Anda di halaman 1dari 28

REFERAT

PENDEKATAN DIAGNOSIS PADA PENDERITA


DENGAN GANGGUAN HEMOSTASIS

Pembimbing :

dr. Een Hendarsih, Sp. PD, KHOM, FINASIM

DisusunOleh :

Syafira Amelia Amir

201710401011048

SMF PENYAKIT DALAM RSU HAJI SURABAYA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2018
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
PENDEKATAN DIAGNOSIS PADA PENDERITA
DENGAN GANGGUAN HEMOSTASIS

Referat dengan judul “Pendekatan Diagnosis Pada Pasien dengan Gangguan


Hemostasis” telah diperiksa dan disetujui sebagai salah satu tugas dalam rangka
menyelesaikan studi kepaniteraan Dokter Muda di bagian SMF Penyakit Dalam RSU
haji Surabaya.

Surabaya, Mei 2018

Pembimbing

dr. Een Hendarsih, Sp. PD

KATA PENGANTAR

ii
Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayahnya sehingga penulis mampu menyelesaikan
Referat yang berjudul “Pendekatan Diagnosis Pada Pasien dengan Gangguan
Hemostasis”. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita
Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman yang gelap
gulita menuju zaman yang terang menderang seperti saat ini.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak, rekan sejawat, dan terutama dr. Een Hendarsih, Sp. PD, KHOM, FINASIM,
yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing sehingga referat ini dapat
terselesaikan dengan baik.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan referat ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat membuka diri terhadap kritik dan saran
yang membangun. Akhir kata, semoga referat ini dapat memberikan manfaat bagi
seluruh pembaca yang membutuhkannya.

Surabaya, Mei 2018

Penulis

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN....................................................................................i
iii
KATA PENGANTAR............................................................................................ii

DAFTAR ISI...........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................3

2.1. Dasar Hemostasis........................................................................................3

2.2. Sistem Koagulasi ........................................................................................8

2.3. Pemeriksaan Faal Hemostasis ....................................................................11

2.4. Penyakit Gangguan Hemostasis .................................................................18

2.4.1 Kelainan Vaskuler................................................................19

2.4.2 Kelainan Trombosit..............................................................21

2.4.3 Kelainan Pembekuan............................................................25

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................30

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Perdarahan adalah hilangnya darah dari sistem sirkulasi / sistem vaskular. Perdarahan
dapat terjadi secara internal maupun eksternal. Perdarahan internal terjadi ketika darah keluar
dari pembuluh darah namun masih berada di dalam tubuh. Perdarahan eksternal terjadi ketika
darah keluar dari pembuluh darah dan menembus kulit maupun mukosa. Perdarahan dapat
disebabkan oleh faktor lokal dan sistemik. Hemostasis melibatkan faktor intravaskular, faktor
ekstravaskular dan faktor vaskular. Faktor intravaskular antara lain platelet darah, kalsium
dan protein koagulasi. Faktor ekstravaskular antara lain metabolisme tubuh, sistem-sistem
organ, jaringan ikat, jaringan mukosa dan jaringan kutaneus. Faktor vaskular antara lain tipe,
ukuran dan lokasi pembuluh darah (Saleh, 2015).

Tubuh manusia seringkali mengalami robekan kapiler halus dan terkadang pemutusan
pembuluh darah yang lebih besar. Tubuh harus mampu menghentikan atau mengontrol
perdarahan yang timbul. Kontrol perdarahan oleh pembentukan bekuan darah disebut
hemostasis (Saleh, 2015). Hemostasis adalah suatu sistem dalam tubuh manusia yang terdiri
dari komponen seluler dan protein yang sangat terintegrasi. Fungsi utama hemostasis adalah
menjaga keenceran darah (blood fluidity) sehingga darah dapat mengalir dalam sirkulasi
dengan baik, serta membentuk thrombus sementara (temporary thrombus) atau disebut juga
hemostatic thrombus pada dinding pembuluh darah yang mengalami kerusakan (vascular
injury). Hemostasis terdiri dari enam komponen utama, yaitu: platelet, endotel vaskuler,
procoagulant plasma protein factors, natural anticoagulant proteins, protein fibrinolitik dan
protein antifibrinolitik. Hemostasis normal dapat dibagi menjadi dua tahap: yaitu hemostasis
primer (primary hemostasis) dan hemostasis sekunder (secondary hemostasis) (Bakta, 2007).

Hemostasis bukanlah suatu proses yang pasif melainkan suatu proses aktif dari sistem
vaskuler. Kematian dapat terjadi akibat ketidakmampuan untuk menghentikan perdarahan
atau mengkonversi darah ke bentuk padat. Jika sistem ini terganggu karena kelainan bawaan
(inherited) atau didapat (acquired), maka fungsi fisiologis dari sistem koagulasi akan
terganggu (Lembar et al., 2011).

Gangguan hemostasis adalah gangguan mekanisme dalam menghentikan dan


mencegah perdarahan. Jika terjadi luka pada pembuluh darah maka akan terjadi
vasokonstriksi pembuluh darah, kemudian trombosit berkumpul dan melekat pada pembuluh
darah yang luka membentuk sumbat trombosit. Faktor koagulasi akan dihentikan sehingga
1
terbentuk benang fibrin yang membuat sumbat trombosit menjadi non permeable, maka dari
itu perdarahan dapat dihentikan. Gangguan hemostasis terdiri dari BT, aPTT, PT dan TAT
(Astiawanti, 2008).

