Anda di halaman 1dari 75

MAKALAH

HEMOSTASIS

Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Individu Mata Kuliah


Hemostasis

Dosen Pengampu: Ririh Jatmi Wikandari

Disusun Oleh:

Santi Ismatul Aula

P1337434321025

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG

JURUSAN ANALIS KESEHATAN

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN TEKNOLOGI


LABORATORIUM MEDIS

2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya haturkan pada kehadirat Allah SWT yang telah memberikan karunia
dan petunjuk-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas kelompok pembuatan
makalah dengan judul “Hemostasis” yang disusun sebagai pemenuhan tugas mata kuliah
Hemostasis semester 4 Program Sarjana Terapan Teknologi Laboratorium Medis Poltekkes
Semarang.

Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan tugas makalah tidak terlepas dari bantuan
berbagai pihak yang telah meluangkan waktunya. Maka dari itu, pada kesempatan kali ini
penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada:

1. Ririh Jatmi Wikandari, S.ST., M.Si selaku dosen pembimbing dalam menyelesaikan
makalah ini, serta sebagai dosen koor mata kuliah Hemostasis semester IV prodi S.Tr
TLM yang telah memberikan banyak bantuan, masukan, dan dukungan terkait penulisan
makalah ini.
2. Lilik Setyowatiningsih, S.SiT, M.Si, Adita Puspitasari Swastiya P, SKM , M.Epid, Retno
Sulistyowati, S.SiT, M.Kes, Dr dr I Edward Kurnia S.I, M.M, M.HKes, Sp,PK, M.Si
Med , Dr dr Anung Sugihantono, M.Kes selaku dosen pengampu teori mata kuliah
Hemostasis semester IV.
3. Orang tua yang telah memberikan dukungan tiada henti kepada penulis.
4. Teman-teman prodi S.Tr TLM angkatan 4 yang telah memberikan motivasi dan dukungan
kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini baik dari segi isi dan
penyampaian masih jauh dari kata sempurna. Maka dari itu dengan kerendahan hati, penulis
mohon masukan baik berupa kritikan maupun saran. Akhir kata penulis mengucapkan mohon
maaf apabila terdapat kata-kata dalam penulisan makalah ini yang kurang berkenan. Sekian
dan terima kasih.

25 Maret 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................. ii

DAFTAR ISI ........................................................................................................................... iii

BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................................................ 4

1.1 Latar Belakang ............................................................................................................ 4

1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................................... 5

1.3 Tujuan ......................................................................................................................... 5

BAB II PEMBAHASAN ..........................................................................................................5

2.1. Hemostais ....................................................................................................................5

2.2. Faktor Hemostasis .......................................................................................................8

2.3. Komponen Hemostasis Trombosit............................................................................13


2.4 Jenis Hemostasis........................................................................................................16
2.5 Inhibitor Proses Hemostasis......................................................................................19
2.6 Fibrinolisis.................................................................................................................24
2.7 Mekanisme Feedback Negative Pada Koagulasi.......................................................24
2.8 Pemeriksaan Hemostasis...........................................................................................25
2.9 Kelainan Pada Hemostasis.........................................................................................53
BAB IV PENUTUP ................................................................................................................68

4.1 Kesimpulan ............................................................................................................... 68

4.2 Saran ..........................................................................................................................68

KUMPULAN SOAL...............................................................................................................iv
LAMPIRAN............................................................................................................................vii

iii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hemostasis merupakan mekanisme tubuh untuk menghentikan perdarahan
secara spontan yang ditujukan supaya tidak kehilangan darah terlalu banyak
apabila terjadi (koagulasi), fibrinolisis dan mekanisme pengaturan
keseimbangannya, sehingga darah tetap cair dan mengalir secara lancar. Dalam
keadaan normal, proses hemostasis dimulai dengan adanya trauma, pembedahan,
atau penyakit yang merusak lapisan endotel pembuluh darah, dan darah terpajan
dengan jaringan ikat subendotel. Kelangsungan hemostasis dipertahankan melalui
proses keseimbangan antara perdarahan dan trombosis yang melibatkan
komponen sistem vaskular, trombosit, faktor koagulasi, fibrinolisis dan anti
fibrinolisis.

Proses hemostasis terbagi menjadi 3 proses, yaitu proses hemostasis


primer, hemostasis sekunder (koagulasi), fibrinolisis, dan mekanisme pengaturan
keseimbangannya. Proses hemostasis penting diketahui dengan tujuan mengetahui
proses atau jalur proses menghentikan pengeluaran darah melalui kerusakan kecil
di kapiler, arteriol, dan venula sehingga darah menjadi beku sempurna atau darah
luka menutup. Pembekuan darah adalah sebuah proses autokatalitik dengan
sejumlah kecil enzim. Enzim terbentuk dengan setiap reaksi jumlah besar pada
reaksi selanjutnya. Adapun mekanisme kontrol untuk mencegah aktivasi dan
pemakaian faktor pembekuan darah secara berlebihan yaitu melalui aliran darah,
mekanisme pembersihan (clearance) seluler dan inhibitor alamiah.

Dalam mekanisme pembekuan darah, penting diketahui tahapan nya


termasuk faktor - faktor yang bekerja untuk melakukan pembekuan darah,
termasuk mekanisme feedback proses koagulasi. Dan dalam mengetahui
pengetahuan darah dapat dilakukan melalui berbagai pemeriksaan cloting time,
bleding time, rumple leed, APTT, PTT, TT, tes agregasi trombosit, retraksi
bekuan dan pemeriksaan trombosit (langsung dan tidak langsung). Adapun, tujuan
dari pemeriksaan hemostasis untuk mengetahui berbagai kelainan vaskuler,
trombosit, pembekuan, primer, dan sekunder. Berdasarkan latar belakang tersebut,
penulis tertarik membuat makalah yang berjudul
4
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa yang dimaksud hemostasis berdasarkan faktor, jenis, cara kerja,
inhibitor , dan fibrinolisis ?
1.2.2 Bagaimana mekanisme koagulasi, dan mekanisme feedback negative
pada proses koagulasi ?
1.2.3 Bagaimana cara melakukan pemeriksaan Hemostasis pada pemeriksaan
cloting time, bleding time, rumple leed, APTT, PTT, TT, tes agregasi
trombosit, retraksi bekuan dan pemeriksaan trombosit (langsung dan
tidak langsung) ?
1.2.4 Apa yang dimaksud kelainan vaskuler, trombosit, pembekuan, primer,
dan sekunder pada pemeriksaan hemostasis ?

1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui hemostasis berdasarkan faktor, jenis, cara kerja, inhibitor
dan fibrinolisis
1.3.2 Mengetahui mekanisme feedback negative pada proses koagulasi
1.3.3 Mengetahui cara melakukan pemeriksaan Hemostasis pada pemeriksaan
cloting time, bleding time, rumple leed, APTT, PTT, TT, tes agregasi
trombosit, retraksi bekuan dan pemeriksaan trombosit (langsung dan
tidak langsung)
1.3.4 Mengetahui kelainan vaskuler, trombosit, pembekuan, primer, dan
sekunder pada pemeriksaan hemostasis

5
BAB II
ISI

2.1 Hemostasis
Hemostasis merupakan mekanisme tubuh dalam menghentikan pendarahan
secara spontan. Dalam hal ini, ditujukan supaya tidak kehilangan terlalu banyak
darah pada luka sehingga darah mampu terjaga dalam kondisi cair dan mengalir
lancar. Secara internal pada pembuluh darah terdapat produk dari jaringan
berbeda yang sangat kompleks, produk tersebut berasal dari sumsum tulang,
endotelium dan sistem retikuloendotelial. Pada kondisi normal proses hemostasis
dimulai dengan trauma, pembedahan atau penyakit yang merusak lapisan endotel
vaskular dan darah murni dengan jaringan ikat subendotel. Proses hemostasis
dipertahankan melalui proses keseimbangan antara perdarahan dan trombosis
keterlibatan komponen sistem vaskular, trombosit, faktor koagulasi, fibrinolisis
dan antifibrinolysis.
Hemostasis terdiri dari enam komponen utama, yaitu: trombosit, endotel
vaskuler, procoagulant plasma protein faktors, natural anticoagulant proteins,
protein fibrinolitik dan protein antifibrinolitik. Semua komponen ini harus
tersedia dalam jumlah cukup, dengan fungsi yang baik serta tempat yang tepat
untuk dapat menjalankan faal hemostasis dengan baik. Interaksi komponen ini
dapat memacu terjadinya thrombosis disebut sebagai sifat prothrombotik dan
dapat juga menghambat proses thrombosis yang berlebihan, disebut sebagai sifat
antithrombotik. Faal hemostasis dapat berjalan normal jika terdapat keseimbangan
antara faktor prothrombotik dan faktor antithrombotik.
Hemostasis atau proses pembekuan darah terdiri dari serangkaian reaksi
enzimatik protein plasma yang dikenal sebagai faktor pembekuan darah,
fosfolipid dan ion kalsium. Faktor koagulasi terdiri dari tiga kelompok, yaitu
kelompok fibrinogen yang terdiri dari Faktor I,V, VIII dan XIII, kelompok
protrombin terdiri dari faktor II, VII, IXdan X serta kelompok kontak yang terdiri
dari faktor XI dan XII (Kiswari,2014). Proses pembekuan darah diawali dengan
dua jalur yaitu jalur internal dan eksternal, yang kemudian terhubung ke jalan
bersatu dengan FX, F V, PF 3, Prothrombin dan Fibrinogen (Setiabudy, 2009).
Sistem hemostasis terbagi menjadi 3 sistem, yang meliputi :
a. Sistem vaskuler

6
Sistem hemostasis yang berperan dalam mencegah perdarahan meliputi proses
kontraksi pembuluh darah (vasokonstriksi) serta aktivasi trombosit dan
pembekuan darah yang terjadi selama 20-30 menit setelah trauma. Apabila
pembuluh darah mengalami luka, proses pertama kali adalah vasokonstriksi
secara reflektoris dan kemudian akan dipertahankan oleh faktor lokal seperti 5-
hidroksitriptamin (5-HT, serotonin) dan epinefrin. Vasokonstriksi akan
menyebabkan pengurangan aliran darah pada daerah yang luka (Setiabudy, 2009).
b. Sistem trombosit
Sistem trombosit merupakan sistem hemostasis yang berperan dalam
pembentukan dan stabilisasi sumbat trombosit. Pembentukan sumbat trombosit
melalui tahap adhesi trombosit, agregasi trombosit, dan reaksi pelepasan.
Pembentukan sumbat trombosit terjadi selama 7-10 hari, diatur oleh trombopotin
yang dibuat oleh hati dan ginjal. Apabila pembuluh darah luka, sel endotel akan
rusak menyebabkan jaringan ikat dibawahnya terbuka. Hal ini akan mengawali
tahap adhesi trombosit yaitu proses trombosit melekat pada permukaan asing
terutama kolagen.

7
Selain itu, trombosit juga melekat pada jaringan lain atau disebut agregasi
trombosit. Agregasi trombosit dapat terjadi melalui:
1. Perangsangan dinding pembuluh darah yang terluka ( Kolagen )
2. Sistem Koagulasi ( Trombin )
3. Stimulasi Trombosit ( bahan yang keluar dari pelepasan )
4. Hormon plasma (adrenalin,vasopresin)
Dan ditandai dengan terjadinya kelainan perdarahan yaitu defek kualitas
trombosit herediter, defek kualitas trombosit aquist, terjadi peningkatan agregasi
trombosit, memantau daya hambat platelet dalam terapi obat. Penentuan faktor
resiko trombosis arteri. Agregasi trombosit primer bersifat reversibel yang mampu
mengeluarkan Adenosine diphosphate (ADP) sehingga terjadi agregasi trombosit
sekunder yang bersifat irreverisbel. Agregasi trombosit sekunder terjadi karena
adanya pembentukan ikatan di antara fibrinogen yang melekat pada dinding
trombosit dengan perantara ion kalsium. Mula-mula ADP akan terikat pada
reseptornya di permukaan trombosit dan interaksi ini menyebabkan reseptor untuk
fibrinogen terbuka sehingga memungkinkan ikatan antara fibrinogen dengan
reseptor tersebut. Ion kalsium kemudian akan menghubungkan fibrinogen tersebut
sehingga terjadi agregasi trombosit.
Selama proses agregasi, terjadi perubahan bentuk trombosit dari bentuk
cakram menjadi bulat disertai pembentukan pseudopodi. Perubahan ini membuat
granula trombosit terkumpul ditengah dan akhirnya akan melepaskan intinya.
Proses ini disebut reaksi pelepasan dan memerlukan adanya energi. Zat agregator
lain seperti trombin, kolagen, epiefrin dan TxA2 dapat menyebabkan reaksi
pelepasan. Reaksi pelepasan akan melepaskan bermacam-macam substansi
biologik yang terdapat di dalam granula padat, alfa dan lisosom. Granula padat
melepaskan ADP, ATP, ion kalsium, serotonin, epinefrin dan non-epinefrin.
Granula alfa melepaskan fibrinogen, vWF, F.V, platelet factor 4(PF. 4), beta
tromboglobulin (βTG). Sedangkan lisosom melepaskan bermacam-macam enzim
hidrolase asam. Dan tahap terakhir untuk menghentikan perdarahan adalah
pembentukan sumbat trombosit yang stabil melalui pembentukan fibrin
c. Sistem pembekuan darah
Proses pembekuan darah terdiri dari rangkaian reaksi enzimatik yang
melibatkan protein plasma yang disebut faktor pembekuan darah, fosfolipid, dan
ion kalsium. Masa pembekuan darah, dimulai 15-20 detik pada trauma berat, 1-2
8
menit pada trauma ringan. Dalam 3-6 menit setelah robeknya pembuluh darah,
seluruh ujung pembuluh darah yang terpotong akan diisi dengan bekuan. Dalam
30 menit - 1 jam bekuan mengalami retraksi atau penutupan luka. Faktor
pembekuan terdiri dari tiga kelompok yaitu kelompok fibrinogen yang terdiri dari
faktor I,V, VIII dan XIII, kelompok prothrombin terdiri dari faktor II, VII, IX dan
X, serta kelompok kontak terdiri dari faktor XI dan XII (Kiswari,2014). Proses
pembekuan darah dimulai melalui dua jalur yaitu jalur instrinsik dan ekstrinsik
yang kemudian akan bergabung menjadi jalur bersama yang melibatkan F X, F V,
PF 3, protrombin dan fibrinogen.
2.3 Faktor Hemostasis
Dalam proses hemostasis terdapat faktor pembekuan darah yang berperan dalam
proses penutupan luka dan terbagi menjadi dua jalur yaitu :
1. Jalur intrinsik
Jalur intrinsik meliputi fase kontak dan pembentukan kompleks aktivator F.X.
Kontak antara F.XII dengan permukaan asing seperti serat kolagen akan menyebabkan
aktivasi F.XII menjadi F.XIIa. Dengan adanya kofaktor HMWK, F.XIIa akan
mengubah prekalikrein menjadi kalikrein yang akan meningkatkan akivasi F.XII.
Kalikrein akan mengaktifkan F.VII menjadi F.VIIa pada jalur ekstrinsik, mengaktifkan
plasminogen menjadi plasmin pada sistem fibrinolitik, serta mengubah kininogen
menjadi kinin yang berperan dalam reaksi inflamasi. Reaksi selanjutnya pada jalur
intrinsik adalah aktivasi F.XI menjadi F.XIa oleh F.XIIa dengan HMWK sebagai
kofaktor. F.XIa dengan ion kalsium akan mengubah F.IX menjadi F.IXa. Reaksi
terakhir pada jalur intrinsik adalah interaksi non enzimatik antara F.IXa, PF.3, F.VIII,
dan ion kalsium membentuk kompleks yang mengaktifkan F.X. PF.3, F.VIII, dan ion
kalsium akan mempercepat reaksi ini meskipun F.IXa dapat mengaktifkan F.X
2. Jalur ekstrinsik
Jalur ekstrinsik diawali oleh masuknya tromboplastin jaringan ke dalam
sirkulasi darah yang berasal dari fosfolipoprotein dan membran organel dari sel-sel
jaringan yang terganggu. Faktor VII akan mengikat fosfolipid dalam membran sel dan
jaringan membentuk faktor VIIa yang merupakan enzim kuat yang mampu
mengaktifkan faktor X menjadi Xa bersama dengan kalsium terionisasi. Faktor VII
hanya berperan dalam jalur ekstrinsik dan langkah terakhir konversi fibrinogen
menjadi fibrin oleh trombin (Kiswari, 2014).

9
Jalur ekstrinsik terdiri dari reaksi tunggal dimana F.VII akan diaktifkan menjadi
F.VIIa dengan adanya ion kalsium dan tromboplastin jaringan yang dikeluarkan oleh
pembuluh darah yang luka. Kalikrein dapat mengaktivasi F.VII menjadi F.VIIa, hal ini
membuktikan adanya hubungan antara jalur intrinsik dan ekstrinsik.Selanjutnya,
F.VIIa yang terbentuk akan mengaktifkan F.X menjadi F.Xa (Setiabudy, 2009).
3. Jalur bersama
Jalur bersama meliputi pembentukan prothrombin converting complex
(protrombinase), aktivasi protrombin, dan pembentukan fibrin. Reaksi pertama pada
jalur bersama adalah perubahan F.X menjadi F.Xa oleh adanya kompleks yang
terbentuk pada jalur intrinsik dan atau F.VIIa dari jalur ekstrinsik. F.Xa bersama F.V,
PF.3 dan ion kalsium membentuk prothtombin converting complex yang akan
mengubah protrombin mejadi trombin. Trombin merupakan enzim proteolitik yang
mempunyai beberapa fungsi yaitu mengubah fibrinogen menjadi fibrin, mengubah
F.XIII menjadi F.XIIIa, meningkatkan aktivasi F.V dan F.VIII, merangsang reaksi
pelepasan dan agregasi trombosit.
Kemudian rombin akan mengubah fibrinogen menjadi fibrin monomer.
Fibrinogen terdiri dari 3 pasang rantai polipeptida yaitu 2 alfa, 2 beta dan 2 gama.
Trombin akan memecah rantai alfa dan beta pada N-terminal menjadi fibriopeptida A,
B, dan fibrin monomer. Fibrin monomer akan segera megalami polimerisasi untuk
membentuk fibrin polimer. Fibrin polimer mula-mula bersifat tidak stabil karena
mudah larut oleh adanya zat tertentu seperti urea, sehingga disebut fibrin polimer
soluble. Fibrin polimer soluble akan diubah menjadi fibrin polimer insoluble karena
terbentuk ikatan silang antara 2 rantai gama dari fibrin monomer yang bersebelahan
dengan adanya F.XIIIa dan ion kalsium. Aktivasi F.XIII menjadi F.XIIIa terjadi
dengan adanya trombin.
Sehingga, disimpulkan faktor-faktor pembekuan darah meliputi
a. Faktor I (Fibriogen)

Fibrinogen adalah protein globulin berukuran besar yang stabil (berat molekul
341.000). Fibrinogen adalah prekursor fibrin yang menghasilkan bekuan.

b. Faktor II (Protrombin)

Protrombin adalah protein yang stabil (berat molekul 63.000). Protrombin


memiliki waktu paruh hampir 3 hari dan digunakan kira-kira 70% selama pembekuan.

