Anda di halaman 1dari 13

PROPOSAL KREATIVITAS MAHASISWA

Alternatif Penyembuhan Dermatofitosis pada Anjing dengan Memanfaatkan


Bawang Putih (Allium sativum) sebagai Obat Herbal Secara In Vitro

BIDANG KEGIATAN :

PKM-PENELITIAN

Diusulkan oleh:

Siti Nursaumawati B0401201005

Angelin Rosa Putri B0401201022

Vincentia Seane Angelica B0401201042

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2021
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI…………………………………………………………………….. 2

DAFTAR TABEL……………………………………………………………...... 3

BAB 1. PENDAHULUAN………………………………………………………. 4

1.1 Latar Belakang…………………………………………………………….. 4

1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………………. 5

1.3 Tujuan Penelitian………………………………………………………...... 5

1.4 Manfaat Penelitian………………………………………………………… 5

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………....6

2.1 Anjing…………………………………………………………………….... 6

2.2 Ekstrak Bawang Putih……………………………………………………....6

2.3 Dermatofitosis……………………………………………………………... 6

2.3.1 Definisi……………………………………………………………….. 6

2.3.2 Etimologi……………………………………………………………... 6

2.3.3. Morfologi…………………………………………………………….. 7

2.3.4 Patogenesis………………………………………………………….... 7

2.3.5 Gejala Klinis………………………………………………………….. 8

2.3.6 Diagnosis……………………………………………………………... 8

BAB 3. METODE PENELITIAN……………………………………………….8

3.1 Waktu dan Tempat………………………………………………………….8

3.2 Alat dan Bahan…………………………………………………………….. 8

3.3 Sampel yang Digunakan…………………………………………………....8

3.4 Prosedur Penelitian………………………………………………………....9

3.4.1 Persiapan Sampel……………………………………………………...9

3.4.2 Pembuatan Ekstrak Bawang Putih………………………………….. 10

3.4.3 Pemberian Ekstrak Bawang Putih terhadap Dermatofita dari Anjing 10

2
3.4.4 Parameter Penelitian………………………………………………....10

BAB 4. ANGGARAN DAN JADWAL KEGIATAN………………………….11

4.1 Anggaran Biaya………………………………………………………….. 11

4.2 Jadwal Kegiatan………………………………………………………….. 11

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………...12

DAFTAR TABEL
Tabel 1. Rancangan perlakuan penelitian……………………………………….... 9

Tabel 2. Scoring diameter daerah hambat dan perubahan morfologi kapang ….. 10

Tabel 3. Rancangan biaya. ……………………………………………………....11

Tabel 4. Jadwal kegiatan ...……………………………………………………....11

3
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sebagai salah satu organ tubuh terluar, kulit rentan terhadap penyakit,
khususnya infeksi jamur. Infeksi jamur merupakan salah satu agen penyebab
dermatitis kompleks pada anjing. Agen penyebab dermatitis lainnya, antara lain
bakteri, virus, gangguan hormonal, alergi dan hipersensitivitas. Beberapa agen
infeksi ini bergabung sehingga menimbulkan dermatitis kompleks dengan gejala
yang kompleks seperti gatal, rontok rambut, merah kulit, benjolan bernanah, dan
bau yang tidak sedap. Kulit yang terserang akan basah dan berair, dan ada eksudat
yang mengering pada rambut. Hal itu dapat memicu bakteri flora normal kulit
seperti bakteri Staphylococcus intermedius menjadi patogen (Serlin et al. 2020).
Kasus dermatitis pada hewan kesayangan seperti anjing dan kucing
dilaporkan sangat tinggi di berbagai daerah di Indonesia seperti Yogyakarta dan
dilaporkan kasus penyakit kulit mendominasi kasus dari pasien-pasien yang berobat
ke rumah sakit hewan (Tjahajati 2014). Kasus dermatitis pada anjing juga
dilaporkan di beberapa negara, seperti di kota Gwangjo, Korea ditemukan bahwa
45,6 % (47/103) anjing jalanan menderita penyakit kulit disebabkan oleh infeksi
