Anda di halaman 1dari 13

Laporan Praktikum Hari/Tanggal : Jumat, 24 September 2021

Biokimia Umum Waktu : 08.30 WIB

PJP : Puspa Julistia Puspita, SSi, MSc

Asisten : Shafa Geulistia Nurani

PROTEIN II: UJI PROTEIN

Kelompok 6

Zhaza Agviandini B0401201037

Syafrina Atika Putri Nasution B0401201040

Vincentia Seane Angelica B0401201042

DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2021
PENDAHULUAN

Protein memegang peran yang sangat penting dalam sebagian besar proses
biologi yang terdapat pada alam. Hampir semua enzim, yang merupakan katalis
dalam reaksi biokimia, merupakan protein. Dalam tubuh manusia, terdapat sekitar
100.000 jenis protein yang berbeda yang dimana setiap jenisnya memiliki fungsi
yang spesifik dalam fungsi fisiologisnya. Protein memiliki massa molar yang
besar berkisar dari 5000 g hingga 1 x 107g, namun komposisi persen massa tiap
unsur dalam protein sangat konstan, yaitu 50-55% karbon, 7% hidrogen, 23%
oksigen, 16% nitrogen, dan 1% belerang (Chang dan Overby 2011).
Ikatan peptida merupakan kondensasi dari dua asam amino. Rantai yang
terbuat dari 20 asam amino disebut sebagai oligopeptida, sedangkan rantai yang
lebih panjang disebut dengan polipeptida. Protein adalah polipeptida yang
memiliki fungsi biologi. Protein memiliki struktur yaitu struktur primer, sekunder,
tersier, dan kuartener. Urutan asam amino dalam protein disebut dengan struktur
primer. Struktur sekunder ditentukan oleh sudut dihedral 𝜙, 𝜓 dari ikatan peptida,
struktur tersier ditentukan oleh pelipatan rantai protein dalam ruang. Sedangkan
struktur kuartener menjelaskan bagaimana beberapa rantai polipeptida berkumpul
untuk membentuk protein tunggal fungsional (Buxbaum 2015)
Struktur sekunder, tersier, dan kuartener dari protein dapat berubah karena
pengaruh dari lingkungan. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perubahan
tersebut adalah suhu, pH, konsentrasi ion, tekanan, pelarut organik, garam,
senyawa hidrofilik kecil, dan ion logam berat (Buxbaum 2015; Kessel dan
Ben-Tal 2018). Menurut Buxbaum (2015), perubahan ini dapat terjadi karena
struktur sekunder, tersier, dan kuartener protein yang memiliki interaksi yang
relatif lemah, seperti ikatan hidrogen atau interaksi hidrofilik sehingga dapat
berubah dengan pengaruh lingkungan.
Albumin merupakan protein yang dapat larut dalam air serta dapat
terkoagulasi oleh panas. Dalam plasma manusia, albumin merupakan protein
terbanyak (4.5 g/dl) sekitar 60% dari total plasma darah (Yuniarti et al. 2013).
Albumin disintesis oleh hati yang kemudian dilepaskan ke ruang intravaskuler
(Gracia-Martinez et al. 2013). Menurut Yuniarti et al. (2013), albumin tersusun
dari 16 jenis asam amino dengan kadar asam amino tertinggi pada albumin adalah
glisin dan asam glutamat. Albumin umumnya berbentuk bulat elips dan terdiri
atas rantai polipeptida yang berlipat pada umumnya gugus R polar terletak di
sebelah luar rantai polipeptida, sedangkan gugus R yang hidrofobik terletak di
sebelah dalam molekul protein. Albumin berperan penting dalam kesehatan dan
penyakit, albumin merupakan penyumbang utama Colloid Oncotic Pressure
(COP) yang mengikat molekul endogen dan eksogen, koagulasi menengahi dan
membantu untuk mempertahankan permeabilitas mikrovaskuler (Indrawati et al.
2019).
Tujuan

Praktikum ini bertujuan mempelajari beberapa reaksi uji terhadap protein,


serta mahasiswa diharapkan dapat mengidentifikasi sifat dari protein melalui
uji-uji kualitatif.

