Anda di halaman 1dari 15

MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN ASMA

Oleh :
Tri Ayati
21360093

Perceptor:
dr. Hartawan , Sp.An

SMF ILMU ANESTESIOLOGI RUMAH SAKIT UMUM


JEND. AHMAD YANI FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALAHAYATI
TAHUN 2022

i
Case Report
Manajemen Anestesi Pada Pasien Asma
Yang diajukan oleh :

Tri Ayati

Telah disetujui dan disahkan oleh bagian Program Studi Pendidikan Profesi Dokter Fakultas
Kedokteran Universitas Malahayati Bandar Lampung

Mengetahui :

dr. Hartawan , Sp. An

KEPANITERAAN KLINIK ANESTESI


RSUD AHMAD YANI METRO FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALAHAYATI BANDAR LAMPUNG TAHUN 2022

ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan Rahmat dan Hidayah-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas case report ini dalam rangka memenuhi salah satu
persyaratan Kepaniteraan Klinik Anestesi berjudul “ Manajemen Anestesi Pada Pasien
Asma”
Saya menyadari bahwa penulisan jurnal reading ini tidak akan selesai tanpa adanya
bantuan dan dukungan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung.
Oleh karena itu, saya menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar – besarnya dan
penghargaan kepada:

1. dr.Hartawan, Sp. An selaku pembimbing dalam stase anestesi yang telah memberikan
ilmu pengetahuan, arahan dan senantiasa membimbing serta memotivasi selama proses
pembelajaran di RSUD Ahmad Yani Metro.
2. Segenap staf anestesi RSUD Ahmad Yani yang senantiasa memberikan masukan dan
pengalaman berharga dalam proses pembelajaran di RSUD Ahmad Yani Metro.
Saya menyadari bahwa di dalam jurnal reading ini masih terdapat kekurangan. Oleh
karena itu kritik dan saran tentunya sangat saya harapkan. Semoga segala bantuan berupa
nasehat,motivasi dan masukan semua pihak akan bermanfaat untuk semua pihak, khususnya
di bagian anestesi.

