Anda di halaman 1dari 103

MEKANISME KOAGULASI DAN

PENATALAKSANAANYA

Referat

Oleh :
Sari Novpriani 21360085
Siti Sarah Langki 21360089
Tri ayati 21360093

Preceptor :
dr. Heri Aprijadi, Sp.PD, KHOM

KEPANITRAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD JENDRAL AHMAD YANI METRO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALAHAYATI
BANDAR LAMPUNG
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas

berkat, rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan refrat ini yang berjudul “

Mekanisme Koagulasi dan Penatlaksanaanya”. Refrat ini merupakan salah satu syarat

Kepaniteraan Klinik di Bagian/Departemen bagian ilmu penyakit Dalam RSUD Jendral

Ahmad Yani Metro.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Heri Aprijadi, Sp.PD, KHOM

selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penulisan dan penyusunan

refrat ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan Refrat ini. Oleh

karena itu, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat penulis harapkan. Semoga laporan

ini dapat memberi manfaat bagi pembaca.

Metro , Februari 2022

Tim Penulis

ii
Daftar Isi
KATA PENGANTAR .......................................................................................................ii
Daftar Isi ...........................................................................................................................iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang. ....................................................................................................... 1
BAB II
Tinjauan Pustaka
2.1. Koagulasi ............................................................................................................... 3
2.2. Fungsi koagulas ..................................................................................................... 3
2.3.Faktor Koagulasi....................................................................................................4
2.4.Mekanisme Koagulasi...........................................................................................15
2.5.Cell Based Model Of Coagulation........................................................................25
2.6.Gangguan Koagulasi.............................................................................................29
2.7. Penyakit Gangguan Koagulasi dan Penatalaksanaan ..........................................31
BAB III
KESIMPULAN
Kesimpulan........................................................................................................................57
Daftar Pustaka...................................................................................................................
Lampiran............................................................................................................................

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Hemostasis (haima=darah, stasis=tetap,berhenti), berarti darah tetap berada

dalam system pembuluh darah. terdapat beberapa komponen dalam mekanisme

hemostasis, yaitu: trombosit, endotel vaskuler, procoagulant plasma protein.

Hemostasis merupakan mekanisme normal yang dilakukan oleh tubuh

untuk menghentikan perdarahan pada lokasi yang mengalami kerusakan atau

luka. Hemostasis ini sebagai respon untuk menghentikan keluarnya darah yang

diperankan oleh spasme pembuluh darah, adhesi, agregasi trombosit dan

keterlibatan aktif faktor koagulasi.

Dalam hemostasis terjadi adanya koordinasi dari endotel pembuluh darah,

agregasi trombosit dan aktivasi jalur koagulasi. Komponen-komponen tersebut

berusaha menjaga agar darah tetap cair dan tetap berada dalam system pembuluh

darah. Fungsi utama mekanisme koagulasi adalah menjaga keenceran darah

(blood fluidity) sehingga darah dapat mengalir dalam sirkulasi dengan baik.

Koagulasi atau dikenal dengan proses pembekuan darah merupakan

mekanisme bertingkat yang melibatkan kesinambungan pengaktifan faktor yang

satu dengan yang lainnya. Pada tahap terakhir pembekuan darah, trombin akan

mengubah fibrinogen menjadi serat atau benang-benang fibrin yang dapat

menjaring komponen-komponen darah yang berukuran besar, sel darah merah,

dan plasma sehingga terbentuk bekuan darah (Durachim A,2018).

Jika terjadi luka atau kerusakan jaringan dan berdarah, tubuh akan

berusaha untuk menghentikan pendarahan dengan cara menutup luka oleh

pembekuan darah, atau bisa disebut blood clotting. Banyak terdapat zat-zat

1
2

penting yang mempengaruhi pembekuan darah yang berada di dalam darah dan

jaringan, beberapa di antaranya mempermudah terjadinya pembekuan disebut

prokoagulan dan yang lain menghambat pembekuan, disebut antikoagulan

(Durachim A,2018).

Dalam makalah ini akan dibahas mengenai fisiologik dan patofisiologik

serta prinsip pemeriksaan laboratorium dari masing-masing faktor yang berperan

dalam proses hemostasis, seperti faktor vaskuler, faktor trombosit dan faktor

pembekuan sertainterpretasi hasilnya.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Koagulasi

Koagulasi atau dikenal dengan proses pembekuan darah merupakan

mekanisme bertingkat yang melibatkan kesinambungan pengaktifan faktor yang satu

dengan yang lainnya. Pada tahap terakhir pembekuan darah, trombin akan mengubah

fibrinogen menjadi serat atau benang-benang fibrin yang dapat menjaring

komponen-komponen darah yang berukuran besar, sel darah merah, dan plasma

sehingga terbentuk bekuan darah (Kemenkes,2018).

Koagulasi merupakan proses autokatalitik dimana sejumlah kecil enzim yang

terbentuk pada tiap reaksi akan menimbulkan enzim dalam jumlah besar pada reaksi

selanjutnya. Oleh karena itu perlu adanya mekanisme kontrol untuk mencegah

aktivasi dan pemakaian faktor pembekuan darah secara berlebihan yaitu melalui

aliran darah, mekanisme pembersihan (clearance) seluler dan inhibitor alamiah

(Umar I,2020).

2.2. Fungsi Koagulasi

Hemostasis adalah kemampuan alami dan merupakan proses normal sebagai

respon untuk menghentikan perdarahan pada lokasi luka oleh spasme pembuluh

darah, adhesi trombosit dan keterlibatan aktif faktor koagulasi, adanya koordinasi

dari endotel pembuluh darah, agregasi trombosit dan aktivasi jalur koagulasi.

Fungsi utama mekanisme koagulasi adalah menjaga keenceran darah (blood

fluidity) sehingga darah dapat mengalir dalamsir kulasi dengan baik, serta

membentuk thrombus sementara atau hemostatic thrombus pada dinding pembuluh

darah yang mengalami kerusakan (vascularinjury).

3
4

Proses pembekuan darah ini merupakan mekanisme bertingkat yang

melibatkan kesinambungan pengaktifan faktor yang satu dengan yang lainnya. Pada

tahap terakhir pembekuan darah, trombin akan mengubah fibrinogen menjadi serat

atau benang-benang fibrin yang dapat menjaring komponen-komponen darah yang

berukuran besar, sel darah merah, dan plasma sehingga terbentuk bekuan darah. Jika

terjadi luka atau kerusakan jaringan dan berdarah, tubuh akan berusaha untuk

menghentikan pendarahan dengan cara menutup luka oleh pembekuan darah, atau

bisa disebut blood clotting.

Banyak terdapat zat-zat penting yang mempengaruhi pembekuan darah yang

berada di dalam darah dan jaringan, beberapa di antaranya mempermudah terjadinya

pembekuanm disebut prokoagulan dan yang lain menghambat pembekuan, disebut

antikoagulan.

Dalam keadaan normal, antikoagulan lebih dominan sehingga darah tidak

membeku, tetapi bila pembuluh darah rusak, prokoagulan di daerah yang rusak

menjadi teraktivasi dan melebihi aktivitas antikoagulan, dan bekuan pun terbentuk.

2.3. Faktor koagulasi

Terdapat beberapa faktor pembekuan darah yang menyebabkan terhentinya

perdarahan. Proses yang mengawali pembentukan bekuan fibrin sebagai respon

terhadap cedera jaringan diperankan oleh lintasan di luar pembuluh darah.

Sedangkan lintasan yang berada di dalam pembuluh darah terjadi karena pengaruh

dari protein kolagen dan kalikrein di dalam tubuh.

Faktor Pembekuan (clotting faktor) adalah sejumlah protein yang berkaitan

dengan reaksi penggumpalan darah. Hasil akhir dari proses pembekuan adalah

terbentuknya hemostatic plug, luka tertutuk dan darah tidak keluarlagi.


5

Faktor pembekuan (faktor koagulasi) adalah protein (misalnya, fibrinogen,

protrombin, Faktor VIII) yang diperlukan untuk pembekuan darah normal.

Beberapa faktor pembekuan disintesis oleh hati dan produksinya dapat terganggu

bila hati rusak. Orang yang kekurangan faktor pembekuan kemungkinan besar akan

mengalami perdarahan berkepanjangan dan mudah memar.

Faktor koagulasi atau faktor pembekuan darah adalah protein yang terdapat

dalam darah (plasma) yang berfungsi dalam proses koagulasi. Proses pembekuan

darah bertujuan untuk mengatasi kerusakan vascular sehingga tidak terjadi

perdarahan berlebihan, tetapi proses pembekuan darah ini harus dilokalisir hanya

pada daerah terjadinya kerusakan, tidak boleh menyebar ke tempat lain karena akan

membahayakan peredaran darah.

Darah merupakan cairan yang berada di dalam tubuh semua mahluk hidup

berfungsi sebagai alat transfortasi zat-zat nutrisi dan oksigen yang dibutuhkan oleh

jaringan tubuh, mengangkut bahan-bahan kimia hasil metabolisme, dan juga sebagai

pertahanan tubuh terhadap bakteri dan benda asing yang masuk.

Darah berperan sangat penting untuk kesehatan pada mahluk hidup. Jika

terjadi luka bisa menyebabkan terjadinya perdarahan dan bahkan menyebabkan

kehilangan darah yang parah. Peran trombosit dengan fungsinya adhesi agregasi

menyebabkan darah membeku, menutup luka kecil, tetapi lukabesar perlu dirawat

dengan segera untuk mencegah terjad nya kehilangan darah. Kerusakan pada organ

dalam bisa menyebabkan luka dalam yang parah atau hemorrhage.


6

Untuk menghentikan terjadinya perdarahan selain diperankan oleh vaskuler

dan trombosit, faktor-faktor pembekuan darah memegang peran yang sangat penting

untuk menutup luka. Terdapat tiga belas faktor pembekuan di dalam tubuh manusia

diantaranya, yaitu:

a. Faktor I (Fibrinogen)

Fibrinogen merupakan salah satu pembekuan darah atau koagulasi yang

melibatkan protein plasma sehingga dapat berubah menjadi benang fibrin

melalui proses yang diperankan oleh trombin. Seseorang yang mengalami

kekurangan fibrinogen disebut afibrinogenemia atau yang lebih dikenal dengan

hypofibrinogenemia. Gejala kekurangan fibrinogen ini yaitu terjadinya

perdarahan yang memanjang.

Fungsi fibrinogen sebagai komponen penting dalam protein plasma hasil

dari sintesis dalam hati dan diubah menjadi fibrin.

Gambar 2.1. Fibrinogen dalam tubuh


7

Fibrinogen merupakan senyawa protein (polipeptida) yang karena adanya

enzim akan diubah menjadi fibrin. Fibrin ini bersama sumbatan trombosit yang

membentuk gumpalan membentuk sekitar 200-400 mg/dl. Fibrinogen berada di

dalam rangkaian pembekuan darah yang berada dalam jalur bersama (common

pathway). Fibrinogen akan diubah menjadi fibrin berbentuk benang oleh

adanya thrombin. Fibrinogen ini diproduksi di dalam hati dan berperan sebagai

protein phase akut. Dalam keadaan patologis, fibrinogen meningkat terdapat

pada penyakit jantung coroner, myocardial infark, stroke, penyakit arterial

peripheral.

Fibrinogen pada orang dewasa normal berkisar antara 200-400 mg/dl.

Atau sekitar 2-4 gram/L. pada bayi yang baru lahir jumlah fibrinogen sekitar

125-300 mg/dl. Nilai kritisnya adalah < 100 mg/dl.

Di dalam kondisi tertentu, fibrinogen terjadi peningkatan pada keadaan

implamasi, infeksi (rheumatoid arthritis, pneumonia, tuberkulosos). Infark

myocardial akut, penyakit jantung coroner, kehamilan dan preklamsia. Dalam

keadaan dimana kadar fibrinogen menurun ditemukan pada kondisi penyakit

hati (hepatitis serosis), DIC, kanker, fibrinolysisprimer, malnutrisis,

transfusedarah dan kanker lanjut.

b. Faktor II (Prothrombin)

Fungsi sebagai protein plasma dan akan dikonversi menjadi bentuk yang

aktif berupa trombin (faktor IIa) melalui pembelahan dengan aktivasi faktor X

(Xa) di jalur umum dari pembekuan. Fibrinogen trombin kemudian memotong

ke bentuk aktif fibrin. Kekurangan protrombin dapat mengakibatkan

hypoprothrombinemia.
8

Prothrombin merupakan salah satu pembekuan darah atau koagulasi yang

melibatkan protein plasma sehingga dapat berubah menjadi senyawa aktif

trombin (faktor IIa) melalui proses pembelahan yang mengaktifkan salah satu

faktor yaitu X (Xa) yang berada di jalur umum dari proses pembekuan.

Thrombin di dalam tubuh diproduksi di hati yang biasa disebut

prothrombin. Gene penanda prothrombin berada pada lokasi kromosom #11.

Kekuarangan faktor pembekuan dan vitamin K akan berakibat pada perubahan

prothrombin untuk merubah menjadi thrombin. Thrombin berperan sebagai

enzim dan hampir sebagian berat molekul adalah prothrombin. Thrombin

mengubah larutan plasma protein menjadi bekuan fibrin yang komplek yang

disebut benang fibrin.

Gambar 2.2. Pembentukan benang fibrin


9

c. Faktor III (Thromboplastin, Tissue Thromboplastin)

Factor III atau thromboplastin jaringan berperan sebagai aktivasi faktor

VII untuk membentuk trombin.Jaringan Tromboplastin koagulasi faktor yang

berasal dari beberapa sumber yang berbeda dalam tubuh, seperti otak dan paru-

paru; Jaringan Tromboplastin penting dalam pembentukan prothrombin

ekstrinsik yang mengkonversi prinsip di Jalur koagulasi ekstrinsik. Disebut juga

faktor jaringan.

Jaringan Tromboplastin merupakan salah satu faktor pembekuan darah

atau koagulasi yang berasal dari sejumlah sumber yang berbeda didalam tubuh,

misalnya seperti otak serta paru-paru. Jaringan Tromboplastin sangat

diperlukan dalam membentuk prothrombin ekstrinsik.