METODE

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan pada percobaan sedimentasi logam adalah larutan


albumin, HgCl2 2%, larutan Pb-asetat 5%, dan AgNO3 5%. Pada percobaan
sedimentasi garam, bahan yang digunakan adalah air, larutan albumin, garam
(NH4)2SO4, reagen Millon dan reagen Biuret. Bahan yang digunakan pada
percobaan koagulasi protein adalah air, larutan albumin, CH3COOH 1M, dan
reagen Millon. Pada percobaan sedimentasi oleh alkohol, bahan yang digunakan
adalah larutan albumin, HCl 0.1M, NaOH 0.1M, CH3COOH pH 4.7, dan etanol
95%. Bahan yang digunakan pada percobaan denaturasi protein adalah larutan
albumin, buffer asetat pH 4.7, HCl 0.1M, dan NaOH 0.1M.
Alat yang digunakan adalah tabung reaksi, saringan, gelas ukur, penangas
air, timer, pipet tetes, dan batang pengaduk.

Prosedur Percobaan

Sedimentasi Logam
Pada percobaan sedimentasi logam, lima tetes HgCl2 2% dimasukan ke
dalam 3 ml larutan albumin. Percobaan kemudian diulangi dengan menggunakan
larutan Pb-asetat 5% dan AgNO 3 5%. Pengendapan yang terjadi diamati dan
dicatat.

Sedimentasi Garam
Pada percobaan sedimentasi garam, 10 ml larutan albumin dijenuhkan
menggunakan garam (NH4)2SO4. Garam ditambahkan sedikit demi sedikit dan
diaduk hingga mencapai titik jenuh, kemudian larutan disaring. Kelarutan
diperiksa dengan menggunakan air. Sedimen diperiksa dengan menggunakan
reagen Millon dan filtrat diperiksa dengan menggunakan reagen Biuret.
Perubahan yang terjadi diamati dan dicatat
Koagulasi Protein
Untuk percobaan koagulasi protein dua tetes asam asetat 1M dimasukan ke
dalam 5 ml larutan albumin yang berada di dalam tabung. Kemudian tabung
dimasukan ke dalam air mendidih selama lima menit. Sedimen yang terbentuk
diambil menggunakan batang pengaduk. Sedimen diperiksa dengan menggunakan
reagen Millon dan kelarutannya diperiksa dalam air.

Sedimentasi oleh Alkohol


Tiga tabung reaksi disiapkan. Pada tabung pertama dimasukkan 5 ml larutan
albumin, 1 ml HCl 0.1M, dan 6 ml etanol 95%. Pada tabung kedua dimasukkan 5
ml larutan albumin, 1 ml NaOH 0.1M, dan etanol 95%. Pada tabung ketiga
dimasukkan 5 ml larutan albumin, 1 ml CH3COOH pH 4.7, dan etanol 95%.
Kelarutan protein diamati dan dicatat hasilnya.

Denaturasi Protein
Tiga tabung reaksi disiapkan. Pada tabung pertama dimasukkan 9 ml larutan
albumin dan 1 ml HCl 0.1M. Pada tabung kedua dimasukkan 9 ml dan 1 ml
NaOH 0.1M. Pada tabung ketiga dimasukkan 9 ml larutan albumin dan 1 ml
buffer asetat pH 4.7. Ketiga tabung reaksi dimasukan kedalam air mendidih
selama 15 menit dan kemudian didinginkan dalam suhu ruangan. Hasil yang
terbentuk diperhatikan. Pada tabung pertama dan kedua ditambahkan 10 ml buffer
asetat pH 4.7 dan hasil yang terbentuk diamati dan dicatat.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil
Logam berat berpengaruh terhadap perubahan struktur protein. Hal ini
terjadi karena logam berat mengikat gugus karboksilat atau sulfihidril dari protein
(Buxbaum 2015). Menurut Adhani dan Husaini (2017), kemampuan logam dalam
mengendapkan protein ini dipengaruhi oleh bentuk senyawa, daya kelarutan
logam berat dalam cairan, ukuran partikel, dan beberapa sifat kimia dan fisika
lainnya. Berdasarkan Tabel 1 kemampuan pengendapan protein oleh logam dapat
dilihat bahwa AgNO3 > HgCl2 > Pb-asetat, hal ini disebabkan logam Ag dan Hg
merupakan logam transisi (gol. IB, periode 5; gol. IIB, periode 6) sehingga logam
Ag dan Hg bersifat lebih reaktif dibandingkan Pb. Maka, logam Ag dan Hg lebih
banyak mendenaturasi protein dibandingkan logam Pb.
Selain logam berat, garam juga mampu mendenaturasi atau merubah
struktur protein. Menurut Buxbaum (2015), garam mampu mengendapkan protein
karena dapat mengurangi konsentrasi air yang tersedia untuk mempertahankan
struktur protein. Uji Millon dilakukan untuk mengidentifikasi keberadaan asam
amino tirosin melalui perubahan warna larutan menjadi merah akibat adanya
garam merkuri dari Tirosin yang ternitrasi (Dirga et al. 2018). Uji Biuret
dilakukan untuk mengidentifikasi keberadaan ikatan peptida yang ditunjukan
dengan terbentuknya larutan berwarna biru akibat reaksi antara ikatan peptida
yang membentuk kompleks berwarna ungu dengan garam Cu dalam larutan alkali
(Purnama et al. 2019). Berdasarkan Tabel 1 sampel menunjukan hasil positif pada
setiap uji yang dilakukan.
Tabel 1. Pengendapan protein oleh logam dan garam