Penulis

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

Asma adalah penyakit paru dengan karakteristik sebagai berikut: 1) obstruksi saluran napas
yang reversibel, baik secara spontan maupun dengan pengobatan; 2) inflamasi saluran napas; 3)
peningkatan respon saluran napas terhadap berbagai rangsangan. Asma dipengaruhi oleh banyak
faktor, antara lain jenis kelamin, usia, status atopi, faktor keturunan, dan faktor lingkungan. Pada
masa kanak-kanak ditemukan prevalensi anak laki-laki berbanding anak perempuan 5:1, tetapi
menjelang dewasa perbandingan tersebut kurang lebih sama, dan pada masa menopause
perempuan lebihbanyak dari laki-laki (Christina et al 2013).
Bronkospasme yang merupakan gambaran klinis eksaserbasi hiperreaktivitas jalan nafas dapat
menjadi bencana pada pengelolaan anestesi. Selama periode perioperatif, bronkospasme biasanya
muncul selama induksi anestesi tetapi juga terjadi pada tahap anestesi manapun. Bronkospasme
perioperatif (gambaran klinis eksaserbasi hiperreaktivitas jalan napas) dikaitkan dengan type-E
immunoglobulin (IgE)-mediated anaphylaxis atau mungkin terjadi dipicu oleh faktor mekanik dan
/ atau farmakologis (Shaikh & Nilangekar, 2015).
Sebelum dilakukan anestesia dan operasi elektif pada pasien dengan riwayat asma terlebih
dahulu harus dikontrol keadaan asmanya apakah pasien sedang menderita infeksi atau serangan
asma. Anestesia konduksi yang dikombinasikan dengan sedatif intravena (diazepam dosis kecil)
merupakan pilihan yang lebih baik daripada anestesia saja atau anestesia umum. Asma sedang
sampai berat perlu diobati dahulu dengan aminofilin intravena, terbutalin (0,25 mg), atau keduanya
( Christina et al, 2013).
Pada pasien asma yang memerlukan anestesia umum dan intubasi trakeal harus
dipertimbangkan adanya peningkatan resiko terjadinya bronkospasme saat anestesia.
Bronkospasme selama pembedahan ditandai dengan wheezing, penurunan volume tidal ekshalasi,
atau suatu kenaikan lambat dari gelombang dikapnograf. Penurunan diameter jalan napas yang
disebabkan bron kokontriksi yang berat dapat mempengaruhi distribusi gas dalam paru. Hal yang
paling penting pada pasien yang dianestesia yaitu meningkatkan konsentrasi gas oksigen inspirasi
sampai 100% pada saat terjadi bronkospasme. Pada akhir pembedahan pasien harus telah bebas
wheezing. Obat reverse pelumpuh otot nondepolarisasi dan antikolinesterase tidak akan
menimbulkan brokospasme bila diberikan dalam dosis terapeutik yang tepat. Untuk mengurangi
resiko terjadinya bronkospasme pada anestesia yaitu dengan menghindari endotracheal tube dan
penggunaan anestesia inhalasi. Pemberian bronkodilator melalui nebulator atau sungkup muka
pasca pembe-dahan harus sesegera mungkin ( Christina et al, 2013).
BAB II
Tinjauan Pustaka
A. Definisi Asma
Asma merupakan penyakit inflamasi (peradangan) kronik saluran nafas yang menyebabkan
hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan ditandai dengan adanya mengi
episodik, batuk, dan rasa sesak di dada akibat penyumbatan saluran nafas terutama pada
malam hari atau dini hari yang umumnya bersifat reversible baik dengan atau tanpa
pengobatan. Asma bersifat fluktuatif atau hilang timbul artinya dapat tenang tanpa gejala
tidak mengganggu aktifitas tetapi dapat eksaserbasi dengan gejala ringan sampai berat
bahkan dapat menimbulkan kematian (Depkes RI, 2008).
Asma dibedakan atas dua jenis, asma alergik dan asma non-alergik. Asma alergik muncul
pada masa kanak-kanak; mekanisme terjadinya serangan melalui reaksi alergi tipe I
terhadap alergen. Asma non-alergik atau intrinsik tidak memperlihatkan adanya tanda-tanda
reaksi hipersensitivitas terhadap alergen (Suhartono et al, 2013).
B. Patofisiologi Asma
Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma. Besarnya hipereaktivitas bronkus dapat
diukur secara tidak langsung. Pengukuran ini merupakan parameter objektif menentukan
beratnya hopereaktivitas bronkus yang ada pada seseorang pasien. Berbagai cara digunakan
untuk mengukur hipereaktivitas bronkus ini, antara lain dengan uji provokasi beban kerj,
inhalasi udara dingin, inhalasi antigen, maupun inhalasi zat spesifik. Pencetus serangan
asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain alergen, virus, dan iritan yang dapat
menginduksi respon inflamasi akut yang terdiri atas reaksi asma dini ( early asthma reaction
