Oleh :
Tri Ayati
21360093
Perceptor:
dr. Hartawan , Sp.An
i
Case Report
Manajemen Anestesi Pada Pasien Asma
Yang diajukan oleh :
Tri Ayati
Telah disetujui dan disahkan oleh bagian Program Studi Pendidikan Profesi Dokter Fakultas
Kedokteran Universitas Malahayati Bandar Lampung
Mengetahui :
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan Rahmat dan Hidayah-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas case report ini dalam rangka memenuhi salah satu
persyaratan Kepaniteraan Klinik Anestesi berjudul “ Manajemen Anestesi Pada Pasien
Asma”
Saya menyadari bahwa penulisan jurnal reading ini tidak akan selesai tanpa adanya
bantuan dan dukungan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung.
Oleh karena itu, saya menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar – besarnya dan
penghargaan kepada:
1. dr.Hartawan, Sp. An selaku pembimbing dalam stase anestesi yang telah memberikan
ilmu pengetahuan, arahan dan senantiasa membimbing serta memotivasi selama proses
pembelajaran di RSUD Ahmad Yani Metro.
2. Segenap staf anestesi RSUD Ahmad Yani yang senantiasa memberikan masukan dan
pengalaman berharga dalam proses pembelajaran di RSUD Ahmad Yani Metro.
Saya menyadari bahwa di dalam jurnal reading ini masih terdapat kekurangan. Oleh
karena itu kritik dan saran tentunya sangat saya harapkan. Semoga segala bantuan berupa
nasehat,motivasi dan masukan semua pihak akan bermanfaat untuk semua pihak, khususnya
di bagian anestesi.
Penulis
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
Asma adalah penyakit paru dengan karakteristik sebagai berikut: 1) obstruksi saluran napas
yang reversibel, baik secara spontan maupun dengan pengobatan; 2) inflamasi saluran napas; 3)
peningkatan respon saluran napas terhadap berbagai rangsangan. Asma dipengaruhi oleh banyak
faktor, antara lain jenis kelamin, usia, status atopi, faktor keturunan, dan faktor lingkungan. Pada
masa kanak-kanak ditemukan prevalensi anak laki-laki berbanding anak perempuan 5:1, tetapi
menjelang dewasa perbandingan tersebut kurang lebih sama, dan pada masa menopause
perempuan lebihbanyak dari laki-laki (Christina et al 2013).
Bronkospasme yang merupakan gambaran klinis eksaserbasi hiperreaktivitas jalan nafas dapat
menjadi bencana pada pengelolaan anestesi. Selama periode perioperatif, bronkospasme biasanya
muncul selama induksi anestesi tetapi juga terjadi pada tahap anestesi manapun. Bronkospasme
perioperatif (gambaran klinis eksaserbasi hiperreaktivitas jalan napas) dikaitkan dengan type-E
immunoglobulin (IgE)-mediated anaphylaxis atau mungkin terjadi dipicu oleh faktor mekanik dan
/ atau farmakologis (Shaikh & Nilangekar, 2015).
Sebelum dilakukan anestesia dan operasi elektif pada pasien dengan riwayat asma terlebih
dahulu harus dikontrol keadaan asmanya apakah pasien sedang menderita infeksi atau serangan
asma. Anestesia konduksi yang dikombinasikan dengan sedatif intravena (diazepam dosis kecil)
merupakan pilihan yang lebih baik daripada anestesia saja atau anestesia umum. Asma sedang
sampai berat perlu diobati dahulu dengan aminofilin intravena, terbutalin (0,25 mg), atau keduanya
( Christina et al, 2013).
Pada pasien asma yang memerlukan anestesia umum dan intubasi trakeal harus
dipertimbangkan adanya peningkatan resiko terjadinya bronkospasme saat anestesia.
Bronkospasme selama pembedahan ditandai dengan wheezing, penurunan volume tidal ekshalasi,
atau suatu kenaikan lambat dari gelombang dikapnograf. Penurunan diameter jalan napas yang
disebabkan bron kokontriksi yang berat dapat mempengaruhi distribusi gas dalam paru. Hal yang
paling penting pada pasien yang dianestesia yaitu meningkatkan konsentrasi gas oksigen inspirasi
sampai 100% pada saat terjadi bronkospasme. Pada akhir pembedahan pasien harus telah bebas
wheezing. Obat reverse pelumpuh otot nondepolarisasi dan antikolinesterase tidak akan
menimbulkan brokospasme bila diberikan dalam dosis terapeutik yang tepat. Untuk mengurangi
resiko terjadinya bronkospasme pada anestesia yaitu dengan menghindari endotracheal tube dan
penggunaan anestesia inhalasi. Pemberian bronkodilator melalui nebulator atau sungkup muka
pasca pembe-dahan harus sesegera mungkin ( Christina et al, 2013).