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dasar Hemostasis


Hemostasis adalah kemampuan alami untuk menghentikan perdarahan
pada lokasi luka oleh spasme pembuluh darah, adhesi trombosit dan
keterlibatan aktif faktor koagulasi, adanya koordinasi dari endotel pembuluh
darah, agregasi trombosit dan aktivasi jalur koagulasi. Fungsi utama
mekanisme koagulasi adalah menjaga fluiditas darah, sehingga darah dapat
mengalir dalam sirkulasi dengan baik serta membentuk thrombus sementara
pada dinding pembuluh darah yang mengalami kerusakan (Indrayani, 2008)
Pembentukan bekuan darah normal membutuhkan adanya platelet yang
cukup dan berfungsi normal, adhesive glikoprotein, dan sistem koagulasi yang
utuh (Saleh, 2015). Hemostasis normal dapat dibagi menjadi dua tahap: yaitu
hemostasis primer (primary hemostasis) dan hemostasis sekunder (secondary
hemostasis) (Bakta, 2007).
Pada hemostasis primer yang berperan adalah komponen vaskuler dan
komponen trombosit. Disini terbentuk sumbat trombosit (platelet plug) yang
berfungsi segera menutup kerusakan dinding pembuluh darah. Sedangkan
pada hemostasis sekunder yang berperan adalah protein pembekuan darah,
juga dibantu oleh trombosit. Disini terjadi deposisi fibrin pada sumbat
trombosit sehingga sumbat ini menjadi lebih kuat yang disebut sebagai stable
fibrin plug (Bakta, 2007).
Hemostasis sekunder meliputi interaksi faktor koagulasi plasma, terdiri
dari jalur intrinsik dan ekstrinsik yang akan bergabung menjadi jalur bersama
dengan hasil akhir fibrin yang memperkuat sumbat trombosit (Pardede, 2017).
Proses koagulasi pada hemostasis sekunder merupakan suatu rangkaian reaksi
dimana terjadi pengaktifan suatu prekursor protein (zymogen) menjadi bentuk
aktif. Bentuk aktif ini sebagian besar merupakan serine protease yang
memecah protein pada asam amino tertentu sehingga protein pembeku
tersebut menjadi aktif. Sebagai hasil akhir adalah pemecahan fibrinogen
menjadi fibrin yang akhirnya membentuk fibrin ikat silang (cross linked

3
fibrin). Proses ini jika dilihat secara skematik tampak sebagai suatu air terjun
(waterfall) atau sebagai suatu tangga (cascade) (Bakta, 2007)
Sistem vaskuler, sitem trombosit, sistem koagulasi, dan sistem
fibrinolisis harus bekerja sama dalam suatu proses yang berkeseimbangan dan
saling mengontrol untuk mendapatkan faal hemostasis yang baik. Kelebihan
atau kekurangan suatu komponen akan menyebabkan kelainan. Kelebihan
fungsi hemostasis akan menyebabkan thrombosis, sedangkan kekurangan faal
hemostasis akan menyebabkan perdarahan (hemorrhagic diathesis) (Bakta,
I.M., 2007)

Gambar 2.1 mekanisme hemostasis (Rosita, 2008)

4
2.2 Sistem Koagulasi
Faktor koagulasi atau faktor pembekuan darah adalah protein yang
terdapat dalam darah (plasma) yang berfungsi dalam proses koagulasi. Proses
pembekuan darah bertujuan untuk mengatasi vascular injury sehingga tidak
terjadi perdarahan berlebihan (Bakta, 2007).
Faktor-faktor koagulasi (Bakta, 2007):
a) Faktor Kontak Aktivasi, meliputi :
1. Faktor XII (Hageman factor), merupakan faktor plasma yang
berfungsi untuk mengaktifkan faktor XII dan PK
2. HMW Kininogen (high molcolar weight kininogen, Prekalikrein),
berfungsi untuk membawa faktor XII dan PK pada suatu permukaan
3. Faktor XI (PTA), sebagai antisenden tromboplastin plasma,
dibentuk di hati tetapi tidak memerlukan vitamin K. Berfungsi untuk
mengaktifkan faktor XII dan faktor IX
b) Vitamin K-dependent proenzymes, meliputi :
1. Faktor II (Prothrombin), disebut dengan protrombin, dibentuk di
hati dan memerlukan vitamin K. Faktor ini merupakan prekursor
enzim proteolitik tromion dan mungkin asselerator konversi
protrombin lain.
2. Faktor X (Stuart-Prower factor), dibuat di hati dan memerlukan
vitamin K. Berfungsi untuk mengaktifkan protrombin.
3. Faktor IX (Christmas factor), dibuat di hati dan memerlukan
vitamin K. Berfungsi untuk mengaktifkan faktor X.
4. Faktor VII (proconvertin), merupakan asselator koversi protrombin
serum, dibuat di hati dan memerlukan vitamin K dalam
pembentukannya. Faktor ini merupakan faktor yang mempercepat
perubahan protrombin. Berfungsi untuk mengaktifkan faktor IX dan
faktor X.
5. Protein C, berfungsi untuk menonaktifkan Faktor Va dan Faktor
VIIa.
c) Kofaktor, meliputi :
1. Faktor III(Tissue factor), berfungsi sebagai kofaktor untuk faktor
VII dan faktor VIIa.

5
2. Platelet procoagulant phospholipid (PF 3), berfungsi sebagai
kofaktor untuk faktor IXa dan faktor Xa.
3. Faktor VIII (anti hemophilic factor), berfungsi sebagai kofaktor
untuk faktor IXa.
4. Faktor V (proaccelerin), protein ini dibentuk oleh hati dan kadarnya
menurun pada penyakit hati. Faktor ini merupakan faktor plasma
yang mempercepat perubahan protrombin menjadi trombin.
Berfungsi sebagai kofaktor untuk faktor IXa.
5. Protein S, berfungsi sebagai kofaktor untuk protein C.
d) Faktor untuk deposisi fibrin, meliputi :
1. Faktor I (Fibrinogen), yakni suatu glikoprotein dengan berat
molekul 330.000 dalton, tersusun atas 3 rantai polipeptida. Kadar
fibrinogen meningkat pada keadaan yang memerlukan hemostasis
dan pada keadaan nonspesifik, misalnya inflamasi, kehamilan, dan
penyakit autoimun.
2. Faktor XIII (fibrin stabilizing factor), merupakan faktor untuk
menstabilkan fibrin, diproduksi di hati maupun megakariosit. Faktor
ini menimbulkan bekuan fibrin yang lebih kuat yang tidak larut
dalam urea.

Proses koagulasi dapat dimulai melalui dua jalur, yaitu jalur ekstrinsik
(extrinsic pathway) dan jalur intrinsik (intrinsic pathway). Jalur ekstrinsik dimulai
jika terjadi kerusakan vaskuler sehingga faktor jaringan (tissue factor) mengalami
pemaparan terhadap komponen darah dalam sirkulasi. Faktor jaringan dengan
bantuan kalsium menyebabkan aktivasi faktor VII menjadi FVIIa. Kompleks
FVIIa, tissue factor dan kalsium (disebut sebagai extrinsic tenase complex)
mengaktifkan faktor X menjadi FXa dan faktor IX menjadi FIXa. Jalur ekstrinsik
berlangsung pendek karena dihambat oleh tissue factor pathway inhibitor (TFPI).
Jadi jalur ekstrinsik hanya memulai proses koagulasi, begitu terbentuk sedikit
thrombin, maka thrombin akan mengaktifkan faktor IX menjadi FIXa lebih lanjut,
sehingga proses koagulasi dilanjutkan oleh jalur intrinsik. Jalur intrinsik dimulai
dengan adanya contact activation yang melibatkan faktor XII, prekalikrein dan
high molecular weigth kinninogen (HMWK) yang kemudian mengaktifkan faktor
IX. menjadi FIXa (Bakta, 2007).