tunggal maupun lebih dari satu agen penyakit (multiple infestation) serta kejadian
dermatitis pada anjing jalanan di Bali ditemukan sebanyak 37,9% baik yang
disebabkan oleh satu agen infeksi ataupun infeksi dari beberapa agen secara
bersamaan (Wirayana et al. 2014).
Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, pertimbangan perihal terapi efek
tanaman dan produk hewani meningkat secara drastis. Sekitar 80% orang di dunia
bergantung pada pengobatan komplementer atau alternatif untuk kebutuhan
perawatan kesehatan mereka. Dermatitis merupakan penyakit kulit kronis yang
menyebabkan lapisan penghalang kulit memburuk dari waktu ke waktu dan
menyebabkan perubahan imunologi, sebagian besar ditandai dengan peradangan,
kekeringan, dan infeksi bakteri (Kildaci et al. 2021).
Penyakit kulit menyerang semua spesies hewan di semua negara tetapi
umumnya dalam kelompok padat, terutama di dalam ruangan. Kerentanan hewan
terkena penyakit sangat ditentukan oleh status imunologi, sehingga hewan muda
paling rentan. Penyebab paling umum dari dermatomikosis pada kuda dan sapi
adalah Trichophyton verrucosum, Trichophyton mentagrophytes, dan Microsporum
gypseum. Penggunaan obat-obatan sintetis untuk penyembuhan disertai dengan
efek samping, jadi sebagian orang memutuskan untuk menggunakan beberapa
ekstrak herbal dan propolis pada jamur tersebut (Nejat et al. 2015).
Terapi anti jamur selama ini menggunakan obat kimia, namun penggunaan
obat-obat seperti amfoterisin, nistatin, ketokonazol, dan griseofulvin harganya
relatif mahal (Saifudin et al. 2011). Obat herbal alami banyak digunakan untuk
tujuan medis. Berkaitan dengan masalah tersebut, dapat dipilih alternatif lain
dengan memanfaatkan obat herbal. Penggunaan obat herbal secara umum dinilai

4
lebih aman daripada penggunaan obat kimia. Salah satu bahan alam yang sudah
lama dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai obat herbal adalah Allium cepa (Arffah
et al. 2021). Bawang merah dengan nama ilmiah Allium cepa extract digunakan
untuk mengatasi kemerahan dan tekstur kulit, sedangkan bawang putih (A. sativum)
terbukti memiliki tindakan pencegahan kemo terbaik (Tabassum dan Hamdani
2014).
Bawang putih digunakan sebagai obat topikal oleh beberapa orang Cina. Obat
herbal lainnya yang digunakan untuk penyembuhan dermatitis antara lain, madu,
the hijau, Gastrodia Elata, Calophyllum Inophyllum, dan Catalpa ovata (Arffah et
al. 2021). Sebagian besar obat herbal mampu mengobati penyakit ini. Oleh karena
itu, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menemukan obat herbal yang cocok
dengan efek samping paling sedikit karena sebagian besar jamu memiliki efek
serupa yang dapat mengobati dermatitis pada hewan.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apa saja kandungan yang dapat menyembuhkan penyakit Dermatofitosis?
1.2.2 Bagaimana cara kerja bawang putih dalam penyembuhan penyakit
Dermatofitosis?
1.2.3 Apakah bawang putih efisien dalam menangani penyakit Dermatofitosis?
1.2.4 Apa saja faktor penyebab dipilihnya obat alternatif?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Mengidentifikasi kandungan yang dapat menyembuhkan penyakit
Dermatofitosis.
1.3.2 Menganalisis mekanisme penyembuhan penyakit Dermatofitosis dengan
bawang putih.
1.3.3 Mengidentifikasi konsentrasi bawang putih paling efektif dalam
menangani penyakit Dermatofitosis.
1.3.4 Mengidentifikasi faktor penyebab dipilihnya obat alternatif.