10
Protrombin diubah menjadi trombin oleh aksi enzimatik tromboplastin dari kedua jalur
ekstrinsik dan intrinsik dengan dipengaruhi kalsium terionisasi. Trombin (berat
molekul 40.000) adalah bentuk aktif dari protrombin, yang biasanya ditemukan
sebagai prekursor dalam sirkulasi. Sejumlah besar trombin digunakan selama proses
konversi fibrinogen menjadi fibrin.

c. Faktor III (Tromboplastin jaringan)

Tromboplastin jaringan adalah istilah yang diberikan untuk setiap substansi


nonplasma yang mengandung kompleks lipoprotein jaringan. Tromboplastin jaringan
dapat berasal dari jenis jaringan yang mampu mengkonversi protrombin menjadi
trombin seperti otak, paru-paru, endotel pembuluh darah, hati, plasenta, atau ginjal.

d. Faktor IV (Ion kalsium)

Kalsium terionisasi adalah istilah untuk menggantikan faktor IV. Kalsium


terionisasi adalah bentuk fisiologis aktif dari kalsium.Kalsium terionisasi diperlukan
untuk aktivasi tromboplastin dan untuk konversi protombin menjadi trombin.

e. Faktor V (Proacclerin)

Faktor V adalah protein globulin yang sangat labil, berubah degan cepat,
memiliki waktu paruh 16 jam. Faktor V digunakan dalam proses pembekuan dan
sangat penting untuk pembentukan tromboplastin.

f. Faktor VII (Proconvertin)

Fungsi faktor VII adalah aktivasi tromboplastin jaringan dan percepatan


pembentukan trombin dari protrombin. Faktor ini dihambat oleh antagonis vitamin K.

g. Faktor VIII (Faktor Antihemofilik)

Faktor ini adalah reaktan pada fase akut, digunakan selama proses pembekuan
dan tidak ditemukan dalam serum. Faktor VIII sangat labil dan berkurang sebanyak
50% dalam 12 jam pada suhu 4℃in vitro.

h. Faktor IX (Plasma Thromboplastin Component)

Faktor IX adalah faktor protein yang stabil yang tidak dipakai selama
pembekuan. Faktor IX merupakan komponen penting dari sistem pembangkit

11
tromboplastin jalur intrinsik, di mana dapat mempengaruhi laju pembentukan
tromboplastin.

i. Faktor X (Stuart Factor)

Merupakan alfa-globulin, faktor yang relatif stabil. Bersama dengan faktor V,


faktor X bereaksi dengan ion kalsium membentuk jalur akhir yang umum di mana
produk-produk dari kedua jalur ekstrinsik dan intrinsik yang
menghasilkantromboplastin bergabung untuk membentuk tromboplastin akhir yang
mengubah protrombin menjadi trombin. Aktivitas faktor X tampaknya terkait dengan
faktor VII

j. Faktor XI (Tromboplastin Plasma)

Faktor XI, beta-globulin dapat ditemukan dalam serum karena hanya sebagian
yang digunakan selama proses pembekuan. Faktor ini sangat penting untuk mekanisme
yang menghasilkan tromboplastin dalam jalur intrinsik.

k. Faktor XII (Faktor Hageman)

Faktor XII merupakan faktor yang stabil. Adsopsi faktor XII dan kininogen
(dengan prekallikrein rerikat dan faktor XI) pada permukaan pembuluh darah yang
cedera akan memulai koagulasi dalam jalur intrinsik. Kallikrein (diaktifkan faktor
Fletcher) memotong sebagian aktivitas molekul XIIa untuk menghasilkan bentuk yang
lebih kinetik efektif XIIa karena mekanisme umpan balik.

L. Faktor XIII (Fibrin-Stabilizing Factor)

Faktor ini bersama kalsium terionisasi menghasilkan bekuan fibrin yang stabil.

4. Fibrinolisis

Fibrinolisis merupakan mekanisme pecahnya benang fibrin (produk akhir


koagulasi). Darah juga mengandung enzim fibrinolitik yang berguna mencegah
pembentukan gumpalan atau pembekuan darah pada area yang tidak terluka, sehingga
tidak akan menghalangi aliran darah, enzim ini juga akan menghancurkan fibrin bila
luka telah sembuh (Durachim dan Astuti, 2018). Melalui proses fibrinolisis, aliran
darah akan terbuka kembali (Setiabudy, 2009).

12
Sistem fibrinolitik terdiri dari tiga komponen utama yaitu plasminogen yang
akan diaktifkan menjadi plasmin, aktivator plasminogen dan inhibitor plasmin.
Plasminogen sebagian besar terikat pada fibrin dan sebagian lagi terdapat bebas di
dalam plasma. Apabila plasminogen diaktifkan, akan terbentuk plasmin bebas dan
plasmin yang terikat fibrin. Plasmin bebas akan segera dinetralkan oleh antiplasmin,
namun apabila jumlahnya berlebihan, maka plasmin bebas tersebut akan memecah
fibrinogen, F.V dan F.VIII (Setiabudy, 2009). Plasmin memecah fibrin menjadi
fragmen-fragmen yang disebut fibrin degradation products (FDP) , mula-mula
terbentuk fragmen X yang selanjutnya dipecah menjadi fragmen Y yang dipecah
menjadi fragmen D dan E, dan D. Fragmen-fragmen tersebut mengganggu aktivitas
trombin, fungsi trombosit dan polimerisasi fibrin yang mengakibatkan bekuan larut
(D’Hiru, 2013). Pada proses selanjutnya FDP dibersihkan dari sirkulasi darah oleh hati
dan RES (reticuloendothelial system) (Setiabudy, 2009).

2.3. Komponen Hemostasis Trombosit

Trombosit atau disebut juga keping darah merupakan fragmen sitoplasma


megakariosit yang terbentuk di sumsum tulang. Trombosit berbentuk cakram
bikonveks dengan diameter 0,75-2,25 mm, memiliki berat jenis kecil, dan tidak berinti.
Namun, trombosit masih dapat melakukan sintesis protein, karena di dalam sitoplasma
masih mengandung sejumlah RNA meskipun jumlahnya terbatas (Sadikin, 2001).
Trombosit merupakan partikel darah dinamis yang bersama dengan faktor koagulasi
memiliki fungsi utama pada proses hemostasis, yaitu mencegah perdarahan. Trombosit
berinteraksi dengan sel lekosit dan sel endotelial untuk mencari kerusakan vaskular,
lalu teraktivasi. Ketika terstimulasi, trombosit mengalami perubahan bentuk, luas
permukaan meningkat dan molekul bioaktif dari granula alfa dan granula dense
disekresikan. Selain peranan penting trombosit pada proses hemostasis dan trombosis,
beberapa bukti memperlihatkan bahwa trombosit berkontribusi pada proses inflamasi
pertahanan tubuh terhadap bakteri, proses penyembuhan luka, angiogenesis, dan
remodelling.

13
Gambar 1 Sel Darah Merah
Konsentrat trombosit dapat berupa trombosit tunggal yang berasal dari
platelet rich plasma (PRP), Trombosit tunggal yang berasaal dari buffy coat
(BC),Trombosit pooling,Trombosit Leukodepleted4 .Trombosit tunggal yang
berasal dari platelet rich plasma (PRP) dibuat dari komponen whole blood (WB)
yang disimpan hingga 24 jam pada suhu 20oC hingga 24oC, lalu disentrifugasi
untuk mendapatkan sejumlah trombosit yang memadai di dalam plasma (PRP).
Komponen trombosit tunggal yang berasal dari buffy coat (BC) dibuat dari WB,
disimpan hingga 24 jam pada suhu 20oC hingga 24oC, disentrifugasi untuk
mengendapkan trombosit ke dalam lapisan buffy coat (BC). Buffy coat selanjutnya
disentrifugasi untuk mengendapkan sel darah merah dan leukosit. Komponen
trombosit pooling dibuat dapat juga dibuat dari empat hingga enam kantong buffy
coat yang dipooling dengan menggunakan sterile connecting device dan
disentrifugasi untuk mengendapkan sisa sel darah merah dan leukosit, supernatan
trombosit dipindahkan ke dalam kantong trombosit baru menggunakan tehnik steril.
Komponen Trombosit Leukodepleted dibuat dari trombosit tunggal atau pooling
dari metoda PRP atau BCR segera difiltrasi ke dalam kantong trombosit baru
menggunakan proses steril. Komponen konsentrat trombosit dapat juga didapatkan
dengan menggunakan alat otomatis yang disebut dengan apheresis.

14
Proses penghentian perdarahan pada luka oleh trombosit ini dilakukan
dengan pembentukan sumbat trombosit, dimana sumbat trombosit terjadi melalui
beberapa tahap yaitu adhesi trombosit, agregasi trombosit, dan reaksi pelepasan
(D’Hiru, 2013). Adhesi trombosit adalah suatu proses perlekatan trombosit pada
bagian pembulu darah ketika terjadi cidera atau kerusakan pembuluh darah. dalam
proses perlekatan trombosit diperantarai oleh faktor Von Willebrand (VWF). proses
penempelan ini melibatkan suatu interaksi antara glikoprotein membran trombosit
dan jaringan yang rusak.

Adhesi trombosit sangat tergantung pada faktor protein plasma yang disebut
faktor von Willebrand yang disintesis oleh sel endotel dan megakariosit. Adhesi
trombosit berhubungan dengan peningkatan daya lekat trombosit sehingga trombosit
berlekatan satu sama lain serta dengan jaringan subendotel yang cedera. Dengan
demikian, terbentuk sumbat hemostatik primer atau inisial (Setiabudy, 2007).

Ada beberapa jenis proses adhesi trombosit, antara lain :

1. Adhesi trombosit pada kolagen

Kolagen yang berbeda hadir di diniding pembuluh darah, dimana tujuannya


untuk mendukung adhesi dan agregasi platelet. beberapa protein pengikat kolagen
diduga telah di identifikasi pada trombosit, seperti protein 65kDa yang dilaporkan
spesifik untuk kolagen tipe 1.

2. Adhesi trombosit ke fibrinogen / fibrin

Fibrinogen dalam darah berfungsi sebagai protein larut dan kumpulan yang
dapat dilepaskan juga terkandung dalam butiran trombosit. fibrinogen diperlukan
untuk agregasi trombosit normal tetapi mungkin tidak berkontribusi pada lokalisasi
pertama trombosit ke permukaaan pembuluh darah yang cidera. meskipun demikian,
dalam kondisi eksperimental, fibrinogen amobil adalah substrat untuk penghentian
trombosit dibawah aliran. fibrin sendiri adalah produk akhir dari proses koagulasi,

15
dimana polimer fibrinogen yang tidak larut yang berikatan silang yang penting
untuk konsolidasi definitif agregat trombosit dalam trombus tetapi juga
mempertahankan kemampuan untuk mendukung adhesi trombosit.

3. Adhesi trombosit ke fibronektin

Fibronektin adalah substrat perekat penting dalam banyak proses biologis


mendasar, dimana penipisan fibronektin plasma dapat menunjukan pertumbuhan
trombus yang tertunda dan penurunan stabilitas agregat trombosit yang menunjukan
bahwa fibronektin dapat bersinergi dengan VWF dan fibrinogen dalam mendukung
kohesi antar - platelet melalui aktivasi.

4. Adhesi trombosit ke trombospodin

Tromboposdin adalah keluarga protein perekat dimana tromboposdin yang


terkandung dalam granula alfa trombosit akan berikatan dengan membran trombosit
dan memediasi adhesi setelah adanya sekresi. tromboposdin amobil telah terbukti
mendukung perlekatan trombosit yang stabil hingga laju geser 4.000 detik. adhesi ke
tromboposdin dapat terbukti dengan parindependen dari VWF namun harus
diverifikasi terlebih dahulu.

5. dhesi trombosit ke laminin

Berbagai bentuk laminin sangat diekspresikan dalam subendotel, dan ketika


terpapar darah merupakan substrat potensial untuk adhesi trombosit. bentuk
tubendotel adalah laminin 8 dan laminin 10 dimana trombosit dapat mensekresi saat
aktivasi laminin 8 dan 10. adhesi ke laminin dapat menggambarkan peran laminin
yang digabungkan dengan jalur aktivasi untuk pembentukan trombus trombosit.

Agregasi trombosit adalah kemampuan trombosit melekat satu sama lain


untuk membentuk sumbat. Agregasi trombosit mula-mula dicetuskan oleh ADP

16
yang dikeluarkan oleh trombosit yang melekat pada jaringan subendotel. Disamping
ADP, untuk agregasi trombosit diperlukan ion kalsium dan fibrinogen (Setiabudy,
2007).

Reaksi pelepasan terjadi perubahan bentuk trombosit dari bentuk cakram


menjadi bulat disertai dengan pembentukan pseudopodi selama reaksi agregasi
trombosit. Akibat perubahan bentuk maka granula trombosit akan berkumpul di
tengah dan melepaskan isinya proses yang terjadi memerlukan adanya energi. Zat
yang akan dilepaskan tergantung pada zat yang merangsang, seperti trombin dan
kolagen yang merangsang isi granula padat, alfa, dan lisosom (Setiabudy, 2012)

Kualitas dan kuantitas dari komponen trombosit dipengaruhi oleh beberapa


hal seperti seleksi donor, pengambilan darah donor, proses darah donor,
penyimpanan serta distribusi komponen yang membutuhkan perlakuan khusus .
Komponen trombosit yang telah dipisahkan dari darah donor, disimpan selama lima
hari pada suhu 22OC. Viabilitas trombosit dapat berkurang secara progresif selama
masa penyimpanan. Selama masa penyimpanan dapat terjadi perubahan biokimia,
struktur serta fungsi, yang disebut juga dengan platelet storage lesion (PSL).

2.4 Jenis Hemostasis


Di dalam pembuluh darah terdapat berbagai produk yang sangat kompleks dari
berbagai jaringan, diantaranya produk dari sumsum tulang, endotel dan sistem
retikuloendotelial. Dalam keadaan normal, proses hemostasis dimulai dengan adanya
trauma, pembedahan, atau penyakit yang merusak lapisan endotel pembuluh darah,
dan darah terpajan dengan jaringan ikat subendotel. Kelangsungan hemostasis
dipertahankan melalui proses keseimbangan antara perdarahan dan trombosis yang
melibatkan komponen sistem vaskular, trombosit, faktor koagulasi, fibrinolisis dan
antifibrinolisis. Untuk mempermudah memahami proses yang sangat kompleks ini
maka dibagi atas proses hemostasis primer, hemostasis sekunder (koagulasi),
fibrinolisis, dan mekanisme pengaturan keseimbangannya.
Pada proses perdarahan dari pembuluh darah maka yang terjadi adalah adanya
kerusakan dinding pembuluh darah dan tekanan di dalam pembuluh darah lebih besar
daripada tekanan di luar. Oleh karena itu, terjadi dorongan darah keluar dari kerusakan
tersebut. Mekanisme hemostatik inheren dalam keadaan normal mampu menambal
kebocoran dan menghentikan pengeluaran darah melalui kerusakan kecil di kapiler,

17
arteriol, dan venula. Pembuluh-pembuluh darah ini sering mengalami rupture oleh
trauma-trauma minor yang terjadi sehari-hari. Trauma semacam ini adalah sumber
tersering perdarahan. Mekanisme hemostasis dalam keadaan normal menjaga agar
kehilangan darah melalui trauma kecil tersebut tetap minimum.

Proses hemostasis terdiri dari hemostasis primer, hemostasis sekunder


(koagulasi), fibrinolisis dan mekanisme pengaturan keseimbangannya. Tahapan atau
proses hemostasis dibagi menjadi tiga langkah utama yaitu: (1) spasme vaskuler
(Vasokonstriksi vaskuler), (2) pembentukan sumbat trombosit Hemostasis Primer, (3)
koagulasi darah Hemostasis Sekunder. Sedangkan proses hemostasis akan
dipertahankan keseimbangannya melalui: (1) mekanisme kontrol pembekuan darah, (2)
proses fibrinolisis.
2.3.1 Hemostasis primer
Hemostasis primer adalah proses melekatnya platelet ke permukaan pembuluh
darah yang rusak, adanya aktivasi platelet, diikuti dengan agregasi platelet. Perlekatan
awal platelet ke kolagen subendothelial yang rusak diperantai oleh faktor von
Willebrand dan reseptor spesifik untuk kolagen ( 2Bβ1) yang dilepaskan secara alami
oleh sel endotel dan megakariosit. Faktor von Willebrand terbentuk sesaat setelah
terjadi injuri pada jaringan. Faktor von Willebrand dengan tambahan bantuan reseptor
glikoprotein Ib-IX akan terjadi ikatan antara platelet dengan serat kolagen subendotel.