Gene faktor 3 penanda faktor pembekuan faktor III biasa merupakan

glikoprotein permukaan. Factor ini merupakan sel yang mampu menginisiasi

proses pembekuan darah, dan berfungsi sebagai afinitas reseptor yang kuat

terhadap faktor pembekuan faktor VII. Hasil proses Komplek sebagai katalis

yang bertanggung jawab terhadap inisiasi pembekuan. Tidak seperti kofaktor

yang lainnya enzim protease ini yang bersirkulasi sebagai nonfungsional

precursor. Factor ini merupakan inisiator yang khususnya berperan pada saat

terbukanya pada permukaan.


10

Gambar 2.3. Activated thromboplastin

d. Faktor IV (Ion Calcium) (Font: Calibri, size12)

Ion Kalsium adalah ion Ca2+, yang mempunyai bilangan oksidasi2 dan

termasuk logam alkali. Dalam system periodic unsur-unsur Kalsium termasuk

dalam gol. II A. Ion Kalsium bisa berikatan dengan ion OH- membentuk

senyawa Ca(OH)2 atau calsium hidroksida.

Dalam tubuh ion Kalsium terdapat di dalam system pembekuan darah,

yang termasuk faktor pembekuan faktor IV, yang ada di dalam darah dan

jaringan berbentuk ion bebas yang suatu saat bisa berikatan dengan ion lainnya.

Factor IV atau ion kalsium adalah sejenis ion yang fungsinya digunakan

disemua proses pembekuan darah pada setiap jalur pembekuan. Kalsium ini

merupakan sebuah faktor koagulasi yang diperlukan dalam fase pembekuan

darah jalur pembekuan intrinsic, jalur pembekuan ekstrinsik dan pada jalur

pembekuan bersama dan berbentuk ion yang setiap saat akan mudah berikatan

dengan bentuk ion yang lain.


11

e. Faktor V (Proakselerin, LabilFactor)

Factor pembekuan faktor V atau Proaccelerin merupakan salah satu

faktor pembekuan darah atau koagulasi dalam menyimpan panas, yang ada

didalam plasma, memiliki fungsi intrinsik dan ekstrinsik yang berada di dalam

jalur koagulasi. Proaccelerin melakukan katalisis atau pembelahan prothrombin

trombin yang masih aktif. Seseorang yang mengalami kekurangan faktor ini,

akan memiliki darah yang langka yang biasa disebut dengan parahemophilia,

pada tahapan yang parah disebut dengan akselerator globulin.

Fungsi faktor V ini sebagai sistem intrinsik dan ekstrinsik dan juga

sebagai katalisis pembelahan protrombin trombin yang aktif. Kekurangan

faktor Proakselerin dapat mengakibatkan parahemophilia.

Proaccelerin sebuah faktor koagulasi penyimpanan yang relatif labil dan

panas, yang ada dalam plasma, tetapi tidak ada di dalam serum, dan fungsi baik

di intrinsik dan ekstrinsik koagulasi jalur. Proaccelerin mengkatalisis

pembelahan prothrombin trombin yang aktif. Kekurangan faktor ini, sifat

resesif autosomal, mengarah pada kecenderungan berdarah yang langka yang

disebut parahemophilia, dengan berbagai derajat keparahan yang disebut juga

akselera torglobulin

f. Faktor VI (unknown)

Factor pembekuan faktor VI atau faktor yang belum diketahui

(unknown), Faktor ini sudah tidak dipakai lagi karena fungsinya sama seperti

faktor V.Sebuah faktor koagulasi sebelumnya dianggap suatu bentuk aktif

faktor V, tetapi tidak lagi dianggap dalam skema hemostasis.


12

g. Faktor VII (Prokonvertin, StabilFactor)


Factor pembekuan faktor VII atau prokonvertin berfungsi sebagai sistem

yang bekerja di dalam jalur intrinsik.Proconvertin ini merupakan sebuah faktor

koagulasi penyimpanan yang relatif stabil dan panas dan berpartisipasi dalam

Jalur koagulasi ekstrinsik. Hal ini diaktifkan oleh kontak dengan kalsium, dan

bersama dengan mengaktifkan faktor III atau faktor X. Defisiensi faktor

Proconvertin, yang mungkin herediter (autosomal resesif) atau diperoleh (yang

berhubungan dengan kekurangan vitamin K), hasil dalam kecenderungan

perdarahan. Disebut juga serum prothrombin konversi faktor akselerator dan

stabil.

Proconvertin merupakan salah satu faktor pembekuan darah atau

koagulasi penyimpanan yang stabil dan panas serta ikut berpartisipasi dalam

Jalur koagulasi ekstrinsik. Proses ini melibatkan kalsium, dan bersama-sama

mengaktifkan faktor III dan faktor X.

h. Faktor VIII (Faktor Antihemophilia, Anti HemophilicGlobulin)

Factor pembekuan faktor VIII atau antihemophilic faktor, faktor

antihemofilia A, globulin antihemofilia/ AHG). berfungsi sebagai sistem

ekstrinsik.Antihemophilic faktor, sebuah faktor koagulasi penyimpanan yang

relatif labil dan berpartisipasi dalam jalur intrinsik dari koagulasi, bertindak

(dalam konser dengan faktor von Wille brand) sebagai kofaktor dalam aktivasi

faktor X. Defisiensi sebuah resesif terkait-X sifat, penyebab hemofilia A.

Disebut juga antihemophilic globulin dan faktor antihemophilicA.

Antihemophilic faktor, merupakan salah satu faktor pembekuan darah

atau koagulasi penyimpanan yang labil serta berpartisipasi didalam jalur

intrinsik dari pembekuan darah atau koagulasi, biasanya bertindak sebagai


13

kofaktor didalam proses aktivasi faktor X. Defisiensi merupakan sebuah resesif

yang terkait dengan sifat X, yang menjadi penyebab hemofilia A biasanya

disebut juga dengan sebutan antihemophilic globulin serta faktor

antihemophilicA.

i. Faktor IX (Komponen Tromboplastik Plasma, ChrismasFactor)

Factor pembekuan faktor IX atau Krismas faktor berfungsi sebagai sistem

ekstrinsik.Tromboplastin Plasma komponen, sebuah faktor koagulasi

penyimpanan yang relatif stabil dan terlibat dalam jalur intrinsik dari

pembekuan. Setelah aktivasi, diaktifkan Defisiensi faktor X. hasil di hemofilia

B. Disebut juga faktor Natal dan faktor antihemophilic B. Tromboplastin

Plasma komponen, merupakan salah satu faktor pembekuan darah atau

koagulasi penyimpanan yang stabil sera melibatkan diri dalam jalur intrinsik

dari pembekuan darah atau koagulasi. Setelah proses aktivasi diaktifkan,

Defisiensi dari faktor X merupakan hasil pada hemofilia B. Yang disebut juga

dengan sebutan faktor Natal serta faktor antihemophilic B.

j. Faktor X (faktor stuart-prower)

Factor pembekuan faktor X atau Stuart faktor berfungsi sebagai sistem

intrinstik dan ekstrinsik.Stuart faktor, sebuah faktor koagulasi penyimpanan

yang relatif stabil dan berpartisipasi dalam baik intrinsik dan ekstrinsik jalur

koagulasi, menyatukan mereka untuk memulai jalur umum dari pembekuan.

Setelah diaktifkan, membentuk kompleks dengan kalsium, fosfolipid, dan

faktor V, yang disebut prothrombinase; hal ini dapat membelah dan

mengaktifkan prothrombin untuk trombin. Kekurangan faktor ini dapat

menyebabkan gangguan koagulasi sistemik. Disebut juga Prower Stuart-faktor.


14

Bentuk yang diaktifkan disebut juga thrombokinase.

Stuart faktor, merupakan salah satu faktor pembekuan darah atau

koagulasi penyimpanan yang stabil dan ikut berpartisipasi dalam faktor

intrinsik dan ekstrinsik pada jalur pembekuan darah atau koagulasi, yang dapat

menyatukan mereka untuk melakukan penbekuan darah atau koagulasi pada

jalur umum dari pembekuan. Setelah proses diaktifkan, nantinya akan

membentuk proses yang kompleks dengan melibatkan fosfolipid, kalsium, serta

faktor V, yang disebut prothrombinase. Proses ini dapat membelah serta

mengaktifkan prothrombin menjadi trombin. Seseorang yang mengalami

kekurangan pada faktor ini akan menyebabkan gangguan pada koagulasi

sistemik. Biasanya sering disebut juga dengan sebutan Prower Stuart-faktor.

k. Faktor XI (Plasma Thromboplastin Antecedant faktor antihemofilia C)

Factor pembekuan faktor XI atau plasma Thromboplastin Antecedant

atau antihemophilic C berfungsi sebagai sistem intrinsik.Tromboplastin plasma

yang di atas, faktor koagulasi yang stabil yang terlibat dalam jalur intrinsik dari

koagulasi; sekali diaktifkan, itu mengaktifkan faktor IX. Kondisi dengan

kekurangan faktor XI, Disebut juga faktor antihemophilic C.

l. Faktor XII (Faktor Hageman, Contack faktor)

Factor pembekuan faktor XII atau Hageman faktor berfungsi sebagai

sistem intrinsik. Hageman faktor merupakan faktor koagulasi yang stabil yang

diaktifkan oleh kontak dengan kaca atau permukaan asing lainnya dan memulai

jalur intrinsik dari koagulasi dengan mengaktifkan faktor XI. Kekurangan

faktor ini menghasilkan kecenderungan trombosis.


15

m. Faktor XIII (Faktor Stabilisasi Fibrin, Fibrinase)

Factor pembekuan faktor XIII atau yang disebut faktor stabilisasi fibrin

atau fibrinasi berfungsi sebagai penghubung silang filamen fibril. Fibrin-faktor

yang menstabilkan, sebuah faktor koagulasi yang merubah fibrin monomer

untuk polimer sehingga mereka menja distabil dan tidak larut di dalam fibrin

yang memungkinkan untuk membentuk pembekuan darah. Kekurangan faktor

pembekuan ini memberikan kecenderungan seseorang hemorrhagic. Disebut

juga fibrinase dan protrans glutaminase. Bentuk yang diaktifkan juga disebut

transglutaminase.

2.4. Mekanisme Koagulasi

Dari mekanisme yang berperan dalam hemostasis, pembekuan darah terjadi

melalui tiga langkah utama:

a. Sebagai respons teradap rupturnya pembuluh darah atau kerusakan darah itu

sendiri, maka rangkaian reaksi kimiawi yang kompleks terjadi dalam darah

yang melibatkan – faktor-faktor pembekuan darah. Hasil akhirnya adalah

terbentuknya suatu kompleks substansi teraktivasi yang secara kolektif disebut

activator protrombin.

b. Activator protrombin mengkatalisis pengubahan protrombin mejaditrombin.

c. Trombin bekerja sebagai enzim untuk mengubah fibrinogen menjadi benang

fibrin yang merangkai trombosit, sel darah, dan plasma untuk membentuk

bekuan.

Mekanisme pembekuan dibagi menjadi dua, yaitu sistem intrinsik dan

sistem ekstrinsik. Reaksi awal pada sistem intrinsik adalah konversi faktor XII

inaktif menjadi faktor XII aktif (XIIa). Aktivasi ini dikatalisis oleh kininogen HMW
16

dan kalikrein. Faktor XII aktif kemudian mengaktifkan faktor XI, dan faktor XI aktif

mengaktifkan faktor IX. Faktor IX yang aktif membentuk suatu kompleks dengan

faktor VIII aktif. Kompleks IXa dan VIIIa mengaktifkan faktor X. Fosfolipid dari

trombosit dan Ca2+ diperlukan untuk mengaktifkan faktor X secara sempurna.

Sementara sistem ekstrinsik dipicu oleh pelepasan faktor III (tromboplastin)

dari jaringan yang mengaktifkan faktor VII. Faktor III dan faktor VIIa mengaktifkan

faktor IX dan X. Dengan adanya fosfolipid, Ca2+, dan faktor V, maka faktor X akan

mengkatalisis konversi protrombin menjadi trombin. Selanjutnya trombin

mengkatalisis konversi fibrinogen menjadi fibrin. Untuk memahami proses

penejelasan di atas, silahkan lihat jalur pembekuan darah dalam bagan berikut:

Gambar 2.4. Skema pembekuan

a. Jalur Ekstrinsik

Disebut ekstrinsik karena tromboplastin jaringan (tissuefaktor) berasal

dari luar darah. Lintasan ekstrinsik melibatkan faktor jaringan, faktorVII, X


17

serta Ca2+ dan menghasilkan faktor Xa. Produksi faktor Xa dimulai pada

tempat cedera jaringan dengan ekspresi faktor jaringan pada sel endotel. Factor

jaringan berinteraksi dengan faktor VII dan mengaktifkannya. faktor VII

merupakan glikoprotein yang mengandung Gla, beredar dalam darah dan

disintesis dihati. Factor jaringan bekerja sebagai kofaktor untuk faktor VIIa

dengan menggalakkan aktivitas enzimatik untuk mengaktifkan faktor X. Faktor

VII memutuskan ikatanArg-Ile yang sama dalam faktor X yang dipotong oleh

kompleks tenase pada lintasan intrinsic. Aktivasi faktor X menciptakan

hubungan yang penting antara lintasan intrinsic dan ekstrinsik.

Interaksi yang penting lainnya antara lintasan ekstrinsik dan intrinsic

adalah bahwa kompleks faktor jaringan dengan faktor VIIa juga mengaktifkan

faktor IX dalam lintasan intrinsic. Sebenarnya, pembentukan kompleks antara

faktor jaringan dan faktor VIIa kini dipandang sebagai proses penting yang

terlibat dalam memulai pembekuan darah secara in vivo. Makna fisiologik

tahap awal lintasan intrinsic, yang turut melibatkan faktor XII, prekalikrein dan

kininogen dengan berat molekul besar. Sebenarnya lintasan intrinsik bisa lebih

penting dari fibrinolisis dibandingkan dalam koagulasi, karena kalikrein, faktor

XIIa dan XIa dapat memotong plasminogen, dan kalikrein dapat

mengaktifkanurokinase rantai-tunggal. Inhibitor lintasan faktor jaringan (TFPI:

tissue faktor fatway inhibitior) merupakan inhibitor fisiologik utama yang

menghambat koagulasi. Inhibitor ini berupa protein yang beredar didalam darah

dan terikat lipoprotein. TFPI menghambat langsung faktor Xa dengan

terikatpada enzim tersebut didekat tapak aktifnya. Kemudian kompleks faktor

Xa-TFPI ini manghambat kompleks faktor VIIa-faktor jaringan.