Hasil

Sampel Pengendapan oleh logam Pengendapan oleh garam

HgCl2 Pb- AgNO3 Pengendapan Uji Millon Uji Biuret


asetat oleh garam pada endapan pada filtrat

Albu- ++ + +++ ++ + +
min (putih) (putih) (merah) (biru)
Keterangan: + (endapan sedikit), ++ (terbentuk endapan), +++ (endapan banyak)

Faktor lain yang dapat merubah struktur dari protein adalah suhu. Kenaikan
suhu mengakibatkan peningkatan gerak molekuler, akibatnya dapat memutus
ikatan hidrogen protein (Bumbaux 2015). Kelarutan dari sampel menunjukan ada
atau tidaknya endapan pada sampel. Uji Millon dilakukan untuk mendeteksi
keberadaan asam amino tirosin. Berdasarkan Tabel 2 sampel menunjukan hasil
negatif pada uji kelarutan dan hasil positif pada uji Millon.

Tabel 2. Koagulasi protein

Hasil Pengamatan
Sampel
Kelarutan Uji Millon

Albumin – +

Keterangan: – (tidak larut, tidak berwarna merah), + (larut, berwarna warna merah)

Selain menggunakan logam berat dan garam, pengendapan protein dapat


dilakukan dengan menggunakan alkohol. Protein dapat mengendap jika diberikan
alkohol karena alkohol dapat mengganggu interaksi hidrofobik protein. Protein
tidak larut dalam pelarut organik. Pelarut yang lebih larut dalam air, seperti etanol
atau aseton, mengikat air dan dengan demikian mengurangi konsentrasi air
tersedia untuk protein (Bumbaux 2015). Selain pemberian etanol, sampel juga
diberi perlakuan suasana asam dan basa. Protein memiliki titik isoelektrik dimana
pada pH tertentu protein memiliki kelarutan terendah dan mudah membentuk
agregat dan mudah diendapkan. Albumin memiliki titik isoelektrik pada kisaran
pH 4.6-4.7. Pada saat pH berada di titik isoelektrik maka akan terbentuk endapan
putih. Pada suasana asam, penambahan alkohol akan menggumpalkan protein,
sedangkan pada suasana basa, penambahan alkohol tidak menyebabkan
penggumpalan karena pH jauh dari titik isoelektrik (Asfar et al. 2019).
Berdasarkan Tabel 3 sampel tabung pertama dan ketiga menunjukan hasil positif
terbentuk pengendapan, sedangkan pada tabung kedua tidak terbentuk
pengendapan namun larutan menjadi keruh padahal dilakukan pemberian NaOH
0.1 M. Hal ini mungkin disebabkan oleh NaOH yang sudah tidak murni atau
karena kurangnya konsentrasi NaOH sehingga masih terdapat albumin yang
terkoagulasi. Kekeruhan ini merupakan tanda bahwa protein terdenaturasi.

