Anda di halaman 1dari 22

Emergency Trauma Life Support Fak.

Kedokteran Unmuh Malang

BAB IV
TRAUMA TORAKS

Tujuan :

Setelah menyelesaikan topik ini, peserta kursus mampu


mengidentifikasi dan melakukan terapi awal trauma toraks yang
sering ditemukan dan bersifat mengancam nyawa.

Secara, khusus :

A. Dapat melakukan identifikasi dan terapi awal jenis trauma yang


ditemukan pada primary survey :

1. Sumbatan airway
2. Tension Pneumothoraks
3. Pneumotoraks terbuka
4. Flail Chest
5. Hemotoraks masif
6. Tamponade jantung

B. Identifikasi dan terapi awal trauma dibawah ini selama secondary


survey :
1. Pneumotoraks sederhana
2. Hemotoraks
3. Kontusio paru
4. Trauma Trakeobronkial
5. Trauma tumpul jantung
6. Traumatic Aortic Disruption
7. Traumatic Diaphragmatic Injury
8. Mediastinal Traversing Wounds

C. Mengenal indikasi, komplikasi dan mampu mendemonstrasikan


hal-hal di bawah ini :

1. Dekompresi toraks dengan jarum


2. Pemasangan selang dada
3. Perikardiosintesis

78
Emergency Trauma Life Support Fak. Kedokteran Unmuh Malang

I. PENDAHULUAN

A. Insiden

Secara keseluruhan angka mortalitas trauma toraks adalah 10%,


dimana trauma toraks menyebabkan satu dari empat kematian
karena trauma yang terjadi di Amerika Utara. Banyak penderita
meninggal setelah sampai dirumah sakit, dan banyak kematian ini
seharusnya dapat dicegah dengan meningkatkan kemampuan
diagnostik dan terapi. Kurang dari 10% dari trauma tumpul toraks
dan hanya 15 - 30% dari trauma tembus toraks yang
membutuhkan tindakan torakotomi. Mayoritas kasus trauma toraks
dapat diatasi dengan teknik prosedur yang akan diperoleh oleh
dokter yang mengikuti kursus ini.

B. Patofisiologi

Hipoksia, hiperkarbia dan asidosis sering disebabkan oleh trauma


toraks. Hipoksia jaringan merupakan akibat dari tidak adekuatnya
pengangkutan oksigen ke jaringan oleh karena hipovolemia
(kehilangan darah), pulmonary ventilation/perfusion mismatch
(contoh kontusio, hematoma, kolaps alveolus) dan perubahan
dalam tekanan intratoraks (contoh : tension pneumothorax,
pneumotoraks terbuka). Hiperkarbia lebih sering disebabkan oleh
tidak adekuatnya ventilasi akibat perubahan tekanan intratoraks
atau penurunan tingkat kesadaran. Asidosis metabolik disebabkan
oleh hipoperfusi dari jaringan (syok).

C. Initial Assessment dan pengelolaan

1. Pengelolaan penderita terdiri dari


a. Primary survey
b. Resusitasi fungsi vital
c. Secondary survey yang rinci
d. Perawatan definitif
2. Karena hipoksia adalah masalah yang sangat serius pada
trauma toraks, intervensi dini perlu dilakukan untuk pencegahan
dan mengoreksinya.
3. Trauma yang bersifat mengancam nyawa secara langsung
dilakukan 2terapi secepat dan sesederhana mungkin.
4. Kebanyakan kasus trauma toraks yang mengancam nyawa di
terapi dengan mengontrol airway (airway) atau melakukan

79
Emergency Trauma Life Support Fak. Kedokteran Unmuh Malang

pemasangan selang toraks atau dekompresi toraks dengan


jarum.
5. Secondary survey membutuhkan riwayat trauma dan
kewaspadaan yang tinggi terhadap adanya trauma-trauma
yang bersifat khusus.

II. PRIMARY SURVEY : TRAUMA YANG MENGANCAM NYAWA

Primary survey pada penderita trauma toraks dimulai dengan airway.


Masalah utama harus dikoreksi begitu teridentifikasi.

A. Airway

Trauma utama pada airway harus dikenal dan diketahui selama


primary survey. Patensi airway dan ventilasi harus dinilai dengan
mendengarkan gerakan udara pada hidung penderita, mulut dan
dada serta dengan inspeksi pada daerah orofaring untuk sumbatan
airway oleh benda asing, dan dengan mengobservasi retraksi otot-
otot interkostal dan supraklavikular.
Trauma laring dapat bersamaan dengan trauma toraks.
Walaupun gejala klinis yang ada kadang tidak jelas, sumbatan airway
karena trauma laring merupakan cedera yang mengancam nyawa.
Beberapa kondisi yang tidak biasa mungkin timbul pada penderita
dengan trauma skeletal yang menyebabkan gangguan bermakna
pada airway dan pernafasan penderita. Trauma pada dada bagian
atas, menyebabkan dislokasi ke arah posterior atau fraktur dislokasi
dari sendi sternoklavikular, dan dapat menimbulkan sumbatan airway
atas, juga terjadi bila displacement fragmen proksimal fraktur atau
komponen sendi distal menekan trakea. Hal ini juga dapat
menyebabkan trauma pembuluh darah pada ektremitas yang
homolateral karena kompresi fragmen fraktur atau laserasi dari
cabang utama arkus aorta.
Trauma ini diketahui bila ada : sumbatan airway atas (stridor),
adanya tanda berupa perubahan dari kualitas suara (jika penderita
masih dapat bicara), dan trauma yang luas pada dasar leher akan
menyebabkan terabanya defek pada regio sendi sternoklavikular.
Penanganan pada trauma ini adalah menstabilkan patensi dari
airway, yang terbaik dengan intubasi endotrakeal, walaupun hal ini
kemungkinan sulit dilakukan jika ada tekanan yang cukup besar pada
trakea. Yang paling penting, reposisi tertutup dari trauma yang terjadi
dengan cara mengekstensikan bahu, mengangkat klavikula dengan
pointed clamp seperti towel clip dan melakukan reposisi fraktur

80
Emergency Trauma Life Support Fak. Kedokteran Unmuh Malang

secara manual. Tindakan diatas dilakukan pada posisi berbaring jika


kondisi penderita stabil.