18

Jalur ekstrinsik dengan menggunakan zat-zat yang bukan berasal dari darah,

Jaringan dan pembuluh yang rusak akan menghasilkan tromboplastin (faktor III suatu

kompleks protein-fosfolipid) yang secara langsung dapat mengubah faktor X

menjadifaktor VII dan faktor V. Jalur ekstrinsik lebih cepat dari jalur intrinsik. Jalur

ekstrinsik dimulai pada tempat yang trauma dalam respons terhadap pelepasant

issue faktor (faktor III). Kaskade koagulasi diaktifasi apabila tissue

faktor dieksresikan pada sel-sel yang rusak atau distimulasi (sel-sel vaskuler

atau monosit), sehingga kontak dengan faktor VIIa sirkulasi dan membentuk

kompleks dengan adanya ion kalsium. Tissue faktor adalah suatu kofaktor

dalam aktifasi faktor X yang dikatalisa faktor VIIa. Faktor VIIa, suatu residu

gla yang mengandung serine protease, memecah faktor X menjadi faktor Xa,

identik dengan faktor IXa dari jalur instrinsik. Aktifasi faktor VII terjadi

melalui kerja trombin atau faktorXa.

Tissue faktor banyak terdapat dalam jaringan termasuk adventitia

pembuluh darah, epidermis, mukosa usus dan respiratory, korteks serebral,

miokardium dan glomerulus ginjal. Aktifasi tissue faktor juga dijumpai pada

subendotelium. Sel-sel endotelium dan monosit juga dapat menghasilkan dan

mengekspresikan aktifitas tissue faktor atas stimulasi dengan interleukin-1 atau

endotoksin, dimana menunjukan bahwa cytokine dapat mengatur ekspresi

tissue faktor dan deposisi fibrin pada tempat inflamasi.


19

Gambar 2.5. Jalur Ekstrinsik

b. Jalur Intrinsik

Disebut ekstrinsik karena tromboplastin jaringan (tissuefaktor) berasal

dari luar darah. Lintasan intinsik melibatkan faktor XII, XI, IX, VIII dan X,

prekalikrein, kininogen dengan berat molekul tinggi/High Molecular Weight

Kininogen (HMWK), ion Ca2+ dan fosfolipid trombosit. Lintasan ini

membentuk faktor Xa (aktif). Lintasan ini dimulai dengan “fase kontak” dengan

prekalikrein, kininogen dengan berat molekul tinggi, faktor XII dan XI terpajan

pada permukaan pengaktif yang bermuatan negative. Secara invivo,

kemungkinan protein tersebut teraktif pada permukaan sel endotel. Kalau

komponen dalam fase kontak terakit pada permukaan pengaktif, faktor XII akan

diaktifkan menjadi faktor XIIa pada saat proteolisis oleh kalikrein. Factor XIIa

ini akan menyerang prekalikrein untuk menghasilkan lebih banyak kalikrein

lagi dengan menimbulkan aktivasi timbale balik. Begitu terbentuk, faktor XIIa
20

mengaktifkan faktor XI menjadi XIa, dan juga melepaskan bradikinin

(vasodilator) dari kininogen dengan berat molekul tinggi.

Factor XIa dengan adanya ion Ca2+ mengaktifkan faktor IX, menjadi

enzim serin protease, yaitu faktor IXa. Factor ini selanjutnya memutuskan

ikatan Arg-Ile dalam faktor X untuk menghasilkan serin protease 2-rantai, yaitu

faktor Xa. Reaksi yang belakangan ini memerlukan perakitan komponen, yang

dinamakan kompleks tenase, pada permukaan trombosit aktif, yakni: Ca2+ dan

faktor IXa dan faktor X. Perlu kita perhatikan bahwa dalam semua reaksi yang

melibatkan zimogen yang mengandung Gla (faktor II, VII, IX dan X), residu

Gla dalam reg ion terminal amino pada molekul tersebut berfungsi sebagai

tempat pengikatan berat finitastinggi untuk Ca2+. Bagi perakitan kompleks

tenase, trombosit pertama-tama harus diaktifkan untuk membuka fosfolipid

asidik (anionic). Fosfatidil serin dan fosfatoidil inositol yang normalnya

terdapat pada sisi keadaan tidak bekerja. Factor VIII, suatu glikoprotein, bukan

merupakan precursor protease, tetapi kofaktor yang berfungsi sebagai resepto

untuk faktor IXa dan X pada permukaan trombosit. Factor VIII diaktifkan oleh

thrombin dengan jumlah yang sangat kecil hingga terbentuk faktor VIIIa, yang

selanjutnya diinaktifkan oleh thrombin dalam proses pemecahan lebihlanjut.

Jalur intrinsik, yaitu semua zat yang terikat dengan pembekuan darah berasal dari

darah. Jalurini memerlukan faktor IX, faktor X, faktor XI, dan faktor XII, selain

itu juga memerlukan prekalikrein dan HMWK, begitu juga ion kalsium dan

fosfolipid yang disekresi dari trombosit. Darah yang mengalami kontak

dengan serat kolagen pembuluh darah yang kasar secara bertahap akan

mengaktifkan faktor XII, XI, dan IX. Selanjutnya faktor IX akan mengaktifkan
21

faktor X yang aktif bereaksi dengan faktor V, Ca2+ dan fosfolipid dari trombosit

untukmengatur aktifator protrombin. Jalur intrinsik terjadi apabila prekalikrein,

HMWK, faktor XI dan faktor XII terpapar kepermukaan pembuluh darah

adalah stimulus primer untuk fase kontak. Kumpulan komponen-komponen

fase kontak merubah prekallikrein menjadi kallikrein, yang selanjutnya

mengaktifasi faktor XII menjadi faktor XIIa. Faktor XIIa kemudian dapat

menghidrolisa prekallikrein lagi menjadi kallikrein, membentuk kaskade yang

saling mengaktifasi. Faktor XIIa juga mengaktifasi faktor XI menjadi faktor

XIa dan menyebabkan pelepasan bradikinin, suatu vasodilator yang poten dari

HMWK. Dengan adanya Ca2+, faktor XIa mengaktifasi faktor IX menjadi

faktor IXa, dan faktor IXa mengaktifasi faktor X menjadi faktor Xa.

Gambar 2.6. Jalur Intrinsik


22

c. Jalur Bersama

Pada lintasan terakhir yang sama, faktor Xa yang dihasilkan oleh lintasan

intrinsic dak ekstrinsik, akan mengaktifkan protrombin (II) menjadi thrombin

(IIa) yang kemudian mengubah fibrinogen menjadi fibrin. Pengaktifan

protrombin terjadi pada permukaan trombosit aktif dan memerlukan perakitan

kompelks protrombinase yang terdiri atas fosfolipid anionic platelet, Ca2+,

faktor Va, faktor Xa dan protrombin. Factor V yang disintesis dihati, limpa serta

ginjal dan ditemukan didalam trombosit serta plasma berfungsi sebagai

kofaktor dng kerja mirip faktor VIII dalam kompleks tenase. Ketika aktif

menjadi Va oleh sejumlah kecil thrombin, unsure ini terikat dengan reseptor

spesifik pada membrane trombosit dan membentuk suatu kompleks dengan

faktor Xa serta protrombin. Selanjutnya kompleks ini di inaktifkan oleh kerja

thrombin lebih lanjut, dengan demikian akan menghasilkan sarana untuk

membatasi pengaktifan protrombin menjadi thrombin. Protrombin (72 kDa)

merupakan glikoprotein rantai-tunggal yang disintesis di hati. Region terminal-

amino pada protrombin mengandung sepeuluh residu Gla, dan tempat protease

aktif yang bergantung pada serin berada dalam region-terminal karboksil

molekul tersebut. Setelah terikat dengan kompleks faktor Va serta Xa pada

membrane trombosit, protrombin dipecah oleh faktor Xa pada dua tapak aktif

untuk menghasilkan molekul thrombin dua rantai yang aktif, yang kemudian

dilepas dari permukaan trombosit. Rantai A dan B pada thrombin disatukan

oleh ikatan disulfide.

Proses konversi Fibrinogen menjadi Fibrin. Fibrinogen (faktor 1, 340

kDa) merupakan glikoprotein plasma yang bersifat dapat larut dan terdiri atas
23

3 pasang rantai polipeptida non identik (Aα, Bβγ) 2 yang dihubungkan secara

kovalen oleh ikatan disulfda. Rantai Bβ dan y mengandung oligo sakarida

kompleks yang terikat dengan asparagin. Ketiga rantai tersebut keseluruhannya

disintesis dihati: tiga structural yang terlibat berada pada kromosom yang sama

dan ekspresinya diatur secara terkoordinasi dalam tubuh manusia. Region

terminal amino pada keenam rantai dipertahankan dengan jarak yang rapat oleh

sejumlah ikatan disulfide, sementara region terminal karboksil tampak terpisah

sehingga menghasilkan molekul memanjang yang sangat asimetrik. Bagian A

dan B pada rantai Aa dan Bβ, difibrinopeptida A (FPA) dan B (FPB),

mempunyai ujung terminal amino pada rantainya masing-masing yang

mengandung muatan negative berlebihan sebagai akibat adanya residu aspartat

serta glutamate disamping tirosin O-sulfat yang tidak lazim dalam FPB.

Muatannegatif ini turut memberikan sifat dapat larut pada fibrinogen dalam

plasma dan juga berfungsi untuk mencegah agregasi dengan menimbulkan

repulse elektrostatik antara molekul-molekul fibrinogen. Thrombin (34kDa),

yaitu protease serin yang dibentuk oleh kompleks protrobinase, menghidrolisis

4 ikatan Arg-Gly diantara molekul-molekul fibrino peptida dan bagian α serta

β pada rantai Aa dan Bβ fibrinogen. Pelepasanmolekul fibrinopeptida oleh

thrombin menghasilkan monomer fibrin yang memiliki struktur subunit (αβγ)

2. Karena FPA dan FPB masing-masing hanya mengandung 16 dan 14 residu,

molwkul fibrin akan mempertahankan 98% residu yang terdapat dalam

fibrinogen. Pengeluaran molekul fibrinopeptida akan memajankan tapak

pengikatan yang memungkinkan molekul monomer fibrin mengadakan

agregasi spontan dengan susunan bergiliran secara teratur hingga terbentuk


24

bekuan fibrin yang tidak larut. Pembentukan polimer fibrin inilah yang

menangkap trombosit, sel darah merah dan komponen lainnya sehingga

terbentuk trombos merah atau putih. Bekuan fibrin ini mula-mula bersifat agak

lemah dan disatukan hanya melalui ikatan nonkovalen antara molekul-molekul

monomerfibrin.

Selain mengubah fibrinogen menjadi fibrin, thrombin juga mengubah

faktor XIII menjadi XIIIa yang merupakan transglutaminase yang sangat

spesifik dan membentuk ikatan silan secara kovalen anatr molekul fibrin

dengan membentuk ikatan peptide antar gugus amida residu glutamine dan

gugusε-amino residu lisin, sehingga menghasil kan bekuan fibrin yang lebih

stabil dengan peningkatan resistensi terhadap proteolisis.

Bersama dengan aktivasi dan aggregasi platelet interaksi dengan faktor-faktor

koagulasi terlarut memfasilitasi pembentukan hubungan silang bekuan fibrin.

Mekanisme utama koagulasi invivomelalui “jalur extrinsik” juga berperan sebagai

jalur faktor jaringan. Faktor jaringan (TF) dilepaskan oleh jaringan vaskuler yang

mengalami trauma dan bertindak sebagai cofaktor untuk aktivasi faktor VII.

Faktor VII yang sudah aktif mengaktivasi faktor X dan IX. Paparan faktor

sirkulasi XII secara negatif menyerang konstituten dinding pembuluh darah

yang rusak menimbulkan aktivasi “jalur intrinsik”. Faktor XII, prekallikrein, dan

kininogen berat molekul tinggi, bersama-sama bertindak sebagai sistem

penghubung, merupakan umpan balik positif yang lebih lanjut mengaktivasi

sistem intrinsik. Sistem intrinsik “proximal” faktor XI diyakini memiliki peranan

kecil dalam hemostasis, efeknya pada faktor penghubung tidak berhubungan

dengan kecenderungan perdarahan.


25

Gambar 2.7. Mekanisme pembekuan darah

Lintasan intrinsik, ekstrinsik, dan lintasan terakhir melibatkan banyak

macam protein yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut: zimogen protease,

kofaktor, fibrinogen, transglutaminase, dan protein pengatur.

2.5. Cell- Based Model Of Coagulation

Hemostasis terjadi dalam tiga fase (tumpang tindih). Itu inisiasi koagulasi

terjadi pada sel pembawa TF, seperti fibroblas yang diilustrasikan pada Gambar. 2.

Jika stimulus prokoagulan cukup kuat, cukup banyak faktor Xa, IXa dan trombin

yang terbentuk untuk memulai proses koagulasi dengan sukses. Amplifikasi

respon koagulan terjadi saat “aksi” bergerak dari sel pembawa TF ke permukaan

trombosit. Stimulus prokoagulan diperkuat saat trombosit menempel, diaktifkan

dan mengakumulasi kofaktor teraktivasi pada permukaannya. Akhirnya, pada fase

propagasi, protease aktif bergabung dengan kofaktornya pada permukaan


26

trombosit – tempat yang paling baik beradaptasi untuk menghasilkan jumlah

trombin hemostatik. Aktivitas kompleks prokoagulan menghasilkan ledakan

pembentukan trombin yang menghasilkan polimerisasi fibrin. Koagulasi yang

tidak tepat dicegah oleh beberapa mekanisme. Langkah-langkah inaktivasi dan

propagasi dilokalisasi pada permukaan sel yang berbeda. Inhibitor protease

plasma melokalisasi reaksi ke permukaan sel dengan menghambat protease aktif

yang berdifusi ke dalam fase cairan. Akhirnya, sel-sel endotel mengekspresikan

fitur antitrombotik aktif yang mencegah koagulasi dimulai pada endotelium yang

utuh.

a. Initiation

TF adalah inisiator fisiologis utama koagulasi. Ini secara struktural tidak

berhubungan dengan sisa protein koagulasi dan merupakan protein membran

integral (13, 14). Oleh karena itu, TF tetap terlokalisasi pada membran sel

tempat ia disintesis. Ini diekspresikan pada berbagai sel ekstravaskular dalam

kondisi normal, dan juga dapat diekspresikan oleh monosit darah dan sel

endotel dalam keadaan inflamasi. Sekarang ada data yang menunjukkan bahwa

vesikel membran yang mengandung TF dapat berikatan dengan permukaan

trombosit dalam trombus yang sedang berkembang (15). Sumber dan peran

fisiologis vesikel tersebut tetap tidak pasti, tetapi jelas bahwa trombosit yang

tidak aktif dalam sirkulasi normal tidak mengandung atau mengekspresikan TF.