Tabel 3. Pengendapan protein oleh alkohol


Sampel Hasil Pengamatan

Sampel tabung 1 Sedikit keruh

Sampel tabung 2 Keruh tidak ada endapan

Sampel tabung 3 Keruh dan ada endapan putih

Protein dapat terdenaturasi karena pengaruh suhu dan juga pengaruh asam
atau basa. Prinsip dari denaturasi protein dengan pengaruh pH mirip dengan
prinsip pengendapan protein dengan alkohol. Berdasarkan Tabel 4 sampel yang
diberikan buffer asetat pH 4.7 menunjukan terbentuknya endapan putih. Hal ini
sesuai dengan literatur. Setelah penambahan buffer asetat pH 4.7 dan pemanasan
pengendapan albumin terlihat lebih jelas. Hal ini membuktikan bahwa albumin
mengendap pada titik isoelektriknya, yaitu pada pH kisaran 4.6 - 4.7 (Asfar et al.
2019). Pada penambahan HCl, NaOH dan pemanasan menunjukan hasil positif
yang ditunjukan dengan larutan yang menjadi keruh. Hal ini disebabkan oleh
pemanasan menyebabkan peningkatan gerak molekul yang menyebabkan
terputusnya ikatan hidrogen protein. Terputusnya ikatan hidrogen ini
menyebabkan struktur protein menjadi lemah sehingga mudah untuk diendapkan
atau berkurang kelarutannya (Bumbaux 2015).

Tabel 4. Denaturasi protein oleh pengaruh pH


Hasil Pengamatan
Sampel
Buffer asetat pH 4.7 HCl 0.1 M NaOH 0.1 M
Keruh dan ada
Albumin endapan putih Sedikit keruh Sedikit keruh