18
Platelet juga dapat melekat secara langsung pada kolagen dengan integrin platelet
2Bβ1. Tahapan perlekatan platelet pada subendotel menyebabkan banyak platelet
terperangkap pada area luka dan platelet yang menempel nantinya akan teraktivasi.
Tahap selanjutnya adalah platelet melepaskan ADP atau Adenosin Difosfat, di
mana ADP akan menjadi perantara melekatnya platelet baru dengan platelet yang
sudah menempel pada endotel tadi. Proses tersebut yang mengawali terbentuknya
agregasi platelet primer. Platelet agregasi primer akan mengeluarkan ADP lagi,
sehingga akan bertambah banyak platelet baru yang melekat pada agregasi platelet
primer maka proses tersebut merupakan pembentukan agregasi sekunder. ADP selain
sebagai agregator platelet, bersama ion kalsium membantu memperantarai perlekatan
fibrinogen dengan reseptor endotel. Ion kalsium juga berfungsi sebagai jembatan
fibrinogen dengan platelet. Selain proses tersebut terdapat proses aktivasi enzim
fosfolipase A2, sehingga menyebabkan fosfolipid di dinding platelet pecah dan
melepaskan asam arakhidonat. Asam arakhidonat akan berubah menjadi prostalglandin
G2 (PGG2) dengan enzim siklooksigenase. PGG2 akan berubah menjadi
prostalglandin H2 (PGH2) oleh enzim peroksidase. PGH2 akan menjadi tromboksan
A2 dengan enzim tromboksan sintase. Tromboksan A2 ini lah yang membantu
perlekatan antar platelet pada agregasi platelet.
2.3.2 Hemostasis sekunder
Hemostasis sekunder terjadi ketika fibrin dibentuk untuk ditambahkan pada
massa trombosit dan pemadatan (retraksi) bekuan yang diinduksi oleh trombosit.
Proses pembentukan fibrin dalam membentuk bekuan darah yang melibatkan beberapa
jalur yaitu jalur intrinsik dan jalur ekstrinsik. Kedua jalur tersebut akan saling bertemu
yang merupakan jalur bersama dan terakhir dalam koagulasi. Hemostasis sekunder
bersifat delayed dan long-term response. Kalau proses ini sudah cukup untuk menutup
luka, maka proses berlanjut ke hemostasis tersier (Nugraha, 2017).
2.3.3 Hemostasis primer
Hemostasis tersier yaitu mekanisme hemostasis lanjut yang diperankan oleh
darah, dimana bekuan atau hemostatic plug yang sudah terbentuk akan dihancurkan
dalam sistem fibrinolisis. Sistem fibrinolisis akan diaktifkan untuk melakukan
penghancuran fibrin yang sudah terbentuk agar tidak menjadi penghalang aliran darah
dan menyebabkan lisis dari fibrin dan endotel menjadi utuh kembali. Hemostasis
tersier ini bertujuan untuk mengontrol agar aktivitas koagulasi tidak berlebihan.
Hemostasis tersier melibatkan sistem fibrinolisis. Ada beberapa sistem yang berperan
19
dalam hemostasis yaitu sistem vaskuler, trombosit dan pembekuan darah (Durachim
dan Astuti, 2018).
2.5 Inhibitor Proses Hemostasis
Inhibitor adalah sejumlah protein plasma mampu menghambat serine protease
yang terlibat dalam koagulasi,fibrinolisis, dan pembentukan kinin. Ini termasuk
antitrombin III, heparincofactor II, a2-macroglobulin, a1-antitrypsin, tissue factor
pathwayinhibitor ( TFPI), activator inhibitor-1(PAI-1), dan C1 inhibitor. Macam-
macam ihibitor meliputi, inhibitor vaskuler terdiri dari Prostasiklin dan Nitrit oksida.
Prostasiklin merupakan suatu prostaglandin yang dihasilkan di selendotel, yang
berasal dari asam, arakidonat dimana dalam pembuatannya dikatalisir oleh enzim
siklooksigenase. Menyebabkan vasodilatasi (menghambat vasokontriksi) dan
menghambat agregasi trombosit.
Selain itu, terdapat inhibitor koagulasi yang berfungsi mencegah proses
koagulasi; yaitu membatasi proses koagulasi pada pembuluh darah yang mengalami
cedera (AT III,thrombomodulin, TFPI, PC). Dan inhibitor fibrinolisis langsung
menghambat plasmin (antiplasmins)atau plasminogen aktivator. Zat endogen yang
menghambat plasmin adalah protease serin. Inhibitor fisiologis paling penting dari
plasmin adalah α2- antiplasmin, glikoprotein yang disintesis di hati dengan T1 / 2dari
2,5 hari α2. Tingkat α2AP menurun pada penyakit hati dan di DIC.defisiensi α2AP
herediter, yang berhubungan dengan perdarahan sangat berbahaya. α2AP menghambat
fibrinolisis dengan kompleks stoikiometri 1 : 1 dengan plasmin dalam proses dua
tahap.
Inhibitor yang mencegah proses koagulasi; yaitu membatasi proseskoagulasi
pada pembuluh darah yang mengalami cedera (AT III,thrombomodulin, TFPI, PC).
a. TFPI (Tissue Factor Pathway Inhibitor)
TFPI dalam plasma memiliki hubungan dengan lipoprotein. TFPI terikat ke
permukaan endotel dengan jumlah yang lebih besar. Sumber TFPI dapat dilepaskan
setelah pemberian heparin. TFPI mengatur faktor jaringan kompleks (TF / VIIA).
Pertama, TFPI mengikat F Xa, dan kemudian menghambat faktor Xa. Selanjutnya,
TFPI dan Xa kompleks mengikat TF/VIIA kompleks pada membran fosfolipid,
menghalangi aktivitas prokoagulan dariTF/VIIA kompleks.
Thrombomodulin
Thrmbomodulin memiliki efek antikoagulan dengan mengubah trombin dari
koagulan menjadi antikoagulan. Thrombinkehilangan kemampuan untuk
20
mengkonversi FI menjadi fibrin,kemudian mengaktifkan trombosit serta FV dan F
VIII, tetapimengaktifkan protein C.Untuk memperoleh kemampuan katalis untuk
mengaktifkanPC menjadi PCA, trombin harus berikatan dengan
kofaktorthrombomodulin (TM), yang disintesis oleh endotel pembuluh darah.Dalam
kompleks dengan thrombomodulin, trombin kehilangankemampuan untuk mengikat
fibrinogen dan untuk mengaktifkan faktorkoagulasi V dan VIII dan trombosit.
Trombin hanya mempertahankankemampuan untuk mengaktifkan PC. TFPI dikenal
sebagai regulator poten dari thrombosis. Sampai saat ini belum dikenal adanya
defisiensiTFPI herediter.
b. Antithrombin III ( AT III )
Keseimbangan hemostatik dalam sirkulasi darah diatur oleh berbagai sistem
yang kompleks. Hanya beberapa dari sistem ini yangdikenal. AT III adalah yang
paling penting inhibitor protease serin. ATIII defisiensi adalah salah diwariskan atau
diperoleh dan berhubungandengan kecenderungan untuk penyakit tromboemboli. AT
III padamanusia adalah rantai tunggal alpha 2 glikoprotein globular dengan berat
molekul 58.000 dalton. Terdiri dari 425 asam amino, 4 residukarbohidrat dan 3
obligasi disulfida. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa AT III dibentuk di hepatosit.
Hal ini juga dapat ditemukandalam sel-sel endotel. Dalam populasi normal, rata-rata
konsentrasi ATIII dalam plasma adalah 0,1-0,2 g/l. AT konsentrasi dalam plasma
IIIkurang bervariasi dari konsentrasi protein lain dalam plasma. AT IIIkonsentrasi
dinyatakan dalam persentase; nilai normal berkisar 80-120%. Konsentrasi AT III pada
bayi baru lahir lebih rendah, dibandingkandengan orang dewasa, dan akan mencapai
konsentrasi nilai AT IIIorang dewasa enam bulan setelah kelahiran. AT III saat
menstruasi sedikit menurun.
Fungsi utama dari AT III adalah menginaktivasi trombin dan banyak enzim
koagulasi diaktifkan lainnya : Xa, Xia, IXa, XIIa, plasmin, tripsin dan kallikrein. AT
III mengikat trombin membentuk kompleks aktif dan stabil. Reaksi ini jauh
dimodifikasi oleh heparin.Waktu paruh dari kompleks ini adalah 9 jam. Heparin
meningkatkanAT aktivitas III sebesar 1000 kali. Sekitar setengah dari seluruh
jumlahAT III dapat ditemukan di extravaskuler. Ekstravaskuler AT III bertindak
sebagai reservoir yang menambahkan AT III pada darah bila diperlukan. Dalam
jaringan, AT III diarahkan terlebih dahulu pada sisafibrin selama proses
inflamasi.Inaktivasi thrombin oleh AT akan diperkuat oleh adanyakofaktor pada
permukaan endotil yaitu heparan sulfat (suatuglycosaminoglycan), atau adanya
21
heparin yang berasal dari luar. DefekAT sebagian besar bersifat herediter tetapi dapat
juga bersifat didapat.Defek AT menyebabkan aktivitas thrombin berlebihan
sehinggamendorong terjadinya thrombosis.
c. Protein C ( PC ) dan Protein S ( PS )
PC adalah vitamin K tergantung faktor ditemukan beredardalam bentuk tidak
aktif sebagai ganda rantai zymogen dan termasukdalam kelompok protease serin. PC
terikat dengan fosfolipid bermuatan negatif, membutuhkan Ca (Kalsium). PC
Activated darah. Dalam kompleks dengan thrombomodulin, trombinhanya
mempertahankan kemampuannya untuk mengaktifkan PC. PCActivated
dikombinasikan dengan kofaktor PS, membentuk kompleksenzim antikoagulan pada
membran fosfolipid. PS juga vitamin K -dependent ; meskipun, tidak memiliki
aktivitas enzimatik. Sekitar 60% dari PS ditemukan di bentuk tidak aktif dalam
sirkulasi.
Sisanya 40%, beredar sebagai PS bebas, bertanggung jawab atas
kegiatankofaktor. Selain F Va dan F VIIIA inaktivasi, PC diaktifkanmeningkatkan
pelepasan aktivator plasminogen dari sel-sel endotel.Seperti vitamin lainnya
tergantung K faktor, PC dan PS disintesis dihati. Defisiensi protein C atau protein S
menyebabkan penurunanantikoagulan alamiah sehingga aktivitas thrombin meningkat.
FungsiAPC menjadi menurun jika struktur faktor V berubah, sebagaiakibatnya faktor
Va tidak dapat dinonaktifkan oleh APC. Keadaan inidisebut APC resistance, terutama
dijumpai pada faktor V Leiden.
d. Inhibitor Fibrinolisis
Naktivator fibrinolisis langsung menghambat plasmin (antiplasmins)atau
plasminogen aktivator. Zat endogen yang menghambat plasminadalah protease serin.
Inhibitor fisiologis paling penting dari plasmin adalah α2- antiplasmin, glikoprotein
yang disintesis di hati dengan T1 / 2dari 2,5 hari α2. Inhibitor lain fibrinolisis adalah:
α1AP- Peningkatan tingkatdapat ditemukan selama proses peradangan di neoplasma
dan dalamterapi estrogen C1 inhibitor ini menghambat komponen pelengkaputama,
seperti plasmin, kallikrein, dan faktor Xia dan XIIa. DefisiensiC1 inhibitor dikaitkan
dengan angioedema herediter tanpa pendarahan.AT III.
Fibrinolisis adalah proses penghancuran deposit fibrin oleh sistem fibrinolitik
sehingga aliran darah akan terbuka kembali. Proses ini terjadi dengan tujuan untuk
menjaga keseimbangan mekanisme hemostasis dalam tubuh. Enzim utama yang
berperan dalam proses ini adalah plasmin yang merupakan hasil dari aktivasi
22
plasminogen. Plasmin merupakan enzim proteolitik yang akan menyerang formasi
fibrin dengan memproduksi Fibrin Degradation Product (FDP). Mula-mula terbentuk
fragmen X yang selanjutnya akan dipecah menjadi fragmen Y dan D. D-Dimer
merupakan salah satu produk spesifik dari tahap degradasi fibrin. Aktivasi
plasminogen terjadi melalui beberapa jalur dengan regulasi aktivator dan inhibitor
(Setyabudi R, 2007).

Trombus yang menyumbat pembuluh darah tersebut dapat dihancurkan dengan


mekanisme trombolisis (fibrinolisis). Fibrinolisis bekerja dengan mengaktifkan
plasminogen menjadi enzim proteolitik plasmin. Plasmin akan mengubah bentuk
trombus dan membatasi perkembangan trombosis dengan mencerna proteolitik fibrin
(Kumada et al. 1994). Mekanisme kerja enzim fibrinolitik adalah dengan
menghidrolisis fibrin yang menyebabkan bekuan darah menjadi produk terlarut yang
dapat dibuang dari peredaran darah sehingga membebaskan pembuluh darah dari
bekuan darah dan memulai proses penyembuhan dinding pembuluh darah (Escobar et
al. 2002). Agen fibrinolitik dapat diperoleh dari tanaman, hewan, atau mikroba.
Penggunaan mikroba khususnya bakteri telah banyak diteliti sebagai penghasil agen
fibrinolitik.
Inhibitor farmakologis adalah inhibitor yang terjadi secara alami, saat tidak
sengaja memberikan obat untuk menghambat hemostasis. Misalnya, untuk mencegah
trombosis pada anemia hemolitik yang dimediasi kekebalan (IMHA) pada anjing dan
kardiomiopati pada kucing, hewan sering diobati dengan aspirin (yang menghambat
COX1 dalam trombosit), clopidogrel (menghambat reseptor ADP pada trombosit),
atau heparin (yang menghambat beberapa faktor koagulasi dalam hemostasis sekunder
yang mempromosikan aksi antitrombin).

23
Inhibitor hemostasis primer, aspirin (secara ireversibel) dan obat antiinflamasi
nonsteroid (secara reversibel) menghambat siklooksigenase, yang diperlukan untuk
produksi tromboksan A2 . Aspirin juga menghambat produksi prostasiklin dalam sel
endotel (menghambat fungsi trombosit), efek inhibitor aspirin bertahan selama umur
trombosit (sekitar 6 hari pada anjing), oleh karena itu penarikan obat sederhana tidak
akan membantu fungsi trombosit (harus menunggu sampai trombosit baru diproduksi..
Clopidogrel adalah antagonis reseptor ADP. Setelah metabolisme, obat menghambat
reseptor P2Y12 untuk ADP, mencegah ADP mengaktifkan trombosit.
Inhibitor hemostasis sekunder, heparin diberikan sebagai antikoagulan pada
hewan dengan hiperkoagulabilitas (misalnya anemia hemolitik pada anjing). Baik
heparin fraksinasi dan tidak fraksi bekerja sebagai antikoagulan melalui antitrombin.
Aktivitas heparin tergantung pada jumlah pentasakarida. Lebih banyak pentasakarida
seperti yang ditemukan pada unfractionated heparin menghambat FXa dan trombin.
Sebaliknya, heparin rantai pendek seperti yang ditemukan pada berat molekul rendah
atau heparin fraksionasi hanya menghambat FXa. Yang terakhir memiliki
farmakodinamik yang lebih dapat diprediksi dan cenderung menyebabkan perdarahan
yang berlebihan. Efek penghambatan heparin dapat dievaluasi dengan perpanjangan
APTT (unfractionated) atau penurunan aktivitas FXa (heparin unfractionated dan berat
molekul rendah). Yang terakhir ini lebih umum digunakan untuk memantau terapi
heparin.
Selain itu, inhibitor hemostasis sekunder juga pada warfarin yang menghambat
daur ulang vitamin K, yang mengakibatkan defisiensi relatif faktor-faktor yang
bergantung pada vitamin K (FII, VII, IX, X). Warfarin jarang digunakan untuk
menghambat hemostasis sekunder secara terapeutik pada hewan karena rasio
terapi:toksisitas yang rendah (hewan mengalami pendarahan parah saat menggunakan
obat ini).
2.6 Fibrinolisis
Fibrinolisis adalah proses penghancuran deposit fibrin oleh sistem fibrinolitik
sehingga aliran darah akan terbuka kembali. Sistem fibrinolitik terdiri dari tiga
komponen utama yaitu plasminogen yang akan diaktifkan menjadi plasmin, activator
plasminogen dan inhibitor plasmin. Aktivator plasminogen adalah substansi yang
dapat mengaktifkan plasminogen menjadi plasmin yang dibedakan menjadi aktivator
intrinsik, ekstrinsik, dan eksogen. Aktivator intrinsik terdapat dalam darah seperti
F.XIIa dan kalikrein. Aktivator ekstrinsik terdapat pada endotel pembuluh darah dan
24
bermacam-macam jaringan yang disebut tissue plasminogen activator (t-PA)
sedangkan aktivator eksogen contohnya seperti urokinase dan streptokinase. Inhibitor
plasmin adalah subtansi yang dapat menetralkan plasmin dan disebut antiplasmin.
Bermacam-macam antiplasmin terdapat dalam plasma seperti alfa-2 plasmin inhibitor,
alfa-2 makroglobulin, alfa-1 antitripsin dan AT (Setiabudy, 2009).
2.7 Mekanisme Feedback Negative pada Proses Koagulasi
Mekanisme feedback negative adalah mekanisme yang ditujukan untuk
mencegah koagulasi berlebih, yang menyebabkan trombosis meluas, ada proses
tertentu untuk menjaga agar kaskade koagulasi tetap terkendali. Karena trombin
bertindak sebagai prokoagulan, ia juga bertindak sebagai umpan balik negatif dengan
mengaktifkan plasminogen menjadi plasmin dan merangsang produksi antitrombin
(AT). Plasmin bekerja langsung pada jaring fibrin dan memecahnya. AT menurunkan
produksi trombin dari protrombin dan menurunkan jumlah faktor X yang teraktivasi.
Mekanisme feedback negative dimulai pada faktor X yang diaktifkan menjadi
faktor Xa. Proses aktivasi faktor Xa merupakan reaksi yang rumit. Tenase adalah
kompleks yang memecah faktor X menjadi faktor Xa. Tenase memiliki dua bentuk:
ekstrinsik, terdiri dari faktor VII, faktor III (faktor jaringan) dan Ca2+, atau intrinsik,
terdiri dari kofaktor faktor VIII, faktor IXA, fosfolipid, dan Ca2+. Setelah teraktivasi
menjadi faktor Xa, faktor II (protrombin) akan teraktivasi menjadi faktor IIa (trombin).
Juga, faktor Xa memerlukan faktor V sebagai kofaktor untuk memecah protrombin
menjadi trombin. Faktor IIa (trombin) melanjutkan untuk mengaktifkan fibrinogen
menjadi fibrin. Trombin juga mengaktifkan faktor lain dalam jalur intrinsik (faktor XI)
serta kofaktor V dan VIII dan faktor XIII. Subunit fibrin bersatu untuk membentuk
untaian fibrin, dan faktor XIII bekerja pada untaian fibrin untuk membentuk jaring
fibrin. Jaring ini membantu menstabilkan sumbat trombosit.
Mekanisme feedback negative dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu trombosit
yang akan mengaktivasi
a. Fibrinogen: berisi prekursor fibrin atau protein polimer
b. Protrombin: berisi enzim proteoliti
c. Tromboplastin: jaringan untuk aktivator protrombin
d. Kalsium: diperlukan untuk pembentukan fibrin
e. Plasma accelerator globulin: suatu faktor plasma yang mempercepat perubahan
protrombin menjadi trombin.
2.8 Pemeriksaan Hemostasis
25
Hemostasis merupakan proses yang penting dalam mencegah perdarahan
dalam tubuh seseorang. Proses hemostasis dipengaruhi oleh kemampuan vaskular
pembuluh darah dalam melakukan proses vasokonstriksi, fungsi selular yang
dipengaruhi jumlah dan fungsi trombosit, fungsi biokimia hemostasis dalam
membentuk benang fibrin dan poses fibrinolisis. Proses hemostasis bertujuan dalam
menjaga agar darah tetap cair di dalam arteri dan vena, mencegah kehilangan darah
karena luka, memperbaiki aliran darah selama proses penyembuhan luka, dan
menghentikan dan mengontrol perdarahan dari pembuluh darah yang terluka.
Pemeriksaan hemostasis ditujukan untuk mengetahui tentang kemampuan
mekanisme hemostasis pada tubuh seseorang, maka dapat dilakukan pemeriksaan yang
dapat menilai fungsi vaskular, selular dan biokimia. Pemeriksaan Faal Hemostasis (FH)
memegang peranan penting dalam mengetahui kelainan koagulasi yang dipengaruhi
oleh banyak faktor mulai dari preanalitik, analitik, dan pos analitik. Fase preanalitik
melibatkan persiapan penderita, penggunaan tabung serta antikoagulan yang dipakai.
Adapun pemeriksaan hemostasis terdiri dari
a. Pemeriksaan Fungsi Vaskuler
1) Pemeriksaan rumple leed
Pemeriksaan rumple leed berasal dari nama dua orang dokter yaitu, Rumpel
Theodor (1862-1923) sebagai orang pertama yang menemukan munculnya petechiae
pada lengan pada pasien demam berdarah dengan mencatat pengamatan di tahun 1909.
Leede Stockbridge Carl (1882-1964) adalah dokter yang menerbitkan secara
independen deskripsi tentang uji Rumpel-Leede pada tahun 1911. Sehingga,
pemeriksaan rumple leed juga merupakan pemeriksaan cepat infeksi dengue.

Gambar 2 Sumber: https://gustinerz.com/prosedur-pemeriksaan-tes-rumpel-leede/


Pemeriksaan rumple leed merupakan pemeriksaan yang ditujukan untuk
menguji ketahanan dinding kapiler darah dengan cara mengenakan spignomanometer
bendungan pada vena , sehingga tekanan darah pada kapiler meningkat pada tekanan

26
tertentu selama 10 menit. Apabila pembuluh vaskuler tidak kuat menahan tekanan
yang diberikan, maka darahakan akan keluar dari pembuluh darah dan terlihat sebagai
bercak merah pada permukaan kulit (petechia). Tekanan darah pada saat
pembendungan merupakan nilai tengah antara tekanan darah sistole dengan diastole.
Tes Rumple Leed akan dikatakan positif bila ditemukan lebih dari 10 bintik
merah (petechie) pada area 2.5 cm x 2.5 cm di kulit. Tes Rumple Leed juga dapat
positif pada kondisi penyakit lainnya seperti kondisi trombositopenia lainnya
(trombosit darah yang rendah) misalnya pada penyakit ITP (Idiopathic
thrombocytopenic purpura), leukemia, gangguan hati, penggunaan obat-obatan
tertentu, malnutrisi, kekurangan vitamin C, Henoch-Schönlein purpura, dan lain-lain.
Hasil negatif dapat disimpulkan apabila tidak terdapat petechia pada lingkaran
berdiameter 5 cm, kira-kira4 cm distal dari fossa cubiti. Hal tersebut memperlihatkan
bahwa kemampuan vaskuler pasien tersebut baik, ketika terjadi tekanan pada
pembuluh darah.
Pemeriksaan rumple leed, dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya ,
trombositopenia menyebabkan tes Rumpel Leede menjadi positif. Dimana, semakin
berat trombositopenia maka akan semakin berat pula derajat kepositifannya.
Trombositopenia berhubungan dengan perdarahan yang dapat menyebabkan
peningkatan pembekuan trombosit. Selain itu, kondisi klinis pasien dengan keadaan
vaskular yang kurang baik, jumlah trombosit serta fungsi trombosit yang kurang dari
nilai normal akan menyebabkan petchia mudah terbentuk. Tekanan sfigmomanometer
yang tidak stabil, maka tekanan dapat menurun : menyebabkan hasil rumple leed
negatif palsu.
2) Pemeriksaan masa pendarahan
Pemeriksaan masa pendarahan merupakan uji laboratorium untuk
menentukan lamanya tubuh menghentikan perdarahan akibat trauma yang dibuat
secara laboratoris. Pemeriksaan ini mengukur hemostasis dan koagulasi. Masa
perdarahan tergantung atas: ketepatgunaan cairan jaringan dalam memacu koagulasi,
fungsi pembuluh darah kapiler dan trombosit. Pemeriksaan ini terutama mengenai
trombosit, yaitu untuk adhesi pada jaringan subendotel dan membentuk agregasi.
Pemeriksaan masa pendarahan terdiri dari dua metode pemeriksaan masa perdarahan,
yaitu metode Duke dan Ivy.