Adalah penting bahwa langkah-langkah inisiasi dan propagasi biasanya

diasingkan ke permukaan sel yang berbeda untuk membatasi aktivasi koagulasi

yang tidak diinginkan. Membawa aktivitas f.VIIa/TF ke dekat permukaan

platelet teraktivasi adalah langkah kunci dalam inisiasi efektif koagulasi

hemostatik (atau trombosis).


27

Selama proses hemostasis, pecahnya dinding pembuluh darah

memungkinkan plasma bersentuhan dengan sel ekstravaskular yang

mengandung TF. Faktor VII dalam plasma berikatan erat dengan TF seluler

dan dengan cepat diaktifkan oleh koagulasi (16) dan protease non-koagulasi.

Kompleks f.VIIa/TF mengaktifkan f.X dan f.IX. Faktor Xa dapat

mengaktifkan f.V plasma (17), seperti halnya protease seluler non-koagulasi

(18, 19). F.X diaktifkan oleh kompleks f.VIIa/TF dengan cepat dihambat oleh

TFPI atau ATIII jika meninggalkan lingkungan yang dilindungi dari permukaan

sel. Namun, f.Xa yang tersisa di permukaan sel dapat bergabung dengan f.Va

untuk menghasilkan sejumlah kecil trombin (20) yang memainkan peran

penting dalam mengaktifkan trombosit dan f.VIII selanjutnya selama fase

amplifikasi.

b. Amplifikasi

Kerusakan pada pembuluh darah memungkinkan trombosit serta plasma

bersentuhan dengan jaringan ekstravaskuler. Trombosit menempel pada

komponen matriks ekstravaskular di tempat cedera. Proses pengikatan protein

matriks mengaktifkan sebagian trombosit, serta melokalisasinya di dekat lokasi

paparan TF. Sejumlah kecil trombin yang dihasilkan pada sel pembawa TF

memperkuat sinyal prokoagulan awal dengan meningkatkan adhesi trombosit

(21), mengaktifkan trombosit sepenuhnya dan mengaktifkan faktor V, VIII dan

XI (20). Dengan demikian, trombin bekerja pada permukaan trombosit untuk

"mengatur panggung" untuk perakitan kompleks prokoagulan.

Trombin adalah aktivator trombosit yang poten melalui reseptor yang

diaktifkan proteasenya (PAR) (22). Selama aktivasi, trombosit melepaskan f.V

dari granula alfa ke permukaannya dalam bentuk teraktivasi sebagian (23).


28

Faktor V(a) kemudian diaktifkan sepenuhnya oleh trombin atau f.Xa (17).

Beberapa trombin yang terikat pada reseptor non-PAR, seperti GPIb/IX, tetap

aktif dan dapat mengaktivasi faktor koagulasi lain pada permukaan trombosit.

Faktor von Willebrand (vWF)/f.VIII berikatan dengan trombosit dan secara

efisien dipecah oleh trombin untuk mengaktifkan f.VIII dan melepaskannya

dari vWF (24). F.VIIIa tetap terikat pada trombosit permukaan. Sekarang

trombosit telah diaktifkan dan telah mengaktifkan kofaktor V dan VIII yang

terikat pada permukaannya, perakitan kompleks prokoagulan dan pembentukan

trombin skala besar dimulai.

c. Propagation

Selama fase propagasi kompleks "tenase" dan "protrombinase"

berkumpul di permukaan trombosit, dan pembentukan trombin skala besar

terjadi. Trombosit mengekspresikan situs pengikatan afinitas tinggi untuk

f.IX(a) (25), f.X(a) (26), dan f.XI (27). Kami percaya reseptor ini memainkan

peran penting dalam mengkoordinasikan perakitan kompleks koagulasi.

Kompleks “tenase” (f.VIIIa/IXa) berkumpul ketika f.IXa mencapai

permukaan trombosit. F.IXa dapat berdifusi ke permukaan trombosit dari

tempat aktivasinya pada sel pembawa TF, karena tidak secara cepat dihambat

oleh ATIII atau inhibitor protease plasma lainnya. Selain itu, f.XI plasma dapat

mengikat trombosit teraktivasi, memfasilitasi aktivasi oleh trombin (11). F.XIa

kemudian dapat memberikan f.IXa tambahan langsung pada permukaan

trombosit. Kompleks f.IXa/VIIIa mengaktifkan fX pada permukaan trombosit

dimana f.Xa yang dihasilkan dapat bergerak langsung ke dalam kompleks

dengan kofaktornya, f.Va, seperti yang diilustrasikan pada Gambar 3.


29

Kompleks f.Xa/Va permukaan trombosit dapat sekarang menghasilkan ledakan

trombin yang diperlukan untuk membentuk bekuan fibrin hemostatik.

Gambar 2.8. Mekanisme Cell- Based Model Of Coagulation

2.6. Gangguan Koagulasi

A. Gangguan koagulasi bawaan

Gangguan koagulasi bawaan di pengaruhi oleh tiga pola perwarisan

(Durachim A,2018) :

1. X-Link Recessive

Warisan resesif yang diturunkan terkait dengan X adalah mode

pewarisan dimana mutasi pada gen pada kromosom X menyebabkan fenotip

diekspresikan pada laki-laki (yang pasti hemizygous untuk mutasi gen karena

mereka memiliki satu kromosom X dan satu Y) dan pada waita yang

homozigot untuk mutasigen.


30

X-linked inheritance berarti gen yang menyebabkan sifat atau kelainan

tersebut berada pada kromosom X. Wanita memiliki dua kromosom X,

sedangkan laki-laki memiliki satu kromosom X dan satu Y. Wanita pembawa

yang hanya memiliki satu salinan mutasi biasanya tidak mengekspresikan

fenotipe, walaupun perbedaan inaktivasi kromosom X dapat menyebabkan

berbagai tingkat ekspresi klinis pada wanita carrier karena beberapa sel akan

mengekspresikan satu alel X dan beberapa akan mengekspresikan yang lain.

Defisiensi faktor VIII dan faktor IX merupakan kelainan X-Link

Recessive pada gangguan koagulasi bawaan. Dimana seseorang yang

memiliki genetik dengan defisiensi faktor VIII dan IX, akan mengakibatkan

seseorang menderita ganggu hemophilia. Untuk tipe hemophilia dipengaruhi

oleh defisiansi faktor yang dominn berkurang. Dimana 85% defisiensi factor

VIII mengakibatkan haemophili A, sedaangkan defisiensi factor IX akan

mengakibatkan haemophili B 12%, dan 1% haemophili C (Durachim

A,2018).

2. Autosomal Dominant

Gen adalah cetak biru untuk pembuatan protein. Tubuh kita

membutuhkan protein untuk berkembang dan bekerja denganbaik.

Kebanyakan gen berpasangan. Yang satu diwariskan dari ibu dan yang

lainnya dari sang ayah. Gen yang diwarisi dari orang tua kandung kita

diungkapkan dengan cara yang spesifik. Salah satu pola dasar ini disebut

autosomal dominan tinheritance.


31

Ganggua autosomal dominan akan menyebabkan beberapa penyakit

seperti, Von Wille Brand, Disfibrinogenemia dan defisiensi faktor XI

(Durachim A,2018).

3. Autosomal Recessive

Autosomal resesif yaitu kondisi genetik yang muncul hanya pada

individu yang telah menerima dua salinan gen autosomal, satu salinan dari

masing-masing orang tua. Gen itu ada pada autosom, sebuah kromosom non

sex. Orang tua adalah pembawa yang hanya memiliki satu salinan gen dan

tidak menunjukkan sifatnya karena gen tersebut resesif terhadap gen

pendamping normal. Jika kedua orang tua adalah pembawa, ada

kemungkinan 25% anak mewarisi kedua gen abnormal dan, akibatnya,

menurunkan penyakitini. Ada kemungkinan 50% anak yang hanya mewarisi

satu gen abnormal dan menjadi carrier, seperti orang tua, dan ada

kemungkinan 25% anak mewarisi gen normal. Gangguan autosomal

recessive akan mengakibatkan defisiensi faktor I, II, V, VII, X, XII dan XIII

(Durachim A,2018).

2.7. Penyakit Gangguan Koagulasi dan Penatalaksanaanya

2.7.1 Haemophili

a. Definisi

Hemofilia adalah kelainan pembekuan darah yang diturunkan ibu ke anak

laki-laki. Faktor-faktor pembekuan darah di dalam plasma darah dilambangkan

dengan angka romawi, dimana faktor yang berperan pada penyakit hemofila

yaitu, faktor VIII dan faktor IX (Lukas DL, 2020).

Berdasarkan kadar faktor pembeku darah dalam tubuhnya, baik

Hemofilia A, maupun Hemofilia B dapat digolongkan menjadi tiga yaitu:


32

ringan, sedang dan berat. Hemofilia Ringan bila kadar Faktor pembekuan 5-

40%, perdarahan akan berlangsung lebih lama dari normal, biasanya terjadi

akibat terluka atau tindakan pembedahan. Jarang terjadi perdarahan sendi dan

otot secara spontan. Hemofilia Sedang bila kadar Faktor Pembekuan 1-5%,

perdarahan akan berlangsung lebih lama dari normal, setelah adanya luka atau

pembedahan. Perdarahan tibul setelah trauma berat, perdarahan sendi atau

memar dapat terjadi dengan mudah, tanpa trauma berat. Hemofilia Berat, bila

kadar Faktor Pembekuan 1%, perdarahan sendi dan otot dapat terjadi tanpa

sebab (spontan) (Lukas DL, 2020).

b. Etiologi

Hemofilia merupakan gangguan pembekuan darah yang dikarnakan

defisiensi faktor VIII dan IX. Hemofilia A terjadi, jika seseorang kekurangan

Faktor, VIII (Faktor Delapan) dan Hemofilia B terjadi, jika seseorang

kekurangan Faktor IX (Faktor Sembilan) (Lukas DL, 2020).

c. Patofisiologi

Hemofilia dibawa sejak lahir dan bukan penyakit menular. Hemofilia

dapat diturunkan atau diwariskan melalui gen orang tua. Manusia mempunyai 2

jenis kromosom penentu jenis kelamin yaitu X dan Y. Kombinasi dari dua

kromosom tersebut akan menentukan jenis kelamin anak yang akan dilahirkan.

Seorang perempuan memiliki dua kromosom X, sedangkan laki-laki memiliki

satu kromosom X dan satu kromosom Y. Kromosom X dan Y terdiri dari

rangkaian gen yang berfungsi sebagai pengatur system dalam tubuh. Hemofilia

diturunkan melalui kromosom X.

Seorang laki-laki dengan hemofilia akan menurunkan gen hemofilia pada

seluruh anak perempuannya, perempuan dalam hal ini disebut sebagai carrier
33

(pembawa sifat), karena mereka perempuan pembawa sifat, di setiap kehamilan,

kemungkinan akan menurunkan gen hemofilia adalah 50%, jika gen tsb

diturunkan pada anak laki-lakinya, maka tentu anak tersebut akan menderita

hemofilia. Jika gen hemofilia diturunkan pada anak perempuan, maka anak

tersebut akan membawa sifat sama seperti ibunya.

Seorang anak dapat terlahir dengan hemofilia walaupun sang ibu bukan

pembawa sifat. Hal ini dapat terjadi karena adanya mutasi genetik pada tubuh

janin. Setidaknya 1 diantara 3 individu hemofilia berasal dari keluarga yang

tidak memiliki riwayat hemophilia. Kelainan perdarahan pada individu dengan

hemofilia akan dialami seumur hidup, karena umumnya Faktor VIII atau F

Faktor IX dalam tubuh akan tetap hingga akhir hayatnya (Lukas DL, 2020).

d. Gejalah Klinis

Individu dengan hemophilia dapat mengalami gejalah, perdarahan yang

dapat terjadi pada setiap organ tubuh terutama sendi dan otot. Kadang perdarahan

dapat mudah terlihat, namun dapat juga tidak. Perdarahan dapat terjadi setelah

benturan maupun setelah pembedahan. Namun kemungkinan perdarahan dapat

terjadi tanpa diketahui penyebabnya. Hal ini tergantung kadar faktor pembekuan

darah dalam tubuh. Perdarahan mulai sering terjadi saat bayi belajar berjalan,

seiring bertambahnya usia, perdarahan spontan semakin sering terjadi.

Kebanyakkan timbul pada persendian dan otot (Lukas DL, 2020).

e. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan hemofilia yaitu menggunakan terapi pengganti. Secara garis

besar, penatalaksanaan dapat dibagi menjadi dua kelompok besar berdasarkan tujuannya,

yaitu untuk menghentikan perdarahan akut dan sebagai profilaksis.

1. Tata laksana Perdarahan Akut Pada Hemofilia


34

Tata laksana perdarahan akut terutama bertujuan untuk mengembalikan

hemostasis normal sehingga tidak terjadi koagulopati. Pada perdarahan akut,

derajat perdarahan dan lokasi harus segera dinilai. Selanjutnya, pasien

diberikan terapi pengganti faktor pembekuan dengan high-dose clotting

factor concentrate (CFC) berupa faktor VIII atau IX. Dosis konsentrat faktor

VIII adalah 50 IU/kg. Dosis faktor IX adalah 100-120 IU/kg. Beberapa pasien

bisa membutuhkan tindakan operatif segera, misalnya jika terjadi perdarahan

intrakranial, gangguan jalan napas akibat perdarahan tenggorokan atau

hematoma leher, perdarahan masif abdomen atau toraks, serta perdarahan otot

masif.