6
Proses selanjutnya adalah pembentukan intrinsic tenase complex yang
melibatkan FIXa, FVIIIa, posfolipid dari PF3 (platelet factor 3) dan kalsium.
Intrinsic tenase complex akan mengaktifkan faktor X menjadi FXa. Langkah
berikutnya adalah pembentukan kompleks yang terdiri dari FXa, FVa, posfolipid
dari PF3 serta kalsium yang disebut sebagai prothrombinase complex yang
mengubah prothrombin menjadi thrombin yang selanjutnya memecah fibrinogen
menjadi fibrin. Thrombin mempunyai fungsi sentral dalam faal koagulasi, oleh
karena thrombin mempunyai berbagai macam fungsi (Bakta, 2007).

Gambar 2.2 Cascade Koagulasi (Rosita, 2008)

2.3 Pemeriksaan Faal Hemostasis

7
Pemeriksaan faal hemostasis adalah suatu pemeriksaan yang bertujuan untuk
mengetahui faal hemostasis serta kelainan yang terjadi. Pemeriksaan faal
hemostasis sangat penting dalam mendiagnosis diatesis hemoragik (kelainan
perdarahan). Pemeriksaan ini terdiri dari:

1) Anamnesis dan pemeriksaan fisik bertujuan untuk :


 Mencari riwayat perdarahan abnormal
 Mencari kelainan yang mengganggu faal hemostasis, misalnya
penyakit hati kronik, SLE (systemic lupus erythematosus), gagal
ginjal kronik, keganasan hematologik, dll.
 Riwayat pemakaian obat
 Riwayat perdarahan dalam keluarga (Bakta, 2007)
 Onset perdarahan
 Riwayat penyakit penyerta (Suryawan, 2017)
2) Tes Penyaring
Gangguan hemostasis dengan perdarahan abnormal dapat terjadi akibat :
 Kelainan vaskuler
 Trombositopenia atau gangguan fungsi trombosit
 Gangguan pembekuan darah (Bakta, 2007)

Uji sederhana banyak dilakukan untuk menilai trombosit, dinding


pembuluh darah, dan komponen koagulasi hemostasis. Beberapa uji yang
dilakukan diantaranya adalah :

a) Hitung darah dan pemeriksaan sediaan hapus darah


Penyebab lazim dari perdarahan abnormal ialah
Trombositopenia, sehingga pasien-pasien dengan kecurigaan kelainan
darah awalnya harus diperiksa hitung darahnya, termasuk hitung
trombosit dan pemeriksaan sediaan hapus darah. Selain untuk
memastikan adanya trombositopenia, tindakan ini dapat menemukan
penyebabnya, misalnya leukemia akut (Hoffbrand, 2012).
b) Uji skrining pembekuan darah
Uji ini untuk menilai sistem ekstrinsik dan intrinsik pembekuan
darah juga menilai perubahan sentral fibrinogen menjadi fibrin. Masa

8
protrombin (prothombin time, PT) berfungsi untuk mengukur faktor-
faktor VII, X, V, protrombin, dan fibrinogen (Hoffbrand, 2012)
Pemeriksaan ini berfungsi untuk menilai faktor koagulasi jalur
ekstrinsik dan jalur bersama yaitu faktor koagulasi V, VII, X,
protrombin, dan fibrinogen serta untuk memantau efek antikoagulan
oral. Prinsip pemeriksaan ini adalah mengukur lama terbentuknya
bekuan yaitu dengan cara plasma ditambah reagen tromboplastin
jaringan dan ion kalsium kemudian diinkubasi pada suhu 37° C. Nilai
rujukannya adalah 11 – 15 detik. Jika hasil PT memanjang maka
penyebabnya adanya defisiensi faktor koagulasi jalur ekstrinsik dan
jalur bersama serta adanya inhibitor (Astiawanti, 2008)
Masa tromboplastin parsial teraktivasi (the activated partial
thromboplastin, APTT) digunakan untuk mengukur faktor VIII, IX,
XI, dan XII selain faktor X, V, protrombin, dan fibrinogen (Hoffbrand,
2012). Pemeriksaan ini berfungsi untuk menguji faktor koagulasi jalur
intrinsik dan jalur bersama yaitu faktor koagulasi V, VIII, IX, XII,
prekalikren, kininogen, protrombin, dan fibrinogen. Prinsip
pemeriksaan ini adalah mengukur lama terbentuknya bekuan, yaitu
plasma ditambah reagen tromboplastin parsial dan aktivator serta ion
kalsium pada suhu 37° C. Reagen tromboplastin parsial merupakan
fosfolipid sebagai pengganti Platelet Factor. Nilai rujukan aPTT adalah
antara 20 – 40 detik. Hasil memanjang bila didapatkan defisiensi faktor
jalur intrinsik yaitu faktor V, fibrinogen dan jalur bersama faktor VIII
dan fibrinogen atau didapatkan inhibitor yaitu FDP ( fibrin 17
degradation product ). Jka terjadi peningkatan fibrinogen dan faktor
VIII maka aPTT memendek. Pemeriksaan ini dapat dipakai untuk
memantau pemberian heparin (Astiawanti, 2008).
Metode kimiawi, kromogenik, dan imunologik dilakukan untuk
pengukuran kuantitatif protein lain misalnya fibrinogen, VWF, dan
faktor VIII. Aktivitas faktor XIII dapat dinilai dengan pengujian
kelarutan bekuan dalam urea (Hoffbrand, 2012).
c) Bleeding Time (waktu perdarahan)