BAB II
Tinjauan Pustaka
A. Definisi Asma
Asma merupakan penyakit inflamasi (peradangan) kronik saluran nafas yang menyebabkan
hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan ditandai dengan adanya mengi
episodik, batuk, dan rasa sesak di dada akibat penyumbatan saluran nafas terutama pada
malam hari atau dini hari yang umumnya bersifat reversible baik dengan atau tanpa
pengobatan. Asma bersifat fluktuatif atau hilang timbul artinya dapat tenang tanpa gejala
tidak mengganggu aktifitas tetapi dapat eksaserbasi dengan gejala ringan sampai berat
bahkan dapat menimbulkan kematian (Depkes RI, 2008).
Asma dibedakan atas dua jenis, asma alergik dan asma non-alergik. Asma alergik muncul
pada masa kanak-kanak; mekanisme terjadinya serangan melalui reaksi alergi tipe I
terhadap alergen. Asma non-alergik atau intrinsik tidak memperlihatkan adanya tanda-tanda
reaksi hipersensitivitas terhadap alergen (Suhartono et al, 2013).
B. Patofisiologi Asma
Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma. Besarnya hipereaktivitas bronkus dapat
diukur secara tidak langsung. Pengukuran ini merupakan parameter objektif menentukan
beratnya hopereaktivitas bronkus yang ada pada seseorang pasien. Berbagai cara digunakan
untuk mengukur hipereaktivitas bronkus ini, antara lain dengan uji provokasi beban kerj,
inhalasi udara dingin, inhalasi antigen, maupun inhalasi zat spesifik. Pencetus serangan
asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain alergen, virus, dan iritan yang dapat
menginduksi respon inflamasi akut yang terdiri atas reaksi asma dini ( early asthma reaction
= EAR ) dan reaksi asma lambat ( Late asthma reaction) . Setelah reaksi asma awal dan
reaksi asma lambat , proses dapat terus berlanjut menjadi reaksi sub akut atau kronik. Pada
keadaan ini terjadi inflamasi di bronkus dan sekitarnnya, berupa infiltrasi sel-sel inflamasi
terurtama eosinofil dan monosit dalam jumlah besar ke dinding dan lumen bronkus.
Penyempitan saluran nafas yang terjadi pada asma merupakan suatu hal kompleks. Hal ini
terjadi karena lepasnya mediator dari sel mast yang banyak ditemukan dipermukaan
mukosa bronkus, lumen jalan nafas dan dibawah membran basal. Berbagai faktor pencetus
dapat mengaktivasi sel mast. Selain sel mast , sel lain yang juga dapat melepaskan mediator
adalah sel makrofag alveolar, eosinofil, sel epitel jalan nafas, netrofil, platelet, limfosit dan
monosit.
Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus,
dan mungkin epitel saluran pernafasan. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus,
sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat
epitel jalan nafas lebih permeable dan memudahkan alergen masuk kedalam submukosa,
sehingga memperbesar reaksi yang terjadi.
Mediator inflamasi secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan serangan asma,
melalui sel efektor sekunder seperti eosinofil, netrofil, platelet dan limfosit. Sel-sel
inflamasi ini juga mengeluarkan mediator yang kuat seperti lekotriens Tromboksan, PAF
dan protein sitotoksis yang memperkuat reaksi asma. Keadaan ini menyebabkan inflamasi
yang akhirnya menimbulkan hipereaktivitasi bronkus.
Ada beberapa proses yang terjadi sebelum pasien menjadi asma:
1. Sensitisasi, yaitu seseorang dengan risiko genetik dan lingkungan apabila terpajan
dengan pemicu (Inducer/sensitisizer) maka akan menimbulkan sensitisasi pada dirinya.
2. Apabila seseorang mengalami sensitisasi terpajan dengan pemicu (Enhancer) maka
terjadi proses inflamasi pada saluran nafasnya. Proses inflamasi berlangsung lama atau
proses inflamasinya berat secara klinis berhubungan dengan hipereaktivitasi bronkus.
3. Setelah mengalami inflamasi maka bila seorang terpajan oleh pencetus (Trigger) maka
akan terjadi serangan asma (mengi)
Faktor-faktor pemicu antara lain: Alergen dalam ruangan: Tungau debu rumah, binatang
berbulu (Anjing, kucing, tikus), alergen kecoak, jamur kapang, ragi serta pajanan asap
rokok. Pemacu: Rinovirus, Ozon, pemakaian b2 agonis, sedangkan pencetus: semua faktor
pemicu dan pemacu ditambah dengan aktivitas fisik, udara dingin, histamin, dan metakolin
(Depkes RI, 2008).