B. Breathing

Dada dan leher penderita harus terbuka selama penilaian


breathing dan vena-vena leher. Pergerakan pernafasan dan kualitas
pernafasan dinilai dengan observasi, palpasi dan didengarkan.
Gejala yang terpenting dari trauma toraks, adalah hipoksia termasuk
peningkatan frekuensi dan perubahan pada pola pernafasan,
terutama pernafasan yang dengan lambat memburuk. Sianosis
adalah gejala hipoksia yang lanjut pada penderita trauma. Tetapi bila
sianosis tidak ditemukan bukan merupakan indikasi bahwa oksigen
jaringan adekuat atau airway adekuat. Jenis trauma toraks yang
penting dan mempengaruhi breathing (yang harus dikenal dan
diketahui selama primary survey) adalah keadaan-keadaan dibawah
ini :

1. Tension pneumothorax

Tension pneumothorax berkembang ketika terjadi one-way-


valve (fenomena ventil), kebocoran udara yang berasal dari paru-
paru atau melalui dinding dada masuk kedalam rongga pleura dan
tidak dapat keluar lagi (one-way-valve). Akibat udara yang masuk
kedalam rongga pleura yang tidak dapat keluar lagi, maka tekanan
di intrapleural akan meninggi, paru-paru menjadi kolaps,
mediastinum terdorong kesisi berlawanan dan menghambat
pengembalian darah vena ke jantung (venous return), serta akan
menekan paru kontralateral.
Penyebab tersering dari tension pneumothorax adalah
komplikasi penggunaan ventilasi mekanik (ventilator) dengan
ventilasi tekanan positif pada penderita dengan kerusakan pada
pleura viseral. Tension pneumothorax dapat timbul sebagai
komplikasi dari pneumotoraks sederhana akibat trauma toraks
tembus atau tajam dengan perlukaan parenkim paru tanpa
robekan atau setelah salah arah pada pemasangan kateter
subklavia atau vena jugularis interna. Kadangkala defek atau
perlukaan pada dinding dada juga dapat menyebabkan tension
pneumothorax, jika salah cara menutup defek atau luka tersebut
dengan pembalut (occlusive dressings) yang kemudian akan
menimbulkan mekanisme flap-valve. Tension pneumothorax juga
dapat terjadi pada fraktur tulang belakang toraks yang mengalami
pergeseran (displaced thoracic spine fractures). Diagnosis

81
Emergency Trauma Life Support Fak. Kedokteran Unmuh Malang

tension pneumothorax ditegakkan berdasarkan gejala klinis,


dan terapi tidak boleh terlambat oleh karena menunggu
konfirmasi radiologi. Tension pneumothorax di tandai dengan
gejala nyeri dada, sesak, distres pernafasan, takikardi, hipotensi,
deviasi trakea, hilangnya suara nafas pada satu sisi dan distensi
vena leher. Sianosis merupakan manifestasi lanjut. Karena ada
kesamaan gejala antara tension pneumothorax dan tamponade
jantung maka sering membingungkan pada awalnya tetapi perkusi
yang hipersonor dan hilangnya suara nafas pada hemitoraks yang
terkena pada pada tension pneumothorax dapat membedakan
keduanya. Tension pneumothorax membutuhkan dekompresi
segera dan penanggulangan awal dengan cepat berupa insersi
jarum yang berukuran besar pada sela iga dua garis mid-clavicular
pada hemitoraks yang mengalami kelainan. Tindakan ini akan
mengubah tension pneumothorax menjadi pneumotoraks
sederhana (catatan : kemungkinan terjadi pneumotoraks yang
bertambah akibat tertusuk jarum). Evaluasi ulang selalu
diperlukan. Terapi definitif selalu dibutuhkan dengan pemasangan
selang dada (chest tube) pada sela iga ke 5 (garis puting susu)
diantara garis anterior dan mid-axillaris.

2. Pneumotoraks terbuka (sucking chest wound)

Defek atau luka yang besar pada dinding dada yang terbuka
menyebabkan pneumotoraks terbuka. Tekanan di dalam rongga
pleura akan segera menjadi sama dengan tekanan atmosfir. Jika
defek pada dinding dada mendekati 2/3 dari diameter trakea maka
udara akan cenderung mengalir melalul defek karena mempunyai
tahanan yang kurang atau lebih kecil dibandingkan dengan trakea.
Akibatnya ventilasi terganggu sehingga menyebabkan hipoksia
dan hiperkapnia.
Langkah awal adalah menutup luka dengan kasa steril yang
diplester hanya pada 3 sisinya saja. Dengan penutupan seperti ini
diharapkan akan terjadi efek Flutter Type Valve dimana saat
inspirasi kasa penutup akan menutup luka, mencegah kebocoran
udara, dari dalam. Saat ekspirasi kasa penutup terbuka untuk
menyingkirkan udara keluar. Setelah itu maka sesegera mungkin
dipasang selang dada yang harus berjauhan dari luka primer.
Menutup seluruh sisi luka akan menyebabkan terkumpulnya udara
didalam rongga pleura yang akan menyebabkan tension
pneumothorax kecuali jika selang dada sudah terpasang. Kasa
penutup sementara, yang dapat dipergunakan adalah Plastic

82
Emergency Trauma Life Support Fak. Kedokteran Unmuh Malang

Wrap atau Petrolatum Gauze, sehingga penderita dapat dilakukan


evaluasi dengan cepat dan dilanjutkan dengan penjahitan luka.

3. Flail chest

Flail chest terjadi ketika segmen dinding dada tidak lagi


mempunyai kontinuitas dengan keseluruhan dinding dada.
Keadaan tersebut terjadi karena fraktur iga multipel pada dua atau
lebih tulang iga dengan dua atau lebih garis fraktur. Adanya
segmen flail chest (segmen mengambang) menyebabkan
gangguan pada pergerakan dinding dada. Jika kerusakan
parenkim paru dibawahnya terjadi sesuai dengan kerusakan pada
tulang maka akan menyebabkan hipoksia yang serius. Kesulitan
utama pada kelainan Flail Chest yaitu trauma pada parenkim paru
yang mungkin terjadi (kontusio paru). Walaupun ketidak-stabilan
dinding dada menimbulkan gerakan paradoksal dari dinding dada
pada inspirasi dan ekspirasi, defek ini sendiri saja tidak akan
menyebabkan hipoksia. Penyebab timbulnya hipoksia pada
penderita ini terutama disebabkan nyeri yang mengakibatkan
gerakan dinding dada yang tertahan dan trauma jaringan parunya.
Flail Chest mungkin tidak terlihat pada awalnya, karena splinting
(terbelat) dengan dinding dada. Gerakan pernapasan menjadi
buruk dan toraks bergerak secara asimetris dan tidak
terkoordinasi. Palpasi gerakan pernapasan yang abnormal dan
krepitasi iga atau fraktur tulang rawan membantu diagnosis.
Dengan foto toraks akan lebih jelas karena akan terlihat fraktur iga
yang multipel, akan tetapi terpisahnya sendi costochondral tidak
akan terlihat. Pemeriksaan analisis gas darah yaitu adanya
hipoksia akibat kegagalan pernafasan, juga membantu dalam
diagnosis Flail Chest.
Terapi awal yang diberikan termasuk pemberian ventilasi
adekuat, oksigen yang dilembabkan dan resusitasi cairan. Bila
tidak ditemukan syok maka pemberian cairan kristoloid intravena
harus lebih berhati-hati untuk mencegah kelebihan pemberian
cairan. Bila ada kerusakan parenkim paru pada Flail Chest, maka
akan sangat sensitif terhadap kekurangan ataupun kelebihan
resusitasi cairan. Pengukuran yang lebih spesifik harus dilakukan
agar pemberian cairan benar-benar optimal.
Terapi definitif ditujukan untuk mengembangkan paru-paru dan
berupa oksigenasi yang cukup serta pemberian cairan dan
analgesia untuk memperbaiki ventilasi. Tidak semua penderita
membutuhkan penggunaan ventilator. Pencegahan hipoksia
merupakan hal penting pada penderita trauma, dan intubasi serta

83
Emergency Trauma Life Support Fak. Kedokteran Unmuh Malang

ventilasi perlu diberikan untuk waktu singkat sampai diagnosis dan


pola trauma yang terjadi pada penderita tersebut ditemukan
secara lengkap. Penilaian hati-hati dari frekuensi pernapasan,
tekanan oksigen arterial dan penilaian kinerja pernapasan akan
memberikan suatu indikasi timing/waktu untuk melakukan intubasi
dan ventilasi.