Pembahasan

Protein adalah makromolekul polipeptida yang tersusun dari sejumlah


L-asam amino yang dihubungkan oleh ikatan peptida. Suatu molekul protein
disusun oleh sejumlah asam amino dengan susunan tertentu dan bersifat turunan.
Asam amino terdiri atas unsur-unsur karbon, hidrogen, oksigen, dan nitrogen.
Suatu asam amino lazimnya diklasifikasikan sebagai suatu molekul yang memiliki
gugusan α-karboksil maupun α-amino dan secara kimiawi suatu rantai samping
khas (gugusan R) yang melekat dengan α-karbon (Probosari 2019). Protein
memiliki struktur yaitu struktur primer, sekunder, tersier, dan kuartener. Urutan
asam amino dalam protein disebut dengan struktur primer. Struktur sekunder
ditentukan oleh sudut dihedral 𝜙, 𝜓 dari ikatan peptida, struktur tersier ditentukan
oleh pelipatan rantai protein dalam ruang. Sedangkan struktur kuartener
menjelaskan bagaimana beberapa rantai polipeptida berkumpul untuk membentuk
protein tunggal fungsional (Buxbaum 2015).
Denaturasi protein merupakan suatu keadaan dimana protein mengalami
perubahan atau perusakan struktur sekunder, tersier dan kuartener nya. Sedangkan
faktor yang dapat menyebabkan terjadinya denaturasi protein diantaranya
pemanasan, suasana asam atau basa yang ekstrim, kation logam berat dan
penambahan garam jenuh (Novia et al. 2011). Ada dua macam denaturasi,
pengembangan polipeptida dan pemecahan protein menjadi unit yang lebih kecil
tanpa disertai pengembangan molekul. Terjadinya kedua jenis denaturasi ini
tergantung pada keadaan molekul yang terjadi pada rantai polipeptida.
Ikatan-ikatan yang dipengaruhi oleh proses denaturasi ini adalah ikatan hidrogen,
ikatan hidrofobik dan ikatan garam (Rijal 2011).
Logam berat berpengaruh terhadap perubahan struktur protein. Hal ini
terjadi karena logam berat mengikat gugus karboksilat atau sulfihidril dari protein
(Buxbaum 2015). Menurut Adhani dan Husaini (2017), kemampuan logam dalam
mengendapkan protein ini dipengaruhi oleh bentuk senyawa, daya kelarutan
logam berat dalam cairan, ukuran partikel, dan beberapa sifat kimia dan fisika
lainnya. Berdasarkan Tabel 1 kemampuan pengendapan protein oleh logam dapat
dilihat bahwa AgNO3 > HgCl2 > Pb-asetat, hal ini disebabkan logam Ag dan Hg
merupakan logam transisi (gol. IB, periode 5; gol. IIB, periode 6) sehingga logam
Ag dan Hg bersifat lebih reaktif dibandingkan Pb. Maka, logam Ag dan Hg lebih
banyak mendenaturasi protein dibandingkan logam Pb.
Denaturasi protein terjadi karena adanya kerusakan ikatan sekunder dan
tersier protein. Denaturasi merusak bentuk alfa-heliks normal protein dan
menguraikan protein menjadi bentuk yang tidak teratur. Garam logam berat
seperti timbal bersifat ionik dan dapat merusak jembatan garam protein (Mustika
et al. 2014). Denaturasi protein oleh logam berat bersifat irreversible yaitu
pengendapan tidak dapat kembali ke protein asal karena jembatan garam protein
sudah dirusak oleh logam berat.
Berdasarkan Tabel 1 pemberian garam pada larutan albumin menyebabkan
terbentuknya endapan. Hal ini disebabkan penambahan garam dengan konsentrasi
yang tinggi menyebabkan molekul air yang semula terikat pada permukaan
hidrofobik protein kemudian berikatan dengan molekul garam. Semakin banyak
molekul air yang berikatan dengan ion-ion garam mengakibatkan protein saling
berinteraksi, teragregasi dan mengendap atau yang disebut dengan salting out
(Sinaga 2014). Pengendapan oleh garam ini termasuk dalam denaturasi karena
terjadi perubahan pada struktur tersier dan kuartener dari protein yang
menyebabkan daya larut protein berkurang dan membentuk endapan (Rais 2017).
Uji Millon dilakukan untuk mengidentifikasi keberadaan asam amino tirosin
melalui perubahan warna larutan menjadi merah dan uji Biuret dilakukan untuk
mengidentifikasi keberadaan ikatan peptida yang ditunjukan dengan terbentuknya
larutan berwarna biru. Uji Millon pada endapan dan uji Biuret pada filtrat
menghasilkan hasil positif karena pada endapan terdapat asam amino tirosin dan
ikatan peptida. Hal ini disebabkan pada proses denaturasi protein yang rusak
merupakan struktur sekunder, tersier, dan kuartener karena struktur tersebut
terbentuk akibat ikatan hidrogen dan interaksi hidrofobik yang lebih lemah
dibandingkan ikatan kovalen dari asam amino pada struktur primer. Struktur
primer protein tidak ikut rusak pada proses denaturasi sehingga walaupun struktur
lebih tinggi protein berubah, asam amino dan ikatan peptida dapat bertahan
sehingga menunjukan hasil positif pada uji Millon dan uji Biuret. Albumin
merupakan protein yang mengandung 16 asam amino termasuk tirosin sehingga
menunjukan hasil positif pada uji Millon.
Berdasarkan hasil pada Tabel 2, kelarutan albumin menjadi negatif atau
kelarutannya berkurang. Hal ini disebabkan panas mampu memecah ikatan
hidrogen dan interaksi hidrofobik non polar. Suhu tinggi mengakibatkan
peningkatan gerak molekuler, akibatnya dapat memutus ikatan hidrogen protein
(Bumbaux 2015). Pemanasan albumin mengakibatkan protein terdenaturasi
sehingga kemampuan mengikat airnya menurun. Energi panas mampu
memutuskan interaksi non-kovalen yang ada pada struktur alami protein namun
tidak memutuskan ikatan kovalen yang berupa ikatan peptida (Hanum 2018).
Koagulasi adalah penggumpalan partikel-partikel kecil menggunakan zat
koagulan yang dapat dibantu flokulasi untuk membentuk flok-flok hasil koagulasi
menjadi lebih besar sehingga mudah mengendap (Novita et al. 2014). Denaturasi
protein merupakan suatu keadaan dimana protein mengalami perubahan atau
perusakan struktur sekunder, tersier dan kuartenernya. Faktor yang dapat
menyebabkan terjadinya denaturasi protein diantaranya pemanasan, suasana asam