= EAR ) dan reaksi asma lambat ( Late asthma reaction) . Setelah reaksi asma awal dan
reaksi asma lambat , proses dapat terus berlanjut menjadi reaksi sub akut atau kronik. Pada
keadaan ini terjadi inflamasi di bronkus dan sekitarnnya, berupa infiltrasi sel-sel inflamasi
terurtama eosinofil dan monosit dalam jumlah besar ke dinding dan lumen bronkus.
Penyempitan saluran nafas yang terjadi pada asma merupakan suatu hal kompleks. Hal ini
terjadi karena lepasnya mediator dari sel mast yang banyak ditemukan dipermukaan
mukosa bronkus, lumen jalan nafas dan dibawah membran basal. Berbagai faktor pencetus
dapat mengaktivasi sel mast. Selain sel mast , sel lain yang juga dapat melepaskan mediator
adalah sel makrofag alveolar, eosinofil, sel epitel jalan nafas, netrofil, platelet, limfosit dan
monosit.
Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus,
dan mungkin epitel saluran pernafasan. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus,
sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat
epitel jalan nafas lebih permeable dan memudahkan alergen masuk kedalam submukosa,
sehingga memperbesar reaksi yang terjadi.
Mediator inflamasi secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan serangan asma,
melalui sel efektor sekunder seperti eosinofil, netrofil, platelet dan limfosit. Sel-sel
inflamasi ini juga mengeluarkan mediator yang kuat seperti lekotriens Tromboksan, PAF
dan protein sitotoksis yang memperkuat reaksi asma. Keadaan ini menyebabkan inflamasi
yang akhirnya menimbulkan hipereaktivitasi bronkus.
Ada beberapa proses yang terjadi sebelum pasien menjadi asma:
1. Sensitisasi, yaitu seseorang dengan risiko genetik dan lingkungan apabila terpajan
dengan pemicu (Inducer/sensitisizer) maka akan menimbulkan sensitisasi pada dirinya.
2. Apabila seseorang mengalami sensitisasi terpajan dengan pemicu (Enhancer) maka
terjadi proses inflamasi pada saluran nafasnya. Proses inflamasi berlangsung lama atau
proses inflamasinya berat secara klinis berhubungan dengan hipereaktivitasi bronkus.
3. Setelah mengalami inflamasi maka bila seorang terpajan oleh pencetus (Trigger) maka
akan terjadi serangan asma (mengi)
Faktor-faktor pemicu antara lain: Alergen dalam ruangan: Tungau debu rumah, binatang
berbulu (Anjing, kucing, tikus), alergen kecoak, jamur kapang, ragi serta pajanan asap
rokok. Pemacu: Rinovirus, Ozon, pemakaian b2 agonis, sedangkan pencetus: semua faktor
pemicu dan pemacu ditambah dengan aktivitas fisik, udara dingin, histamin, dan metakolin
(Depkes RI, 2008).
C. Penanganan Dan Pengelolaan Perioperatif
a) Penanganan pasien asma preoperatif
Tujuan penanganan preoperatif pasien dengan asma yaitu untuk memaksimalkan
fungsi paru pasien tersebut. Pasien disarankan berhenti merokok dua bulan sebelum
pembedahan. Evaluasi pasien asma sebelum tindakan anestesia dan pembedahan
sangat penting untuk mencegah ataupun mengendalikan kejadian serangan asma,
baik saat intraoperatif maupun pascaoperatif. Evaluasi yang dilakukan meliputi
riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorik, pemeriksaan fungsi
paru dan analisis gas darah, dan foto toraks. Hasil evaluasi akan dipakai untuk
menentukan status fisik pra-anestesia. The American Society of Anesthesiologists
(ASA) menyusun klasifikasi status fisik pra-anestesia atas enam kelas, yaitu:
ASA 1: pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit sistemik.
ASA 2: pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik ringan sampai
sedang.
ASA 3: pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik berat yang
disebabkan karena berbagai penyebab tetapi tidak mengancam nyawa.
ASA 4: pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik berat yang secara
langsung dapat mengancam kehidupannya.
ASA 5: pasien penyakit bedah yang disertai dengan penyakit sistemik berat yang
sudah tidak mungkin ditolong lagi, dioperasi ataupun tidak dalam 24 jam pasien
akan meninggal.
Pada pengelolaan preoperatif pasien dengan asma, sebagai langkah pertama yaitu
menentukan reversibilitas kelainan. Proses obstruksi yang revesibel ialah
bronkospasme, sekret yang terkumpul, dan proses inflamasi jalan napas. Pasien
dengan bronkospasme yang sering harus diobati dengan preparat bronkodilator,
teofilin, dan kortikosteroid (Sundaru, 2009).