4. Hemotoraks masif

Terkumpulnya darah dan cairan di salah satu hemitoraks dapat


menyebabkan gangguan usaha bernapas akibat penekanan paru-
paru dan menghambat ventilasi yang adekuat. Perdarahan yang
banyak dan cepat akan lebih mempercepat timbulnya hipotensi
dan syok dan akan dibahas lebih lanjut pada bagian sirkulasi.

C. CIRCULATION

Denyut nadi penderita harus dinilai kualitas, frekuensi dan


keteraturannya. Pada penderita hipovolemia, denyut nadi a.radialis
dan a.dorsalis pedis mungkin tidak teraba oleh karena volume yang
kecil. Tekanan darah dan tekanan nadi harus diukur dan sirkulasi
perifer dinilai melalui inspeksi dan palpasi kulit untuk warna dan
temperatur. Vena leher harus dinilai apakah distensi atau tidak. Ingat,
distensi vena leher mungkin tidak nampak pada penderita
hipovolemia walaupun ada tamponade jantung, tension
Pneumothorax atau perlukaan diafragma traumatik.
Monitor jantung dan pulse oximeter harus dipasang pada
penderita. Penderita yang dicurigai trauma toraks terutama pada
daerah sternum atau trauma deselerasi yang hebat harus dicurigai
adanya trauma miokard apabila ada disritmia. Hipoksia ataupun
asidosis mungkin terjadi. Kontraksi ventrikel prematur, disritmia,
mungkin membutuhkan terapi dengan Bolus Lidocain segera (1
mg/kg) dilanjutkan dengan Drip Lidocain (2-4 mg/menit).
Pulseless Electric Activity (PEA, secara formal dikenal sebagai
Electromechanical dissociation), merupakan suatu manifestasi dari
EKG yang memperlihatkan irama, sedangkan pada perabaan nadi
tidak ditemukan pulsasi. PEA dapat ditemukan pada tamponade
jantung, tension pneumothorax, hipovolemia, atau bahkan yang lebih
buruk lagi ruptur jantung.

Trauma toraks yang akan mempengaruhi sirkulasi dan harus


ditemukan pada primary survey adalah :

84
Emergency Trauma Life Support Fak. Kedokteran Unmuh Malang

1. Hemotoraks masif

Hemotoraks masif yaitu terkumpulnya darah dengan cepat lebih


dari 1500 cc di dalam rongga pleura. Hal ini sering disebabkan oleh
luka tembus yang merusak pembuluh darah sistemik atau pembuluh
darah pada hilus paru. Hal ini juga dapat disebabkan trauma tumpul.
Kehilangan darah menyebabkan hipoksia. Vena leher dapat kolaps
(flat) akibat adanya hipovolemia berat, tetapi kadang dapat
ditemukan distensi vena leher, jika disertai tension pneumothorax.
Jarang terjadi efek mekanik dari darah yang terkumpul di intratoraks
lalu mendorong mediastinum sehingga menyebabkan distensi dari
pembuluh vena leher. Diagnosis hemotoraks ditegakkan dengan
adanya syok yang disertai suara nafas menghilang dan perkusi
pekak pada sisi dada yang mengalami trauma.
Terapi awal hemotoraks masif adalah dengan penggantian
volume darah yang dilakukan bersamaan dengan dekompresi rongga
pleura. Dimulai dengan infus cairan kristaloid secara cepat dengan
jarum besar dan kemudian pemberian darah dengan golongan
spesifik secepatnya. Darah dari rongga pleura dapat dikumpulkan
dalam penampungan yang cocok untuk autotransfusi. Bersamaan
dengan pemberian infus, sebuah selang dada (chest tube) no 38
French dipasang setinggi puting susu, anterior dari garis midaksilaris
lalu dekompresi rongga pleura selengkapnya. Ketika kita mencurigai
hemotoraks masif pertimbangkan untuk melakukan autotransfusi.
Jika pada awalnya sudah keluar 1500 ml , kemungkinan besar
penderita tersebut membutuhkan torakotomi segera.
Beberapa penderita yang pada awalnya darah yang keluar
kurang dari 1500 ml, tetapi perdarahan tetap berlangsung. Ini juga
membutuhkan torakotomi. Keputusan torakotomi diambil bila
didapatkan kehilangan darah terus menerus sebanyak 200 cc/jam
dalam waktu 2 sampai 4 jam, tetapi status fisiologi penderita tetap
lebih diutamakan. Transfusi darah diperlukan selama ada indikasi
untuk torakotomi. Selama penderita dilakukan resusitasi, volume
darah awal yang dikeluarkan dengan selang dada (chest tube) dan
kehilangan darah selanjutnya harus ditambahkan kedalam cairan
pengganti yang akan diberikan. Warna darah (arteri atau vena) bukan
merupakan indikator yang baik untuk dipakai sebagai dasar
dilakukannya torakotomi.
Luka tembus toraks didaerah anterior medial dari garis puting
susu dan luka didaerah posterior, medial dari skapula harus disadari
oleh dokter bahwa kemungkinan dibutuhkan torakotomi, oleh karena
kemungkinan melukai pembuluh darah besar, struktur hilus dan
jantung yang potensial menjadi tamponade jantung. Torakotomi

85
Emergency Trauma Life Support Fak. Kedokteran Unmuh Malang

harus dilakukan oleh ahli bedah, atau dokter yang sudah


berpengalaman dan sudah mendapat latihan.

2. Tamponade jantung

Tamponade jantung sering disebabkan oleh luka tembus.