atau basa yang ekstrim, kation logam berat dan penambahan garam jenuh (Novia
et al. 2011). Perbedaan antara denaturasi dan koagulasi terletak pada dampaknya
terhadap struktur protein. Denaturasi dapat didefinisikan sebagai perubahan besar
dalam struktur alami yang tidak melibatkan perubahan dalam urutan asam amino.
Sedangkan koagulasi adalah keadaan dimana protein tidak lagi terdispersi sebagai
suatu koloid karena unit ikatan yang terbentuk cukup banyak. Koagulasi ini hanya
terjadi apabila protein berada pada titik isoelektriknya, sedangkan protein yang
terdenaturasi pada titik isoelektriknya masih dapat larut pada pH di luar titik
isoelektrik tersebut. Koagulasi pada protein dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor, antara lain suhu tinggi, pengocokan, pH, dan bahan-bahan kimia (Buckle
et al. 2014; Januari 2016).
Berdasarkan Tabel 3, sampel yang menunjukan protein tidak larut adalah
ketiga sampel. Ketidaklarutan protein ditandai dengan warna larutan yang menjadi
keruh dan terbentuknya endapan berwarna putih pada sampel. Albumin memiliki
titik isoelektrik pada kisaran pH 4.6-4.7. Pada saat pH berada di titik isoelektrik
maka akan terbentuk endapan putih. Pada suasana asam, penambahan alkohol
akan menggumpalkan protein, sedangkan pada suasana basa, penambahan alkohol
tidak menyebabkan penggumpalan karena pH jauh dari titik isoelektrik (Asfar et
al. 2019). Pada tabung kedua tidak terbentuk pengendapan namun larutan menjadi
keruh padahal dilakukan pemberian NaOH 0.1 M. Hal ini mungkin disebabkan
oleh NaOH yang sudah tidak murni atau karena kurangnya konsentrasi NaOH
sehingga masih terdapat albumin yang tidak larut. Kekeruhan merupakan tanda
bahwa protein mengalami denaturasi atau koagulasi sehingga terpisah dari air,
sedangkan endapan merupakan protein yang telah terdenaturasi.
Proses pengendapan protein oleh logam terjadi apabila protein berada dalam
bentuk isoelektrik yang bermuatan negatif. Dengan adanya muatan positif dari
logam berat akan terjadi netralisasi dari protein dan dihasilkan endapan. Muatan
negatif pada protein akan berikatan dengan muatan positif pada logam sehingga
akan mengganggu ikatan ionik asam amino dan memutus jembatan garam. Pada
proses pengendapan protein oleh garam, garam yang digunakan harus
berkonsentrasi tinggi agar terjadi proses salting out. Pada prinsipnya, protein akan
berikatan dengan air, namun dengan ditambahkan garam berkonsentrasi tinggi
maka air akan berikatan dengan garam sedangkan protein akan mengendap.
Pengendapan protein oleh alkohol terjadi karena kompetisi pembentukan antara
protein-air dan alkohol-air. Alkohol dapat mengendapkan protein karena gugus
fungsional dari alkohol lebih kuat mengikat air sehingga kelarutan protein dalam
air berkurang. Alkohol juga mengganggu ikatan hidrogen antar asam amino
sehingga protein akan mengendap.
Berdasarkan Tabel 4, pengaruh pH terhadap albumin adalah pada
pemberian pH yang sama dengan titik isoelektrik dari albumin menyebabkan
albumin mengendap. Hal ini disebabkan pada titik isoelektrik (pI) protein
memiliki jumlah muatan negatif yang sama dengan jumlah muatan positifnya,
atau dengan dapat dikatakan protein bermuatan netral atau tidak bermuatan (Asfar
et al. 2019). Sehingga protein teragregasi. Pada penambahan asam, protein
mengalami sedikit koagulasi, hasil yang sama ditunjukan pada penambahan basa.
Salah satu faktor yang dapat menyebabkan berkurangnya kelarutan albumin
adalah pemanasan yang dilakukan pada sampel. Selain itu penambahan 10 ml
buffer asetat pH 4.7 juga mengakibatkan denaturasi dari protein karena pH larutan
mendekati titik isoelektriknya yang menyebabkan kemampuan mengikat air
protein menurun.
Titik isoelektrik (pI) adalah suatu nilai pH dimana protein memiliki jumlah
muatan negatif yang sama dengan jumlah muatan positifnya, atau dengan dapat
dikatakan protein bermuatan netral atau tidak bermuatan (Asfar et al. 2019). Dari
Gambar 1 dapat diketahui keadaan asam amino yang berada di berbagai tingkat
keasaman. Pada gambar yang berada ditengah diketahui bahwa pI=pH yang
berarti pada pH tersebut, asam amino tidak bermuatan atau jumlah antara muatan
positif dan negatif sama. Hal ini dapat ditentukan dengan keberadaan NH3+ yang
bermuatan +1 dan COO- yang bermuatan -1, sehingga total muatan pada asam
amino tersebut adalah 0.Pada gambar paling kiri diketahui bahwa pH lebih kecil
dibandingkan pI yang menyebabkan asam amino bermuatan positif. Hal ini
ditunjukan dengan keberadaan NH3+ dan COOH yang bila dijumlahkan
menghasilkan total muatan +1. Kondisi ini sesuai dengan literatur yang
menyatakan pada kondisi pH yang berada di bawah titik isoelektrik protein akan
bermuatan positif (Khosasih 2018). Pada gambar paling kanan diketahui bahwa
pH lebih besar dibandingkan pI yang menyebabkan asam amino bermuatan
negatif. Hal ini dapat diketahui dengan keberadaan NH2 yang tidak bermuatan
COO- yang bermuatan -1 sehingga total muatan asam amino adalah -1. Kondisi ini
sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa pada kondisi pH diatas titik
isoelektrik protein akan bermuatan negatif (Khosasih 2018). Pada pH di atas atau
di bawah titik isoelektrik, protein akan mengalami perubahan muatan yang
menyebabkan menurunnya daya tarik menarik antar molekul protein, sehingga
molekul lebih mudah mengurai dan kelarutan protein meningkat. Namun
penggunaan pH yang ekstrem (pH > 10) kemungkinan dapat menyebabkan
terjadinya denaturasi protein. Semakin tinggi pH yang digunakan, semakin besar
pula protein yang terurai, tetapi ada kemungkinan protein dapat terhidrolisis
kembali dan mengalami denaturasi (Pratiwi et al. 2018).
Gambar 1. Skema perubahan muatan protein berdasarkan perbandingan pI dengan pH