b) Terapi farmakologik
Obat-obat yang digunakan pada penanganan asma yaitu golongan simpatomimetik,
antagonis leukotrien, steroid, dan anti-immunoglobulin E (anti-IgE). Obat-obat lain
yang jarang digunakan ialah golongan mukolitik, mast cell stabilizers, dan golongan
parasimpatolitik ( Suhartono et al, 2013).
a) Golongan simpatomimetik (β adrenergik dan epinefrin)
Pasien dengan riwayat asma atau yang diketahui pernah mengalami
wheezing preoperatif perlu diberikan golongan β adrenergik. Short-acting β
adrenergik secara rutin digunakan pada eksaserbasi asma untuk
menghilangkan gejala-gejala dengan segera. Golongan simpatomimetik
menyebabkan dilatasi bronkiolus melalui aktivasi adenylate cyclase dan
peningkatan cyclic adenosine monophosphate (cAMP) yang memediasi
relaksasi otot polos bronkiolus. Obat-obat ini juga menghambat pelepasan
anti-histamin dan neurotransmiter kolinergik. β-adrenergik selektif
umumnya diberikan secara inhalasi (metered dosed inhaler, MDI) dan
sampai saat ini merupakan preparat yang paling efektif. Sebagai contoh,
salbutamol, salmeterol, metaproterenol, dan terbutalin sulfat. Pasien yang
menggunakan β-blocker hendaknya yang tidak menimbulkan spasme
bronkiolus seperti atenolol, atsumetropolol, atau esmolol. β1 dan β2
adrenergik non-selektif termasuk epinefrin (adrenalin), isoproterenol dan
isoetharin berefek takikardi dan aritmogenik sehingga dapat membahayakan
pasien penyakit jantung
b) Golongan santin (teofilin)
Efek teofilin sama dengan golongan simpatomimetik, tetapi mempunyai cara
kerja berbeda sehingga bila kedua obat ini dikombinasikan efeknya saling
memperkuat. Sebagai bronkodilator, teofilin bekerja melalui dua mekanisme
di paru yaitu relaksasi otot polos dan menekan rangsangan stimuli jalan
napas. Mekanisme kerja yang pasti belum diketahui, diduga efek
bronkodilatasi disebabkan oleh adanya penghambatan isoenzim
phosphodiesterase PDE III dan PDE IV. Efek teofilin lainnya berhubungan
dengan aktivitas molekular yang lain. Teofilin juga dapat meningkatkan
kontraksi otot diafragma dengan cara peningkatan uptake Ca melalui
adenosin-mediated channels. Pada serangan asma yang akut dan berat yang
berhubungan dengan bronkitis kronis dan enfisema digunakan aminofilin.
Aminofilin merupakan kompleks 2:1 dari teofilin dan etilendiamin. Teofilin
sebagai bahan untuk antiasma sedangkan etilendiamin digunakan untuk
membentuk kompleks aminofilin yang mudah larut dalam air. Pengunaan
aminofilin tidak dianjurkan pada anak berusia <12 tahun.
Loading dose aminophylline adalah 5-6 mg/kg BB lebih dari 30 menit
diikuti infus kontinyu 0,4-0,9 mg/kg BB. Kadar theophylline dalam darah
perlu diperiksa dan dosisnya disesuaikan untuk menjaga kadar terapi yang
sempit antara 10-20 μg/dl. Penggunaan obat ini perlu dilanjutkan sampai
pagi menjelang operasi. Level obat di atas 20 μg/dl sering menyebabkan
tanda-¬tanda toxic berupa mual, muntah, headache, cemas, takikardia,
arithmia dan kejang.
c) Kortikosteroid
Obat golongan ini sering digunakan pada pasien yang tidak berespon
terhadap pemberian antagonis β2 adrenergik. Pada serangan asma berat
digunakan kortikosteroid parenteral. Kortikosteroid sistemik digunakan
untuk mengontrol eksaserbasi berat, mencegah progresivitas dan inflamasi,
pemulihan yang cepat, dan mengurangi tingkat kekambuhan. Mekanisme
