Anda di halaman 1dari 7

Hukum Perdana

1. terdapat tiga cara untuk pembagian harta warisan. Pertama adalah cara
membagi harta warisan secara adat, kemudian secara Islam, lalu secara
hukum waris perdata.
ada dua jenis ketentuan adat yang dipakai untuk membagi harta warisan
seseorang berdasarkan gendernya.
 Pembagian Warisan di Adat Patrilineal
Dalam adat patrilineal, ahli waris yang berhak menerima peninggalan harta
dari seseorang adalah anak laki-laki yang terdapat di dalam keluarga
tersebut. Anak laki-laki pertama biasa mendapatkan porsi lebih besar.
Namun, ada juga adat yang membagi rata seluruh warisan seseorang sesuai
jumlah anak laki-laki di keluarga tersebut.
Pembagian Warisan di Adat Matrilineal
Cara pembagian harta warisan menurut adat matrilineal berkebalikan
dengan pembagian warisan di adat patrilineal. Seseorang yang
menggunakan sistem adat ini untuk membagi harta peninggalannya
mengarahkan ahli waris utama kepada pihak anak perempuan.

Pembagian warisan secara perdata ini merujuk pada kitab undang-undang


hukum perdata dan mengarah pada cara pembagian dari barat.
Secara garis besar, ahli waris dari seseorang yang meninggalkan warisan
dibagi menjadi keluarga inti serta berdasarkan garis ketentuan. Berikut ini
adalah ketentuannya yang lebih rinci.
Pembagian Warisan ke Keluarga Inti
Pihak yang dimaksud sebagai keluarga inti dari orang yang meninggalkan
warisan adalah suami atau istri serta anak-anak yang ditinggal mati oleh
orang tersebut. Secara total, mereka berhak mendapat setengah bagian dari
total nilai warisan yang ditinggalkan.
Secara lebih rinci, janda atau duda yang ditinggalkan berhak menerima porsi
warisan sebesar seperempat dari total nilai warisan. Sementara itu, anak-
anak dari pewaris memiliki hak atas seperempat total nilai warisan yang
ditinggalkan. 
Pembagian Warisan ke Keluarga Sedarah
Selain keluarga inti, keluarga sedarah dari oleh yang meninggal dan
meninggalkan warisan juga berhak atas nilai harta yang diwariskan tersebut.
Pihak yang dimaksud sebagai keluarga sedarah adalah ayah, ibu, serta
saudara kandung dari orang yang meninggal tersebut.
Pihak keluarga sedarah secara total memperoleh setengah dari total warisan
yang ditinggalkan. Setiap anggota keluarga sedarah memiliki ketentuan
berbeda dan disepakati dalam menerima total nilai waris yang ditinggalkan.
Perlu dicamkan bahwa nilai pembagian harta warisan baru dapat dicairkan
apabila sang pewaris tidak memiliki utang lagi terkait nilai yang ditinggalkan.
Jika masih terdapat utang, ahli waris wajib melunasinya terlebih dahulu.

Hukum islam Pembagian warisan secara Islam didasarkan pada ilmu Faraidh
tentang pembagian harta warisan. Pembagian warisannya dilakukan secara
berhati-hati dan adil berdasarkan petunjuk Alquran.
Pembagian warisan secara Islam sendiri memilik ketentuan yang lebih
rigid. Ketentuannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Peradilan Agama.
Dikarenakan diatur dalam undang-undang, ahli waris yang memiliki kuasa
atas harta peninggalan tersebut juga memiliki kewajiban melakukan lapor
pajak warisan. Setiap tahunnya, sang ahli waris wajib melaporkan harta
warisan yang diterimanya dalam surat pemberitahuan tahunan (SPT).
Ahli waris dalam pembagian harta secara Islam umumnya tidak hanya satu
pihak. 
cara pembagian harta warisan dalam Islam, khususnya yang ditujukan
kepada anak dan ayah dari orang yang meninggalkan warisan.
Warisan ke Anak Perempuan
Baik anak laki-laki maupun perempuan mendapat porsi dalam pembagian
warisan dalam hukum Islam. Apabila dalam keluarga tersebut pewaris
hanya meninggalkan satu anak perempuan, cara pembagian warisannya
menjadi berbeda. Ahli waris yang merupakan anak perempuan tunggal