SIMPULAN

Hasil penambahan AgNO3, HgCl2, dan Pb-asetat menunjukkan hasil


positif terbukti dengan adanya endapan. Pengendapan albumin akibat
penambahan logam berat dari yang terbesar adalah AgNO3 > HgCl2 > Pb-asetat.
Penambahan garam menyebabkan peristiwa salting out sehingga protein
terendapkan. Uji Millon pada endapan dan uji Biuret pada filtrat menghasilkan
hasil positif karena pada endapan terdapat asam amino tirosin dan ikatan peptida.
Hal ini disebabkan pada proses denaturasi protein yang rusak merupakan struktur
sekunder, tersier, dan kuartener karena struktur tersebut terbentuk akibat ikatan
hidrogen dan interaksi hidrofobik yang lebih lemah dibandingkan ikatan kovalen
dari asam amino pada struktur primer. Uji pengendapan dengan alkohol pada
sampel tabung pertama dan ketiga menunjukan hasil positif terbentuk
pengendapan, sedangkan pada tabung kedua tidak terbentuk pengendapan namun
larutan menjadi keruh padahal dilakukan pemberian NaOH 0.1 M. Hal ini
mungkin disebabkan oleh NaOH yang sudah tidak murni atau karena kurangnya
konsentrasi NaOH sehingga masih terdapat albumin yang terkoagulasi.
Penambahan HCl 0,1 M, NaOH 0,1 M, dan buffer asetat pH 4,7 menunjukkan
hasil positif terbukti dengan adanya warna keruh dan endapan.

DAFTAR PUSTAKA
Adhani R, Husaini. 2017. Logam Berat Sekitar Manusia. Banjarmasin (ID):
Lambung Mangkurat University Press
Asfar M, Tawali AB, Pirman, Mahendradatta M. 2019. Ekstraksi albumin ikan
gabus (Channa striata) pada titik isoelektriknya. Jurnal Agercolere. 1(1):
6-12.
Buckle KA, Edwards RA, Fleet GH, Wootton M. 2014. Ilmu Pangan. Jakarta
(ID): UI Press.
Buxbaum E. 2015. Fundamentals of Protein Structure and Function. Ed ke-2.
Cham (CH): Springer
Chang R, Overby J. 2011. General Chemistry: The Essential Concepts. Ed ke-6.
New York (NY): McGraw Hill

Dirga, Asyhari N, Djayanti AG. 2018. Analisis protein pada tepung kecambah
kacang hijau (Phaseolus aureus) yang dikecambahkan menggunakan media
air, air cucian beras dan air kelapa. Journal of Science and Applicative
Technology. 2(1): 27-33.