2. Terapi profilaksis pada hemofilia terbukti efektif mencegah kejadian

hemartrosis, perdarahan intrakranial, dan intramuskular, sehingga dapat

meningkatkan kualitas hidup pasien. Terapi profilaksis dilakukan dengan

pemberian konsentrat faktor pembekuan. Terdapat 2 protokol pemberian

yang dapat dilakukan, yaitu protokol Malmo dan Utrecht.

a. Protokol Malmo

Pada pasien hemofilia A, faktor VIII infus diberikan dengan dosis 25-40

IU/kg pada hari berselang, minimal 3 kali seminggu. Pada pasien

hemofilia B, faktor IX diberikan dalam dosis 20-40 IU/kg 2 kali seminggu

(Lukas DL, 2020).

b. Protokol Utrecht

Pada pasien hemofilia A, faktor VIII diberikan sebanyak 15-30 IU/kg 3

kali seminggu. Sementara itu, untuk pasien hemofilia B, dosis sama 15-30

IU/kg dan diberikan 2 kali seminggu.

Desmopressin merupakan analog vasopressin sintetis. Mekanisme


35

kerjanya dengan meningkatkan konsentrasi plasma faktor VIII hingga 3-5 kali

lipat dengan menginduksi pelepasan faktor von Willebrand (VWF) yang bersifat

transien. Desmopressin diberikan pada pasien dengan hemofilia A derajat ringan-

sedang. Dosis pemberiannya adalah 0,3 mcg/kg secara intravena, diberikan pada

pasien rawat inap. Keuntungannya adalah harganya lebih murah dan risiko

penularan virus pada konsentrat faktor pembekuan dapat dihindari. Desmopressin

dikontraindikasikan pada pasien dengan preeklampsia dan eklampsia. Selain itu,

desmopressin juga dikontraindikasikan pada anak berusia di bawah 2 tahun,

karena meningkatkan risiko kejang akibat edema otak; serta pasien gagal

jantungkarena efek antidiuretiknya.

Terapi nyeri pada hemofilia dapat dilakukan dengan manajemen

berdasarkan etiologi. Pada nyeri yang disebabkan oleh perdarahan otot atau sendi,

dapat dilakukan terapi Rest, Immobilization Compression, and Elevation (RICE).

Analgesik pilihan untuk pasien hemofilia adalah paracetamol. Bila nyeri tidak

membaik, dapat diberikan obat penghambat COX-2, seperti celecoxib

dan meloxicam. Paracetamol juga dapat dikombinasikan dengan opioid dosis

kecil, seperti codeine dan tramadol (Lukas DL, 2020).

2.7.2. Penyakit Von Willebrand

a. Definisi

Von Willebrand Disease (vWD) merupakan suatu kelainan hemoragik

yang umum, diturunkan secara genetika dan klinis yang disebabkan oleh

defisiensi atau disfungsi protein, yaitu faktor von Willebrand (von Willebrand

Factor/ vWF). Interaksi vWF yang rusak antara trombosit dan dinding pembuluh

darah mengakibatkan rusaknya hemostasis primer (Pollak, 2018).

Penyakit von Willebrand diturunkan sebagai kelainan autosomal yang


36

dominan. Orang dengan penyakit von Willebrand, mempunyai cacat gabungan

pada fungsi trombosit dan pembekuan, tetapi pada sebagian besar kasus hanya

cacat trombosit yang menimbulkan gejala klinis (Kumar dkk, 2015).

b. Etiologi

Kelainan perdarahan kronis yang ditandai dengan agregasi tronbosit

maupun pembentukan bekuan tidak terjadi secara memadai. Kelainan adhesi

trombosit mungkin karena kelainan reseptor trombosir intrinsik atau

kelainan/defisiensi molekul pelekat seperti FVW (Sudoyo. 2009).

1. Klasifikasi dan Patofisiologi

PVW disebabkan oleh kelainan kuantitatif dan/atau kualitatif FVW ,suatu

protein factor pembekuan yang diperlukan untuk interaksi antara trombosit–

dinding pembuluh darah dan untuk pembawa factor VIII.Pada kasus juga terdapat

defisiensi factor VIII.kelainan yang nyata pada FVW bertanggung jawab terhadap

3 tipe utama PVW (Sudoyo. 2009).

• Kelainan Kuantitatif FVW

Tipe 1 dan 3 ditandai dengan kelainan kuantitatif FVW. Identifikasi

kelainan gen adalah sulit pada tipe 1 dam 3 PVW .Tipe 1 merupakan

kelainan yang ringan dan menjadi kasus terbanyak .Pada PVW tipe 1 ,40%

anngota keluarga kelompok ini membawa allele PVW namun dengan kadar

FVW normal.Tipe 3 adalah bentuk yang terberat .Bentuk ini jarang terjadi

(Sudoyo. 2009).

• Kelainan Kualitatif FVW

Tipe 2 , yang terdiri dari subtype 2A,2B,2M dan 2N, meliputi pasien dengan

kelainan yang ringan sampai sedang ,ditandai dengan gejala-gejala yang


37

sifatnya sedang.Tipe 2A ditandai dengan penurunan fungsi FVW yang

terkait trombosit dan termasuk subtype II A dan II C .Tipe 2B ,ditetapkan

dengan meningkatnya afinitas FVW terhadap GP 1b trombosit .Tipe

2N, ditandai oleh kelainan ikatan FVW pada factor VIII.

c. Patofisiologi

Interaksi faktor VIII dan faktor von willebrand serta vWF dan trombosit

penting untuk memahami kompleksitas penyakit von willebrand dan melibatkan

aktivitas prokoagulan (VIII:C), aktivitas antigenic (vWF:Ag), dan aktivitas

faktor von willebrand (vWF: activity, yang dulu disebut “VIII:vWF”). Fungsi

ketiga ini penting dalam interaksi antara endotel vascular dan trombosit serta

mencegah perdarahan kapiler yang berlebihan dengan meningkatkan

pembentukan sumbatan trombosit. Nama “faktor von willebrand” telah

diterapkan untuk sifat-sifat protein dengan hasil kompleks ini. Pada hemophilia

klasik, aktivitas prokoagulan faktor VIII rendah, tetapi faktor von willebrand dan
38

faktor antigenic reaksi silang (vWF:Ag) aktif normal. Pada penyakit von

willebrand, ketiga aspek abnormal dan perbedaan derajat ketidakabnormalan ini

menyebabkan munculnya berbagai jenis sindrom penyakit von willebrand.

Dahulu gambaran klinis dan laboratorium yang bervariasi menyebabkan

kesimpang-siuran. Akhir-akhir ini diterapkan klasifikasi yang lebih praktis.

d. Gambaran Klinik

Gejala paling sering terjadi meliputi : perdarahan gusi, hematuri,

epistaksis, perdarahan saluran kemih, darah dalam feses, mudah memar,

menoragi. Pasien PVW simtomatik, seperti pada gangguan fungsi trombosit

lainnya, biasanya tampil dengan perdarahan mukokutan, terutama epistaksis,

mudah memar, menoragi, dan perdarahan gusi dan gastrointestinal (Sudoyo.

2009).

Pasien dengan kadar faktor VIII yang sangat rendah bahkan dapat

menuunjukan hemartrosis dan perdarahan jaringan dalam tubuh. PVW dapat

diturunkan sebagai satu sifat (trait) dominan atau resesif autosomal. Seringkali

terdapat riwayat yang jelas dalam keluarga dengan perdarahan abnormal dan

berat, namun daya tembus (penetrance) dan ekspresi gen yang mengalami mutasi

sangat bervariasi. Meskipun orangtua dengan autosom dominan memindahkan

gen abnormal hanya 50% ke anak-anaknya, penyakit dengan gejala yang nyata

hanya pada 30-40% keturunannya (Sudoyo. 2009).

Pasien dengan gen resesif tunggal khas asimtomatik tetapi dapat

menunjukkan kadar aktivitas antigen FVW abnormal. Keturunan dengan

heterozigot ganda, yang diturunkan dari orangtua yang keduanya membawa gen

cacat (defective), menghasilkan penyakit berat (tipe 3 PVW). Meskipun jarang,

PVW yang didapat, terlihat pada pasien dengan keadaan tertentu (states) penyakit
39

liimfoproliferatif atau imunologi akibat auto-antibodi terhadap FVW (Sudoyo.

2009).

Manifestasi klinis meliputi pendarahan hidung, gusi, menoragia,

pendarahan luka merembes lama, dan pendarahan yang meningkat setelah trauma

atau bedah. Hemartrosis spontan sangat jarang (Behrman: 2000). Gejalanya

berupa pendarahan gusi, epistaksis, pendarahan dari uterus, tractus

gastrointestinalis atau tractus urinarius. Pendarahan ini umumnya terjadi pada

masa anak dan cenderung berkurang dengan bertambahnya umur (Hasan, 2007).

e. Temuan Laboratorium.

Waktu perdarahan memanjang pada semua sindrom von Willebrand.

Hitung trombosit dan waktu protrombin normal. PTT mungkin normal tetapi

biasanya memanjang ringan sampai sedang. Penderita tipe I (penyakit von

Willbrand klasik) mempunyai kadar plasma protein von Willebrand menurun,

aktivitas faktor von Willebrand menurun, dan aktivitas faktor VIII menurun.

Trombosit pada penderita penyakit von Willebrand mempunyai kemampuan

adhesi menurun dan tidak beragregasi bila antibiotika ristosetin ditambahkan pada

plasma kaya-trombosit (karena faktor von Willebrand biasanya tidak ada), tidak

seperti trombosit orang normal. Kadang-kadang penderita mungkin menunjukkan

reaktivitas terhadap ristosetin yang meningkat (tipe II B) (Sudoyo. 2009).

Pada sebagian besar pasien penyakit von willebrand, kadar aktivitas

antigenic dan prokoagulan sama-sama rendah.sebagian kecil pasien

memperlihatkan jumlah protein yang normal dengan aktivitas imunologik yang

menyimpang. Tampaknya terdapat beberapa mekanisme fundamental yang

terlibat. Sebagian besar pasien memperlihatkan sintesis keseluruhan kompleks

faktor VIII yang normal, sedangkan yang lain mengalami gangguan kualitatif
40

sintesis. Tidaklah mengejutkan, pengamatan laboratorium lebih bervariasi

diantara pasien dengan varian kualitatif atau structural dari pada pasien dengan

defisiensi kuantitatif. (Sacher. 2004).

Waktu pendarahan memanjang pada semua sindrom von Willebrand.

Hitung trombosit dan waktu protrombin normal. PTT mungkin normal tetapi

biasanya memanjang ringan sampai sedang. Penderita Tipe I (penyakit von

willebrand klasik) mempunyai kadar plasma protein von willebrand menurun,

aktivitas factor von willebrand menurun, dan aktivitas factor VIII menurun.

Trombosit pada penderita penyakit von Willebrand mempunyai

kemampuan adhesi menurun dan tidak beragregasi bila antibiotika ristosetin

ditambahkan pada plasma kaya-trombosit (karena factor von willebrand biasanya

tidak ada), tidak seperti trombosit orang normal. Kadang-kadang penderita

mungkin menunujukkan reaktivitas terhadap ristosetin yang meningkat (tipe II

B) (Behrman. 2000).

Pemeriksaan laboratorium biasanya memberikan hasil seperti hemophilia,

tetapi dengan masa pendarahan memanjang, adesi trombosit merendah dan

retraksi bekuan yang normal (Hasan, 2007).

Hasil laboratorium :

1. Masa perdarahan mungkin memanjang

2. Kadar faktor VIII seringkali rendah dan APTT mungkin memanjang

3. Kadar VWF biasanya rendah

4. Agregasi trombosit dengan ristocetin terganggu (sensitivitas abnormal

terhadap ristocetin ditemukan pada penyakit tipe 2B). Agregasi dengan zat

lain (adenosine difosfat (ADP), kolagen, thrombin, atau adrenalin) normal.


41

5. Hitung trombosit normal kecuali untuk penyakit tipe 2B (pada tipe 2B

rendah)

6. Analisis multimer berguna untuk mendiagnosis subtype-subtipe yang berbeda

(Hoffbrand. 2012)

f. Evaluasi Penapisan

Untuk PVW harus mencakup pemeriksaan BT ,hitung trombosit, PT dan APTT.

• PVW ringan tipe 1 biasanya hasil pemeriksaan normal. Bila penyakit lebih

berat BT memanjang antara 15-30 menit sedangkan hitung trimbosit normal.

• Pasien dengan defisiensi berat FVW atau kelainan faktor VIII mengikat FVW

berakibat pemanjangan APTT, sekunder akibat menurunnya kadar faktor VIII

dalam plasma

• Untuk menetapkan diagnosis diperlukan pemeriksaan khusus kadar FVW dan

fungsinya (Sudoyo. 2009).

Sumber : Sudoyo. 2009

Penyakit tipe 1 adalah varian paling banyak mencapai 80% .Beratnya

gambaran klinis tipe ini sangat bervariasi,berhubungan dengan penurunan kadar


42

FVW dalam plasma dan factor VIII.Pada pasien bergejala ,aktivitas Ag:FVW dan

FVW menurun dibawah 50% nilai normal.Pasien dengan golongan darah O Pada

umumnya menunjukan nilai FVW normal rendah dan tidak boleh langsung

didiagnosis oleh PVW tipe ringan .Oleh karena FVW merupakan protein

pembawa FVIII akan secara bermakna menurun pada pasien dengan penyakit tipe

1 yang berat.,dengan pemnajangan APTT.Analisis multimer FVW menunjukan

pola normal (Sudoyo. 2009).

PVW tipe 2 – tipe ini ditandai oleh kelainan kualitatatif FVW plasma. Hal

ini dapat berakibat penurunan FVW yang lebih besar (PVW tipe 2A dan 2B) atau

perubahan-perubahan bergam pada ikatan Ag:FVW dan factor VIII (Tipe 2M 2N

PVW). Menghilangnya multimer lebih besar menyebabkan penurunan yang tidak

Proporsional pada aktivitas FVW (Ristocetin cofactor actifity) bila dibandingkan

dengan Ag:FVW (Sudoyo. 2009).

