Anda di halaman 1dari 8

KELOMPOK 7 - IMUNOLOGI

Cornelia Cinkayori Mitayani (208114001)


Dominikus Brahmadita E.W (208114009)
Rizka Sauqi Cholisna (208114010)
Brayen Evaldo Nassa (208114019)
Mahira Diva Karunia (208114030)
Anastasia Prajwalita Ayuningtyas (208114032)
Denisa Titis Eccesia (208114039)

DISKUSI IMUNOMODULATOR

1. Akhir-akhir ini sedang tren suplemen dan obat-obatan yang berasal dari bahan alam.
Apakah untuk imunomodulator sendiri selain dari bahan kimia ada yang berasal
dari bahan alam? Bisa sebutkan contohnya?
Jawab:
Benar, saat ini mulai banyak orang beralih dari bahan kimia ke bahan alam,
tak terkecuali imunomodulator. Masyarakat lebih memilih menggunakan
imunomodulator dari berbagai jenis tumbuhan yang sudah terbukti meningkatkan
sistem kekebalan tubuh. Beberapa tanaman obat yang berfungsi sebagai
imunomodulator adalah:
a. Meniran (Phyllanthus niruri L.)
Secara empiris meniran digunakan sebagai obat infeksi saluran kencing,
batu ginjal, demam, sakit perut, sakit gigi, diabetes dan disentri. Jenis meniran
yang banyak digunakan adalah P. niruri dan P. urinaria. Komponen aktif
metabolit sekunder dari meniran adalah flavonoid, lignan, isolignan dan
alkaloid. Komponen yang bersifat imunomodulator adalah flavonoid, yang
mampu meningkatkan sistem kekebalan tubuh dan mampu melawan serangan
infeksi virus, bakteri maupun mikroba lainnya.
b. Sambiloto (Andrographis paniculata)
Sambiloto sangat dipengaruhi kondisi agroekologi karena sambiloto yang
ditanam di dataran tinggi mempunyai kadar sari laut yang larut dalam air lebih
tinggi dibandingkan di dataran rendah. Komponen aktif dari sambiloto yaitu
andrographolide, 14 deoxyandrographolide dan 14-deoxy-11, 12-
didehydroandrographolide yang diisolasi dari ekstrak metanol mempunyai efek
imunomodulator dan dapat menghambat induksi sel penyebab HIV.
Komponen-komponen tersebut meningkatkan proliferasi dan induksi IL-2
limfosit perifer manusia. Mekanisme kerja sambiloto mempunyai efek ganda
yaitu sebagai imunostimulan dan imunosupresan.
c. Mengkudu (Morinda citrifolia L.)
Tanaman mengkudu telah lama digunakan untuk mengobati berbagai
penyakit dan penggunaan paling umum adalah mencegah dan mengobati
kanker. Beberapa penelitian ilmiah telah membuktikan bahwa jus mengkudu
dapat meningkatkan fungsi kekebalan tubuh dan membantu memperbaiki
kerusakan sel, tetapi masih membutuhkan penelitian lebih lanjut.
(Siregar, 2015)