2
tersebut berhak memperoleh setengah dari total harta yang ditinggalkan
oleh pewaris, yang notabene dalam hal ini lebih ditekankan kepada sosok
ayahnya.
Apabila terdapat dua atau lebih anak perempuan yang merupakan ahli waris,
sebanyak dua pertiga warisan wajib diserahkan kepada mereka. Dari nilai
dua pertiga total warisan tersebut, nantinya dibagi rata antara setiap anak
perempuan. 
Warisan ke Istri atau Janda  
Seorang istri dari seseorang yang ditinggalkan berhak mendapatkan porsi
tersendiri dalam pembagian warisan. Pembagiannya dihitung berdasarkan
jumlah ahli waris dalam keluarga yang ditinggalkan.
Seorang istri berhak menerima seperempat dari total nilai harta yang
ditinggalkan apabila dalam rumah tangga mereka tidak dikaruniai anak.
Namun, apabila ada anak yang ditinggalkan orang yang meninggal tersebut,
sang janda hanya memperoleh seperedelapan bagian dari total nilai harta
yang ditinggalkan.
Warisan ke Ayah
Ayah dari seseorang yang meninggalkan warisan menjadi pihak yang berhak
menerima harta yang ditinggalkan seseorang tersebut. Porsi warisan ke
ayah cukup besar, mencapai sepertiga bagian dari total warisan yang
ditinggalkan sang anak. Namun, porsi tersebut bisa diterima dengan syarat,
tidak ada anak dari rumah tangga yang dijalani seseorang yang meninggal
tersebut.
Apabila seseorang yang meninggalkan harta warisnya memiliki keturunan,
ayah dari orang tersebut mendapat porsi lebih kecil. Besarannya sebanyak
seperenam dari total nilai warisan yang ditinggalkan.
Warisan ke Ibu
Ibu dari seseorang yang meninggal dan memiliki harta peninggalan juga
memiliki hak atas porsi nilai warisan yang ditinggalkan. Besarannya pun
bergantung dari ada tidaknya keturunan dari seseorang yang meninggal
tersebut.
Dalam hukum Islam, apabila seseorang yang tidak memiliki meninggal dan
memiliki harta warisan, ibu dari orang tersebut berhak atas sepertiga dari

3
total nilai harta yang ditinggalkan. Jika ada anak dari orang yang meninggal
tersebut, ibu tersebut hanya menerima seperenam dari total warisan.
Harus diingat, jumlah porsi warisan yang berhak diterima ibu tersebut hanya
berlaku apabila sang ibu sudah tidak bersama atau sudah tidak memiliki
ayah yang meninggalkan warisan. Apabila mereka masih bersama, sang ibu
hanya memiliki porsi atas warisan sebesar sepertiga dari nilai warisan yang
merupakan total nilai yang sebelumnya sudah dikurangi dari hak milik istri
atau janda.
Warisan ke Anak Laki-laki
Pembagian porsi nilai warisan akan berbeda jika orang yang meninggal
memiliki anak laki-laki. Dalam hukumnya, anak laki-laki tersebut memiliki
hak lebih besar dibandingkan total warisan yang diperoleh oleh saudara-
saudara perempuannya. Porsi nilai warisan anak laki-laki yang diatur dalam
hukum Islam besarnya mencapai dua kali lipat dibandingkan total nilai
warisan yang diterima anak-anak perempuan. 
Akan tetapi apabila seseorang yang meninggal tersebut hanya memiliki anak
tunggal laki-laki, anak tersebut berhak atas setengah dari total nilai warisan
ayahnya. Baru sisanya dibagi-bagi ke pihak lain yang berhak sesuai hukum
Islam yang berlaku.

Berdasarkan Pasal 283 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”),


anak yang dilahirkan karena perzinaan atau penodaan darah (incest,
sumbang), tidak boleh diakui tanpa mengurangi ketentuan Pasal
273 KUHPer mengenai anak penodaan darah.
Maka jika didasarkan pada ketentuan dalam KUHPer, anak zina tidak
mendapat warisan dari orang tuanya. Akan tetapi, berdasarkan Pasal 867
KUHPer, anak zina mendapatkan nafkah seperlunya dari orang tuanya.
  Pasal 867 KUHPer:
“Ketentuan-ketentuan tersebut di atas mi tidak berlaku bagi anak-anak
yang lahir dan perzinaan atau penodaan darah. Undang-undang hanya
memberikan nafkah seperlunya kepada mereka.”
jika merujuk pada ketentuan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (“UU Perkawinan”), tidak dibedakan mengenai anak zina dan

4
anak luar kawin. Yang diatur dalam UU Perkawinan hanyalah anak yang
dilahirkan di luar perkawinan. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya (Pasal
43 ayat (1) UU Perkawinan). Oleh karena adanya hubungan perdata
dengan ibunya, maka anak zina yang lahir setelah berlakunya UU
Perkawinan, bisa mendapatkan warisan dari ibunya.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 mengujiPasal 43
ayat (1) UUP, sehingga pasal tersebut harus dibaca:
 
“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai
ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan
darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.”
 