Walaupun demikian, trauma tumpul juga dapat menyebabkan
perikardium terisi darah baik dari jantung, pembuluh darah besar
maupun dari pembuluh darah perikard. Perikard manusia terdiri dari
struktur jaringan ikat yang kaku dan walaupun relatif sedikit darah
yang terkumpul, namun sudah dapat menghambat aktivitas jantung
dan mengganggu pengisian jantung. Mengeluarkan darah atau cairan
perikard, sering hanya 15 ml sampai 20 ml, melalui perikardiosintesis
akan segera memperbaiki hemodinamik.
Diagnosis tamponade jantung tidak mudah. Diagnostik klasik
adalah adanya Trias Beck yang terdiri dari peningkatan tekanan
vena, penurunan tekanan arteri dan suara jantung menjauh.
Penilaian suara jantung menjauh sulit didapatkan bila ruang gawat
darurat dalam keadaan berisik, distensi vena leher tidak ditemukan
bila keadaan penderita hipovolemia dan hipotensi sering disebabkan
oleh hipovolemia.
Pulsus paradoxus adalah keadaan fisiologis dimana terjadi
penurunan dari tekanan darah sistolik selama inspirasi spontan. Bila
penurunan tersebut lebih dari 10 mmHg, maka ini merupakan tanda
lain terjadinya tamponade jantung. Tetapi tanda pulsus paradoxus
tidak selalu ditemukan, lagi pula sulit mendeteksinya dalam ruang
gawat darurat. Tambahan lagi, jika terdapat tension pneumothorax,
terutama sisi kiri, maka akan sangat mirip dengan tamponade j
antung.
Tanda Kussmaul (peningkatan tekanan vena pada saat
inspirasi biasa) adalah kelainan paradoksal tekanan vena yang
sesungguhnya dan menunjukkan adanya tamponade jantung. PEA
pada keadaan tidak ada hipovolemia dan tension pneumothorax
harus dicurigai adanya tamponade jantung. Pemasangan CVP dapat
membantu diagnosis, tetapi tekanan yang tinggi dapat ditemukan
pada berbagai keadaan lain. Pemeriksaan USG (Echocardiografi)
merupakan metode non invasif yang dapat membantu penilaian
perikardium, tetapi banyak penelitian yang melaporkan angka negatif
yang tinggi yaitu sekitar 50 %. Pada penderita trauma tumpul dengan
hemodinamik abnormal boleh dilakukan pemeriksaan USG abdomen,
yang sekaligus dapat mendeteksi cairan di kantung perikard, dengan
syarat tidak menghambat resusitasi.

86
Emergency Trauma Life Support Fak. Kedokteran Unmuh Malang

Evakuasi cepat darah dari perikard merupakan indikasi bila


penderita dengan syok hemoragik tidak memberikan respon pada
resusitasi cairan dan mungkin ada tamponade jantung. Tindakan ini
menyelamatkan nyawa dan tidak boleh diperlambat untuk
mengadakan pemeriksaan diagnostik tambahan. Metode sederhana
untuk mengeluarkan cairan dari perikard adalah dengan
perikardiosintesis. Kecurigaan yang tinggi adanya tamponade jantung
pada penderita yang tidak memberikan respon terhadap usaha
resusitasi, merupakan indikasi untuk melakukan tindakan
perikardiosintesis melalui metode subksifoid. Tindakan alternatif lain,
adalah melakukan operasi jendela perikard atau torakotomi dengan
perikardiotomi oleh seorang ahli bedah. Prosedur ini akan lebih baik
dilakukan diruang operasi jika kondisi penderita memungkinkan.

Walaupun kecurigaan besar akan adanya tamponade jantung,


pemberian cairan infus awal masih dapat rneningkatkan tekanan
vena dan meningkatkan cardiac Output untuk sementara, sambil
melakukan persiapan untuk tindakan perikardiosintesis melalui
subksifoid. Pada tindakan ini menggunakan plastic-sheated needle
atau insersi dengan teknik Seldinger, merupakan cara paling baik
tetapi dalam keadaan yang lebih gawat, prioritas adalah aspirasi
darah dari kantung perikard. Monitoring Elektrokardiografi dapat
menunjukkan tertusuknya miokard (peningkatan voltase dari
gelombang T, ketika jarum perikardiosintesis menyentuh epikardium)
atau terjadinya disritmia.

III. TORAKOTOMI RESUSITASI

Pijatan jantung tertutup, untuk henti jantung atau PEA kurang


efektif pada keadaan penderita yang hipovolemia. Penderita dengan
luka tembus toraks yang sampai dirumah sakit tidak teraba denyut
nadi tetapi masih ada aktivitas elektrik dari miokard merupakan calon
untuk torakotomi resusitasi secepatnya. Seorang ahli bedah yang
berpengalaman harus ada ketika penderita sampai diruang gawat
darurat untuk menetapkan indikasi dan menjamin suksesnya
resusitasi torakotomi tersebut.
Torakotomi antero-lateral kiri dilakukan untuk mendapatkan
akses langsung ke jantung, sambil meneruskan resusitasi cairan.
Intubasi endotrakea dan ventilasi mekanik mutlak harus dikerjakan.
Penderita dengan trauma tumpul yang sampai dirumah sakit dan
tidak teraba denyut nadi akan tetapi masih ada aktifitas miokard tidak
ada indikasi torakotomi resusitasi.

87
Emergency Trauma Life Support Fak. Kedokteran Unmuh Malang

Tindakan terapi efektif yang dapat dikerjakan selama torakotomi


adalah :
1. Evakuasi darah diperikard yang menyebabkan tamponade
jantung.
2. Kontrol langsung sumber perdarahan pada perdarahan
intratoraks.
3. Pijatan jantung terbuka.
4. Klem silang aorta descendens untuk mengurangi kehilangan
darah dibawah diafragma dan meningkatkan perfusi ke otak dan
jantung.
Berbeda hasilnya jika ini dilakukan pada trauma tumpul. Banyak
laporan mengkonfirmasikan tidak efektifnya hasil torakotomi di ruang
gawat darurat untuk penderita yang mengalami henti jantung setelah
trauma tumpul. Setelah memberikan terapi perlukaan yang tergolong
Immediate Life-Threatening, perhatian dapat diteruskan ke secondary
survey.

IV. SECONDARY SURVEY: CEDERA TORAKS YANG DAPAT


MENGANCAM NYAWA

Secondary survey membutuhkan perneriksaan fisik yang lebih dalam


dan teliti. Foto toraks tegak dibuat jika kondisi penderita
memungkinkan, serta pemeriksaan analisis gas darah, monitoring
pulse oximeter dan elektrokardiogram. Pada foto toraks harus dinilai
pengembangan paru, adanya cairan, ada tidaknya pelebaran
mediastinum, pergeseran dari garis tengah atau hilangnya gambaran
detail anatomis mediastinum. Pada fraktur iga multipel atau fraktur
iga pertama dan/atau iga kedua harus dicurigai bahwa trauma yang
terjadi pada toraks dan jaringan lunak dibawahnya sangat berat.

Delapan trauma toraks yang mungkin mematikan terdapat dibawah


ini:
1. Pneumotoraks sederhana
2. Hemotoraks
3. Kontusio paru
4. Perlukaan percabangan trakeo-bronkial
5. Trauma tumpul jantung
6. Trauma aorta
7. Trauma diafragma
8. Mediastinal traversing wound

Tidak seperti kondisi Immediately Life-Threatening yang dikenal


selama primary survey, trauma di atas biasanya dari pemeriksaan

88
Emergency Trauma Life Support Fak. Kedokteran Unmuh Malang

fisik tidak jelas. Diagnosis membutuhkan kecurigaan yang tinggi.


Trauma-trauma ini sering kali tidak terdiagnosis selama periode
setelah trauma dan dapat berakibat fatal .