C. Penanganan Dan Pengelolaan Perioperatif
a) Penanganan pasien asma preoperatif
Tujuan penanganan preoperatif pasien dengan asma yaitu untuk memaksimalkan
fungsi paru pasien tersebut. Pasien disarankan berhenti merokok dua bulan sebelum
pembedahan. Evaluasi pasien asma sebelum tindakan anestesia dan pembedahan
sangat penting untuk mencegah ataupun mengendalikan kejadian serangan asma,
baik saat intraoperatif maupun pascaoperatif. Evaluasi yang dilakukan meliputi
riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorik, pemeriksaan fungsi
paru dan analisis gas darah, dan foto toraks. Hasil evaluasi akan dipakai untuk
menentukan status fisik pra-anestesia. The American Society of Anesthesiologists
(ASA) menyusun klasifikasi status fisik pra-anestesia atas enam kelas, yaitu:
ASA 1: pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit sistemik.
ASA 2: pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik ringan sampai
sedang.
ASA 3: pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik berat yang
disebabkan karena berbagai penyebab tetapi tidak mengancam nyawa.
ASA 4: pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik berat yang secara
langsung dapat mengancam kehidupannya.
ASA 5: pasien penyakit bedah yang disertai dengan penyakit sistemik berat yang
sudah tidak mungkin ditolong lagi, dioperasi ataupun tidak dalam 24 jam pasien
akan meninggal.
Pada pengelolaan preoperatif pasien dengan asma, sebagai langkah pertama yaitu
menentukan reversibilitas kelainan. Proses obstruksi yang revesibel ialah
bronkospasme, sekret yang terkumpul, dan proses inflamasi jalan napas. Pasien
dengan bronkospasme yang sering harus diobati dengan preparat bronkodilator,
teofilin, dan kortikosteroid (Sundaru, 2009).
b) Terapi farmakologik
Obat-obat yang digunakan pada penanganan asma yaitu golongan simpatomimetik,
antagonis leukotrien, steroid, dan anti-immunoglobulin E (anti-IgE). Obat-obat lain
yang jarang digunakan ialah golongan mukolitik, mast cell stabilizers, dan golongan
parasimpatolitik ( Suhartono et al, 2013).
a) Golongan simpatomimetik (β adrenergik dan epinefrin)
Pasien dengan riwayat asma atau yang diketahui pernah mengalami
wheezing preoperatif perlu diberikan golongan β adrenergik. Short-acting β
adrenergik secara rutin digunakan pada eksaserbasi asma untuk
menghilangkan gejala-gejala dengan segera. Golongan simpatomimetik
menyebabkan dilatasi bronkiolus melalui aktivasi adenylate cyclase dan
peningkatan cyclic adenosine monophosphate (cAMP) yang memediasi
relaksasi otot polos bronkiolus. Obat-obat ini juga menghambat pelepasan
anti-histamin dan neurotransmiter kolinergik. β-adrenergik selektif
umumnya diberikan secara inhalasi (metered dosed inhaler, MDI) dan
sampai saat ini merupakan preparat yang paling efektif. Sebagai contoh,
salbutamol, salmeterol, metaproterenol, dan terbutalin sulfat. Pasien yang
menggunakan β-blocker hendaknya yang tidak menimbulkan spasme
bronkiolus seperti atenolol, atsumetropolol, atau esmolol. β1 dan β2
adrenergik non-selektif termasuk epinefrin (adrenalin), isoproterenol dan
isoetharin berefek takikardi dan aritmogenik sehingga dapat membahayakan
pasien penyakit jantung
b) Golongan santin (teofilin)
Efek teofilin sama dengan golongan simpatomimetik, tetapi mempunyai cara
kerja berbeda sehingga bila kedua obat ini dikombinasikan efeknya saling
memperkuat. Sebagai bronkodilator, teofilin bekerja melalui dua mekanisme
di paru yaitu relaksasi otot polos dan menekan rangsangan stimuli jalan
napas. Mekanisme kerja yang pasti belum diketahui, diduga efek
bronkodilatasi disebabkan oleh adanya penghambatan isoenzim
phosphodiesterase PDE III dan PDE IV. Efek teofilin lainnya berhubungan
dengan aktivitas molekular yang lain. Teofilin juga dapat meningkatkan
kontraksi otot diafragma dengan cara peningkatan uptake Ca melalui
adenosin-mediated channels. Pada serangan asma yang akut dan berat yang
berhubungan dengan bronkitis kronis dan enfisema digunakan aminofilin.
Aminofilin merupakan kompleks 2:1 dari teofilin dan etilendiamin. Teofilin
sebagai bahan untuk antiasma sedangkan etilendiamin digunakan untuk
membentuk kompleks aminofilin yang mudah larut dalam air. Pengunaan
aminofilin tidak dianjurkan pada anak berusia <12 tahun.