Melihat pada putusan tersebut, ini berarti anak yang dilahirkan di luar
perkawinan (dalam putusan tidak dibedakan antara anak zina dengan
anak luar kawin, seperti pada KUHPer) dapat memiliki hubungan perdata
dengan ayahnya jika dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
 
Jika dapat dibuktikan bahwa memang orang tersebut adalah ayahnya,
anak tersebut dapat mewaris dari si ayah biologis. Akan tetapi perlu
diingat ketentuan dalam Pasal 285 KUHPer, bahwa apabila terjadi
pengakuan dari ayah biologisnya, sehingga timbul hubungan hukum
antara si ayah dengan anak luar kawinnya tersebut, pengakuan anak luar
kawin tersebut tidak boleh merugikan pihak istri dan anak-anak kandung
dalam hal pewarisan. Artinya, anak luar kawin tersebut tidak mendapat
warisan dari ayah biologisnya.
aturan mengenai kewarisan yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam
berdasarkan Instruksi Presiden no 1 Tahun 1991. 3. Berdasarkan Pasal
171 huruf Kompilasi Hukum Islam huruf c, yang dimaksud: Ahli waris
adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan

5
darah atau hubungan perkawinan. Dengan demikian anak laki-laki klien
berhak untuk mewaris jika klien meninggal dunia dan sepanjang ahli waris
tersebut masih hidup. 4. Dalam Pasal 174 KHI diatur: (1) Kelompok-
kelompok ahli waris terdiri dari : a. Menurut hubungan darah ; - golongan
laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan
kakek - golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara
perempuan dan nenek b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari
duda atau janda. (2) Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak
mendapat warisan hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda. Janda atau
duda dalam arti cerai mati, karena pewaris meninggal dunia. 5. Hanya
saja sebelum harta warisan tersebut dibagi kepada ahli waris yang hidup,
maka terdapat kewajiban yang harus dipenuhi ahli waris terhadap
pewaris. 6. Dalam Kompilasi Hukum Islam diatur dalam Pasal 175 : (1)
Kewajiban ahli waris terhadap pewaris adalah : a. mengurus dan
menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai. b. menyelesaikan
baik hutang-hutang, berupa pengobayan, perawatan termasuk kewajiban
pewaris maupun menagihpiutang. c. menyelesaikan wasiat pewaris. d.
membagi harta warisan di antara ahli waris yang berhak. (2) Tanggung
jawab ahli waris terhadap hutang atau kewajiban pewaris hanya terbatas
pada jumlah atau nilai hartapeninggalannya. 7. Jika menurut Kitab
Undang-Undang Hukum perdata barat (untuk selanjutnya akan lebih
mudah jika kita sebut “BW” atau Burgerlijk Wetboek”, prinsip dari
pewarisan adalah: 1. Harta Waris baru terbuka (dapat diwariskan kepada
pihak lain) apabila terjadinya suatu kematian. (pasal830BW) 2.Adanya
hubungan darah di antara pewaris dan ahli waris, kecuali untuk suami
atau isteri dari pewaris. (pasal 832 BW) 8. Dalam Hukum Perdata Barat,
prinsip pewarisan, yaitu mengenai “hubungan darah”/ Berdasarkan
Prinsip tersebut, maka yang berhak mewaris hanyalah orang-orang yang
mempunyai hubungan darah dengan pewaris. Baik itu berupa keturunan
langsung. maupun orang tua, saudara, nenek/kakek atau keturunannya
dari saudara-saudaranya. Sehingga, apabila dimasukkan dalam kategori,
maka yang berhak mewaris adalah: 1. Golongan I, yang terdiri dari:
suami/isteri yang hidup terlama dan anak2 serta cucu (keturunan)
pewaris (dalam hal anak pewaris meninggal dunia). (pasal 852 BW) 2.
Golongan II adalah: orang tua dan saudara kandung dari pewaris
termasuk keturunan dari saudara kandung pewaris. (pasal 854 BW)

6
Golongan II ini baru bisa mewarisi harta pewaris dalam hal golongan I
tidak ada sama sekali. Jadi, apabila masih ada ahli waris golongan I, maka
golongan I tersebut “menutup” golongan yang diatasnya 3. Golongan III :
Keluarga dalam garis lurus ke atas sesudah bapak dan ibu pewaris (pasal .
Contohnya: kakek dan nenek pewaris, baik dari pihak ibu maupun dari
pihak bapak. Mereka mewaris dalam hal ahli waris golongan I dan
golongan II tidak ada 4. Golongan IV -Paman dan bibi pewaris baik dari
pihak bapak maupun dari pihak ibu -keturunan paman dan bibi sampai
derajat ke enam dihitung dari pewaris – saudara dari kakek dan nenek
beserta keturunannya, sampai derajat ke enam di hitung dari pewaris.

Anda mungkin juga menyukai