27
Sumber: https://www.infolabmed.com/2021/09/pemeriksaan-bleeding-time-waktu-
perdarahan-metode-duke-dan-ivy.html

Metode duke, perlukaan pembuluh darah kapiler dilakukan pada daerah cuping
telinga, sedangkan metode Ivy, perlukaan dilakukan pada bagian voler lengan. Seperti
uji rumple leede, pemeriksaan masa perdarahan dapat dilakukan untuk menilai
kemampuan vaskuler pembuluh darah ketika terjadi perdarahan, akan tetapi uji ini
dipengaruhi juga oleh jumlah serta fungsi trombosit.Pemeriksaan masa perdarahan
metode Duke, dilakukan penusukan pembuluh kapiler pada anak daun telinga, setelah
anak daun telinga tersebut diantisepsis menggunakan kapas alkohol 70%. Ketika tetes
darah keluar dari daerah tusukan, maka stopwatch dinyalakan. Tetes darah tersebut
diserap menggunakan kertas saring setiap 30 detik hingga luka tertutup (tidak terdapat
darah pada kertas saring). Pada metode ini, kondisi pasien normal jika luka pada
pasien terhenti antara 1-3 menit.
Pemeriksaan masa perdarahan metode Ivy, dilakukan pembendungan pada
lengan yang akan diuji menggunakan spigmomanometer pada tekanan 40 mmHg.
Setelah dilakukan pembendungan, bagian voler lengan diantisepsis menggunakan
alkohol 70% dan dibiarkan mengering. Setelah alkohol mengering, dilakukan
penusukan bagian voler lengan pasien. Ketika terlihat tetes darah pertama pada daerah
tusukan, makastopwatch dinyalakan. Tetes darah tersebut diserap menggunakan kertas
saring setiap 30 detik hingga luka tertutup (tidak terdapat darah pada kertas saring).
Pada metode ini, kondisi pasien normal jika luka pada pasien terhenti antara 1-6 menit.
b. Pemeriksaan fungsi selular
1)Pemeriksaan jumlah trombosit

28
Sumber: https://medlab.id/hitung-jumlah-trombosit-metode-pipet/
Pemeriksaan jumlah trombosit merupakan pemeriksaan perhitungan sel
trombosit, baik menggunakan alat otomatisasi ataupun menggunakan metode
manual. Perhitungan sel trombosit pada alat otomatisas dapat menggunakan
berbagai macam metode, seperti electrical impedance, flowcitometri dan
flowresensi flowsitometri. Secara rinci:
a) Electrical impedance/ Coulter principle : Alat otomatis dengan metode
impedance yaitu menghitung sel berdasarkan ukuran sel.
b) Flowcitometri : menghitung sel menggunakan sinar laser. Setiap sel
dalam darah sampel akan melewati celah yang disinari oleh sinar laser.
Sinar laser akan diserap oleh sel dan sinar yang berpendar akan
dideteksi oleh alat dari beberapa sudut.
c) Flouresensi flowsitometri : prinsipnya seperti alat flowsitometri, hanya
saja dilakukan penambahan reagensia flowresensi untuk menghitung
sel spesifik. Pewarnaan flowresensi akan menginformasikan rasio inti
sel dan plasma dari setiap sel yang diwarnai, sehingga berguna dalam
membedakan sel trombosit, eritrosit berinti dan retikulosit.
Pemeriksaan jumlah trombosit manual dibagi menjadi metode langsung dan
tidak langsung. Pemeriksaan metode langsung jumlah trombosit dapat
mengunakan metode Rees Ecker dan Amonium Oxalat. Pemeriksaan rees ecker,
menggunakan larutan yang berisikan 3,8 gram natrium sitrat, 2 mL larutan
formaldehida 40%, 30 mg brilliant cresyl blue dan volumenya dijadikan 100
mL dengan penambahan air suling. Sebelum dipakai larutan ini harus disaring
terlebih dahulu.
Pemeriksaan rees ecker menggunakan darah yang kemudian dilakukan
penambahan reagensia Rees Ecker, yang menyebabkan sel selain eritrosit dan

29
trombosit akan lisis. Jumlah trombosit dihitung pada bilik hitung Improved
Neubauer menggunakan mikroskop pada perbesaran 400x. Jumlah sel trombosit
ditentukan dengan mengalikan faktor perhitungan.
Pemeriksaan metode langsung metode amonium oxalat, menggunakan darah
dengan untuk kemudian ditambah reagensia Amonium oxalat, yang
menyebabkan selain trombosit akan lisis. Jumlah trombosit dihitung pada bilik
hitung Improved Neubauer menggunakan mikroskop pada perbesaran 400x.
Jumlah sel trombosit ditentukan dengan mengalikan faktor perhitungan.
2) Pemeriksaan fungsi trombosit
Pemeriksaan trombosit merupakan pemeriksaan yang ditujukan untuk
mengetahui fungsi trombosit, dapat dilakukan pemeriksaan agregasi trombosit.
Pemeriksaan agregasi trombosit dapat dilakukan menggunakan alat
aggregometer. Selain untuk menilai fungsi trombosit, pemeriksaan agregasi
trombosit dapat digunakan untuk membantu diagnosa hyperkoagulasi yang
dapat menyebabkan trombosis akibat terbentuknya thrombus.
Pemeriksaan fungsi trombosit juga dapat dilakukan dengan pemeriksaan
retraksi bekuan yang bertujuan untuk menguji fungsi trombosit, dan menguji
kekentalan jendalan darah dengan dengan tata cara laboratorium tertentu.
Prinsip dari pemeriksaan ini yaitu 5 cc darah segera diambil dari vena
dimasukkan kedalam tabung dan setelah membeku darah ini diinkubasi pada
suhu 37°C selama 1 jam. Serum serta sel sel darah yang terperas keluar dari
bekuan diukur volumenya dan dinyatakan dalam persen dari volume darah
seluruhnya. Adapun serum tidak dapat membeku karena tidak mengandung
faktor-faktor pembekuan.
Trombosit diperlukan untuk terjadinya retraksi bekuan. Oleh sebab itu
kegagalan pada proses retraksi merupakan tanda bahwa jumlah trombosit yang
beredar dalam darah adalah kurang. Mikrograf elektron dari trombosit dalam
bekuan darah memperlihatkan bahwa trombosit-trombosit tersebut melekat
pada benang-benang fibrin sebenarnya dengan cara mengikat benang-benang
itu sehingga menjadi satu. Selain itu, trombosit yang terperangkap dalam
bekuan terus melepaskan zat-zat prokoagulan, salah satu diantaranya ialah
faktor pemantap fibrin yang menyebabkan terjadinya ikatan-ikatan silang antara
benang-benang fibrin yang berdekatan. Dengan terjadinya retraksi bekuan,

30
ujung-ujung robekan pembuluh darah ditarik saling mendekat, sehingga
memungkinkan terjadinya hemostasis.
Percobaan ini digunakan untuk menguji fungsi trombosit, selain trombosit
dapat juga digunakan untuk menguji:
1. Kadar fibrinogen
2. Jenis permukaan yang bersentuh dengan darah beku
3. Kualitas dan kuantitas trombosit
4. Hematokrit
5. Beberapa keadaan seperti: myeloma, pneumonia, dan ikterus.
c. Pemeriksaan biokimia
1) Pemeriksaan kelainan jalur intrinsik

Pemeriksaan jalur intrinsik merupakan pemeriksaan koagulasi aktivasi faktor


kontak prekalikrein, HMWK, faktor XII dan XI. Faktor-faktor ini berinteraksi
pada permukaan untuk mengaktifkan faktor IX menjadi IXa. Faktor IXa
bereaksi dengan faktor VIII, PF3, dan kalsium untuk mengaktifkan faktor X
menjadi Xa. Bersama faktor V, faktor Xa mengaktifkan protrombin (faktor II)
menjadi trombin, yang selanjutnya mengubah fibrinogen menjadi fibrin.
Pemeriksaan kelainan jalur intrinsik dilakukan untuk mengetahui apakah
terdapat kelainan pada faktor-faktor pembekuan darah pada jalur ini, seperti
faktor XII, IX, X, VIII, V, II, I. Jenis pemeriksaan yang dapat dilakukan antara
lain pemeriksaan aPTT (activated Partial Tromboplastin Time).
Pemeriksaan APTT (Activated Parcial Trombopastin Time) merupakan
pemeriksaan penyaring pada kelainan pembekuan darah serta uji untuk
memantau pemberian terapi heparin tak terfraksinasi dan anti-koagulansia oral.
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menentukan factor pembekuan jalur instrinsik
dan Bersama. Prinsipnya pemeriksaannya yaitu kalsium dlm darah diikat oleh

31
AK yg ditambahkan, shg koagulasi tercegah. Dlm plasma terdpt semua factor
koagulasi intrisik, kecuali kalsium & trombosit. Kedlm plasma tsb ditambahkan
Ca untuk mengaktivasi trombosit dalm mensubstitusikan fosfolipid, &
tambahan aktivasi kaolin, tjd pembekuan (koagulasi). Waktu yg diperlukan bagi
plasma untuk membentuk bekuan, dilaporkan sbg APTT.
Pemeriksaan APTT dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya
a) Pembekuan sampel darah, sampel darah hemolisis atau berbusa,
pengambilan sampel darah pada jalur intravena (infus heparin).
b) Pasien yang mengkonsumsi kontrasepsi oral,estrogen, kehamilan, obat-
obatan yang mengandung caumarin, heparin, asparaginase, dan naloxone.
c) Sampel terdapat inhibitor
d) Penyimpanan dan stabilitas reagensia yang disimpan pada suhu 2-8˚C,
tidak boleh dibekukan. Adapun reagensia yang telah dibuka stabil selama
14 hari ketika disimpan pada suhu 2-8˚C, dihomogenisasi terlebih dahulu
sebelum digunakan.
e) Sampel harus dipersiapkan dan dikerjakan pada suhu suhu 22 -24˚C dan
diujikan maksimal 2 jam setelah pengambilan sampel.
f) Untuk penundaan pemerikasaan, sampel dapat dibekukan, stabil hingga dua
minggu atau pada suhu -70˚C, stabil sampai enam bulan. Sampel yang
dibekukan dapat dicairkan dengan cepat pada suhu 37˚ C. Sampel tersebut
harus dihomogenisasi, digunakan secepatnya dan tidak boleh dibekukan
kembali/ beku ulang.
Pemeriksaan APTT dapat memanjang pada penderita Disseminated
Intravasculer coagulation, penderita penyakit hati, transfusi masif, pemberian
heparin, dosis heparin diatur sampai APTT mencapai 1,5 - 2,5 kali nilai kontrol.
Dan defisiensi faktor bekuan selain faktor VII. Sedangkan, APTT akan
memendek pada reaksi fase akut perdarahan, pasien penyakit Myeloproliferatif.
Selain itu, pemeriksaan jalur intrinsik dapat juga melalui pemeriksaan
rekalsifikasi yang ditujukan untuk mengetahui kekurangan factor intrinsic: F V,
VIII, IX, X, XI, XII, Protombin, Fibrinogen. Prinsipnya pemeriksaannya yaitu
masa rekalsifikasi adalah waktu yang dibutuhkan untuk menyusun fibrin dari
plasma darah rendah trombosit dan tidak mengandung ion Ca2+ dengan
penambahan CaCl2, dimana fungsi CaCl2 ialah mengaktifkan ion Ca2+ yang

32
mengendap akibat pemusingan. Apabila pemusingan kurang dari 10 menit
maka akan mempercepat masa rekalsifikasi dan hasil akan memendek.
Pemeriksaan rekalsifikasi dipengaruhi oleh beberapa faktor mulai dari
tahap pra analitik dimana sampel darah tidak boleh ada bekuan, hemolisis atau
berbusa, pengambilan sampel darah pada jalur intravena, misal pada infus
heparin. Pada proses analitik perlu diperhatikan ketepatan waktu menyalakan
stopwatch serta ketepatan mengamati terbentuknya bekuan. Pada tahap paska
analitik, perlu diperhatikan penulisan pelaporan hasil.
2) Pemeriksaan kelainan jalur ekstrinsik.
Pemeriksaan jalur ekstrinsik dimulai dari masuknya tromboplastin
jaringan ke dalam sirkulasi darah. Tromboplastin jaringan berasal dari
phospolipoprotein dan membran organel dari sel-sel jaringan yang terganggu.
Faktor VII akan mengikat fosfolipid pada membran seldan jaringan membentuk
faktor VIIa, yang merupakan enzim kuat yang mampu mengaktifkan faktor X
menjadi Xa bersama dengan ion kalsium terionisasi. Pemeriksaan kelainan jalur
ekstrinsik dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat kelainan pada faktor-
faktor pembekuan darah pada jalur ini. Jenis pemeriksaan yang dapat dilakukan
antara lain pemeriksaan PPT (Plasma Protrombin Time).
Pemeriksaan PPT merupakan pemeriksaan penyaring pada kelainan
pembekuan darah serta uji untuk memantau pemberian terapi Heparin tak
terfraksinasi dan ant-ikoagulansia oral dan mengetahui kelainan aktivasi factor-
faktor pembekuan jalur ekstrinsik dan jalur bersama (F VII, FX & Protrombin).
Prinsipnya waktu protombin adalah waktu dari plasma yang terjadi bila kalsium
dalam konsentrasi yang optimal dan tromboplastin jaringan yang kuat dan
berlebihan ditambahkan pada plasma tersebut dalam keadaan standart.
Protrombin disintesis oleh hati, yang merupakan prekursor tidak aktif
dalam proses pembekuan. Protrombin (F II) dikonversi menjadi thrombin oleh
tromboplastin untuk membentuk bekuan darah. PPT dapat diukur secara manual
(visual), foto-optik atau elektromekanik. Namun, metode manual memiliki bias
individu yang sangat besar sehingga tidak dianjurkan dan dapat digunakan
apabila kadar fibrinogen sangat rendah dan tidak dapat dideteksi dengan alat
otomatis. Metode otomatis dapat memeriksa sampel dalam jumlah besar dengan
cepat dan teliti. Pemeriksaan PT dilakukan bersama APTT, dimana titik awal
pemeriksaan ditujukan untuk menyelidiki perdarahan yang berlebihan/
33
gangguan pembekuan dan mengevaluasi hasil PT dan APTT dalam mengetahui
penyebab gangguan pembekuan/ perdarahan diperlukan pemeriksaan lebih
lanjut atau tidak.
Tes PTT dibutuhkan jika terjadi pendarahan hebat yang tidak dapat
dijelaskan, memiliki memar, memiliki bekuan darah di vena atau arteri,
menderita penyakit hati, yang terkadang bisa menyebabkan masalah
pembekuan darah, akan dioperasi karena pembedahan dapat menyebabkan
kehilangan darah, jadi penting untuk mengetahui apakah ada masalah
pembekuan darah.telah mengalami beberapa kali keguguran serta sedang
mengonsumsi heparin.
Sampel untuk tes PTT adalah menggunakan darah yang akan diambil
dari pembuluh darah di lengan pasien, menggunakan jarum kecil. Setelah jarum
dimasukkan, sejumlah kecil darah akan dikumpulkan ke dalam tabung reaksi
atau vial. Pasien mungkin merasa sedikit perih saat jarum masuk atau keluar.
Ini biasanya membutuhkan waktu kurang dari lima menit. Pada tes PTT pasien
tidak perlu melakukan persiapan khusus. Resiko yang sangat kecil untuk
menjalani tes darah. Pasien mungkin mengalami sedikit nyeri atau memar di
tempat jarum dimasukkan, tetapi sebagian besar gejala hilang dengan cepat.
Hasil tes PTT akan menunjukkan berapa lama waktu yang dibutuhkan
darah untuk membeku. Hasil biasanya diberikan dalam hitungan detik. Jika
hasil menunjukkan bahwa darah membutuhkan waktu lebih lama dari biasanya
untuk membeku, itu mungkin berarti memiliki : Gangguan perdarahan, seperti
hemofilia atau penyakit von Willebrand. Penyakit Von Willebrand adalah
kelainan perdarahan yang paling umum, tetapi biasanya menyebabkan gejala
yang lebih ringan dibandingkan kelainan perdarahan lainnya. Penyakit hati,
Sindrom antibodi antifosfolipid atau sindrom antikoagulan lupus. Ini adalah
penyakit autoimun yang menyebabkan sistem kekebalan Anda menyerang
faktor koagulasi Anda. Kekurangan vitamin K. Vitamin K berperan penting
dalam pembentukan faktor koagulasi. Jika menggunakan heparin, hasil dapat
membantu menunjukkan apakah menggunakan dosis sudah tepat. Hasil tes PTT
diberikan dalam hitungan detik. Rentang referensi tes PTT adalah 60 hingga 70
detik. Pasien dapat memiliki PTT yang lama dari rentang referensi. Jika
melebihi lebih dari 100 detik, ini menandakan perdarahan spontan. Tes PTT
diresepkan bersama dengan tes PT karena beberapa alasan seperti pendarahan
34
yang tidak dapat dijelaskan, mudah memar, pembentukan bekuan darah di
pembuluh darah atau arteri, dan kondisi hati kronis.
Pemeriksaan APTT dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu, mulai dari
pengambilan specimen (pemasangan torniquet, pengambilan darah lama,
pengambilan darah ada jalur infus, perbandingan darah : sitrat yang tidak tepat ).
Adanya bekuan. Transport specimen (pemeriksaan ditunda lebih dari 8 jam
sampel harus disimpan dalam keadaan beku), ketepatan pemipetan, adanya
kontaminasi dan kesalahan menuliskan hasil.
4) Pemeriksaan thrombin time
Pemeriksaan thrombin Time) adalah tes yang mengukur waktu yang
dibutuhkan untuk membentuk bekuan dari plasma setelah penambahan trombin
dalam sejumlah fibrinogen normal. Sehingga dapat mendeteksi adanya kelainan
yang dapat mengganggu terbentuknya fibrin dari fibrinogen. Seringkali uji TT
digunakan untuk memonitoring terapi heparin.
Dalam pemeriksaan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yang meliputi;
Dalam pengambilan darah, tidak boleh hemolisis atau berbusa dengan
pengambilan darah pada jalur intravena, misal pada infus heparin. Pada
pemeriksaan TT penyimpanan serta stabilitas reagensia dan bahan perlu
diperhatikan. Reagensia stabil selama 3 hari pada suhu 22℃, 5 hari pada suhu
15℃ dan 7 hari pada suhu 2-8℃ selama disimpan pada wadah gelas dari
produsen. Reagensia tidak boleh dibekukan.
Sampel harus dipersiapkan dan dikerjakan pada suhu suhu 22-24℃ dan
diujikan selama 2 jam atau 4 jam ketika sampel disimpan pada suhu 4-8℃.
setelah pengambilan sampel. Untuk penundaan pemerikasaan, sampel dapat
dibekukan. Sampel stabil hingga dua minggu apabila disimpan pada suhu -20℃
atau stabil sampai enam bulan ketika disimpan pada suhu -70℃. Sampel yang
dibekukan dapat dicairkan dengan cepat pada suhu 37℃. Sampel tersebut
harusdihomogenisasi, digunakan secepatnya dan tidak boleh dibekukan
kembali/ beku ulang.
5) Pemeriksaan clotting time (Intrinsik)
Clotting time adalah waktu yg dibutuhkan bagi darah untuk
membekukan dirinya secara in vitro dengan menggunakan suatu standart yg
dinamakan Clotting Time. Clot adalah suatu lapisan seperti liln/jelly yg ada di
darah yg menyebabkan berhentinya suatu pendarahan pada luka yang
35
dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik. Hasil pemeriksaan Clotting
time menjadi ukuran aktivitas faktor-faktor koagulasi, terutama faktor-faktor
yang membentuk tromboplastin dan faktor-faktor yang berasal dari trombosit,
juga kadar fibrinogen. Defisiensi faktor pembekuan dari ringan sampai sedang
belum dapat dideteksi dengan metode ini, baru dapat mendeteksi defisiensi
faktor pembekuan yang berat.
Pemeriksaan clotting time untuk memonitor penggunaan antikoagulan
oral (obat-obatan anti pembekuan darah). Jika masa pembekuan >2,5 kali nilai
normal, maka potensial terjadi perdarahan. Normalnya darah membeku dalam 4
– 8 menit (Metode Lee White). Penurunan masa pembekuan terjadi pada
penyakit infark miokard (serangan jantung), emboli pulmonal (penyakit paru-
paru), penggunaan pil KB, vitamin K, digitalis (obat jantung), diuretik (obat
yang berfungsi mengeluarkan air, misal jika ada pembengkakan).
Clotting time memanjang bila terdapat defisiensi berat faktor
pembekuan pada jalur intrinsik dan jalur bersama, misalnya pada hemofilia
(defisiensi F VIIc dan F Ixc), terapi antikoagulan sistemik (Heparin).
Perpanjangan masa pembekuan juga terjadi pada penderita penyakit hati,
kekurangan faktor pembekuan darah, leukemia, gagal jantung kongestif.
Prinsip pemeriksaan clotting time adalah waktu pembekuan diukur sejak
darah keluar dari epmbuluh sampai terjadi suatu bekuan dalm kondisi yg
spesifik. Sampel yang digunakan dalam pemeriksaan ini adalah sampel darah
segar.
Clotting time adalah mengukur waktu pembentukan jendalan fibrin
dalam darah tanpa antikoagulan in vitro. Beberapa prosedur dapat dipakai yaitu
Lee-White, activated, dan coagulation-capillary tube, dan nilai normal
bervariasi pada masing-masing metode tadi. Clotting time naik dapat terjadi
pada gangguan hemostasis berikut ini. Defisiensi atau hambatan tiap factor
intrinsik. Defisiensi atau hambatan tiap faktor sistem gabungan.
Hipofibrinogenemia (jika level <50 mg/dl). Clotting time normal pada keadaan
sehat dan beberapa gangguan hemostasis berikut ini trombositopenia, gangguan
fungsi trombosit, gangguan dinding pembuluh darah.
5) Pemeriksaan kadar fibrinogen
6) Tes Agregasi Trombosit

36
Trombosit merupakan fragmen sitoplasma megakariosit yang tidak
memiliki inti. Trombosit dibentuk di sumsum tulang. Trombosit matang
memiliki ukuran 2-4 µm dengan bentuk cakram bikonveks. Sekitar 20-30%
trombosit akan mengalami sekuetrasi di limpa setelah keluar dari sumsum
tulang (Kosasih, 2008).
Jumlah normal trombosit adalah 150.000-400.000/µl. Proses pematangan
trombosit berlangsung selama 7-10 hari di dalam sumsum tulang. Trombosit
dihasilkan oleh sumsum tulang yang berdiferensiasi menjadi megakariosit.
Megakariosit ini melakukan reflikasi inti endomitotiknya kemudian sitoplasma
menjadi granula dan trombosit dilepaskan dalam bentuk trombosit atau keping-
keping.
Pada produksi trombosit, enzim yang berperan sebagai pengatur utama
adalah trombopoetin yang dihasilkan di hati dan ginjal. Trombosit berperan
penting dalam hemopoesis dan penghentian perdarahan dari cedera pembuluh
darah. Trombosit atau platelet berperan sangat penting untuk menjaga
hemostasis tubuh. Abnormalitas pada vaskuler, trombosit, koagulasi, atau
fibrinolysis akan mengganggu hemostasis sistem vaskuler yang mengakibatkan
perdarahan abnormal atau gangguan perdarahan (Sherwood, 2011).
Trombosit memiliki bentuk bulat atau oval seperti bikonveks dan
memiliki sitoplasma biru dengan granula ungu kemerahan. Trombosit dapat
dibagi menjadi 4 zona dengan setiap zona memiliki fungsi khusus. Keempat
zona tersebut meliputi zona perifer yang bermanfaat untuk adhesi dan agregasi,
zona sol gel untuk menunjang struktur dan mekanisme kontraksi, zona organel
yang berperan dalam pengeluaran isi trombosit, serta zona membrane yang
keluar dari ini granula saat pelepasan (Maha, 2010).