A. Pneumotoraks sederhana

Pneumotoraks diakibatkan masuknya udara pada ruang potensial


antara pleura viseral dan parietal. Dislokasi fraktur vertebra torakal
juga dapat ditemukan bersama dengan pneumotoraks. Laserasi
paru merupakan penyebab tersering dari pneumotoraks akibat
trauma tumpul.
Dalam keadaan normal rongga toraks dipenuhi oleh paru-paru
yang pengembangannya sampai dinding dada oleh karena adanya
tegangan permukaan antara kedua permukaan pleura. Adanya
udara didalam rongga pleura akan menyebabkan kolapnya
jaringan paru. Gangguan ventilasi-perfusi terjadi karena darah
menuju paru yang kolaps tidak mengalami ventilasi sehingga tidak
ada oksigenasi.
Ketika pneumotoraks terjadi, suara nafas menurun pada sisi yang
terkena dan pada perkusi hipersonor. Foto toraks pada saat
ekspirasi membantu menegakkan diagnosis.

Terapi terbaik pada pneumotoraks adalah dengan pemasangan


chest tube pada sela iga ke 4 atau ke 5, anterior dari garis mid-
aksilaris. Bila pneumotoraks hanya dilakukan observasi atau
aspirasi saja, maka akan mengandung resiko. Sebuah selang
dada dipasang dan dihubungkan dengan WSD dengan atau tanpa
penghisap, dan foto toraks dilakukan untuk mengkonfirmasi
pengembangan kembali paru-paru. Anestesi umum atau ventilasi
dengan tekanan positif tidak boleh diberikan pada pendenta
dengan pneumotoraks traumatik atau pada penderita yang
mempunyai resiko terjadinya pneumotoraks intraoperatif yang
tidak terduga sebelumnya, sampai dipasang chest tube.
Pneumotoraks sederhana dapat menjadi life threatening tension
pneumothorax, terutama jika awalnya tidak diketahui dan ventilasi
dengan tekanan positif diberikan. Toraks penderita harus di
dekompresi sebelum penderita di tranportasi/rujuk.

B. Hemotoraks

Penyebab utama dari hemotoraks adalah laserasi paru atau


laserasi dari pembuluh darah interkostal atau arteri mamaria
internal yang disebabkan oleh trauma tajam atau trauma tumpul.

89
Emergency Trauma Life Support Fak. Kedokteran Unmuh Malang

Dislokasi fraktur dari vertebra torakal juga dapat menyebabkan


terjadinya hemotoraks. Biasanya perdarahan berhenti spontan dan
tidak memerlukan intervensi operasi.
Hemotoraks akut yang cukup banyak sehingga terlihat pada foto
toraks, sebaiknya diterapi dengan selang dada kaliber besar.
Selang dada tersebut akan mengeluarkan darah dari rongga
pleura, mengurangi resiko terbentuknya bekuan darah di dalam
rongga pleura, dan dapat dipakai dalarn memonitor kehilangan
darah selanjutnya. Evakuasi darah atau cairan juga
memungkinkan dilakukannya penilaian terhadap kemungkinan
terjadinya ruptur diafragma traumatik.
Walaupun banyak faktor yang berperan dalam memutuskan
perlunya indikasi operasi pada penderita hemotoraks, status
fisiologi dan volume darah yang keluar dari selang dada
merupakan faktor utama. Sebagai patokan bila darah yang
dikeluarkan secara cepat dari selang dada sebanyak 1500 ml,
atau bila darah yang keluar lebih dari 200 ml tiap jam untuk 2
sampai 4 jam, atau jika membutuhkan transfusi darah terus
menerus, eksplorasi bedah harus dipertimbangkan.

C. Kontusio Paru

Kontusio paru adalah kelainan yang paling sering ditemukan pada


golongan potentially lethal chest injury. Kegagalan bernafas dapat
timbul perlahan dan berkembang sesuai waktu, tidak langsung
terjadi setelah kejadian, sehingga rencana penanganan definitif
dapat berubah berdasarkan perubahan waktu. Monitoring harus
ketat dan berhati-hati, juga diperlukan evaluasi penderita yang
berulang-ulang.

Penderita dengan hipoksia bermakna (Pa02 < 65 mmHg atau 8,6


kPa dalam udara ruangan, Sa02< 90 %) harus dilakukan intubasi
dan diberikan bantuan ventilasi pada jam-jam pertama setelah
trauma. Kondisi medik yang berhubungan dengan kontusio paru
seperti penyakit paru kronis dan gagal ginjal menambah indikasi
untuk melakukan intubasi lebih awal dan ventilasi mekanik.
Beberapa penderita dengan kondisi stabil dapat ditangani secara
selektif tanpa intubasi endotrakeal atau ventilasi mekanik.
Monitoring dengan pulse oximeter, pemeriksaan analisis gas
darah, monitoring EKG dan perlengkapan alat bantu pernafasan
diperlukan untuk penanganan yang optimal. Jika kondisi penderita
memburuk dan perlu ditransfer maka harus dilakukan intubasi dan
ventilasi terlebih dahulu.

90
Emergency Trauma Life Support Fak. Kedokteran Unmuh Malang

D. Trauma Trakeobronkial

Trauma terhadap trakea dan bronkus utama merupakan perlukaan


yang luar biasa dan mempunyai potensial fatal yang seringkali
sudah terlihat pada saat penilaian awal. Perlukaan ini sering
disebabkan oleh trauma tumpul dan terjadi pada 1 inchi dari
karina. Kebanyakan penderita meninggal ditempat kejadian.
Bila penderita sampai dirumah sakit, resiko kematian meningkat
disebabkan karena trauma lain yang menyertai.
Jika dicurigai adanya perlukaan trakeobronkial, harus melakukan
konsultasi segera. Pada penderita dengan perlukaan
trakeobronkial sering ditemukan hemoptisis, emfisema subkutan
dan tension pneumothorax dengan pergeseran medistinum.
Adanya pneumotoraks dengan gelembung udara yang banyak
pada WSD setelah dipasang selang dada harus dicurigai adanya
trauma trakeobronkial. Sering dibutuhkan lebih dari satu selang
dada pada kebocoran yang besar. Diagnosis perlukaan ini
dilakukan dengan cara bronkhoskopi. Intubasi pada cabang
bronkus utama kontralateral dibutuhkan sementara waktu untuk
mencukupi kebutuhan akan oksigenasi. Intubasi sering kali
mengalami kesulitan karena adanya distorsi anatomi akibat
hematom paratrakeal, akibat trauma orofaringeal yang menyertai
atau trauma terhadap trakeobronkial itu sendiri. Untuk penderita
seperti ini diperlukan intervensi operasi segera. Untuk penderita
yang stabil, terapi operasi dari perlukaan trakeobronkial dapat
ditunda sampai reaksi radang akut dan edema diserap.

E. Trauma Tumpul Jantung

Trauma tumpul jantung dapat menyebabkan kontusio otot jantung,


ruptur atrium atau ventrikel, ataupun kebocoran katup. Ruptur
ruang jantung ditandai dengan tamponade jantung yang harus
diwaspadai saat primary survey. Kadang tanda dan gejala dari
tamponade lambat terjadi bila yang ruptur adalah atrium.