2. Bagaimana peran imunomodulator pada COVID-19, apakah pengobatan herbal


berbasis produk alam sebagai imunomodulator berkhasiat dalam menangani
COVID-19 ini?
Jawab:
Pemerintah Indonesia mendorong penggunaan potensi sumber daya
domestik untuk penanganan COVID-19. Namun, belum ada jamu yang terdaftar
secara resmi sebagai bahan yang teruji untuk pencegahan dan pengobatan COVID-
19 di Indonesia. Klaim kemanjuran produk yang tersedia untuk menangani COVID-
19 lebih pada fungsi memelihara dan meningkatkan sistem imun manusia. Produk
herbal banyak digunakan, terutama produk yang diklaim dapat menjaga kekebalan
tubuh manusia (Kusnul, 2020).
Berbagai produk alam telah diteliti memiliki aktifitas immunomodulator.
Dalam Sejumlah penelitian, meski terbatas pada studi in vitro, in vivo, dan in ovo,
telah melaporkan komponen bioaktif makanan dan herbal melawan virus influenza
dan SARS-CoV-1, juga sebagai imunomodulator. Dalam situasi pandemi covid-19
saat ini kiranya produk herbal yang telah terbukti memiliki manfaat antivirus,
antioksidan dan immunomodulator (mampu meningkatkan imunitas) dapat
dipertimbangkan sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan daya tahan
tubuh/imunitas agar lebih tangguh menghadapi ancaman bahaya tertular.
Penggunaan ramuan tradisional harus mengikuti berbagai ketentuan dalam FROTI,
diantaranya ramuan obat tradisional tidak boleh digunakan dalam keadaan
kegawatdaruratan dan keadaan yang potensial membahayakan jiwa dan
kedudukannya bukan untuk menggantikan terapi pengobatan yang standar, namun
sebagai pelengkap pengobatan (Kusnul, 2020).
Setidaknya terdapat empat aspek yang perlu diperhatikan dalam
penggunaan jamu untuk mengatasi COVID-19. Pertama, keamanan produk harus
terjamin. Penggunaan obat-obatan herbal untuk tujuan terapeutik pada COVID-19
difokuskan pada meredakan gejala karena umumnya menunjukkan manfaat terbaik
pada gejala pasca infeksi kronis yang sedang berlangsung daripada pada stadium
akut. Kedua, bukti keamanan dan khasiat obat herbal harus diperoleh berdasarkan
uji klinis. Sebelum dilakukan uji klinis produk jamu, data preklinik harus
menunjukkan hasil yang menjanjikan mengenai keamanan dan khasiatnya untuk
langkah pengembangan selanjutnya. Data khasiat yang diperoleh dari studi in-vitro
dan in- vivo dapat digunakan sebagai dasar pemikiran untuk uji klinis lebih lanjut
pada tanaman tertentu atau formula polyherbal untuk pencegahan dan pengurangan
gejala COVID-19. Ketiga, mekanisme molekuler yang menggarisbawahi efek
farmakologis jamu dalam pengobatan COVID-19 harus jelas. Keempat, potensi
bahaya keterlambatan pengobatan akibat konsumsi jamu harus dipertimbangkan.
Karena obat-obatan herbal dijual sebagai produk bebas dan dapat diakses tanpa
resep dokter, penggunaannya sebagai pengobatan mandiri COVID-19 oleh pasien
yang mengalami gejala sangat mungkin dilakukan (Hartanti, Dhiani, dan Charisma,
2020).

3. Pada pandemi COVID-19 banyak masyarakat yang mengkonsumsi vitamin C untuk


meningkatkan sistem imun. Apakah vitamin C memiliki aktivitas imunomodulator,
jika ada bagaimana mekanisme aksi vitamin C sebagai imunomodulator?
Jawab:
Berdasarkan jurnal penelitian dari Alquraisi dkk (2021), vitamin C memiliki
aktivitas imunomodulator. Mekanisme aksi vitamin C bersifat imunostimulan dan
imunosupresan. Pada jurnal ini penulis melakukan penelitian dengan cara mereview
penelitian-penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya mengenai aktivitas
imunomodulator vitamin C. Salah satu jurnal penelitian yang digunakan yaitu
jurnal penelitian yang ditulis oleh Qin et al. (2019) memberikan hasil bahwa
dosis vitamin C (25 mg/kg/hari, 250 mg/kg/hari) pada tikus BALB/c yang diinfeksi
oleh plasmodium yoelii 17XL dengan metode kultur splenosit akan mempengaruhi
sel imun Th1. Splenosit merupakan sel dari limpa yaitu tempat dimana terjadi
pematangan dan aktivasi sel-sel imun. Splenosit mengandung sel B (~40%), sel
T sitotoksik (50%), sel Th (10%) dan sel NK (<5%), oleh karena itu proliferasi
pada sel–sel imun yang berada di organ limpa. Kultur splenosit dan pemberian
plasmodium yoelii 17XL sebagai antigen dapat mengaktifkan fagositosis sel imun
Th1.