Loading dose aminophylline adalah 5-6 mg/kg BB lebih dari 30 menit
diikuti infus kontinyu 0,4-0,9 mg/kg BB. Kadar theophylline dalam darah
perlu diperiksa dan dosisnya disesuaikan untuk menjaga kadar terapi yang
sempit antara 10-20 μg/dl. Penggunaan obat ini perlu dilanjutkan sampai
pagi menjelang operasi. Level obat di atas 20 μg/dl sering menyebabkan
tanda-¬tanda toxic berupa mual, muntah, headache, cemas, takikardia,
arithmia dan kejang.
c) Kortikosteroid
Obat golongan ini sering digunakan pada pasien yang tidak berespon
terhadap pemberian antagonis β2 adrenergik. Pada serangan asma berat
digunakan kortikosteroid parenteral. Kortikosteroid sistemik digunakan
untuk mengontrol eksaserbasi berat, mencegah progresivitas dan inflamasi,
pemulihan yang cepat, dan mengurangi tingkat kekambuhan. Mekanisme
kerja obat ini melalui pengurangan edema mukosa dan stabilisasi membran
sel mast. Kortikoksteroid yang diberikan secara sistemik dalam jangka
panjang dapat menimbulkan efek samping, oleh karena itu dianjurkan
pemberian obat secara inhalasi. (Kortikosteroid inhalasi yang dapat
digunakan misalnya budesonide, beclometasone) dengan dosis maksimal
2000 mcg, sangat efektif dalam pengendalian gejala asma dan dalam
mencegah eksaserbasi. Bila pemberian secara inhalasi belum bisa
mengontrol serangan asma, maka dianjurkan pemberian secara parenteral.
Kortikosteroid parenteral yang biasa digunakan adalah (1-2 mg/kg)
hydrocortisone 100 mg IV per 8 jam dan methyl prednisolone 40-80 mg IV
per 4-6 jam, atau 80 mg IV per 8 jam, atau 0,8 mg/kg.
d) Antileukotrien, obat golongan ini bekerja dengan menghambat enzim yang
mensintesa leukotrin atau mempengaruhi ikatannya pada reseptor. Termasuk
antagonis reseptor leukotrin antara lain “zafirlukast, pranlukast dan
montelukast”. Zafirlukast dapat digunakan sebagai pcngganti kortikosteroid
inhalasi.1 Termasuk inhibitor 5-lipooxygenase adalah “Zilueton”. Obat-obat
antileukotrin ini biasa digunakan untuk terapi asma kronik.
e) Golongan antikolinergik
Salah satu obat golongan ini ialah ipratropium bromide yang digunakan
untuk menghilangkan bronkospasme akut. Golongan ini menyebabkan
bronkodilatasi melalui inhibisi kompetitif pada reseptor kolinergik
muskarinik dan menurunkan tonus vagal jalan napas. Selain itu, golongan ini
menghambat refleks bronkokonstriksi terhadap iritan atau terhadap reflux
esophagitis dan dapat menurunkan sekresi kelenjar mukus. Antikolinergik
merupakan terapi pilihan untuk bronkospasme akibat kerja β blocker.
Omalizumab terdiri dari recombinant humanized IgG monoclonal anti-IgE
antibody yang akan terikat pada IgE (molekul yang berperan dalam
patofisiologi asma alergik). Omalizumab yang terikat pada IgE secara elektif
mengeluarkannya dari sirkulasi, sehingga menurunkan inflamasi.
Omalizumab umumnya digunakan pada moderate persistent asthma dan
asma berat. Atropine sulphat sebagai obat antikholinergik mempunyai efek
samping takikardia, sehingga jarang digunakan. Glycopyrolate digunakan
dengan nebulizer dosis 0,4-0,8 mg. Ipratoprium bromide adalah turunan
atropin dan bekerja sebagai antikholinergik. Pada serangan asma akutdapat
memperbesar efek bronkodilatasi dari beta-agonis dengan dosis 0,25-0,5 mg
secara metered dose inhaler.
D. Penanganan pasien asma intraoperatif
Analgesia atau anestesia regional adalah tindakan analgesia yang dilakukan dengan cara
menyuntikkan obat anestetika lokal pada lokasi serat saraf yang menyarafi regio tertentu,
yang menyebabkan hambatan konduksi impuls aferen yang bersifat temporer. Jenis-jenis
analgesia regional yaitu blok saraf, blok pleksus brakhialis, blok spinal sub arakhonoid, ,
blok spinal epidural, dan blok regional intravena. Pilihan teknik bisa anestesia regional
dimana pasien tetap sadar dan mengontrol pernapasannya sendiri, sedangkan pada situasi
lain diperlukan kombinasi anestesia umum dan regional dengan pertimbangan
pengendalian nyeri pasca-operatif. Bila memungkinkan, dipilih anestesia regional dengan
blok rendah dan continuous epidural dengan lidocaine 1,5 mg/kg (hanya analgesia)
sehingga otot-otot pernapasan tidak terganggu (Suhartono et al,2013).