kerja obat ini melalui pengurangan edema mukosa dan stabilisasi membran
sel mast. Kortikoksteroid yang diberikan secara sistemik dalam jangka
panjang dapat menimbulkan efek samping, oleh karena itu dianjurkan
pemberian obat secara inhalasi. (Kortikosteroid inhalasi yang dapat
digunakan misalnya budesonide, beclometasone) dengan dosis maksimal
2000 mcg, sangat efektif dalam pengendalian gejala asma dan dalam
mencegah eksaserbasi. Bila pemberian secara inhalasi belum bisa
mengontrol serangan asma, maka dianjurkan pemberian secara parenteral.
Kortikosteroid parenteral yang biasa digunakan adalah (1-2 mg/kg)
hydrocortisone 100 mg IV per 8 jam dan methyl prednisolone 40-80 mg IV
per 4-6 jam, atau 80 mg IV per 8 jam, atau 0,8 mg/kg.
d) Antileukotrien, obat golongan ini bekerja dengan menghambat enzim yang
mensintesa leukotrin atau mempengaruhi ikatannya pada reseptor. Termasuk
antagonis reseptor leukotrin antara lain “zafirlukast, pranlukast dan
montelukast”. Zafirlukast dapat digunakan sebagai pcngganti kortikosteroid
inhalasi.1 Termasuk inhibitor 5-lipooxygenase adalah “Zilueton”. Obat-obat
antileukotrin ini biasa digunakan untuk terapi asma kronik.
e) Golongan antikolinergik
Salah satu obat golongan ini ialah ipratropium bromide yang digunakan
untuk menghilangkan bronkospasme akut. Golongan ini menyebabkan
bronkodilatasi melalui inhibisi kompetitif pada reseptor kolinergik
muskarinik dan menurunkan tonus vagal jalan napas. Selain itu, golongan ini
menghambat refleks bronkokonstriksi terhadap iritan atau terhadap reflux
esophagitis dan dapat menurunkan sekresi kelenjar mukus. Antikolinergik
merupakan terapi pilihan untuk bronkospasme akibat kerja β blocker.
Omalizumab terdiri dari recombinant humanized IgG monoclonal anti-IgE
antibody yang akan terikat pada IgE (molekul yang berperan dalam
patofisiologi asma alergik). Omalizumab yang terikat pada IgE secara elektif
mengeluarkannya dari sirkulasi, sehingga menurunkan inflamasi.
Omalizumab umumnya digunakan pada moderate persistent asthma dan
asma berat. Atropine sulphat sebagai obat antikholinergik mempunyai efek
samping takikardia, sehingga jarang digunakan. Glycopyrolate digunakan
dengan nebulizer dosis 0,4-0,8 mg. Ipratoprium bromide adalah turunan
atropin dan bekerja sebagai antikholinergik. Pada serangan asma akutdapat
memperbesar efek bronkodilatasi dari beta-agonis dengan dosis 0,25-0,5 mg
secara metered dose inhaler.
D. Penanganan pasien asma intraoperatif
Analgesia atau anestesia regional adalah tindakan analgesia yang dilakukan dengan cara
menyuntikkan obat anestetika lokal pada lokasi serat saraf yang menyarafi regio tertentu,
yang menyebabkan hambatan konduksi impuls aferen yang bersifat temporer. Jenis-jenis
analgesia regional yaitu blok saraf, blok pleksus brakhialis, blok spinal sub arakhonoid, ,
blok spinal epidural, dan blok regional intravena. Pilihan teknik bisa anestesia regional
dimana pasien tetap sadar dan mengontrol pernapasannya sendiri, sedangkan pada situasi
lain diperlukan kombinasi anestesia umum dan regional dengan pertimbangan
pengendalian nyeri pasca-operatif. Bila memungkinkan, dipilih anestesia regional dengan
blok rendah dan continuous epidural dengan lidocaine 1,5 mg/kg (hanya analgesia)
sehingga otot-otot pernapasan tidak terganggu (Suhartono et al,2013).