Aktifitas factor VIII jarang jarang menurun pada PVW tipe 2A, B, dan M

tetapi paling berat pada penderita PVW tipe 2N (Sudoyo. 2009). Pasien PVW tipe

2 tidak mempunyai FVW multimer dengan BM tinggi atau sedang (intermediate)

dalam plasma. kelompok heterogen ini ditandai oleh paling tidak 2 defek yang

nyata : produksi FVW (yang suseptibel terhadap proteolisis) dan detruksi yang

meningkat menjelang skresi selular.Beberapa pasien masih sangggup

mengeluarkan multimer yang lebih besar dalam sirkulasi bila dirangsang dengan

DDAPV, yang lain menunjukan sedikit atau tanpa respons.Pasien tipe 2A

mempunyai tendensi perdarahan yang sedang (Sudoyo. 2009).

PVW tipe 2 menunjukan FVW abnormal dengan afinitas meningkat

terhadap reseptor GPIb/IX trombosit.Pemberian (Loading) multimer besar pada

FVW pada trombosit menyebabkan penurunan kadar yang nyata kadar FVW
43

multimer dengan BM tinggi atau sedang(intermediate) dalam plasma, Menyerupai

PVW tipe 2A. Pada saat yang sama oleh karena melimpahnya FVW pada

permukaan trombosit, Penelitian aktivitas FVW (yaitu ristocetin-in-duced platelet

aggregation,RIPA)akan menunjukan tendensi peningkatan agregasi trombosit

(Sudoyo. 2009).

Secara klinis, melimpahnya FVW pada permukaan trombosit dapat

mendorong agregasi trombosit dalam sirkulasi, Pembuangan trombosit, dan

trombositopenia. Kehamilan, Inflamasi, atau pemberian DDAPV, melalui

peningkatan pengeluaran FVW, dapat memperburk trombositopenia. Bukanya

cenderung mengalami agregasi trombosit, pasien-pasien ini sebaliknya memiliki

tendensi rendah bukan kelainan/penyakit trombotik (Sudoyo. 2009).

PVW Tipe-Trombosit perlu perhatian khusus sebab tampil dengan

banyak sifat serupa PVW Tipe 2B. Namun, peningkatan ikatan multimer FVW

tipe trombosit disebabkan oleh kerusakan pada reseptor GP1b, bukan FVW

pasien. Hal ini merupakan perbedaan penting menyangkut terapi. Pasien PVW

tipe Trombosit memerlukan transfuse trombosit sama perlunya dengan pemberian

FVW untuk memperbaiki kelainan perdarahanya (Sudoyo. 2009).

PVW Tipe 2M- ditandai dengan pola normal multimer FVW dalam

plasma penurunan yang tidak seimbang pada aktifitas FVW bila dibandingkan

dengan vWF:Ag.Hal ini menghasilkan produksi FVW abnormal dengan

penurunan aktifitas terhadap reseptor GP1b/X trombosit (Sudoyo. 2009). Banyak

pasien dengan kelainan tersebut akan memperoleh respon dari DDAVP,

sedangkan yang lain memerlukan penambahan FVW (Sudoyo. 2009).

PVW tipe-2N menunjukan kerusakan ikatan faktor VIII terhadap FVW.

Pengukuran dan aktivitas FVW keduanya normal, seperti jug analisis pola
44

multimer FVW. Derajat aktivitas faktor VIII menurun, sama seperti pada pasien

hemofilia yang ringan. Penyakit tipe 2N harus dipikirkan dalam diagnosis banding

bila seseorang pasien perempuasn datang dengan derajat FVIII atau bila anggota

keluarga pasien yang perempuan terjangkit (Sudoyo. 2009).

Penyakit tipe 3-FVW tipe 3 disertai dengan tidak ditemukannya Ag:FVW

dalam sirkulasi dan derajat VIII:C sangat rendah (3-10% normal). Pasien yang

seperti ini menunjukkan pendarahan hebat dan hemartrosis dan hematoma

muskulus serupa pada pasien hemofilia A dan B. Namun, tidak seperti hemofilia

klasik, BT sangat memanjang. Penurunan penyakit tipe 3 masih tidak jelas. Pasien

demikian merupakan heterozigot ganda atau homozigot untuk satu gen abnormal.

Pasien biasanya normal, yang menunjukkan suatu pola resesif autosomal (Sudoyo.

2009).

g. Penatalaksanaan

• Pengelolaan segera

Fungsi trombosit yang abnormal sering yang pertama tampak sebagai

komplikasi penyakit akut atau pembedahan. Pada keadaan demikian,

diagnosis yang tepat dapat ditunda, namun tindakan harus disesuaikan dengan

sebanyak mungkin faktor yang potensial (Sudoyo. 2009). Daftar ini

termasuk; Menghentikan obat yang menghambat fungsi trombosit, Secara

empiris memberikan FVW, Transfusi trombosit yang normal, tergantung

beratnya pendarahan (Sudoyo. 2009).

• Pengelolaan jangka panjang

Kelainan fungsi trombosit harus didasari diagnosis yang tepat. Pasien dengan

kelainan kongenital harus dinasihati untuk menghindari obat yang

memperberat kelainan fungsi dan menyebabkan pendarahan (Sudoyo. 2009).


45

a. Aspirin dan analgesik non steroid adalah offender primer, pasien-pasien

PVW dan trombasteni menunjukan pemanjangan bermakana BT dengan

pemberian aspirin dan merupakan risiko lebih besar terhadap pendarahan

klinis.

b. Pasien demikian juga harus benar-benar diajari tentang sifat kelainan

mereka

c. Harus membawa serta identifikasi atau memakai gelang peringatan

(warning)

Protokol ini dapat bermanfaat sebagai petunjuk untuk transfusi yang

memadai pada keadaan darurat (Sudoyo. 2009).

• DDVAP (Desopresin)

DDAVP adalah analog sintetik hormon antidiuretik, vasopresin.

Pemberian secara intravena merangsang pengeluaran FVW dari endotel agar

FVW dan faktor VIII:C cepat meningkat dalam plasma. Hal ini merangsang

fungsi trombosit, dan pada beberapa tipe PVW memendekkan BT. Akibatnya

terhadap kadar faktor VIII diapakai untuk menangani pasien dengan hemofilia

A ringan yang mengalami pembedahan minor. Kelainan fungsi trombosit akibat

pemberian obat, uremia dan penyakit hati. Juga dapat membaik, mungkin dalam

pengeluaran dalam jumlah sangat besar multimer FVW. Pada pasien uremia,

terapi eritropoetin belum dilaporkan menurunkan secara bermakna tendensi

pendarahan, sehingga menyebabkan DDVAP kurang populer (Sudoyo. 2009).

Keberhasilan menangani pasien PVW bergantung pada tipe penyakitnya.

Pasien dengan tipe 1 PVW yang lebih ringan menunjukkan respon yang sangat

baik, dengan pemendekan BT dan peningkatan kadar FVW dan faktor VIII:C
46

banyak pasien dengan PVW tipe 2A atau tipe 2M juga mempunyai respon yang

baik terhadap DDVAP. Meskipun BT tidak menjadi normal dan efeknya relatif

singkat (Sudoyo. 2009). Pasien PVW tipe 2N biasanya tidak respons, meskipun

uji terapi menunjukkan pasien tertentu dapat ditangani pembedahan minor atau

suatu pendarahan dengan DDAVP saja. Pasien PVW tipe 3 tidak akan respon

terhadappemberian obat, sebab pasien ini tidak ada persediaan FVW di endotel.

Baik FVW maupun faktor VIII harus disiapkan untuk memperbaiki kelainan

pada kedua pasien tipe 2N dan tipe 3 (Sudoyo. 2009).

• Pemberian DDAVP dikontraindikasikan pada pasien PVW tipe 2B dan

tipe-trombosit. Pada kedua kelainan, stimulasi pengeluaran FVW dapat

menyebabkan peningkatan agregasi trombosit dan memperburuk keadaan

trombositopenia pasien. Pada pasien tipe 2B, kelainan trombosit dan

trombositopenia berhubungan dengan produksi multimer FVW yang abnormal.

Oleh karena itu, penanganan yang efektif untuk pasien demikian dengan

penambahan FVW dan transfusi trombosit (Sudoyo. 2009).

• Formulasi DDVAP berbentuk sediaan baik intravena maupun intranasal.

DDVAP diberikan intravena dengan dosis 0,3 mg/Kg; harus diencerkan dalam 30-

50 mL salin dan diberikan dalam 10-20 menit untuk meminimalkan efek samping,

terutama takikardi dan hipotensi. Seperti preparat pendahulunya, DDVAP akan

menyebabkan nyeri kepala, pusing (lightheadedness), nausea, dan muka

kemerahan (facial flushing) pada pasien, terutama bila diberikan secara cepat.

Obat tersebut juga mempunyai efek antidiuretik ringan yang dapat mengarah

intoksikasi bila pasien mendapat terapi multiple dan cairan parenteral jumlah

besar. Nasal spray yang sangat pekat dapat diberikan sendiri pada perempuan

PVW tipe 1 untuk terapi menoragi. Obat tersebut dapat efektif untuk mengontrol
47

perdarahan yang berkaitan dengan ekstraksi gigi atau pembedahan minor pada

pasien PVW dan hemofili A ringan. Dosis 300-µg intranasal DDAVP (stimate

nasal spray), diberikan dengan aplikasi 100 µL dari larutan 1,5 mg/mL ke lubang

hidung, akan meningkatkan kadar FVW, pada umumnya, 2 sampai 3 kali lipat (Sudoyo.

2009).

Terapi DDVAP paling efektif untuk pendarahan ringan selama pembedahan

minor. Kerugiannya, efeknya berlangsung singkat. Perbakan BT dan kadar FVW

terbatas sampai 12-24 jam. Disamping itu respon terhadap dosis ulangan dapat

berbeda karena timbulnya takifilaksis. Kebanyakan pasien memberikan respon

terhadap 2 atau 3 dosis dalam interval 24-jam, tetapi beberapa kasus

membutuhkan 48-72 jam di antara dosis untuk perbaikan. Pada situasi demikian,

kontrol terhadap tendensi perdarahan pasien sangatlah penting, misalnya setelah

pembedahan, DDAVP bila diberikan sendiri tidak adekuat, sehingga dianjurkan

pemberian tambahan FVW (Sudoyo. 2009).

DDAVP digunakan dalam pengobatan penyakit von Willebrand tipe I dan IIA.

Pada sebagian besar kasus, DDAVP dapat digunakan untuk mengontrol

perdarahan ringan, secara profilaktik digunakan sebelum prosedur pembedahan.

Sekarang tersedia dalam bentuk semprot hidung, DDAVP berperan dalam

pelepasan faktor von Willebrand dari tempat penyimpanan cadangan. Untuk

penggantian faktor von Willebrand digunakan generasi yang lebih baru yaitu

faktor VIIIs yang diinaktifkan-virus, yang diketahui mengandung faktor von

Willebrand. Pasien-pasien yang dijadwalkan untuk menjalani prosedur

pembedahan harus dievaluasi dan dipersiapkan oleh ahli hematologi selama dan

setelah menjalani prosedur pembedahan (Price. 2006).


48

Faktor Von Willebrand

Penggantian FVW-dapat diperoleh dengan: tranfusi plasma segar atau konsentrat

plasma mengandung kompleks FVW-VIII (Sudoyo. 2009).

Kriopresipitat adalah konsentrat yang mudah didapat dan efektif. Seperti terapi

dengan DDVAP, kriopresipitat dapat segera memperpendek BT, yang yang

berkaitan dengan infus multimer FVW besar. Namun, perbaikan BT dapat

berlangsung relatif singkat. Kadar kriopresipitat dan multimer Ag:FVW cepat

rusak dalam 6-12 jam setelah diberikan melalui infus. Pada waktu yang sama,

kadar faktor VIII:C meningkat selama 24 jam berikutnya, diluar proporsi jumlah

yang diberikan. Kenaikan kadar faktor VIII tampaknya untuk memberikan efek

protektif. Perbaikan tendensi perdarahan pasien berlangsung lebih lama dari

pada yang diketahui baik dengan BT atu kadar FVW saja (Sudoyo. 2009).

Dosis kriopresipitat-sangat empiris. Pasien dengan tipe 1 atau tipe 3 yang berat

harus ditangani seperti pasien hemofilia A berat. Pada kedua keadaan tersebut

kadar FVW dan faktor VIII kurang dari 10%. Untuk mengawasi tendensi

perdarahan, faktor VIII:C harus dinaikkan menjadi 50-70% untuk pembedahan

mayor dan 30-50% untuk pembedahan minor atau perdarahan yang kurang berat.

Untuk pasien PVW tipe 1 yang kurang berat, direkomendasikan kombinasi

DDVAP dan sejumlah kecil kriopresipitat. Berapa banyak FVW harus diberikan

dan berapa lama terapi tergantung perjalanan klinis pasien (Sudoyo. 2009).

Apabila kriopresipitat tidak didapatkan, salah satu bentuk konsentrat faktor

VIII/FVW dapat diberikan. Namun, konsentrat tersebut harus mengandung

multimer FVW besar agar efektif. Sediaan kaya FVW termasuk Humate p dan

Alphanate. Dosis faktor VIII 50 U/Kg tiap 12 jam biasanya akan cukup.

Keuntungan sediaan-sediaan ini adalah kurang memberikan risiko transmisi virus


49

(Sudoyo. 2009). Oleh karena rendahnya kadar Ag:FVW dan faktor VIII, pasien

PVW tipe 3 mempunyai risiko timbulnya antibodi terhadap FVW setelah transfusi

sediaan plasma tersebut. Sekali ini terjadi, pasien mempunyai risiko reaksi

anafilaktoid dan infus FVW berikutnya menjadi kurang efektif (Sudoyo. 2009).

Pengobatan. Terapi terdiri dari penggantian faktor von Willebrand dengan

menggunakan PBS atau kriopresipitat. Kriopresipitat adalah terapi yang lebih

dipilih untuk perdarahan berat atau persiapan terapi. Dosis yang dianjurkan adalah

2-4 kantong kriopresipitat/10 kg, yang dapat diulang tiap 12-24 jam, tergantung

pada episode perdarahan yang diterapi atau dicegah. Penderita dengan penyakit

von Willebrand tipe I ringan sampai sedang yang mengalami manifestasi

perdarahan ringan (seperti, epistaksis), atau yang mengalami tindakan bedah

tertentu (misalnya, ekstraksi gigi), dapat diberi DDAVP seperti pada hemofilia A

(Behrman. 2000).