1.4 Manfaat Penelitian


Penelitian lebih lanjut diharapkan dapat memberikan informasi kepada
masyarakat perihal obat herbal yang cocok untuk dermatofitosis pada anjing dengan
efek samping lebih rendah karena sebagian besar jamu memiliki efek serupa yang
dapat mengobati.

5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anjing
Anjing merupakan binatang peliharaan yang paling disukai dan makhluk
sosial seperti halnya manusia. Anjing memiliki posisi unik dalam hubungannya
dengan manusia. Kesetiaan dan pengabdian yang ditunjukkan anjing sangat mirip
dengan konsep manusia tentang cinta dan persahabatan (Bennett 2018).
Sifat atau watak setiap anjing berbeda. Hal ini tergantung dari pribadi anjing
itu sendiri atau jenisnya. Anjing memiliki sifat pemberani yang membuatnya
bertahan meskipun tanpa dorongan atau pun bantuan dari pihak lain terhadap
bahaya baik dalam kondisi yang sebenarnya atau di rekayasa, seperti menggoda
(Ide 2010).

2.2 Ekstrak Bawang Putih


Bawang putih telah dikenal memiliki aktivitas antimikroba, antiinflamatori,
antitrombotik, dan antitumor (Aala et al. 2014). Bawang putih mengandung lebih
dari 100 metabolit sekunder yang sangat berguna termasuk allin, alliinase, allicin,
S-allisistein, dialil sulfida, dan allyl methyl trisulfide (Moulia et al. 2018). Allicin
merupakan molekul pertahanan dari bawang putih dengan aktivitas antimikroba
yang luas dalam kisaran μM rendah terhadap bakteri Gram-positif dan negatif,
termasuk strain resisten antibiotik, dan jamur. Allicin diproduksi dari S-allycysteine
sulfoxide pada saat terjadi kerusakan jaringan dalam reaksi yang dikatalisis oleh
enzim allinase (Leontiev et al. 2018). Allicin yang terdapat pada ekstrak bawang
putih memiliki kemampuan antifungal yang mampu menginhibisi pertumbuhan
hifa dari kapang dan juga memodifikasi struktur sel dan morfologinya (Aala et al.
2014).

2.3 Dermatofitosis
2.3.1 Definisi
Dermatophytosis atau ringworm merupakan penyakit kulit yang disebabkan
oleh kapang dermatofita. Kapang atau cendawan merupakan salah satu jenis parasit
yang terdiri atas genus Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton.
Berbagai spesies dari tiga genus kapang ini dapat menginfeksi kulit, bulu/rambut
dan kuku/tanduk dalam berbagai intensitas infeksi. Dermatofitosis ini dapat
menular antar sesama hewan dan antara manusia dengan hewan (antropozoonosis)
dan hewan ke manusia (zoonosis) dan merupakan penyakit mikotik yang tertua di
dunia (Adzima et al. 2013).

2.3.2 Etimologi
Dermatofitosis disebut juga dengan tinea dan memiliki variasi sesuai dengan
lokasi anatominya seperti tinea kapitis, tinea barbae, tinea kruris, tinea pedis, dan
tinea korporis (Husni 2018). Terdapat tiga genus penyebab dermatofitosis, yaitu

6
Trichophyton, Microsporum, dan Epidermophyton (manusia) yang dikelompokkan
dalam kelas Deuteromycetes. Dari ketiga genus tersebut telah ditemukan 41
spesies, terdiri dari 17 spesies Microsporum, 22 spesies Trichophyton, 2 spesies
Epidermophyton (Rippon 2011).