9
Bleeding Time (waktu perdarahan) adalah pemeriksaan yang
berguna untuk fungsi trombosit yang abnormal, termasuk diagnosis
defisiensi VWF (Von Willebrand Factor). Masa perdarahan juga
memanjang pada trombositopenia, tetapi normal pada perdarahan
abnormal yang disebabkan oleh vaskular (Hoffbrand, 2012)
Pemeriksa waktu perdarahan ini berfungsi untuk menilai
kemampuan vaskuler dan trombosit untuk menghentikan perdarahan.
Waktu perdarahan dipengaruhi oleh faktor trombosit, pembuluh darah,
faktor koagulasi. Pemeriksaan ini merupakan tes yang kurang
memuaskan karena tidak dapat dilakukan standarisasi tusukan baik
mengenai dalamnya, panjangnya, lokalisasinya, maupun arahnya
sehingga perbedaan korelasi antara hasil test ini dankeadaan klinik
tidak begitu baik (Astiawanti, 2008)
Prinsip pemeriksaan ini adalah menentukan lamanya waktu
perdarahan pada luka yang mengenai kapiler. Ada 2 macam cara
yaitu : cara Ivy dan Duke. Nilai rujukan : 1 – 3 menit. Pada
pemeriksaan ini tusukan harus dalam, sehingga dihasilkan bercak
darah pada kertas saring mempunyai diameter 5mm atau lebih
(Astiawanti, 2008)
d) Uji fungsi trombosit
Agregometri trombosit merupakan pemeriksaan yang paling
berguna untuk mengukur penurunan serapan cahaya dalam plasma
kaya trombosit sejalan dengan agregasi trombosit. Agregasi awal
(primer) disebabkan oleh suatu zat eksternal, agregasi sekunder adalah
respon terhadap zat penyebab agregasi yang dilepaskan dari trombosit
sendiri. Lima zat penyebab agregasi eksternal yang paling banyak
dipakai adalah ADP, kolagen, ristosetin, asam arakidonat, dan
adrenalin. Pola respon terhadap tiap zat membantu dalam menegakkan
diagnosis (Hoffbrand, 2012).
Bahan yang akan diperiksa adalah darah ditambah Na citrate
3,2% . Syarat bahan yang akan diperiksa adalah : tidak lipemik, tidak
ikterik. Faktor yang dapat mempengaruhi hasil TAT adalah : obat
antikoagulan, kadar trigliserida yang tinggi, bahan yang tidak segera

10
diperiksa, pola makan minum, antibiotik, profil lipid yang abnormal,
perokok, obat anti diabetik oral, obat anti hipertensi. Metoda test
agregasi trombosit ini berdasarkan perubahan transmisi cahaya. Agonis
yang dapat dipakai adalah ADP, kolagen, trombin, epinefrin,
riscocetin, serotonin, vasopressin, tetpi yang sering dipakai ADP
dengan konsentrsi 2, 5, 10 µM (Astiawanti, 2008).
Hasil TAT tidaka dapat dipercaya jika jumlah trombosit dalam
PRP tidak sama dengan 250.000 / mm3. Jumlah trombosit yang kurang
dari 100.000 / mm3 maka hasilnya akan bervariasi, sedangkan
trombosit lebih dari 400.000 / mm3 menyebabkan agregasi trombosit
menjadi lambat dan lemah. Pada PRP secara autometik diberi tanda H
(high) jika jumlah trombosit tinggi dan L ( low ) jika jumlah trombosit
rendah. Jika dijumpai keadaan seperi ini maka sample akan
dikeluarkan dari penelitian (Astiawanti, 2008)
e) Uji terhadap fibrinolisis
Pemendekan masa lisis bekuan euglobulin dapat mendeteksi
adanya peningkatan kadar aktivator plasminogen yang bersirkulasi.
Metode imunologik juga tersedia untuk mendeteksi produk pemecahan
fibrinogen atau fibrin dalam serum. Pada pasien yang mengalami
peningkatan fibrinolisis, dapat dideteksi kadar plasminogen dalam
darah yang rendah (Hoffbrand, 2012).
3) Tes Khusus
Tes khusus lanjutan, yaitu tes untuk mengetahui penyebab kelainan
faal hemostasis tersebut. Tes ini dilakukan sesuai petunjuk tes penyaring
yaitu: tes faal trombosit, tes Ristocetin, pengukuran faktor spesifik (faktor
pembekuan), dan pengukuran alpha-2 antiplasmin (Bakta, 2007).
2.4 Penyakit gangguan Hemostasis
Sebagaimana diketahui gangguan perdarahan dapat disebabkan oleh
kelainan vaskuler, trombosit dan sistem pembekuan darah. Tanda-tanda
tertentu yang spesifik dapat membantu menentukan penyebab gangguan
perdarahan. Tanda-tanda tersebut dapat dibagi atas 2 kelompok, yaitu tanda-
tanda yang lebih sering dijumpai pada kelainan vaskuler dan trombosit,

11
sedangkan kelompok lainnya yaitu tanda-tanda yang lebih sering dijumpai
pada gangguan pembekuan darah, seperti terlihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 2.1 Perbedaan Kelainan Pembekuan darah dan vaskular

(Ludong, 2014)
Kelainan vaskuler atau trombosit sering disebut kelainan purpura karena gejala
perdarahan pada kulit dan mukosa. Petechiae merupakan tanda spesifik untuk kelainan
vaskuler atau trombosit dan jarang dijumpai pada kelainan pembekuan darah. Lesi ini
merupakan perdarahan kapiler kecil, munculnya sekaligus dalam jumlah banyak begitu pula
menghilangnya. Pada kelainan purpura, petechiae sering dijumpai bersama ekhimosis
superfisial yang multipel.

Pada kelainan pembekuan darah, tanda yang karakteristik adalah hematoma yang
besar. Hematoma tersebut dapat timbul spontan atau setelah trauma ringan. Hemarthrosis
adalah perdarahan kedalam rongga sendi dan merupakan gejala yang diagnostik untuk
kelainan pembekuan darah yang bersifat bawaan. Sering tanpa perubahan warna kulit,
sehingga gejalanya seperti artritis.

Pada kelainan trombosit atau vaskuler, perdarahan terjadi segera setelah trauma.
Walaupun darah yang keluar tidak sebanyak pada kelainan pembekuan darah, tetapi dapat
berlangsung lama sampai berhari-hari. Perdarahan spontan seperti menorhagia, metrorhagia,
hematuria, hematemesis, melena dan epistaksis dapat terjadi pada kelainan purpura maupun
kelainan pembekuan darah, sedangkan hemoptisis jarang terjadi karena gangguan perdarahan.