37
Apabila trombosit bersinggungan dengan permukaan pembuluh yang
rusak, maka sifat-sifat trombosit segera berubah secara drastis yaitu trombosit
mulai membengkak, bentuknya menjadi irregular dengan tonjolan-tonjolan
yang mencuat dari permukaannya; protein kontraktilnya berkontraksi dengan
kuat dan menyebabkan pelepasan granula yang mengandung berbagai faktor
aktif; trombosit menjadi lengket sehingga melekat pada serat kolagen;
mensekresi sejumlah ADP; dan enzim-enzimnya membentuk tromboksan A2,
yang juga disekresikan ke dalam darah. ADP dan tromboksan kemudian
mengaktifkan trombosit yang berdekatan, dan karena sifat lengket dari
trombosit tambahan ini maka akan menyebabkan melekat pada trombosit
semula yang sudah aktif sehingga membentuk sumbat trombosit. Sumbat ini
mulanya longgar, namun biasanya dapat berhasil menghalangi hilangnya darah
bila luka di pembuluh darah yang berukuran kecil. Benang-benang fibrin
terbentuk dan melekat pada trombosit selama proses pembekuan darah,
sehingga terbentuklah sumbat yang rapat dan kuat (Guyton dan Hall, 2008).
Tes agregasi trombosit merupakan tes yang dilakukan untuk melihat
kenormalan fungsi trombosit terhadap pemicu agregasi (Sutedjo, 2008).
Pemeriksaan fungsi agregasi trombosit dapat dilakukan dengan menggunakan
beberapa metode, salah satu semode pemeriksaan fungsi agregasi trombosit
yang digunakan saat ini adalah sediaan apus darah tepi yang diperkenalkan oleh
Velaskar DS dan Chitre pada tahun 1982. Pemeriksaan ini didasarkan pada
prinsip bahwa agregasi dapat terlihat ketika apusan dibuat, trombosit bebas dan
trombosit yang beragregasi dapat dihitung secara diferensial pada apusan
(Velaskar, G, L, Chitre, M, & F, 1982).
Pemeriksaan agregasi trombosit dengan metode pemeriksaan apusan
darah tepi dapat digunakan untuk menilai fungsi agregasi trombosit di
laboratorium menengah yang tidak memiliki fasilitas pemeriksaan fungsi
agregasi trombosit metode nefelometrik atau sebagai skrining sebelum
melakukan pemeriksaan agregasi trombosit metode nefelometrik (Sotianingsih,
2001).
Tes agregasi trombosit merupakan tes yang sangat sensitive dan dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor meliputi konsentrasi antikoagulan, jumlah
trombosit, suhu penyimpanan, konsentrasi penambahan induktor, dan suhu
reaksi (Pagana, 2014). Indikator adalah zat yang digunakan untuk
38
mempotensiasi proses agregasi. Respon trombosit tergantung kekuatan
induktornya. Induktor dibagi menjadi inductor lemah, inductor sedang, dan
inductor kuat. Inductor lemah adalah adenosine diphosphate (ADP) dan
Epinefrin, inductor sedang adalah thromboxane A2 (TxA2), sedangkan
thrombin dan kolagen adalah inductor kuat (Hakim, 2006). Induktor pada
pemeriksaan fungsi agregasi trombosit metode Velaskar dapat menggunakan
ADP 1 µg/mL dan Epinefrin 1 mg/mL (Velaskar, G, L, Chitre, M, & F, 1982).
Pembekuan Darah
Pembekuan darah terjadi ketika darah mengalami koagulasi atau
penggumpalan menjadi masa yang padat dan meninggalkan cairan jernih yang
disebut serum darah. Pembentukan bekuan terjadi dari filamen-filamen Fibria
yang mengikat sel darah merah dan terdiri dari jaringan benang fibrin yang
menjaring sel-sel darah, trombosit, dan plasma. Bekuan darah menempel pada
lubang di pembuluh darah dan mencegah kebocoran darah (Gandasoebrata,
2010). Pembekuan darah juga memperkuat dan menunjang sumbat trombosit di
atas bekuan yang menutupi lubang di pembuluh darah dan mencegah darah
mengalir (Sherwood, 1996).
Lebih dari 40 zat yang mempengaruhi pembekuan darah telah
ditemukan dalam darah dan jaringan, di antaranya prokoagulan yang
mempermudah terjadinya pembekuan dan antikoagulan yang menghambat
pembekuan. Keseimbangan antara kedua golongan zat menentukan apakah
pembekuan akan terjadi atau tidak. Dalam keadaan normal, antikoagulan lebih
dominan sehingga darah tidak membeku, tetapi bila pembuluh darah rusak,
aktivitas prokoagulan didaerah kerusakan menjadi lebih tinggi daripada
aktivitas antikoagulan dan pembekuan darah terjadi (Zaesty, 2012).

7) Pemeriksaan Retraksi Bekuan


Retraksi bekuan adalah suatu metode uji yang digunakan untuk
mengevaluasi kinerja trombosit. Darah yang dipakai pada uji ini berasal dari
pembuluh vena. Setelah bekuan darah terbentuk dalam beberapa menit, bekuan
tersebut mulai mengecil dan cairan yang terkumpul di dalamnya ditekan keluar
dalam waktu sekitar 30 hingga 60 menit. Cairan ini dikenal sebagai serum, yang
berbeda dengan plasma karena tidak mengandung fibrinogen maupun faktor-

39
faktor pembekuan lainnya. Hal ini menyebabkan serum tidak dapat membeku
karena kekurangan faktor-faktor pembekuan (Gandasoebrata, 2010).
Retraksi bekuan memerlukan trombosit untuk terjadi, sehingga kegagalan
dalam proses retraksi dapat menandakan kurangnya jumlah trombosit dalam darah.
Dalam pembekuan darah, trombosit tertentu akan melekat pada benang-benang
fibrin dan melepaskan zat-zat prokoagulan, termasuk faktor pemantap fibrin yang
dapat memperkuat ikatan antara benang-benang fibrin yang berdekatan. Selain itu,
trombosit juga memberikan dukungan untuk proses retraksi bekuan dengan
mengaktifkan molekul aktin dan miosin yang kontraktil dan dapat menyebabkan
kontraksi kuat pada tonjolan runcing yang melekat pada fibrin. Retraksi molekul
aktin dan miosin dapat dipicu oleh trombin dan ion kalsium yang dilepaskan oleh
gudang kalsium dalam retikulum endoplasma dan aparatus golgi pada trombosit
(Gandasoebrata, 2010).
Retraksi bekuan memungkinkan ujung-ujung robekan pembuluh darah
untuk ditarik saling mendekat, sehingga memfasilitasi terjadinya homeostasis. Uji
ini digunakan untuk mengevaluasi kinerja trombosit dan dapat juga digunakan
untuk menguji beberapa hal lainnya seperti kadar fibrinogen, jenis permukaan
yang bersentuhan dengan darah yang membeku, kualitas dan kuantitas trombosit,
hematokrit (Hct), serta beberapa kondisi medis seperti myeloma, pneumonia, dan
icterus.
Tingkat Hct yang meningkat akan menyebabkan penurunan proporsional
dalam retraksi bekuan. Pengaruh pneumonia dan ikterus terhadap retraksi bekuan
masih belum dipahami sepenuhnya. Pada myeloma, protein abnormal dapat
mempengaruhi proses retraksi bekuan. Retraksi bekuan biasanya terjadi sekitar
satu jam setelah pembekuan darah dan mencapai tahap yang lengkap dalam waktu
24 jam. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk mengevaluasi percobaan ini. Jika
nilai Hct rendah pada darah yang diuji, maka jumlah serum yang terperas keluar
akan lebih banyak dari biasanya. Dalam kondisi ini dan juga pada eritrositosis
sebagai lawannya, volume cairan bekuan yang tertinggal dalam proses
pembekuan dapat diukur (Gandasoebrata, 2010).
Retraksi bekuan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya:
a) Jumlah trombosit: Trombosit diperlukan untuk terjadinya retraksi bekuan.
Kegagalan dalam proses retraksi bekuan dapat menjadi tanda bahwa jumlah
trombosit yang beredar dalam darah kurang (Gandasoebrata, 2010).
40
b) Kadar fibrinogen: Fibrinogen adalah protein yang penting dalam pembekuan
darah. Kadar fibrinogen yang rendah dapat menghambat retraksi bekuan
(Ganong, 2005).
c) pH darah: pH yang terlalu asam atau terlalu basa dapat mengganggu fungsi
trombosit dalam proses retraksi bekuan.
d) Hct: Tingkat hematokrit atau Hct yang tinggi dapat menyebabkan penurunan
proporsional dalam retraksi bekuan.
e) Jenis permukaan yang bersentuhan dengan darah beku: Jenis permukaan yang
bersentuhan dengan darah beku dapat mempengaruhi kecepatan dan
efektivitas retraksi bekuan.
f) Kualitas dan kuantitas trombosit: Kualitas dan kuantitas trombosit yang buruk
dapat mempengaruhi retraksi bekuan.
g) Myeloma: Pada myeloma, protein yang abnormal dapat mempengaruhi retraksi
bekuan. (Gandasoebrata, 2010)
h) Pneumonia dan ikterus: Pengaruh pneumonia dan ikterus pada retraksi bekuan
masih belum dapat dijelaskan dengan pasti. (Gandasoebrata, 2010)
i) Kondisi penyakit lainnya: Beberapa kondisi penyakit lainnya seperti diabetes,
hipertensi, dan penyakit jantung dapat mempengaruhi retraksi bekuan.
(Ganong, 2005)

Hasil pemeriksaan retraksi bekuan


8) Pemeriksaan Trombosit
Trombosit atau juga disebut sebagai keping darah, memiliki ukuran sekitar
2-4µm berbentuk cakram bikonveks dan tidak memiliki inti karena merupakan
fragmen sitoplasmik. Pembentukan trombosit terjadi di sumsum tulang dan diatur
oleh zat humoral yang disebut trombopoietin. Trombosit berasal dari pecahan

41
megakariosit dimana setiap megakariosit dapat menghasilkan 3000-4000
trombosit. Sekitar 70% trombosit beredar di dalam aliran darah setelah matang
dan keluar dari sumsum tulang, sedangkan sisanya terdapat di sistem limfatik
(Sherwood, 2011). Setelah terjadi kontak dengan dinding endotel, trombosit akan
diaktifkan. Orang dewasa normal memiliki jumlah trombosit sekitar 150.000-
400.000 per mikroliter darah. Masa hidup trombosit hanya berlangsung selama 5-
9 hari dalam sirkulasi darah. Ketika trombosit menjadi tua atau rusak, mereka
akan dieliminasi dari sirkulasi oleh organ limpa, dan digantikan oleh trombosit
baru (Durachim dan Dewi, 2018).
Trombosit berfungsi, Menurut Durachim dan Dewi (2018), terdapat
beberapa fungsi dari trombosit, yaitu :
1. Berperan dalam proses pembekuan darah
Apabila terjadi luka, trombosit akan berkumpul akibat rangsangan kolagen
yang terbuka. Kemudian, trombosit akan bergerak menuju area luka dan
merangsang pembuluh darah untuk mengalami vasokonstriksi. Selanjutnya,
trombosit akan memicu pembentukan benang fibrin yang akan membentuk suatu
jaring-jaring dan menutupi area luka. Akibatnya, proses perdarahan pada luka
dapat dihentikan.
2. Melawan infeksi virus dan bakteri
Trombosit akan memakan virus dan bakteri yang masuk ke dalam tubuh
kemudian bersama sel-sel kekebalan tubuh lainnya menghancurkan virus dan
bakteri di dalam trombosit tersebut.
3. Pembentukan plak dalam pembuluh darah
Trombosit memiliki peran dalam pembentukan plak pada pembuluh darah
karena sifatnya yang mudah pecah dan bergumpal saat terjadi gangguan. Hal ini
dapat menyebabkan hambatan aliran darah pada pembuluh darah jantung dan otak
yang dapat memicu stroke atau serangan jantung. Pasien yang menderita stroke
dan serangan jantung diberikan obat anti-platelet untuk menghambat
pembentukan plak oleh trombosit. Respons homeostasis normal terhadap cedera
vascular adalah dengan pembentukan sumbat mekanik atau platelet plug untuk
menghentikan perdarahan dengan mengurangi aliran darah yang keluar. Ketika
trombosit tidak berperan dalam proses ini atau jumlah trombosit di dalam tubuh
kurang dari 20.000/mm3, maka perdarahan spontan yang serius dapat terjadi.

42
Reaksi trombosit berupa adhesi, sekresi, agregasi, dan fusi serta aktivitas
proagulannya sangat penting untuk menjalankan fungsi trombosit secara optimal.

Menurut Kiswari (2014), fungsi utama trombosit atau platelet adalah untuk
membantu dalam pembekuan darah. Pembekuan darah sendiri merupakan sebuah
proses reaksi kimia yang melibatkan protein plasma, fosfolipid, dan ion kalsium.
Ketika terjadi luka atau perdarahan pada pembuluh darah, tubuh akan melakukan
3 mekanisme utama untuk menghentikan perdarahan yang sedang terjadi, yaitu
melakukan konstriksi, aktivasi trombosit, dan aktivasi komponen pembekuan
darah lain dalam plasma darah.
Ketika terjadi luka atau robekan jaringan, cairan yang terkandung di dalamnya
seperti serotonin akan mengalir keluar. Serotonin ini kemudian akan memicu
pembuluh darah untuk menyempit yang dikenal sebagai vasokonstriksi (Durachim
dan Dewi, 2018).
Menurut Setiabudy (2009), sifat fisis trombosit dibagi menjadi beberapa yaitu :
a. Adhesi trombosit
Apabila satu atau lebih jaringan dalam tubuh manusia mengalami luka, hal
tersebut dapat merusak jaringan pembuluh darah. Akibatnya, terjadi rangsangan
fisiologis yang mendorong trombosit untuk menempel pada dinding pembuluh
darah yang rusak. Faktor Von Willebrand (FVW) yang terdapat dalam plasma

43
akan memfasilitasi proses tersebut, di mana perlekatan trombosit pada subendotel
pembuluh darah pada area luka akan terjadi melalui kompleks glikoprotein pada
permukaan trombosit yang disebut GP Ib - IX - V.
b. Reaksi pelepasan trombosit
Selama proses adhesi terjadi, protein akan mengalami fosforilasi dan kalsium
akan bergerak keluar dari dalam sel. Seiring dengan proses ini, trombosit akan
mengalami perubahan bentuk yang signifikan dari bentuk aslinya, membentuk
tonjolan-tonjolan yang lebih kuat untuk meningkatkan kekuatan lekatannya.
Selama proses ini, trombosit akan melepaskan zat seperti ADP, serotonin, dan
Tromboksan A2, yang akan mengaktifkan trombosit lain di sekitar area luka,
memperkuat pengumpulan trombosit dan proses penyembuhan luka.
c. Agregasi trombosit
Proses ini terjadi setelah trombosit teraktivasi dan menempel pada dinding
pembuluh darah yang rusak. Kemudian, zat ADP yang dihasilkan oleh trombosit
tersebut akan menyebabkan kompleks GP IIb-IIIb terekspresi pada permukaan
trombosit. Dengan bantuan fibrinogen yang terdapat dalam plasma, trombosit
akan saling melekat dan mengerucut (agregasi) membentuk gumpalan.
d. Aktivasi koagulasi
Setelah terjadi agregasi trombosit, trombosit akan merangsang proses
pembentukan benang fibrin yang melibatkan faktor intrinsik dan ekstrinsik.
Tujuannya adalah untuk memperkuat proses pembekuan darah.
Hitung jumlah trombosit dapat dilakukan dengan metode otomatis dan manual.
Cara manual dapat dilakukan dengan metode langsung menggunakan bilik hitung dan
tidak langsung pada sediaan apus darah tepi (Umarani, 2016).
1. Metode Otomatis
Saat ini, dengan kemajuan teknologi yang semakin pesat dan permintaan untuk
pemeriksaan hematologi yang semakin meningkat, sebagian besar laboratorium
klinik menggunakan alat hematologi analyzer. Alat ini dapat secara otomatis
mengukur dan menghitung sel-sel darah dengan menggunakan impedansi aliran
listrik atau sinar laser terhadap sel-sel yang dilewati. Hematologi analyzer
umumnya digunakan untuk melakukan pemeriksaan hematologi rutin seperti
menghitung sel eritrosit, leukosit, trombosit, dan memeriksa kadar hemoglobin.
Metode otomatis menggunakan Hematology Analizer merupakan cara yang

44
paling akurat, cepat, dan praktis dalam melakukan perhitungan jumlah trombosit.
Namun kekurangannya adalah harga alat yang mahal.
Terdapat berbagai prinsip reaksi yang digunakan dalam alat hematologi otomatis,
di antaranya adalah impedansi dan flowcytometry.
a. Metode Impedensi
Teknik pengukuran impedansi didasarkan pada perubahan hambatan listrik
pada suatu celah dengan ukuran yang sudah ditentukan (aperture) ketika suatu
partikel melewati celah tersebut di dalam cairan konduktif. Untuk mengukur sel-
sel darah, sel-sel tersebut dilarutkan dalam cairan konduktif dan kemudian diatur
secara hidrodinamik untuk dapat melewati celah aperture satu per satu. Ketika sel-
sel melewati celah, akan tercipta sinyal yang sebanding dengan jumlah sel yang
melewati celah. Besarnya sinyal yang tercipta juga sebanding dengan volume sel
yang melewati celah. Sel-sel yang berukuran 2-20 fl akan dihitung sebagai
trombosit, sedangkan sel yang berukuran lebih dari 20 fl dihitung sebagai eritrosit
dan lebih dari 36 fl dihitung sebagai leukosit. Darah yang diambil kemudian
dibagi menjadi dua volume terpisah. Salah satu volumenya dicampur dengan
larutan pengencer dan dialirkan ke dalam celbath untuk dihitung jumlah eritrosit
dan trombosit. Volume darah yang lain dicampur dengan larutan pengencer dan
reagen lisis yang berguna untuk melisiskan sel darah merah. Jumlah leukosit
kemudian dihitung dari sisa-sisa sel yang melewati celah. Teknik impedansi listrik
ini biasanya digunakan di laboratorium yang menggunakan cairan konduktif.