Gracia-Martinez R, Caraceni P, Bernardi M, Gines P, Arroyo V, Jalan R. 2013.


Albumin: pathophysiologic basis of its role in the treatment of cirrhosis and
its complications. Hepatology. 258(5): 1836-1846.
Hanum GR. 2018. Biokimia Dasar. Ed-Revisi. Sidoarjo (ID): Umsida Press.
Indrawati A, Syarif J, Marselina. 2019. Gambaran Kadar Albumin Darah pada
Usia Lanjut yang Tinggal di Jalan Bung Lorong 10 Kecamatan Tamalanrea
Makassar. Jurnal Media Laboran. 9(2): 44-48.
Januari K. 2016. Pengaruh komposisi kacang lupin (Lupinus angustifolius)
dengan kacang kedelai dan jenis koagulan terhadap karakteristik tahu
kedelai lupin [skripsi]. Bandung: Universitas Pasundan
Kessel A, Ben-Tal N. 2018. Introduction to Proteins Structures, Function, and
Motion. Ed ke-2. Boca Raton (FL): CRC Press.
Khosasi VA. 2018. Review pengaruh pH dan suhu pemanasan terhadap
mekanisme stabilisasi emulsi minyak dalam air oleh kompleks
protein-fosfolipid [skripsi]. Semarang: Universitas Katolik Soegijapranata.
Mustika AA, Andriyanto, Wientarsih I, Margarita ML. 2014. Kemampuan
Berbagai Putih Telur Unggas Sebagai Kelator dalam Mengatasi Keracunan
Logam Berat Timbal. Jurnal Veteriner. 15(3): 406-410.
Novia D, Melia S, Ayuza NZ. 2011. Kajian Suhu Pengovenan Terhadap Kadar
Protein dan Nilai Organoleptik Telur Asin. Jurnal Peternakan. 8(2): 70-76.
Novita E, Indarto, Hasanah TL. 2014. Optimasi Penggunaan Koagulan Alami Biji
Kelor (Moringa oleifera) pada Pengolahan Limbah Cair Mocaf. Jurnal
Agroteknologi. 8(2): 171-178.
Pratiwi H, Yusasrini NLA, Putra INK. 2018. Pengaruh pH ekstraksi terhadap
rendemen, sifat fisiko-kima dan fungsional konsentrat protein kacang gude
(Cajanus cajan (L.) Millsp.). Jurnal ITEPA. 7(1): 1-11

Probosari E. 2019. Pengaruh Protein Diet Terhadap Indeks Glikemik. Journal of


Nutrition and Health. 7(1): 33-39.

Purnama RC, Retnaningsih A, Aprianti I. 2019. Perbandingan kadar protein susu


cair UHT Full Cream pada penyimpanan suhu kamar dan suhu lemari
pendingin dengan variasi lama penyimpanan dengan metode Kjeldhal.
Jurnal Analisis Farmasis. 4(1): 50-58.

Rais AF. 2017. Analisis profil protein ikan nila (Oreochromis niloticus) berbasis
SDS-Page berdasarkan variasi lama marinasi dan konsentrasi asam cuka
[tesis]. Semarang: Universitas Muhammadiyah

Rijal M. 2011. Biokimia Dasar. Ambon (ID): IAIN Ambon.

Sinaga M, Nugroho TT, Dahliaty A. 2014. Pemekatan enzim selulase Penicillium


sp. LBKURCC20 dengan pengendapan amonium sulfat 80% jenuh. Jurnal
Online Mahasiswa. 1(2): 283-288.

Yuniarti DW, Sulistiyati TW, Suprayitno E. 2013. Pengaruh suhu pengeringan


vakum terhadap kualitas serbuk albumin ikan gabus (Ophiocephalus
striatus). THPi Student Journal. 1(1): 1-9.

Anda mungkin juga menyukai