4. Berikan penjelasan mengapa bisa terjadi autoimun pada seseorang? Lalu mengapa
imun tubuh orang tersebut malah menyerang dirinya?
Jawab:
Autoimun sendiri adalah suatu respon imun terhadap antigen jaringan
sendiri yang disebabkan kegagalan mekanisme normal yang berperan untuk
mempertahankan self-tolerance sel B, sel T, atau keduanya. Potensi autoimun
ditemukan pada semua individu oleh karena limfosit yang dapat mengeskresikan
reseptor spesifik untuk banyak self antigen. Autoimun dapat terjadi karena self-
antigen dapat menimbulkan aktivasi, proliferasi serta diferensiasi sel T autoreaktif
menjadi sel efektor yang menimbulkan kerusakan jaringan dan berbagai organ.
Baik antibodi maupun sel T atau keduanya dapat berperan dalam patogenesis
penyakit autoimun (Purwaningsih, 2013).
Penyakit autoimun adalah penyakit dimana sistem kekebalan yang
terbentuk salah mengidentifikasi benda asing, dimana sel, jaringan atau sel tubuh
manusia justru dianggap sebagai benda asing sehingga dirusak oleh antibodi. Jadi
adanya penyakit autoimun tidak memberikan dampak peningkatan ketahanan tubuh
dalam melawan suatu penyakit, tetapi justru terjadi kerusakan tubuh akibat
kekebalan yang terbentuk. Jika tubuh dihadapkan sesuatu yang asing maka tubuh
memerlukan ketahanan berupa respon imun untuk melawan substansi tersebut
dalam upaya melindungi dirinya sendiri dari kondisi yg potensial menyebabkan
penyakit (Purwaningsih, 2013).

5. Apakah vitamin D dapat meningkatkan sistem imunitas tubuh? Vitamin D apakah


termasuk imunomodulator bagaimana demikian?
Jawab:
Vitamin D merupakan vitamin larut lemak yang bersifat secosteroid dengan
metabolit aktif yaitu 1,25-dihidroksi vitamin D. Vitamin D bukanlah vitamin murni,
karena pemenuhan kebutuhan vitamin D tidak hanya melalui konsumsi makanan
yang mengandung vitamin D, melainkan dapat juga disintesis oleh tubuh melalui
pajanan sinar matahari (Daramatasia, 2012).
Pada interaksi metabolit vitamin D tersebut dengan reseptor vitamin D
(VDR), yang merupakan bagian dari kelompok reseptor steroid. Reseptor vitamin
D (VDR) diekspresikan oleh limfosit T, limfosit B dan sel monosit yang
berdiferensiasi menjadi sel dendritik (Monocyte-derived dendritic cells/ moDCs).
Kemampuan 1,25(OH)2D dalam menghambat pertumbuhan dan merangsang
diferensiasi berbagai tipe sel membuka kemungkinan kemampuan lain vitamin D
dalam mencegah kanker, memodulasi sistem imun dan mengatur beberapa sistem
endokrin. Disebutkan bahwa efek vitamin D lebih kuat dalam meningkatkan
imunitas seluler daripada imunitas humoral telah diajukan sebagai salah satu
mekanisme kunci bagaimana vitamin D dapat memberikan efek yang
menguntungkan dalam penyakit autoimun (Daramatasia, 2012).
Regulasi sistem imun melalui vitamin D dengan metabolit aktifnya
1,25(OH)2D dalam memodulasi respon imun didasarkan atas:
1. Adanya VDR pada makrofag, sel monosit, sel limfosit T dan B yang
teraktivasi.
2. Kemampuan makrofag, sel dendritik, sel T dan B teraktivasi untuk
mengekspresikan CYP27B1 (enzim yang memproduksi 1.25(OH)2D).
3. Kemampuan 1,25(OH)2D3 untuk mengatur proliferasi dan fungsi makrofag,
sel dendritik, serta sel T dan B.

Regulasi Respon Imun oleh Vitamin D


(Daramatasia, 2012).
Vitamin D memiliki peran sebagai imunomodulator pada sistem imunitas
alamiah dan adaptif sehingga dapat menjadi alternatif sebagai suplemen terapi baik
pada pencegahan maupun terapi penyakit. Efek vitamin D pada sistem imunitas
yang didapatkan dari banyak studi in vitro, mencakup sistem imunitas alamiah dan
adaptif. Secara umum, aktivitas 1,25(OH)D tidak hanya untuk meningkatkan
respon imun alamiah (makrofag) terhadap mikroba patogen, tetapi juga memicu
respon imun adaptif terhadap patogen yang tidak dapat dihancurkan oleh makrofag
secara efektif. Respon ini ternyata dapat terjadi secara langsung ataupun sebagai
kelanjutan instruksi dari respon imun alamiah (Yani, 2019).