Gambar 2.4 Metode Impedance


b. Metode Flowcytometri

45
Flowcytometri merupakan teknik pengukuran jumlah dan sifat komponen sel
dalam medium cairan yang bergerak. Setiap sel melewati celah satu persatu dan
kemudian ditembak dengan sinar laser, yang menghasilkan sinyal elektronik yang
dicatat oleh instrumen sebagai karakteristik sel yang bersangkutan. Prinsip
kerjanya adalah dengan menyuspensikan sejumlah sel dalam cairan konduktif dan
memberi tekanan hidrodinamik sehingga sel-sel tersebut melewati lorong satu
demi satu. Alat hematologi otomatis memiliki keunggulan dalam efisiensi waktu
karena pemeriksaan dapat dilakukan dengan cepat dan beberapa parameter dapat
dilakukan secara bersamaan. Selain itu, volume sampel yang dibutuhkan lebih
sedikit dan hasil yang dikeluarkan lebih akurat karena sudah melalui pemantapan
mutu internal laboratorium. Namun, alat hematologi otomatis tidak dapat
menghitung sel yang abnormal dan biaya perawatannya relatif mahal.

Gambar 2.5
Metode Flowcytometri
2. Metode Manual
a. Metode Manual Langsung
Untuk melakukan pemeriksaan hitung jumlah trombosit secara manual langsung,
dapat menggunakan kamar hitung Improved Neubauer dengan metode Rees Ecker
atau Brecher Cronkite (Ammonium Oksalat 1%). Kelebihan dari hitung jumlah
trombosit secara manual yaitu mudah dan sederhana serta biaya lebih murah,
tetapi kekurangannya hitung trombosit secara manual yaitu pengamatan dengan
mata seseorang sangat dipengaruhi oleh kemampuan dan ketahanan pengamat
serta membutuhkan waktu yang cukup lama (Gandasoebrata, 2010).
1) Rees Ecker

46
Pada metode Rees Ecker, darah diencerkan dengan larutan BCB (Brilliant Cresyl
Blue) sehingga trombosit secara mikroskopis akan tampak terang kebiruan dan
berbentuk bulat, agak lonjong, atau koma yang lebih kecil dari eritrosit.
Kemungkinan kesalahan pada metode Rees Ecker adalah 16-25% (Kiswari, 2014).
Kelebihan dari larutan Rees Ecker adalah trombosit lebih jelas terlihat dan
trombosit berwarna biru. Sedangkan kekurangannya adalah harga larutan Rees
Ecker lebih mahal, tidak dapat melisiskan eritrosit, dan dengan pengenceran kecil
eritrosit menumpuk sehingga menutupi trombosit.

Gambar 2.6 Hasil Pengamatan Metode Rees Ecker

2). Metode Brecher Cronkite (Ammonium Oksalat 1%)


Pada metode Brecher Cronkite, darah diencerkan dengan larutan ammonium
oksalat 1% untuk menghilangkan sel darah merah sehingga yang tersisa adalah
trombosit yang dihitung dengan kamar hitung di bawah mikroskop. Kesalahan
pada metode Brecher Cronkite adalah 8-10% (Kiswari, 2014). Kelebihan dari
larutan Amonium oksalat 1% adalah dapat melisiskan eritrosit dan bayangan
lekosit lenyap, lebih terlihat jelas dan harga relatif lebih murah. Sedangkan
kekurangannya adalah lebih mudah terkontaminasi dan mempunyai latar belakang
jernih sehingga trombosit sukar dibaca (Gandasoebrata, 2010).

Gambar 2.7 Hasil Pengamatan Metode Brecher Conkrite

47
b, Metode Manual Tidak Langsung

Hitung trombosit tidak langsung dapat dilakukan dengan metode Barbara


Brown dan Fonio, yaitu dengan menghitung jumlah trombosit dalam 1000 eritrosit
pada sediaan apus darah tepi. Perbedaan dari keduanya adalah penambahan larutang
MgSO4 pada metode Fonio. Pembuatan sediaan apus darah tepi sangat penting dalam
bidang hematologi karena dapat memberikan petunjuk tentang keadaan hematologik,
termasuk kelainan pada morfologi sel-sel darah. Namun, pembuatan sediaan apus yang
berkualitas tinggi merupakan prasyarat mutlak untuk diagnosis morfologis yang
bermakna dan memerlukan ketrampilan teknis yang diperoleh melalui latihan yang
cukup lama.

Ketebalan lapisan sediaan apus harus dibuat sedemikian rupa sehingga


sebagian eritrosit yang berdampingan dapat terpisah. Hanya 2/3 atau 3/4 bagian kaca
objek yang digunakan untuk apusan darah agar lapisan sediaan apus tidak terlalu tebal,
yang dapat menghambat analisis sel karena sel-sel tidak tersebar secara merata
(Freund, 2011). Kelebihan sediaan apusan darah tepi (SADT) yaitu dapat melihat
langsung keadaan sel trombosit yang rusak dan yang beragregasi, biayanya murah.
Kekurangannya yaitu tergantung dari keterampilan seseorang dari pembuatan apusan
darah tepi, hasil pemeriksaan yang sangat subjektif, cara membaca dalam lapang
pandang, dan distribusi sel yang tidak merata (Sacher dan McPherson, 2004).

Gambar 2.8 Hasil Pengamatan Trombosit MetodeTidak Langsung

9) Pemeriksaan rekalsifikasi

Plasma adalah bagian cair dari darah yang tidak mengandung sel-sel darah
tetapi masih mengandung faktor-faktor pembekuan darah. Plasma diperoleh
dengan cara memisahkan sel-sel darah dari darah (whole blood) dengan cara

48
sentrifugasi. Plasma yang terbentuk memiliki komposisi faktor pembekuan yang
berbeda sesuai dengan jenis antikoagulan yang ditambahkan (Nugraha, 2015).

Plasma recalcification time atau masa rekalsifikasi plasma adalah waktu yang
dibutuhkan untuk menyusun fibrin dari plasma rendah trombsit yang tidak
mengandung Ca2+ dengan penambahan CaCl2. Masa rekalsifikasi merupakan salah
satu pemeriksaan hemostasis yang berfungsi untuk mengetahui adanya kelainan
defisiensi faktor intrinsik. Faktor intrinsic tersebut meliputi faktor pembekuan V
(faktor labil), VII (prokonvertin), IX (faktor Chrismas/plasma thromboplastin
component), X (faktor Stuart-Power), XI (anteseden tromboplastin plasma), XII
(faktor hagemen), prothrombin, dan fibrinogen (Gandasoebrata, 2007).

Pemeriksaan masa rekalsifikasi menggunakan larutan kalsium klorida 0,025 M


dan larutan natrium klorida 9,5%. Fungsi penambahan CaCl2 adalah untuk
mengaktifkan ion Ca2+ yang berfungsi sebagai katalisator terbentuknya fibrinogen,
karena Ca mengendap saat dilakukan pemusingan. Ca diperlukan untuk mempercepat
terbentuknya benang fibrin hingga terjadi bekuan (Bakta IM, 2007).

Pemeriksaan masa rekalsifikasi dipengaruhi oleh trombosit, semakin banyak


trombosit maka semakin singkat masa rekalsifikasi. Untuk menyingkirkan trombosit
dianjurkan memakai plasma rendah trombosit yaitu dengan pemusingan 20 menit pada
kecepatan 3000 rpm sehingga plasma hanya mengandung sedikit trombosit. Dalam
keadaan normal waktu rekalsifikasi antara 90 – 250 detik (Gandasoebrata, 2007).

Masa rekalsifikasi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut:

49
a. Antikoagulan

Pemeriksaan masa rekalsifikasi menggunakan sampel plasma dengan


antikoagulan natrium sitrat 3,8%. Perbandingan antara darah dengan antikoagulan
natrium sitrat adalah 9:1, 9 bagian untuk darah dan 1 untuk antikoagulan natrium sitrat.
Natrium sitrat merupakan larutan yang isotonis terhadap darah dan sering digunakan
untuk pemeriksaan kelainan pembekuan dan pemeriksaan laju endap darah. Plasma
sitrat tidak mengandung ion Ca2+, karena ion Ca2+ diikat oleh sitrat pada proses
sentrifugasi.

b. Suhu

Suhu yang digunakan saat pemeriksaan masa rekalsifikasi harus tepat dan
stabil yaitu 37oC. Suhu tersebut digunakan karena sesuai dengan suhu tubuh manusia.
Apabila suhu yang digunakan saat pemeriksaan masa rekalsifikasi tidak sesuai dengan
suhu tubuh manusia maka plasma dan fibrin akan rusak dan mengakibatkan masa
rekalsifikasi akan memanjang.

c. Waktu penyimpanan

Plasma sitrat yang disimpan dalam suhu kamar (25-30˚C) sebaiknya diperiksa
kurang dari 2 jam, karena plasma mengandung semua jenis protein yang ada di dalam
darah. Setelah di simpan maka aktivitas faktor V dan VII akan menurun sehingga akan
menghambat aktivitas pembentukan fibrin (Santosa, 2008).

d. Volume

Pembentukan fibrin dapat dipengaruhi oleh volume. Volume yang lebih rendah
akan memerlukan waktu yang lebih singkat dalam pembentukan fibrin karena pada
volume 50% partikel trombosit lebih mudah menyusun benang fibrin (Atmoko, 2014).

e. Plasma rendah trombosit

Pemeriksaan masa rekalsifikasi menggunakan sampel plasma rendah trombosit.


Hal ini dikarenakan apabila jumlah trombosit tinggi maka masa rekalsifikasi akan
semakin singkat. Plasma rendah trombosit tersebut dapat diperoleh dengan dilakukan

50
sentrifugasi pada kecepatan 3000 rpm selama 20 menit, sehingga diperoleh plasma
dengan kandungan trombosit rendah (Gandasoebrata, 2007).

10) Pemeriksaan Kadar Fibrinogen

Fibrinogen merupakan glikoprotein yang memiliki berat molekul 340.000


dalton. Fibrinogen disintesis oleh megakariosit di hati. Fibrinogen tersusun atas 6
rantai yang terdiri atas 2 rantai A⍺ , 2 rantai Bβ, dan 2 rantai γ. Thrombin (FIIa)
memecah molekul fibrinogen menjadi 2 fibrinopeptide A (FPA) dari rantai Aα dan 2
fibrinopeptide B (FPB) dari rantai Bβ. Fibrin monomer yang dihasilkan dari reaksi ini
kemudian berlekatan membentuk fibrin yang selanjutnya distabilkan oleh faktor XIIIa.
Tahap pertama stabilisasi terdiri atas ikatan dua rantai γ dari dua fibrin monomer.
Ikatan ini adalah asal dari D-Dimer, produk degradasi fibrin spesifik. Fibrinogen dapat
digradasi oleh plasmin (Riswanto, 2013).

Pemeriksaan fibrinogen bertujuan untuk mengukur jumlah fibrinogen dalam


darah pasien. Pemeriksaan ini dilakukan terhadap penderita dengan kelainan atau
penyakit yang dapat menyebabkan kekurangan fibrinogen dan dalam keadaan tertentu
pada penderita dengan kemungkinan peningkatan kadar fibrinogen. Pemeriksaan
dilakukan dengan cara menilai terbentuknya bekuan apabila ke dalam plasma yang
diencerkan ditambahkan thrombin. Waktu pembekuan dari plasma terdilusi
berbanding terbalik dengan kadar fibrinogen (Riswanto,2013).

Nilai normal dari pemeriksaan fibrinogen adalah 200 – 400 mg/dl sedangkan
bayi baru lahir 150 – 300 mg/dl. Peningkatan kadar fibrinogen dapat terjadi pada
infeksi akut, penyakit kolagen, diabetes, sindroma inflamatori, obesitas serta pengaruh
obat kontrasepsi oral dan heparin. Kadar fibrinogen yang menurun dapat dijumpai
pada kasus DIC, fibrinogenolisis, hypofibrinogenemia, komplikasi obstetric, penyakit
hati yang berat dan leukemia (Riswanto, 2013).

11) Pemeriksaan D-Dimer

D-dimer merupakan produk degenerasi fibrin yang berguna untuk mengetahui


abnormalitas pembentukan bekuan darah atau proses fibrinolitik. Fibrinolisis adalah
proses aktivitas enzym hidrolitik plasmin untuk mencerna fibrin dan fibrinogen yang
secara progresif mereduksi bekuan (trombus). Plasmin menyebabkan degradasi fibrin,

51
meningkatkan jumlah produk degradasi fibrin yang terlarut. Fibrin degradation
product (FDP) yang dihasilkan berupa fragmen X, Y, D dan E. Dua fragmen D dan
satu fragmen E akan berikatan dengan kuat membentuk D-dimer (Wells et al, 2003).

Sejak tahun 1990, pemeriksaan D-dimer digunakan untuk pemeriksaan


thrombosis. Hasil pemeriksaan yang positif menunjukkan adanya trombus, namun
tidak dapat menunjukkan lokasi kelainan dan menyingkirkan etiologi-etiologi
potensial lain (Rahajuningsih, 2007).

Pemeriksaan D-dimer dilakukan untuk mengetahui pembentukan bekuan darah


yang abnormal atau adanya kejadian trombotik (indirek) dan untuk mengetahui adanya
lisis bekuan atau proses fibrinolitik (direk). Hasil pemeriksaan kadar d-dimer memiliki
nilai sensitifitas dan nilai ramal negatif yang tinggi untuk kedua keadaan tersebut
(Lisyani, 2006).

Pemeriksaan d-dimer dilakukan dengan menggunakan antibody monoclonal


yang mengenali epitope pada fragmen D-dimer. Pemeriksaan ini dapat dilaukan
dengan beberapa metode pemeriksaan, yaitu Enzym Linked Immunosorbent Assay
(ELISA), Latex Agglutination (LA) dan Whole Blood Agglutination (WBA) (Laffan,
2006).

Metode ELISA merupakan gold standar dari pemeriksaan D-dimer. Sensitivitas


dan nilai ramal negatif untuk D-dimer berkisar 90%. Antibodi dengan afinitas tinggi
terhadap D-dimer dilapiskan pada suatu dinding atau microliter well dan mengikat
protein dalam plasma. Antibodi kedua ditambahkan dan jumlah substansi berlabel
yang terikat secara langsung sepadan dengan D-dimer yang diukur. Tes rapid ELISA
menunjukan sensitivitas mirip metode ELISA konvensional (Hasset, 2008).

Metode Latex agglutination menggunakan antibodi yang dilapiskan pada


partikel latex. Aglutinasi secara makroskopik terlihat bila ada peningkatan D-dimer
dalam plasma Latex agglutination yang dimodifikasi dengan menggunakan analyzer
automatik dapat dipakai untuk mengukur Ddimer secara kuantitatif dengan menilai
sensitivitas 98 – 100 % (Widjaja, 2010).

Pemeriksaan D-dimer dilakukan dengan menggunakan sampel plasma citrate yang


diperoleh dengan mencampurkan darah dengan antikoagulan sodium citrate dengan

52
perbandingan 9:1. Sampel ini dapat disimpan pada suhu -20oC yang stabil hingga 1
bulan (Widjaja, 2010)

Kadar D-dimer dinyatakan dalam satuan µg/L. Pemeriksaan D-dimer dengan


latex agglutination memiliki nilai cut-off sebesar 500 µg/L. Kadar D-dimer yang lebih
dari nilai normal rujukan menunjukkan adanya produk degradasi fibrin dalam kadar
yang tinggi; mempunyai arti adanya pembentukan dan pemecahan trombus dalam
tubuh. Kadar D-dimer yang normal dapat digunakan untuk menyingkirkan diagnosis
banding gangguan pembekuan darah sebagai penyebab dari gejala klinik yang ada
(Quinn, 1999).

2.9 Kelainan pada Hemostasis


a. Kelainan Vaskuler
1. Ptechiae (Bintik Merah)
Ptechiae adalah bintik merah kecil yang tampak pada permukaan kulit
yang disebabkan karena perdarahan kecil, atau karena bocornya pembuluh
darah sehingga darah merembes keluar membentuk titik merah. Ptechiae bisa
merupakan sebagai tanda atau akibat kekurangan jumlah trombosit
(thrombocytopenia) di dalam tubuh. Kondisi ini juga bisa timbul pada
keadaan dimana jumlah trombosit dan fugsi trombosit tidak seperti biasanya.
(contohnya pada keadaan terjadinya infeksiatau apabila kelebihan tekanan
seperti pada kasus tekanan yang berlebihan pada jaringan (seperti pada
tourniquet test dipakai pada batuk yang berlebihan).

Petechiae adalah bintik-bintik non-blanching yang berukuran kurang


dari 2 mm dan mempengaruhi kulit dan selaput lendir. Ruam petekie sering
terjadi dan dapat menjadi penyebab signifikan bagi orang tua dan tim
interprofessional. Ruam petekie terjadi akibat area perdarahan ke dalam

53
dermis. Penyebab patofisiologi utama petechiae adalah trombositopenia,
disfungsi trombosit, gangguan koagulasi, dan hilangnya integritas pembuluh
darah. Meskipun ada banyak penyebab ruam petekie pada anak, penyakit
meningokokus invasif (IMD) yang disebabkan oleh Neisseria meningitidis
adalah salah satu alasan yang paling memprihatinkan. Seorang anak dengan
demam dan ruam petechial membutuhkan penilaian yang mendesak dan
komprehensif.
2. Ecchymosis
Ecchymosis yaitu perubahan warna pada kulit yang disebabkan
terjadinya perdarahan dalam. Warna merah yang tampak kelihatan disebabkan
karena keluarnya darah dari pembuluh darah ke dalam jaringan.

Ekimosis atau ecchymosis adalah purpura (ekstravasasi darah) di bawah kulit


yang ukurannya lebih besar dari 1 cm atau hematoma. Ekimosis dinyatakan
sebagai istilah lain untuk memar atau bercak biru kehitam-hitaman yang
tampak di kulit tubuh. Namun ekimosis memiliki perbedaan dengan memar
biasa. Memar terjadi disebabkan oleh trauma (benturan), sedangkan Ekimosis
tidak disebabkan oleh benturan. Dalam pemeriksaan, kelainan vaskuler juga
dapat disebabkan oleh faktor genetik atau bawaan yang diantaranya:
a. Hereditery Hemorrhagic (Teleangiectasia)
Merupakan perdarahan kulit dan membran mukosa dimana terjadi dilatasi
multiple dari kapiler dan arteriol, dinding tipis dan vasokonstriksi jelek.
Telangiectasias, juga dikenal dengan istilah spider veins, yaitu, dimana
pembuluh darah melebar kecil di dekat permukaan kulit atau selaput lendir,
berukuran antara 0,5 dan 1 milimeter, biasanya terlihat di sekitar hidung, pipi,
dan dagu. Telangiektasis disebabkan oleh kelainan perkembangan yang dapat
meniru perilaku neoplasma vaskular jinak dengan baik, Karena telangiektasis
adalah lesi vaskular, maka pucat saat diobati dengan diascopy.

54
Gambar Bibir yang terkena gejala telangiectases
(Sumber: Durachim dan Astuti, 2018)
b. Herediterycapillary Fragility
Variant dari Von Willebran Disease, Waktu perdarahan memanjangpenyakit
Von Willebrand (vWD) ditemukan oleh Erik Adolf von Willebrand, adalah
kelainan pembekuan darah herediter yang paling umum pada manusia. Bentuk
yang diakuisisi terkadang dapat diakibatkan oleh kondisi medis lainnya.
Penyakit ini timbul dari kekurangan kualitas atau kuantitas faktor von
Willebrand (vWF), protein multimerik yang dibutuhkan untuk adhesi platelet.
c. Ehlers-Danlos Syndrome
Merupakan kelainan kolagen, Sindrom Ehlers-Danlos (EDS) adalah
kelompok dari tiga belas kondisi genetik individu, yang semuanya
mempengaruhi jaringan ikat tubuh. Jaringan ikat terletak di antara jaringan dan
organ lain, menjaga agar tetap terpisah sementara menghubungkannya,
menahan segala sesuatu dan memberikan dukungan, seperti mortar di antara
batu bata. Pada EDS, mutasi gen menyebabkan jaringan ikat jenis tertentu -
jenisnya akan bergantung pada jenis EDS namun biasanya berbentuk kolagen -
menjadi rapuh dan melar. Kelainan vaskuler didapat (Acquired) :
1. Purpura Simplex
Purpura adalah bercak berwarna ungu yang terjadi pada kulit, pada organ,
dan di selaput lendir, termasuk lapisan mulut. Tourniquet test (+), Biasa pada
wanitra reproduksi. Purpura simplex disebabkan adanya penggumpalan darah
akibat pecahnya dinding pembuluh darah. Purpura simplex lebih sering terjadi
pada wanita akibat pengaruh hormonal. Memar biru pun bisa muncul di bagian
paha, tungkai kaki, serta lengan. Stres dan kelelahan dapat memicu
penggumpalan darah. Purpura simplex tidak hanya terjadi saat kita kelelahan.