12
2.4.1 Kelainan vaskuler (Ludong, 2014)
Perdarahan abnormal dapat terjadi akibat berbagai kelainan sistem vaskuler
baik herediter maupun didapat. Biasanya merupakan perdarahan kulit ringan dan
berlangsung kurang lebih 48 jam.
Penyebab kelainan ini bisa karena:
 Struktur pembuluh darah yang abnormal
 Adanya proses radang atau reaksi imun
 Jaringan perivaskuler yang abnormal.
Pemeriksaan laboratorium:
 Masa perdarahan mungkin memanjang atau normal
 Percobaan pembendungan bisa positif atau negatif
 Pemeriksaan lainnya normal
Kelainan vaskuler yang bersifat herediter:
1. Hereditary hemorrhagic telangiectasia
Penyakit ini diturunkan secara autosom dominan. Pada penyakit ini dinding kapiler
dan arteriol hanya terdiri dari lapisan endotel yang tipis, sehingga terjadi pelebaran dan
mudah berdarah. Karena tidak dapat berkontraksi dengan baik maka perdarahan sering
berlangsung lama. Kelainan ini sering terlihat pada kulit dan mukosa mulut serta hidung.
Gejala yang sering dijumpai adalah epistaksis. Pada penyakit ini, percobaan
pembendungan dan masa perdarahan biasanya normal.
2. Ehlers-Danlos syndrome, akibat kelainan jaringan kolagen
3. Osteogenesis imperfecta, akibat kelainan jaringan kolagen
4. Pseudoxantoma elasticum yakni kelainan jaringan elastin
Pada penyakit-penyakit ini, fragilitas vaskuler meningkat sehingga sering terjadi perdarahan
yang merupakan penyulit dalam klinik.
Kelainan vaskuler yang didapat:
a. Henoch Schonlein Syndrome
Kelainan ini dasarnya adalah reaksi hipersensitivitas yang menimbulkan peradangan
akut yang meluas pada kapiler dan arteri kecil. Hal ini mengakibatkan permiabilitas
vaskuler meningkat sehingga terjadi perdarahan ke jaringan. Secara klinik tampak
sebagai keadaan akut yang ditandai dengan macular rash, purpura, sakit sendi, sakit perut
dan hematuria. Purpura terutama dijumpai pada daerah punggung, pantat, siku, tungkai
dan kaki. Penyakit ini bersifat self limited dan biasanya terjadi pada anak walaupun dapat

13
dijumpai pada orang dewasa. Sering kali menyertai infeksi saluran nafas bagian atas oleh
streptokok beta hemolitikus grup A atau setelah minum obat-obat tertentu.
b. Purpura senilis
Kelainan ini dijumpai pada orang berusia lanjut. Purpura biasanya dijumpai pada
bagian ekstensor lengan dan tangan. Kulit pada tempat yang terkena bersifat tidak
elastik, halus dan licin karena degenerasi dan kehilangan jaringan kolagen, elastin dan
lemak.
c. Purpura karena kortikosteroid
Purpura sering dijumpai pada penyakit Cushing dan penderita yang mendapat
kortikosteroid dosis tinggi dalam waktu lama. Dasarnya adalah karena kehilangan
jaringan subkutan yang merupakan jaringan penunjang pembuluh darah.
d. Purpura simpleks
Kelainan ini sering dijumpai pada wanita dalam masa menstruasi dan tampak sebagai
lebam kebiruan pada kulit. Penyebabnya tidak jelas, mungkin karena peningkatan
fragilitas pembuluh darah di kulit. Tidak dijumpai kelainan baik pada masa perdarahan
maupun percobaan pembendungan.
e. Scurvy
Penyebabnya adalah kekurangan vitamin C yang mengakibatkan gangguan
pembentukan kolagen. Akibatnya fragilitas vaskuler meningkat dan gambaran kliniknya
adalah petekhiae dan ekhimosis. Biasanya petekhiae bersifat perifolikuler, yaitu sekitar
folikel rambut. Masa perdarahan biasanya memanjang dan percobaan pembendungan
positif.
f. Purpura karena obat-obatan
Beberapa obat-oabatan dapat menimbulkan purpura dan gejalanya menghilang setelah
pemakaian obat dihentikan. Patofisiologinya tidak jelas, kemungkinan dasarnya
idosinkrasi individual.
g. Purpura karena infeksi
Beberapa penyebab infeksi seperti virus, riketsia, meningkokus dan toksin bakteri
dapat menyebabkan kerusakan endotel vaskuler. Pada endokarditis bakterial purpura
disebabkan emboli pada mikrovaskuler. Pada beberapa keadaan terjadi juga
trombositopenia dan disseminated intravascular coagulation.
h. Purpura mekanik

14
Kontraksi otot yang berlebihan seperti pada pertusis dan kejang-kejang akan
meningkatkan tekanan intrakapiler sehingga terjadi ekstravasasi darah. Purpura dijumpai
pada daerah leher, kepala dan ekstremitas atas. Purpura ortostatik yang timbul karean
mekanisme yang sama adalah purpura dikaki pada orang yang berdiri terlalu lama.
i. Purpura yang dihubungkan dengan paraproteinnemia.
Kerusakan vaskuler merupakan akibat langsung atau tidak langsung dari protein
abnormal. Hal yang sama juga terjadi pada cryoglobulin dan macroglobulinemia
waldenstrom’s.
2.4.2 Kelainan Trombosit (Ludong, 2014)
Kelainan trombosit dapat bersifat kwantitatif (kelainan jumlah) dan kwalitatif
(kelainan fungsi)
2.4.2.1 Kelainan Jumlah Trombosit, dibagi menjadi dua yakni trombositopenia dan
trombositosis
Trombositopenia, yakni suatu keadaan dimana jumlah trombosit kurang dari
normal, hal ini dapat disebabkan oleh produksi yang berkurang, destruksi atau
pemakaian yang meningkat dan pooling yang meningkat
 Produksi yang berkurang
Keadaan ini dapat disebabkan karena jumlah megakariosit dalam
sumsum tulang berkurang atau trombopoiesis inefektif. Jumlah
megakariosit dalam sumsum tulang berkurang misalnya pada anemia
aplastik, leukemia atau bila jaringan sumsum tulang diganti oleh
jaringan tumor. Trombopoiesis yang inefektif terjadi pada anemia
megaloblastik.
 Destruksi meningkat
Peningkatan destruksi trombosit dapat dijumpai pada:
 Idiopathic thrombocytopeniac purpura
Idiopathic thrombocytopeniac purpura (ITP) adalah suatu keadaan
dimana terjadi destruksi trombosit yang meningkat tanpa diketahui
penyebabnya (idiopatik), sehingga diagnosis ditegakkan setelah
menyingkirkan penyebab trombositopenia yang lain. Pada
pemeriksaan sumsum tulang terlihat adanya megakariosit yang
normal atau meningkat dan hal ini adalah merupakan salah satu
kriteria diagnosis.