Penderita dengan kontusio miokard akan mengeluh rasa tidak


nyaman pada dada tetapi keluhan tersebut juga bisa disebabkan
kontusio dinding dada atau fraktur sternum dan/atau fraktur iga.
Diagnosis pasti hanya dapat ditegakkan dengan inspeksi dari
miokard yang mengalami trauma. Gejala klinis yang penting pada
kontusio miokard adalah hipotensi, gangguan hantaran yang jelas
pada EKG atau gerakan dinding jantung yang tidak normal pada
pemeriksaan ekokardiografi dua dimensi. Perubahan EKG dapat

91
Emergency Trauma Life Support Fak. Kedokteran Unmuh Malang

bervariasi dan kadang menunjukkan suatu infark miokard yang


jelas. Kontraksi ventrikel prematur yang multipel, sinus takikardi
yang tak bisa diterangkan, fibrilasi atrium, bundle branch block
(biasanya kanan) dan yang paling sering adalah perubahan
segmen ST yang ditemukan pada gambaran EKG. Elevasi dari
tekanan vena sentral yang tidak ada penyebab lain merupakan
petunjuk dari disfungsi ventrikel kanan sekunder akibat kontusio
jantung. Juga penting untuk diingat bahwa kecelakaannya sendiri
mungkin dapat disebabkan adanya serangan infark miokard akut.
Penderita kontusio miokard yang terdiagnosis karena adanya
konduksi yang abnormal mempunyai resiko terjadinya disritmia
akut, dan harus dimonitor 24 jam pertama, karena setelah interval
tersebut resiko disritmia akan menurun secara bermakna.

F. Ruptur Aorta (Traumatic Aortic Disruption)

Ruptur aorta traumatik sering menyebabkan kematian segera


setelah kecelakaan mobil tabrakan frontal atau jatuh dari
ketinggian. Untuk penderita yang selamat, sesampainya di rumah
sakit kemungkinan sering dapat diselamatkan bila ruptur aorta
dapat di identifikasi dan secepatnya dioperasi.
Penderita dengan ruptur aorta (yang kemungkinan bisa ditolong),
biasanya laserasi yang terjadi tidak total dan dekat dengan
ligamentum arteriosum. Kontinuitas dari aorta dipertahankan oleh
lapisan adventisia yang masih utuh atau adanya hematom
mediastinum yang mencegah terjadinya kematian segera. Banyak
penderita yang sempat sampai dirumah sakit dalam keadaan
hidup, meninggal dirumah sakit jika tidak diterapi. Walaupun ada
darah yang lolos ke dalam mediastinum, tetapi pada hakekatnya
ini adalah suatu hematoma yang belum pecah. Hipotensi menetap
atau berulang akan ditemukan sedangkan perdarahan ditempat
lain tidak ada. Bila ruptur aorta berupa transeksi aorta, maka
perdarahan yang terjadi masuk kedalam rongga pleura dan
menyebabkan hipotensi, biasanya berakibat fatal dan penderita
harus dioperasi dalam hitungan menit.
Sering kali gejala ataupun tanda spesifik ruptur aorta tidak ada,
namun adanya kecurigaan yang besar atas riwayat trauma,
adanya gaya deselerasi dan temuan radiologis yang khas diikuti
arteriografi merupakan dasar dalam penetapan diagnosis.
Angiografi harus dilakukan secara agresip karena penemuan foto
toraks, terutama pada posisi berbaring, hasilnya tidak dapat
dipercaya. Apabila ditemukan pelebaran mediastinum pada foto

92
Emergency Trauma Life Support Fak. Kedokteran Unmuh Malang

toraks dan dipakai indikasi yang agresip untuk pemeriksaan


angiografi maka hasil positif untuk ruptur aorta adalah sekitar 3%.
Gambaran radiologi yang ada di bawah ini dapat dipergunakan
sebagai indikasi adanya trauma terhadap pembuluh darah besar
didalam rongga toraks.

1. Pelebaran mediastinum
2. Obliterasi lengkung aorta
3. Deviasi trakea kearah kanan
4. Hilangnya ruang antara arteri pulmonal dan aorta (jendela
aortapulmonal tidak jelas)
5. Bronkus utama kiri tertekan ke bawah.
6. Deviasi dari esofagus ke arah kanan
7. Pelebaran paratrakeal tidak merata
8. Pelebaran paraspinal
9. Ditemukan adanya pleural atau apical cap
10. Hemotoraks kiri
11. Fraktur iga 1 atau ke 2 atau skapula

Positif palsu atau negatif palsu terdapat pada tiap-tiap tanda foto
ronsen di atas tetapi hanya jarang (hanya 1% - 2%) tidak akan
ditemukan tanda apapun pada penderita dengan trauma
pembuluh darah besar. Kecurigaan sedikit saja akan adanya
trauma aorta sudah merupakan alasan untuk mengirim penderita
ke fasilitas yang mampu untuk mempertajam diagnosis. Angiografi
merupakan pemeriksaan gold standard, tetapi transesofageal
echokardiografi (TEE) merupakan suatu pemeriksaan yang
minimal invasif yang dapat digunakan untuk membantu
menegakkan diagnosis. Pemeriksaan CT-scan akan banyak
memakan waktu sehingga tidak dianjurkan untuk menegakkan
diagnosis definitif
Cara diagnostik yang akan dipilih, ditentukan oleh dokter di rumah
sakit yang akan dirujuk. Terapi yang dilakukan dapat berupa
penjahitan primer aorta atau reseksi dan dipasang graft.

G. Trauma Diafragma

Ruptur diafragma traumatik lebih sering terdiagnosis pada sisi kiri,


karena obliterasi hepar pada sisi kanan atau adanya hepar pada
sisi kanan sehingga mengurangi kemungkinan terdiagnosisnya
ataupun terjadinya ruptur diafragma kanan. Sementara itu adanya
usus, gaster atau selang diagnostik mempermudah mendeteksi
pada hemotoraks kiri. Prevalensi sesungguhnya (untuk kejadian

93
Emergency Trauma Life Support Fak. Kedokteran Unmuh Malang

sisi kiri atau kanan) belum diketahui. Trauma tumpul menghasilkan


robekan besar yang menyebabkan timbulnya herniasi organ
abdomen. Sedangkan trauma tajam menghasilkan perforasi kecil
yang sering memerlukan waktu bisa sampai tahunan untuk
berkembang menjadi hernia diafragmatika.

Perlukaan ini bisa terlewatkan pada awalnya jika salah


menginterpretasikan foto toraks sebagai elevasi diafragma, dilatasi
gaster akut, pneumohemotoraks lokal atau hematom subpulmonal.
Jika curiga adanya laserasi pada diafragma kiri, selang gaster
harus dipasang. Bila selang gaster tampak didalam rongga toraks
pada foto toraks, maka tidak diperlukan pemeriksaan spesial
dengan kontras. Kadang, diagnosis tidak dapat ditegakkan dengan
foto ronsen ataupun setelah pemasangan selang dada pada
hemitoraks kiri. Pada keadaan ini pemeriksaan gastrointestinal
bagian atas dengan kontras harus dilakukan jika diagnosis masih
ragu-ragu/tidak jelas. Bila ditemukan cairan peritoneum keluar dari
selang dada juga dapat mengkonfirmasi diagnosis. Prosedur
minimal invasif endoskopi (toraksoskopi) dapat membantu dalam
mengevaluasi diafragma pada kasus-kasus yang diagnosisnya
sulit ditegakan.
Ruptur diafragma kanan jarang terdiagnosa pada periode awal
setelah trauma. Hepar sering mencegah terjadinya herniasi dari
organ abdominal lainnya masuk ke rongga toraks. Gambaran
elevasi diafragma kanan pada x-ray toraks mungkin dapat
ditemukan. Ruptur diafragma sering ditemukan secara kebetulan,
karena operasi untuk trauma abdominal lain. Terapinya adalah
penjahitan langsung.