55
Jika sering mengonsumsi obat jenis aspirin, warfrafin, clopidogrel, dan
prasurgel juga berpengaruh pada peredaran darah.
2. Senile Purpura
Senile purpura adalah kondisi yang biasa terjadi pada lansia dan disebut
dengan berbagai cara. Misalnya, beberapa orang tahu pikun pikura sebagai
purpura senilis, hemorrhages kulit, atau sebagai purpura Bateman. Kondisi
Senil purpura yang paling sederhana adalah saat lansia lebih rentan terhadap
memar. Individu yang lebih tua memiliki kulit yang lebih tipis dan rapuh,
sehingga memar lebih mungkin terbentuk sebagai hasilnya. Pada tahap awal,
memar ini tampak berwarna keunguan. Bintik purpura besar disebut
ecchymosis dan bintik-bintik kecilnya dikenal sebagai petchiae.
b. Kelainan Trombosit
1. Trombositosis
Trombositosis adalah kondisi dimana jumlah trombosit di dalam darah
jumlahnya lebih dari normal (tinggi), dan keadaan ini bisa berupa reaktif atau
primer (juga disebut penting dan disebabkan oleh penyakit myeloproliferative).
Trombositosis dapat menjadi predisposisi trombosis pada beberapa keadaan
dari pasien. Peningkatan jumlah trombosit sementara, yaitu fisiologi (gerak
badan) dan patologis (trauma, keganasan, dan peradangan)
Kondisi trombositosis meningkat karena adanya rangsangan, tetapi apabila
rangsangan yang menyebabkan tingginya trombosit hilang, maka jumlah
trombosit kembali normal. Pada orang dewasa, batas normal trombosit adalah
150-450 x 109 /l atau 150.000-450.000 platelet per mikroliter darah, sementara
seorang penderita trombositosis dapat memiliki jumlah trombosit hingga 600 x
109 /l atau lebih. Trombositosis bisa menjadi penyebab utama kondisi
penggumpalan darah dan dapat dipicu pula oleh penyakit lain.
Penyebab Trombositosis dapat disebabkan oleh infeksi, gangguan pada
tulang dan sumsum tulang, atau kondisi lainnya. Beberapa jenis trombositosis,
antara lain:
1) Trombositosis/trombositemia sekunder atau trombositosis reaktif.
Trombositosis ini umumnya disebabkan oleh infeksi atau penyakit lain
yang sudah ada atau sedang diderita.

56
2) Trombositosis primer atau trombositosis esensial. Trombositosis ini
disebabkan oleh gangguan pada sumsum tulang. Kondisi ini merupakan
yang lebih sering menjadi penyebab penggumpalan darah.
2. Trombositemia
Trombositemia adalah kelainan darah dimana jumlah trombosit lebih dari
normal (kelainan darah myeloproliferative). Hal ini ditandai dengan produksi
trombosit yang banyak dan berlimpah di sumsum tulang dan menyebabkan
pembekuan darah normal sulit dilakukan. Pada trombositemia terjadi
peningkatan jumlah trombosit dalam sirkulasi. Jumlah trombosit yang sangat
tinggi berkaitan dengan peningkatan risiko trombosis (pembekuan) dalam
sistem pembuluh.
Trombositemia primer dapat terjadi pada keganasan, polisitemia vera, dan
penyakit sumsum tulang lainnya. Penyebab sekunder trombositemia antara lain
infeksi akut. Trombositemia sekunder dapat terjadi setelah pengangkatan limpa,
karena organ ini secara normal menyimpan sebagian trombosit sampai
diperlukan dalam sirkulasi.
3. Thrombocytopenia
Trombositopenia atau kekurangan trombosit adalah istilah medis yang
digunakan untuk penurunan jumlah trombosit di bawah batas minimal. Nilai
trombosit yang normal adalah 150.000 hingga 450.000 per mikroliter darah.
Trombositopenia bisa dialami oleh anak-anak maupun orang dewasa dan akan
menyebabkan penderitanya lebih rentan mengalami perdarahan.
Trombositopenia dapat berakibat fatal jika jumlah trombosit penderita berada di
bawah angka 10.000 per mikroliter darah. Gejala trombositopenia contohnya
adalah mimisan, gusi berdarah, dan luka yang terus berdarah. Gejala-gejala lain
yang mungkin menyertai trombositopenia bisa berupa: kelelahan, menstruasi
dengan volume darah berlebihan, memar-memar pada tubuh, bintik-bintik
merah keunguan pada kulit, dan pembengkakan pada limpa.
c. Kelainan Fungsi Trombosit
Trombosit adalah komponen darah berukuran 2-4 mikron berbentuk bulat,
opal dan berfungsi untuk proses hemostasis, yaitu untuk melakukan penghentian
perdarahan pada saat terjadinya luka dengan cara melakukan penempelan pada
kolagen (adhesi), dan menempel dengan trombosit lain (agregasi) membentuk
platelet plug.
57
1. Kelainan adhesi terhadap kolagen
Contohnya : ehlers-danlos syndrome (kelainan vaskuler)
2. Kelainan adhesi terhadap subendotel
Contohnya : sindroma bernard soulier (kelainan trombosit), sindroma von
willbrand (kelainan plasma )
3. Kelainan pelepasan
Contohnya : sindroma hermansky (pudiak), sindromawiskott (aldrich),
defisiensi storage pool, sindroma chediak – higashi, defisiensi cyclo -
oxygenase (gangguan mekanik pelepasan), penyakit glikogen tipe i
(gangguan metabolisme nucleotide)
4. Kelainan agregasi adp (kelainan trombosit)
Contohnya : thrombasthenia glanzmann, afibrinogemia
d. Kelainan Pembekuan
1. X-Link Recessive
Resesif yang yang diturunkan terkait dengan X adalah mode pewarisan
dimana mutasi pada gen pada kromosom X menyebabkan fenotip diekspresikan
pada laki-laki (yang pasti hemizygous untuk mutasi gen karena mereka
memiliki satu kromosom X dan satu Y) dan pada waita yang homozigot untuk
mutasi gen. X-linked inheritance berarti gen yang menyebabkan sifat atau
kelainan tersebut berada pada kromosom X. Wanita memiliki dua kromosom X,
sedangkan laki-laki memiliki satu kromosom X dan satu Y.
Wanita pembawa yang hanya memiliki satu salinan mutasi biasanya
tidak mengekspresikan fenotipe, walaupun perbedaan inaktivasi kromosom X
dapat menyebabkan berbagai tingkat ekspresi klinis pada wanita carrier karena
beberapa sel akan mengekspresikan satu alel X dan beberapa akan
mengekspresikan yang lain. Defisiensi F.VIII Dan F.IX
a) 85% Defisiensi Faktor VIII ; Haemophili A
b) 12% Defisiensi Faktor IX : Haemophili B
c) 1% Defisiensi Faktor XI : Haemophili C
2. Autosomal Dominant
Gen adalah cetak biru untuk pembuatan protein. Tubuh kita
membutuhkan protein untuk berkembang dan bekerja dengan baik. Kebanyakan
gen berpasangan. Yang satu diwariskan dari ibu dan yang lainnya dari sang

58
ayah. Gen yang diwarisi dari orang tua kandung kita diungkapkan dengan cara
yang spesifik. Salah satu pola dasar ini disebut autosomal dominant inheritance.
a) Penyakit Von Wille Brand
b) Penyakit Disfibrinogenemia
c) Defisiensi F. XI
3. Autosomal Recessive
Autosomal resesif adalah kondisi genetik yang muncul hanya pada
individu yang telah menerima dua salinan gen autosomal, satu salinan dari
masing-masing orang tua. Gen itu ada pada autosom, sebuah kromosom nonsex.
Orang tua adalah pembawa yang hanya memiliki satu salinan gen dan tidak
menunjukkan sifatnya karena gen tersebut resesif terhadap gen pendamping
normal.Jika kedua orang tua adalah pembawa, ada kemungkinan 25% anak
mewarisi kedua gen abnormal dan, akibatnya, menurunkan penyakit ini. Ada
kemungkinan 50% anak yang hanya mewarisi satu gen abnormal dan menjadi
carrier, seperti orang tua, dan ada kemungkinan 25% anak mewarisi gen normal.
e. Kelainan Hemostasis Primer
1. Heparin-Induced Thrombocytopenia (HIT)
Kelainan ini terjadi pada 10% pasien yang mengkonsumsi heparin.
Kelainan ini sering ditemukan pada pasien hitung trombosit rutin dan jarang
menyebabkan perdarahan yang bermakna. Trombositopenia yang berkaitan
dengan heparin biasanya terjadi dalam minggu pertama terapi pada pasien yang
sebelumnya memakai heparin. HIT disebabkan oleh Heparin yang mengikat
platelet factor 4 (PF4) yang dilepaskan oleh trombosit membentuk platelet factor
4(PF4)-heparin complex dalam sirkulasi darah. Antibodi antiheparin/PF4 dapat
mengaktifkan trombosit melalui reseptor FcγRIIa dan kadang dapat mengaktifkan
sel endothelial sehingga menyebabkan thrombosis walaupun pada kondisi
trombositopenia.
2. Thrombocytopenic Thrombotic Purpura (TTP)
TTP adalah sindrom klinis dengan mortalitas yang tinggi, ditandai dengan
pembentukkan mikrotrombin pada miskro vascular. Tanda klinis dari TTP adalah;
trombositopenia berat, anemia hemolitik mikroangiopati, demam, gejala
neurologic seperti sakit kepala dan stroke serta kalainan ginjal. Terdapat tiga tipe
TTP yaitu; idiopatik, secondary dan TTP didapat (Upshaw-Shulman). TTP
idiopatik berhubungan dengan enzim, ADAMTS13 (A Disintegrin-like And
59
Metalloprotease domain with TromboSpondin-type motifs), bertanggung jawab
untuk memecah vWF multimer. High-molecular-weight vWF pada pasien TTP
mencetus aggregasi trombosit invivo sehingga menimbulkan gejala klinis.
Secondary TTP ditemukan pada pasien dengan riwayat konsumsi obat
tertentu, seperti quinine, immunosuppressants atau beberapa sitotoksin yang
digunakan pada obat kemoterapi. Secondary TTP ditemukan pada pasien HIV,
kelainan autoimun dan transplantasi sumsum tulang allogenik. TTP didapat,
merupakan penyakit keturunan diakibatkan kekurangan ADAMTS13. Pada pasien
TTP yang kekurangan ADAMTS13, multimer vWF yang besar akan terakumulasi
di dalam plasma, menempel pada permukaan sel endothelial dan mencetus adhesi
trombosit atau aggregasi trombosit intravascular sehingga mengaktifkan sistem
koagulasi. Ikatan trombosit-fibrin trombi pada mikrosirkulasi dapat menyebabkan
iskemia jaringan atau infark yang merupakan karakteristik TTP.
3. Immune Thrombocytopenic Purpura/Idiopathic Thrombocytopenic Purpura
(ITP)
ITP adalah suatu kondisi autoimun disebabkan oleh antibodi antitrombosit,
yang menyebabkan penurunan masa hidup trombosit. Antibodi tersebut umumnya
adalah IgG dan pada dasarnya ditujukan untuk menyerang antigen trombosit yaitu
kompleks GP IIb/IIIa dan GP Ib/IX. Antibodi antitrombosit tersebut berperan
sebagai opsonin yang akan dikenali oleh reseptor Fc IgG phagosit monoselular
dari system RE sehingga dihancurkan dan menyebabkan trombositopenia. Limpa
merupakan lokasi utama penghancuran trombosit.
Semua usia dapat mengalami ITP, lebih sering pada wanita dewasa muda.
Pada usia dewasa, ITP adalah suatu penyakit kronik yang dapat mengalami remisi
dan relaps sepanjang waktu. Banyak pasien tidak membutuhkan terapi; keputusan
memulai terapi bersift individual, tergantung jumlah trombosit, ada/tidaknya
perdarahan dan gaya hidup pasien yang berhubungan dengan risiko perdarahan.
Pada pasien-pasien ITP dengan trombosit >30.000/µL, mortalitas sehubungan
dengan trombositopenianya tidak meningkat.
4. Bernard-Soulier Syndrome (BSS)
BSS merupakan kelainan perdarahan didapat/diturunkan secara
auotosomal resesif. Seseorang yang heterozigot seringkali tidak memperlihatkan
gejala. BSS terjadi dikarenakan adanya gangguan fungsi trombosit yang
disebabkan oleh kelainan pada gen untuk glikoprotein Ib/IX/V. Gen ini kode
60
untuk suatu kelompok protein yang terkait biasanya ditemukan pada permukaan
trombosit, glikoprotein Ib/IX/reseptor V (juga disebut faktor von Willebrand atau
reseptor vWF). Karena reseptor ini tidak ada atau tidak berfungsi sebagaimana
mestinya, trombosit tidak menempel pada dinding pembuluh darah yang terluka
sehingga darah tidak dapat membeku secara normal. Pada pemeriksaan
laboratorium dapat ditemukan giant trombosit, jumlah trombosit pada batas
bawah nilai normal (borderline), adhesi trombosit abnormal, aggregasi ristocentin
abnormal, aggregasi thrombin normal atau menurun, aggregasi respon lainnya
normal.
5. Glanzmann Thrombasthenia
Kelainan platelet yang bersifat herediter atau genetik. Kelainan ini
diturunkan secara autosomal resesif. Pada kelainan ini terdapat defisiensi atau
disfungsi pada kompleks glikoprotein IIb/IIIa (GP IIb/IIIa) dari platelet. Gen-gen
yang terkait dengan kelainan ini terletak pada kromosom 17. Defek pada
kompleks GP IIb/IIIa berakibat pada gangguan aggregasi platelet dan memicu
perdarahan berikutnya. Walaupun terdapat kelainan, secara kuantitatif dan
morfologi kondisi plalet biasanya normal. Secara klinis, penderita mudah atau
secara spontanmengalami memar, hematoma subkutan dan terdapat petechia.
Ketika terjadi luka, reseptor GP IIb/IIIa berperan penting dalam proses
perlekatan platelet ke endotel. Saat kompleks GP IIb/IIIa teraktivasi, dia akan
mengikat fibrinogen pada ujungnya dan kompleks GP IIb/IIIa pada platelet lain
dapat mengikat fibrinogen yang sama pada ujung lainnya. Platelet yang
berdekatan membentuk cross-linked (GP IIb/IIIa–fibrinogen–GP IIb/IIIa) dan
membentuk gumpalan platelet. Ketika kompleks GP IIb/IIIa berfungsi secara
abnormal atau kurang, platelet akan gagal berikatan satu dengan yang lainnya
sehingga bekuan tidak akan terbentuk.
6. Trombositosis
Trombositosis merupakan suatu kondisi dimana jumlah trombosit ≥
450.000/μL darah. Secara umum trombosis terbagi menjadi trombosis palsu
(spurious), reaktif, dan klonal.
a. Trombosis Palsu
Trombosis palsu dicirikan dengan adanya struktur non trombosit pada
darah yang terhitung sebagai trombosit oleh alat otomatisasi (hematology
analyzer). Struktur yang dapat menyebabkan tromsitosis palsu antara lain; kristal
61
cryoglobulin yang berbentuk seperti jarum, fragmen sitoplasmik dari sel leukimia
yang beredaran di peredaran darah, bakteri serta mikrovesikel sel eritrosit pada
kondisi luka bakar masif. Untuk mengkonfirmasi adanya trombosis, dapat dilihat
pada sediaan apus darah.
b. Trombosis Reaktif
Trombositosis reaktif adalah melihat penyebab terjadinya kondisi
trombosis. Pada pasien dewasa, infeksi (akut), kerusakan jaringan, kelainan
inflamasi kronis dan keganasan merupakan penyebab trombositosis reaktif yang
sering terjadi. Pada anak-anak, trombositosis reaktif dapat disebabkan oleh hal-hal
tersebut, anemia hemolitik terutama karena Thalassemia merupakan etiologi yang
sering. Trombopetin (TPO) merupakan regulator primer pada proses
pembentukkan trombosit, serta sitokin lain seperti IL-1, IL-4, IL-6, IL-11, dan
TNF berperan penting pada pembentukkan trombosit. Beberapa sitokin tersebut
berperan dalam respon inflamasi. Evaluasi trombositosis reaktif dan klonal dapat
dilakukan dengan melihat kadar sitokin tersebut yang beredar diperadaran darah,
IL-6 akan meningkat pada trombositosis reaktif tetapi tidak pada trombositosis
klonal. C-reactive protein (CRP), ferritin dan laju endap darah (LED) merupakan
pemeriksaan yang bisa dilakukan untuk menunjang diagnosis trombositosis
reaktif.
c. Trombositosis Klonal
Trombositosis reaktif tidak ditemukan dan pasien masih mengalami
trombositosis, maka evaluasi harus dilakukan pada berbagai penyebab
trombositosis klonal. Klasik myeloproliferative neoplasm (MPNs) , chronic
myeloid leukimia (CML), polycythemia vera (PV) dan primary myelofibrosis
(PMF) merupakan proses klonal yang berhubungan dengan trombositosis.
Penyakit-penyakit tersebut berhubungan dengan pematangan sel mieloid dari
hematopoetic stem cell.