15
Penyakit ini ada dua bentuk yaitu
 Idiopathic thrombocytopeniac purpura akut
Keadaan ini biasanya mengenai anak-anak, baik laki-laki
maupun perempuan dan sering didahului oleh infeksi virus
beberapa minggu sebelumnya. Gejala yang muncul seperti
perdarahan pada mukosa yang timbul mendadak, jumlah
trombosit biasanya kurang dari 20.000/mL, pada
pemeriksaan sumsum tulang dijumpai jumlah megakariosit
normal atau meningkat tetapi tidak membentuk trombosit.
Mekanisme terjadinya trombositopenia belum diketahui
dengan jelas, tetapi bukti-bukti menunjukkan bahwa
destruksi trombosit terjadi akibat proses imunologik,
karena itu ada yang memakai istilah immune
thrombocytopenia. Diduga terdapat antibodi terhadap virus
yang kemudian membentuk kompleks imun lalu melekat
pada trombosit. Trombosit yang melekat pada kompleks
imun ini segera dihancurkan di RES. ITP akut bersifat self
limited.
 Idiopathic thrombocytopeniac purpura kronik
Kelainan ini timbulnya perlahan-lahan dan dapat
berlangsung bertahun-tahun. Gejalanya berupa perdarahan
pada kulit dan mukosa. Bentuk ini mengenai dewasa muda
dan lebih sering dijumpai pada wanita dari pada pria. ITP
kronik sering dihubungkan dengan penyakit kolagen seperti
sistemik lupus eritematosus dan rheumatoid artritis serta
berbagai kelainan limfoproliferatif. Pengobatannya
ditujukan untuk mengurang antibodi dan mengurangi
destruksi trombosit. Obat yang dipakai adalah
immunosuppresive dan kortikosteroid . Bila perlu
dilakukan splenektomi.
 Drug induced thrombocytopenia
 Isoimmune thrombocytopenia
Peningkatan konsumsi trombosit dijumpai pada:

16
 Thrombotic thrombocytopenia purpura
Pada keadaan ini, oleh mekamnisme yang belum jelas trombosit
beragregasi membentuk mikrotrombus yang akan menimbulkan
sumbatan pada mikrovaskuler sehingga organ-organ mengalami
iskemia. Akibat pemakaian yang meningkat, terjadi
trombositopenia dengan gejala purpura.
 Pooling meningkat
Pada keadaan normal kira-kira 1/3 dari jumlah trombosit mengalami
sekuestrasi di limpa. Pada keadaaan yang disertai splenomegali,
trombosit yang mengalami sekuestrasi di dalam limpa meningkat,
sehingga jumlah trombosit yang beredar berkurang. Pada keadaan ini
destruksi trombosit juga meningkat.
Trombositosis
Trombositosis adalah keadaan dimana jumlah trombosit dalam darah
meningkat. Hal ini dapat terjadi karena proses fisiologik atau patologik.
Trombositosis fisiologik terjadi setelah pemberian epinefrin atau setelah kerja
jasmani.
2.4.2.2 Kelainan Fungsi Trombosit
Kelainan fungsi trombosit yang herediter
- Trombastenia
Disebut juga Glanzmann’s thrombasthenia. Penyakit ini diturunkan
secara autosom dominan. Diduga penyebabnya adalah kekurangan
glikoprotein IIb dan IIIa dan fibrinogen dari trombosit. Gejala seperti
epistaksis, menorrhagia, perdarahan gusi, ekimosis. Pada pemeriksaan
laboratorium ditemukan jumlah dan morfologi trombosit normal, masa
perdarahan memanjang, retraksi bekuan abnormal, adhesi trombosit
abnormal dan agregasi trombosit terhadap ADP, kolagen, trombin abnormal
kecuali terhadap ristosetin.
- Sindroma Bernard Soulier
Kelainan ini juga diturunkan secara autosom dominan. Diduga
kelainan ini akibat adanya kekurangan glikoprotein Ib pada memberan
trombosit. Gejala berupa perdarahan kulit dan mukosa seperti epistaksis,
menorrhagia dan perdarahan traktus gastrointestinalis. Pada pemeriksaan

17
laboratorium, dijumpai trombositopenia derajat sedang dengan trombosit
yang besar. Masa perdarahan memanjang tetapi retraksi bekuan normal.
Agregasi trombosit terhadap ADP, epinefrinn, kolagen dan trombin normal,
tetapi terhadap ristosetin abnormal. Gangguan agregasi terhadap ristosetin
ini tidak dapat diperbaiki dengan penambahan plasma normal maupun
faktor VIII .
- Penyakit von Willebrand’s
Penyakit ini diturunkan secara autosom dominan. Gangguan
perdarahan biasanya mulai sejak masa anak-anak dan menjadi lebih ringan
setelah pasien dewasa. Gejala perdarahan pada kulit dari ringan sampai
berat. Pemeriksaan laboratorium, masa perdarahan memanjang, adhesi
trombosit terganggu, agregasi terhadap ristosetin abnormal, aktivitas F VIII
berkurang. Penyebab pada kelainan ini adalah adanya klekurangan faktor
von Willebrand’s yang dibentuk oleh sel endotel dan diperlukan pada
proses adhesi trombosit. Faktor ini juga berfungsi sebagai protein pembawa
F VIII, karena itu pada penyakit ini aktivitas F VIII juga berkurang.
- Gangguan penglepasan
Gangguan ini mungkin disebabkan oleh berkurangnya ADP di pool
penyimpanan atau ketidak mampuan untuk penglepasan ADP.
Kelainan fungsi trombosit yang didapat
Keadaan ini bisa terdapat pada:
 Gangguan mieloproliferatif
 Uremia
 Paraproteinemia
 Peningkatan FDP
 Akibat obat-obatan
2.4.3 Kelainan faktor pembekuan (Ludong, 2014)
Kelainan yang bersifat bawaan
Pada umumnya merupakan kekurangan dari satu faktor pembekuan darah.
Berdasarkan cara diturunkannya kelainan ini dapat dikelompokkan menjadi:
a. X-linked resesif :
 Hemofilia A