2.7.3. Diseminated intravascular coagulation (DIC)

a. Definisi

Koagulasi intravascular diseminata atau DIC merupakan suatu sindrom

kompleks yang terdiri atas banyak segi, yang sistem homeostatic dan fisiologik

normalnya mempertahankan darahnya tetap cair berubah menjadi suatu sistem

patologik yang menyebabkan terbentuknya trombi fibrin difus yang menyumbat

mikrovaskular tubuh. (Price dan Wilson, 2005).

b. Etiologi DIC

• Solusio plasenta penyebab tersering dimana plasenta merupakan sumber

yang kaya akan tromboplastin jaringan.

• Infeksi berat atau sepsis


50

• Keganasan, luka bakar, cedera remuk juga dapat menyebabkan pelepasan

tromboplastin.

• Leukemia promielositik dimana promielosit granular mengeluarkan

aktivitas seperti tromboplastin yang sering pada saat dimulainya kemoterapi

dan dilepasnya granula. (Price, 2005)

c. Patofisiologi DIC

DIC adalah reaksi abnormal sistem fibrinolitik yang mengontrol

pembekuan darah. Sistem fibrinolitik diaktivasi oleh trombin di dalam

sirkulasi, yang memecah fibrinogen menjadi monomer fibrin. Trombin juga

merangsang agregasi trombosit, mengaktivasi faktor V dan VIII, serta melepas

aktivator plasminogen yang membentuk plasmin. Plasmin memecah fibrin,

membentuk produk-produk degradasi fibrin dan selanjutnya mengaktivasi

faktor V dan VIII. Aktivasi trombin yang berlebihan mengakibatkan

berkurangnya fibrinogen, trombositopenia, faktor-faktor koagulasi dan

fibrinolisis (Linker,2001) yang mengakibatkan perdarahan difus. DIC bukan

merupakan penyakit melainkan akibat proses penyakit yang mendasarinya.

Perubahan pada berbagai sistem vaskular yaitu dinding pembuluh darah,

protein plasma, dan trombosit dapat menyebabkan suatu gangguan konsumtif

(Coleman et al, 1993 dalam Price & Wilson, 2005).

Masuknya zat atau aktivasi prokoagulan ke dalam sirkulasi darah

mengawali sindrom tersebut dan dapat terjadi pada segala kondisi yang

tromboplastin jaringannya dibebaskan akibat destruksi jaringan, dengan

inisiasi jalur pembekuan ekstrinsik (Price & Wilson, 2005)

Selama proses koagulasi, trombosit beragregasi dan bersama dengan

faktor-faktor koagulasi akan digunakan dan jumlahnya berkurang. Hasil


51

trombus fibrin dapat atau tidak menyumbat mikrovaskular. Bersamaan

dengan ini sistem fibrinoitik diaktivasi untuk pemecahan trombifibrin yang

menghasilkan banyak fibrin dan produk degradasi fibrinogen yang

mengganggu polimerasi fibrin dan fungsi trombosit (Guyton, 2001). Aksi ini

menyebabkan perdarahan difus yang khas pada DIC (Price & Wilson, 2005).

d. Manifestasi Klinis DIC

Manifestasi klinis yang timbul tergantung pada luas dan lamanya

pembentukan thrombin fibrin, organ-organ yang terlibat dan nekrosis serta

perdarahan yang ditimbulkan.organ-organ yang paling sering terlibat adalah

ginjal, kulit, otak, hipofisis, paru dan adrenal, serta mukosa saluran cerna.

Terdapat perdarahan dimukosa membrane dan jaringan dalam serta

perdarahan di sekitar cedera, pungsi vena, penyuntikan dan setiap orifisium.


52

Sering dijumpai petekie, purpura, bula hemoragik, febris, hipotensi,

asidosis, perdarahan jaringan dalam, nyeri abdomen dan nyeri punggung.

(Guyton, 2001).Tanda dan gejala dibedakan berdasarkan kondisi yang terjadi

Organ Iskemik Hemoragik


Kulit Pur. Fulmuninans Petekie
Ganggreng Ekimosis
Akral sianosis Oozing

CNS Delirium/koma Perdarahan intrakranial


Infark

Renal Oliguria/azotemia Hematuria


Kortikal nekrosis

Kardiovaskuler Myocardial dysfxn -


Paru-paru Dyspnea/hipoksia Hemoragik paru
infark

Gastrointestinal Ulcer Massive


Infark Mual, diare, milena

Endokrin Infark adrenal Hemoragik

e. Pemeriksaan Fisik DIC

Inspeksi : Pada pemeriksaan dengan inspeksi kemungkinan ditemukan

hematuria, epitaksis, melena, pada bagian kulit dapat dilihat

adanya petikie, purpura atau ekimosis pada ekstremitas dan

tubuh.

Palpasi : Pada saat di palpasi kulit teraba hangat apabila pasien mengalami

sepsis, denyut nadi meningkat.

Auskultasi : Mengukur tekanan darah, pada DIC biasanya ditemukan t

tekanan darah menurun.

f. Pemeriksaan Diagnostik dan Penunjang

• PTT (Partial Tromboplastin time): memanjang pada 50-60% DIC


53

Pada tes PTT, fosfolipid ditambahkan pada plasma pasien yang

sudah dicampurkan dengan sitrat, mengakibatkan pembentukan bekuan

dalam waktu 60 sampai 90 detik. Penambahan agen pengaktivasi kontak

seperti kaolin, mengurangi variabilitas pemeriksaan, dan waktu yang

diperlukan untuk pembentukan bekuan. Modifikasi ini menghasilkan

waktu tromboplastin parsial teraktivasi (APTT). Hasilnya dibandingkan

dengan APTT plasma normal. Kisaran normal adalah 26-42 detik.

Karena PTT mengukur jalur instrinsik dan jalur bersama, maka PTT akan

memanjang pada defisiensi pralikein, HMWK, faktor V, VIII,IX,X,XI,

dan XII, protrombin, serta fibrinogen. Jika hanya PT yang memanjang,

maka dianggap terdapat defisiensi atau penghambatan segala faktor jalur

intrinsic. Jika keduanya memanjang, maka diduga terdapat defisiensi

atau penghambatan faktor V dan X jalur bersama, protrombin, dan

fibrinogen.

• PT (prototombine time ) : memanjang pada 50-70% DIC

Pada tes PT, bagian plasma pasien yang sudah dicampur sitrat

dicampur dengan fosfolipid dan tromboplastin jaringan. Karena kalsium

sudah dihilangkan, maka tidak terjadi koaglasi. Kemudian kalsium

ditambahkan, dan waktu yang diperlukan untuk pembentukan bekuan

dicatat. Dalam keadaan ini, plasma normal memerlukan waktu 11 sampai

13 detik untuk membeku. Defisiensi faktor-faktor VII, X dan V,

prototrombin, serta fibrinogen akan memperpanjang PT.

• TT (Massa thrombin) atau pembekuan thrombin : memanjang

Pada massa trombin dimana nilai normalnya 10-13 detik bertujuan


54

untuk mengukur pembentukan firbrin dari fibrinogen. Thrombin eksogen

ditambahkan pada plasma yang sudah dicampur sitrat dan masa

pemebekuan diukur. Tes ini dapat mendeteksi kelainan polimerasi fibrin

atau kadar fibrinogen yang rendah, maka pemeriksaan ini untuk mencari

factor-faktor pembekuan yang tidak ada jika tes PT dan PTT abnormal.

Heparin, suatu antikoagulan kuat meningkatkan efek netralisasi

antitrombin III pada factor-faktor IXa, Xa, Xia, thrombin, dan plasmin

sehingga akan memperpanjang masa PT, PTT dan TT.

• Pada tes fibrinogen dan jumlah trombosit ditemukan kadar fibrinogen

dan jumlah trombosit menurun

• D-dimer : meningkat

Suatu tes terbaru DIC adalah D-dimer. D-dimer merupakan hasil

degradasi fibrin ikat silang yaitu fibrinogen yang dirubah menjadi fibrin

yang kemudian diaktifkan oleh faktor XIII. Bertujuan untuk mengukur

pemecahan produk-produk bekuan fibrin plasma, dimana nilai normalnya

< 500. Dari pemeriksaan atau tes yang paling banyak dilakukan untuk

menilai DIC, D-dimer, (Aru dan Sudoyo, 2006).

g. Penatalaksanaan DIC

Penanganan DIC lebih ditujukan pada perbaikan mekanisme yang

mendasarinya yang mungkin memerlukan penggunaan obat-obat antibiotic,

agen kemoterapeutik, dukungan kardiovaskular, serta pada keadaan retensio

plasenta isi uterus akan dikeluarkan. Penggantian factor-faktor plasma

dengan plasma dan kriopresipitat serta transfusi trombosit dan sel darah

merah mungkin diperlukan (Price dan Wilson, 2005).


55

Transfusi trombosit dan komponen plasma hanya diberikan jika

keadaan pasien sudah sangat buruk dengan trombositopenia berat dengan

perdarahan masif, memerlukan tindakan invasif, atau memiliki risiko

komplikasi perdarahan. Terbatasnya syarat transfusi ini berdasarkan

pemikiran bahwa menambahkan komponen darah relatif mirip menyiram

bensin dalam api kebakaran, namun pendapat ini tidak terlalu kuat,

mengingat akan terjadinya hiperfibrinolisis jika koagulasi sudah

maksimal. Sesudah keadaan ini merupakan masa yang tepat untuk

memberi trombosit dan komponen plasma, untuk memperbaiki kondisi

perdarahan.

Bila terjadi perdarahan hebat peran heparin yang sebagai antikoagulasi

antitrombin yang kuat masih sangat kontroversial. Heparin dapat

menetralkan aktivitas thrombin dan dengan demikian menghambat

penggunaan factor-faktor pembekuan dan pengendapan fibrin.

Meningkatkan konsentrasi factor pembekuan dan trombosit dengan

memberikan infus plasma dan trombosit seharusnya menghambat diathesis

perdarahan. Heparin diindikasikan pada keadaan adanya pengendapan

fibrin yang menyebabkan nekrosis dermal (Logan, 1994). Heparin dosis

rendah telah berhasil digunakan bersama dengan agen kemoterapeutik

pada pengobatan leukemia promielositik untuk mencegah DIC akibat

pelepasan tromboplastin oleh granula leukosit.

Pemberian heparin diberikan dengan sesuai dosis dewasa normal

heparin drip 4-5 U/kg/jam IV infus kontinu, pemberian heparin harus

dipantau minimal setiap empat jam dengan dosis yang disesuaikan. Dosis

selanjutnya ditentukan berdasarkan APTT atau masa pembentukan (MP)


56

yang diperiksa 2-3 jam sesudah pemberian heparin. Target APTT kurang

dari 1,5 kali kontrol atau MP kurang 2 kali kontrol, dosis heparin dinaikan.

Bila lebih dari 2,5 kali APTT kontrol atau MP ;lebih dari 3 kali kontrol

maka diulang 2 jam. Kemudian bila APTT atau MP lebih dari 2,5/3 kali

kontrol maka dosis dinaikan sedangkan bila kurang, dosis diturunkan.

Heparin dinaikan setiapa 4-6 jam dan dosis diberikan sekitar 20.000-

30.000 𝜇 / hari. Akhir-akhir ini dianjurkan heparin subkutan dosis 80-100

𝜇 / kg tiap 4-6jam, bergantung pada keadaan klinis, tempat dan beratnya

pendarahan, trombosis, dan berat badan pasien. Tampaknya heparin

subkutan sama efektifnya atau bahkan mungkin lebih efektif daripada

heparin dosis tinggi yang diberikan intravena. Heparin juga dapat

diberikan dengan kombinasi AT III atau antiagregasi trombosit. Pemberian

heparin intravena kontinu 20.000 – 30.000/24 jam, segera menghentikan

proses koagulasi. Namun perlu diingat resiko pendarahan yang perlu

diwaspadai. Kontraindikasi pemberian heparin subkutan maupun

intravena pada DIC yaitu pasien dengan pendarahan susunan saraf pusat,

gagal hati, dan kasus kebidanan tertentu. DIC juga dilaporkan berhasil

diobati dengan AT III tiap 8 jam. Dosis yang dibutuhkan dapat dihitung

dengan jumlah total yang dibutuhkan = (kenaikan kadar yang diinginkan

dikurangi kadar permulaan) x 0,6 x berat badan. Kadar yang diinginkan

biasanya ≥ 125 %. Juga dilaporkan obat baru pada DIC yang potensial

berguna yaitu hirudin rekombinan, defriotide dan gabexate. (Stanley,

Ramzi dan Vinay, 2007).


57

BAB III

KESIMPULAN

1. Pengelolaan pasien dengan gangguan hiperkoagulasi merupakan tanggung jawab ahli

anestesi karena banyak dari pasien ini memerlukan manajemen perioperatif dari rejimen

antikoagulan yang tepat.

2. konsultasi hematologi sangat penting untuk mendapatkan pengelolaan perioperatif pasien

dengan keadaan hipokoagulasi yang kompleks dan gangguan hiperkoagulasi sehingga dapat

dihindari keadaan morbiditas dan mortalitas perioperatif yang tidak perlu. Setelah operasi,

banyak dari pasien ini akan dikelola oleh ahli hematologi.

3. konsultasi hematologi sangat penting untuk mendapatkan pengelolaan perioperatif pasien

dengan keadaan hipokoagulasi yang kompleks dan gangguan hiperkoagulasi sehingga dapat

dihindari keadaan morbiditas dan mortalitas perioperatif yang tidak perlu. Setelah operasi,

banyak dari pasien ini akan dikelola oleh ahli hematologi.

4. Hemofilia adalah kelainan pembekuan darah yang diturunkan ibu ke anak laki-laki. Faktor-faktor

pembekuan darah di dalam plasma darah dilambangkan dengan angka romawi, faktor yang berperan

pada penyakit hemofila yaitu, faktor VIII dan faktor IX.

5. Von Willebrand Disease (vWD) merupakan suatu kelainan hemoragik yang umum, diturunkan

secara genetika dan klinis yang disebabkan oleh defisiensi atau disfungsi protein, yaitu faktor von

Willebrand (von Willebrand Factor/ vWF).