2.3.3 Morfologi
Dermatofitosis dapat diidentifikasi berdasarkan inang yang diinfeksinya,
penampilan koloni, dan karakteristik mikroskopis dari koloni. Dari pewarnaan
lactophenol cotton blue struktur mikroskopis dari kapang dapat diamati.
Makrokonidia dari Microsporum sp. pada umumnya berbentuk spindle atau seperti
kapal dengan dinding tebal dan kasar. Makrokonidia dari Trichophyton sp.
berjumlah lebih sedikit pada kultur dan berbentuk panjang seperti cerutu atau
pensil, serta berdinding tipis dan halus. Makrokonidia pada kultur T. verrucosum
sangat jarang terlihat namun salah satu karakteristiknya adalah klamidospora yang
membentuk rantai. Trichophyton mentagrophytes dan M. canis memiliki
kemampuan untuk menyerbu batang rambut dan menghasilkan perforasi kerucut
pada rambut yang dapat dilihat pada preparat LCB sebagai area berbentuk baji.
Trichophyton rubrum tidak mempenetrasi rambut tetapi tumbuh pada permukaanya
(Markey et al. 2013).

2.3.4 Patogenesis
Dermatofita merupakan golongan jamur yang melekat dan tumbuh pada
jaringan keratin, jamur menggunakan keratin sebagai sumber makanannya (Adzima
et al. 2013). Artrospora infektif berkecambah dalam waktu enam jam setelah
mengikuti struktur keratin. Trauma ringan pada kulit dan kelembaban dapat
memfasilitasi infeksi. Kemampuan dermatofit untuk menghidrolisis keratin
menyebabkan kerusakan pada epidermis, batang rambut, folikel rambut, dan bulu.
Sifat lesi dipengaruhi oleh virulensi jamur dan respon imunologi dari inang. Hewan
yang sangat muda dan sangat tua serta individu yang lemah atau imunosupresi
adalah yang paling rentan terhadap infeksi. Host melakukan respon inflamasi
terhadap produk metabolisme jamur yang berbahaya bagi jamur, sehingga
dermatofita bergerak menjauh secara perifer menuju kulit normal yang
menghasilkan lesi melingkar (kurap) alopecia yang sering terlihat dengan
penyembuhan bagian tengan dan peradangan di bagian tepinya (Markey et al.
2013).
Dari hasil pemeriksaan darah lengkap menunjukkan bahwa terjadi
neutropenia, limfositosis, monositosis, eosinopenia dan basofilia. Neutropenia
adalah penurunan jumlah absolut neutrofil yang disebabkan oleh jaringan dalam
proses fagositosis. Dalam kasus ini, neutropenia dapat disebabkan oleh infeksi
jamur yang bersifat kronis (Bastiawan et al. 2011)

7
2.3.5 Gejala Klinis
Gejala klinis yang terlihat pada anjing yang terinfeksi dermatofitosis adalah
anjing mengalami kegatalan pada bagian tubuh yang terdapat lesi. Sedangkan tanda
klinis yang terlihat seperti adanya alopesia anular pada daerah daun telinga, kaki
depan, kaki belakang, leher dan kelopak mata. Sisik ditemukan di bagian kaki
depan, kaki belakang dan perut. Krusta di bagian kaki belakang. Makula terdapat
pada daerah kaki depan dan kaki belakang. Hiperkeratosis pada kaki belakang
(Wibisono dan Putriningsih 2017).

2.3.6 Diagnosis
Dalam mendiagnosis penyakit kulit yang disebabkan oleh kapang dermatofita
atau ringworm dapat dilakukan pengerokan kulit dan rambut (scrapping) yang
diteteskan dengan KOH 20% dan diamati dibawah mikroskop dengan perbesaran
yang kecil dan besar. Apabila hewan terinfeksi kapang Microsporum dan
Trichophyton spp. maka akan terlihat rantai refraktil, artrospora bundar pada
rambut (Markey et al. 2013).

BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat


Konsentrasi dan ekstrak bawang putih dibuat di Laboratorium Biokimia
yang terletak di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) IPB
University. Pemeriksaan secara mikroskopik sampel kerokan kulit anjing dan
penelitian dilakukan di Laboratorium diagnostik bakteri, virus, jamur, cacing
parasit, protozoa dan ektoparasit FKH (Fakultas Kedokteran Hewan IPB
University). Penelitian ini dilakukan dengan waktu kurang lebih tiga bulan.