Pada keadaan yang memerlukan anaestesia umum, diberikan premedikasi dengan


antihistamin seperti prometazin bersama hidrokortison 100 mg. Tujuan anestesia umum
yaitu smooth induction dan kedalaman anestesia disesuaikan dengan stimulasi.
Laringoskopi dan intubasi dihindari pada anestesia yang dangkal karena dapat
menyebabkan bronkospasme. Peningkatan suara napas oleh stimulasi vagal disebabkan
oleh endoskopi, dan peritoneal atau visceral stretch. Ketamin cukup baik untuk induksi
intravena karena bersifat bronkodilator. Untuk tindakan singkat, sebaiknya digunakan
teknik masker wajah setelah induksi dengan menghindari intubasi. Oksigen digunakan
dengan konsentrasi 30% atau lebih untuk udara inspirasi. Bila dibutuhkan intubasi,
anestesi harus ditambah dalam dengan inhalasi, kemudian dilakukan intubasi tanpa
relaksan otot. Pada pasien yang dianestesia dalam dapat dilakukan laringoskopi tanpa
menyebabkan bronkospasme bila diintubasi. Cisatracurium tidak menyebabkan pelepasan
histamin atau bronkospasme sedangkan rocuronium dapat digunakan untuk pasien asma
yang memerlukan intubasi cepat. Eter dan halotan merupakan bronkodilator yang baik.
Eter mempunyai kelebihan bila terjadi bronkospasme. Pemakaian epinefrin 0,5 mg
subkutan bisa diberikan dengan aman, namun hal ini berbahaya bila diberikan bersamaan
dengan halotan atau trikloretilen karena dapat menyebabkan gangguan irama jantung
akibat efek katekolamin. Sebagai alternatif pengganti epinefrin, dapat diberikan
aminofilin 250 mg intravena secara lambat untuk dewasa karena obat ini cocok dengan
semua obat inhalasi. Pada akhir tindakan bila memakai intubasi, ekstubasi dilakukan
dalam posisi miring dan dengan anestesia dalam, karena stimulasi laring dapat memicu
bronkospasme ( Suhartono et al, 2013).
a) Premedikasi
Pada pasien asma premedikasi bertujuan untuk mengurangi segala bentuk stimulasi
yang dapat memicu terjadinya serangan asma. Midazolam mengurangi kecemasan dan
seringkali amnesia retrogade, dapat diberikan intravena (0,05-0,1 mg/kgbb) atau peroral
pada anak (0,5-1 mg/kgbb, dengan dosis maksimum 15 mg). Atropin adalah obat
antikolinergik yang mampu menurunkan resistensi jalan nafas, menurunkan kemungkinan
reaktifitas jalan nafas yang ditimbulkan oleh sekresi. Difenhidramin adalah pemblokade
reseptor H1, yang mampu menghambat bronkokonstriksi yang dimediasi histamin dan
sedikit efek sedatif. Droperidol dapat menurunkan resistensi jalan nafas dengan blokade -
adrenergik. Efek sedatif droperidol dan difenhidramin dapat mencegah bronkospasme yang
disebabkan stres psikologis. Steroid inhalasi maupun sistemik dapat diberikan pada pasien
dengan asma moderat sampai berat untuk mencegah insiden serangan. Obat 2 agonis,
kromolyn, maupun steroid sebaiknya terus dilanjutkan sampai saat pembedahan.
Pada pasien asma yang tergantung steroid seharusnya diberikan terapi perioperatif
untuk mencegah terjadinya insufisiensi adrenal selama operasi. Pasien ini juga mempunyai
resiko terjadinya miopati ketika mendapat pemberian obat pelumpuh otot secara berulang.
b) Induksi
Tujuan utama induksi adalah menumpulkan refleks jalan nafas sebelum laringoskopi
dan intubasi, relaksasi otot polos jalan nafas, dan pencegahan pelepasan mediator biokimia.
Sebelum induksi anestesia dapat diberikan dua atau tiga semprotan albuterol dan inhaler.
Semprotan lidokain endotrakeal topikal melalui perangkat anestesia laringotrakeal atau
pemberian lidokain intravena dapat digunakan sebelum induksi untuk mencegah refleks
batuk bila anestesia yang didapatkan tergolong ringan.
Kemudian diberikan oksigen serta penggunaan agen inhalasi yang paten seperti
halotan, sevofluran, atau isofluran diberikan dengan masker dapat membantu untuk
