai gangguan sintesis faktor
pembekuan dan anti-koagulan, defisiensi kebersihan hati, trombostiopenia,
pembentukan faktor pembekuan darah yang abnnormal, dan gabungan antara
kelainan-kelainanan tersebut (Saragih et al. 2016). Faktor lain yang dapat
menyebabkan gangguan hemostasis adalah gangguan vaskularisasi, yang
mempengaruhi luka karena luka membutuhkan keadaan peredaran darah yang
baik untuk pertumbuhan atau perbaikan sel; anemia, karena makhluk hidup yang
mengalami kekurangan kadar hemoglobin dan protein dalam darah akan
mengalami proses penyembuhan lama; usia, proses penuaan dapat menurunkan
sistem perbaikan sel sehingga dapat memperlambat proses penyembuhan luka;
penyakit lain seperti diabetes dan kerusakan hati, stres, obesitas, obat-obatan yang
berlebih, dan kekurangan nutrisi yang merupakan unsur utama dalam membantu
perbaikan sel. Vitamin K membantu sintesis protombin dan berfungsi sebagai zat
pembekuan darah (Rejeki dan Ernawati 2010). Selain itu, faktor yang dapat
menyebabkan darah sukar membeku adalah kelainan yang bersifat turunan seperti
hemofilia. Hemofilia merupakan gangguan koagulopati pada hewan dan manusia
yang diturunkan sebagai hasil dari adanya defisiensi faktor VIII pada hemofilia A
dan faktor IX pada hemofilia B. Kelainan tersebut sangat berkaitan dengan
kromosom X, sehingga gejala akan timbul pada kelamin jantan (Tanjungsari dan
Pradianto 2019).

Daftar Pustaka

Durachim A, Astuti D. 2018. Bahan Ajar Teknologi Laboratorium Medik (TLM):


Hemostasis. Jakarta (ID): Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Fuadi MC, Santoso H, Syauqi A. 2018. Uji aktivitas salep luka dari albumin ikan
sidat (Anguilla bicolor) pada mencit (Mus musculus). e-Jurnal Ilmiah Sains
Alami. 1(1):27-33
Garmo C, Bajwa T, Burns B. 2021. Physiology, Clotting Mechanism. Treasure
Island (FL): StatPerals Publishing
Periayah MH, Halim AS, Saad AZM. 2017. Mechanism action of platelets and
crucial blood coagulation pathways in homeostasis. Int J Hematol Oncol
Stem Cell Res. 11(4): 319-327
Saragih GG, Waleleng BJ, Haroen H. 2016. Gangguan hemostasis pada penderita
sirosis hati yang dirawat di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou periode Agustus
2013-Agustus 2015. Jurnal e-Clinic. 4(1): 128-133
Tanjungsari L, Pradianto BI. 2019. Hemofilia pada anjing siberian husky. ARSHI
Vet Lett. 3(4): 63-64

Anda mungkin juga menyukai