6. Koagulasi intravascular diseminata atau DIC merupakan suatu sindrom kompleks yang terdiri atas

banyak segi, yang sistem homeostatic dan fisiologik normalnya mempertahankan darahnya tetap

cair berubah menjadi suatu sistem patologik yang menyebabkan terbentuknya trombi fibrin difus

yang menyumbatmikrovaskular tubuh.

57
58

Daftar Pustaka

Arthur Simmons, Hematology: a Combined Theoritical & Technical Approach, WB


Saunders Company, 1989.
Aru W., Sudoyo, dkk. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UI
Durachim A,2018. Bahan Ajar Teknologi Laboratorium Medik (TLM) Hemostasis.
Jakarta: Kemenkes RI
Frank Firkin, de grucy’s Clinical Hematology in Medical Practice, Fifth edition,
Blackwell Scientific Publication, 1989.
Guyton, A.C dan Hall, J.E. 2001. Textbook of Medical Physiology ed 10. Philadelphia :
WB Saunders.
Hasan, Rusepno dan Husein Alatas. 2007. Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Jakarta :
Infomedika Jakarta.
Hoffbrand, dkk. 2012. Kapita Selekta Hematologi. Jakarta : EGC.
Iman Supardiman, Hematologi Klinik, edisi revisi, Bandung, 1993.
Linker, CA. 2001. Current Medical Diagnosis and Treatment, Ed.40. New York: Lange
Medical Books, McGraw-Hill
Logan, L. 1994. Hemostasis and Bleeding Disorders. In Mazza J, editor : Manual of
clinical hematology, ed 2. Boston Little, Brown.
Lukas DL. 2020. Penderita Hemofilia Di RSUD Dr.Mohammad Soewandhie Surabaya.
Medical Journnal. 3(2).
Martin R. Howard, Haematology, Second Edition, Churchill Livingstone, 2002.
Price, Sylvia Anderson dan Wilson, Lorraine M. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis
Proses Penyakit. Jakarta : EGC
Ramnik Sood, Medical Laboratory Technology, Methods & Interpretatiom, Jay Pee
Brothers Fourth edition, 1994.
S. Polak, Eleanor. 2018. von Willebrand Disease. Diakses dari
https://emedicine.medscape.com/article/206996-overview
Sacher, Ronald A dan Richard A. McPherson. 2004. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan
Laboratorium. Jakarta : EGC.
Siti Budina Kresna, Pengantar Hematologi dan Imunohematologi, Fakultas Kedokteran
UI, 1988.

58
59

Sudoyo, A.W., et al., 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. FKUI : Jakarta.
Umar I, 2020. Hemostasis dan Disseminated Intravascular Coagulation (DIC). Journal
of Anaesthesia and Pain. 2 (1) : 19-32.
Vinay, Kumar., Ramzi S.Contran dan Stanley L. Robbins. 2015. Buku Ajar patologi Edisi
1. Jakarta : EGC
William J. William, Hematology, Fourth edition, Mc.Grow Hill Publishing Company,
1991

59
Hello!

Mekanisme Koagulasi dan


Penatalaksaannya
Preceptor :
dr. Heri Aprijadi, Sp.PD, KHOM

Hi!
1. Sari Novpriani 21360085

2. Siti Sarah Langki 21360089

3. Tri Ayati 21360093


Poin Pembahasan

DEFINISI MEKANISME / PROSES


KOAGULASI KOAGULASI

PENYAKIT GANGGUAN
KOAGULASI
DEFINISI
Koagulasi
Mekanisme bertingkat yang melibatkan
kesinambungan pengaktifan faktor yang satu
dengan yang lainnya. Pada tahap terakhir
pembekuan darah, trombin akan mengubah
fibrinogen menjadi serat atau benang-benang
fibrin yang dapat menjaring komponen-komponen
darah yang berukuran besar, sel darah merah, dan
plasma sehingga terbentuk bekuan darah
(Kemenkes,2018).
Mekanisme
Koagulasi
Mekanisme Koagulasi

Jalur Intrinsik Jalur Ekstrinsik Jalur Bersama


Berasal dari Dimulai dengan
dalam darah itu terjadinya trauma ada
sendiri dinding Pembuluh dan
jaringan sekitarnya
Faktor Pembekuan darah

I Fibrinogen
II Prothrombin
III Thromboplastin
IV Calcium
V Labile Factor
VII Proconvertin
VIII Anti Hemophilic Factor
IX Christmas Factor
X Stuart Prower Factor
XI Plasma Thromboplastin Antecendent
XII Hageman Factor
XIII Fibrin Stabilizing Factor
MEKANISME KOAGULASI

Jalur Ekstrinsik Jalur Intrinsik Jalur Bersama


Lintasan intinsik melibatkan Pada lintasan terakhir yang
Disebut ekstrinsik karena
faktor XII, XI, IX, VIII dan X, sama, faktor Xa yang
tromboplastin jaringan
prekalikrein, kininogen dihasilkan oleh lintasan
(tissue faktor) berasal dari luar
dengan berat molekul tinggi/ intrinsic dak ekstrinsik,
darah. Lintasan ekstrinsik
High Molecular Weight akan mengaktifkan
melibatkan faktor jaringan,
Kininogen (HMWK), ion Ca2+ protrombin(II) menjadi
faktor VII,X serta Ca2+ dan
dan fosfolipid trombosit. thrombin (IIa) yang
menghasilkan faktor Xa
Lintasan ini membentuk kemudian mengubah
faktor Xa (aktif). fibrinogen menjadi fibrin
Sumbat Definitif // Kaskade Koagulasi
Mekanisme Pembekuan Darah
Mekanisme Koagulasi

Cell Based Coagulation


Anatomi Pembulu Darah
Hemophilia
●Dibedakan menjadi:
• Hemophilia A : defisiensi faktor VIII
• Hemophilia B : defisiensi faktor IX
• Hemophilia C : defisiensi faktor XI

● Hemophilia A dan B diturunkan secara X-linked


recessive (wanita sebagai pembawa sifat)
● Gejala dapat timbul sejak pasien bisa
merangkak (hemofilia berat)
Dasar diagnosis secara Klinis:
● Perdarahan sulit terhenti
● Mudah memar
● Hemothrosis ( Perdarahan sendi )
● Perdarahan GIT
● Perdarahan Intrakranial
Dasar diagnosis secara laboratorium:
• Platelet Count : normal
• Masa protrombin (PT): normal
• Masa tromboplastin parsial (APTT): memanjang

• Diagnosis pasti:
kadar faktor VIII atau faktor IX: rendah
Derajat Kadar faktor
(hemophilia A atau B) % aktifitas (IU/ml) Episode perdarahan

Perdarahan spontan,
Berat 1% (<0,01) (sendi, otot)

Perdarahan spontan sesekali.


Sedang 1%-5% (0,01-0,05) Perdarahan karena trauma atau
operasi biasa

Perdarahan masif setelah trauma


Ringan 5%-40% (0,05-0,40) berat atau operasi

WFH, 2005
Tata laksana

● Hentikan perdarahan
● Berikan faktor spesifik
konsentrat F VIII (hemofilia A)
konsentrat F IX (hemofilia B)
- dengan target kadar plasma 50-100 %
● Desmopressin (DDAVP)
● Cryoprecipitate
● Fresh Frozen Plasma
Penyakit Von Willebrand
Definisi

Von Willebrand Disease kelainan hemoragik yang diturunkan secara genetika dan klinis yang disebabkan oleh
defisiensi, yaitu faktor von Willebrand (VWB). Interaksi vWF yang rusak antara trombosit dan dinding
pembuluh darah mengakibatkan rusaknya hemostasis primer (Pollak, 2018).
Etiologi
Kelainan kronis yang ditandai dengan agregasi trombosit maupun pembekuan darah
tidak terjadi secara memadai. Kelainan adhesi trombosit mungkin karena kelainan
reseptor trombosit intrinsik atau kelainan/defisiensi molekul pelekat seperti FVW
(Sudoyo. 2009).
Gambaran Klinik
perdarahan gusi, hematuri, epistaksis, perdarahan saluran kemih, darah
dalam feses, mudah memar, menoragi.

Pasien PVW simtomatik, seperti pada gangguan fungsi trombosit lainnya,


biasanya tampil dengan perdarahan mukokutan, terutama epistaksis,
mudah memar, menoragi, perdarahan gusi dan gastrointestinal
(Sudoyo. 2009).
Hasil
Laboratorium

• Platelet Count normal


• APTT memanjang
• PT normal
• Tes Ristosetin terganggu
Penatalaksanaan
Pengelolaan segera

Fungsi trombosit yang abnormal sering yang pertama tampak sebagai


komplikasi penyakit akut atau pembedahan. Menghentikan obat yang
menghambat fungsi trombosit, Secara empiris memberikan FVW,
Transfusi trombosit yang normal, tergantung beratnya pendarahan
(Sudoyo. 2009).
Pengelolaan jangka panjang
a. Aspirin dan analgesik non steroid adalah offender primer, pasien-pasien PVW
dan trombasteni menunjukan pemanjangan bermakana BT dengan
pemberian aspirin dan merupakan risiko lebih besar terhadap pendarahan
klinis.
b. DDAVP adalah analog sintetik hormon antidiuretik, vasopresin. Pemberian
secara intravena merangsang pengeluaran FVW dari endotel agar FVW dan
faktor VIII:C cepat meningkat dalam plasma.
c. Penggantian FVW-dapat diperoleh dengan: tranfusi plasma segar atau
konsentrat plasma mengandung kompleks FVW-VIII.
Disseminated I n t r a v a s c u l a r
C o a g u l a t i o n (DIC)
DIC

Suatu sindrom kompleks


atas kondisi yang mendasari, Bermanifestasi sebagai
system homeostatis dan trombosis mikrovaskular,
fisiologisnya menjadi suatu hipoksia jaringan, dan
system patologik yang kerusakan organ
menyebabkan terbentuknya
thrombin fibrin difus yang
menyumbat mikrovaskular
tubuh.

Price, Sylvia Anderson dan Wilson, Lorraine M. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses Penyakit. Jakarta : EGC
Etiologi DIC

1. Respon inflamasi • Sepsis / infeksi berat


sistemik,
• Trauma yang menyebabkan
menyebabkan pelepasan tromboplastin
aktivasi sitokin

2. Pelepasan atau • Ka n ke r
pemaparan • P e r ma sa la h a n O b st e t r ic
bahan
• A bn or ma lit a s V a s ku la r
prokoagulan ke
dalam aliran
darah
Manisfestasi klinik DIC
Tanda
Perdarahan, kadang dari beberapa lokasi pada tubuh, adalah salah satu
dari gejala DIC. Perdarahan dari jaringan mukosa (pada mulut dan
hidung) serta perdarahan dari area eksternal lainnya dapat terjadi. Selain
itu, DIC dapat menyebabkan perdarahan internal.
Gejala :
1. Pembekuan darah
2. Berkurangnya tekanan darah
3. Mudah memar
4. Perdarahan pada rektum atau vagina
5. Bintik-bintik merah pada permukaan kulit (petechiae)
Diagnosa

● Adanya penyakit yang mendasari terjadinya DIC


● Pemanjangan waktu pembekuan ( PT , aPTT)
● Adanya hasil degadrasi fibrin di dalam plasma
● Rendahnya kadar penghambat koagulasi (AT III)
● Pemeriksaan trombosit < 100.000/mm3
Tatalaksana
1. Antikoagulan
- Heparin
● Dosis : 100 iu/kgBB bolus dilanjutkan 15-25 iu/kgBB/jam
(750-1250 iu/jam) kontinu.
● dosis selanjutnya disesuaikan untuk mencapai aPTT 1,5-
2 kali.
● kontrol low molecular weigth heparin dapat
menggantikan unfractionated heparin.
2. Plasma dan trombosit
- Pemberian bersifat selektif
- Trombosit diberikan hanya kepada pasien
KID dengan perdarahan atau pada
prosedur invasive dengan kecenderungan
perdarahan
- Pemberian plasma harus
dipertimbangkan, karena di dalam plasma
hanya berisi faktor-faktor pembekuan
tertentu saja, sementara pada pasien KID
terjadi gangguan seluruh faktor
pembekuan
3. Penghambat Pembekuan (AT III)
- Bermamfaat untuk pasien DIC tapi mahal.
- Direkomendasikan sebagai terapi substitusi bila
AT III<70%
● Dosis:
● Dosis awal 3000 iu (50 iu/kgBB) diikuti 1500 iu
setiap 8 jam dengan infus kontinu selama 3 – 5
hari.
● Rumus:
● 1) 1 iu x BB (kg) x ∆ AT III, dengan target AT III >
120%
● 2) ∆ AT III x 0,6 x BB (kg), dengan target AT III >
125%4.
3. Obat – obat Antifibrinolitik

Antifibrinolitik sangat efektif pada pasien


dengan perdarahan, tetapi pada pasien KID
pemberian antifibrinolitik tidak dianjurkan.
Karena obat ini akan menghambat proses
fibrinolisis sehingga fibrin yang terbentuk akan
semakin bertambah, akibatnya KID yang terjadi
akan semakin berat.
1. Asam aminokaproat (Amicar)
● Menghambat fibrinolisis melalui
penghambatan aktivator plasminogen zat pada
tingkat lebih rendah, melalui kegiatan
antiplasmin
● Dosis : Masuk 5-10 g IV perlahan, diteruskan 2-4
g/h IV, tidak melebihi 30 g/d
● Kontraindikasi : didokumentasikan
hipersensitivitas; bukti proses pembekuan
intravaskular aktif, karena asam aminokaproat
dapat berakibat fatal pada pasien dengan DIC
2. Asam traneksamat (Cyklokapron)
● Digunakan sebagai alternatif untuk asam
aminokaproat. Menghambat fibrinolisis dengan
menggusur plasminogen dari fibrin.
● Non Standar dosis: 25 mg / kg PO tid / qid, 1-2 g
IV q8-12h
● Kontraindikasi : Didokumentasikan
hipersensitivitas, DIC berkelanjutan dan
keterlibatan SSP
Thanks!
DO YOU HAVE ANY QUESTIONS ?

Hello!

Anda mungkin juga menyukai