62
Gambar 5. Sediaan apusan darah trombositosis (sumber: bppsdmk.kemkes.go.id)
7. Trombosis
Trombosis dapat terjadi karena adanya disfungsi dinding pembuluh
darah, aliran darah dan komponen darah. Peningkatan enzim koagulasi baik
dengan atau tanpa muatan negatif dari phospholipid, dapat membentuk trombin.
Pertama kali trombosis dapat terbentuk karena ketidakseimbangan faktor
pembekuan darah akibat kelainan molekular didapat ataupun keturunan. Kedua,
gangguan aliran darah akan memperlambat aliran inhibitor faktor pembekuan
darah, sehingga mencegah berkurangnya faktor pembekuan darah yang aktif
dan memyebabkan trombosit kontak dengan endothelium. Ketiga, kerusakan
endothelial akan terpapar pada zat-zat yang trombogenik sehingga terjadi
proses adhesi dan aktivasi trombosit serta faktor jaringan yang mengaktivasi
proses koagulasi. Terdapat beberapa mekanisme pembentukkan
trombus, diantaranya :
1) Peranan sel darah pada pembentukkan trombosis vena
Selain zat-zat pro dan antikoagulan dari endothelium, hipoksia
dapat meregulasi ekspresi dari P-selectin pada endothelium sehingga
mengaktivasi sel lekosit atau mikropartikel lekosit yang mengandung
faktor jaringan yang dapat menjadi nidus inisiasi dari respon trombotik.
Mikropartikel yang mengandung faktor jaringan berperan penting dalam
pembentukkan trombus karena dapat menginisiasi respon koagulasi.
1) Mekanisme stasis yang menginduksi trombosis
Banyak jalur antikoagulan alami yang diinduksi oleh komponen
permukaan sel endothelial seperti trombomodulin, EPCR, inhibitor faktor
jaringan, heparin like proteoglycans. EPCR dan trombin berikatan dengan
trombomodulin menginisiasi jalur protein C sehingga menginaktivasi

63
kofaktor Va dan VIIIa, inaktivasi faktor jaringan yang menghalangi faktor
jaringan menginisiasi koagulasi dan heparin like proteoglycans
menstimulasi aktivitas inhibitor antitrombin melalui enzim koagulasi
seperti trombin.
a. Perubahan faktor koagulasi
Peningkatan faktor antikoagulan seperti faktor VIII, vWF, faktor
VII dan protrombin, berhubungan dengan peningkatan risiko trombosis.
Meningkatnya risiko trombosis pada peningkatan faktor VIII dikarenakan
aktivasi yang tidak stabil, sehingga membentuk trombus.
b. Pengaruh usia pada risiko trombosis
Risiko trombosis terkait usia, dikarenakan peningkatan kadar
proantikoagulan yang tidak diikuti peningkatan antikoagulan alami.
c. Kehamilan
Kehamilan meningkatkan risiko trombosis vena. Peningkatan risiko
terjada pada tiap trisemester kehamilan dan masa setelah melahirkan.
d. Kanker
Kanker dapat meningkatkan risiko trombosis vena 6-10 kali.
Partikel membran tumor mengandung aktivitas prokoagulan seperti faktor
jaringan, membran lipid yang menstimulus respon koagulasi.
e. Antikoagulan lupus
Antikoagulan lupus dapat meningkatkan risiko trombosis
dikarenakan antibodi mengikat trombosit dan endothelium sehingga
menimbulkan reaksi inflamasi. Reaksi inflamasi dapat meningkatkan risiko
trambosis arteri ataupun vena.
8. Kelainan Sekunder
a. Von Willebrand’s Factor (VWF)
Penyakit von Willebrand bisa merupakan kelainan didapat
ataupun keturunan yang diturunkan secara autosomal. Kelainan pada
penyakit von Willebrand berhubungan dengan kurangnya gen vWF pada
kromosom 12 dan ditandai dengan fungsi trombosit yang tidak normal
serta masa perdarahan yang memanjang. vWF merupakan glikoprotein
yang disintesis oleh sel endothelial dan megakariosit. Sekitar 15% vWF
yang bersirkulasi diproduksi oleh megakarosit. VWF pada trombosit
disimpan dalam granula alpha dan dikeluarkan ketika terdapat agonis
64
sehingga berikatan dengan komplek GP IIb/IIIa. vWF mempunyai dua
fungsi dalam hemostasis, yaitu mengaktivasi adhesi trombosit pada
permukaan yang bersifat trombogenik, seperti adhesi trombost pada
pemukaan sel subendothelial ketika terjadi kerusakan vaskuler atau
adhesi antar trombosit pada pembentukkan thrombus serta berfungsi
sebagai carrier F VIII.
b. Hemophilia A
Hemophilia A disebut Hemofilia Klasik. Hemophilia A
merupakan penyakit keturunan Xlinked resesif dimana terdapat
kekurangan jumlah atau aktifitas factor VIII. Faktor VIII merupakan
kofaktor dari factor IX untuk mengaktivasi factor X pada proses
koagulasi. Berkurangnya jumlah atau fungsi faktor VIII dapat
menyebabkan perdarahan dikarenakan proses koagulasi yang tidak
adekuat serta proses fibrinolisis yang tidak berjalan dengan baik.
Hemophilia merupakan penyakit sex-linked resesif, dimana gen untuk
factor VIII terdapat pada lengn panjang dari kromosom X. Gejala klinis
dapat berupa perdarahan spontan yang berulang dalam sendi, otot,
maupun anggota tubuh yang lain. Hal ini dapat berakibat kecacatan pada
sendi dan otot, bahkan perdarahan berlanjut dapat menyebabkan
kematian pada usia dini.
c. Hemophilia B
Hemophilia B disebut juga dengan Christmas Disease. Pada
Christmas Disease ini, dijumpai defisiensi atau tidak adanya aktivitas
faktor IX. Dibandingkan dengan hemofilia A, kelainan ini lebih jarang
ditemukan. Kelainan ini juga diturunkan secara X-linked recessive dan
gambaran kliniknya mirip Hemofilia A.
Seperti hemofilia A, penyakit ini ada yang disebabkan gangguan
fungsional F IX (CRM+) dan ada yang karena defisiensi F IX (CRM -).
Pada pemeriksaan laboratorium juga dijumpai masa tromboplastin
parsial teraktivasi (APTT) yang memanjang, masa protrombin plasma
dan masa trombin normal. Untuk membedakan dengan hemofilia A
dilakukan pemeriksaan Thromboplastin Genetation Test (TGT). Pada
Hemofilia B, hasil TGT akan abnormal pada serum penderita. Hemofilia
A dan B mirip secara genetik, secara klinis, dan secara molekuler. Faktor
65
VIIIa (u/ hemofilia A) dan Faktor IXa (u/ hemofilia B) sama-sama
berinteraksi secara kooperatif untuk mengaktivasi Faktor X. Keduanya
memiliki pola pewarisan yang terkait gen X yang sama.
d. Factor V Leiden Trombophilia
Trombophilia Factor V Leiden merupakan kelainan genetik yang
ditandai dengan respons antikoagulan yang buruk terhadap protein C
(APC) yang diaktifkan dan peningkatan risiko tromboemboli vena
(VTE). APC merupakan protein antikoagulan alami yang bekerja dengan
cara memotong dan menginaktivasi prokoagulan factor Va dan VIIIa
sehingga menghentikan pembentukan thrombin. APC menginaktivasi
factor Va dengan memotong tiga bagian asam amino yang berbeda yaitu
R (arginine) 306, R 506, danR 679. Pada factor V Leiden substitusi asam
amino arginine 506 oleh glutamin sehingga factor Va resisten terhadap
APC, proses inaktivasi menjadi lebih lambat 10 kali lipatdan
pembentukan thrombin meningkat.
Ekspresi klinis faktor V Leiden thrombophilia dipengaruhi oleh
berikut ini: Jumlah varian Leiden (heterozigot memiliki sedikit
peningkatan risiko trombosis vena; homozigot memiliki risiko trombotik
yang jauh lebih besar). Gangguan trombofilia yang diperoleh: sindrom
antibodi antifosfolipid (APLA), hemoglobinuria nokturnal paroksismal,
gangguan mieloproliferatif, dan peningkatan faktor penggumpalan darah.
Faktor risiko yang luas termasuk namun tidak terbatas pada kehamilan,
kateter vena sentral, perjalanan, penggunaan kontrasepsi oral kombinasi
kombinasi kombinasi kontrasepsi oral, HRT, modulator reseptor
estrogen selektif (SERMs), obesitas, cedera kaki, dan usia lanjut.
Trombofilia Factor V Leiden dicurigai pada individu dengan
riwayat tromboemboli vena (VTE) yang terwujud sebagai DVT atau
emboli paru, terutama pada wanita dengan riwayat VTE selama
kehamilan atau berhubungan dengan penggunaan kontrasepsi estrogen
dan pada individu dengan riwayat trombosis rekuren pribadi atau
keluarga. Diagnosis faktor V Leiden thrombophilia dibentuk dalam
sebuah proband dengan identifikasi varian heterozigot atau homozigot
c.1691G> varian (disebut varian faktor V Leiden pada F5, faktor

66
pengkodean gen V) bersamaan dengan tes koagulasi seperti uji
ketahanan APC.
e. Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) adalah suatu
keadaan dimana bekuan-bekuan darah kecil tersebar di seluruh aliran
darah, menyebabkan penyumbatan pada pembuluh darah kecil dan
berkurangnya faktor pembekuan yang diperlukan untuk mengendalikan
perdarahan. Secara klinis, DIC ditandai oleh thrombosis maupun
perdarahan. DIC dihasilkan oleh aktivasi koagulasi lokal atau sistemik
yang tidak terkendali, yang menyebabkan deplesi faktor-faktor koagulasi
dan fibrinogen sampai dengan trombositopenia karena trombosit
diaktifkan dan dikonsumsi.
Berbagai penyakit yang mendasari DIC yaitu, sepsis (koagulasi
diaktifkan karena adanya lipopolisakarida), leukemia akut, kanker,
trauma, luka bakar, emboli cairan ketuban atau kematian pada kehamilan
(dilepasnya factor jaringan/tissue faktor). Pada DIC awal, jumlah
trombosit dan kadar fibrinogen masih dalam interval normal, meskipun
turun. Terjadi trombositopenia yang progresif (jarang sampai berat),
pemanjangan aPTT dan PT serta kadar fibrinogen yang rendah. Kadar D-
dimer umumnya akan meningkat akibat aktivasi koagulasi dan fibrin
yang saling terhubung secara difus.

67
BAB IV

PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Hemostasis merupakan proses yang penting dalam mencegah perdarahan dalam
tubuh seseorang. Proses hemostasis dipengaruhi oleh kemampuan vaskular pembuluh
darah dalam melakukan proses vasokonstriksi, fungsi selular yang dipengaruhi jumlah
dan fungsi trombosit, fungsi biokimia hemostasis dalam membentuk benang fibrin dan
poses fibrinolisis.Pemeriksaan hemostasis ditujukan untuk mengetahui tentang
kemampuan mekanisme hemostasis pada tubuh seseorang, maka dapat dilakukan
pemeriksaan yang dapat menilai fungsi vaskular, selular dan biokimia

4.2 Saran
4.2.1 Bagi Tenaga Pendidik
Dapat menginformasikan kepada peserta didik mengenai materi K-3 terkhusus
untuk tenaga kesehatan.

4.2.2 Bagi Penulis

Dapat menggunakan bahasa yang mudah dipahami, dan peta konsep agar
memudahkan pembaca dalam memahami.

68
KUMPULAN SOAL

1. Selain ADP, terjadinya agregasi trombosit disebabkan apa :

a. Karena adanya pembentukan ikatan diantara fibrinogen yang melekat pada dinding
trombosit dengan perantara penghubung ion kalsium

b. Adanya perubahan bentuk trombosit dari cakram menjadi bulat disertai dengan
pembentukan pseudopodi

c. Karena terjadi pelepasan isi granula padat, alfa dan lisosom

d. Lapisan pembuluh darah berupa sel endotel rusak

e. Lapisan pembuluh darah berupa sel epitel rusak

Jawaban : A. Karena adanya pembentukan ikatan diantara fibrinogen yang melekat


pada dinging trombosit dengan perantara penghubung ion kalsium

2. Trombosit akan terangsang apabila terjadi perdarahan pada tubuh, perubahan pada
trombosit yang diakibatkan oleh rangsangan / stimulasi adalah…

a. Perubahan ukuran, luas permukaan mengecil dan molekul bioaktif dari granula
alfa dan granula dense diekskresikan

b. Perubahan bentuk, luas permukaan meningkat dan molekul bioaktif dari granula
alfa dan granula beta dieksresikan

c. Perubahan ukuran, luas permukaan mengecil dan molekul bioaktif dari granula
alfa dan granula dense diekskresikan

d. Perubahan bentuk, luas permukaan meningkat dan molekul bioaktif dari granula
alfa dan granula dense disekresikan

e. Perubahan bentuk, luas permukaan meningkat dan molekul bioaktif dari granula
alfa dan granula beta disekresikan

Jawaban : D

3. Tahapan atau proses hemostasis dibagi menjadi tiga langkah utama yaitu:

a. Spasme vaskuler (Vasokonstriksi vaskuler), (2) pembentukan sumbat trombosit


Hemostasis Primer, (3) koagulasi darah Hemostasis Sekunder

iv
b. Pembentukan sumbat trombosit Hemostasis Primer (2) spasme vaskuker, (3)
koagulasi darah Hemostasis Sekunder

c. Pembentukan sumbat trombosit Hemostasis Primer (2) spasme vaskuker, (3)


koagulasi darah utama

d. Koagulasi darah Hemostasis Sekunder (2) spasme vaskuker, (3) pembentukan


sumbat trombosit Hemostasis Primer

e. Koagulasi darah Hemostasis Sekunder (2) spasme vaskuker, (3) pembentukan


sumbat

Jawaban A

4. Ecchymosis yaitu perubahan warna pada kulit yang disebabkan terjadinya


perdarahan dalam. Warna merah yang tampak kelihatan disebabkan karena…

a. Keluarnya darah dari jantung

b. Keluarnya pembuluh darah vena dari jantung

c. keluarnya darah dari hati ke dalam jaringan

d. keluarnya darah dari pembuluh darah ke dalam jaringan

e. keluarnya darah dari pembuluh darah ke dalam jantung

Jawaban : d. keluarnya darah dari pembuluh darah ke dalam jaringan

5. Bernard-Soulier Syndrome (BSS) merupakan kelainan perdarahan


didapat/diturunkan secara auotosomal dimanaterdapat gangguan fungsi trombosit
yang disebabkan oleh kelainan pada gen untuk…

a. Kompleks GP IIb/IIIa dan GP Ib/IX

b. Glikoprotein Ib/IX/V

c. Factor IX

d. Factor VII

e. Glikoprotein IIb/IIIa

Jawaban : B

v
6. 3 jenis kotrombosit akan terangsang apabila terjadi perdarahan pada tubuh,
perubahan pada trombosit yang diakibatkan oleh rangsangan / stimulasi adalah…

a. Perubahan ukuran, luas permukaan mengecil dan molekul bioaktif dari granula
alfa dan granula dense diekskresikan

b. Perubahan bentuk, luas permukaan meningkat dan molekul bioaktif dari granula
alfa dan granula beta dieksresikan

c. Perubahan ukuran, luas permukaan mengecil dan molekul bioaktif dari granula
alfa dan granula dense diekskresikan

d. Perubahan bentuk, luas permukaan meningkat dan molekul bioaktif dari granula
alfa dan granula dense disekresikan

e. Perubahan bentuk, luas permukaan meningkat dan molekul bioaktif dari granula
alfa dan granula beta disekresikan

Jawaban : D

7. Prekalikrein diubah menjadi kalikrein yang kemudian memecah (HMWK), apa


kepanjangan dari HMWK ?

a. High Molecular Weigth Kinninogen

b. High Molecular Weight Kromosom

c. High Molecular Weigth Kromatography

d. High Molecular With Kinninogen

e. High Molecular With kinninogen

Jawaban : a. High Molecular Weigth Kinninogen

8. Dalam proses koagulasi diperlukan adanya ko - factor yang memiliki fungsi untuk…

a. Memperlambat reaksi koagulasi

b. Menunda reaksi koagulasi

c. Mempercepat reaksi koagulasi

d. Meningkatkan protein dalam proses koagulasi

vi
e. Mengatur proses koagulasi

Jawaban : C

9. Apa yang disebut inhibitor?

a. Sejumlah plasma mampu menghambat serine protease yang terlibat dalam


koagulasi,fibrinolisis, dan pembentukan kinin.

b. Sejumlah protein plasma mampu menghambat serine protease yang terlibat dalam
koagulasi,fibrinolisis, dan pembentukan kinin.

c. Semua protein plasma mampu menghambat serine protease yang terlibat dalam
koagulasi,fibrinolisis, dan pembentukan kinin.

d. Plasma mampu menghambat serine protease yang terlibat dalam


koagulasi,fibrinolisis, dan pembentukan kinin.

e. Enzim yang menghambat serine protease yang terlibat dalam koagulasi,fibrinolisis,


dan pembentukan kinin.

Jawaban B

10. Pemeriksaan APTT dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya kecuali…

a. Pembekuan sampel darah, sampel darah hemolisis atau berbusa, pengambilan


sampel darah pada jalur intravena (infus heparin).

b. Pasien yang mengkonsumsi kontrasepsi oral,estrogen, kehamilan, obat-obatan


yang mengandung caumarin, heparin, asparaginase, dan naloxone.

c. Untuk penundaan pemerikasaan, sampel tidak perlu dibekukan

d. Sampel terdapat inhibitor

e. Penyimpanan dan stabilitas reagensia yang disimpan pada suhu 2-8˚C, tidak boleh
dibekukan. Adapun reagensia yang telah dibuka stabil selama 14 hari ketika
disimpan pada suhu

Jawaban: c. Untuk penundaan pemerikasaan, sampel tidak perlu dibekukan

vii
DAFTAR PUSTAKA

Stoelting R. Hemostasis and Blood Coagulation. In: Stoelting RK. Pharmacology Ang
Phsysiology in Anesthetic Practice. 3th editio. Philadelpia: Lippincott – Raven;
1999:762-765.

Sherwood L. Trombosit dan Hemostasis. In: Fisiologi Manusia Dari Sel Ke Sistem. ed. 2.
Jakarta: EGC; 2001:256- 361.

Petrovich C. Hemostasis and Hemotherphy. In: Clinical Anesthesia. 3th editio. Philadelpia:
Lippincott – Raven; 1997:199-206.

Coolman R, AW C, George J. Overview of Hemostasis. In: Hemostasis and Trombosis. 4th


editio. Philadelpia: Lippincott Williams & Wilkins; 2000:3-16.

Saito H. Normal Hemostatic Mechanisms. In: Disorders of Hemostasis. 3tth editt. Philadelpia;
1996:233-246.

Umar, I., & Sujud, R. W. 2020. Hemostasis dan Disseminated Intravascular Coagulation
(DIC). Journal of Anaesthesia and Pain. 2020. Vol.1(2):19-32.

Oesman F, Setiabudy R. Fisiologi Hemostasis dan Fibrinolisis. In: Hemostasis and


Trombosis. ed. 4. Jakarta: FK UI; 2009:1-10.

Setiabudy, Rahajuningsih D., 2009. Hemostasis dan Trombosis Edisi Keempat, Jakarta:Balai
Penerbit FKUI.

Sianipar Nicholas Benedictus, 2014. Trombositopenia dan Berbagai Penyebabnya, Malang:


CDK-217/vol 41 no. 6.

Fatimah, S., Surur, M. A., A’tourrohman, M., Rohmah, A., & Khumaera, F. (2019).
Koagulasi dan Komposisi Darah. Fisiologi Hewan, 20 (May), 1–12.

Rosita, L., Cahya, A. A., & Arfira, F. athiya R. (2019). Hematologi Dasar. In Universitas
Islam Indonesia.

Setiyo Adi Nuugroho. Ns., M. K. (2021). Buku Ajar Anatomi Dan Fisiologi Sistem Tubuh
Bagi Mahasiswa Keperawatan Medikal Bedah. Universitas Nurul Jadid,1–154.

Colman RW, Clowes AW, George JN, Goldhaber SZ, Marder VJ. Overview of Hemostasis in
Hemostasis and Thrombosis: Basic Principles and Clinical Practice. Fifth Edition.
Lippincott Williams Wilkins. 2006: 3-14. 2.
viii
Baklaja R, Pesic MC, Czarnecki J. Hemostasis and Blood Coagulation in Hemostasis and
Hemorrhagic Disorders. Fermentation Biotec GmbH Germany. 2008: 14-52

Mazibuko AZ, Thromboelastography. Department of Anaesthetics University of Kwazulu


Natal. 2009 [dilihat tanggal 15 November 2013). Diunduh dari
www.anaesthetics.ukzn.ac.za

Kroll MH. Thromboelastography: Theory and Practice in Measuring Hemostasis, Cinical


Laboratory News. American Association for Clinical Chemistry. 2010; 36(12): 8-10.

Maha, D. P. 2010. Perbandingan Kadar Trombosit pada Ibu Hamil Normal, Penderita Pre-
eklamsia dan Eklamsia di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan. Medan:
Universitas Sumatera Utara.

Sotianingsih. 2001. Uji Diagnostik Pemeriksaan Sediaan Apus Darah Tepi dalam Menilai
Fungsi Agregasi Trombosit.

Sutedjo AY. 2008. Buku saku mengenal penyakit melalui hasil pemeriksaan laboratorium.
Yogyakarta: Amara books.

Velaskar, D. S., & Chitre, A. P. 1982. A New Aspect of Platelet Aggregation and a Test to
Measure It.

Wirawan, R. 2006. Uji Ketelitian dan Nilai Rujukan Agregasi Trombosit. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.

Laffan M, Manning R. 2006. Investigation of thrombotic tendency. In : Lewis SM, Bain BJ,
Bates I. Dacie and Lewis Practical Haematology. 10th ed. Philadelphia: Churcill
Livingstone

Lisyani. 2006. D-Dimer sebagai Parameter Tambahan untuk Thrombosis, Fibrinolisis, dan
Penyakit Jantung. Semarang: Universitas Diponegoro.

Nugraha, G. 2015. Panduan Pemeriksaan Hematologi Dasar. Edisi 1. Jakarta: CV.Trans Info
Media.

Rahajuningsih. 2007. Hemostasis dan Trombosis. Jakarta.

Riswanto. 2013. Pemeriksaan Laboratorium Hematologi. Yogyakarta: Alfamedia.

Sadikin, M. 2014. Biokimia Darah. Jakarta: Widya Medika.

ix
Santoso, B 2008. Penundaan Plasma Sitrat pada Suhu Kamar (27˚C) Terhadap Hasil
Pemeriksaan APTT. 1(1). Jurnal Kesehatan : Pengembangan Ilmu – Ilmu Kesehatan.

Quinn DA, Fogel RB, Smith CD, Laposata M, Thompson BT, Johnson SM, et al. 1999. D-
Dimers in the diagnosis of pulmonary embolism. Am J Respir Crit Care Med.
159:1445–9.

Widjaja. 2010. Uji Diagnostik Pemeriksaan Kadar D-Dimer Plasma pada Diagnosis Stroke
Istemik. Tesis. Universitas Diponegoro.

Anda mungkin juga menyukai