3.2 Alat dan Bahan


Peralatan yang digunakan dalam penelitian yaitu tabung reaksi, kawat ose,
blender, cawan petri, mikroskop, kertas saring, object glass, coverglass, blade,
swab, rotary evaporator, kamera, penggaris, wadah, spatula, oven,
spektrofotometer, kertas cakram kosong dan inkubator. Bahan yang dibutuhkan
dalam penelitian antara lain bawang putih, etanol 96%, media SDA (Sabouraud
Dextrose Agar), peptone water, lactophenol cotton blue (LCB), aquades, alkohol
10%, KOH 20%, dan ketoconazole 2% sebagai kontrol positif.

3.3 Sampel yang Digunakan


Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah anjing liar di sekitar
FKH (Fakultas Kedokteran Hewan) IPB University dan sekitar kampus IPB
University dengan gejala klinis dermatofitosis. Gejala klinis dermatofitosis yang
terdiri dari kombinasi dari alopecia, erythema, papule, pustule, scaly, dan crusty.
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi lima kelompok

8
perlakuan dengan masing-masing terdapat lima sampel kapang penyebab
dermatofitosis yang diidentifikasi berdasarkan morfologinya.

Tabel 1. Rancangan perlakuan penelitian


Perlakuan Konsentrasi Perlakuan

Kontrol Negatif Kertas cakram kosong

Perlakuan 1 Ekstrak bawang putih 10%

Perlakuan 2 Ekstrak bawang putih 30%

Perlakuan 3 Ekstrak bawang putih 50%

Kontrol Positif Ketoconazole 2%

3.4 Prosedur Penelitian


3.4.1 Persiapan Sampel
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini dibagi dalam lima kelompok
perlakuan yang masing-masing terdapat lima sampel, diambil dari anjing yang
menunjukan gejala klinis terinfeksi dermatofitosis. Bagian yang terinfeksi
dermatofitosis dibersihkan dengan alkohol 10%, lalu dikerok dengan swab dan
KOH 20%. Sampel kemudian dimasukan ke dalam 10 ml pepton water cair untuk
dihomogenkan dan dieramkan selama 24 jam di dalam inkubator pada suhu 25 oC.
Biakan sampel diambil sebanyak 1 ml dan dimasukan ke dalam cawan petri yang
berisi 10 ml SDA. Biakan kapang yang ditanam pada medium diinkubasi pada suhu
25oC selama 5-7 hari. Selanjutnya untuk mengidentifikasi perkembangan dan
spesies kapang, dilakukan pewarnaan dengan lactophenol cotton blue (LCB) dan
diamati di bawah mikroskop. Kapang diidentifikasi berdasarkan morfologi, hifa,
konidia, dan konidiospora (Adzima et al. 2013). Koloni yang tumbuh pada media
SDA dicampur dengan 0,5 ml aquades, dan konsentrasi dari suspensi dideterminasi
dengan menggunakan spektrofotometer pada transmitans 65% dan panjang
gelombang 530 nm. Sebanyak 0,5 ml dari sampel kemudian digoreskan pada
seluruh permukaan media SDA (Modifikasi Sakan et al. 2020).

3.4.2 Pembuatan Ekstrak Bawang Putih


Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah bawang putih. Bawang
putih dikupas kulitnya, dicuci, dan dikeringkan tanpa terkena sinar matahari , dan
dihaluskan hingga menjadi serbuk kering. Serbuk sampel direndam dalam pelarut
etanol 96% dengan perbandingan 1:4 (b/v) selama 3x24 jam. Hasil ekstrak dari
kedua bahan dikeringkan dalam oven pada suhu 70oC sampai mendapatkan ekstrak
kering dalam pengujian. Ekstrak kasar yang didapat kemudian diencerkan sesuai
konsentrasi. Kertas cakram 6 mm kosong dimasukan ke dalam larutan uji selama ±

9
10 menit dan diangin-anginkan sampai tidak ada larutan yang menetes (Ajiningrum
et al. 2019).