18
Kelainan ini merupakan kelainan pembekuan darah bersifat bawaaan
yang paling sering dijumpai. Kelainan ini diturunkan secara X-linked
recessive, jadi gen yang abnormal terletak pada kromosom X. Oleh karena
itu gejala klinik tampak pada laki-laki, sedang wanita merupakan carrier.
Pada wanita gejala klinik tampak bila homozigot atau kedua kromosomnya
abnormal. Jadi bila ibu carrier dan bapaknya penderita hemofilia anak
perempuannya kemungkinan dapat menderita hemofilia.
Selama bertahun-tahun diduga bahwa hemofilia disebabkan
kekurangan F VIII, tetapi kemudian diketahui bahwa hemofilia juga
mungkin terjadi akibat gangguan fungsi F VIII. Pada pemeriksaan secara
imunologik untuk mendeteksi F VIII pada penderita hemofilia mungkin
diperoleh hasil positif atau negatif. Penderita hemofilia yang memberikan
hasil positif disebut Cross Reacting Material positif (CRM +). Hal ini
menunjukkan bahwa pada penderita tersebut dapat dideteksi F VIII, jadi
penyebab penyakitnya adalah gangguan fungsi F VIII. Sedang yang
memberi hasil negatif atau Cross Reacting Material negatif (CRM -),
menunjukkan bahwa F VIII tidak dapat dideteksi.
Gejala yang muncul yakni hematoma mulai terlihat setelah anak aktif
bergerak. Gejala yang khas adalah perdarahan dalam rongga sendi atau
hemarthrosis, hematoma yang luas. Hemarthrosis sering mengenai sendi
lutut dan dapat mengakibatkan ankilosis.
Berdasarkan beratnya gejala klinik dan aktivitas F VIII, hemofilia
dapat dibagi atas berat, sedang dan ringan.
 Hemofilia berat, aktivitas F VIII kurang dari 2 % dan perdarahan
spontan yang berat dapat timbul pada usia anak-anak.
 Hemofilia sedang, aktivitas F VIII berkisar antara 2 – 5 %. Perdarahan
spontan dan hemarthrosis jarang tetapi dapat terjadi perdarahan berat
setelah trauma ringan.
 Hemofilia ringan, aktivitas F VIII berkisar antara 5 – 20 % dan
perdarahan biasanya terjadi setelah trauma.
Pada pemeriksaan laboratorium akan diperoleh masa tromboplastin
parsial teraktivasi (APTT) memanjang. Masa pembekuan darah hanya
memanjang bila aktivitas F VIII kurang dari 1 %. Pada pemeriksaan

19
thrombopalstin generation test hasilnya abnormal bila dipakai plasma dari
penderita, sedangkan dengan serum penderita hasilnya normal. Pemeriksaan
masa protrombin plasma dan masa trombin hasilnya normal. Pada
penetapan aktivitas F VIII akan diperoleh hasil yang rendah.
Prinsip pengobatan pada kelainan ini adalah pemberian F VIII yang
dapat berasal dari Fresh Frozen Plasma atau Cryoprecipitate atau dalam
bentuk lyophilized.
 Hemofilia B
Dibandingkan dengan hemofilia A, kelainan ini lebih jarang
ditemukan. Kelainan ini juga diturunkan secara X-linked recessive dan
gambaran kliniknya mirip Hemofilia A.
Seperti hemofilia A, penyakit ini ada yang disebabkan gangguan
fungsional F IX (CRM +) dan ada yang karena defisiensi F IX (CRM -).
Pada pemeriksaan laboratorium juga dijumpai masa tromboplastin parsial
teraktivasi (APTT) yang memanjang, masaprotrombin plasma dan masa
trombin normal. Untuk membedakan dengan hemofilia A dilakukan
pemeriksaan Thromboplastin Genetation Test (TGT). Pada Hemofilia B,
TGT berhasil abnormal bila dipakai serum penderita.
b. Autosom dominan :
 Penyakit von Willebrand’s
Kelainan ini diturunkan secara autosom dominan. Penyebabnya adalah
kekurangan faktor von Willebrand’s. Faktor ini dibentuk di sel endotel dan
megakariosit dan merupakan protein carrier bagi F VIII, sehingga pada
penyakit ini, F VIII juga kurang. Faktor von Willebrand’s berperan pada
proses adhesi trombosit, karena itu pada penyakit ini terdapat gangguan
fungsi adhesi.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan masa perdarahan
memanjang, adhesi trombosit abnormal, agregasi trombosit terhadap
ristocetin abnormal dan masa tromboplastin parsial teraktivasi memanjang.
 Dysfibrinogenemia
Kelainan ini diturunkan secara autosomal dominan dan meliputi
bermacam-macam fibrinogen abnormal yang diberi nama menurut kota
tempat pertama kali ditemukan. Pada kelainan ini kadar fibrinogen normal