mencapai kedalaman anestesia yang cukup sebelum intubasi endotrakeal.
Obat-obat induksi yang sering dipakai antara lain :
• Thiopental (3-5 mg/kgbb iv) ternyata dapat merangsang pelepasan histamin pada sel mast
manusia. Thiopental sendiri sesungguhnya tidak menyebabkan bronkospasme, tetapi karena
anestesia yang dihasilkan hanya dangkal, instrumentasi pada jalan nafas dengan thiopental
saja dapat memicu bronkospasme. Karena itu tetap dapat digunakan pada pasien asma
asalkan kedalaman anestesia yang adekuat dapat dicapai sebelum dilakukan stimulasi jalan
nafas.
• Propofol (1-2,5 mg/kgbb iv) dapat menjadi agen induksi terpilih untuk pasien dengan jalan
nafas yang reaktif dengan hemodinamik yang stabil. Laporan terakhir menunjukkan bahwa
induksi pada pasien asmatik dengan propofol 2,5 mg/kgbb dengan hasil insiden wheezing
yang secara signifikan lebih rendah bila dibandingkan dengan induksi dengan 5 mg/kgbb
thiopental. Angka kejadian wheezing berturut-turut adalah 0% (0/17), 45% (23/67), dan
26% pada pasien yang mendapat propofol, tiobarbiturat, dan oksibarbiturat. Penelitian lain
menemukan bahwa pada pasien yang tidak terseleksi, propofol menghasilkan angka yang
secara signifikan lebih rendah dalam hal resistensi respirasi setelah intubasi trakeal
dibanding induksi dengan thiopental atau etomidat.
• Etomidat (0,2-0,5 mg/kgbb iv) tidak mendepresi fungsi miokardial. Karena itu, obat ini
menyediakan stabilitas hemodinamik pada pasien yang sakit kritis. Walaupun disebut
sebagai obat ideal untuk pasien asma, hanya sedikit bukti yang mendukung klaim tersebut,
kecuali bahwa etomidat tidak memicu pelepasan histamin. Penelitian terakhir menunjukkan
bahwa baik etomidat maupun tiopental tidak mencegah terjadinya wheezing setelah
intubasi, berlawanan dengan proteksi menonjol dari propofol.
• Ketamin (1-2 mg/kgbb iv) menghasilkan bronkodilatasi baik secara langsung maupun
melalui pelepasan ketekolamin. Pada pasien dengan wheezing aktif, ketamin merupakan
agen induksi terpilih, khususnya bila hemodinamiknya tidak stabil.
c)
Pelumpuh Otot
Tergantung dari tipe reseptor muskarinik yang digunakan, peningkatan atau
penurunan tonus bronkus dan reaktifitas dapat diperkirakan, dimana pelumpuh otot yang
berikatan dengan reseptor M2 lebih banyak daripada yang berikatan dengan reseptor M3
(gallamin, pipecuronium, rapacuronium) dapat menyebabkan bronkokonstriksi. Sebaliknya
pelumpuh otot yang lebih banyak berikatan dengan reseptor M3 (vecuronium, rocuronium,
cisatracrium, pancuronium) tidak menyebabkan bronkospasme. Atracurium dan
mivacurium melepaskan histamin tergantung dosis yang digunakan dan telah diindentifikasi
sebagai pencentus bronkokonstriksi
d)
Intubasi
Lidokain intravena, 1-1,5 mg/kgbb, dapat diberikan 1-2 menit sebelum intubasi
untuk mencegah terjadinya bronkospasme yang diinduksi oleh reflek. Semprotan lidokain
topikal harus digunakan dengan hati-hati karena dapat memicu reflek bronkokonstriksi jika
kedalaman anestesia yang adekuat belum tercapai.
Pada pasien darurat yang memerlukan pembedahan dan intubasi cepat, semua
perhatian dalam pencegahan aspirasi isi lambung dan serangan asma perlu dilakukan secara
simultan. Lambung yang penuh sebaiknya dikosongkan dengan pemasangan pipa
nasogastrik. Induksi sekuensial cepat dan intubasi trakeal menggunakan propofol,
thiopental atau suksinilkolin penting perannya dalam pencegahan aspirasi. Ketamin
mungkin merupakan agen induksi terpilih pada pasien asma non kardial, karena ketamin
meningkatkan pelepasan katekolamin dengan resultan berupa bronkodilatasi. Pasien juga
perlu di-denitrogenasi dengan masker O2 100%. Jika pasien mengalami serangan wheezing
sebelum anestesia, inhalasi obat simpatomimetik seperti albuterol dapat digunakan sebagai