H. Mediastinal Traversing Wounds

Trauma penetrans melintasi mediastinum, dapat mencederai


struktur utama di mediastinum misalnya jantung, pembuluh darah
besar, percabangan, trakeobronkial, atau esofagus. Diagnosis
ditegakkan bila pemeriksaan fisik yang teliti dan foto toraks
menunjukkan adannya luka masuk di satu hemitoraks dan luka
keluar atau peluru bersarang di hemitoraks kontralateralnya. Hati-
hati bila menjumpai luka dengan pecahan peluru berada didekat
organ mediastinum. Kemungkinan adanya luka yang melintasi
mediastinum harus dipertimbangkan. Konsultasi bedah mutlak
harus dilakukan.
Adanya syok menjadi indikasi adanya kehilangan darah,
perdarahan toraks, tension pneumothorax atau tamponade

94
Emergency Trauma Life Support Fak. Kedokteran Unmuh Malang

jantung. Pemasangan selang dada bilateral harus dilakukan untuk


mengatasi hemopneumotoraks dan darah yang keluar harus
diukur. Indikasi untuk melakukan torakotomi segera sama dengan
indikasi pada hemotoraks masif Persiapan torakotomi dilakukan
untuk kedua hemitoraks. Tetapi secara umum harus dimulai pada
sisi yang kehilangan darah. Penderita dengan curiga tamponade
jantung dilakukan terapi seperti pada uraian sebelumnya.
Penderita yang dicurigai emfisema mediastinum harus dicurigai
adanya trauma terhadap trauma esofagus atau percabangan
trakeobronkial. Hematom mediastinum atau pleural cap dicurigai
adanya trauma pada pembuluh darah besar. Jangan lupa
memeriksa fungsi neurologi bila peluru melewati medula spinalis.
Penderita dengan hemodinamik normal, walaupun tanpa gejala
klinis atau tanpa kelainan gambaran struktur mediastinum pada
foto ronsen, tetap harus dilakukan evaluasi untuk menyingkirkan
kemungkinan trauma vaskuler, trakeobronkial atau trauma
esofagus. Selang toraks dipasang sesuai indikasi. Jika belum ada
rencana operasi, maka dilakukan pemeriksaan evaluasi segera
seperti angiografi yang dapat memperlihatkan gambaran aorta
torakalis dan cabang utamanya. Jika hasil angiogram negatif,
masih harus dibuktikan dengan menggunakan cairan kontras.
Melengkapi dengan pemeriksaan esofagoskopi akan
meningkatkan kepastian dari evaluasi adanya trauma esofagus.
Bronkoskopi harus dilakukan untuk mengevaluasi percabangan
trakeobronkial. Untuk mengevaluasi jantung dan perikardium
terbaik dengan menggunakan CT Scan atau Ultrasound. Jika
hemodinamik penderita memburuk, yang dapat terjadi setiap saat
selama evaluasi non-operatif, maka harus dipertimbangkan
adanya trauma lain dan lakukanlah reevaluasi A,B,C,D,E.
Dekompresi segera pada tension pneumothorax, atau pada
tamponade jantung mungkin dibutuhkan. Setelah identifikasi
perlukaan, dapat langsung dilakukan perbaikan melalui sayatan
yang sesuai.
Secara keseluruhan angka mortalitas untuk luka tembus
mediastinurn sekitar 20%. Persentase ini menjadi berlipat ganda
jika disertai hemodinamik yang tidak stabil. Sekitar 50% penderita
dengan luka tembus mediastinurn disertai hemodinamik tidak
stabil dan 30% mempunyai pada evaluasi memberikan hasil positif
dan kemudian memerlukan operasi.

95
Emergency Trauma Life Support Fak. Kedokteran Unmuh Malang

V. MANIFESTASI TRAUMA TORAKS LAIN

Trauma toraks penting lainnya yang harus dideteksi selama


secondary survey walaupun trauma tersebut tidak Immediately life
threatening tetapi trauma tersebut potensial untuk memburuk.

A. Emfisema Subkutis

Emfisema subkutis dapat disebabkan oleh trauma airway,


parenkim paru, atau yang jarang yaitu trauma ledakan. Walaupun
tidak memerlukan terapi, penyebab timbulnya kelainan ini harus
dicari. Jika penderita menggunakan ventilasi dengan tekanan positif
pemasangan selang dada harus dipertimbangkan untuk dipasang
pada sisi yang terdapat emfisema subkutis sebagai antisipasi
terhadap berkembangnya tension pneumothorax.

B. Crushing Injury to the Chest (Traumatic Asphyxia)

Tergencetnya toraks akan menimbulkan kompresi yang tiba-


tiba dan sementara terhadap vena cava superior dan menimbulkan
pletora serta petechiae yang meliputi badan bagian atas, wajah dan
lengan. Dapat terjadi edema yang berat, bahkan edema otak. Yang
harus diterapi adalah trauma penyerta.

C. Fraktur Iga, Sternum dan Skapula

Iga merupakan komponen dari dinding toraks yang paling


sering mengalami trauma. Perlukaan yang terjadi pada iga sering
bermakna. Nyeri pada pergerakan akibat terbidainya iga terhadap
dinding toraks secara keseluruhan menyebabkan gangguan ventilasi.
Batuk yang tidak efektif untuk mengeluarkan sekret dapat
mengakibatkan insiden atelektasis dan pneumonia meningkat secara
bermakna dengan disertai timbulnya penyakit paru-paru.
Iga bagian atas ( iga ke-1 sampai ke-3 ) dilindungi oleh struktur
tulang dari lengan bagian atas. Tulang skapula, humerus dan
klavikula dengan seluruh otot-otot yang merupakan pelindung
terhadap trauma iga tersebut. Bila ditemukan fraktur tulang skapula,
iga pertama dan kedua atau sternum harus curiga akan adanya
trauma yang luas yang meliputi kepala, leher, medula spinalis, paru-
paru dan pembuluh darah besar. Karena adanya trauma-trauma
penyerta tersebut, mortalitas akan meningkat menjadi 35%.
Konsultasi bedab harus dilakukan.