6. Kenapa orang yang terkena imunodefisiensi lebih mudah terinfeksi oleh bakteri dan
virus?
Jawab:
Orang yang terkena imunodefisiensi lebih mudah terinfeksi karena pada
orang yang terkena imuno defisiensi, sistem imun/kekebalan tubuhnya tidak
bekerja dengan semestinya. Dalam keadaan normal, sistem imun membantu tubuh
untuk melawan infeksi oleh mikroorganisme seperti bakteri, virus atau jamur. Oleh
karena itu, orang dengan imunodefisiensi lebih rentan untuk terkena infeksi
dibandingkan dengan orang lain. Imunodefisiensi juga dapat mengakibatkan tubuh
menyerang dirinya sendiri, hal ini disebut autoimun. Hal ini mengakibatkan
berbagai gejala seperti nyeri atau pembengkakan pada sendi (artritis), ruam kulit
dan kurangnya sel darah merah (anemia). Beberapa penyakit imunodefisiensi berat
mengakibatkan timbulnya gejala yang berat yang segera terlihat setelah lahir.
Misalnya sindrom DiGeorge dapat mengakibatkan malformasi muka, penyakit
jantung dan masalah dengan sistem saraf yang timbul setelah lahir. Riwayat
keluarga dengan penyakit imunodefisiensi atau gejala seperti penyakit
imunodefisiensi dan pemeriksaan darah rutin dapat memberikan informasi yang
berguna (Ipopi, 2012).

7. Mengapa pemberian rejimen imunomodulator pada infeksi virus sering disebut


dengan pendekatan terapi yang atraktif?
Jawab :
Pemberian rejimen imunomodulator pada infeksi virus merupakan
pendekatan terapi yang atraktif, oleh karena efek samping lebih ringan
dibandingkan efek samping obat yang telah ada, selain itu lebih jarang
menimbulkan resistensi pada pengobatan penyakit akibat infeksi virus (Agusni,
2015)
DAFTAR PUSTAKA

Agusni, I., Wulan, I., 2015. Immunomodulators for a Variety of Viral infections of
the Skin. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, 27(1), 66-67.
Alquraisi, R.H.A., Pramiastuti, O., Listina, O., 2021. A Literature Review: Aktivitas
Imunomodulator Vitamin C. Pharmacy Medical, 4(1), 34.
Daramatasia, W., 2012. Peran Vitamin D dalam Regulasi Sistem Imunitas Melalui
Sel Dendritik. Jurnal Ilmiah Kesehatan Media Husada, 1(1), 56-60.
Hartanti, D.H., Dhiani, B.A., Charisma, S.L., 2020. The Potential Roles of Jamu for
COVID-19: A Learn from the Traditional Chinese Medicine.
Pharmaceutical Sciences and Research, 7(4), 12–22.
Ipopi., 2012. Diagnosis Imunodefisiensi Primer. International Patient Organisation
For Primary Immunodeficiencies, Portugal, pp.3-5.
Kusnul, Z., 2020. Infeksi COVID-19 dan Sistem Imun: Peran Pengobatan Herbal
Berbasis Produk Alam Berkhasiat. Jurnal Ilmiah Pamenang, 2(2), 26-31.
Purwaningsih, E., 2013. Disfungsi Telomer Pada Penyakit Autoimun. Jurnal
Kedokteran Yarsi, 21(1).
Siregar, M.L., 2015. Buku Prosiding Temu Ilmiah: Konsep Mutakhir Tatalaksana
Berbagai Persoalan Medis, in: Bakhtiar., Liansyah, T.M., Marisa.,
Wahyuniati, N. (Eds.), Peran Imunomodulator pada Penyakit Infeksi.
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, pp. 81-84.
Yani, F.F., 2019. Peran Vitamin D pada Penyakit Respiratori Anak. Jurnal
Kesehatan Andalas, 8(1), 168-170.

Anda mungkin juga menyukai