20
bila ditentukan dengan cara presipitat atau imunologik. Tetapi secara
koagulasi hasilnya abnormal. Ini disebabkan kelainan kwalitatif molekul
fibrinogen yang dapat berupa gangguan penglepasan fibrinopeptida
misalnya fibrinogen Baltimore, gangguan polemerisasi misalnya fibrinogen
Detroit atau gangguan pembentukan ikatan cross link misalnya fibrinogen
Oklahoma. Pada dysfibrinogenemia, hasil pemeriksaan masa trombin (TT)
memanjang dan penetapan kadar fibrinogen cara Clauss memberi hasil
memanjang.
c. Autosom Resesif
 Afibrinogenemia, hipofibrinogenemia
 Defisisiensi protrombin
 Defisiensi F V
 Defisiensi F VII
 Defisiensi F X
 Defisiensi F XI
 Defisiensi F XII
 Defisiensi F XIII
Kelainan Pembekuan yang didapat
 Defisiensi faktor pembekuan yang tergantung vitamin K
Vitamin K adalah vitamin yang larut dalam lemak sehingga untuk penyerapan
memerlukan garam empedu. Terdapat 2 bentuk vitamin K, yaitu: Vitamin K1 dan
Vitamin K2.
Vitamin K berfungsi untuk karboksilasi yaitu pada tahap akhir pembentukan
protrombin, F VII, IX dan X. bila terdapat kekurangan vitamin K, karboksilasi tidak
terjadi sehingga yang terbentuk adalah protein-protein yang mirip dengan protrombin,
F VII, IX dan X tetapi tidak berfungsi. Protein-protein ini disebut “protein induced by
vitamin K absence or antagonist” (PIVKA).
Defisiensi faktor pembekuan yang memerlukan vitamin K dapat terjadi pada:
Bayi baru lahir (haemorhagic disease of the newborn), Obstruksi bilier dan
Malabsorbsi vitamin K atau yang menghambat flora usus.
 Penyakit hati
Hampir semua faktor pembekuan dibentuk di hati, kecuali ion Ca, faktor
jaringan dan F XIII. Selain faktor pembekuan, antitrombin III, protein C, protein S
21
dan antiplasmin juga dibentuk di hati. Disamping itu hati juga berperan untuk
membersihkan aliran darah dari faktor pembekuan yang aktif, FDP dan aktivator
plasminogen ( clearance mechanism ).
 Inhibitor pembekuan yang patologik
Terdapat 2 macam inhibitor pembekuan yang patologik yaitu: inhibitor
spesifik, yang hanya menghambat satu jenis faktor pembekuan dan inhibitor
nonspesifik, menghambat bukan hanya satu faktor pembekuan.
Inhibitor spesifik, biasanya hanya menghambat satu jenis faktor pembekuan
misalnya terhadap F VIII, gejala klinik disertai dengan perdarahan. Inhibitor
nonspesifik menghambat lebih dari satu faktor pembekuan seperti misalnya inhibitor
lupus, gejala klinik biasanya tidak disertai dengan gejala perdarahan. Inhibitor lupus
dapat menimbulkan perdarahan bila disertai dengan kelainan lain misalnya defisiensi
protrombin. Adanya inhibitor ini akan memnyebabkan pemanjangan tes koagulasi.
Untuk membedakan dengan defisiensi suatu faktor pembekuan, dilakukan mixing
studies, yaitu plasma penderita dicampur dengan plasma kontrol lalu dilakukan lagi
tes koagulasi. Bila hasilnya tetap memanjang, berarti terdapat inhibitor. Sebaliknya
bila hasilnya membaik, berarti terdapat defisiensi. Pada waktu melakukan mixing
studies perlu dilakukan inkubasi, sebab ada inhibitor yang aktivitasnya dipengaruhi
oleh suhu dan waktu.
 Disseminated intravascular coagulation
DIC adalah suatu kelainan hemostasis yang disebabkan berkurangnya faktor
pembekuan dan trombosit akibat konsumsi yang meningkat. Peningkatan konsumsi
ini terjadi sebagai akibat pembentukan pembentukan bekuan-bekuan di dalam
pembuluh darah kecil di seluruh tubuh.
Berbagai keadaan yang dapat mencetus DIC seperti solusio plasenta, kematian
janin dalam kandungan, emboli cairan ketuban, sepsis, infeksi kuman Gram negatif,
infeksi virus, ketidak sesuaian golongan darah, luka bakar, leukemia akut (M3),
trauma yang luas, renjatan dan gigitan ular.
Mekanisme aktivasi sistem pembekuan darah pada DIC dapat terjadi melalui
jalur intrinsik, ekstrinsik maupun melalui masuknya enzim proteolitik ke dalam darah
yang dapat langsung mengaktifkan F X, protrombin maupun fibrinogen. Pembentukan
bekuanakan diikuti dengan proses fibrinolisis yang akan menghasilkan D-dimer yaitu
hasil pemecahan fibrin oleh plasmin. D-dimer termasuk dalam fibrin degradation

22
products (FDP). FDP dapat mengganggu fungsi trombosit dan faktor pembekuan
darah sehingga dapat memperberat perdarahan. Adanya bekuan fibrin di dalam
pembuluh darah kecil menyebabkan eritrosit yang melewatinya akan pecah sehingga
pada sediaan apus darah tepi akan dijumpai fragmentosit.
DIC dapat terjadi akut atau kronik, DIC kronik bisa tgerjadi bila aktivasi
terjadi sedikitsedikit. Hasil pemeriksaan laboratorium pada DIC akut menunjukkan
pemanjangan tes-tes koagulasi seperti masa trombin, masa protrombin plasma dan
masa tromboplastin parsial teraktivasi dan penurunan kadar fibrinogen dan jumlah
trombosit serta peningkatan Ddimer. Pemeriksaan laboratorium pada DIC kronik
hanya didapatkan hasil D-dimer yang positif, sedangkan pemeriksaan lainnya normal.
Hal ini disebabkan tubuh sudah dapat mengadakan kompensasi terhadap konsumsi
yang meningkat, sehingga tidak dijumpai penurunan faktor pembekuan atau
trombosit, hanya dijumpai peningkatan D-dimer.
 Fibrinogenolisis
Fibrinogenolisis atau fibrinolisis primer adalah penghancuran fibrinogen oleh
plasmin. Hal ini dapat terjadi karena kekurangan antiplasmin untuk menetralkan
plasminogen aktivator atau banyaknya plasminogen aktivatormasuk ke peredaran
darah misalnya masuknya urokinase pada operasi traktus urinarius. Pada pemeriksaan
laboratorium ditemukan penurunan kadar fibrinogen, F V dan VIII, pemanjangan
masa trombin, masa protrombin plasma dan masa tromboplastin parsial teraktivasi.
Ditemukan pemendekan masa lisis bekuan euglobulin, peningkatanm FDP tetapi
jumlah trombosit tidak menurun, fragmentosit dan D-dimer negatif.

23
DAFTAR PUSTAKA
1. Astiawanti P. Perbedaan Pola Gangguan Hemostasis Pada Penyakit Ginjal Kronik dengan
Diabetes Millitus. Universitas Dipenogoro Semarang. 2008. Pp : 13-18
2. Bakta M. Thrombosis Dan Usia Lanjut. Divisi Hematologi Dan Onkologi Medik Bagian
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rs Sanglah, Denpasar. 2007.
Jurnal Penyakit Dalam. Vol (8). No. 2. Pp : 148-160
3. Hoffbrand, J.E. Pettit dan P.A.H. Moss. (2012). Kapita Selekta Hematologi Ed. 4. Jakarta :
EGC.
4. Indrayani. Simposium Hemostasis Urinalisa. 2008. Yogyakarta: UGM.
5. Lembar, S., Bororing, S., Then, Z.&Kurniawan, W.2011. Hematologi. Jakarta: WIMI.
6. Ludong M. Kelainan Fungsi Hemostasis. Bagian Patologi Klinik, Universitas
Tarumanegara. 2014.
7. Pardede D. Uji Koagulasi Point-of-Care Perioperatif. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2017. Vol (44). No. 5. Pp : 367-374
8. Rosita L. Hemostasis dan Mekanisme Penjendalan Darah. Universitas Islam Indonesia. 2008.
Pp : 11-15
9. Saleh E. Perdaharan Post Operatif dari Ekstraksi Gigi. Pendidikan Dokter Gigi Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta. 2015. Pp : 2-10
10. Suryawan N. Tatalaksana Perdarahan pada Anak. Health and Medicine. 2017.

24

Anda mungkin juga menyukai