3.4.3 Pemberian Ekstrak Bawang Putih terhadap Dermatofitosis dari Anjing


Sampel yang digunakan dibagi dalam lima kelompok perlakuan dengan
masing-masing terdapat lima sampel. Setiap kelompok perlakuan dilakukan lima
kali pengulangan. Satu kelompok kontrol negatif dengan kertas cakram kosong.
Satu kelompok kontrol positif dengan kertas cakram berisi ketoconazole 2%
ditambah dengan aquades. Tiga kelompok ekstrak bawang putih dengan
konsentrasi 10%, 30%, dan 50% yang terdapat pada kertas cakram. Pemberian
ekstrak bawang putih dengan cara meletakkan kertas cakram di atas permukaan
media agar yang telah digores dengan sampel dan kemudian diinkubasi selama
empat hari dalam suhu ruangan.

3.4.4 Parameter Penelitian


3.4.4.1 Pengamatan pada Preparat Kapang Dermatofita
Pengamatan pada kapang dermatofitosis dilakukan dengan cara mengukur
diameter daerah hambat yang ditunjukan dengan terbentuknya daerah bening di
sekeliling kertas cakram. Diameter daerah hambat diukur menggunakan penggaris.
Pengukuran diameter zona hambat dilakukan tiga kali pada sisi horizontal, vertikal,
dan diagonal kemudian dijumlahkan dan dirata-rata. Parameter keberhasilan dari
penelitian dilihat dari diameter daerah hambat dan juga perubahan morfologi dari
kapang.

3.4.4.2 Analisis Data


Pengamatan dan pemberian nilai keberhasilan penelitian ini dengan metode scoring
dengan parameter yaitu diameter daerah hambat yang terbentuk di sekeliling kertas
cakram dan perubahan struktur morfologi dari kapang yang diamati dibawah
mikroskop.

Tabel 2. Scoring diameter daerah hambat dan perubahan morfologi kapang


(Modifikasi Sakan et al. 2020)
Skor Diameter Daerah Hambat (mm) Perubahan morfologi

0 ≤11 Tidak berubah

1 12–19 Sedikit berubah

2 ≥20 Sangat berubah

10
BAB 4. BIAYA DAN JADWAL KEGIATAN

4.1 Anggaran Biaya

Tabel 3. Rancangan Biaya

No. Jenis Pengeluaran Biaya (Rp)

1. Peralatan yang diperlukan 1.125.000

2. Bahan habis pakai 1.253.800

3. Perjalanan 300.000

4. Lain-lain 850.000

Jumlah 3.528.000

4.2 Jadwal Kegiatan

Tabel 4. Jadwal Kegiatan

No. Jenis Kegiatan Bulan 1 Bulan 2 Bulan 3

1. Penyediaan alat dan


bahan

2. Pengambilan sampel
anjing

3. Isolasi agen jamur


dermatofitosis

4. Pembuatan ekstrak
bawang putih

5. Uji khasiat

6. Analisis data

11
DAFTAR PUSTAKA

Aala F, Yusuf AK, Nulit R, Rezaie A. 2014. Inhibitory effect of allicin and garlic
extract on growth of cultured hyphae. Iran J Basic Med Sci. 17(3): 150-154.

Adzima V, Jamin F, dan Abrar M. 2013. Isolasi dan identifikasi kapang penyebab
dermatofitosis pada anjing di Kecamatan Syiah Kuala Banda Aceh. Jurnal
Medika Veterinaria. 7 (1) : 46-47.

Ajiningrum PS, Ngadiani, Budiarti FF. 2019. Uji banding ekstrak bawang hitam
dan ekstrak bawang putih (Allium sativum) sebagai antifungi terhadap
pertumbuhan Candida albicans. Journal of Pharmacy and Science. 4(2): 101-
104.
Arffah KS, Ridzuan PM, Norliany MY. 2021. Effect of Herbal Medicine on Atopic
Dermatitis: A review. Annals of R.S.C.B. 25(1): 4944-4949.

Bennett RK. 2018. All About Dog Daycare. Ed ke-2. Falcon (CO): RB Consulting

Bastiawan D, Wahid A, Alifudin M, Agustiawan I. 2011. Gambaran darah lele


dumbo (Clarias spp.) yang diinfeksi cendawan Aphanomyces sp pada pH
yang berbeda. Jurnal Penelitian Indonesia 7(3): 44-47.