96
Emergency Trauma Life Support Fak. Kedokteran Unmuh Malang

Fraktur sternum dan skapula secara umum disebabkan oleh


benturan langsung. Kontusio paru dapat menyertai fraktur sternum.
Trauma tumpul jantung harus selalu dipertimbangkan bila ada fraktur
sternum. Terapi operasi kadang diindikasikan untuk fraktur sternum
atau skapula. Dislokasi sternoklavikula jarang menyebabkan
bergesernya kaput klavikula ke arah mediastinum dengan
mengakibatkan obstruksi dari vena cava superior. Bila ini terjadi
reduksi segera dibutuhkan.
Yang paling sering menngalami trauma adalah iga bagian
tengah (iga ke-4 sampai ke-9). Kompresi anteroposterior dari rongga
toraks akan menyebabkan lengkung iga akan lebih melengkung lagi
ke arah lateral dengan akibat timbulnya fraktur pada titik tengah
(bagian lateral) iga. Trauma langsung pada iga akan cenderung
menyebabkan fraktur dengan pendorongan uJung-ujung fraktur
masuk ke dalam rongga pleura dan potensial menyebabkan trauma
intratorakal seperti pneumotoraks. Seperti kita ketahui pada penderita
dengan usia muda dinding dada lebih fleksibel sehingga jarang
terjadi fraktur iga, oleh karena itu adanya fraktur iga multipel pada
penderita usia muda memberikan informasi pada kita bahwa trauma
yang terjadi sangat besar dibandingkan bila terjadi trauma yang sama
terjadi pada orang tua. Patah tulang iga (ke-10 sampai ke-12) harus
curiga kuat adanya trauma terhadap hepatosplenik.
Akan ditemukan nyeri tekan pada palpasi dan krepitasi pada
penderita dengan trauma iga. Jika teraba atau terlihat adanya
deformitas, harus curiga fraktur iga.
Foto toraks harus dibuat untuk menghilangkan kemungkinan
trauma intratorakal dan bukan untuk mengidentifikasi fraktur iga.
Teknik khusus untuk visualisasi iga selain harganya mahal, tidak
dapat mendeteksi seluruh iga, posisi yang dibutuhkan untuk
pembuatan x-ray tersebut menimbulkan rasa nyeri dan tidak
mengubah tindakan, sehingga pemeriksaan ini tidak dianjurkan.
Plester iga, pengikat iga dan bidai eksternal merupakan kontra
indikasi. Yang penting adalah menghilangkan rasa sakit agar
penderita dapat bernafas dengan baik. Blok interkostal, anestesi
epidural dan analgesi sistemik dapat dipertimbangkan untuk
mengatasi rasa nyeri.

D. Trauma Tumpul Esofagus

Trauma esofagus lebih sering disebabkan oleh karena trauma


tembus. Trauma tumpul esofagus walaupun jarang tetapi mematikan
bila tidak teridentifikasi. Trauma tumpul esofagus disebabkan oleh
gaya kompresi dari isi gaster yang masuk ke dalam esofagus akibat

97
Emergency Trauma Life Support Fak. Kedokteran Unmuh Malang

trauma berat pada abdomen bagian atas. Gaya tersebut


menyebabkan robekan linier pada esofagus bagian bawah dan
mengakibatkan kebocoran cairan gaster ke dalam mediastinum.
Akibat selanjutnya akan terjadi mediastinitis, yang cepat atau lambat
akan pecah ke dalam rongga pleura yang kemudian akan
menyebabkan terjadinya empyema. Trauma esofagus dapat
disebabkan oleh kesalahan pemasangan instrumentasi (contoh:
selang nasogaster, endoskopi, dilator).
Gambaran klinis adalah seperti ruptur esofagus yang terjadi
setelah muntah-muntah. Trauma esofagus harus dipertimbangkan
pada penderita-penderita (1) yang mempunyai pneumotoraks kiri
atau hemotoraks tanpa adanya fraktur iga (2) Penderita yang
menerima trauma langsung yang berat terhadap, sternum bagian
bawah atau epigastriurn dan nyeri atau syok yang tidak proporsional
terhadap, trauma yang dialami atau (3) didapatkan sisa makanan
pada selang dada setelah darah keluar. Adanya udara, mediastinum
juga membantu diagnosis yang kemudian dapat dikonfirmasi dengan
pemeriksaan memakai kontras atau esofagoskopi.
Drainase yang lebar dari rongga pleura dan mediastinum
dengan penjahitan langsung terhadap luka yang terjadi melalui
torakotomi adalah terapi yang dilakukan jika hal ini memungkinkan.
Operasi yang dilakukan dalam beberapa jam setelah trauma akan
memberikan prognosis yang lebih baik.

E. Indikasi Lain untuk Pemasangan Selang Dada

1. Secara selektif penderita yang dicurigai trauma paru berat


terutama jika penderita akan dikirim melalui udara atau darat.
2. Penderita yang akan dilakukan anestesi umum untuk terapi
terhadap, trauma lainnya ( trauma kepala atau ekstremitas ), yang
dicurigai terdapat trauma paru-paru bermakna.
3. Penderita yang membutuhkan ventilasi dengan tekanan positif
yang dicurigai adanya trauma dada.

VI. PERMASALAHAN

A. Pneurnotoraks sederhana pada penderita trauma tidak boleh


didiamkan karena pneumotoraks sederhana dapat berkembang
menjadi tension pneumotoraks.
B. Hemotoraks sederhana yang tidak terevakuasi sempurna akan
menyebabkan darah sisa membeku dan terperangkap di paru-
paru, dan jika terjadi infeksi akan berkembang menjadi empiema.

98
Emergency Trauma Life Support Fak. Kedokteran Unmuh Malang

C. Trauma diafragma sering terlewatkan pada evaluasi awal.


Trauma diafragma yang tidak terdiagnosis akan menyebabkan
gangguan ventilasi atau terperangkapnya dan kemudian
strangulasi isi peritonium.
D. Evaluasi yang terlambat atau berlebihan pada pelebaran
mediastinum tanpa kemampuan pembedahan kardiotoraks dapat
menyebabkan pecahnya hematom yang menimbulkan kematian
cepat akibat perdarahan. Semua penderita dengan mekanisme
trauma yang menyokong dan penemuan radiologi pada foto
toraks yang dicurigai ruptur aorta harus segera dirujuk ke fasilitas
yang mampu, agar dapat dilakukan diagnosis definitif dan terapi
terhadap traumanya.
E. Meremehkan akibat yang berat dari fraktur iga adalah kebiasaan
buruk lain yang sering terjadi terutama pada penderita tua. Kunci
utama penanganan adalah mengontrol nyeri secara agresif tanpa
menimbulkan depresi pernafasan.
F. Jangan meremehkan trauma tumpul paru berat karena kontusio
paru dapat memperlihatkan gejala-gejala klinis yang bervariasi
dan sering tidak sesuai dengan temuan gambaran foto ronsen.
Monitoring secara berhati-hati terhadap ventilasi, oksigenasi, dan
cairan harus dilakukan untuk beberapa hari. Sering dibutuhkan
ventilasi mekanik.

VII. KESIMPULAN

Trauma toraks sering terdapat pada penderita trauma multipel dan


merupakan masalah life threatening. Penderita dengan trauma toraks
tersebut biasanya dapat diterapi atau kodisi diperbaiki sementara
dengan tindakan yang relatif sederhana seperti intubasi, ventilasi,
selang dada atau perikardiosintesis dengan jarum. Kemampuan
untuk mengenal trauma ini dan kemampuan melakukan tindakan
adalah prosedur yang diperlukan untuk menyelamatkan nyawa.

99

Anda mungkin juga menyukai