terapi lini pertama untuk serangan akut asma.
e) Maintenance
Rumatan anestesi dapat digunakan agen secara intravena seperti propofol (50-200
mg/kgbb/min) atau agen inhalasi seperti halotan, isofluran dan sevofluran merupakan
bronkodilator yang poten. Agen tersebut lebih efektif dalam mengurangi tonus bronkomotor
dibanding dietil eter dan ketamin yang menghasilkan pelepasan katekolamin medulla
adrenal yang tidak bergantung dosis. Sevofluran, enfluran, dan isofluran lebih disukai
daripada halotan, karena halotan mensensitisasi miokardium terhadap
E. Penanganan pasien asma pasca-operatif
Pemberian bronkodilator dilanjutkan sesegera mungkin pada pasca-operatif melalui
nebulator atau sungkup muka hingga pasien mampu menggunakan MDI sendiri secara
benar. Kategori pasien yang memperoleh manfaat terapi MDI bila memenuhi kriteria
sebagai berikut: frekuensi pernapasan 15 ml/kg BB, mampu berkomunikasi verbal dan
mengikuti instruksi, koordinasi tangan-mulut, inspirasi memadai, PEFR ≥150 L/menit
untuk perempuan dan >200 L/menit untuk laki-laki. Pada akhir pembedahan pasien harus
bebas wheezing. Reversal pemblok neuromuskular nondepolarising dengan
antikolinesterase tidak menimbulkan bronkospasme bila diberikan dosis antikolinergik
yang tepat. Obstruksi jalan napas, laringospasme, bronkospasme, ventilasi yang rendah,
dan hipoksemia merupakan ancaman utama. Pasien yang teridentifikasi berisiko tinggi
perlu dimasukkan ke unit monitoring pasca-operatif agar fisioterapi dada dan suction
dapat dilakukan. Penanganan nyeri pasca-operatif perlu diatasi untuk menurunkan
kejadian bronkospasme. Parameter respirasi yang harus dinilai pasca-anestesia yaitu
suara napas paru harus sama di kedua paru, frekuensi napas 10-35 x/menit, irama napas
teratur, volume tidal minimal 4-5 ml/kg BB, kapasitas vital 20-40 ml/kg BB, inspirasi
paksa -40 cm H2O, PaO2 pada FiO2 30% 100 mm Hg, dan PaCO2 30-45 mm Hg ( Suhartono
et al, 2013).
BAB III
Kesimpulan
Evaluasi pasien asma sebelum tindakan anestesia dan pembedahan sangat penting untuk
mencegah atau mengendalikan kejadian serangan asma, baik intraoperatif maupun pasca-
operatif, yang meliputi anamnesis serta pemeriksaan fisik, laboratorik, radiologik, analisis
gas darah, dan tes fungsi paru-paru. Pasien dengan riwayat asma frekuen atau kronis perlu
dilakukan pengobatan sampai tercapai kondisi yang optimal untuk dilakukan operasi atau
kondisi dimana gejala-gejala asma sudah minimal. Pasien dengan bronkospasme yang
frekuen harus diobati dengan preparat bronkodilator, dosis terapi teofilin, dan
kortikosteroid. Pemilihan obat-obatan dan tindakan anestesia perlu dipertimbangkan secara
cermat untuk menghindari penggunaan obat-obatan dan tindakan yang merangsang
terjadinya bronkospasme atau serangan asma. Persiapan tindakan dan obat-obat untuk
mengatasi serangan asma atau bronkospasme sejak saat pra-anestesi agar jika terjadi
serangan bronkospasme kondisi reversibel dapat tercapai.
Daftar Pustaka
Departemen Kesehatan RI., 2008. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Direktort jenderal : Jakarta.
haikh SI, Nilangekar MT, Perioperative Anaesthetic management in Asthma. International Journal
of Biomedical Research 2015; 6(03):144-150. DOI:10.7439/ijbr
Suhartono, Tambajong, Lalenoh; Penanganan Perioperatif pada Asma. Jurnal Biomedik (JBM), Volume 5,
Nomor 1, Maret 2013, hlm. 10-16
Sundaru H, Sukamto. Asma bronkial. In: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (Edisi V). Jakarta: Interna Publishing, 2009; p. 404-8.
Fun Sun Yao, Asthma-Cronic Obstuktive Pulmonary Disease in Anesthesiology Problem Oriented Patient
Management in Anesthesiology, Lippicott William & Wilkins, New York, page 1-28.

Anda mungkin juga menyukai