Husni H. 2018. Identifikasi dermatofita pada sisir tukang pangkas di Kelurahan Jati
Kota padang. [tesis]. Padang (ID): Universitas Andalas

Ide P. 2010. Imunisasi Mental untuk Bangkitkan Optimisme. Jakarta: Gramedia.

Kildaci I, Kilinc YB, Gunduz SK, Altuntas E. 2021. Linseed oil nanoemulsions for
treatment of atopic dermatitis disease: formulation, characterization, in vitro
and in silico evaluations. Journal of Drug Delivery Science and Technology.
doi: 10.1016/j.jddst.2021.102652

Leontiev R, Hohaus N, Jacob C, Gruhlke MCH, Slusarenko AJ. 2018. A


comparison of antibacterial and antifungal activities of thiosulfate analogues
of acillin. Sci Rep. 8(6763): 1-19. doi: 10.1038/s41598-018-25154-9

Markey B, Leonard F, Archambault M, Cullinane A, Maguire D. 2013. Clinical


Veterinary Microbiology. Ed ke-2. Maryland Heights (MO): Mosby

Moulia MN, Syarief R, Iriani ES, Kusumaningrum HD, Suyatma NE. 2018.
Antimikroba ekstrak bawang putih. Pangan. 27(1): 55-66.

Nejat S, Pirbaluti AG, Yazdani M, Foroughi M. 2015. In vivo antifungal activity of


some medical herbs and propolis against fungal pathogens associated with
ringworm. International Conference on Chemical, Environmental and
Biological Sciences. doi: 10.15242/IICBE.C0315128

Rippon JW. 2011. Medical Mycology The Pathogenic Fungi. Ed ke-3. Philadelphia:
WB Saunders Company.

12
Saifudin A, Rahayu V, Teruna HY. 2011. Standardisasi Bahan Obat Alam.
Yogyakarta (ID): Graha Ilmu.

Sakan GYI, Indarjulianto S, Nururrozi, Yanuartono, Raharjo S. 2020. Sensitivity of


Microsporum canis isolated from dogs towards antifungal. Jurnal Kedokteran
Hewan. 14(4): 108-111. doi: 10.21157/j.ked.hewan.v14i4.17617

Serlin A, Suartha N, Rompis ALT. 2020. Uji Efektivitas ekstrak daun sirsak
terhadap jamur Microsporum gypseum penyebab dermatitis kompleks pada
anjing. Buletin Veteriner Udayana. 12(2): 155-160. doi:
10.24843/bulvet.2020.v12.i02.p09

Tabassum N, Hamdani M. 2014. Plants used to treat skin diseases. Pharmacogn


Rev. 8(15): 52-60. doi: 10.4103/0973-7847.125531

Tjahajati I, Widiastuti TA, Erarindah E, Prayitno AD, Rifqiyanto L, Hanafi I. 2014.


Di dalam: Agustin I, Bambang PP, I KMA, Chairun N, Sri M, Kusdiantoro
M, Mawar S, editor. Macam pasien dan persentase pasien anjing dan kucing
yang terinfeksi endoparasit dan ektoparasit yang ditangani di Klinik Hewan
Jogja Tahun 2013-2014. Prosiding Kivnas ke-13 PDHI. 2014 November 23-
26. Palembang, Indonesia. Palembang: PDHI. hlm 102-103.

Wibisono HW, Putriningsih PA. 2017. Studi kasus: dermatofitosis pada anjing
lokal. Indonesia Medicus Veterinus. 6(2): 130-137. doi:
10.19087/imv.2017.6.2.130

Wirayana IKS, Damriyasa IM, Dharmawan NS, Arnawa KAA, Dianiyanti K,


Harumna D. 2014. Kejadian dermatosis yang tinggi pada anjing jalanan di
Bali. J. Vet..15(2): 217-220.

13

Anda mungkin juga menyukai